Seminar Kerjasama Pusat dan Daerah dalam Jaminan Kesehatan dalam Perspektif Keadilan Sosial

  Pengantar

Kondisi missmatch anggaran JKN mengundang konsekuensi bahwa peran dalam pengelolaan dana JKN tidak hanya dari pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah. Bahkan ada wacana agar penyelenggaraan JKN diberikan seluruhnya ke pemerintah daerah, sehingga pemerintah pusat hanya berwenang dalam hal manajemen pengawasan. Banyak faktor yang patut dipertimbangkan dalam menemukan formulasi yang tepat mengenai pembagian tugas antara pemerintah daerah dengan pusat. Sistem desentralisasi sekarang membuat daerah diharapkan turut mengawal pembiayaan kesehatan di daerahnya bersama-sama dengan BPJS Kesehatan. Tentunya diharapkan ada keselarasan peran dengan hasil yang optimal bagi upaya penyelenggaraan kesehatan masyarakat, termasuk dalam perspektif keadilan sosial.

  Tujuan

  1. Membahas peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam program JKN
  2. Membahas kerja sama pusat dan daerah dalam perspektif keadilan sosial di era JKN
  3. Membahas tantangan dan peluang formulasi pembagian peran pusat dan daerah

  Peserta

  1. Anggota Community of Practice JKN dan Kesehatan
  2. Peneliti, praktisi, dan akademisi

  Agenda

Diskusi ini akan diselenggarakan pada hari Rabu, 22 Maret 2017; pukul 13.00 – 15.00 WIB; bertempat di Ruang Leadership, Gedung IKM Lama lantai 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. 

Arsip diskusi bersama Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN dapat diakses selengkapnya melalui website http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/  dan website http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 


Pemateri

  1. M. Faozi Kurniawan, SE, Akt., MPH
  2. dr. Stefanus Bria Seran (Bupati Malaka)

Pembahas

  1. Asih Eka Putri (DJSN)
  2. Agus Priyanto (Bapel Jamkesos DIY)

  Susunan Acara

Waktu Materi Pemateri/Pembahas
 13.00-13.10 Pembukaan Moderator
13.10-13.30

Sesi 1:

Peran pusat dan daerah dalam program JKN : tantangan dan peluang formulasi pembagian peran

M. Faozi Kurniawan, SE, Akt., MPH 

materi

13.30-13.50

Sesi 2:

Peran Pemda Kab. Malaka dalam mewujudkan keadilan soaial untuk masyarakat Kab. Malaka melalui program JKN

dr. Stefanus Bria Seran 
13.50-14.20

Sesi 3:

Pembahasan

Pembahas

  • BPJS Kesehatan
  • DJSN
  • Jamkesos DIY
14.20-14.50 Diskusi/ Tanya-Jawab Pambahas & Pemateri
14.50-15.00 Penutup Moderator

  Informasi dan Pendaftaran

Maria Lelyana (Lely)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting), 081329760006 (HP/WA)
Email: [email protected] 
Website:
http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/ , http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 

 

Reportase Seminar Annual Scientific Meeting 2017: Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba

Resistensi sendiri berarti kemampuan mikroba untuk bertahan hidup dari antimikroba, sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis. dr. Slamet, MHP menyampaikan pidato Menteri Kesehatan yang antara lain berisi: resistensi terjadi karena peresepan yang tidak sesuai dosis,serta tidak patuhnya pasien dalam konsumsi antibiotik. Slamet menyatakan pada Rakerkesnas 28 Februari 2017, presiden Joko Widodo menyatakanbahwa diperlukan kerja sama lintas sektor untuk menghadapi resistensi antimikroba ini.

dr. Tri Hesty Widyastuti, MPH, Dirjen Yankes Kemenkes menyatakan salah satu penelitian yang sedang dilakukan mengungkapkan banyak dokter spesialis yang melakukan pemborosan penggunaan antibiotik. Hesty menekankan mengubah perilaku masyarakat agar tidak dengan mudah mengkonsumsiantibiotikmerupakan tantangan tersendiri. Bagaimana kabar riset di industri farmasi untuk menghasilkan antibiotik yang lebih kuat? Prof. dr, Iwan Dwiprahasto, M. Med, Sc, PhD menyatakan industri farmasi melihat riset dan produksi antibiotik kurang menjanjikan, karena untung yang minim dan lamanya balik modal.dr. Budiono Santoso, SpFK, PhD (spesialis farmakologi/perwakilan Kagama Kedokteran) menyatakan tingkat konsumsi dan resistensi antibiotik, makin tinggi konsumsi antibiotik, makin tinggi resistensinya. Budiono menambahkan mereka siap melakukan think tank dengan Kemenkes untuk menghindari kegagalan program.

Dr. Ir. Penny Kusumastuti Lukito, perwakilan Kepala BPOM menyampaikan materi Kebijakan Pengawasan Peredaran Antimikroba di Indonesia. Produsen bertanggung jawab dan masyarakat dapat melindungi diri. BPOM memiliki sistem monitoring efek samping obat (MESO). Alur kerja BPOM antara lain meliputipengawasan mulai dari pre market, lalu obat diedarkan, sembari melakukan pengawasan produksi, uji mutu, dan penilaian promosi. Ketika obat telah beredar, BPOM mengawasiproduksi dan distribusinya. Fokus utamakerja BPOM ialah sampling dan pengujian.

Notulis: Wiwid

{jcomments on}

The Impact of public health insurance on healthcare utilisation in indonesia

Evaluasi kebijakan Universal Health Coverage yang dikelola BPJS Kesehatan efektif sejak tahun 2014 yang dilakukan Darius Erlangga (PhD candidate dari Departemen of Health Science, University of York) adalah yang pertama dalam literatur kebijakan kesehatan Indonesia. Paper-nya mencoba mengeksploitasi keunggulan data panel dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) yang diambil secara representatif di 13 provinsi di seluruh Indonesia.

Dataset ini memiliki variabel kesehatan yang komprehensif, dan terlebih diambil secara longitudinal, sehingga perubahan individual antar waktu dapat ditangkap. Dengan menggunakan IFLS 4 yang diambil di tahun 2007 sebagai baseline, paper ini melihat efek BPJS Kesehatan pada IFLS 5 yang diambil di akhir tahun 2014 -Maret 2015. Kelompok treatment dibagi menjadi 2 : 1) Grup volunteer yakni yang pada tahun 2007 belum memiliki asuransi, pada tahun 2014 sudah ter-cover; 2. Grup subsidi didefinisikan sebagai kelompok yang tidak memiliki asuransi di tahun 2007 namun masuk dalam skema Jamkesmas di tahun 2014. Sementara kelompok control didefinisikan sebagai kelompok yang tidak ter-cover asuransi apapun di tahun 2007 dan tahun 2014.

Strategi identifikasi pada paper ini meliputi teknik estimasi non parametric dengan Propensity Score Matching (PSM) yang dipilih karena dua hal : Pertama, distribusi variabel yang tidak normal dan Kedua PSM mengurangi bias dari variasi faktor-faktor yang observable. Teknik ini kemudian digabungkan dengan Difference-in-Difference (DiD) yang mengeliminasi bias yang mungkin muncul dari hal-hal yang tidak observable semisal variasi dari efek waktu dan juga variasi individual.

Hasil dari estimasi mendapatkan beberapa indikator yang melihat utilisasi layanan kesehatan signifikan secara statistik. Efek dari adanya BPJS Kesehatan meningkatkan peluang untuk penambahan frekuensi kunjungan rawat jalan dan juga rawat inap (p<0.01) pada kelompok yang tergabung dalam skema volunteer (PBPU). Sementara efek pada kelompok yang disubsidi tidak signifikan (secara statistik). Paper ini juga melihat dampak pada kelompok sosioekonomi tertentu yang dibagi menjadi secara quintiles.

