Arbitrase sebagai Paradigma baru Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sengketa Medis

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Arbitrase sebagai Paradigma baru Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sengketa Medis

Rabu, 11 Oktober 2023  |   Pukul: 13:00 – 14:30 WIB

16okt

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-23 yang membahas peluang pendidikan dokter spesialis berbasis kompetensi pasca penerbitan UU Nomor 17 Tahun 2023. Webinar ini dipandu oleh dr. Aditiawardana, SpPD, KGH sebagai moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Webinar dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D yang memaparkan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan bersifat sangat komprehensif. UU kesehatan bersifat transdisiplin dan banyak ketentuan yang mengandung aspek hukum yang menetapkan bagaimana agar tidak ada pertikaian hukum. Sesi ini masuk ke dalam topik hukum untuk membahas apa yang dimaksud dengan arbitrase sebagai sesuatu yang baru untuk menyelesaikan sengketa Kesehatan.

Narasumber utama: Dr. Rimawati, S.H., M.Hum

Dr. Rimawati, S.H., M.Hum memaparkan presentasi mengenai arbitrase sebagai paradigma baru sebagai alternatif penyelesaian sengketa non litigasi dalam sengketa medis. Sengketa medik merupakan perselisihan yang timbul akibat hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam upaya melakukan penyembuhan. Berlandaskan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, sengketa medik dapat diselesaikan melalui litigasi dan non-litigasi diluar persidangan. Pasal 310 membuka peluang untuk penggunaan arbitrase dalam penyelesaian sengketa medis. Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Keuntungan arbitrase lebih unggul dari mediasi karena sidang tertutup dan rahasia sengketa para pihak dijamin, dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, harus dilakukan 180 hari selesai sehingga putusan yang dibuat mutlak. Kelemahan arbitrase yaitu biaya administrasi yang mahal, tidak berkekuatan eksekutorial tanpa perintah pengadilan dan tidak adanya preseden hukum. Bagaimana arbitrase menyelesaikan sengketa medis? Kita masih membutuhkan arbiter, syarat-syarat untuk menjadi arbiter terdapat pada pasal 12 UU Nomor 30 Tahun 1999. Dalam menentukan jumlah arbiter dalam suatu kasus ada beberapa faktor yang dipertimbangkan yaitu tergantung jumlah perkara yang dipersengketakan, kompleksitas klaim, nasionalitas para pihak, ketersediaan arbiter yang layak dan tingkat urgensi kasus yang bersangkutan.

Pembahasan oleh Dr. dr. Dwi Heri Susatya, SpB, FinaCS, FICS dan Dr. dr. Darwito, SH, Sp.B(K)Onk

Dr. dr. Dwi Heri Susatya, SpB, FinaCS, FICS selaku pembahas menyampaikan bahwa Undang-Undang Kesehatan telah memperbaharui jalur alternatif penyelesaian sengketa medis, yang mana bukan hanya mediasi melainkan juga arbitrase dapat menjadi solusi alternatif penyelesaian sengketa medis. Sebab, selama ini timbul permasalahan dalam mediasi sehingga tidak lagi menjadi alternatif penyelesaian sengketa yang efektif dan tidak mempunyai daya eksekutorial. Dr. dr. Darwito, SH, Sp.B(K)Onk menanggapi bahwa arbitrase sejarahnya pada lembaga independen, diciptakan atau dibentuk oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). Perjanjian dokter dan pasien adalah perjanjian tidak langsung sedangkan kontrak langsungnya dengan RS dan RS dengan asuransi sehingga dokter jarang inspanning verbintenis.

Dalam sesi diskusi dibahas tentang pembiayaan penyelesaian sengketa medis serta arbiter untuk arbitrasi dalam rangka penyelesaian sengketa medis. Diskusi diharapkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan untuk UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

  Materi Kegiatan

Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

video


Pembicara: Dr. Rimawati, S.H., M.Hum

video   materi


Pembahas:

Dr. dr. Dwi Heri Susatyo, SpB, FinaCS, FICS

video   materi


Dr. dr. Darwito, SH, Sp.B(K)Onk

video


Sesi Diskusi

video


 

 

 

 

 

Diskusi ke-10 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Keluarga

Diskusi ke-10 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Keluarga

kamis, 24 Agustus 2023  |   Pukul: 09:00 – 10:30 WIB

Topik pembahasan dalam seri Webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan #10 berfokus pada Kesehatan Keluarga dalam kaitannya dengan UU Kesehatan. Melalui diskusi ini, diharapkan dapat menginisiasi berbagai rekomendasi untuk peraturan turunan dari UU Kesehatan terkait kesehatan mata serta memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. dr Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D yang membahas peluang dan persiapan dalam menyongsong reformasi sistem kesehatan pasca UU Kesehatan 2023. Saat terjadi pandemi COVID-19, presiden memberikan perintah kepada Menteri Kesehatan untuk memperbaiki sistem kesehatan yang terdampak pandemi COVID-19. Melalui pengalaman pandemi COVID-19 ini diharapkan terjadi percepatan reformasi sehingga Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk melakukan transformasi sistem kesehatan yang terdiri dari 6 pilar transformasi. Transformasi sistem kesehatan merupakan bentuk reformasi sejati yang melibatkan banyak tombol kebijakan sesuai dengan metafora health system control knobs. Kebijakan transformasi kesehatan ini perlu didukung oleh dasar hukum yang kuat yaitu UU Kesehatan Omnibus Law. Metode omnibus law digunakan karena banyak UU di masa lalu tentang kesehatan yang sulit dipadukan dan berpotensi menjadi penghambat reformasi. Setiap bab dan pasal dalam UU ini saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi. Diskusi dan event terkait isu UU Kesehatan dapat diakses melalui www.kebijakankesehatanindonesia.net 

