Seminar Eksekutif Lanskap Sektor Swasta dalam Pelayanan Kesehatan di Indonesia

Seminar Eksekutif
Lanskap Sektor Swasta dalam Pelayanan Kesehatan di Indonesia

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kebijakan
Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada

Pengantar

Penyedia layanan kesehatan non-pemerintah merupakan salah satu komponen utama dalam sistem kesehatan di Indonesia yang telah beroperasi selama lebih dari 100 tahun. Dalam 10 tahun terakhir, sektor ini telah mengalami perkembangan yang pesat. Dengan perubahan demografi dan epidemiologi yang progresif disertai dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, permintaan akan teknologi pelayanan kesehatan yang lebih canggih dan pelayanan sekunder terus meningkat. Kebijakan deregulasi saat ini diterapkan oleh pemerintah Indonesia yang memungkinkan pembentukan fasilitas kesehatan non-pemerintah baru, mulai dari klinik ke rumah sakit internasional skala besar, telah meningkatkan peran sektor non-negara dalam sistem kesehatan di Indonesia. Sistem JKN saat ini juga mendorong adanya pertumbuhan sektor swasta. Seminar ini mencoba untuk membahas peran sektor swasta selama implementasi JKN berjalan.

Tujuan

  1. Menggambarkan dinamika sektor privat di Indonesia selama implemetasi JKN berjalan.
  2. Mendiskusikan hambatan yang dialami pemerintahan sistem kesehatan dalam memanfaatkan pertumbuhan sektor swasta.
  3. Menguatkan peran Dinas Kesehatan sebagai lembaga pelayanan dan penyelenggara sistem kesehatan.


Peserta

Peserta kegiatan ini adalah:

  1. Peserta Pelatihan Kemitraan Sektor Swasta untuk cakupan Kesehatan Semesta
  2. Penyelenggaran Rumah Sakit & Klinik Swasta
  3. Dinas Kesehatan Provinsi DIY
  4. Peneliti, Praktisi, dan Akademisi

Agenda

Diskusiakan diselenggarakan pada Jumat, 28 April 2017; pukul 13:30 – 15:30 WIB; bertempat di Laboratorium Leadership dan Kepemimpinan, Gedung IKM Lama Lantai 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Bapak/ Ibu/ Sdr yang tidak dapat hadir secara tatap muka dapat tetap mengikusi diskusi webinar melalui link registrasi berikut:

https://attendee.gotowebinar.com/register/4750028052158418178
Webinar ID 885-244-659 

Pembiayaan Kesehatan dan JKN dapat diakses selengkapnya melalui http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/.
Pemateri

  • Prof.dr.Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D
  • Elisabeth Listyani, S.E

Moderator

  • Shita Dewi

Pembahas

  • Yayasan YAKKUM

Susunan Acara

Waktu Materi Pemateri/ Pembahas
13:30-13:40 Pembukaan Moderator
13:40-14:10 Pemateri Sesi 1 Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D
14:10-14:40 Pemateri Sesi 2 Elisabeth Listyani, S.E
14:40-15:00 Pembahas Yayasan YAKKUM
15:00-15:30 Diskusi/tanya-jawab Pemateri/ Pembahas
15:30 Kesimpulan /Penutup Moderator

Pembiayaan kontribusi peserta

  • Peserta webinar dikenakan biaya Rp 50.000,00 /orang;
  • Peserta Executive Seminar dikenakan biaya Rp 100.000,00/orang

*Peserta yang mengikuti selama 5 kali executive seminar akan mendapatkan Sertifikat SKP IDI, IAKMI


Informasi dan pendaftaran

Maria Lelyana (Lely)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting), 081329760006 (HP/WA)
Email: [email protected] 
Website: http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/  

 

 

Reportase World Congress on Public Health – Hari 5

Merayakan Hari Kesehatan Dunia

Margareth ChanMargaret Chan, Director General WHO, melalui video konferens menyampaikan ucapan selamat untuk WFPHA atas pencapaiannya selama lebih dari 50 tahun di World Health Day 2017. Apa saja pencapaian kita? Saat ini angka kematian akibat Malaria di Afrika telah menurun sampai 60%. Lebih dari 80 juta ODHA yang hidup dalam kemiskinan saat ini telah menerima ARV. Insidensi tuberculosis sudah jauh menurun dalam 3 dekade terakhir. Tapi tidak hanya itu, kita perlu juga merayakan pencapaian kita akan kolaborasi yang telah dilakukan oleh para ahli dan pemerhati kesehatan masyarakat.

Isu determinan sosial, politik, ataupun komersial kesehatan merupakan sesuatu yang tidak mungkin didiskusikan 15 tahun yang lalu, namun saat ini kita sudah berani mendiskusikannya. Ini adalah salah satu wujud kolaborasi yang telah terbentuk dengan baik. Saat ini kita sudah mempunyai banyak bukti ilmiah mengenai isu-isu tersebut, misalnya: bagaimana faktor sosial ekonomi berperan penting pada penurunan insidensi tuberculosis, menurunkan angka kematian ibu dan eradikasi polio. Visi ke depannya sangat penting bagi kita untuk mempertahankan dan meningkatkan kekuatan kita dengan melibatkan sektor-sektor lain di bidang kesehatan.

Rudiger KrechRudiger Krech, Direktur Sistem dan Inovasi Kesehatan WHO melanjutkan dengan pentingnya menjaga keseimbangan antara aspek ‘teknis’ dan ‘politis’. “Kita perlu tetap memahami isu politik yang terjadi, sementara kita harus tetap kuat di aspek teknis yang sudah menjadi keahlian praktisi kesehatan masyarakat”, ujar Krech. Krech menutup dengan ekspektasi bahwa WFPHA tetap menjadi satu asosiasi yang mempengaruhi isu public health di ranah internasional dan tetap berkomitmen untuk membuat perbedaan dan perubahan.

Young People Voices

SM FinlayAda yang menarik dengan plennary di hari penutup ini. Tidak hanya menampilkan ahli-ahli kesehatan masyarakat senior, ahli-ahli muda dan siswa SMU pun diundang untuk menyampaikan visi mereka akan isu kesehatan.

Summer May Finlay, peneliti muda berdarah Indigenous, menggarisbawahi betapa minimnya kekuatan yang dimiliki oleh populasi Aboriginal dalam menentukan nasib mereka sendiri. “Nothing about us without being led but us”, seharusnya itu yang terjadi. Finlay memberi contoh pemerintah Western Australia yang memutuskan menutup lebih dari 200 komunitas Aborigin tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat Aborigin tersebut. Penelitian nasional tentang Indigenous Health juga dipimpin dan dilaksanakan oleh peneliti non-Indigenous. “Seharusnya tidak satu pihak pun yang berbicara atas nama orang Indigenous. Saya berharap suara dari orang Indigenous dihargai dan diprioritaskan untuk masalah yang menyangkut hajat hidup mereka”, sambung Finlay. Albert Einstein berkata orang gila adalah yang melakukan berkali-kali hal yang sama tapi mengharapkan hasil yang berbeda, itulah yang terjadi di Australia. Finlay mengharapkan ke depannya non-Indigenous lagi tidak terlalu banyak mencampuri urusan Indigenous dan pentingnya memberikan kesempatan bagi kaum Indigenous untuk menemukan visi dan solusi-nya sendiri.

Nicola Hames dari Warwick High School menyampaikan keprihatinannya terhadap kesehatan jiwa remaja di seluruh dunia. Di Australia diperkirakan 30% remaja menghadapi masalah kejiwaan. Kita perlu penatalaksanaan kesehatan jiwa yang memberikan dukungan dan pertolongan tidak hanya di fasilitas kesehatan tapi juga untuk peer-to-peer.

Siswa lainnya, menyoroti bagaimana visi ke depan tentang kesehatan. Kesehatan tidak melulu mengenai pengobatan untuk menyembuhkan penyakit, tetapi juga untuk mencegah penyakit. Teknologi sangat berkembang saat ini dan perlu dimanfaatkan untuk kesehatan. Salah satu strategi yang dapat dilakukan yaitu mendata jumlah anak yang ada dan mengintegrasikan data kesehatan dengan data sekolah.

}

demand for action

Laetitia Rispell dari Universitas Witwatersrand Afrika Selatan, Presiden WFPHA terpilih, menyampaikan ajakan bagi praktisi kesehatan masyarakat di dunia untuk membuat aksi nyata. Adanya globalisasi saat ini membuat satu manusia dengan manusia lainnya semakin terhubung. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa faktor sosial, politik, ekonomi dan lingkungan berdampak pada kesehatan masyarakat. Kesehatan individu hanya akan tercapai apabila ada kesinambungan sistem kesehatan negara masing-masing. Sistem kesehatan di satu negara akan berdampak pada kesehatan di negara lain.