Temuannya sesuai dengan prediksi teori mikroekonomi, quintile ke-5 (yang relatif paling kaya) paling mungkin (secara probabilitas) meningkatkan jumlah kunjungannya untuk mendapat layanan kesehatan. Secara implisit ada kemungkinan terjadinya moral hazard, hanya saja beberapa catatan perlu digarisbawahi. Pertama, peningkatan kunjungan belum berarti welfare loss, namun bisa juga liquidity effect (Chetty et al 2013), dan perlu dilihat apakah ada “Good Moral Hazard” (Argumen Nyaman). Kedua, bisa juga grup yang disubsidi secara umum lebih sehat dibandingkan grup yang mendaftarkan diri secara sukarela. Secara umum, riset untuk melihat dampak adanya BPJS Kesehatan masih perlu terus dieksplorasi, dan akan sangat baik jika menggunakan data level pasien dari BPJS Kesehatan.

Giovanni van Empel
Untuk korespondensi dengan Darius Erlangga silahkan kirim email ke [email protected] 

 

Notulensi Workshop Protokol Penelitian Monev JKN 2017

Workshop kali ini mengambil topik tentang protokol penelitian monev JKN 2017. Pada workshop ini dibagi pada dua sesi, yaitu sesi pengantar yang akan dibahas oleh Prof Laksono dan sesi protokol monev JKN akan dibahas oleh Pak Faozi dan Ibu Likke. Untuk sesi pengantar membahas tentang struktur tim dan metode protokol penelitian serta brainstroming draft proposal evaluasi JKN. Pada seminar sebelumnya telah dibahas bahwa memang pada tahun 2017 diperlukan adanya evlauasi terhadap implementasi kebijakan JKN mengingat bahwa kebijakan ini telah memasuki tahun ketiga.

Prof Laksono mengawali diskusi dengan menjelaskan evaluasi dari siklus kebiijakan. Evaluasi kebijakan menjadi salah satu dari siklus tersebut. Hal inilah menjadi acuan dari monev JKN 2017 ini, serta berbagai penelitian-penelitian sebelumnya yang dijadikan sebagai sumber evidence based. Pada penelitian ini juga tidak dilakukan sendiri, namun dengan mengajak berbagai universitas dan instansi terkait yang ingin terlibat. Sehingga pada akhirnya nanti, monitoring dan evaluasi ini dapat dijadikan sebagai rekomendasi bagi policy maker dalam pengambilan keputusannya. Monev JKN ini juga tidak menutup kemungkinan akan mengaitkan dengan kebijakan mutu pelayanan, karena bagaimanapun JKN ini tidak dapat terlepas dari quality health care, misal Prof Laksono membahas lanjut bahwa dapat ditinjau mutu dari setiap daerah ataukah tentang fraud dll ataukah penetapan premi.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan dalam pengambilan keputusan. Untuk menguatkan hal tersebut dibutuhkan sistem lobby dan advokasi yang telah dibahas pada webinar sebelumnya. Dimana dengan mengajak para terkait yang terlibat sejak dari awal seperti universitas dan institusi. Namun, untuk keputusan akhir tetap dikembalikan kepada policy maker. Masyarakat pesisir atau 3T juga menjadi poin penting dalam penelitian ini, tentu saja dibutuhkan kerjasama dengan institusi-institusi setempat.

Beliau juga membahas lebih lanjut bahwa evaluasi terdiri sumatif dan formatif, dimana sumatif dilakukan di akhir kebijakan sedangkan formatif dilaksanakan pada saat implementasi kebijakan. Sehingga pada monev ini lebih melihatnya secara keseluruhan atau komprehensif, karena bagaimanapun setiap daerah memiliki karakter masing-masing. Daerah yang satu tentunya berbeda dengan daerah yang lainnya.

Prof Laksono juga menekankan bahawa pada hari ini masih membahas brainstorming protokol penelitian, minggu selanjutnya akan membahas tentang protokol penelitian, jadi sangat terbuka bagi universitas-universitas dan institusi terkait serta mahasiswa yang ingin bekerjasama dan ikut terlibat.

Selanjutnya pada sesi kedua membahas tentang protokol penelitian monev JKN 2017 yang dibahas oleh Bapak Faozi dan Ibu Likke. Diawali Bapak Faozi menjelaskan bahwa telah banyak penelitian-penelitian terdahulu tentang JKN, tentu hal ini membantu sekaligus menjadi referensi dalam penelitian ini. Kemudian Ibu Likke melanjutkan bahwa hari ini hanya brainstorming seperti yang dikatakan oleh Prof Laksono tadi. Monitoring dan evaluasi merupakan dua hal yang berbeda yang perlu kita pahami sebelumnya. Monitoring lebih kepada melihat atau memotret pada saat implementasi kebijakan, sedangkan evaluasi lebih kepada apakah kebijakan tersebut telah mencapai tujuan/sasaran. Banyak teori yang membahas tentang evaluasi kebijakan, salah satunya yaitu teori William Dunn. William dunn menjelaskan bahwa terdapat 6 (enam) indikator evaluasi kebijakan yaitu, effectiveness, efficiency, adequacy, equity, responsiveness, dan appropriateness.

Adapun Sasaran Jaminan Kesehatan Nasional yang terdapat di roadmap JKN yang diterbitkan oleh DJSN, dimana terdapat 8 sasaran yang akan dicapai pada tahun 2019, yaitu

  1. BPJS Kesehatan beroperasi dengan baik.
  2. Seluruh penduduk Indonesia mendapat jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan.
  3. Paket manfaat medis dan non medis sudah sama, tidak ada perbedaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
  4. Jumlah dan sebaran fasilitas pelayanan kesehatan sudah memdai untuk menjamin seluruh penduduk memenuhi kebutuhan media mereka.
  5. Semua peraturan pelaksanaan telah disesuaikan secara berkala untuk menjamin kualitas pelayanan yang memadai dengan harga keekonomian yang layak.
  6. Paling sedikit 85% peserta menyatakan puas, baik dalam layanan di BPJS maupun dalam layanan di fasilitas kesehatan yang dikontrak BPJS.
  7. Paling sedikit 80% tenaga dan fasilitas kesehatan menyatakan puas atau mendapat pembayaran yang layak dari BPJS.
  8. BPJS dikelola secara terbuka, efisien, dan akuntabel.

Ibu like dan Bapak Faozi juga menegaskan bahwa penelitian ini tidak hanya terfokus pada teori Willian Dunn dan 8 sasaran JKN tersebut, hal ini hanya memberikan gambaran awal dalam menyusun draft proposal dan untuk selanjutnya tetap diserahkan kepada para peneliti yang tertarik untuk ikut dalam mengembangkan penelitian ini. Penyusunan draft proposal akan dibahas pada pertemuan-pertemuan selanjutnya seperti desain penelitian, teori, konsep, instrumen dll.

Notulis : Sri Fadhillah, SKM.

{jcomments on}

Reportase hari kedua Konferensi Australasian Aid 2017

Oleh: Shita Listyadewi

Hari kedua diisi dengan beberapa sesi paralel dan dua sesi panel. Berikut adalah catatan dari sesi panel.

Private Sector Innovation

Rukmani Gounder, Massey University
Ross Hutton, Shared Sky Pty Ltd
Juliet Willetts, University of Technology Sydney
Stephanie Copus-Campbell, Oil Search Foundation

juliett

Sesi ini membahas beberapa inovasi public private partnership dan peran donor.
Program Public-Private Partnership (PPP) dikembangkan dalam program Malaria, dengan tujuan utama untuk eliminasi Malaria pada 2030. Di Papua Nugini, program ini dikembangkan dengan berbagai skema:

Skema 1: dalam assessment awal, pihak yang bekerjasama adalah:

  • World Vision
  • Shared Sky
  • Transfield Services
  • Provincial health Authority

Skema 2: dalam penyediaan jasa, pihak yang bekerjasama adalah:

  • Shared Sky
  • Bougainville Health Communities
  • Departement of Health
  • DFAT

Selain itu, dibentuk pula aliansi dengan antara Provincial Health Authority dengan para pendonor, misalnya perusahaan pertambangan, perkebunan sawit, dan juga Australian Doctor International.

Dalam kerjasama PPP ini, faktor yang paling penting adalah komitmen dari Menteri Kesehatan, Gubernur, Kepala Distrik dan juga Parlemen. Namun juga diperlukan kemampuan administratif yang baik karena kerja sama ini melibatkan banyak pihak sehingga harus jelas dari awal siapa yang mengorganisir apa. Selain itu harus ada pembagian yang jelas mengenai kontribusi (financial dan in-kind) dan bahwa setiap kontribusi harus diakui bersama.

