Diskusi ke-13 UU Kesehatan Topik Perkembangan Academic Health System (AHS)

Diskusi ke-13 UU Kesehatan

Perkembangan Academic Health System (AHS)

Selasa, 29 Agustus 2023  |   Pukul: 13:30 – 14:30 WIB

Webinar ini membahas perkembangan Academic Health System (AHS) dalam pemenuhan dokter spesialis dalam kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Webinar dipandu oleh dr. Srimurni Rarasati, MPH selaku moderator.

Pengantar oleh: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Webinar diawali dengan pengantar yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Konsultan PKMK FK-KMK UGM) untuk memantik diskusi tentang penerjemahan sistem kesehatan akademik (Academic Health System) dan keterkaitannya dengan UU Kesehatan. Dalam UU ini, terdapat 2 jalur pendidikan yaitu hospital-based dan university-based. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 ini mengatur bahwa residen berstatus sebagai pekerja sekaligus peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan dan berhak mendapatkan bantuan hukum, mendapat waktu istirahat dan mendapat imbalan sesuai pelayanan kesehatan yang dilakukan. Lantas bagaimana pengaruh UU Kesehatan terhadap Academic Health System (AHS) dengan university-based? Apakah amanat UU Kesehatan dapat dilakukan pada AHS termasuk perencanaan kewilayahan? Kedua pertanyaan ini menjadi isu diskusi yang penting.

materi   video

Pembicara Utama dr. Haryo Bismantara, MPH

dr. Haryo Bismantara, MPH (Dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM) selaku narasumber membawakan pembahasan mengenai penerjemahan konsep sistem kesehatan akademik dalam pemenuhan dokter spesialis di Indonesia dalam keterkaitannya dengan pengaruh UU Nomor 17 Tahun 2023. Sesi ini membahas 4 topik utama, yaitu masalah kekurangan dokter/dokter spesialis dan transformasi SDM Kesehatan, sistem kesehatan akademik sebagai sarana untuk mewujudkan transformasi SDM kesehatan di Indonesia, penerjemahan konsep AHS untuk pemenuhan dr spesialis di Indonesia, dan AHS pasca UU Nomor 17 Tahun 2023.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa kebutuhan dokter spesialis di Indonesia masih tinggi. Dari aspek produksi, per tahunnya terdapat kurang lebih 3000 lulusan dokter spesialis baru dengan kurang lebih 800 tambahan kuota penerimaan dalam 5 tahun terakhir. Meski demikian, meski jumlah terus ditambah namun tanpa mempertimbangkan faktor lain maka tidak akan berhasil karena dapat muncul masalah distribusi, retensi, dan lain sebagainya. Isu transformasi sistem kesehatan ini merupakan isu kompleks yang memiliki karakteristik berkesinambungan dan melibatkan banyak stakeholders. Model AHS memiliki potensi besar untuk mendukung kecepatan dan keberlangsungan upaya transformasi SDM Kesehatan dengan meningkatkan jumlah nakes, mengupayakan pemerataan tenaga kesehatan, meningkatkan mutu tenaga kesehatan, sekaligus mewujudkan transformasi SDM kesehatan yang bernilai tambah melalui efisiensi, kolaborasi yang berkelanjutan, dan kemandirian pemerintah daerah dalam menentukan prioritas tenaga kesehatan yang diperlukan.

Dalam rangka penerjemahan AHS untuk pemenuhan dokter spesiali terdapat beberapa strategi yang digunakan yaitu strategi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dalam jangka pendek diharapkan ada peningkatan kuota mahasiswa dokter spesialis, dalam jangka menengah diharapkan ada peningkatan jumlah dosen dan RS pendidikan, sementara dalam jangka panjang diharapkan ada peningkatan jumlah prodi/FK baru. Untuk memonitor ini, Kementerian Kesehatan membagi AHS dalam 6 wilayah yang harapannya akan mewujudkan AHS di masing-masing provinsi sehingga tujuan akhirnya adalah seluruh pemerintah daerah tingkat provinsi dapat mandiri dalam merencanakan kebutuhan, mendidik, mendistribusikan, dan meretensi SDM Kesehatan. Berdasarkan hasil monev, program AHS sudah menunjukkan kebermanfaatannya dan diharapkan lebih ditingkatkan lagi dengan berbagai aturan turunan UU Kesehatan. Aktivitas yang ditawarkan AHS dalam pemenuhan dokter spesialis terdiri dari 3 stream, yaitu pemenuhan dokter umum dan dokter gigi di puskesmas, pemenuhan dokter spesialis di RS, dan penguatan RS Pendidikan. Secara umum, UU Kesehatan ini memberikan peluang untuk penguatan sistem kesehatan di wilayah yang tercantum pada pasal 173 ayat (1) poin f. Model AHS dapat menjawab pasal 12 UU Kesehatan bahwa pemerintah daerah dan pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap perlindungan kepada pasien dan SDM Kesehatan serta dalam perencanaan. Meski demikian, terdapat beberapa isu yang perlu pendalaman oleh stakeholders AHS ke depan yaitu keberadaan RS, mekanisme pendidikan dokter spesialis di RS (termasuk uji kompetensi, pemberian sertifikat, dan gelar), hak dan kewajiban peserta didik. Terbitnya UU Kesehatan membuka peluang optimalisasi penyelenggaraan AHS.

materi   video

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi, dibahas mengenai keterlibatan RS swasta terstandar RS pendidikan dan bisa menjadi tempat yang ideal untuk penempatan peserta program pendidikan dokter spesialis serta roadmap pemenuhan dan pemerataan dokter spesialis berbasis konsorsium dan AHS. Inisiasi dan maintenance program AHS juga menjadi topik menarik yang didiskusikan.