video

Narasumber utama: dr. RA Arida Oetami, M.Kes

dr. RA Arida Oetami, M.Kes. (Ketua Dewan Penelitian dan Pengembangan DIY) yang mengawali pembahasan dengan tujuan dari kesehatan keluarga yaitu agar tercapai kesejahteraan mental dan sosial. Kesehatan keluarga dilihat dari 4 aspek, yaitu aspek sosial dan emosional, aspek kebiasaan hidup sehat, aspek sumber daya keluarga, dan aspek dukungan sosial eksternal. Kesehatan keluarga termuat dalam UU Kesehatan yang mana terkait pembangunan keluarga dan ketahanan keluarga dimana hubungan sosial mencakup dari sisi agama, cinta kasih, perlindungan, sosial budaya, reproduksi, ekonomi, lingkungan dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan keluarga tidak hanya dibangun dari sisi kesehatan saja karena sektor lain perlu mendukung fungsi keluarga. Dalam melaksanakan UU Kesehatan ini. perlu pendekatan pengasuhan positif dan kebiasaan hidup sehat termasuk kesehatan lingkungan. Oleh karena itu, peraturan turunan perlu dibuat secara detail untuk menjelaskan siapa saja yang berwenang (leading sector) dalam hal kesehatan keluarga karena dikhawatirkan sering terjadi ketidakjelasan dalam pelaksanaannya. Penyusunan aturan turunan ini perlu melibatkan kementerian lain yang terkait dengan pendidikan, agama, sosial, budaya, BKKBN, PUPR, transportasi, perempuan dan perlindungan anak dan sebagainya. Sebab, keluarga tidak hanya berkaitan dengan kesehatan reproduksi saja sehingga tidak hanya sektor kesehatan saja. Sektor kesehatan perlu berkolaborasi dengan sektor lain untuk meningkatkan kesejahteraan, sebab Ketahanan keluarga menjadi kunci dalam kesejahteraan.

Shita Dewi (Konsultan PKMK FK-KMK UGM) selaku moderator turut memantik diskusi tentang dampak UU Kesehatan terhadap kesehatan keluarga. Kesehatan keluarga termuat dalam BAB V tentang upaya kesehatan. Banyak pertanyaan yang muncul jika mencermati kesehatan keluarga dalam UU ini. Bagaimana pelayanan kesehatan keluarga akan didanai? Bagaimana dengan pembiayaan untuk kunjungan keluarga? Bagaimana mengenai alat kesehatan dan IT untuk upaya kesehatan keluarga? Bagaimana data diperoleh dan dimanfaatkan? Oleh siapa? Dalam konteks pasal SDM Kesehatan, bagaimana SDM untuk kedokteran keluarga dididik, dilatih, ditempatkan dan dikembangkan karirnya? Siapa yang perlu mengawal UU No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan di Isu Upaya Kesehatan Keluarga? Oleh karena itu, perlu adanya aturan turunan untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut.


Materi Shita Listyadewi  download


materi dr. RA Arieda Oetami, M.Kes  download


video

Sesi Diskusi:

Webinar dilanjutkan dengan diskusi tentang siapa yang disebut dengan keluarga dan pendekatan siklus kehidupan yang digunakan dalam upaya kesehatan keluarga. Kesehatan perempuan disoroti karena perempuan memainkan peran penting dalam kesehatan keluarga, terlebih pada kondisi perempuan yang menjadi kepala keluarga. Dalam diskusi ini juga dibahas mengenai akses dan SDM untuk upaya kesehatan keluarga, serta berbagai stakeholders yang diharapkan ambil peran dalam upaya kesehatan keluarga ini.

video

Sesi Penutup:

Diskusi dalam webinar ini diharapkan dapat dilanjutkan melalui website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan yang dikembangkan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik mutu pelayanan kesehatan
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

  Waktu Kegiatan

Hari, tanggal : Kamis, 24 Agustus 2023
Pukul : 09:00 – 10.30

  Kegiatan

Jam (WIB) Topik PIC/Narasumber
09.00-09.05 Pembukaan dan Pengenalan Narasumber Shita Dewi
09.05-09.15 Pengantar

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar dan Konsultan PKMK FK-KMK)

video

09.15-09.35 Materi 1 : Implikasi UU Kesehatan terhadap Kesehatan Keluarga

dr. RA Arida Oetami, Mkes.
(Ketua Dewan DI Yogyakarta)

video   materi

09.35 – 10.20 Sesi Diskusi video
10.20 – 10.30 Kesimpulan dan Closing statement Moderator

 

Diskusi ke-9 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Bencana Kesehatan

Diskusi ke-9 UU Kesehatan

Diskusi Urusan Bencana Kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023

Senin, 21 Agustus 2023  |   Pukul: 08:00 – 09:00 WIB

 

PKMK – Urusan bencana telah menjadi perhatian oleh sektor kesehatan sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dan peraturan lain sebelumnya. Penanganan manajemen bencana kesehatan di Indonesia juga terus berkembang dan mengambil pembelajaran pada setiap penanganan bencana alam maupun non alam, termasuk situasi andemi COVID-19 lalu hingga saat ini. Kehadiran UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dalam ekosistem urusan bencana kesehatan menjadi menarik dan penting untuk dibahas. Kali ini, PKMK FK-KMK UGM mengadakan webinar seri #9 dengan topik utama “Keberadaan Urusan Bencana Kesehatan di UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023”.

21ags 1

Kegiatan ini dipandu oleh Ns Maryami Yuliana Kosim, S.Kep., M.Kep., Ph.D dan diisi oleh Madelina Ariani, MPH selaku Kepala Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM. Dalam pembahasannya, Madelina menyampaikan bahwa perbedaan besar yang terlihat dari UU baru ini adalah keberadaan nomina bencana sebanyak 41 kata dan cantumannya yang tersebar di 8 bab berbeda. Hal ini berubah dari UU lama, yakni UU Nomor 36 Tahun 2009 yang mencantumkan nomina bencana hanya di bab 6 sebanyak 14 kata. Selain itu, di UU baru, juga terdapat nomina krisis kesehatan, di mana hal ini menjadi krusial karena akan mempengaruhi konsep bencana dan penanggulangannya. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam beberapa pasal yang tercantum dalam UU baru dan lama, serta kebaruan pasal.

video   materi

Sesi Diskusi

Forum dilanjutkan dengan sesi diskusi dimana salah satu peserta, Madahan Lalu selaku perwakilan Dinkes NTB menyebutkan bahwa UU baru ini membawa semangat baru dan menghidupkan optimisme dalam perbaikan sistem penanggulangan bencana di Indonesia. dr. Bella Donna, M.Kes melanjutkan dengan memberikan semangat kepada semua aktivis bencana kesehatan. Bella mengingatkan bahwa meski memberikan rasa optimis, forum juga harus mengawal lanjutan dari UU ini, yakni produk turunannya. Bella menambahkan bahwa selanjutnya forum dilaksanakan 2 pekan sekali untuk terus mengkritisi kebijakan ini.