Beberapa kegiatan yang dilakukan pada saat assessment awal, adalah melakukan semacam audit berikut:

  • National Health Standards Survey
  • Drug and Diagnostic Supply Chain review
  • Clinical Case Management Review
  • Vector Control Assessment
  • Health Village Health Wards Programs

Kerjasama dengan Shared Sky memungkinkan dipetakannya secara detil (by house) data vektor malaria, pasien, dan juga lokasi persis dari faskes terdekat.
Bahasan berikutnya adalah kerja sama pemerintah dengan dalam pelayanan air bersih dan sanitasi. Penelitian ini dilakukan di Indonesia, Vietnam dan Timor Leste.

Beberapa hambatan melakukan PPP adalah:

  • Fungsi regulatory yang sangat kompleks dan kadang memunculkan conflict of interest
  • Membutuhkan insentif bagi pemerintah lokal untuk bertindak
  • Menarik minat bagi beberapa kegiatan yang memiliki marjin rendah bagi sektor swasta.

Namun tantangan terbesar ternyata adalah:

  • Lack of constitutent demand untuk program sanitasi. Dana yang rendah untuk air bersih dan sanitasi, sebagian besar dialokasikan untuk perubahan perilaku tetapi tidak untuk mendorong kewirausahaan pihak swasta untuk dapat mendukung pemerintah. Akibatnya pihak swasta lebih banyak berinvestasi untuk sektor-sektor lain.
  • Persepsi negatif antara satu sama lain: di pihak pemerintah, maupun di pihak swasta.

Pengalaman Oil Search Foundation di Papua Nugini menunjukkan bahwa setelah pemerintah mau bekerjasasama dengan swasta di sebuah distrik, ternyata hal ini menghasilkan hal yang baik, yaitu:

  • Mempekerjakan dokter dan tenaga perawat melalui skema volunteering
  • Memperkerjakan staf eks-MSF sampai pemerintah dapat merekrut sendiri tenaga tetap
  • Merekrut 180 staf dalam waktu 3 bulan
  • Membangun sistem untuk Performance-based Contract
  • Merenovasi fasilitas dan mengisi layanan obat dan BMHP
  • Menyediakan air bersih untuk bangsal dan klinik
  • Membuka bangsal TB
  • Merenovasi bangsal, dan membangun bangsal khusus untuk anal
  • Menyediakan layanan Family Support

Apa yang dapat dipelajari dari sesi ini bagi sektor kesehatan adalah besarnya potensi kerja sama antara pemerintah dengan swasta untuk sektor kesehatan di Indonesia yang selama ini belum banyak dilirik. Hal ini kemungkinan karena “kesehatan” dianggap sebagai “public goods” sementara pihak swasta dianggap sebagai pihak yang komersial, sehingga pihak swasta dianggap sebagai “outsider” dalam dialog-dialog pembangunan kesehatan. Persepsi ini harus diubah, dan pemerintah harus mulai menyadari pentingnya peran dan potensi sektor swasta untuk bersama-sama mencapai tujuan sektor kesehatan. Pihak swasta juga perlu mendapat dorongan dan bantuan dari pemerintah untuk dapat berkembang lebih baik lagi. Jika pihak swasta dapat berkembang dengan baik, maka mereka dapat berkontribusi lebih banyak dalam hal penyediaan layanan kesehatan yang lebih luas dan lebih bermutu.

Plenary session: The humanitarian system in crisis

Robin Davies, Associate Director, Development Policy Centre, ANU
Adam Kamradt-Scott, Associate Professor, University of Sydney
Phoebe Wynn-Pope, Director, International Humanitarian Law and Movement Relations, Australian Red Cross
Paul McPhun, CEO, Médecins Sans Frontières Australia
Jamie Isbister, First Assistant Secretary, Humanitarian, NGOs and Partnerships Division, DFAT

humani

Hampir 10% dari seluruh dana bantuan development partner biasanya dialokasikan untuk kemanusiaan. Walaupun demikian, masih ada banyak hal yang harus diatasi untuk mendorong dana untuk humanitarian, yaitu:

  • Bagaimana “berpindah” dari sekedar pemberian bantuan (misal: feeding hunger) menjadi lebih solusi yang bersifat ‘local’ (ending hunger)
  • Bagaimana menggalang komitmen untuk krisis konflik yang bersifat multi years
  • Bagaimana humanitarian act harus memiliki desain yang komprehensif untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa, dan harus memiliki kejelasan tentang bagaimana koordinasi dilakukan

MSF melihat banyak organisasi humanitarian baru justru gagal dalam hal:

  • Mendahulukan tujuan core humanitarian dalam situasi konflik demi “menjaga keamanan staf”
  • Mendahulukan kepentingan humanitarian dalam situasi konflik dan bukan hanya mencari situasi-situasi yang “nyaman” karena akses lebih mudah atau biayanya lebih rendah

Apa yang dapat dipelajari dari sesi ini bagi sektor kesehatan adalah sistem kesehatan harus memiliki kemampuan untuk menangani situasi krisis dan situasi konflik secara terstruktur. Hal yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk mengidentifikasi sumber bantuan dan mengkoordinasikan bantuan secara baik.

Reportase Konferensi Australasian Aid 2017

Acara dibuka oleh Menteri Luar Negeri, Julie Bishop, yang menggarisbawahi seberapa besar bantuan Australia untuk sektor pengembangan internasional, dan mengapa ini merupakan hal yang penting untuk Australia. Beberapa fokus prioritas bantuan adalah mengenai pendidikan, perlindungan untuk wanita dan anak-anak di masa krisis, pengungsi, bencana alam, inovasi dan tentu saja kesehatan. Khusus tentang kesehatan, beberapa fokus utama adalah kebijakan kesehatan regional terkait HIV/AIDS, TB Malaria, akses ke air bersih, Mobile Supply, KB dan kesehatan reproduksi, dll. Beberapa hal baru yang menjadi fokus baru adalah pengembangan individual depriviation index dan pelibatan sektor swasta.

Acara hari ini berisi beberapa panel dan beberapa sesi parallel. Berikut adalah catatan dari beberapa sesi hari ini.

 

Strategies for enhancing state capability for implementation 

(Michael Woolcock, Lead Social Development Specialist, World Bank and Lecturer in Public Policy, Harvard University)

woolcock

Keberhasilan dalam pencapaian target-target tertentu juga mengandung implikasi bagi pemerintah. Misalnya, dengan semakin tingginya angka harapan hidup berarti pemerintah harus meningkatkan kemampuannya untuk menyediakan layanan kesehatan lebih lama untuk kelompok usia tertentu.

Ini juga berarti pemerintah harus dapat mengumpulkan pendapatan dengan lebih efektif dan mengalokasikannya secara efisien untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar. Artinya, semakin maju suatu Negara, semakin besar tanggungjawabnya dan semakin besar kebutuhannya untuk dapat merespon kemajuan tersebut.

Banyak investasi diberikan untuk membangun kemampuan perencanaan dan kebijakan berbasis bukti, namun sebenarnyayang penting adalah bukan sekedar seberapa baik kebijakan dapat dibuat, namun seberapa besar kemampuan kita untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut dan mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan semakin kompleksnya situasi yang dihadapi, kita selalu mendapat daftar berbagai isu baru yang harus dihadapi. Dalam banyak hal kita menghadapi tuntutan untuk dapat memenuhi fungsi dan peran baru yang sebelumnya tidak pernah dilakukan dan institusi kita tidak dipersiapkan atau dibangun untuk memenuhi fungsi dan peran tersebut.

Namun, bahkan setelah beberapa konsep tentang institution building diperkenalkan dan dikembangkan, upaya ini telah lama diidentifikasi sebagai hal yang artifisial, tampak sangat baik di atas kertas namun kenyataannya jauh dari itu. Salah satunya adalah observasi berikut:

Institution building effort “often fits so ill with our own style or is so far removed from it that we can use it at best as a decoration and not as material to build with” (Ki Haddjar Dewantara, 1935)

Sayangnya, beberapa inovasi penguatan institusi yang kelihatannya “berhasil” pada skala pilot atau dalam suatu konteks tertentu, tidak selalu berhasil dalam konteks yang berbeda atau bila di-scale-up karena hubungan antara berbagai faktor di dalam konteks tertentu tidak dapat dipetakan secara matematis dan menjadi model yang bisa direplikasi.