Sesi Penutup

Diskusi tentang perkembangan AHS dalam pemenuhan dokter spesialis dalam kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

video

Reporter: dokter Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 29 Agustus 2023
Pukul 13.30 – 14.30 WIB

  Kegiatan

Moderator dr. Srimurni Rarasati, MPH


pengantar diskusi: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Msc, Phd

materi   video


Narasumber: dr. Haryo Bismantara, MPH. (Dosen Health Policy and Management dan Konsultan PKMK FK-KMK UGM)

materi   video


Sesi Diskusi

video


 

Turunan Undang-undang dalam Urusan Bencana Kesehatan dalam UU Kesehatan No.17 Tahun 2023

Diskusi Lanjutan Urusan Bencana Kesehatan dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Turunan Undang-undang dalam Urusan Bencana Kesehatan

Kamis, 7 September 2023  |   Pukul: 08:00 – 09:00 WIB

7sep9

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM Kembali menyelenggarakan Diskusi Lanjutan Urusan Bencana Kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Diskusi tersebut masih merupakan rangkaian dalam Webinar Series Pembahasan UU Kesehatan, kali ini dengan topik diskusi terkait Turunan Undang-Undang dalam Urusan Bencana Kesehatan.

Pemantik diskusi kali ini ialah dr. Alif Indiralarasati, dipandu oleh moderator Madelina Ariani, SKM., MPH, dan dibahas sejumlah narasumber diantaranya. dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD, dr. Bella Donna, M.Kes, Sutono, S.Kep., M.Kep., M.Sc, Apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid, Lalu Madahan, SKM, MPH (Dinas Kesehatan NTB), dan Kudiyana, S.KM., M.Sc (Dinas Kesehatan DIY).

Diskusi berjalan cukup lancar, dalam panelnya para pembahas cukup banyak menyoroti tentang Hospital Disaster Plan (HDP) dan standarisasi layanan ambulans dalam aturan turunan nanti. Namun, selain dua hal di atas, aspek lainnya juga diidentifikasi seperti logistik dan pendanaan. Secara lebih lanjut diskusi juga mencermati terkait sinkronisasi lebih lanjut dengan aturan yang bersisihan dengan bencana lainnya, misalnya Permenhan Nomor 39 Tahun 2014 yang membahas HDP. Turunan UU selazimnya dapat lebih memperhatikan terkati kehati-hatian standarisasi nomina dalam urusan teknis.

Diakhir acara disimpulkan bahwa diskusi ke depan terkait UU Kesehatan perlu untuk membahas satu-satu per isu yang disebutkan, dan perlu membahas mapping stakeholder untuk Peraturan Pemerintah.

Reporter: Maryami Yuliana Kosim, S.Kep., Ns., M.Kep., Ph.D (FK-KMK UGM)

  Materi dan Video Kegiatan

Moderator : Madelina Ariani, SKM., MPH.


Pemantik Diskusi: dr. Alif Indiralarasati

video   materi


Pembahas:

dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD

video


Lalu Madahan, S.KM., MPH.  Dinas Kesehatan NTB

video


 dr. Bella Donna, M.Kes

video


Kudiyana, S.KM., M.Sc  Dinas Kesehatan DIY

video


Apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid

video


Sutono, S.Kep., M.Kep., M.Sc

video


 

 

 

Pengaruh Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 terhadap Persoalan One Health

Webinar Series UU Kesehatan

Pengaruh Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 terhadap Persoalan One Health

Kamis, 7 September 2023  |   Pukul: 09:00 – 11:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang membahas pengaruh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 terhadap persoalan One Health.

Pengantar oleh Prof. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D mengantar webinar dengan pemaparan mengenai era baru sistem kesehatan dengan adanya UU Kesehatan khususnya terhadap persoalan One Health. One Health di Indonesia masih belum operasional dengan baik di lapangan dimana para pelaku lintas sektor dan lintas level pemerintah belum teridentifikasi dengan baik dan peran sektor swasta belum terkelola. Persoalan One Health sangat terkait dengan penyakit menular yang diatur dalam pasal 91 dan pasal 92 UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Meski demikian, pasal-pasal lain yang terkait dengan penyakit menular sangat banyak dibahas dalam UU ini, yaitu dalam hal peran pemerintah pusat, daerah dan swasta; pemerataan pelayanan; perbekalan; teknologi kesehatan; pendanaan kesehatan; dan sebagainya. Keterkaitan antar pasal dalam UU Kesehatan menunjukkan bahwa ini merupakan sebuah reformasi kesehatan yang membuka peluang untuk mereformasi gerakan One Health dengan prinsip Transformasi Kesehatan yang mempunyai landasan hukum UU Kesehatan. Diharapkan kelompok-kelompok masyarakat di One Health menyiapkan tim tangguh untuk menganalisis UU Kesehatan ini dan memberikan masukan ke pemerintah. Kelompok ini akan berjalan jangka panjang termasuk meneliti pelaksanaan UU Kesehatan ini dan tim ini dapat menjadi sebuah masyarakat praktisi untuk melaksanakan UU Nomor 17 Tahun 2023 dalam One Health serta melakukan penelitian-penelitian terkait pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 di One Health.

Narasumber utama: Gunawan Wahab (Co-Founder dan Executive Director dari One Health Foundation)

Memasuki sesi pembahasan, Gunawan Wahab menyampaikan materi mengenai pengaruh UU Nomor 17 Tahun 2023 terhadap One Health dari arah ekosistem One Health dan permasalahannya. One Health merupakan pendekatan kolaboratif multisektoral untuk menyusun dan mengimplementasikan program, kebijakan yang bertujuan untuk mencapai kesehatan masyarakat yang optimal dengan mengenali interkonektivitas antara manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan bersama. Sains dan pandemi COVID-19 telah membuktikan bahwa kesehatan lingkungan (termasuk satwa) dan kesehatan manusia sangat berhubungan erat. Contoh masalah yang sedang berlangsung di indonesia yaitu adanya kasus rabies yang terus menerus menjadi ancaman bagi masyarakat indonesia termasuk anak-anak.