Diskusi berjalan baik dengan antusiasme peserta yang tinggi, terutama yang mengkritisi soal nomina-nomina kebencanaan dalam peraturan baru dan definisinya. Selain itu, beberapa peserta yang terdiri dari birokrat dan praktisi lapangan juga menggarisbawahi persoalan seputar ambulans gratis, sistem pendanaan dalam penanggulangan bencana, dan kerahasiaan dalam hal rekam medis pasien bencana.

21ags 2dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD turut menyampaikan optimisme dalam ekosistem bencana kesehatan dalam UU baru. Meski sempat menuai kontroversi, terutama dalam hal organisasi profesi dan pendidikan spesialis, bencana kesehatan tidak terpengaruh dan justru mendapat peluang bagus dalam UU ini. Namun, beberapa hal tetap harus dikritisi. Terminologi dalam bencana kesehatan harus disamakan persepsinya. Bagaimana peran masyarakat dalam kondisi kebencanaan belum diatur khusus dalam UU, artinya turunannya harus ada yang mengatur. Bidang pendanaan juga harus diperjelas agar tidak saling tumpang tindih atau justru tidak ada yang menaungi. Webinar ini juga menjadi awal lahirnya Community of Practice atau Masyarakat Praktisi di bidang Bencana Kesehatan. Ke depan akan diadakan webinar seri lanjutan khusus membahas urusan bencana kesehatan beserta turunannya.

video

Reporter: dr Alif Indira (Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK UGM)

Pengantar

Urusan bencana telah menjadi perhatian oleh sektor kesehatan sejak Undang-Undang No. 36 tahun 2009 dan peraturan lain sebelumnya. Penanganan manajemen bencana kesehatan di Indonesia juga terus berkembang dan mengambil pembelajaran pada setiap penanganan bencana alam maupun non alam, termasuk situasi Pandemi Covid-19 lalu hingga saat ini.

Sejak kebijakan transformasi sistem kesehatan dan perubahan undang-undang kesehatan terjadi, urusan bencana dan krisis kesehatan juga termasuk yang menjadi perhatian dari pemerintah, akademisi, pemerhati bencana dan masyarakat secara umum. Urusan bencana dan krisis kesehatan penting dibahas karena setiap kejadian bencana selalu memberikan dampak langsung kepada masyarakat dan sistem kesehatan di wilayah terdampak, belum lagi dampak tidak langsung kepada sistem lainnya yang berpengaruh pada layanan kesehatan pada situasi bencana.

Menarik untuk membahas dan mendiskusikan segala perubahan urusan bencana kesehatan pada Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023. Oleh karena itu, tim COP bencana kesehatan menginisiasi pertemuan awal diskusi bencana kesehatan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Menyampaikan analisis urusan bencana kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023
  2. Mendiskusikan segala perubahan urusan bencana kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023
  3. Mengidentifikasi rencana topik diskusi selanjutnya, termasuk mengidentifikasi peraturan turunan masing-masing urusan bencana kesehatan pada setiap bab dan pasal di dalam Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023

  Waktu Kegiatan

Hari, tanggal : Senin, 21 Agustus 2023
Pukul : 08:00 – 09.30 wib

  Agenda Kegiatan

Waktu Kegiatan  
08.00 – 08.05 Pembukaan Moderator
08.05 – 08.15 Pengantar Shita Dewi
08.15 – 08.35

Pemantik diskusi : Urusan bencana kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023

video   materi

Madelina Ariani, MPH
(Konsultan/ Peneliti Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM)

08.35 – 08.55

Sesi diskusi

video

08.55 – 09.00 Penutup

 

Diskusi ke-11 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik UU Kesehatan dan Kontrak Perorangan antara Residen dengan RS

Diskusi ke-11 UU Kesehatan

UU Kesehatan dan Kontrak Perorangan antara Residen dengan RS

Jumat, 25 Agustus 2023  |   Pukul: 15:00 – 16:30 WIB

Topik pembahasan yang diangkat dalam webinar UU Kesehatan seri ke 11 berfokus pada kontrak perorangan antara residen dengan rumah sakit terkait dengan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.


Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD yang mengulas perintah UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang pengelolaan tenaga residen di jalur university based dan hospital based. Sebelum UU Kesehatan Omnibus Law ini disahkan, pendidikan dokter spesialis diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran selama periode 2013-2023. Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ini disusun berdasarkan situasi di Indonesia dan benchmarked di US dan Australia, dimana residen bukan sebagai mahasiswa biasa namun sebagai pekerja. Pada pasal 31 mengenai UU Pendidikan Kedokteran terdapat penjelasan mengenai hak dan kewajiban mahasiswa serta ketentuan lanjut diatur dalam peraturan menteri. Namun, apa yang terjadi dalam pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran 2013? Peraturan turunan tidak banyak disusun, stakeholder utama tidak peduli pada residen, dan sebagainya. Selain itu, UU ini gagal mengubah budaya kerja di pelayanan kesehatan yang tetap tidak mengakui residen sebagai pekerja. Namun, pandemi COVID-19 menyadarkan bangsa bahwa residen adalah pekerja. UU Kesehatan 2023 membuka jalur hospital-based yang diikuti dengan berbagai pro dan kontra. Jalur hospital-based dan university-based memiliki kesamaan yaitu residen sebagai pekerja. Pada pasal 219 prinsip residen sebagai pekerja diatur dalam UU Kesehatan berdasarkan praktek global dan membutuhkan kontrak perorangan antara RS dengan residen. Meski demikian, konsekuensi perintah UU Kesehatan yaitu residen sebagai pekerja tidak mudah karena memerlukan berbagai adaptasi.