Indonesia berada pada matriks “pertumbuhan yang pelan namun mengarah ke positif” dalam hal kemampuan pembangunan institusi, namun masih terdapat beberapa tantangan. Sebagai contoh, jumlah anak yang bersekolah memang meningkat tetapi sistem pendidikannya tidak lebih baik. Dengan situasi dan sistem pendidikan yg dimiliki saat ini, literacy proficiency lulusan universitas di Indonesia tidak lebih tinggi dari lulusan SMA di di Denmark, dan diprediksi bahwa butuh 128 tahun bagi Indonesia untuk dapat menyamai mutu pendidikan dengan standar OECD.

Beberapa “penjelasan” yang biasanya digunakan untuk menjelaskan lemahnya pembangunan kemampuan institusi untuk melakukan implementasi adalah lack of capability, low capacity, culture, kegagalan mengadopsi ‘best practices’ dan korupsi. Selain itu, sistem administrative kita didesign untuk melakukan keputusan-keputusan teknis dan logistic, sementara indicator keberhasilan seringkali ditentukan oleh indicator input, bukan capaian.

Beberapa pragmatic response yang disarankan:

  • Mendokumentasikan mengeksplorasi, menjelaskan dan membagi variasi yang terjadi secara sub-national. Misalnya, survey seharusnya didampingi oleh analisis studi kasus yang lebih detil.
  • Institusi dan organisasi, sama seperti manusia, membutuhlkan latihan dan waktu untuk dapat meningkatkan kapasitas. Oleh karena perlu mencoba adaptive implementation yaitu konsep PDIA (problem driven iterative adaptation).
    • Problem-driven, khususnya problem spesifik secara local dan diidentifikasi sebagai prioritas
    • Perencanaan dilakukan dengan cara yang mengakomodasi “ruang” untuk variasi
    • M&E harus menangkap berbagai eksperimen dan memberi feedback
    • Adaptasi dilakukan dengan mendifusikan apa yang ‘feasible’ menurut berbagai bagian di organisasi dan masyarakat praktisi

Buku Building State Capability dapat diunduh di website berikut:
http://bsc.cid.harvard.edu/building –state-capability-evidence-analysis-action

Asian approaches to engaging the private sector in development cooperation

Guo Peiyuan, General Manager, SynTao
Jeon Hyunjin, Manager, Corporate Social Responsibility Team, LG Electronics HQ
Prabodh Saxena, Principal Secretary, Government of Himachal Pradesh
Simon Cramp, Director of Private Sector Development, DFAT

julie

Dengan adanya SDGs, peran sektor swasta menjadi salah satu sasaran yang diharapkan dapat dicapai.
Terkait dengan hal ini, arah dan strategi DFAT untuk melibatkan sektor swasta dimulai pada tahun 2014. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa sektor swasta memiliki kontribusi yang luarbiasa besar untuk sektor pengembangan di dalam negeri. Pemerintah menyadari bahwa pemerintah tidak lagi dapat menanggung beban pengembangan (development) secara mandiri, sehingga perlu dilakukan shared value dengan sektor swasta dan mulai membentuk hubungan yang lebih berbasis kemitraan.

Shared value digunakan sebagai kerangka utama yang melingkupi hubungan kemitraan ini. Tetapi ini harus didasari oleh apa yg dibutuhkan dari satu sama lain, dan hal ini harus jelas dan transparan sejak awal. Dan dalam hal ini mereka bersikap ‘partner agnostic’ artinya mereka tidak terlalu meributkan siapa mitranya (apakah korporasi atau LSM atau apa pun) tetapi lebih kepada siapa mitra yang paling potensial dan paling bersedia untuk bekerjasama mencapai tujuan yang ingin dicapai bersama.

Sementara itu, di India, terjadi evolusi yang menarik. Awalnya fitur yang paling menonjol di India adalah sektor publik  namun setelah krisis tahun 1990-an justru muncul banyak pemain dalam sektor swasta. Kini, hampir 80% produksi terjadi di sektor swasta, sisanya publik. Tahun 2004 sektor publik mulai melakukan konsesi untuk memberi ruang lebih besar kepada sektor swasta. Dengan adanya amandemen terhadap UU perusahaan pada tahun 2014, perusahaan swasta dimandatkan untuk menyisihkan 2% dari laba untuk kegiatan corporate social responsibility (CSR). Namun banyak dari sektor swasta yang justru melakukan program lebih dari itu, misalnya membantu penyediaan ARV sehingga harganya dapat ditekan menjadi $1 di beberapa negara lain.

Pemerintah China, yang secara tradisional sangat berorientasi pada pemerintah, mulai mengidentifikasi beberapa tantangan untuk bagaimana caranya melakukan kerjasama dengan pihak swasta. Hal ini adalah karena China membuat berbagai kebijakan dan panduan dan juknis dan juklak untuk segala hal. Tantangan lain adalah mengupayakan komitmen untuk bekerjasama dengan berbagai mitra pembangunan untuk bersama-sama mencapai SDGs. Hal ini termasuk dengan LSM internasional. China menyadari bahwa ada keseimbangan yg rapuh antara kebutuhan mendesak untuk bekerjasama dengan sektor swasta dengan keinginan untuk mendokumentasikan secara baik caranya (yg tentu saja memerlukan lebih banyak waktu). Hubungan dengan sektor swasta sebenarnya bukan hal baru bagi China. Sebagai contoh, keterlibatan dengan swasta selama ini adalah antara pemerintah dengan korporasi. Dua decade yang lalu, pemerintah menginisiasi berbagai paket kebijakan yang berusaha menarik perusahaan-perusahaan besar yang berada di daerah-daerah yang sudah developed di sepanjang pantai daratan China untuk berinvestasi di daerah pedalaman. Namun pemerintah belum terbiasa memiliki hubungan yang bersifat kemitraan dengan LSM sebelumnya, jadi perkembangan di area ini masih kecil, bukan karena pemerintah tidak mau tetapi karena pemerintah tidak tahu bagaimana caranya.

Salah satu anggota panel yg berasal dari sektor swasta (LG) mengakui beratnya mematuhi berbagai guideline yang begitu banyak dan perbedaan konteks dan perbedaan aturan yang ada mengenai CSR. Namun perusahaan memahami tanggungjawab yang harus dimainkan, dan tidak hanya dalam bentuk CSR tetapi juga dalam pengembangan produk. Misalnya LG memproduksi unit AC yang sekaligus memiliki fitur anti nyamuk, khusus untuk Negara-negara seperti Bangladesh, Kamboja, Indonesia dll yg rentan vector-borne diseases. Tantangan yang dihadapi oleh sektor swasta ternyata bukan hanya dalam berhubungan dengan pemerintah, tetapi juga dengan sesame sektor swasta tetapi berupa LSM. Hal ini disebabkan karena “bahasa” yang digunakan oleh sektor swasta korporasi berbeda dengan “bahasa” yang digunakan LSM, sehingga perlu ada beberapa penyamaan persepsi dan “penterjemahan” yang baik untuk membangun rasa percaya di antara mereka.

Tantangan bagi pemerintah sebaliknya adalah mencari cara untuk mendorong pihak swasta untuk berpatisipasi dalam kegiatan M&E dalam hal ini memberikan feedback kepada pemerintah berupa laporan atau masukan untuk perbaikan proses kemitraan. Namun ini juga disebabkan oleh hubungan pemerintah dengan swasta secara tradisional lebih bersifat regulatory, bukan bersifat diskusi. Akibatnya, tidak ada platform dimana pihak swasta dapat menyampaikan minat mereka atau suara mereka tentang bagaimana mereka dapat berperan sebagai mitra dan memiliki usul untuk perbaikan pembangunan, tanpa di”curigai” sebagai upaya untuk mengurangi pajak atau mencari keuntungan.

