Peluang Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Kompetensi Pasca Penerbitan UU No. 17 Tahun 2023: Tidak Terikat Waktu dan Kurikulum, Bersifat Moduler

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Peluang Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Kompetensi Pasa Penerbitan UU No. 17 Tahun 2023: Tidak Terikat Waktu dan Kurikulum, Bersifat Moduler)

Selasa, 19 September 2023  |   Pukul: 09:00 – 11:00 WIB

20sept2

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-23 yang membahas peluang pendidikan dokter spesialis berbasis kompetensi pasca penerbitan UU Nomor 17 Tahun 2023. Webinar ini dipandu oleh dr. Aditiawardana, SpPD, KGH sebagai moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D memberikan pengantar dengan menggarisbawahi salah satu tujuan UU Kesehatan yaitu meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan. Salah satu contoh masalah akses pelayanan kesehatan yang masih terjadi di Indonesia adalah biaya klaim katarak per provinsi tahun 2015-2021, dimana fasilitas tingkat lanjut belum merata, terjadi backlog di operasi katarak, rata-rata pasien katarak yang belum dioperasi masih banyak. Contoh kasus lain yaitu di RS kota/kabupaten yang masih membutuhkan dokter spesialis obsgin tambahan agar bisa menjadi RS PONEK dan kematian ibu masih tinggi. Lalu bagaimana inovasi untuk menambah dokter spesialis? Apakah UU Kesehatan ini bisa menjadi inovasi?

Narasumber utama: dr. Ganis Irawan, Sp.PD
(Ketua Konsorsium Residensi Hospital Based PW Muhammadiyah Jateng)

dr. Ganis Irawan, Sp.PD memaparkan presentasi mengenai model residensi berbasis rumah sakit secara modular dan flextime. UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengangkat model residensi baru yaitu hospital based, dari yang sebelumnya adalah university based, sehingga diperlukan perumusan model hospital based residency yang memiliki perbedaan jelas dengan model yang sudah ada sekaligus bisa menjawab permasalahan yang ada. Isu penting dalam pendidikan spesialis yang belum terselesaikan dengan sistem lama antara lain bahwa dokter spesialis dan residen terkonsentrasi di Jawa, residen bekerja 60 jam per minggu tanpa gaji, biaya PPDS yang mahal, serta diskriminasi usia masuk PPDS. Model residensi berbasis RS berpeluang menjadi katalisator penting untuk menyelesaikan isu-isu tersebut dalam waktu yang relatif singkat.

Kriteria RS yang dapat melaksanakan model residensi hospital based ini adalah konsorsium RSMA tipe B dan C, tidak harus merupakan RS pendidikan, memiliki dokter pendidik klinis yang relevan, serta bersedia memposisikan residen sebagai pekerja yang terlibat dalam alur pelayanan. Standar kompetensi mengikuti standar dari kolegium, pemenuhan dan pemahiran dengan rotasi di beberapa RSMA, serta uji kompetensi di setiap selesai satu modul kompetensi. Dalam model baru ini, universitas berperan dalam pelatihan dokter pendidik klinis serta pemberian gelar spesialis. Gelar spesialis dapat diperlakukan sebagaimana kebijakan untuk sarjana ilmu terapan yang bisa lulus tanpa harus skripsi.

Modular, dalam terminologi digital, artinya perubahan fungsi suatu produk dapat dilakukan hanya dengan menambah atau mengurangi satu bagian kecil (modul). Sebagai contoh untuk residen interna, misalkan kolegium ada 6 kompetensi spesialis penyakit dalam, kemudian ada seorang dokter umum ditambah dengan kompetensi DM, maka dokter tersebut dapat diberi kewenangan klinis DM dan dihargai BPJSKes. Residensi berbasis RS dapat menutup gap layanan di RS, memiliki direct benefit bagi RS penyelenggara, dan residen digaji oleh direct beneficiary (RS tempat training).