materi   video

Narasumber Utama: Letnan Kolonel Ckm dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes

Sesi pembahasan disampaikan oleh Letnan Kolonel Ckm dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes yang mengantarkan peserta dalam sebuah pertanyaan menarik: apakah UU Nomor 17 Tahun 2023 dapat efektif dalam hal kontrak perorangan residen dengan RS pendidikan? Jika melihat kembali ke UU Nomor 20 Tahun 2013, pendidikan residen menganut sistem university-based, namun pendekatan lain di beberapa negara menggunakan sistem hospital-based. UU Nomor 17 Tahun 2023 membuka opsi pendidikan kedokteran dengan hospital-based dan memerintahkan adanya hak dan kewajiban peserta didik. Apakah hal ini dapat dituangkan dalam kontrak perorangan antara RS Pendidikan dengan residen? Sebelum adanya UU Pendidikan Kedokteran 2013, residen dianggap sebagai siswa yang harusnya membayar ke RS, tidak memiliki kompetensi klinis, tidak memiliki dasar hukum untuk diberi insentif, dan tidak bisa dikontrak. Selain itu, belum ada regulasi yang mengatur pendidikan residen dan peran negara. Namun, UU Pendidikan Kedokteran memerintahkan residen sebagai pekerja sehingga semestinya ada kontrak kerja antara residen dengan RS Pendidikan. Pada kenyataannya, tidak ada niat yang cukup dari berbagai stakeholder, budaya RS yang menempatkan residen sebagai mahasiswa, serta tidak adanya kontrak atau perjanjian sehingga terjadi kegagalan dan adanya perundungan dalam pelaksanaan UU Pendidikan kedokteran tahun 2013.

Tata kelola residen saat ini belum baik, tergambar dalam situasi dimana residen harus membayar dana pendidikan yang besar jumlahnya, hubungan antara residen junior dan senior belum tertata sehingga terdapat bullying, dan mutu pelayanan RS menjadi sulit dikembangkan. Di masa depan, pasca UU Kesehatan sudah selayaknya residen diberikan insentif atas jasa pelayanan medis sesuai kompetensi, mengingat besarnya kontribusi residen. Dalam pelaksanaannya, mengacu pada UU Tenaga Kerja dan PP terkait seperti PP RI Nomor 35 Tahun 2021, unsur dalam hubungan kerja tertera dalam pasal 1 angka 1 yaitu “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah”. Jika melihat dalam unsur pekerjaan, residen melakukan pekerjaan dengan memberikan pelayanan; dalam unsur perintah, residen mendapat perintah untuk melakukan suatu pekerjaan. Sehingga, dalam hal upah semestinya mendapatkan imbalan jasa yang layak. Selain itu, dalam hal beban kerja, paska UU Kesehatan semestinya terjadi minimalisasi beban kerja residen di RS pendidikan dengan mempertimbangkan jam kerja ideal yang pada akhirnya berdampak pada mutu pelayanan RS. Sebagai kesimpulan, tantangan UU Nomor 17 Tahun 2023 ini adalah bagaimana memaksa semua RS pendidikan pada jalur university based maupun hospital based dalam mengatur hak dan kewajiban residen dalam sebuah kontrak perorangan sebagaimana praktek yang terjadi di negara maju?

materi   video

Pembahas: dr. Andi Khomeini SpPD

Tanggapan terhadap pembahasan ini disampaikan oleh dr. Andi Khomeini SpPD yang menggarisbawahi implementasi sumpah dokter, dimana dokter mengaku bahwa sesama dokter nilainya seolah-olah seperti saudara kandung, tidak selalu mudah. Sebagai saudara semestinya sesama dokter saling menghormati dan menyayangi sebagai prinsip dasar kehidupan yang baik terutama para pelayan medis. Namun, mengapa masih terjadi bullying? Setelah adanya UU Kesehatan ini penting untuk diperhatikan bagaimana kita membuat residen di kontrak sebagai pekerja dan dapat memberikan pelayanan dengan perlindungan hukum. Dalam sesi diskusi banyak dibahas tentang residen sebagai pekerja, kontrak/perjanjian kerja dengan RS, serta insentif atau jasa pelayanan bagi residen dalam kaitannya dengan UU Nomor 17 Tahun 2023 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Diskusi juga menyoroti perlunya sinkronisasi pelaksanaan UU Kesehatan ini dengan stakeholders lain seperti Kementerian Keuangan dan badan pemeriksa keuangan.

video

Sesi Penutup

Diskusi dalam webinar ini diharapkan dapat dilanjutkan melalui website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan yang dikembangkan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik UU Kesehatan dan Kontrak Perorangan antara Residen dengan RS 
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

  Waktu Kegiatan

Hari, tanggal : Jumat, 25 Agustus 2023
Pukul : 15:00 – 16.30

  Narasumber

Moderator: dr. Diaz Novera, BMedSc(Hons), MPH


Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, Phd

materi   video


Narasumber Letnan Kolonel Ckm dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes.

materi   video


Pembahas Oleh dr. Andi Khomeini Takdir

video


Sesi Diskusi

video

Diskusi ke-12 UU Kesehatan Topik Tata Kelola Rumahsakit

Diskusi ke-12 UU Kesehatan

Topik Tata Kelola Rumahsakit

Senin, 28 Agustus 2023  |   Pukul: 12:00 – 13:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-12 yang membahas tata kelola rumah sakit dalam kerangka UU Kesehatan Omnibus Law.