Untuk itu, kami sebagai organisasi non-pemerintah yang mewakili pemerhati dan praktisi kesehatan masyarakat di dunia, menyatakan berkomitmen untuk meningkatkan status kesehatan untuk semuanya, dengan mengatasi inequity sebagai kontributor utama tidak tercapainya status kesehatan terutama pada anak, perempuan, indigenous, masyarakat miskin dan rentan. Apa yang akan kami lakukan berlandaskan pada Declaration of Alma-Ata 1978, The Ottawa Charter on Health Promotion 1986, the Rio Political Declaration on Social Determinants of Health in 2011, the United Nations Sustainable Development Goals 2016, the Shanghai Declaration on Promoting Health in the 2030 Agenda for Sustainable Development 2016, serta deklarasi dari World Congress on Public Health di tahun-tahun yang lalu. Kami akan melaksanakan komitmen kami dengan berbagai cara kepada berbagai pemangku kepentingan: pemerintah, industri, sektor swasta, akademisi, serta masyarakat untuk mendorong upaya promosi kesehatan dan pencegahan. Kami akan menggagas dan memanfaatkan berbagai inovasi mulai dari inovasi sosial sampai teknologi untuk mendukung pemerintah serta memberdayakan masyarakat menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang kami miliki dalam rangka mendorong tercapainya equity dan social inclusion.

Laetitia Rispel OKKami berharap apa yang kami deklarasikan ini dapat diterapkan juga oleh seluruh lapisan pemerintahan mulai dari pemerintah lokal, nasional dan internasional, masyarakat termasuk organisasi masyarakat sipil, akademisi, serta perusahaan dan sektor swasta. Kami ingin seluruh pihak tadi bahu-membahu mewujudkan regulasi, legislasi dan skema pajak yang kuat bagi produk-produk yang membahayakan kesehatan, menerapkan kebijakan fiskal yang mendukung pembiayaan kesehatan, menentang kesepakatan-kesepakatan internasional yang tidak mendukung equity, mendukung perjanjian internasional yang mengurangi risiko kesehatan misalnya Framework Convention on Tobacco Control, serta meningkatkan dukungan biaya untuk sistem kesehatan yang berkesinambungan dan universal health coverage.

Sebagai asosiasi praktisi kesehatan masyarakat, kami berkomitmen dan mengajak seluruh praktisi kesehatan masyarakat untuk mendorong upaya proteksi, promosi kesehatan serta upaya preventif melalui: mempraktikkan good governance, meningkatkan kapasitas petugas kesehatan, melaksanakan advokasi yang lebih efektif, serta mengupayakan pengumpulan dan diseminasi bukti-bukti ilmiah terkait kesehatan masyarakat.

Dokumen Demand for Action dapat diunduh pada link berikut:
http://wcph2017.com/d/WCPH2017-Melbourne-Demand-for-Action.pdf 

Reporter: Like Prawidya Putri

  REPORTASE TERKAIT :

Reportase World Congress on Public Health – Hari 4

Tantangan Mencapai Equity di Wilayah Asia Pasifik

shin yong sooShin Young-Soo, Direktur Western Pacific Regional dari World Health Organization mendeskripsikan situasi equity di wilayah Asia Pasifik. Pencapaian MDGs sebagian besar telah memenuhi target, tetapi inequity tetap terjadi. Terjadi perbedaan U5MR tergantung pada tingkat pendidikan, lokasi tempat tinggal. Populasi yang tidak pernah bersekolah selalu memiliki angka kematian tertinggi.

Western Pacific itu terdiri atas berbagai macam negara, mulai dari negara dengan advanced economies seperti Australia dan New Zealand, ada yang dalam situasi transition economies seperti China dan Mongolia, negara-negara middle-income countries di wilayah kepualuan Pasifik seperti Samoa, Fiji dan negara-negara yang memberlakukan sistem desentralisasi seperti Filipina.

Negara dengan advanced economies tentunya memiliki infrastruktur sosial yang baik dan mekanisme pembiayaan yang solid. Namun demikian, tetap ada kelompok populasi tertentu yang termarjinalisasi, misalnya saja di Australia yang selalu memiliki masalah inequity antara indigenous dan non-indegenous. Di negara dengan transition economies, misalnya China, telah terjadi perubahan penitikberatan penyelenggara kesehatan dari district level model of pelayanan primer menjadi komersialisasi dan privatisasi rumah sakit. Inequity antara miskin dan kaya semakin melebar.

Sementara itu negara-negara Pasifik kepulauan, misalnya Samoa, mengalami krisis SDM kesehatan karena tingginya brain drain dan ketersediaan SDM yang terkonsentrasi di rumah sakit. Ketergantungan pada donor tinggi dan ownership pemerintah nasional terhadap program-program kesehatan rendah. Tantangan terbesar saat ini yaitu meningkatnya insidensi penyakit tak menular serta melawan perubahan iklim dan dampaknya. Sedangkan untuk negara yang terdesentralisasi seperti Filipina, mengalami masalah sosial politik yang kompleks, terutama dengan adanya 1500 pemerintahan kabupaten/kota yang masing-masing memiliki kewenangan tersendiri. Pemerintah pusat menemui kendala besar dalam menerapkan kebijakan nasional ke seluruh kabupaten/kota di bawahnya.

WHO telah melakukan beberapa upaya untuk mempersempit jurang equity: salah satunya dengan mengkampanyekan universal health coverage (UHC). “Equity is a cornerstone of UHC. Dengan adanya UHC, akses kesehatan pada kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda akan lebih merata”, ujar Shin. Regional action agenda lainnya yaitu “Leaving no-one behind”, dengan equity sebagai konsep intinya dan SDGs sebagai indikator-indikator prioritasnya.

WHO telah memberikan dukungan untuk membantu negara-negara dalam menyusun peta jalan untuk mencapai UHC, meningkatkan kapasitas leadership dari pemerintah untuk berkomitmen pada pembiayaan untuk UHC, serta memberikan pedoman-pedoman untuk mengevaluasi pencapaian UHC dan SDGs. Adanya SDGs merupakan tantangan tersendiri bagaimana kita bisa merangkul lebih banyak pihak untuk mempercepat pencapaian SDGs itu sendiri.

Sebagai praktisi kesehatan masyarakat, apa tugas kita selanjutnya?

Ada 3 hal: informing, influencing, dan institutionalising. Informing: praktisi kesehatan masyarakat harus memahami kaitan antara social determinant of health dan health equity, memahami bagaimana sektor-sektor lain dapat turut berkontribusi serta prioritas-prioritas yang dimiliki sektor lain tersebut, serta memahami kebutuhan dari perspektif masyarakat. Influencing: praktisi kesehatan masyarakat harus memperkuat kemampuan untuk mengadvokasi dan menggandeng sektor lainnya, memobilisasi dukungan politik dan finansial, dan memanfaatkan adanya kebijakan dengan efektif. Institutionalising: praktisi kesehatan masyarakat secara aktif mengangkat isu-isu prioritas tertentu dan mendiseminasikan bagaimana upaya yang dapat ditempuh untuk mencapai target yang diinginkan.

Bagaimana pendidikan kesehatan masyarakat ke depannya?

Dengan tantangan yang ada saat ini, perlu membentuk para praktisi kesehatan masyarakat yang ahli dalam berkolaborasi, advokasi dan memperkuat proses pembuatan kebijakan. Tidak hanya ketrampilan untuk promosi kesehatan saja yang dipersiapkan bagi para calon praktisi kesehatan masyarakat, tetapi juga kemampuan untuk aware terhadap isu politik dan ekonomi yang berkembang, reseptif pada perkembangan terbaru serta responsif pada kebutuhan masyarakat.

Kesimpulannya, public health saat ini mau tidak mau dipengaruhi isu sosial dan politik, sehingga penting untuk memahami determinan-determinan dari equity dari aspek sosial, politik serta faktor lain yang jarang tersentuh sebelumnya, seperti aspek komersial. Inequity terjadi di mana-mana, tapi dalam bentuk yang berbeda-beda. Kita perlu cermat menganalisis apa bentuk equity yang terjadi di wilayah atau negara kita, dengan mempertimbangkan konteks dan situasi yang ada.

Kesehatan sebagai Kompas untuk Menuntun Arah Inovasi

11apr 3Ada dua pesan utama yang disampaikan oleh Rüdiger Krech dari Department Sistem dan Inovasi Kesehatan WHO yaitu pentingnya regulasi dan inovasi dalam pencapaian tujuan kesehatan ke depannya. “Saat ini, mobilitas manusia luar biasa besar, yaitu 3.6 milyar penumpang pesawat internasional dan diperkirakan akan naik dua kali di tahun 2035. Semakin tinggi tingkat perpindahan manusia, semakin cepat pula kuman menyebar”, papar Krech memulai pidatonya. Krech memberikan contoh penyebaran virus Zika di tahun lalu. Ini salah satu faktor risiko transmisi penyakit menular yang pasti kita hadapi ke depannya. Krech juga mengingatkan kita pada epidemi Ebola beberapa waktu silam. Saat itu, data dari google berupa jumlah pencarian gejala Ebola memberikan informasi yang lebih real time mengenai potensi wabah dibandingkan data dari sektor kesehatan. Kejadian-kejadian tersebut menekankan pentingnya inovasi dan berpikir jauh ke depan dalam upaya pengendalian penyakit.