Dalam konsep One Health, stakeholders yang berperan ialah lintas sektor. Stakeholders yang berperan dari pemerintahan yaitu kementerian koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan; kementerian kesehatan; kementerian pertanian; kementerian lingkungan hidup; pusat pelayanan daerah, BUMN di sektor kesehatan dan pertanian. Sedangkan di bagian swasta yaitu dari IDI; PDHI; veteriner, puskesmas dan puskeswan; perusahaan swasta; perusahaan manufaktur vaksin; perusahaan manufaktur produk makanan hewan; startup kesehatan digital; organisasi non pemerintah (NGO), Lembaga penelitian; shelter. Pemetaan ini menunjukkan One Health merupakan kegiatan multi sektor yang rumit, lintas kementerian dan badan, melibatkan pendanaan pemerintah dan swasta, membutuhkan ilmu multidisiplin, namun belum memiliki ekosistem yang jelas.

Kondisi One Health yang ideal sesuai definisi belum tercapai, bagaimana kemungkinan pengaruh UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023? Terhadap pasal 30, pasal 31 ayat (4) dan (5) serta pasal 89, pemerintah perlu memperkuat kebijakan tentang hewan, seperti kewajiban vaksin, larangan perdagangan dan konsumsi hewan liar dan kewajiban pelaporan kesehatan sebagai tindakan preventif atau pencegahan penyakit menular dari hewan ke manusia (zoonosis) yang termasuk dalam pelayanan kesehatan primer yang merupakan tanggungjawab pemerintah pusat, pemda dan pemerintah desa. Rekomendasi terkait pasal 19 ayat (2) dan (3) dan pasal 24 yaitu menetapkan standarisasi industri hewan terutama veteriner, makanan dan shelter. Penguatan standarisasi terhadap proses beserta alur pelaporan penyakit menular yang ditemukan pada hewan maupun manusia oleh veteriner, dokter manusia maupun tenaga medis kepada pemerintah juga perlu diperhatikan. Selain itu, masih banyak pasal lain yang dapat dipakai untuk memperkuat One Health seperti pasal yang mengatur pemanfaatan teknologi di pasal 25, program edukasi masyarakat pada pasal 14, pasal tentang penelitian, dan lain sebagainya.

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi, Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D. menekankan pentingnya inklusivitas, penta helix, collaborative leadership dan governance dalam menilik persoalan one health yang saat ini menjadi isu global dengan perhatian internasional yang besar. One Health melibatkan banyak sektor baik di tatanan nasional maupun global sehingga diperlukan mapping untuk mengidentifikasi kesenjangan yang ada terkait dengan UU Kesehatan ini. Upaya di sektor masing-masing untuk menguatkan One Health telah ada namun belum terlihat secara terpadu. Semangat penguatan One Health yang tercantum dalam UU bisa dihadirkan di peraturan turunan untuk menindaklanjuti One Health dan melibatkan multi sektor terkait One Health.

Diskusi tentang pengaruh UU Nomor 17 Tahun 2023 terhadap persoalan One Health ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net  di laman UU Kesehatan.

Materi dan video

Moderator: Madelina Ariani, SKM., MPH


Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Narasumber: Gunawan Wahab (Co-Founder dan Executive Director dari One Health Foundation)

video   materi


Pembahas: 

Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D

video


Agustina Wijayanti

video


 

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 7 September 2023
Pukul 09:30 – 11:00 WIB

  Kegiatan

 

Moderator: Madelina Ariani, SKM., MPH


Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Narasumber: Gunawan Wahab (Co-Founder dan Executive Director dari One Health Foundation)

video   materi


Pembahas: 

Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D

video


Agustina Wijayanti

video

Perbekalan Kesehatan, khususnya Alat Kesehatan

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Perbekalan Kesehatan, khususnya Alat Kesehatan

Jumat, 8 September 2023  |   Pukul: 09:30 – 11:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berfokus pada pembahasan topik perbekalan kesehatan, khususnya alat kesehatan. Webinar dipandu oleh dr. Dian K. Nurputra, Ph.D., M.Sc., Sp.A (Staff Dept. IKA FK-KMK UGM/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta) selaku moderator.

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD membuka webinar dengan pengantar tentang era baru sistem kesehatan sejak disahkannya UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan alat kesehatan. Saat ini Indonesia masih menghadapi masalah klasik akibat dominansi produksi impor, kurangnya riset dalam negeri, dan belum adanya pemahaman mengenai penggunaan alkes untuk upaya preventif. Ketentuan terkait alat kesehatan dalam UU Kesehatan tercantum dalam BAB IX pasal 332 dan 333 mengenai ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan. Pasal ini melandasi pilar ketahanan industri farmasi dan alkes serta pertama kalinya ketahanan industri obat dan alkes masuk ke dalam undang undang. Selain dua pasal tersebut, terdapat pasal-pasal lain yang juga memiliki keterkaitan dengan alat kesehatan sehingga antar pilar dalam transformasi kesehatan juga saling terkait. Dengan demikian, UU Kesehatan merupakan sebuah reformasi kesehatan yang sejati yang memberikan peluang untuk reformasi industri alkes menggunakan prinsip transformasi kesehatan. Kelompok masyarakat di industri alkes perlu menyiapkan tim tangguh untuk menganalisis UU, memberikan masukan ke pemerintah dalam menyusun peraturan turunan, hingga melakukan penelitian terkait pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023. Kelompok ini akan menjadi sebuah masyarakat praktisi untuk melaksanakan UU Nomor 17 Tahun 2023 dalam industri alkes.

video   materi

Sesi Pemaparan

Paparan disampaikan oleh apt. Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D (Dosen Pengajar Regulasi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Pancasila) yang menyebutkan berbagai isu terkait alkes saat ini, mulai dari akses ketersediaan alkes yang belum merata, mutu yang belum optimal, hingga ketahanan industri yang masih didominasi oleh produk impor dimana kapasitas industri dan kemampuan teknologi Indonesia masih rendah menengah. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan pasal 138 mengenai pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi, alkes dan PKRT dimuat pada ayat (1) (2) dan (3) mengenai produk yang tidak memenuhi standar serta ayat (4) mengenai pengadaan, produksi, dan penyimpanan.

Pasal 140 mengatur sediaan farmasi alkes dan PKRT untuk melindungi masyarakat dari bahaya namun tidak jelas bagaimana cara mengukurnya. Pasal 141 ayat (2) mengatur bahwa penggunaan alat harus dilakukan secara tepat guna. Pasal 142 mengatur standar dan persyaratan, sementara pasal 143 mengenai pemenuhan perizinan berusaha dari pemerintah pusat atau daerah berdasarkan standar dan peraturan ketentuan perundang-undangan. Dalam BAB VII, pasal 314 menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang bertanggungjawab terhadap ketersediaan dan pemerataan perbekalan kesehatan.