Pembahasan oleh dr. James Allan Rarung, Sp.OG, M.M

dr. James Allan Rarung, Sp.OG, M.M selaku pembahas menyampaikan bahwa meski UU Kesehatan belum sempurna, namun UU ini telah membuka pintu gerbang untuk perbaikan, yaitu dengan adanya payung hukum pendidikan berbasis rumah sakit. Pemerintah telah memiliki formula dimana pendidikan spesialis dan pelayanan berjalan dengan seiring. Hal ini tidak boleh melenceng dari standar pendidikan nasional, standar profesi, dan standar kompetensi sehingga harus dirumuskan menjadi panduan berupa modul yang dapat dipertanggungjawabkan dalam keilmuan atau penerapannya. Harus ada sinergi antara colegium university based dan hospital based sehingga tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan saling melengkapi.

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi dibahas tentang konsep distribusi layanan spesialistik dan model academic health system pasca disahkannya UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan. Undang-Undang Kesehatan ini memberi peluang terkait jumlah dan kompetensi pendidikan spesialis dan bersifat fleksibel sehingga berpotensi mengatasi masalah pemerataan dan kebutuhan daerah yang bervariasi.

Diskusi tentang peluang pendidikan dokter spesialis berbasis kompetensi pasca penerbitan UU Nomor 17 Tahun 2023 ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan untuk UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya terkait proses sertifikasi dan kredensial dokter. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

  Materi dan Video Narasumber

Moderator: dr. Aditiawardana, SpPD KGH


Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

video   materi


Pembicara: dr. Ganis Irawan, Sp.PD (Ketua Konsorsium Residensi Hospital Based PW Muhammadiyah Jateng)

video   materi


Pembahas: Dr. James Allan Rarung, Sp.OG, M.M

video


Sesi Diskusi

video


 

 

 

Diskusi ke-5 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Industri Obat dan Alat Kesehatan

Diskusi ke-5 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Industri Obat dan Alat Kesehatan

Jumat, 11 Agustus 2023  |   Pukul: 08:30 – 10:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berfokus pada pembahasan topik Industri Obat dan Alat Kesehatan. Diskusi ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk peraturan turunan UU Kesehatan terkait Industri Obat dan Alat Kesehatanserta memberikan gambaran mengenai penggunaan website UU Kesehatan.

11ags 1

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi Kesehatan di Indonesia

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD membuka webinar dengan memberikan pengantar untuk memahami UU Kesehatan sebagai dasar hukum reformasi kesehatan. Reformasi kesehatan yang sejati dilakukan dengan mengelola tombol-tombol kebijakan dalam sistem kesehatan secara bersama-sama. Secara historis, belum pernah ada reformasi kesehatan secara menyeluruh sebelum pandemi COVID-19. Setelah pandemi COVID-19, Kementerian Kesehatan melakukan transformasi sebagai percepatan reformasi kesehatan dengan mengaktifkan banyak tombol kebijakan yang diatur dalam UU Kesehatan. Hal inilah yang mendasari mengapa UU Kesehatan Omnibus Law ini disebut sebagai UU Kesehatan yang reformis. Didasarkan pada UU ini, Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk melakukan transformasi sistem kesehatan dimana salah satu pilarnya adalah terkait industri obat dan alat kesehatan. Lalu bagaimana muatan UU Kesehatan ini dengan industri obat dan alkes? Apakah ada pasal-pasalnya? Apa kesimpulan yang dapat ditarik? Bagaimana agar bisa efektif? Pertanyaan ini perlu didiskusikan sehingga muncul rekomendasi terhadap regulasi turunan UU Kesehatan.

video   materi

Pembicara pertama: Prof. Apt. Dr. Zullies Ikawati, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

11ags 2Sesi pembahasan pertama oleh Prof. Apt. Dr. Zullies Ikawati diawali dengan mapping unsur kefarmasian yang membutuhkan regulasi turunan UU Kesehatan dengan total 121 regulasi. Diantaranya terdapat 8 RPP yang dibutuhkan di bidang farmasi tentang: (1) pengamanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan PKRT; (2) praktik kefarmasian; (3) ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan; (4) penggolongan obat, obat dengan resep, dan obat tanpa resep; (5) penggolongan obat bahan alam; (6) pelaksanaan penelitian, pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan obat bahan alam; (7) percepatan pengembangan dan ketahanan industry sediaan farmasi dan alat kesehatan; dan (8) standar, sistem dan tata kelola sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lainnya pada kondisi darurat, bencana, KLB, atau wabah. Pada webinar ini Prof. Zullies berfokus pada praktik kefarmasian dan penggolongan obat, obat dengan resep, dan obat tanpa resep.