Teknologi yang maju dan akan semakin maju merupakan peluang yang mutlak perlu dimanfaatkan oleh praktisi kesehatan masyarakat. Pemeriksaan kesehatan jarak jauh, yang lagi-lagi berbasis teknologi, sangat pesat berkembang. Pemanfaatan aplikasi berbasis smartphone untuk promosi dan upaya pencegahan kesehatan pun sudah begitu luas dipraktikkan. Apakah inovasi hanya sebatas teknologi? Tentunya tidak. Berbagai inovasi juga dikembangkan mengenai di dunia sosial dan ekonomi, misalnya: sistem pembiayaan, pendekatan sosial, sistem penjualan produk, dan sebagainya.

Namun, siapa yang dapat memutuskan inovasi apa yang baik ataupun kurang baik? Dunia ini penuh dengan berbagai inovasi dan kesehatan dapat menjadi indikator untuk menentukan apakah satu inovasi layak terus dikembangkan atau perlu perbaikan. “Kesehatan dapat menjadi kompas dalam pengembangan inovasi”, tegas Krech. Misalnya untuk inovasi terkait sistem sosial atau ekonomi, kita sebagai praktisi kesehatan masyarakat perlu memantau apakah dampaknya baik bagi kesehatan individu dan masyarakat? Perkembangan di dunia transportasi, bagaimana dampaknya bagi status kesehatan masyarakat? Perlu penelitian-penelitian antara lain terkait manfaat kesehatan, risiko kesehatan individu dan masayarakat.

Setelah kita mengetahui dampaknya bagi masyarakat, langkah selanjutnya yaitu menetapkan regulasi. Dengan adanya inovasi dalam hal transportasi, misalnya transportasi umum online, setelah kita tahu bagaimana dampaknya terhadap angka kecelakaan, maka perlu menginisiasi peraturan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Dengan adanya inovasi produk makanan baru, perlu ada regulasi untuk mengendalikan peredaran atau kandungan tertentu di produk tersebut. Tidak hanya di tingkat nasional, perlu kesepakatan internasional untuk memastikan kesehatan manusia terlindungi.

Siapa yang jadi pemimpin dalam hal regulasi inovasi? Pemerintah dan masyarakat-lah yang harus aktif menginisiasi perlunya regulasi-regulasi tertentu. “Kita tidak bisa membiarkan sektor bisnis dan swasta untuk menentukan arah perkembangan dunia kita di kemudian hari. Kombinasi antara topdown regulasi pemerintah dan bottomup aspirasi masyarakat adalah alat legal yang paling efektif, tutup Krech.

Reporter: Likke Prawidya Putri

Reporter: Likke prawidya Putri

  REPORTASE TERKAIT :

Reportase World Congress on Public Health – Hari 3

Commercial Determinant for Health: Industri Alkohol dan Politik di Australia

Apa masalah kesehatan utama saat ini yang terkait dengan beban penyakit tidak menular? Ya, jawabannya adalah faktor risiko berupa gaya hidup tidak sehat. Selama ini kita berusaha menerapkan berbagai kebijakan tentang kawasan tanpa rokok, promosi pola makan dan olahraga yang sehat. Kita tidak sadar bahwa di balik semua itu terdapat raksasa industri yang secara ‘kasat mata’ menjadi tantangan terbesar kita. Sesi Plennary di hari ketiga ini menguak fakta-fakta bagaimana faktor komersial menjadi salah satu penentu penting status kesehatan masyarakat.

peter miller

Peter Miler dari University of Deakin mengangkat isu industri alkohol sebagai salah satu pihak yang ‘berkepentingan khusus’ yang memiliki vested interest. Saat ini marak asosiasi yang mempromosikan mengenai konsumsi alkohol dalam batas yang sehat dan aman, misalnya DrinkWise ataupun DrinkAware. Dengan adanya asosiasi tersebut, perilaku minum alkohol, yang termasuk gaya hidup yang berisiko, dianggap sesuatu yang aman untuk masyarakat. Namun demikian, kita tidak sadar bahwa industri alkohol sebenarnya memanfaatkan adanya asosiasi tersebut untuk membawa image positif pada produknya. Lebih parah lagi, terdapat beberapa penelitian yang didanai atau didukung oleh perusahaan-perusahaan tertentu, sehingga hasil penelitian yang ditampilkan kurang independent dan hanya melaporkan hal-hal yang mendukung industri. Hasil penelitian semacam ini juga sering tidak mencantumkan sponsor penelitian dalam acknowledgement-nya dan menuliskan bahwa tidak ada conflict of interest. Salah satu contoh penelitian tersebut yaitu adanya efek cardioprotective dari konsumsi alkohol dalam jumlah tertentu. Strategi lainnya terkait penelitian yaitu perusahaan-perusahaan ini mendanai penelitian tentang dampak konsumsi alkohol dalam jumlah sedang (moderate-level) saja tanpa melibatkan konsumsi alkohol dalam jumlah tinggi. Dalam salah satu penelitian, disebutkan intervensinya yaitu meminta responden untuk mengkonsumsi alkohol dalam jumlah tertentu.

Strategi kedua dari perusahaan ini yaitu dukungan kepada partai politik secara langsung maupun tidak langsung. Data di Australia menunjukkan bahwa partai-partai politik di Australia menerima dana cukup besar dari industri tembakau, alkohol dan gambling. Contoh lobi ‘halus’ lainnya yaitu begitu seringnya parlemen menyelenggarakan pesta atau pertemuan yang menyediakan minuman beralkohol yang disponsori oleh industri. Tak ketinggalan event olahraga yang disponsori oleh industri alkohol.

Strategi berikutnya adalah kemitraan dengan perusahaan lainnya, misalnya kerjasama antara DrinkWise dan Uber yang memfasilitasi layanan antar untuk minuman beralkohol. Di samping itu, adanya diversion tactic atau pengalihan yaitu dengan memberikan jargon yang terkesan aman misalnya bir rendah karbohidrat atau bir rendah kalori. Hal ini dilakukan juga industri rokok yang telah banyak mempromosikan adanya rokok rendah tar atau rokok untuk wanita.
Strategi lain yang cukup membahayakan yaitu dukungan industri pada media. Di Australia, Herald Sun, surat kabar yang terkemuka di Australia, mendapat pemasukan sangat besar per tahunnya dari iklan produk beralkohol. Dengan demikian media pun dapat ‘dibeli’ untuk menampilkan atau menyembunyikan informasi tertentu mengenai dampak alkohol bagi kesehatan. Strategi terakhir tapi tidak kalah berbahaya yaitu fenomena revolving door tokoh-tokoh politik yang setelah pensiun memasuki organisasi lobbying untuk alkohol ataupun industri ataupun sebaliknya. Misalnya mantan direktur pengawasan lisensi yang menjadi pimpinan di DrinkWise. Hal ini tentunya dapat sangat berpengaruh pada pengambilan kebijakan terkait alkohol di Australia.

Bagaimana dengan peran kita sebagai pemberi masukan? Penelitian, diseminasi dan menggandeng para tokoh politik harus dilakukan secara konsisten dan tidak mengenal putus asa. Peter Miller mencontohkan upaya yang dilakukannya untuk mengadvokasi tetapi ditolak mentah-mentah di depan publik. Meskipun media bukan menjadi ranah langsung dari kesehatan masyarakat, sangat penting untuk memastikan integritas dan transparansi dari media dalam menyampaikan berita tertentu. Di samping itu, kita perlu mendampingi pemerintah dalam memilah hasil-hasil studi yang ada untuk mendukung kebijakan ke depan.

Kebijakan Apa yang Paling Efektif Menurunkan Konsumsi Rokok?

prabhatProfessor Prabhat Jha, chair Dalla Lana School of Public Health Canada yang telah melakukan berbagai penelitian terkait dampak ekonomi dan kesehatan rokok, memulai sesinya dengan 5 poin kesimpulan: 1) perokok memiliki usia harapan hidup 10 tahun lebih pendek daripada bukan perokok; 2) berhenti merokok sebelum usia 40 tahun dapat mencegah 90% beban penyakit akibat merokok; 3) tembakau merupakan salah satu penyebab kemiskinan dan kebijakan pembatasan rokok berpotensi mengurangi angka kemiskinan, dan 4) menaikkan harga rokok 3 kali akan mengurangi 1/3 konsumsi rokok dan menghindari 200 juta kematian.