Sementara terkait dengan ketentuan pidana terhadap setiap orang yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi atau alkes yang tidak memenuhi standar terdapat pada bab XVIII pasal 345. Menilik seluruh pasal-pasal tersebut, isu akses terhadap alkes sudah tercantum dalam UU namun belum secara spesifik diatur mengenai prinsip perencanaan kebutuhan alkes, prioritas atau kriteria esensial untuk sektor publik dan pengendalian harga. Sedangkan terkait isu mutu, belum terdapat kejelasan kepastian hukum terkait regulatori alkes. Sistem jaminan mutu melalui fungsi regulatori perlu ditegakkan.

video   materi

Sesi Pembahasan

Dalam sesi pembahasan, Erwin Hermanto (Ketua I Asosiasi Produsen Alat Kesehatan) menyampaikan bahwa sudah ada penekanan yang cukup dalam riset penelitian dan keterlibatan teknologi dengan semangat utama dalam hal keamanan, khasiat, dan mutu. Harapannya, akan diformulasikan bersama peta jalan pengembangan industri alkes yang menjelaskan mekanisme pengaturan tahapan pengembangan nasional ke kebutuhan alkes beserta standar minimal untuk melakukan pelayanan dengan baik. Selain itu, perlu aturan turunan tentang tata cara intervensi helix untuk memenuhi kebutuhan riset, perumusan TKDN, serta investasi alat kesehatan dalam negeri maupun luar negeri.

video

Dr. Randy H. Teguh, MM (Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Kefarmasian KADIN) menambahkan tanggapan terkait pentingnya koordinasi dan kolaborasi publikasi serta bagaimana mengumpulkan sumber daya peneliti untuk alkes. Di samping itu, aturan turunan nantinya perlu mempertegas peran dan tanggungjawab pemerintah pusat khususnya menunjuk leading sector yang jelas. Perhatian terhadap alkes perlu diperkuat sebab UU ini lebih banyak menyebutkan kefarmasian.

video

Webinar dilanjutkan dengan diskusi yang membahas berbagai isu terkait pengelolaan alat kesehatan mulai dari global benchmarking, investasi dalam dan luar negeri, distribusi, pengendalian harga, hingga masalah maintenance alat kesehatan. Undang-Undang ini menjadi landasan hukum untuk membentuk kembali sistem dan proses di industri alkes sehingga terjadi perbaikan pada setiap tahap pengelolaannya.

Diskusi mengenai era baru perbekalan dan alat kesehatan terkait UU Kesehatan diharapkan tidak berhenti pada webinar ini. PKMK berupaya mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 8 September 2023
Pukul 09:30 – 11:00 WIB

  Kegiatan

Moderator:
dr. Dian K. Nu rputra, Ph.D, M.Sc, Sp.A (Staff Dept. IKA FK-KMK UGM/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta)


Pengantar Diskusi:
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Narasumber :
apt. Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D (Dosen Pengajar Regulasi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Pancasila)

video   materi


Pembahas:

Erwin Hermanto (Ketua I Asosiasi Produsen Alat Kesehatan)

video


dr. Randy H. Teguh, MM (Wakil Ketua Komite Tetap bidang Kefarmasian dan Alkes KADIN)

video

Era Baru Sistem Kesehatan: Kasus Pelayanan Penyakit Tidak Menular (Jantung) pada Kerangka Undang-Undang No. 17 Tahun 2023

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Era Baru Sistem Kesehatan: Kasus Pelayanan Penyakit Tidak Menular (Jantung) pada Kerangka Undang-Undang No. 17 Tahun 2023

Kamis, 14 September 2023  |   Pukul: 10:30 – 12:00 WIB

14sept9

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-20 membahas pelayanan penyakit jantung sebagai salah satu penyakit tidak menular dalam era baru UU Kesehatan. Webinar dipandu oleh Ardhina Nugraheni, MPH sebagai moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D dalam pengantarnya menjelaskan tentang bagaimana kaitan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan pelayanan kesehatan jantung. Saat ini, masalah yang dihadapi pelayanan jantung antara lain persebaran fasilitas kesehatan jantung dan dokter ahli jantung yang masih kurang merata serta kenaikan klaim di Jawa dan kota-kota besar yang meningkat tajam. Dengan adanya UU Kesehatan yang baru, apakah pasal-pasal terkait mampu mendorong reformasi di pelayanan jantung? Pasal-pasal pelayanan jantung secara implisit termuat di bab V tentang Upaya Kesehatan: Bagian ke-12 yaitu penanggulangan penyakit menular dan tidak menular; dan berkaitan dengan pilar transformasi pelayanan dari primer sampai tersier. Hal ini berhubungan dengan aspek pembiayaan, SDM, teknologi kesehatan, dan lain-lain. Sehingga, perlu untuk melihat berbagai pasal lainnya dan aturan turunannya.

Dengan UU Kesehatan ini, akan ada era baru pelayanan jantung. Akan ada peluang untuk mereformasi sistem pelayanan kesehatan jantung dengan menggunakan prinsip transformasi kesehatan dengan landasan hukum UU Nomor 17 Tahun 2023. Diharapkan kelompok-kelompok masyarakat terkait misalnya organisasi profesi perhimpunan dokter spesialis Kardiovaskuler Indonesia atau LSM terkait yang bersama sama menyiapkan tim tangguh untuk menganalisis UU Kesehatan ini dan memberikan masukan ke pemerintah. Tim akan bekerja bertahun-tahun ke depan termasuk melakukan penelitian terkait pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 di Upaya Kesehatan dalam Pelayanan Jantung dan dapat menjadi masyarakat praktisi bersinergi untuk tujuan yang sama.