Philanthropy and NGOs

Rod Reeve, Ninti One Ltd and the Cooperative Research Centre for Remote Economic Participation
Sachini Muller and Terence Wood, ANU
Jeremy Stinger, DFAT

panel2

Dibutuhkan 500milyar USD untuk mencapai SDGs, dan tidak mungkin ini dapat dicapai tanpa dukungan pendanaan dari setiap pihak. Filantropi adalah salah satu potensi yang perlu digali. Nilai dari seluruh sumbangan pribadi di Australia (31milyar AUD) lebih besar dari GDP Papua Nugini, GDP Laos, dll. Namun bahkan sumbangan pribadi di AS mencapai nilai 500milyar AUD. Dari seluruh nilai tersebut, 1.5milyar AUD digunakan untuk penggunaan internasional (AUS) dan sementara nilai sumbangan pribadi yg digunakan untuk AS untuk pengunaan internasional adalah sekitar 20milyar AUD. Namun kebanyakan sumbangan pribadi ini beroperasi di dalam ‘silo’ dan tidak terorganisir bersama.

Beberapa upaya filantropi yang lebih terorganisir dilakukan oleh NGOs, dan kebanyakan dari mereka sudah menggunakan medsos, sebagian besar untuk menghimbau donasi (48%), meningkatkan awareness (20%), untuk mengambil tindakan khusus (8%) dan lain-lain.

Filantropi harus memiliki “triple fret” (tiga potensi untuk mencapai tujuan):

  1. Appetite: berani mengambil risk dan inovsi
  2. Ketrampilan: memiliki business expertise dan market knowledge
  3. Influence: menggunakan network yg dimilikinya untuk menjadi kekuatan pengaruh, baik secara political mau pun komersial

Philantrophy capitalism: menggunakan semua pengetahuan mereka dan sumberdaya untuk mendukung tujuan tertentu. Misalnya, guarantee payment digunakan oleh Gates Foundation untuk menggaransi sebuah perusahaan vaksin di India untuk menjual vaksin di bawah harga pasar selama 5 tahun, dan jika hal tersebut merugikan perusahaan (atau vaksin tidak terjual habis), Gates Foundation akan mengganti selisihnya. Selain itu ada banyak kontribusi in-kind yang dilakukan misalnya waktu, tenaga dan sumberdaya untuk melakukan riset-riset inovatif yang belum tentu berujung pada produksi atau marketable.

Di Negara maju saja terdapat 200rb yayasan yg bergerak di bidang filantropis, sehingga ini merupakan potensi yang sangat besar. Bill and Melinda Gates Foundation masih memegang rekor filantropi (12.44milyar USD).
Jadi potensi filantropis ini sangat besar dan harus digali lebih lanjut.

Reportase hari kedua >>

{jcomments on}

Seminar: Memahami Pelaksanaan Kebijakan Askes Sosial di Vietnam dalam Konteks Perkembangan di Indonesia

Departemen HPM – IKM Fakultas Kedokteran UGM bekerjasama dengan Pusat Studi Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) serta Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) menyelenggarakan lunch seminar pada Selasa, 14 Februari 2017 di Gedung IKM, FK UGM. Seminar ini mendiskusikan hasil kunjungan dari Hanoi yang menjelaskan perbandingan asuransi kesehatan di Vietnam dan Indonesia.
Prof. Laksono menjelaskan kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian seminar monev JKN pada tahun 2017 yang selengkapnya dapat diakses disini dan link berikut. Beberapa referensi dari Kementerian keuangan Negara Vietnam, World Bank, dan EOS Intelligence dapat menjadi bahan untuk menjadi pertimbangan dalam monev JKN.

  Apa kesamaan antar kedua negara?

Berbasis presentasi dari Dr Nguyen, Prof Laksono mengawali paparan dengan membandingkan kondisi geografis Vietnam (non kepulauan) dan Indonesia (kepulauan). Silahkan klik Powerpointnya: (Pembahasansituasi di Vietnam dengan konteks Indonesia). Berkaitan dengan sistem asuransi kesehatan, Laksono menjelaskan ada beberapa kemiripan sistem yang diterapkan kedua negara tersebut, diantaranya: sama-sama menerapkan single pool dan 3 level, walaupun memiliki benefit package yang luas namun sama-sama tidak mempunyai basis package.

Resikosingle pool berupa penggunaan dana yang cenderung digunakan oleh voluntary dengan gejala adverse selection juga dialami oleh Vietnam. Prof Laksono juga menekankan bahwa masalah gap biaya penggunaan antara RS yang tersier dengan RS distrik juga masih terjadi.Penerapan konsep strategic purchasing juga belum optimal dan menyebabkan kedua negara ini masih mengalami inefisiensi.

  Adakah Implementasi kebijakan yang Berbeda antara ke 2 negara ini?

Berbeda halnya dengan Indonesia, Vietnam menerapkan co-payment dan sistem pembayaran provider yang masih didominasi fee for service (FFS) sehingga angka out of pocket di Vietnam masih tinggi. Jika di Indonesia mengenal ada INA-CBG’s sebagai model casebased, maka di Vietnam masih menjadi suatu pilot project.

  Pentingnya Monitoring dan Evaluasi

Prof Laksono menyarankan bahwa agar monitoring dan evaluasi kebijakan JKN di Indonesia juga menggunakan pengalaman di Vietnam untuk perbaikan kebijakan di masa mendatang. Bahkan menariknya, ada UU mengenai asuransi kesehatan di Vietnam telah direvisi pada tahun 2014 karena berbagai faktor. Dengan demikian  memang benar bahwa revisi UU bukan hal tabu.

Video Presentasi

link video

 

  Rangkuman Sesi Diskusi

Faozi mengawali diskusi dengan mempertanyakan pelaksana monitoring dan evaluasi karena di Indonesia ada DJSN dan BPJS Kesehatan yang notabene belum sepenuhnya melibatkan organisasi profesi, akademisi, dan praktisi.  Laksono menjawab pertanyaan ini dengan mengacu pada buku terbitan World Bank yang berjudul Moving toward Universal Coverage of Social Health Insurance in Vietnam Assessment and Options” (Silahkan klik untuk membacanya). Menurut Laksono model monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh World Bank menjadi contoh bagi tim monitoring dan evaluasi secara independen.

Pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana kendali mutu provider dan sistem akreditasi di Vietnam menjadi salah satu aspek yang ingin diketahui penanya berikutnyayaitu Nusky Syaukani. Dalam mengomentari hal ini , Laksono juga menambahkan bahwa topik pencegahan fraud dan pengembangan sistem informasi juga penting menjadi bagian monitoring dan evaluasi di Indonesia.

Tingginya out of pocket dan adanya sistem co-payment dibahas oleh Diah Ayu Puspandari (KPMAK) yang ingin mengetahui lebih dalam apakah hal ini menjadi bagian strategi keberlangsungan program asuransi kesehatan di Vietnam. Menurut Laksono, ada suatu kesan bahwa pemerintah Vietnam menyadari beban berat sistem asuransi kesehatan. Bahkan, pelayanan KB menurut Laksono juga tidak masuk dalam sistem asuransi kesehatan di Vietnam dan menjadi urusan pribadi masyarakat. Masyarakat di Vietnam pun juga tidak keberatan atas adanya kebijakan tersebut.

Topik penelitian clinical outcome (masukan dari Dr. Andreasta Meliala) dan implementasi pelayanan primer (masukan dari Bondan Agus) juga menambah input monitoring dan evaluasi yang akan dilakukan ke depannya. Menanggapi hal ini, Laksono juga kembali merekomendasikan agar para peserta diskusi ini membaca salah satu referensi dari World Bank yang di dalamnya juga membahas perlindungan finansial dan aspek keadilan/ pemerataan (equity).

Seminar makan siang ini ditutup dengan tekad untuk mempelajari pengalaman Vietnam melalui berbagai referensi yang ada. Disamping itu dirasakan ada kebutuhan untuk melakukan studi banding ke Vietnam mengingat berbagai kemiripan yang ada dengan Indonesia.

video Sesi Diskusi

link video

 

<< kembali ke jadwal

{jcomments on} 

Workshop Protokol Penelitian Monev JKN

  PENGANTAR

Sejak tahun 2014, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan telah melakuan monitoring kebijakan pelaksanaan JKN. Dalam sesi ini akan dibahas metode dan hasil yang dikerjakan selama 3 tahun ini. Apa yang telah dilakukan akan menjadi masukan untuk penegasan mengenai metode monitoring serta penambahan terhadap metode evaluasi kebijakan yang akan dilakukan. Metode evaluasi kebijakan ini akan dibahas secara mendalam dengan mengacu pada berbagai referensi. Metode yang terpilih masih mempunyai ketidak pastian karena masalah data yang tersedia untuk evaluasi.