Perokok memiliki risiko mati lebih muda 10 tahun daripada bukan perokok. Bagaimana bila dibandingkan dengan konsumsi alkohol? Satu pesan dari Prabhat Jha, ‘don’t drink like Russian male’ dengan kata lain asalkan alkohol tidak dalam kadar sangat tinggi, yakni 1 botol vodka per hari (kandungan 40% alkohol). Sedangkan dibandingkan dengan obesitas, Studi Peto et al (2010) menunjukkan bahwa untuk mendapat dampak berkurangnya 10 tahun usia harapan hidup dari merokok, perlu mengalami obesitas dengan indeks BMI 40 – 50. Ilustrasi di atas menggambarkan betapa beratnya risiko penyakit seorang perokok.
Namun demikian ada ‘berita baik’ untuk perokok. Apabila berhenti merokok pada usia 35 – 44 tahun, maka usia harapan hidup yang hilang 10 tahun tadi akan kembali sebesar 9 tahun; berhenti pada usia 45 – 54 tahun akan mengembalikan 6 tahun harapan hidup Anda, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini:

years

Berita baik lainnya adalah dengan adanya teknologi kesehatan yang semakin baik, risiko kematian karena merokok jauh berkurang dalam 3 dekade terakhir. Tetapi, perlu diingat bahwa biaya yang dikeluarkan untuk membayar teknologi itu juga sangat besar.

Data yang dipaparkan Prabhat Jha menunjukkan bahwa perusahaan rokok membuat keuntungan $10,000 dollar setiap ada seorang perokok meninggal. Ironis bukan?

Studi menunjukkan bahwa menaikkan pajak rokok sampai dengan 100% dapat menurunkan 20% prevalensi merokok. Di Perancis, kenaikan harga rokok mulai diperkenalkan pada awal 1990-an yang mencapai 300% di tahun 2011, sementara rerata konsumsi rokok 6 batang per hari di awal 1990-an menurun drastis menjadi separuhnya di tahun 2011. Data dari ADB (2013) menunjukkan dampak dari kenaikan harga rokok hanya 6.4% yang ditanggung oleh masyarakat dengan status sosial ekonomi terendah tetapi manfaat yang diperoleh dalam hal kematian yang dapat dicegah yaitu 32%, lebih tinggi dari kematian yang akan dicegah di kelompok sosial ekonomi tertinggi. Dapat disimpulkan bahwa bila harga rokok naik, maka yang terkena dampak terkecil justru kalangan sosial ekonomi tertinggi, yang berarti mengurangi kesenjangan yang terjadi.

Tidak hanya itu, peningkatan harga rokok akan mengurangi pasar gelap serta memperkecil selisih harga antara rokok yang mahal dan murah.
Pajak atau cukai rokok yang naik sampai 3 kali lipat akan menurunkan konsumsi rokok sampai 1/3 dan mencegah sampai dengan 200 juta kematian. Sekali lagi perlu diingat, dampak-dampak tersebut hanya akan terlihat kalau harga pajak rokok naik sekurang-kurangnya 100%.

Kuncinya: Triple – Halve – Double. Naikkan harga rokok sampai 3 kali lipat, konsumsi akan berkurang separuhnya, pendapatan pemerintah dari tembakau akan naik 2 kali lipat.

Informasi lebih lanjut mengenai studi Prabhat Jha dan tim-nya dapat dilihat di www.cghr.org 

Apakah Kita Sudah 100% Anti Rokok?

11apr 2

Masih tentang industri tembakau, Bronwyn King, CEO Tobacco Free Portfolio menceritakan bagaimana semua orang di Australia sebenarnya berperan dalam membesarkan bisnis tembakau tanpa disadari. Berawal dari pengalaman King dalam mengurus superannuation (dana pensiun wajib yang diberlakukan di Australia). Dari agen marketing yang menawarkan program dana pensiun tersebut, King baru mengetahui bahwa dana tersebut diinvestasikan ke perusahaan-perusahaan tembakau. King mencari tahu ke provider dana pensiun lainnya dan hasilnya sama saja, bahwa fund manager tersebut berinvestasi ke perusahaan yang terkait dengan tembakau. Empat dari 5 perusahaan papan atas yang menjadi sasaran investasi fund manager bergerak dalam industri tembakau, yakni: British American Tobacco, Imperial Tobacco Group, Phillip Morris dan Swedish Match Company.

Mengapa fund manager tersebut berinvestasi ke industri tembakau? Faktanya, karena di atas kertas perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang tembakau dan rokok memiliki track record yang baik dalam segi finansial, yakni menguntungkan dan akuntabel, sehingga hampir selalu konsisten menempati peringkat tertinggi sebagai perusahaan terbaik di dunia. Para fund manager mungkin mengetahui tentang risiko tembakau, tetapi tidak atau kurang peduli pada dampak jangka panjang dari investasi tersebut.

King memberikan poin-poin penting supaya kita sebagai praktisi kesehatan masyarakat dapat lebih tajam dan menohok dalam mempromosikan dampak buruk rokok kepada bidang lain dan bagi masyarakat sebagai investor. Pertama, rokok tidak dapat dikonsumsi dalam jumlah yang aman. Sebatang rokok pun per hari dapat meningkatkan risiko penyakit kronis. Kedua, regulasi terkait rokok sudah sangat banyak dan akan semakin banyak, sehingga ke depannya dapat lebih berisiko bagi bisnis. Ketiga, bisnis rokok menginternalisasi profit dan mengeksternalisasi risiko biaya jangka panjang. Perusahaan rokok menerima keuntungan yang sangat besar, tetapi kerugian akibat rokok misalnya: biaya pengobatan kanker, penyakit jantung dan morbiditas lainnya akibat rokok ditanggung oleh pemerintah, bahkan masyarakat. Dengan kata lain, meskipun investor seakan-akan mendapat keuntungan, investor (masyarakat) pun mengalami kerugian karena harus menanggung biaya kesehatan akibat rokok melalui premi asuransi. Terakhir, bisnis tembakau telah membahayakan keamanan pangan di beberapa wilayah karena tergusurnya pertanian tanaman pangan serta 60% pekerjanya masih anak-anak.

Jadi, bagi Anda yang memiliki investasi saham, reksadana, ataupun tabungan dana pensiun dan sejenisnya, tanya pada manajer Anda apakah investasi Anda bebas rokok

Hidup untuk Makan, atau Makan untuk Hidup?

Demaio instagram

Usia harapan hidup di seluruh dunia telah berlipat ganda sejak tahun 1900, dan salah satu faktor penyebabnya adalah makanan. Proporsi kelaparan telah turun sampai 50% sejak 1969. Dr. Alessandro Demaio dari Department of Nutrition for Health and Deveopment WHO menjabarkan bahwa makanan telah menjadi penyelamat hidup manusia—makanan untuk hidup. Tapi saat ini gaya hidup telah membalik menjadi hidup untuk makan. Contoh gampangnya adalah kebiasaan untuk mengabadikan dan mengunggah makanan ke sosial media. Demaio juga menyebutkan bahwa sebagian besar foto yang diunggah ke Instagram adalah foto makanan.

Tidak bisa dipungkiri bisnis makanan merupakan bisnis yang besar. Salah satu contoh untuk salah satu retail burger di Australia, keuntungan yang diperoleh adalah 5 milyar dollar di tahun 2016—yang berarti 200 dollar per penduduk Australia. Sama halnya dengan makanan junk food, bisnis minuman soda juga sangat menguntungkan karena modalnya murah, prosesnya mudah, dan masyarakat mau membayar cukup tinggi—bandingkan antara minuman bersoda dan air mineral yang menggunakan bahan baku yang sama tetapi harga minuman bersoda mencapai 3 kali air mineral.

Di balik ‘ongkos produksi’ yang murah dan keuntungan tinggi yang diraup raksasa bisnis makanan, terdapat ‘ongkos tidak langsung’ yang akan ditanggung oleh negara dalam bentuk biaya pelayanan dan perawatan kesehatan—sama halnya dengan kasus bisnis tembakau. Masyarakat pun secara tidak langsung ikut menanggung beban itu karena menjadi pembayar premi asuransi. Demaio mengilustrasikan 3 tingkat dari ‘cost’ akibat tembakau: 1) yang konsumen bayar secara sadar, yaitu harga soda tersebut yang relatif murah; 2) yang konsumen bayar di kemudian hari tanpa sadar, yakni apabila kita akhirnya terkena penyakit akibat minuman bersoda, dan; 3) yang dibayar oleh seluruh masyarakat sebagai upaya menanggung risiko biaya perawatan akibat penyakit yang disebabkan oleh minuman bersoda, yakni premi asuransi.

Bagaimana hal ini terus-menerus terjadi? Lagi-lagi sama hal-nya dengan bisnis tembakau, yakni karena adanya promosi yang jor-joran, mendistraksi dari situasi yang sebenarnya ada. Hal inilah yang memicu ide adanya sin tax—perlu diingat bahwa kata-kata ‘sin tax’ ini bisa sensitif dan cenderung menimbulkan penolakan, sebaiknya diramu menjadi “true pricing for product” atau biaya riil total. Produsen perlu ikut andil bertanggung jawab pada dampak biaya jangka panjang yang ditimbulkan. Kita perlu memperkuat bukti ilmiah di sini sehingga advokasi ke arah tersebut dapat segera terwujud.