Pembahasan oleh dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K) (PERKI Nasional)
dan dr. Real Kusumanjaya Marsam, SpJP (K) (PERKI Cabang D.I. Yogyakarta)

Pembahas pertama, dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K), menyampaikan bahwa masalah penyakit jantung masih menempati posisi tertinggi di Indonesia. Masalah maldistribusi dokter spesialis jantung di Indonesia masih terus terjadi. Solusi untuk masalah ini dari sisi pendidikan salah satunya adalah melalui penunjukan beberapa RS pusat pengampu pendidikan oleh Kementerian Kesehatan, bersama dengan kolegium jantung, yang berupaya meningkatkan kapasitas dan meng-upgrade pendidikan dokter spesialis yang saat ini ada 13 centers. Setiap pihak memiliki peran penting di setiap tahapan, dimana kolegium berperan sebagai pengontrol dalam proses pendidikan ini. Terdapat beasiswa untuk pendidikan dokter spesialis jantung ini, antara lain beasiswa dari Kementerian Kesehatan, daerah, dan LPDP yang sudah berjalan. Di sisi lain, primary prevention sudah dipelopori oleh UGM dan terus dikembangkan agar dapat diimplementasikan di seluruh Indonesia.

dr. Real Kusumanjaya Marsam, SpJP (K) sebagai pembahas kedua juga mengangkat masalah persebaran dokter spesialis jantung yang kurang merata, dimana saat ini terdapat 66 dokter spesialis jantung di DIY dengan jumlah penduduk diperkirakan 4 juta pada tahun 2023. Dampaknya, pasien penyakit jantung akan menumpuk dan pelayanan pasien dapat tertunda khususnya pada pasien BPJS. UU Kesehatan menawarkan solusi yang termuat dalam bagian keenam tentang registrasi dan perijinan, khususnya pada paragraph kedua tentang perijinan pada pasal 263-267, dimana SIP diterbitkan oleh pemda yang berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk menetapkan kuota tenaga medis dan tenaga kesehatan tanpa ada ketentuan batasan jumlah tempat praktik. Selain itu, pada kondisi tertentu menteri dapat menerbitkan SIP dan pada kondisi tertentu bisa tanpa SIP. Pasal 267 UU Kesehatan memuat mekanisme surat tugas yang dikeluarkan oleh Menteri untuk kepentingan pemenuhan pelayanan kesehatan. Seluruh ketentuan dalam pasal 263-267 memerlukan aturan turunan yang lebih detail dalam peraturan pemerintah.

UU Kesehatan ini membuka peluang reformasi kesehatan yang dapat dimanfaatkan dengan berpartisipasi aktif dalam mengawal PP serta menjemput bola untuk audiensi ke stakeholder, pemerintah pusat atau pemda sebagai pengambil keputusan. Secara konkrit, direkomendasikan bagi dinas untuk berkoordinasi dengan IDI dan PERKI dalam menetapkan kuota tenaga medis sampai dengan penerbitan SIP. Sementara untuk penanggulangan PTM, perlu perhatian dan dana khusus untuk program prevensi serta perlu mendorong pemerintah pusat dan pemda untuk bekerja bersama dengan OP untuk penanggulangan PTM mulai dari skrining, preventif, sampai dengan rehabilitatif.
Dalam sesi diskusi, gagasan untuk mentransformasi pelayanan jantung dibahas lebih mendalam. Pelayanan jantung selama ini lebih banyak berfokus di sisi kuratif di rumah sakit dengan alat dan pembiayaan yang besar. Diharapkan upaya preventif untuk pelayanan jantung juga memperoleh perhatian dan diperkuat dengan adanya UU Kesehatan ini.

Diskusi tentang pelayanan penyakit jantung sebagai salah satu penyakit tidak menular dalam era baru UU Kesehatan ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

  Materi dan Video Kegiatan

Moderator: Ardhina Nugraheni, MPH


Narasumber: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Pd.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Pembahas: dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K) (PERKI Nasional)

video


dr. Real Kusumanjaya Marsam, Sp.JP (K) (PERKI Cabang D.I. Yogyakarta)

video


Sesi Diskusi

video


 

 

 

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Jiwa

Diskusi ke-3 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Jiwa

Rabu, 9 Agustus 2023  |   Pukul: 12:30 – 14:00 WIB

Rangkaian webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mulai berfokus pada topik yang lebih spesifik. Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar yang menitikberatkan pada pembahasan topik Kesehatan Jiwa dalam kaitannya dengan UU Kesehatan. Diskusi ini bertujuan untuk memberikan usulan untuk peraturan turunan dari UU Kesehatan terkait kesehatan jiwa serta memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan.

9ags1

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi kesehatan di Indonesia.

Reformasi kesehatan secara luas didefinisikan sebagai sebuah perubahan berkelanjutan dan terarah untuk meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan efektivitas sektor kesehatan. Ditinjau dari metafora Health System Control Knobs, reformasi kesehatan yang sejati terjadi jika lebih dari satu knobsdikelola secara bersamaan melalui siklus reformasi. Di Indonesia, belum pernah ada Reformasi Kesehatan secara menyeluruh sebelum pandemi Covid-19.Meski demikian, dengan pengalaman Covid-19, Transformasi Sistem Kesehatan dicanangkan sebagai langkah awal percepatan Reformasi Sistem Kesehatan di Indonesia.

Undang-Undang Kesehatan sebagai dasar hukum dari Transformasi Sistem Kesehatan terdiri dari 20 Bab dimana setiap bab dan pasalnya saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi. Dengan masuk ke UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, kesehatan jiwa diharapkan dapat dikelola dengan lebih baik termasuk dalam hal pendanaan, SDM Kesehatan, teknologi, obat-obatan, dan berbagai pendukung lainnya yang tercantum dalam UU Omnibus Law (OBL) Kesehatan. Meski demikian, harapan ini bergantung pada kualitas penulisan regulasi turunan UU Kesehatan yang diharapkan dapat lebih aplikatif dan dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat khususnya kesehatan jiwa.

video   materi

9ags2

Pembicara Utama: Diana Setyawati, S.Psi., MHSc., Ph.D., Psikolog, Direktur Centre for Public Mental Health, Fakultas Psikologi UGM.