Pengantar oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes (Ketua PKMK FK-KMK UGM)

29ags1Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes mengantar webinar dengan menjelaskan bahwa, dari sisi manajemen, terdapat beberapa poin dalam UU Kesehatan yang baru yang dapat mengubah dan menjadi peluang pengembangan rumah sakit. Meski demikian, hal ini akan sangat bergantung pada aturan turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023. Dengan memahami pasal-pasal yang ada, diharapkan kita dapat memperoleh informasi dan mensintesisnya menjadi sebuah gagasan untuk membangun rumah sakit dalam keterkaitannya dengan UU Kesehatan yang baru.

Dalam UU Kesehatan ini, rumah sakit tidak lagi termuat secara independen dalam bab tersendiri melainkan secara terintegrasi dalam sistem kesehatan. Dengan kata lain, berbagai aturan terkait dengan sumber daya manusia, logistik, maupun sistem informasi akan berpengaruh terhadap pengelolaan rumah sakit. Sebagai manajer kita diharapkan dapat menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk memanfaatkan peluang yang ada.

video

Pembahasan oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, S.KM., M.Kes (Konsultan PKMK FK-KMK UGM)

29ags1Sesi pembahasan disampaikan oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, S.KM., M.Kes yang menjelaskan bahwa rumah sakit merupakan layanan rujukan yang harus bertransformasi sesuai dengan pilar transformasi pelayanan rujukan sebagai bagian dari transformasi sistem kesehatan. Seluruh aturan turunan dari UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan lembaga yang terlibat akan mendukung upaya pembangunan peningkatan pelayanan RS. Hal ini tertuang didalam pasal-pasal UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Salah satu yang termuat dalam UU Kesehatan ini adalah terkait potensi besar pengobatan tradisional seperti medical wellness agar masuk ke dalam standar pelayanan kesehatan. Dalam hal ini diperlukan aturan turunan yang menjelaskan penyelenggaraan, kompetensi, serta kewenangan dan tanggung jawab pusat dan daerah. Dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan pada pasal 187 dan 196, diperlukan aturan turunan yang menjelaskan kewajiban RS untuk melaksanakan sistem rujukan yang terintegrasi serta sistem rujuk balik. Dalam hal keuangan fasilitas pelayanan kesehatan pada pasal 194, diperlukan aturan turunan berupa peraturan menteri kesehatan tentang pola tarif nasional yang dipertegas untuk RS Pemerintah dan di-update secara berkala (maksimal 2 tahun).

Dalam hal SDM Kesehatan, diperlukan aturan turunan yang menjelaskan beberapa aspek penting seperti apa saja yang termasuk dalam tenaga pendukung dan penunjang kesehatan, beban kerja tenaga kesehatan di RS, serta kebutuhan SDM yang mencakup residen. RS akan menghitung terlebih dahulu kebutuhan SDM agar beban pembiayaan tidak terlalu besar, termasuk pembiayaan bagi residen karena akan dibayar sesuai kerjanya.

Terkait pasal 234, diperlukan aturan turunan mengenai penempatan tenaga medis dalam hal insentif (finansial atau non finansial), jaminan keamanan (terutama di daerah rawan konflik), serta perlindungan hukum saat menjalankan tugas. Terkait pasal 251 dan 253, diperlukan PP terkait pendayagunaan tenaga medis lulusan luar negeri. Mengenai pendanaan kesehatan pada pasal 402 ayat 4 dan pasal 406, diperlukan PP yang mengatur bahwa RS non pemerintah harus melaporkan penggunaan anggaran yang berasal dari pemerintah; RS pemerintah harus melaporkan realisasi belanja kesehatan; serta pendapatan RS pemerintah diakui sebagai pendapatan pemerintah yang penggunaan seluruhnya untuk operasional RS. Sementara terkait dengan farmasi, diperlukan aturan turunan yang mengatur dengan detail kompetensi apoteker, proses peresepan obat keras, hingga telemedicine yang kini menjadi bagian dari layanan kesehatan di rumah sakit.

video   materi

Sesi Diskusi

Diskusi mengenai isu-isu yang muncul dengan adanya UU Kesehatan dibahas dalam sesi diskusi, antara lain terkait dengan pola tarif nasional yang termuat dalam pasal 194 ayat 1 dan perlu diatur oleh peraturan pelaksana. Selain itu, diskusi juga mengangkat kekhawatiran upaya badan layanan umum yang kini termuat dalam pasal 185 ayat (2) “Rumah Sakit yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam memberikan layanan Kesehatan dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Isu terkait dengan aturan bahwa pimpinan rumah sakit harus berlatar belakang medis juga dibahas dalam diskusi ini.

video

Sesi Penutup

Diskusi tentang tata kelola rumah sakit dalam Kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 28 Agustus 2023
Pukul 12.00 – 13.00 WIB

  Kegiatan

Moderator: dr. Haryo Bismantara, MPH. (Dosen Health Policy and Management dan Konsultan PKMK FK-KMK UGM)


Pengantar oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes

video


Narasumber: Ni Luh Putu Eka Putri Andayani , S.KM., M.Kes (Konsultan PKMK FK-KMK UGM)

video   materi


Sesi Diskusi

video

Diskusi ke-13 UU Kesehatan Topik Perkembangan Academic Health System (AHS)

Diskusi ke-13 UU Kesehatan

Perkembangan Academic Health System (AHS)

Selasa, 29 Agustus 2023  |   Pukul: 13:30 – 14:30 WIB

Webinar ini membahas perkembangan Academic Health System (AHS) dalam pemenuhan dokter spesialis dalam kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Webinar dipandu oleh dr. Srimurni Rarasati, MPH selaku moderator.