Kunci utamanya: kebijakan, kebijakan dan kebijakan. Kita perlu kebijakan kesehatan yang kuat untuk menekan promosi dan peredaran produk makanan minuman yang kurang sehat serta promosi ke masyarakat mengenai risiko negatif sebagai dampak produk tersebut. Kita perlu kebijakan yang menguak tentang beban biaya yang seharusnya ditanggung oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Kita perlu kebijakan yang berbasis bukti untuk memperkuat proses advokasi.

Reporter: Likke prawidya Putri

  REPORTASE TERKAIT :

Reportase World Congress on Public Health – Hari 2

Plennary hari kedua mengusung tema Sustainable Development Goals dan tantangannya di berbagai belahan dunia. Sesi ini diisi oleh ahli dari Afrika, Pasifik serta representatif dari World Health Organization.

Permasalahan Kesehatan di Dunia

Colin Tukuitonga day 2Dimulai oleh Profesor Alex Ezeh, Direktur Eksekutif dari African Population and Health Research Center (APHRC) yang menunjukkan bahwa angka prevalensi dan insidensi penyakit di Afrika mengalami penurunan bermakna, meskipun tetap lebih tinggi dibandingkan dengan rerata penduduk dunia. Afrika mengalami tidak hanya double, triple, tetapi quadruple burden of disease yaitu: tingginya angka kematian ibu dan anak yang gagal mencapai target Millenium Development Goals (MDGs), beban penyakit menular yang masih tinggi terutama Malaria dan HIV/AIDS, kecelakaan lalu lintas dan beban penyakit tak menular termasuk kesehatan jiwa.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi ini yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk, bencana alam yang cukup sering terjadi, krisis pangan yang terus menerus terjadi akibat kemarau panjang, buruknya pengelolaan limbah, serta lemahnya sistem kesehatan. Tetapi yang cukup ironis adalah di saat media internasional menaruh perhatian pada bencana tanah longsor di Addis Ababa, ribuan penduduk Afrika meninggal setiap harinya karena pengelolaan limbah yang buruk. Ini adalah bukti di mana faktor lingkungan sebagai determinan kesehatan masih kurang diperhatikan.

Seperti hal-nya di Afrika, status kesehatan masyarakat di Pasifik pun mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir secara rerata, akan tetapi selalu berada jauh di belakang rerata negara-negara di dunia. Usia harapan hidup di Nauru, justru mengalami penurunan. Bertolak belakang dengan situasi Afrika yang sebagian besar masalah kesehatannya disebabkan oleh situasi dalam benua itu sendiri, permasalahan kesehatan di negara-negara Pasifik timbul karena situasi atau perilaku dari bagian dunia lainnya. “Wilayah Pasifik yang meliputi 1/3 bagian dari keseluruhan permukaan bumi dan didominasi wilayah perairan, saat ini mengalami ancaman besar dari climate change, tingginya polusi di wilayah perairan, dan overfishing, yang justru terjadi di wilayah lainnya tetapi dampaknya diderita oleh wilayah Pasifik”, ungkap Colin Tukuitange, Dirjen dari Secretary of Pacific Community.

Hal yang cukup ironis adalah dengan wilayah didominasi perairan, cakupan akses pada air bersih di wilayah Pasifik 40% lebih rendah dari seluruh penduduk di dunia. Masih terkait dengan faktor lingkungan, peningkatan permukaan serta tingkat keasaman air laut sebagai dampak dari climate change dapat mengancam keamanan pangan. Cuaca ekstrim yang juga dampak dari climate change, telah menyebabkan kerugian di negara-negara Pasifik yang dipengaruhi. Dalam kurun waktu 8 tahun terakhir, terjadi 8 bencana alam berskala nasional yang menyebabkan beban biaya 2.6% sampai 64% dari total GDP per tahun negara yang terkena.

Ilustrasi di kedua wilayah di atas, Afrika dan Pasifik, menunjukkan betapa tingginya pengaruh lingkungan pada pencapaian kesehatan masyarakat.

Maria Neira day 2Maria Neira, Direktur Department of Public Health and Environment World Health Organization, menegaskan bahwa polusi udara merupakan kegawatdaruratan kesehatan masyarakat saat ini. Data menunjukkan bahwa Polusi udara menyebabkan 3.5 juta kematian di tahun 2012 dan polusi udara dari kegiatan rumah tangga menyebabkan kematian lebih dari 4 juta kasus di tahun yang sama. 41% penduduk dunia masih menggunakan kayu bakar atau batubara atau materi padat lain untuk kegiatan memasak, yang berkontribusi pada tingginya polusi udara indoor. Tingginya polusi udara berkorelasi dengan tingginya prevalensi penyakit pernapasan.

Di samping masalah polusi udara, permasalahan lingkungan lain pun semakin tinggi. 23% beban penyakit di seluruh dunia dipengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung oleh masalah lingkungan. Perubahan iklim menyebabkan turunnya produksi pangan, serta tidak adanya akses air bersih dan sanitasi menyebabkan tingginya prevalensi penyakit yang ditularkan melalui air dan/atau makanan. 1 dari 3 penduduk perkotaan tinggal di wilayah kumuh.

5 SDGs saat ini sangat terkait dengan lingkungan: SDG 2 tentang malnutrisi, SDG 3 tentang kesehatan, pelayanan kesehatan dan dampak determinan pada status kesehatan, SDG 6 tentang akses pada air bersih dan sanitasi, SDG 7 tentang akses pada sumber energi modern, dan SDG 11 tentang polusi udara di perkotaan.

Solusi ke Depan

Maria memaparkan: “Mengurangi polusi udara, serta mengatasi permasalahan lingkungan yang berdampak pada kesehatan, memerlukan kolaborasi antara penggunaan clean energy, perbaikan perumahan, tatakota yang ramah lingkungan dan efisien, sarana transportasi yang rendah emisi, serta sektor industri dengan pengelolaan limbah yang baik”. Beberapa aspek yang akan menjadi fokus utama intervensi di Afrika telah sesuai dengan konsep yang yakni: menekan perkembangan wilayah kumuh, memperbaiki pengelolaan limbah, serta mengatasi permasalahan lingkungan.

Sementara itu di Pasifik, “Selama ini perhatian tersebar pada berbagai permasalahan kesehatan, tetapi kita justru melupakan hal dasar, yaitu akses pada air bersih”, tutur Colin. Ke depannya, perlu lebih selektif dan fokus pada satu intervensi supaya lebih besar daya yang dikeluarkan. “Usaha apapun untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Pasifik tidak akan bermakna tanpa intervensi untuk meminimalkan dampak climate change. Kita harus mendukung Paris agreement”, tutup Colin.

Demikian juga yang ditegaskan oleh Maria Neira, bahwa game changer dalam dunia kesehatan masyarakat saat ini adalah “Energy”. Saat ini sudah ada Paris agreement, convention Minamata, dan berbagai dokumen kesepakatan lainnya, tetapi belum terlaksana dengan optimal. Di samping itu, 97% budget untuk kesehatan dialokasikan pada healthcare atau upaya kuratif, hanya 3% yang dialokasikan untuk mendukung upaya promotif preventif.

Inilah saatnya kita mulai mempromosikan pentingnya lingkungan yang sehat untuk mencapai status kesehatan yang lebih baik. Kita perlu menggandeng sektor swasta untuk lebih banyak berinvestasi pada isu-isu preventif dari lingkungan seperti: sanitasi, industri yang ramah lingkungan, tatakota yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesehatan serta energi yang terbarukan.

Komunikasi Dr. Adang Bachtiar, PhD dengan Presiden WFPHA yang baru:

Dear Mr. Michael Moore
President of the WFPHA

It is nice to talk to you in the WCFPH venue today and thanks for the name card you gave me.

The world dialogue on oral health was very productive of many points:

  1. The global charter people’s health is the future for all health professions moving from just an autonomy of health providers to a significant roles of people to establish an autopoesis system ie a self perpetuating system to achieve a healthier life style.
  2. Indonesia has implemented the dental immunization and to the perception of audiences including Dr.Bettina of WFPHA, it is one example practice of the global charter.  We do hope further development of Dental immunization in other countries. In fact I’ve met several audiences who express their interest to have collaboration including from Australia.  Dr. Bettina expressed her interest that this Dental Immunization can be presented in WFPHA-WHO workshop in Geneve.
  3. One structural dilemma to achieve the Charter is mono loyalty mono health discipline with difficulties in interprofessional collaboration. I believe that WFPHA should take a serious action of this situation and move further from just inviting dental professionals in the Congress but also as a part of the WFPHA. In my country we are on that direction as a rainbow coalition.