Pemaparan diawali dengan definisi kesehatan menurut WHO yang tidak hanya bermakna sehat fisik melainkan juga sehat mental yang berkaitan dengan produktivitas dan kualitas generasi di masa depan. Berbagai upaya kesehatan jiwa di Indonesia saat ini masih mengalami berbagai hambatan dan tantangan, antara lain terkait dengan disparitas upaya kesehatan jiwa di berbagai daerah, keterbatasan akses, fasilitas, tenaga kesehatan jiwa, dan program kesehatan, faktor sosial seperti stigma masyarakat, hingga faktor ekonomi. Disebutkan oleh Diana bahwa Indonesia merupakan negara dengan persentase mental health policy sebesar 25%. Kemudian Diana memaparkan bagaimana kondisi pelayanan keswa pada rezim Undang-Undang No. 18 Tahun 2014. Selama ini, program kesehatan jiwa lebih berfokus pada penanganan dan manajemen ODGJ, sementara kegiatan promosi dan prevensi masih terbatas pada deteksi dini dan belum ada perspektif komprehensif maupun pendekatan sepanjang rentang kehidupan terhadap sistem kesehatan jiwa. Energi dan potensi dinas kesehatan tersita untuk menangani masalah terkait keterbatasan obat, SDM kesehatan jiwa, secara tidak langsung ini mengakibatkan rendahnya literasi dan edukasi dalam kesehatan jiwa. Dengan demikian, perspektif positif yang perlu dibangun adalah menjadikan UU Kesehatan sebagai reformasi sistem kesehatan jiwa.

Secara umum, UU Kesehatan banyak membahas mengenai kesehatan jiwa, tidak hanya dalam Pasal 74-85 secara spesifik, melainkan juga secara integrasi dengan upaya kesehatan lainnya. Undang-Undang Kesehatan telah menggarisbawahi konsep bahwa kesehatan jiwa tidak hanya mengenai absent of mental illness melainkan juga bagaimana seseorang dapat hidup produktif. Dalam UU ini juga disebutkan bahwa upaya kesehatan jiwa harus sepanjang siklus kehidupan manusia, dan bukan hanya untuk ODGJ melainkan untuk seluruh masyarakat. Upaya kesehatan jiwa diatur untuk dilaksanakan di fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan, yang mana diharapkan termasuk di sekolah dan tempat kerja.

Indonesia sebelumnya termasuk negara yang memiliki stand-alone mental health policy, meski demikian setelah UU Kesehatan OBL ini diharapkan Indonesia tetap memiliki regulasi turunan terkait kesehatan jiwa yang kuat. Oleh karena itu, diharapkan good mental health system dapat tertuang dalam regulasi turunan UU Kesehatan, antara lain: governance and leadership, financing and payment, facilities and infrastructure, human resources, mentah health services and programs, mental health information systems, serta research, monitoring, and evaluation. Narasumber menyampaikan berbagai rekomendasi terhadap turunan UU Kesehatan terkait upaya kesehatan jiwa, antara lain: penguatan kelembagaan dan pendekatan sistem dan multisector untuk penanganan kesehatan jiwa yang komprehensif; pengembangan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan; menjaga kesehatan jiwa masyarakat dengan strategi edukasi, promosi, dan prevensi lintas disiplin dan lintas sektor; pengembangan standar dan pemenuhan sarana prasarana dan SDM kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan; optimalisasi berbagai skema pembiayaan dalam penyediaan layanan kesehatan jiwa berkesinambungan; serta pengembangan sistem informasi kesehatan jiwa yang terintegrasi dan peningkatan penelitian dan pengembangan kesehatan jiwa.

video   materi

Sesi Diskusi:

Webinar dilanjutkan dengan diskusi terhadap berbagai pertanyaan dan masukan yang disampaikan oleh peserta dari Ikatan Psikolog Klinik Indonesia, puskesmas, dinas kesehatan, dan mahasiswa. Diskusi banyak membahas mengenai hambatan dan tantangan yang selama ini terjadi dalam upaya kesehatan jiwa, terutama terkait dengan keterbatasan tenaga kesehatan jiwa, kompetensi yang harus dimiliki, upaya strategis untuk lebih berfokus pada promotif dan preventif, hingga telemedisin dan telekonsultasi terkait dengan kesehatan jiwa. Dalam diskusi ini digarisbawahi bahwa melalui UU Kesehatan ini, pemerintah daerah dan pemerintah pusat perlu memastikan ketersediaan SDM kesehatan yang tertulis dalam pasal UU Kesehatan adalah termasuk tenaga kesehatan jiwa, salah satunya psikolog klinik. Anda dapat menemukan sesi diskusi pada video berikut

video

Sesi Penutup:

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menutup diskusi dengan menyampaikan bahwa masuknya kesehatan jiwa dalam UU Kesehatan OBL merupakan kesempatan emas yang membuka pintu bagi inovasi-inovasi baru dalam upaya kesehatan jiwa. Namun demikian, tantangan besar saat ini adalah untuk lebih proaktif untuk menyampaikan rekomendasi terhadap regulasi turunan UU Kesehatan yang terkait kesehatan jiwa kepada Kementerian Kesehatan. Diharapkan diskusi tidak berakhir dalam webinar ini melainkan terus dilanjutkan, termasuk di dalam web www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan, sehingga produk regulasi turunan UU dapat menjawab kebutuhan kesehatan jiwa di Indonesia.

video

Reporter: Valentina L Prabandari, Nila Munana

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus. Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik Kesehatan Jiwa
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan dan langkah-langkah selanjutnya.
  4. Memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan di masa mendatang,

 

Proses Sertifikasi dan Kredensial Dokter “Umum”

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Proses Sertifikasi dan Kredensial Dokter “Umum”

Kamis, 14 September 2023  |   Pukul: 19:30 – 21:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-22 yang membahas proses sertifikasi dan kredensial dokter “umum” pasca disahkannya UU Kesehatan. Webinar ini dipandu oleh dr. Marulam M. Panggabean SpPD-KKV,SpJP sebagai moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Webinar dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D yang menjelaskan bahwa terdapat ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa kolegium menjadi organisasi penting yang bekerja sama untuk menguji kompetensi dokter secara nasional. Terkait kolegium, terdapat interpretasi pada pasal 272 ayat (1) pada kata “cabang ilmu” dan perannya untuk menyusun standar. Diskusi dalam webinar ini diharapkan dapat membantu merumuskan masukan mengenai kolegium, proses sertifikasi, dan kredensial dokter kepada pemerintah untuk penyusunan PP sebagai turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

dr. Marulam M. Panggabean SpPD-KKV,SpJP memantik diskusi dengan 3 kata kunci yang perlu dibahas yaitu sertifikat kompetensi, STR, SIP yang menuai banyak keluhan. Bagaimana proses memperbaharui surat kompetensi untuk kemudian memperoleh STR? Jika di luar negeri dokter umum bisa menjadi internship dan langsung menjadi dokter layanan primer atau spesialis, bagaimana di Indonesia?