  TUJUAN

  1. Membahas metode monitoring tahun 2014 – 2016.
  2. Membahas metode Evaluasi Kebijakan yang akan diterapkan pada tahun 2017.
  3. Menyusun draft awal.

  PESERTA

Peserta kegiatan ini adalah:

  1. Anggota Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN
  2. Peneliti, Praktisi, dan Akademisi

  AGENDA

Diskusi ini diselenggarakan pada Jum’at, 24 Februari 2017, bertempat di Laboratorium Leadership dan Kepemimpinan, Gedung IKM Lama Lantai 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. 

Arsip diskusi Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN dapat diakses selengkapnya melalui http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/  dan http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 

PEMATERI

  • Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D
  • Muhamad Faozi Kurniawan, SE. Akt., MPH

PEMBAHAS

  • PPJK
  • DJSN
  • BPJS Kesehatan

  SUSUNAN ACARA

Waktu Materi Pemateri / Pembahas
13:00-13:10 Pembukaan Moderator
13:10-13:30 Sesi 1: Metode dan hasil monitoring 2014-2016

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

video

13:30-13:50 Sesi 2 : Metode monitoring 2017

Muhamad Faozi Kurniawan, SE. Akt., MPH

video

13:50-14:20

Pembahas:
Bagaimana pelaku monitoring bisa mengakses data yang dibutuhkan

  • PPJK
  • DJSN
  • BPJS Kesehatan
14:20-14:50 Diskusi/Tanya-jawab Pemateri/Pembahas
14:50-15:00 Kesimpulan/Penutup Moderator

Reportase kegiatan > 

 

  INFORMASI DAN PENDAFTARAN

Maria Lelyana (Lely)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting), 081329760006 (HP/WA)
Email: [email protected] 
Website: http://www.kebijakankesehatanindonesia.nethttp://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 

 

 

Seminar dan Workshop: Stakeholders JKN dan Kemampuan Lobbying dalam proses kebijakan: Dimana peran Asosiasi Fasilitas Kesehatan dan Perhimpunan Profesi

  PENGANTAR

Tahun ke 4 kebijakan Jaminan Kesehatan berlangsung merupakan periode alamiah untuk melakukan evaluasi kebijakan. Pengalaman selama 3 tahun ini telah banyak memberikan pelajaran bagi bangsa Indonesia. Dalam pelaksanaannya, pelajaran yang dapat dilihat adalah sering terjadinya ketidakk sepakatan antara rumahsakit sebagai pemberi pelayanan, tenaga kesehatan sebagai pelaku pelaksanaan dan BPJS. Dipandang dari sisi pemberi pelayanan, ketidak sepakatan ini kemudian secara re-aktif dilakukan berbagai komunikasi yang bersifat memadamkan kebakaran, bukan antisipatif. Diskusi dan Workshop ini mencoba membahas penggunaan lobby yang lebih bersifat prospektif.

Secara definisi lobbying adalah:
The act of attempting to influence business and government leaders to create legislation or conduct an activity that will help a particular organization (business www.dictionary.com)

Lobbying (atau ‘lobby’) dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok-kelompok lobby. Lobbying dilakukan oleh lobbyist yang digambarkan sebagai berikut:

  • A person who tries to influence legislation on behalf of a special interest;
  • A lobbyist is someone hired by a business or a cause to persuade legislators to support that business or cause.

  TUJUAN

  1. Membahas makna lobby dalam proses pengambilan kebijakan.
  2. Mengamati situasi lobby dalam monitoring dan evaluasi JKN di Indonesia.
  3. Membahas sikap dan strategi Asosiasi RS dan Profesi dalam lobbying kebijakan JKN

  PESERTA

Peserta kegiatan ini adalah:

  1. Anggota Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN
  2. Peneliti, Praktisi, dan Akademisi

  AGENDA

Diskusi ini akan diselenggarakan pada hari Rabu, 22 Februari 2017; pukul 13:00 – 15.00 WIB; bertempat di Ruang Leadership, Gedung IKM Lama lantai 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Bapak/ Ibu/ Sdr yang tidak dapat hadir secara tatap muka dapat tetap mengikusi diskusi webinar melalui link Registrasi berikut:

Arsip diskusi Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN dapat diakses selengkapnya melalui http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/  dan http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 


PEMATERI

  • Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D
  • Shita Dewi, PhD

PEMBAHAS

  • Pengurus PERSI
  • Pengurus Asosiasi FKTP
  • Pengurus IDI

  SUSUNAN ACARA

Waktu Materi Pemateri/ Pembahas
13:00-13:10 Pembukaan Moderator
13:10-13:40 Sesi : Stakeholders JKN dan Kemampuan Lobbying dalam proses kebijakan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

materi

13:40-14:00 Sesi 2: Lobby dalam monitoring dan evaluasi JKN di Indonesia

Shita Dewi, PhD

materi

14:00-14:20 Pembahas I Pengurus Persi
14:20-14:40 Pembahas II Pengurus Asosiasi  FKTP
14:40-15:00 Pembahas III Pengurus IDI
15:00-15:30 Diskusi/tanya-jawab Pemateri/ Pembahas
15:30 Kesimpulan /Penutup Moderator

 

Seminar hari ini dilatarbelakangi sering terjadi ketidaksepakatan antara pemberi pelayanan, tenaga kesehatan, dan BPJS Kesehatan. Pengantar kegiatan yang menjadi salah satu bagian monev JKN 2017 kali ini memandang bahwa ketidaksepakatan tersebut cenderung masih ditindaklanjuti secara reaktif, bukan antisipatif. Prof. Laksono turut menegaskan pentingnya lobbying dalam program JKN yang telah memasuki tahun keempat. Menurut Laksono, secara alami tidak ada undang-undang yang sempurna sehingga evaluasi dan monitoring kebijakan penting dilakukan.

Prof. Laksono menjelaskan bahwa alur dari hasil studi evaluasi kebijakan tidak dapat terpisahkan dari proses kebijakan yang meliputi : penetapan agenda, evaluasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan perumusan kebijakan. Produk hukum apa yang perlu diubah membutuhkan model evidence based policy making. Sejauh mana asosiasi fasilitas kesehatan dan perhimpunan profesi telah dilibatkan? Untuk memahami peran tersebut, Laksono juga menekankan perlu diperhatikannya masing-masing posisi berdasarkan tingkat interest dan power. Tidak dilakukannya skema lobby yang sistematis menjadi salah satu situasi yang patut diperhatikan sampai saat ini. Untuk melaksanakan strategi asosiasi dan perhimpunan dalam lobbying perlu adanya tim lobbying yang handal dalam memahami isi dan memiliki skill terkait teknik-teknik lobbying.

Komunikasi yang Persuasif adalah Kata Kunci

Sesi berikutnya dilanjutkan oleh paparan materi dari Shita Listyadewi, PhD mengenai lobby dan advokasi serta peranannya dalam program JKN. Shita menekankan bahwa kata kunci utamanya adalah komunikasi yang persuasif. Pertanyaannya, dimana peran lobby dan advokasi dalam monitoring (fokus ke proses) dan evaluasi (fokus ke hasil)? Menurut Shita, hasil evaluasi kebijakan untuk lobbying dan advokasi dapat berupa perbaikan untuk agenda setting (untuk isu konseptual), perbaikan formulasi kebijakan, atau perbaikan yang arahnya lebih ke implementasi. Cara lobbying yang proaktif dapat dilakukan secara langsung, tidak langsung (pihak perantara), terbuka, atau bahkan tertutup.