Pengantar oleh: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Webinar diawali dengan pengantar yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Konsultan PKMK FK-KMK UGM) untuk memantik diskusi tentang penerjemahan sistem kesehatan akademik (Academic Health System) dan keterkaitannya dengan UU Kesehatan. Dalam UU ini, terdapat 2 jalur pendidikan yaitu hospital-based dan university-based. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 ini mengatur bahwa residen berstatus sebagai pekerja sekaligus peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan dan berhak mendapatkan bantuan hukum, mendapat waktu istirahat dan mendapat imbalan sesuai pelayanan kesehatan yang dilakukan. Lantas bagaimana pengaruh UU Kesehatan terhadap Academic Health System (AHS) dengan university-based? Apakah amanat UU Kesehatan dapat dilakukan pada AHS termasuk perencanaan kewilayahan? Kedua pertanyaan ini menjadi isu diskusi yang penting.

materi   video

Pembicara Utama dr. Haryo Bismantara, MPH

dr. Haryo Bismantara, MPH (Dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM) selaku narasumber membawakan pembahasan mengenai penerjemahan konsep sistem kesehatan akademik dalam pemenuhan dokter spesialis di Indonesia dalam keterkaitannya dengan pengaruh UU Nomor 17 Tahun 2023. Sesi ini membahas 4 topik utama, yaitu masalah kekurangan dokter/dokter spesialis dan transformasi SDM Kesehatan, sistem kesehatan akademik sebagai sarana untuk mewujudkan transformasi SDM kesehatan di Indonesia, penerjemahan konsep AHS untuk pemenuhan dr spesialis di Indonesia, dan AHS pasca UU Nomor 17 Tahun 2023.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa kebutuhan dokter spesialis di Indonesia masih tinggi. Dari aspek produksi, per tahunnya terdapat kurang lebih 3000 lulusan dokter spesialis baru dengan kurang lebih 800 tambahan kuota penerimaan dalam 5 tahun terakhir. Meski demikian, meski jumlah terus ditambah namun tanpa mempertimbangkan faktor lain maka tidak akan berhasil karena dapat muncul masalah distribusi, retensi, dan lain sebagainya. Isu transformasi sistem kesehatan ini merupakan isu kompleks yang memiliki karakteristik berkesinambungan dan melibatkan banyak stakeholders. Model AHS memiliki potensi besar untuk mendukung kecepatan dan keberlangsungan upaya transformasi SDM Kesehatan dengan meningkatkan jumlah nakes, mengupayakan pemerataan tenaga kesehatan, meningkatkan mutu tenaga kesehatan, sekaligus mewujudkan transformasi SDM kesehatan yang bernilai tambah melalui efisiensi, kolaborasi yang berkelanjutan, dan kemandirian pemerintah daerah dalam menentukan prioritas tenaga kesehatan yang diperlukan.

Dalam rangka penerjemahan AHS untuk pemenuhan dokter spesiali terdapat beberapa strategi yang digunakan yaitu strategi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dalam jangka pendek diharapkan ada peningkatan kuota mahasiswa dokter spesialis, dalam jangka menengah diharapkan ada peningkatan jumlah dosen dan RS pendidikan, sementara dalam jangka panjang diharapkan ada peningkatan jumlah prodi/FK baru. Untuk memonitor ini, Kementerian Kesehatan membagi AHS dalam 6 wilayah yang harapannya akan mewujudkan AHS di masing-masing provinsi sehingga tujuan akhirnya adalah seluruh pemerintah daerah tingkat provinsi dapat mandiri dalam merencanakan kebutuhan, mendidik, mendistribusikan, dan meretensi SDM Kesehatan. Berdasarkan hasil monev, program AHS sudah menunjukkan kebermanfaatannya dan diharapkan lebih ditingkatkan lagi dengan berbagai aturan turunan UU Kesehatan. Aktivitas yang ditawarkan AHS dalam pemenuhan dokter spesialis terdiri dari 3 stream, yaitu pemenuhan dokter umum dan dokter gigi di puskesmas, pemenuhan dokter spesialis di RS, dan penguatan RS Pendidikan. Secara umum, UU Kesehatan ini memberikan peluang untuk penguatan sistem kesehatan di wilayah yang tercantum pada pasal 173 ayat (1) poin f. Model AHS dapat menjawab pasal 12 UU Kesehatan bahwa pemerintah daerah dan pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap perlindungan kepada pasien dan SDM Kesehatan serta dalam perencanaan. Meski demikian, terdapat beberapa isu yang perlu pendalaman oleh stakeholders AHS ke depan yaitu keberadaan RS, mekanisme pendidikan dokter spesialis di RS (termasuk uji kompetensi, pemberian sertifikat, dan gelar), hak dan kewajiban peserta didik. Terbitnya UU Kesehatan membuka peluang optimalisasi penyelenggaraan AHS.

materi   video

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi, dibahas mengenai keterlibatan RS swasta terstandar RS pendidikan dan bisa menjadi tempat yang ideal untuk penempatan peserta program pendidikan dokter spesialis serta roadmap pemenuhan dan pemerataan dokter spesialis berbasis konsorsium dan AHS. Inisiasi dan maintenance program AHS juga menjadi topik menarik yang didiskusikan.

Sesi Penutup

Diskusi tentang perkembangan AHS dalam pemenuhan dokter spesialis dalam kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

video

Reporter: dokter Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 29 Agustus 2023
Pukul 13.30 – 14.30 WIB

  Kegiatan

Moderator dr. Srimurni Rarasati, MPH


pengantar diskusi: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Msc, Phd

materi   video


Narasumber: dr. Haryo Bismantara, MPH. (Dosen Health Policy and Management dan Konsultan PKMK FK-KMK UGM)

materi   video


Sesi Diskusi

video


 

Turunan Undang-undang dalam Urusan Bencana Kesehatan dalam UU Kesehatan No.17 Tahun 2023

Diskusi Lanjutan Urusan Bencana Kesehatan dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Turunan Undang-undang dalam Urusan Bencana Kesehatan

Kamis, 7 September 2023  |   Pukul: 08:00 – 09:00 WIB

7sep9

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM Kembali menyelenggarakan Diskusi Lanjutan Urusan Bencana Kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Diskusi tersebut masih merupakan rangkaian dalam Webinar Series Pembahasan UU Kesehatan, kali ini dengan topik diskusi terkait Turunan Undang-Undang dalam Urusan Bencana Kesehatan.