Thanking you again to have an opportunity to meet you.

adang

Dr. Adang Bahtiar, PhD

Reporter: Likke prawidya Putri

  REPORTASE TERKAIT :

Reportase World Congress on Public Health – Hari 1

epi visible

We have voices, we have vision, it’s now time for action

Sesi pembukaan di hari pertama diisi oleh sederet akademia dan pemangku kebijakan di bidang kesehatan di Australia.
Profesor Helen Keleher, ketua dari kongres ini membuka dengan memberikan deskripsi dari kegiatan dalam 5 hari ke depan. Kemudian, diikuti oleh Michael Moore selaku Presiden dari WFPHA yang menjelaskan makna dari ‘voices, vision, action’ pada logo kongres ke 15 ini. Begitu banyak bukti-bukti penelitian yang ada dalam ranah kesehatan masyarakat, dari bukti-bukti yang ada kita mendapatkan satu idea atau nilai baru untuk diterapkan. Namun demikian, kendala utamanya adalah bagaimana menindaklanjuti atau melakukan ‘action’ dari hasil penelitian dan ide pemecahan masalah yang kita miliki.

Inti dari kesehatan masyarakat adalah solidaritas, ungkap Bettina Borusch. Bagus atau tidaknya program kesehatan masyarakat tampak dari bagaimana wanita dan grup minoritas menerima manfaat dari program tersebut. Solidaritas akan terwujud bila kita dapat mengajak pihak lain untuk bersama-sama mewujudkan suatu tujuan. Namun perlu diingat bahwa solidaritas bukan semata-mata mengajak pihak lain, sebagaimana pemerhati kesehatan mengajak lintas sektor untuk bersama-sama memperhatikan program kesehatan, tetapi juga memastikan bahwa lintas sektor atau pihak lain mendapatkan manfaat dari ajakan kita tersebut.

Pentingnya solidaritas dan mempertimbangkan semua pihak, khususnya masyarakat sebagai yang menikmati program dan kebijakan kesehatan. DeMichelle DeShong, CEO Australian Indigenous Governance Institute menceritakan pengalaman dalam membangun kesehatan masyarakat Aborigin dengan memperkenalkan konsep kemandirian. “Bukan self-government, tetapi self-governance”, ungkap DeShong. “Selama ini pemerintah memberikan dana untuk program tertentu untuk dikelola oleh masyarakat Aborigin, sebenarnya yang dibutuhkan bukan hanya dana tetapi kewenangan untuk memasukkan ide dan nilai budaya pada program yang ada”, lanjut DeShong lagi dalam sesi keynote speech.

Aksi Nyata Apa yang Benar-Benar ‘Nyata’?

Berbicara tentang aksi atau tindak lanjut nyata kebijakan kesehatan, sangat tergantung pada peran praktisi kesehatan masyarakat dalam meyakinkan pembuat kebijakan untuk menetapkan program tertentu. Melalui video conference, Tabaré Vasquez, Presiden Uruguay di periode ini, bertutur tentang keberanian Uruguay dalam mengambil aksi nyata mengurangi dampak buruk kesehatan akibat konsumsi tembakau. “Kanker merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui edukasi dan komunikasi; merupakan tugas kita (praktisi kesehatan masyarakat) untuk memberi edukasi tersebut”, Tabaré menegaskan di awal sesinya.

Perusahaan Phillip Morris menghasilkan pendapatan lebih tinggi dari 2 kali GDP Uruguay dalam setahun, sementara tembakau menjadi salah satu penyebab tingginya belanja kesehatan di Uruguay. Pemerintah Uruguay telah menetapkan berbagai larangan, antara lain: larangan merokok di dalam ruangan di fasilitas umum, larangan promosi tembakau dalam bentuk apapun di semua media televisi, radio dan internet – termasuk untuk jenis rokok elektrik, larangan sponsorship dari perusahaan rokok, menghilangkan jargon rokok tipe tertentu yang mengusung konsep ‘light’, ‘menthol’ atau sejenisnya, merancang kemasan rokok dengan peringatan yang signifikan, serta pemungutan pajak rokok. Saat ini prevalensi perokok usia 13 – 17 tahun telah turun menjadi kurang dari 10%, insidensi infark miokard akut berkurang 22%, serta Uruguay mendapat keuntungan lebih dari USD100 juta berkat kebijakan tersebut. Inilah contoh keberanian Uruguay dalam ‘mengalahkan’ kekuasaan rokok.

Dr. Ilona Kickbusch, Direktur the Global Health Centre Geneva mengungkapkan aksi nyata di Finlandia dalam mengatasi determinan sosial kesehatan, yakni dengan menetapkan Universal Basic Income (UBI). Dalam skema UBI ini, pengangguran di Finlandia akan menerima uang tunjangan sebesar 560 euro per bulan, tanpa meminta pengangguran tersebut untuk melakukan apapun (unconditional). Skema ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pekerjaan masyarakat karena masyarakat akan lebih memilih pekerjaan dengan jaminan yang baik, menurunkan angka kemiskinan, yang pada akhirnya akan meningkatkan status kesehatan. Skema ini kabarnya akan diperkenalkan di beberapa negara di Eropa, antara lain Belanda, serta India.

Tantangan dari Dunia Politik

Dalam pidatonya yang tajam, Martin McKee, Presiden World Federation of Public Health Association (WFPHA) menyebutkan betapa sejarah telah banyak menceritakan bagaimana dampak politik pada kesehatan. Kita harus menerima dan menyadari bahwa isu kesehatan masyarakat sangat sering berbau politik. Dalam pidatonya yang bertajuk “Enemies of the People: Public Health in an Era of Populist Politics” memaparkan bahwa seorang praktisi kesehatan masyarakat harus lihai memanfaatkan skills dan knowledge-nya untuk mencegah para politisi melakukan hal yang buruk untuk kesehatan masyarakat. Kebijakan dan regulasi yang ditetapkan oleh para politikus, akan secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi kesehatan masyarakat, keluarga dan individu.

Sebagai contoh Brexit dan dampaknya pada kesehatan. Data menunjukkan bahwa 10% dokter, 16% bidan dan 5% perawat di UK berasal dari Uni Eropa. 20% dokter bedah di UK memperoleh pendidikan di Uni Eropa serta lebih dari 300 juta euro dana penelitian kesehatan dari Uni Eropa research fund telah dialirkan untuk institusi-institusi di UK sejak 2014. Terjadinya Brexit dapat berarti memperkecil atau menutup berbagai peluang yang ada untuk mencapai kesehatan masyarakat yang baik di UK. Sebagai praktisi kesehatan masyarakat, kita memegang kunci dalam: memberi wawasan mengenai suatu isu kebijakan kesehatan kepada pemangku kebijakan, menunjukkan dan menggarisbawahi konsekuensi dari kebijakan tertentu, serta senantiasa memeriksa fakta-fakta yang ada dengan memanfaatkan kemampuan analisis epidemiologi serta skills lainnya. “Epidemiologi dapat menjadi alat yang kuat untuk mengatasi determinan politik untuk kesehatan. Epidemiologi membuat yang tak terlihat menjadi terlihat”, tutup McKee.

What’s next?

Dalam sesinya ‘A time for hope: pursuing a vision of a fair, sustainable and healthy world’, Sharon Friel dari School of Regulation and Global Governance ANU melihat bahwa situasi saat ini penuh dengan keputusasaan, tetapi masih ada celah peluang yang dapat menjadi pengharapan. Dunia ini penuh dengan permasalahan pelik: manusia membunuh buminya sendiri dan banyak permasalahan kesehatan yang disebabkan oleh manusia itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi yang seharusnya menjadi wahana mencapai tujuan malah menjadi tujuan itu sendiri. Namun demikian, kita perlu optimis bahwa ada peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan bersama, yang utama adalah pentingya ‘network of hope’. Network of hope, atau dapat juga disebut sebagai jejaring harapan, akan terbentuk saat sekelompok orang memiliki visi yang sama untuk memperbaiki keadaan. Pergerakan dan inisiatif yang diusung masing-masing kelompok tersebut akan semakin memperkuat dan memperlebar jejaring harapan. Satu aspek yang tidak boleh diabaikan yaitu kekuatan organisasi masyarakat sipil, yang dicontohkan dengan suksesnya program nutrisi global yang didominasi oleh organisasi masyarakat sipil dan donor. Menariknya, sangat sedikit peran dari sektor swasta dan industri. Di sinilah kekuatan praktisi kesehatan masyarakat untuk mampu menggerakkan masyarakat sendiri dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. “Kita adalah ‘penjual ide’ dan inovator yang kadang membuat kekisruhan. Evidence is power. Dengan analisis yang baik dari fakta yang ada, yang mengupayakan perubahan regulasi, merangkul berbagai aktor dengan jejaring yang terorganisir, maka kita akan mampu membuka pintu bersama-sama pada perubahan status quo di dunia kesehatan”, pesan Friel.