Pembahasan oleh dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K)

dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K) selaku narasumber utama menyampaikan presentasi tentang proses sertifikasi kedensial dokter “umum” pasca UU kesehatan. Saat ini di Indonesia mulai bermunculan banyak universitas yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran, namun kualitas pendidikan menjadi sorotan yang perlu diperhatikan, sehingga perlu ada pihak yang memegang tanggungjawab pengawasan kualitas pendidikan. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa mahasiswa yang sudah lulus uji kompetensi akan memperoleh sertifikat kompetensi dan sertifikasi. Kemudian setelah lulus internship, dokter dapat memilih apakah akan melanjutkan pendidikan ke PPDS 1, 2, atau fellow maupun jenjang karir lain.

Proses kredensial (pemberian hak istimewa untuk memberikan pelayanan kesehatan) sebelumnya dilakukan oleh KKI berupa pemberian sertifikat registrasi (Surat Tanda Registrasi/STR). Namun saat ini, dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 260 disebutkan bahwa STR diterbitkan oleh konsil atas nama Menteri dan berlaku seumur hidup. Hal ini diikuti dengan fungsi pengawasan yang diatur dalam Pasal 261. Pengaturan, pembinaan, pengawasan, serta peningkatan mutu dan kompetensi tenaga medis dan tenaga kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan pasal 12 UU Nomor 17 tahun 2023. Mekanisme kontrol ini perlu dijelaskan dalam peraturan turunan UU Nomor 17 Tahun 2023.

Sesi Diskusi

Dr. dr Judilherry Justam, MM, ME, PKK memberikan tanggapan dengan menyampaikan pembahasan mengenai riwayat kolegium untuk dokter umum dan “abuse of power” organisasi profesi yang berpotensi melanggar hukum dan perundang-undangan. Makna pengertian kolegium menurut UU Nomor 17 Tahun 2023 lebih bersifat umum yaitu kumpulan ahli untuk tenaga medis dan tenaga kesehatan sehingga diperlukan penjelasan yang lebih detail tentang kolegium untuk dokter umum dalam aturan turunan UU Nomor 17 Tahun 2023. dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH (Kes) menanggapi dengan menyampaikan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2023 membawa perubahan besar dimana kolegium saat ini akan berada di bawah negara, bukan lagi di bawah organisasi. dr. Erfen juga menyampaikan bahwa meski STR berlaku seumur hidup, namun untuk ijin praktik berupa SIP masih memerlukan proses P2KB yang dirancang akan langsung di bawah Kementerian Kesehatan. Hal ini berpengaruh sangat besar untuk mengatasi “power abuse” organisasi profesi.

Dalam sesi diskusi dibahas tentang sertifikat kompetensi dokter umum, STR dokter umum, dan kompetensi tambahan dokter umum yang harus dipertimbangkan dengan meletakkan kepentingan publik. Ketentuan-ketentuan terkait hal-hal ini pelu diperjelas dalam aturan turunan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang mana memerlukan peran aktif, tidak hanya Kementerian Kesehatan namun juga Dikti/Kemendikbudristek.

Diskusi tentang proses sertifikasi dan kredensial dokter “umum” pasca disahkannya UU Kesehatan ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan untuk UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya terkait proses sertifikasi dan kredensial dokter. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Materi dan Video

Moderator: dr. Marulam M. Panggabean, SpPD-KKV,SpJP


Pengantar Diskusi: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

Video


Pembicara: dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K)

video   materi


Pembahas: Dr. dr Judilherry Justam, MM, ME, PKK

video


Pembahas: dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH(Kes)

video


Sesi Diskusi dr. Marulam M. Panggabean, SpPD-KKV,SpJP

video 

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 14 September 2023
Pukul 19:30 – 21:00 WIB

  Kegiatan

Moderator: dr. Marulam M. Panggabean, SpPD-KKV,SpJP


Pengantar Diskusi: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

Video


Pembicara: dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K)

video   materi


Pembahas: Dr. dr Judilherry Justam, MM, ME, PKK

video


Pembahas: dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH(Kes)

video


Sesi Diskusi dr. Marulam M. Panggabean, SpPD-KKV,SpJP

video 

Webinar Peran Strategis RUU OBL Kesehatan menuju Masyarakat Indonesia yang Sehat, Beradab dan Berkeadilan

Webinar Peran Strategis RUU OBL Kesehatan menuju Masyarakat Indonesia yang Sehat dan Berkeadilan

Diselenggarakan oleh Komunitas Dokter Bhinneka Tunggal Ika 

9jl

  Agenda

Hari, tanggal: Minggu, 9 Juli 2023
Waktu: 13.00 – 15.00 WIB

Moderator: Dr. dr. Yosephin Sri Sutanti, MS., SpOk(K)

  Narasumber

Prof. dr. M.Ahmad Djojosugito, dr., SpOT(K), MHA, MBA

Peran dan tanggung jawab OP Kesehatan

MATERI   video

dr. Putu Moda Arsana, Sp.PD.KEMD,. FINASIM

Peran KKI dan Kolegium dalam menghasilkan Dokter dan Dokter Gigi yg Kompeten dalam Pelayanan Kesehatan

materi   video

dr. PC Bambang Suyatmoko

Harapan Masyarakat dan Tenaga Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Nasional yang Lebih Baik

materi   video

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

RUU Kesehatan OBL untuk Pemerataan dan Keadilan Sosial

materi   video

Sesi Diskusi video

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Webinar LiLA Keluarga – Pemberdayaan Keluarga untuk Deteksi Dini Wasting