Pemantik diskusi kali ini ialah dr. Alif Indiralarasati, dipandu oleh moderator Madelina Ariani, SKM., MPH, dan dibahas sejumlah narasumber diantaranya. dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD, dr. Bella Donna, M.Kes, Sutono, S.Kep., M.Kep., M.Sc, Apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid, Lalu Madahan, SKM, MPH (Dinas Kesehatan NTB), dan Kudiyana, S.KM., M.Sc (Dinas Kesehatan DIY).

Diskusi berjalan cukup lancar, dalam panelnya para pembahas cukup banyak menyoroti tentang Hospital Disaster Plan (HDP) dan standarisasi layanan ambulans dalam aturan turunan nanti. Namun, selain dua hal di atas, aspek lainnya juga diidentifikasi seperti logistik dan pendanaan. Secara lebih lanjut diskusi juga mencermati terkait sinkronisasi lebih lanjut dengan aturan yang bersisihan dengan bencana lainnya, misalnya Permenhan Nomor 39 Tahun 2014 yang membahas HDP. Turunan UU selazimnya dapat lebih memperhatikan terkati kehati-hatian standarisasi nomina dalam urusan teknis.

Diakhir acara disimpulkan bahwa diskusi ke depan terkait UU Kesehatan perlu untuk membahas satu-satu per isu yang disebutkan, dan perlu membahas mapping stakeholder untuk Peraturan Pemerintah.

Reporter: Maryami Yuliana Kosim, S.Kep., Ns., M.Kep., Ph.D (FK-KMK UGM)

  Materi dan Video Kegiatan

Moderator : Madelina Ariani, SKM., MPH.


Pemantik Diskusi: dr. Alif Indiralarasati

video   materi


Pembahas:

dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD

video


Lalu Madahan, S.KM., MPH.  Dinas Kesehatan NTB

video


 dr. Bella Donna, M.Kes

video


Kudiyana, S.KM., M.Sc  Dinas Kesehatan DIY

video


Apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid

video


Sutono, S.Kep., M.Kep., M.Sc

video


 

 

 

Webinar LiLA Keluarga – Pemberdayaan Keluarga untuk Deteksi Dini Wasting

Kerangka Acuan Kegiatan

Webinar LiLA Keluarga – Pemberdayaan Keluarga untuk Deteksi Dini Wasting

Kamis, 10 Agustus 2023  |  Pukul 10.00 – 12.00 WIB

  Latar Belakang

Komitmen global sebagaimana yang tercantum dalam SDGs 2.2 adalah menghilangkan berbagai bentuk malnutrisi pada 2030 (UN General Assembly, 2015). Di Indonesia, salah satu perhatian utama pemerintah adalah mengatasi wasting pada anak di berbagai wilayah di tanah air. Wasting adalah bentuk kekurangan gizi akut yang sangat berbahaya, karena memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang pada pertumbuhan anak (UNICEF, 2022). Anak yang mengalami wasting memiliki risiko 3 kali lebih tinggi untuk menjadi stunting (Wright et al., 2023).

Secara statistik terdapat 6,7% anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia termasuk dalam kategori wasting (WFP, WHO & UNICEF, 2020). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi balita wasting menunjukkan adanya penurunan dari 13,6% (2007) menjadi 10,2% (2018) dalam satu dekade (Kemenkes RI, 2018). Namun, berdasarkan data Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi balita wasting meningkat menjadi 7,7 persen dari sebelumnya 7,1 persen pada 2021.

Hal tersebut menggarisbawahi perlunya deteksi sedini mungkin pada kasus wasting dan ditangani secara terintegrasi. Salah satu bentuk deteksi dini yang mudah dilakukan di tingkat keluarga adalah pengukuran lingkar lengan atas (LiLA) anak. Upaya ini telah diujicobakan sebagai bagian dari pendekatan Pengelolaan Gizi Buruk Terintegrasi (PGBT) yang menekankan perlunya pelibatan masyarakat dalam penanganan wasting. Orang tua atau pengasuh dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan agar mampu mengenali tanda awal wasting pada anak-anak, serta dapat segera mencari pertolongan apabila anak menunjukkan tanda-tanda wasting.

Melihat pentingnya deteksi dini dan penanganan terintegrasi untuk kasus wasting di Indonesia, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) bekerja sama dengan UNICEF Indonesia menginisiasi webinar dengan judul “LiLA Keluarga – Pemberdayaan Keluarga untuk Deteksi Dini Wasting”.

  Tujuan

Kegiatan ini bertujuan untuk:

  1. Membahas pentingnya pelibatan masyarakat dalam deteksi dini wasting
  2. Berbagi pengalaman inovasi pemberdayaan keluarga dalam deteksi dini dan rujukan wasting

  Narasumber

  1. Direktorat Gizi dan KIA, Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI
    • Kebijakan Terkait Pencegahan dan Tata Laksana Wasting dengan Fokus Penemuan Balita Wasting dan Mobilisasi Masyarakat.
  2. UNICEF
    • – Pengukuran LiLA Keluarga Sebagai Salah Satu Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Deteksi Dini Wasting
  3. Tim Narasumber Provinsi NTB, yang terdiri dari Dinas Kesehatan Provinsi NTB, GEN NTB, dan Kader
    • Dinas Kesehatan Provinsi NTB:
      Peran Masyarakat dan Implementasi Pengukuran LiLA Keluarga dalam Deteksi Dini Wasting melalui Pemberdayaan Keluarga di NTB
    • GEN NTB
      Integrasi Pengukuran LiLA Keluarga melalui Program PARANA
    • Kader/Orang Tua
      Berbagi Pengalaman terkait Praktik Pengukuran LiLA Keluarga
  4. Tim Narasumber Kabupaten Sukoharjo, yang terdiri dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, Kader/Orang Tua
    • Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo
      Peran Masyarakat dan Implementasi Pengukuran LiLA Keluarga dalam Deteksi Dini Wasting melalui Pemberdayaan Keluarga di Kabupaten Sukoharjo
    • Puskesmas Bendosari
      Implelementasi Pengukuran LiLA Keluarga di Tingkat Puskesmas
    • Kader/Orang Tua
      Berbagi Pengalaman terkait Praktik Pengukuran LiLA Keluarga