Reporter: Likke prawidya Putri

  REPORTASE TERKAIT :

 

 

Bedah Buku “The Republic of Indonesia Health System Review”

Bedah Buku
“The Republic of Indonesia Health System Review”

  Pengantar

Buku The Republic of Indonesia Health System Review telah dipublikasikan oleh Asia Pacific Observatory pada Maret 2017. Publikasi ini merupakan bagian dari seri Health System in Transition (HiT). Seri HiT memberikan informasi yang relevan untuk mendukung para pembuat kebijakan dan menjadi bahan analisis dalam pengembangan kesehatan. Publikasi ini diharapkan dapat digunakan untuk mempelajari secara detil berbagai pendekatan dalam isu manajemen institusi kesehatan, pembiayaan kesehatan, sistem kesehatan, implementasi berbagai program kesehatan, juga sebagai alat diseminasi informasi dan berbagi pengalaman diantara pembuat kebijakan dan peneliti di berbagai negara.

Buku The Republic of Indonesia Health System Review terdiri dari 7 bab utama yaitu Pendahuluan, Organisasi & Tata Kelola Kesehatan, Pembiayaan Kesehatan, Sumber Daya Manusia & Infrastruktur, Pelayanan Kesehatan, Reformasi Kesehatan, serta Penilaian Sistem Kesehatan. Berbagai materi dalam buku ini antara lain: gambaran komprehensif tentang perkembangan sistem kesehatan Indonesia selama 25 tahun terakhir, termasuk berbagai pencapaian di bidang kesehatan populasi dan berbagai tantangan dalam mengatasi meningkatnya penyakit tidak menular, hingga perkembangan program JKN serta disparitas yang masih tinggi.

Guna membahas berbagai materi dalam buku ini, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM menyelenggarakan Bedah Buku “The Republic of Indonesia Health System Review”.

  Tujuan

  1. Membahas buku “The Republic of Indonesia Health System Review”
  2. Menyoroti berbagai tantangan pada sistem kesehatan di Indonesia yang memerlukan analisis lebih mendalam


  Tempat

Kegiatan ini dilaksanakan pada :
Hari, Tanggal      : Selasa, 4 April 2017
Waktu               : 14.00 – 15.30 WIB
Tempat              : Ruang Teater, Lt.2 Gedung Perpustakaan FK UGM

Target Peserta

  1. Dosen-dosen FK UGM
  2. Mahasiswa/i S2 HPM FK UGM
  3. Konsultan dan Peneliti
  4. Dosen dan Mahasiswa/i dari luar FK UGM


  Agenda

Waktu Materi Pembicara
14.00-14.10 Pembukaan Moderator
14.10-14.25 Overview HiT

dr. Yodi Mahendradhata

14.25-14.40

Highlight Chapter 4

materi

dr. Tiara Marthias
14.40-14.50 Pembahasan

Prof. Laksono Trisnantoro

14.50-15.20 Sesi Diskusi
15.20-15.30 Penutupan Moderator

 

Reportase Bedah Buku: The Republic of Indonesia Health System Review

Buku The Republic of Indonesia Health System Review merupakan seri dari Health systems in transition yang diterbitkan oleh WHO-SEARO pada Maret 2017. Profil Health systems in transition (HiT) merupakan seri buku/laporan berbasis negara yang memberikan penjelasan rinci mengenai sistem kesehatan termasuk reformasi di bidang kesehatan serta pengembangan kebijakan kesehatan di negara tertentu. Setiap profil disusun oleh para ahli di suatu negara bekerja sama dengan editor internasional. Untuk mempermudah perbandingan antar negara, profil disusun menggunakan template yang sama serta selalu dilakukan update secara berkala. Template yang dimaksud memberikan pedoman rinci yang meliputi pertanyaan spesifik, definisi, serta contoh yang diperlukan untuk mengkompilasi profil.

Pada kesempatan ini, dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D sebagai salah satu tim penulis The Republic of Indonesia Health System Review menyampaikan bahwa Health systems in transition (HiT) merupakan seri laporan yang berusaha memberikan informasi yang relevan bagi para pembuat kebijakan serta analisis dalam rangka pengembangan sistem kesehatan. Buku yang terdiri atas 9 bab ini juga dapat digunakan untuk mempelajari beberapa pendekatan yang digunakan oleh organisasi, pelayanan dan pembiayaan kesehatan, serta peran aktor dalam sistem kesehatan. Melalui buku ini, pembaca dapat mempelajari kerangka kelembagaan, proses, isi, dan implementasi reformasi pelayanan kesehatan, termasuk tantangan yang dihadapi. Health systems in transition (HiT) juga merupakan alat untuk menyebarluaskan informasi tentang sistem kesehatan yang memungkinkan terjadinya pertukaran pengalaman antar pembuat kebijakan yang dapat membantu peneliti dalam bidang analisis kebijakan untuk melakukan komparasi antar negara.

Temuan utama The Republic of Indonesia Health System Review sebagaimana disampaikan oleh dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D yaitu terjadinya dinamika dalam sistem kesehatan di Indonesia disebabkan oleh transisi multidimensi yang sangat besar selama kurang lebih 25 tahun terakhir baik dalam bidang demografi, ekonomi, sosial, politik, serta epidemiologi. Selain itu, isu multiple burden disease (penyakit menular, penyakit degeneratif, masalah gizi, KIA, dan sebagainya) yang dihadapi Indonesia juga merupakan poin utama yang mendapat sorotoan. Isu kompleksitas pelayanan kesehatan publik-privat, layanan promotif-preventif dalam kebijakan JKN yang cenderung terabaikannya, belum terpenuhinya standar WHO dalam hal sumber daya fisik dan SDM kesehatan yang ditambah isu kesenjangan antar wilayah sebagai dampak sistem desentralisasi tak luput dibahas sebagai temuan utama dalam buku ini. Oleh sebab itu, ke depan pemerintah Indonesia dihadapkan pada beberapa tantangan yaitu penguatan sistem JKN supaya lebih efektif dan efisien termasuk isu akuntabilitas dan fraud, reorientasi pelayanan kesehatan dalam sistem kesehatan nasional yang pro terhadap penyakit degeneratif, optimalisasi health technology assessment, pemerataan dan ekuitas layanan kesehatan, integrasi sistem informasi kesehatan, serta kerja sama antara sektor publik dan privat.

Pada kesempatan bedah buku ini, dr. Tiara Marthias, MPH yang juga merupakan tim penulis The Republic of Indonesia Health System Review menyampaikan tentang kondisi sumber daya fisik dan sumber daya manusia kesehatan di Indonesia (bab 4). Disampaikan bahwa Indonesia telah mengalami peningkatan infrastruktur kesehatan tak terkecuali fasilitas kesehatan dasar dan rujukan dalam dua dekade terakhir. Tempat tidur rawat inap baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta serta puskesmas juga mengalami peningkatan. Meskipun demikian, rasio tempat tidur terhadap penduduk baik untuk puskesmas maupun rumah sakit masih berada di bawah standar negara lain di Asia-Pasifik. Selain itu, kondisi ini diperburuk oleh isu kualitas dan kesenjangan antar wilayah di Indonesia. Ditinjau dari aspek sumber daya manusia, Indonesia juga mengalami pertumbuhan SDM kesehatan dalam dua dekade terakhir yang diikuti pula oleh peningkatan rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk. Meskipun demikian, rasio dokter terhadap penduduk masih berada di bawah standar WHO. Selain itu, isu kesenjangan distribusi antar wilayah juga turut mewarnai kondisi ini. Kurang lebih 380 puskesmas tidak memiliki dokter dan sebanyak 430 kecamatan tidak memiliki puskesmas. Selain itu, perawat dan bidan juga dinyatakan masih mengalami kekurangan. Pada tahun 2014, masih dibutuhkan ribuan perawat dan bidan untuk ditempatkan di puskesmas.

Pada kesempatan yang sama Prof. Laksono Trisnantoro sebagai pembahas menyampaikan bahwa sistem kesehatan nasional saat ini tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah. Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem kesehatan nasional merupakan warisan dari zaman colonial, misalnya layanan kesehatan yang disediakan pihak swasta. Dahulu, banyak sekali fasilitas pelayanan kesehatan swasta yang berkembang pesat. Berbeda dengan negara lain yang dijajah bukan oleh Belanda, Inggris misalnya yang hampir seluruh pelayanan kesehatannya menjadi milik negara. Terkait dengan isu fasilitas publik-privat, disampaikan bahwa negara cenderung membebaskan pasar pelayanan kesehatan sejak krisis moneter 1997. Mekanisme pasar tersebut gagal, yang mana masyarakat miskin tidak mampu mengakses layanan kesehatan, dan kondisi ini sudah berjalan beberapa tahun semenjak kemerdekaan. Menariknya, ketika ada krisis ekonomi pemerintah dipaksa untuk mendanai masyarakat miskin, sehingga muncullah kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Masalahnya, dana yang ditujukan untuk masyarakat miskin justru diakses oleh non-miskin (adverse selection). Oleh sebab itu, terkait juga dengan isu ketidakadilan, itu kubus WHO perlu diperhatikan secara hati-hati, tidak serta merta dapat diterapkan di Indonesia tanpa adanya modifikasi (penyesuaian) dengan kondisi nasional. Perlu regionalisasi dalam konteks ini. Hal ini terkait dengan keterbatasan fasilitas antar wilayah di Indonesia.