Perhimpunan Profesi adalah Koalisi Potensial dalam Lobby dan Advokasi

Shita menjelaskan bahwa komunikasi yang persuasif memerlukan kriteria utama seperti : jelas, benar, dan konkret, lengkap, ringkas, meyakinkan, kontekstual, berani, hati-hati, sopan. Sulitnya untuk menemukan seseorang dengan seluruh kemampuan tersebut, maka konsep koalisi menjadi solusi yang diutarakan oleh Shita untuk dipertimbangkan. Koalisi akan efektif jika masalah yang diusung memiliki manfaat bagi anggotanya, terstruktur, dan komitmen untuk berbagi informasi. Jaringan kerja advokasi yang diupayakan setidaknya memenuhi unit kerja pendukung, unit kerja basis, dan unit kerja garis depan. Shita menyatakan bahwa bukan hanya media, namun perhimpunan profesi, asosiasi faskes, perguruan tinggi, asosiasi dinkes juga merupakan koalisi potensial yang dapat dilibatkan. Dalam melakukan advokasi, hal-hal lain yang perlu diperhatikan menurut Shita antara lain : target advokasi, isu yang dikembangkan, strategi koalisi, memahami arus advokasi, dan perlu adanya mitra yang kompeten.

Bagaimana Lobby di Indonesia ?

Sebagai pembahas pertama yang sekaligus politis salah satu fraksi, Ir. Heri Akhmadi, MA kembali mempertegas bahwa lobbying memang harus dilakukan di setiap tahapan siklus kebijakan. Kelemahannya selama ini, lembaga dari pelaksana lobbying yang belum diatur secara kuat. Belum adanya kelompok lobbying yang spesifik terkait program JKN menjadi tantangan tersendiri di Indonesia. Terkait dengan media lobbying, adanya high level policy discussion juga dapat menjadi bagian dari teknik lobbying secara independen. Odang Bachtiar sebagai pembahas kedua juga menambahkan bahwa data untuk mendukung model evidence based policy making sebenarnya telah tersedia, namun yang menjadi pertanyaan besar, sejauh mana telah dapat diakses dan dimanfaatkan dengan baik.

Selaku mantan anggota DPR dan Ketua Dewan Penyantun PERSI, dr. Umar Wahid, Sp. P menjelaskan walaupun masih bersifat politis, namun DPR adalah pembuat produk hukum tertinggi kedua setelah UU. Kendala yang terjadi, tidak semua anggota memahami secara subtansi UU yang akan diterbitkan. Menurut Umar, lebih mudah menyusun UU daripada peraturan pemerintah (PP). Pentingnya sarana dan penyampaian aspirasi kembali dipertegas oleh Eka PutriAsih (DJSN) dan dalam diskusi, Prof. Alimin Maidin menyatakan bahwa kurang terlibatnya organisasi profesi bahkan masih terjadi sampai saat ini dalam lobby dan advokasi, sebagai contoh : di bidang pendidikan saja terkait tunjangan profesi yang tidak melibatkan asosiasi profesor, apalagi program JKN yang baru lahir 2014. Menurut Asih, lobby dan advokasi SJSN dan JKN telah berlangsung mulai dari awal perancangan UU SJSN tahun 2001. Organisasi profesi telah dilibatkan sejak perancangan UU SJSN dan peraturan pelaksanaannya. DJSN berfungsi sebagai perumus kebijakan dan pengawas SJSN adalah pihak yg tepat bagi penyampaian aspirasi publik. Saat ini DJSN belum kongkrit perannya karena adanya distorsi kebijakan Perpres. Asih menyampaikan bahwa DJSN sedang mempersiapkan revisi perpres DJSN dan UU SJSN.

Berkaitan dengan hubungan antar lembaga dalam SJSN, menurut pembahas ketiga bahwa DJSN memiliki posisi yang kuat tapi sejauh ini sepertinya standing position-nya belum terlihat. Alternatifnya mungkin jalur advokasi juga bisa secara langsung melibatkan BPJS Kesehatan dan Kemenkes secara bersamaan. Pentingnya tim lobby yang sistematis kembali ditekankan oleh Prof. Laksono dengan mempertimbangkan beberapa unit/komponen di dalam jaringan kerja advokasi. Pernah ada tim lobby terkait kebijakan rumah sakit daerah yang dapat menjadi lesson learnt dalam penyelenggaraan lobby dan advokasi di era JKN, tegas Umar.

Diskusi kemudian dibawakan oleh Kuntjoro Adi Purjanto (PERSI) terkait apakah kemampuan lobbying bisa dilatihkan atau lebih ke bakat. Menurut Prof. Laksono, sejauh ini implementasi lobby sudah ada namun belum terstruktur dan Shita menegaskan bahwa keterampilan dasar lobby dapat dilatihkan namun perlu terus diasah melalui praktek lobby dan advokasi, terutama pada unit kerja garis depan (front lines).

Sebagai perwakilan BPJS Kesehatan Divisi Regional XI, dr. Elke menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan telah melakukan advokasi kepada stakeholder untuk keberlangsungan program JKN selama ini, khususnya terkait kendali mutu dan kendali biaya. Secara struktural tim lobby di BPJS Kesehatan belum ada, namun secara pelaksanaan telah dilakukan. Aspirasi dari organisasi profesi selalu dilibatkan dalam memperbaiki implementasi regulasi di daerah. Elke setuju jika ada tim khusus lobby dari tiap organisasi profesi, terlebih saat ini salah satu fokus utama dari BPJS Kesehatan adalah dukungan dari organisasi profesi.

Sebagai penutup, Prof. Laksono menjelaskan bahwa sikap dan strategi lobbying sangatlah penting. Rencana tindak lanjut berupa workshop untuk mempertajam kemampuan lobbying tim dengan berbagai keterampilan perlu menjadi agenda berikutnya bagi Asosiasi Fasilitas Kesehatan dan Perhimpunan Profesi.

Notulis : Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH

<< kembali ke jadwal 

{jcomments on} 

Annual Scientific Meeting (ASM): “Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba “

  PENDAHULUAN

Penyakit infeksi oleh bakteri, virus, jamur dan parasit masih merupakan masalah utama di Indonesia. Profil kesehatan Indonesia tahun 2015 menunjukkan bahwa penyakit infeksi merupakan masalah kesehatan yang penting untuk segera diatasi, seperti: tuberkulosis, HIV/AIDS, malaria, kusta, diare, campak, difteri, pneumonia, kecacingan, dan demam berdarah dengue (Kemenkes RI, 2016).

Penatalaksanaan penyakit infeksi memerlukan antimikroba yang poten untuk mengeradikasi patogen di dalam tubuh pasien.Beban kesakitan penyakit infeksi yang tinggi diperberat lagi dengan munculnya patogen yang resisten terhadap antimikroba yang ada.Resistensi antimikroba sekarang merupakan masalah global karena luasnya masalah ini di seluruh dunia baik di negara maju maupun berkembang.Prediksi kematian yang berhubungan dengan resistensi antimikroba pada tahun 2050 adalah 4,7 juta per tahun di Asia, yang menduduki urutan pertama dan disusul oleh Afrika yang diperkirakan mencapai angka 4,15 juta pertahun (O’Neil, 2014). Oleh karenanya, antimicrobial resistance (AMR) telah menjadi perhatian WHO dengan dikeluarkannya Global Action Plan pada tahun 2015 yang menitikberatkan pada lima tujuan strategis. Sementara itu, tidak banyak obat antimikroba baru yang dapat dikembangkan pada saat itu.Adu cepat antara kejadian resistensi terhadap antimikroba dan penemuan obat antimikroba baru dikhawatirkan akan dimenangkan oleh kejadian resistensi antimikroba. Data surveilans yang dikumpulkan dari enam rumah sakit besar di Indonesia atas kerjasama antara PPRA, Balitbangkes, dan WHO pada tahun 2013 menunjukkan frekuensi E.coli dan K. pneumoniae yang memproduksi extended-spectrum beta-lactamases (ESBL) berturut turut berkisar antara 26%-57% dan 32% – 57% (Paraton, 2016). Pada tahun 2013, WHO memperkirakan di Indonesia terdapat 6.800 kasus baru multidrug resistant (MDR) TB. Diperkirakan MDR TB bertanggungjawab pada 2% dari kasus baru dan 12% tuberkulosis pengobatan berulang.