  Moderator

Luthfiatul Chamidah – IMAM Coordinator Jawa Timur

  Target Peserta

  1. Pengambil keputusan nasional dan daerah.
  2. Akademisi bidang kesehatan masyarakat, kebijakan kesehatan, dan lain-lain.
  3. Peneliti, konsultan dan pemerhati bidang kesehatan masyarakat, kebijakan kesehatan, dan sebagainya
  4. Masyarakat umum, organisasi profesi, mahasiswa

  Agenda

Hari, tanggal : Kamis, 10 Agustus 2023
Pukul : 10.00 – 12.00 WIB

Link Zoom

Meeting ID : 879 2690 7862
Passcode : 864496
Live Streaming : Youtube – CH 1 PKMK

Waktu Kegiatan Pembicara
10.00 – 10.05 WIB

Pembukaan

10.05 – 10.20 WIB Pemaparan
  1. Direktorat Gizi & KIA, Kemkes RI (15 menit)
10.20 – 10.35 WIB
  1. UNICEF (15 menit)
10.35 – 11.05 WIB Talk Show Sesi 1
  1. Dinas Kesehatan Provinsi NTB (7 menit)
  1. GEN NTB (8 menit)
  1. Perwakilan Kader/Orang Tua Provinsi NTB (15
11.05 – 11.35 WIB Talk Show Sesi 2
  1. Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo (8 menit)
  1. Puskesmas Bendosari (7 menit)
  1. Perwakilan Kader/Orang Tua (15 menit)
11.35 – 11.55 WIB

Diskusi dan Tanya Jawab (Moderator – 20 menit)

11.55 – 12.00 WIB

Penutupan (Moderator – 5 menit)

Narahubung:

Monita (WhatsApp)
+62 82265001737

 

 

 

 

 

 

Kebijakan Pendidikan terkait dengan Kolegium dan Konsil Kedokteran dan berbagai isu lainnya

Notulensi

Kebijakan Pendidikan terkait dengan Kolegium dan Konsil Kedokteran dan berbagai isu lainnya

Senin, 31 Juli 2023  |   Pukul: 12:30 – 13:30 WIB

  Pengantar

UU Kesehatan yang baru disahkan banyak membahas mengenai pendidikan kedokteran dan pengembangan SDM Kesehatan. Dalam bulan Agustus ini akan ada penyusunan turunan UU dalam bentuk PP dan Peraturan-peraturan Menteri. Dalam rangka memberi masukan untuk aturan turunan, PKMK FK-KMK UGM mengundang teman-teman ahli pendidikan kedokteran dan ahli kebijakan publik untuk diskusi dengan topik Kebijakan Pendidikan terkait dengan Kolegium dan Konsil Kedokteran dan berbagai isu lainnya.

31jl

  Reportase

Saat ini PKMK FK-KMK UGM membuka sebuah forum untuk menampung masukan-masukan yang bisa diajukan ke Kemenkes, khususnya masukan bagi penyusunan regulasi turunan UU Kesehatan. Kegiatan ini akan didokumentasikan di laman khusus web, tepatnya di halaman https://kebijakankesehatanindonesia.net/4735-uu-kesehatan-omnibus-law-2023 

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD membuka webinar ini dengan menjelaskan beberapa hal, yaitu referensi klasik mengenai tujuan reformasi kesehatan seperti peningkatan akses, cakupan, sumberdana, kualitas dan safety. Reformasi kesehatan memiliki siklus yang dimulai dengan mengidentifikasi masalah, mendiagnosa penyebab, dilanjutkan dengan membentuk rencana, mendapatkan persetujuan politik, dan Implementasi yang diiringi dengan monitor dan evaluasi.

Kemudian bagaimana dengan pengalaman reformasi kesehatan di Indonesia?. DI masa lalu banyak UU di sektor kesehatan, diantaranya adalah UU Praktek Kedokteran (2004), UU SJSN (2004), UU Kesehatan (2009), UU BPJS (2011), UU Pendidikan Kedokteran (2013). Banyak UU yang terkait dengan kesehatan, namun terlihat tidak cukup reformis. Hadirnya UU Kesehatan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law mendukung reformasi kesehatan. UU Kesehatan yang sudah disahkan sangat tebal dan pembahasan siang ini mengenai konsil, kolegium dan berbagai isu terkait. Silahkan klik untuk membaca presentasinya.

Prof. dr. Hardyanto Soebono, Sp.DV&E (K) sebagai pembicara tunggal menjelaskan berbagai perubahan besar yang mengenai konsil, kolegium, dan juga Organisasi Profesi. Sebagai pengurus IDI memang mengikuti garis organisasi termasuk kemungkinan adanya Judicial Review ke MK. Namun tidak ada salahnya untuk memberikan masukan-masukan untuk Kemenkes agar lebih baik dalam menyusun peraturan-peraturan turunannya. Beberapa hal yang masih kabur seperti, independensi Konsil yang awalnya bertanggung jawab langsung kepada Presiden kemudian menjadi tidak langsung dan harus melalui Kemenkes perlu diperjelas.

Kemudian, salah satu peran konsil yaitu mengesahkan standar pendidikan kedokteran dihapuskan. Apakah benar? Lalu, mengenai rekrutmen anggota Konsil dalam kerangka UU Kesehatan juga perlu dijelaskan. Misal dari 34 kolegium, siapa yang harus mewakili menjadi anggota konsil? Banyak hal yang dapat menjadi masukan untuk Kemenkes. Silahkan klik untuk membaca powerpointnya.

Diskusi diakhiri dengan rencana untuk menuliskan masukan, dan membahas berbagai topik penting lainnya.

Reporter: Eurica Stefany Wijaya dan Nila Munana -PKMK UGM

 

  Materi

Pengantar UU Kesehatan sebagai Reformasi Kesehatan
oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

video   materi

Pembahasan awal berbagai Pasal terkait Konsil dan Kolegium 
oleh Prof. DR. Dr. Hardyanto Subono SpDV&E (K)

video   materi

Sesi Diskusi

video