Reporter: Dedik Sulistyawan

Workshop Strategi Penyusunan Agenda Kebijakan ke berbagai pihak: Eksekutif dan Yudikatif (1): Apakah akan Judicial Review ataukah Legislative Review

  Pengantar

Seperti yang diketahui bersama, menurut Sabatier & Jenkins Smith (1993) dan Buse (2004) bahwa kebijakan dibuat dan dilaksanakan melalui tahap agenda setting, formulasi kebijakan dan adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Proses ini terlihat linear, tetapi dalam kenyataannya tidak linear bahkan ‘muddling through’ (Lindblom, 1959). Lembaga peradilan yang melakukan judicial review hanya bertindak sebagai negative legislator. Artinya, lembaga peradilan hanya bisa menyatakan isi norma atau keseluruhan norma dalam peraturan perundang-undangan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Mereka tidak boleh menambah norma baru ke dalam peraturan perundangan yang di-judicial review. Dalam workhop kali ini akan bersama-sama mendiskusikan strategi penyusunan agenda kebijakan ke berbagai pihak.

  Tujuan

  1. Membahas strategi penyusunan agenda kebijakan JKN
  2. Membahas perbedaan judicial review dan legislative review
  3. Membahas peran judicial review dan legislative review dalam menyusun agenda kebijakan, kaitannya dengan Prolegnas

  Peserta

  1. Anggota Community of Practice JKN dan Kesehatan
  2. Peneliti, praktisi, dan akademisi

  Agenda

Diskusi ini akan diselenggarakan pada hari Jumat, 31 Maret 2017; pukul 13.30 – 15.00 WIB; bertempat di Ruang Leadership, Gedung IKM Lama lantai 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Bapak/ Ibu/ Sdr yang tidak dapat hadir secara tatap muka dapat tetap mengikusi diskusi webinar melalui link registrasi berikut:

https://attendee.gotowebinar.com/register/9182556347419898881  
Webinar ID: 278-489-371

Arsip diskusi bersama Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN dapat diakses selengkapnya melalui website http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/  dan website http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 

Pemateri

  1. Shita Dewi, Ph.D
  2. Dosen Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada

Pembahas

  1. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D
  2. Bagian hukum – BPJS Kesehatan Pusat


  Susunan Acara

Waktu Materi Pemateri/Pembahas
13.00-13.10  Pembukaan Moderator
13.10-13.30 

Sesi 1:

Strategi Penyusunan Agenda Kebijakan JKN

Shita Dewi, PhD

materi

13.30-13.50 

Sesi 2:

Peran judicial review dan legislative review dalam menyusun agenda kebijakan JKN

Rimawati, SH., M.Hum

Dosen Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada

materi

13.50-14.20 

Sesi 3:

Pembahasan

Pembahas

Rizzky Anugerah

BPJS Pusat: Kadep M. Regulasi BPJS Kesehatan

materi

14.20-14.50  Diskusi/ Tanya-Jawab Pambahas & Pemateri
14.50-15.00  Penutup Moderator


  Informasi dan Pendaftaran

Maria Lelyana (Lely)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting), 081329760006 (HP/WA)
Email: [email protected]
Website:
http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/ , http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 

 

 

 

 

Seminar Aspek Pendapatan Dokter dalam Jaminan Kesehatan Nasional

  Pengantar

Masih beredar pemberitaan bahwa sejumlah dokter dan tenaga kesehatan lain tidak puas terhadap sistem dan besaran pembayaran yang diterapkan dalam program JKN. Menurut Ajeng dalam detikHealth (2014), pasien tambah banyak saat JKN, pendapatan dokter seharusnya bisa meningkat. Di lain sisi, kemampuan dan kesehatan para tenaga medis juga tetap harus diperhatikan. Beberapa diskusi Community of Practice masih menengarai bahwa pembayaran tenaga kesehatan yang berjalan saat ini masih berdampak kecil terhadap peningkatan kinerja fasilitas dan individu. Insentif hanya sekedar meningkatkan kedisiplinan staf dari segi kehadiran dan jam kerja, namun belum ditemukan bukti yang kuat mengenai peningkatan motivasi dan kualitas kerja.

  Tujuan

  1. Membahas sistem pembiayaan dokter dalam JKN
  2. Membahas aspek pendapatan dokter dalam JKN

  3. Membahas peran strategic purchasing dalam JKN

  Peserta

  1. Anggota Community of Practice JKN dan Kesehatan
  2. Peneliti, praktisi, dan akademisi

  Agenda

Diskusi ini akan diselenggarakan pada hari Senin, 17 April 2017; pukul 13:00 – 15.00 WIB; bertempat di Ruang Leadership, Gedung IKM Lama lantai 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Bapak/ Ibu/ Sdr yang tidak dapat hadir secara tatap muka dapat tetap mengikusi diskusi webinar melalui link registrasi berikut: https://attendee.gotowebinar.com/register/8367047474122522627
Webinar ID: 402-167-475

Arsip diskusi bersama Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN dapat diakses selengkapnya melalui website http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/  dan website http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 

Pemateri

  1. dr. Likke Prawidya Putri, MPH
  2. Dr. drg. Yulita Hendrartini, M.Kes, AAK

Pembahas

  1. P2JK Kemenkes
  2. BPJS Kesehatan pusat 


  Susunan Acara

Waktu Materi Pemateri/Pembahas
13.00-13.10  Pembukaan Moderator
13.10-13.30 

Sesi 1:

Aspek pendapatan dokter dalam Program JKN

dr. Likke Prawidya Putri, MPH 
13.30-13.50 

Sesi 2:

Sistem pembiayaan dan peran strategic purchasing dalam program JKN

Dr. drg. Yulita Hendrartini, M.Kes, AAK
13.50-14.20

Sesi 3:

Pembahasan

Pembahas

  • P2JK Kemenkes
  • BPJS Kesehatan pusat
14.20-14.50  Diskusi/ Tanya-Jawab Pambahas & Pemateri
14.50-15.00  Penutup Moderator


  Informasi dan Pendaftaran

Maria Lelyana (Lely)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting), 081329760006 (HP/WA)
Email: [email protected]
Website:
http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/ , http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 

 

 

 

 

Workshop: Protokol Penelitian Monev JKN – Tahap 2

  Pengantar

Sesi ini merupakan kelanjutan dari workshop sebelumnya yang memfokuskan pada protokol penelitian monev JKN. Minggu ini dirancang untuk para peserta agar bisa menuliskan Bab I Pendahuluan dengan beberapa evidence data atau bukti-bukti atas pelaksanaan JKN dalam 3 tahun terakhir. Hal tersebut dapat memperkuat latar belakang mengapa evaluasi kebijakan JKN penting dilakukan. Contoh keberhasilan negara lain dalam suatu kebijakan juga dapat memperkuat pelaksanaan evaluasi kebijakan, termasuk beberapa hasil kajian literatur.

  Tujuan

  1. Mendiskusikan latar belakang evaluasi kebijakan JKN
  2. Mendiskusikan rumusan masalah dan tujuan dalam konteks evaluasi kebijakan JKN

  Peserta

  1. Anggota Community of Practice JKN dan Kesehatan
  2. Peneliti, praktisi, dan akademisi

  Agenda

Diskusi ini diselenggarakan pada hari Selasa, 28 Maret 2017; pukul 13:00 – 15.00 WIB; bertempat di Ruang Leadership, Gedung IKM Lama lantai 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. 

Arsip diskusi bersama Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN dapat diakses selengkapnya melalui website http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/  dan website http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 

Pemateri

  1. dr. Likke Prawidya Putri, MPH
  2. Muhammad Faozi Kurniawan, SE. Akt., MPH


  Susunan Acara

Waktu Materi Pemateri/Pembahas
13.00-13.10  Pembukaan Moderator
13.10-13.30 

Sesi 1:

Latar Belakang Evaluasi Kebijakan Program JKN

dr. Likke Prawidya Putri, MPH 
13.30-13.50 

Sesi 2:

Rumusan Masalah dan Tujuan Protokol Monev JKN

Muhammad Faozi Kurniawan, SE. Akt., MPH

materi

13.50-14.20

Sesi 3:

Pembahasan

Pembahas

  • P2JK Kemenkes
  • BPJS Kesehatan
14.20-14.50  Diskusi/ Tanya-Jawab Pambahas & Pemateri
14.50-15.00  Penutup Moderator


  Informasi dan Pendaftaran

Maria Lelyana (Lely)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting), 081329760006 (HP/WA)
Email: [email protected]
Website:
http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/ , http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/