Penyebab terjadinya resistensi antibiotik secara global adalah multifaktorial dan kompleks, meliputi permasalahan pada prescriber (ketidakpastian diagnosis, kurangnya pengetahuan, insentif, dll), dispenser (penggunaan obat-obat standar, kurangnya aturan dispensing), pasien (tekanan terhadap dokter, pengobatan sendiri, akses antibiotik secara bebas) dan fasilitas pelayanan kesehatan (kurangnya pengendalian infeksi yang dapat memicu penyebaran organisme yang resisten terhadap antibiotik). Dengan demikian pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba semestinya melibatkan banyak pemangku kepentingan, yakni: (1) Pembuat kebijakan: Kementrian kesehatan, BP POM, Kementrian pertanian, Dinas kesehatan dan Direktur Rumah Sakit; (2) Tenaga kesehatan: dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, dan bidan; (3) Masyarakat luas: pasien, apotek, industri farmasi, dan pedagang besar farmasi, dan lain-lain.

Indonesia sudah memulai menyiapkan piranti berupa regulasi dan tata kelola antimikroba yang dipergunakan untuk mengendalikan resistensi antimikroba.Masih diperlukan peningkatan komitmen semua pihak untuk mengimplementasikan secara konsisten usaha pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba.Kerjasama yang baik diantara pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk menahan laju resistensi antimikroba di Indonesia. Lebih jauh diperlukan intervensi multimodal di tingkat nasional meliputi regulasi dispensing, edukasi kepada masyarakat, dispenser dan prescribers, pencegahan infeksi dengan mengoptimalkan imunisasi, perbaikan sanitasi dan kebersihan di tingkat masyarakat dan pelayanan kesehatan serta peningkatan surveilans penggunaan antibiotik rasional dan surveilans resistensi antibiotik.

Demikian pentingnya pemahaman masalah resistensi antimikroba di Indonesia maka pada penyelenggaraan Annual Scientific Meeting (ASM) yang kesepuluh tahun 2017 ini, panitia mengangkat tema “Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba”. Diharapkan masalah resistensi antimikroba ini dapat dipahami dengan satu kesadaran, bahwa masyarakat Indonesia harus bersama-sama secara sungguh-sungguh dan konsisten memerangi resistensi antimikroba untuk meningkatkan derajat kesahatan masyarakat secara menyeluruh.

  TUJUAN UMUM & KHUSUS

Tujuan Umum :

Tujuan umum dari ASM 2017 adalah meningkatkan pemahaman, kesadaran dan komitmen serta pembuatan rencana aksi untuk melaksanakan pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba oleh KAGAMA-Kedoktetan bersama para pembuat kebijakan, Institusi pendidikan, dan pihak lain yang terkait.

Tujuan Khusus :

  1. Memahami beban dan kompleksitas permasalahan penggunaan dan resistensi antimikroba.
  2. Mengidentifikasi strategi dalam penggunaan antimikroba yang sesuai.
  3. Mengidentifikasi pihak yang terkait penggunaan antimikroba mulai dari pembuat kebijakan hingga masyarakat pengguna dan bagaimana kerjasama diantara para pihak tersebut.
  4. Memahami kebijakan pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan RI dalam upaya penggunaan antimikroba yang sesuai.
  5. Memahami peran dan tugas Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit Pendidikan dalam menghasilkan tenaga kesehatan dan pembuat regulasi yang berkompeten dalam penggunaan antimikroba yang benar.
  6. Menyepakati rencana aksi pencegahan dan pengendalian AMR di lingkungan rumah sakit pendidikan dan komunitas.

BENTUK KEGIATAN

  1. Seminar Nasional pada Hari Sabtu, Tanggal 04 Maret 2017
  2. Acara Kelompok Kerja berupa Seminar dan Workshop yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja dalam FK UGM, RS UGM dan RSUP Dr.Sardjito pada Februari berakhir sampai bulan April 2017

TARGET PESERTA

Peserta ASM 2017 diharapkan dari:

  • Dosen, Mahasiswa S1, S2, S3 dan Alumni Fakultas Kedokteran UGM.
  • Pengelola Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan (Dokter Spesialis, Dokter Umum, Apoteker, Farmasi, Perawat, Bidan dll.)
  • Dinas Kesehatan
  • Tamu undangan dan masyarakat luas yang berminat.

Target peserta untuk acara puncak seminar Nasional diharapkan bisa mencapai ± 350-400 peserta, sedangkan target peserta untuk keseluruhan kegiatan ASM diharapkan bisa mencapai 2.500 peserta.

  TEMPAT KEGIATAN

Auditorium KF UGM

 

  SEKRETARIAT ASM 2017

KAGAMA Kedokteran
Joglo Grha Alumni Fakultas Kedokteran UGM, JL. Farmako Sekip Utara Yogyakarta.
Telepon : 0274-631206, 560300 ext. 406
Facsimile : 0274-631206
Email : [email protected] 

Jadwal Acara Seminar Nasional ASM, 04 Maret 2017, Auditorium FK UGM

Jam Uraian Acara
07.00-07.45 Pendaftaran
07.45-08.15

MC  : Glory Hapsara Suryandari, S.Pd
Indonesia Raya & Teks : Dr. dr. Carla R. Machira, SpK(K) dan BEM

Pembukaan

  • Sambutan Ketua Umum ASM 2017 : Prof.Dr.dr. Elisabeth Siti Herini, SpA(K)
  • Sambutan Ketua KAGAMA Kedokteran : Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA
  • Sambutan dan pembukaan oleh Dekan FK-UGM : Prof. dr. Ova Emilia, M.Med Ed, Sp.OG(K), Ph.D

Doa : Dr. dr. Probosuseno, SpPD-KGER

08.15-09.00

Keynote Speech

Moderator: Dr. Krishnajaya, MS (Ketua Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia-ADINKES / KAGAMA-Dok Angkatan 1973)

Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi
dr. Slamet, MHP

Kebijakan dan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba

materi

09.00-09.30 Coffee Break

SESI 1
Moderator : Prof. dr. Hari Kusnanto Josep, SU, Dr.PH

09.30-09.50

Pembicara I

Budiono Santoso

“Common Challenges In Containing Antimicrobial Resistance”

materi

09.50-10.10

Pembicara  II

Dr. Tri Hesty Widyastoeti, Sp.M, MPH

“Implikasi Resistensi Antimikroba terhadap beban pemerintah dalam sumber daya biaya, sarana dan manusia untuk pelayanan kesehatan”

materi

10.10-10.30

Pembicara III

Ratna Irawati – Badan Pengawasan Obat dan Makanan

“Kebijakan Pengawasan peredaran antimikroba di Indonesia”

materi

10.30-10.50

Pembicara IV

Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc, PhD
“Antimicrobial update: where we are now?”

materi

10.50-11.20

Diskusi

SESI 2
Moderator: Dr. Tri Wibawa, PhD, SpMK

11.20-11.35

Pembicara I

K. Kuntaman – Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba

“Peran dan tugas Komite PPRA dalam pengendalian resistensi antibiotik di rumah sakit”

materi

11.35-11.50

Pembicara II

Ketua BPJS Kesehatan

Pengaturan Obat Antimikroba dalam Formularium Nasional untuk Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba

materi

11.50-12.05

Pembicara III

Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

Peran farmasis dalam pencegahan dan pengedalian resistensi antimikroba

materi

12.05-12.20

Pembicara IV

Yayasan Orang Tua Peduli
Dr. Purnamawati, SpA(K)

“Perilaku dan perlindungan konsumen dalam penggunaan antimikroba di masyarakat

materi

12.20-12.45

Diskusi

12.45-13.30 ISHOMA

SESI 3 (Diskusi Panel)
Moderator : Dr. Budiono Santoso, SpFK, PhD

13.30-15.30

Topik :

Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pencegahan, Pengendalian Resistensi Antimikroba Dan Upaya Tindak Lanjut

Panelis :

Asosiasi Dinas Kesehatan seluruh Indonesia : Dr. Yulianto Prabowo, MKes

materi

Tenaga Kesehatan Dokter : IDI (Dr.dr. FX. Wikan Indarto, SpA)

materi

Tenaga Kesehatan Perawat : Tri Prabowo, S.Kep, MKes (Ketua PPNI Cabang DIY)

materi

Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Yogyakarta : Yulianto, S.Farm, MPH, Apt

materi

Fakultas Kedokteran UGM : Prof. Dr. Ova Emilia, MMedEd, PhD, SpOG(K)

materi

15.30-16.00 Kesimpulan dan Penutup