Kerangka Acuan Kegiatan

Webinar LiLA Keluarga – Pemberdayaan Keluarga untuk Deteksi Dini Wasting

Kamis, 10 Agustus 2023  |  Pukul 10.00 – 12.00 WIB

  Latar Belakang

Komitmen global sebagaimana yang tercantum dalam SDGs 2.2 adalah menghilangkan berbagai bentuk malnutrisi pada 2030 (UN General Assembly, 2015). Di Indonesia, salah satu perhatian utama pemerintah adalah mengatasi wasting pada anak di berbagai wilayah di tanah air. Wasting adalah bentuk kekurangan gizi akut yang sangat berbahaya, karena memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang pada pertumbuhan anak (UNICEF, 2022). Anak yang mengalami wasting memiliki risiko 3 kali lebih tinggi untuk menjadi stunting (Wright et al., 2023).

Secara statistik terdapat 6,7% anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia termasuk dalam kategori wasting (WFP, WHO & UNICEF, 2020). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi balita wasting menunjukkan adanya penurunan dari 13,6% (2007) menjadi 10,2% (2018) dalam satu dekade (Kemenkes RI, 2018). Namun, berdasarkan data Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi balita wasting meningkat menjadi 7,7 persen dari sebelumnya 7,1 persen pada 2021.

Hal tersebut menggarisbawahi perlunya deteksi sedini mungkin pada kasus wasting dan ditangani secara terintegrasi. Salah satu bentuk deteksi dini yang mudah dilakukan di tingkat keluarga adalah pengukuran lingkar lengan atas (LiLA) anak. Upaya ini telah diujicobakan sebagai bagian dari pendekatan Pengelolaan Gizi Buruk Terintegrasi (PGBT) yang menekankan perlunya pelibatan masyarakat dalam penanganan wasting. Orang tua atau pengasuh dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan agar mampu mengenali tanda awal wasting pada anak-anak, serta dapat segera mencari pertolongan apabila anak menunjukkan tanda-tanda wasting.

Melihat pentingnya deteksi dini dan penanganan terintegrasi untuk kasus wasting di Indonesia, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) bekerja sama dengan UNICEF Indonesia menginisiasi webinar dengan judul “LiLA Keluarga – Pemberdayaan Keluarga untuk Deteksi Dini Wasting”.

  Tujuan

Kegiatan ini bertujuan untuk:

  1. Membahas pentingnya pelibatan masyarakat dalam deteksi dini wasting
  2. Berbagi pengalaman inovasi pemberdayaan keluarga dalam deteksi dini dan rujukan wasting

  Narasumber

  1. Direktorat Gizi dan KIA, Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI
    • Kebijakan Terkait Pencegahan dan Tata Laksana Wasting dengan Fokus Penemuan Balita Wasting dan Mobilisasi Masyarakat.
  2. UNICEF
    • – Pengukuran LiLA Keluarga Sebagai Salah Satu Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Deteksi Dini Wasting
  3. Tim Narasumber Provinsi NTB, yang terdiri dari Dinas Kesehatan Provinsi NTB, GEN NTB, dan Kader
    • Dinas Kesehatan Provinsi NTB:
      Peran Masyarakat dan Implementasi Pengukuran LiLA Keluarga dalam Deteksi Dini Wasting melalui Pemberdayaan Keluarga di NTB
    • GEN NTB
      Integrasi Pengukuran LiLA Keluarga melalui Program PARANA
    • Kader/Orang Tua
      Berbagi Pengalaman terkait Praktik Pengukuran LiLA Keluarga
  4. Tim Narasumber Kabupaten Sukoharjo, yang terdiri dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, Kader/Orang Tua
    • Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo
      Peran Masyarakat dan Implementasi Pengukuran LiLA Keluarga dalam Deteksi Dini Wasting melalui Pemberdayaan Keluarga di Kabupaten Sukoharjo
    • Puskesmas Bendosari
      Implelementasi Pengukuran LiLA Keluarga di Tingkat Puskesmas
    • Kader/Orang Tua
      Berbagi Pengalaman terkait Praktik Pengukuran LiLA Keluarga

  Moderator

Luthfiatul Chamidah – IMAM Coordinator Jawa Timur

  Target Peserta

  1. Pengambil keputusan nasional dan daerah.
  2. Akademisi bidang kesehatan masyarakat, kebijakan kesehatan, dan lain-lain.
  3. Peneliti, konsultan dan pemerhati bidang kesehatan masyarakat, kebijakan kesehatan, dan sebagainya
  4. Masyarakat umum, organisasi profesi, mahasiswa

  Agenda

Hari, tanggal : Kamis, 10 Agustus 2023
Pukul : 10.00 – 12.00 WIB

Link Zoom

Meeting ID : 879 2690 7862
Passcode : 864496
Live Streaming : Youtube – CH 1 PKMK

Waktu Kegiatan Pembicara
10.00 – 10.05 WIB

Pembukaan

10.05 – 10.20 WIB Pemaparan
  1. Direktorat Gizi & KIA, Kemkes RI (15 menit)
10.20 – 10.35 WIB
  1. UNICEF (15 menit)
10.35 – 11.05 WIB Talk Show Sesi 1
  1. Dinas Kesehatan Provinsi NTB (7 menit)
  1. GEN NTB (8 menit)
  1. Perwakilan Kader/Orang Tua Provinsi NTB (15
11.05 – 11.35 WIB Talk Show Sesi 2
  1. Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo (8 menit)
  1. Puskesmas Bendosari (7 menit)
  1. Perwakilan Kader/Orang Tua (15 menit)
11.35 – 11.55 WIB

Diskusi dan Tanya Jawab (Moderator – 20 menit)

11.55 – 12.00 WIB

Penutupan (Moderator – 5 menit)

Narahubung:

Monita (WhatsApp)
+62 82265001737