Terkait praktik kefarmasian, disebutkan bahwa praktek kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang meliputi apoteker spesialis, apoteker dan tenaga vokasi farmasi dengan pembagian kewenangan disesuaikan dengan lingkup dan tingkat kompetensi dan kualifikasi tertinggi. Melihat hal ini, perlu ditetapkan regulasi untuk menjawab pertanyaan berikut: bagaimana kualifikasi pendidikannya? Bagaimana level KKNI-nya? Bagaimana karakteristik, kewenangan dan kompetensi profesionalnya? Terkait dengan penggolongan obat, obat dengan resep, dan obat tanpa resep, Pasal 320 menyebutkan bahwa selain obat bebas dan obat bebas terbatas, obat keras tertentu dapat diberikan oleh apoteker. Ketentuan ini memberikan ruang pada apoteker untuk bergerak pada daerah yang selama ini “abu-abu”, namun pemerintah perlu menetapkan indikasi dan ketentuan yang lebih jelas dan mendetail. Penjelasan tentang perbedaan konsep pelayanan menggunakan obat (pengobatan berdasarkan resep, pengobatan tanpa resep, dan swamedikasi) juga dibutuhkan dalam regulasi turunan UU Kesehatan ini.

Video   materi

Pembicara kedua: Dr. Apt. Hilda Ismail, Msi, Kepala Pusat Studi Industri Farmasi dan Teknologi Kesehatan

11ags 3Sesi pembahasan berikutnya disampaikan oleh Dr. Hilda Ismail, Msi, Apt yang lebih berfokus pada Bab IX UU Kesehatan mengenai ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan yang berisi 11 pasal yaitu pasal 322-333. Indonesia masih mengalami masalah ketergantungan pada impor bahan baku obat (BBO) dan alat kesehatan, dimana impor BBO mencapai lebih dari 90% pada 2020. Selain itu, Indonesia menghadapi tantangan utama pengembangan produksi obat tradisional yaitu memproduksi obat tradisional yang memenuhi standar, baik dari sisi keamanan, mutu dan efikasi, dengan kualitas dan kuantitas yang memenuhi kebutuhan. Indonesia juga masih melakukan impor alat kesehatan mencapai 91.5% pada 2020.

Menilik masalah dan tantangan tersebut, usulan untuk regulasi turunan UU Kesehatan terkait produksi BBO dan alkes adalah perlunya penjelasan dan penegasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan: (1) standar efikasi, keamanan, dan kualitas produk sediaan farmasi maupun alkes yang dikembangkan, diproduksi hingga digunakan dalam pengobatan; (2) penguatan kerjasama antar komponen pendukung dalam sistem ABG untuk kemandirian sediaan farmasi dan alkes; (3) penguatan dan fasilitasi pemanfaatan teknologi baru dalam proses produksi sediaan farmasi dan alkes; dan (4) penekanan pemanfaatan teknologi informasi dalam upaya peningkatan ketahanan sediaan farmasi maupun alkes.

video   materi

 

Sesi Diskusi:
Dalam sesi diskusi, diungkapkan bahwa UU Kesehatan ini memberi tempat bagi ketahanan farmasi pada level Undang-Undang, yang mana sebelumnya hanya pada level Inpres. Selain itu, terkait keorganisasian, terdapat ruang untuk menata kembali bagaimana organisasi profesi, kolegium atau cabang ilmu di bidang farmasi yang sesuai dengan kebutuhan di masa mendatang. Diskusi juga membahas mengenai tanggung jawab riset di pemerintah pusat maupun daerah, yang mana baik dari pemerintah pusat maupun daerah dapat ambil bagian pada upaya penelitian dan pengembangan BBO bersumber alam. Dengan demikian, suatu kerja serius perlu dilakukan untuk membuat regulasi turunan UU Kesehatan ini. Berbagai pihak yang terdampak oleh UU ini perlu berpartisipasi karena regulasi turunan akan bersifat lebih praktis.

video

Sesi Penutup:

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menutup diskusi dengan menyampaikan bahwa saat ini adalah fase awal dan diharapkan para pakar dapat mencermati UU Kesehatan ini. Sebab, undang-undang ini adalah UU OBL, yang mana akan bisa berjalan dengan baik jika kita memahami tidak hanya UU yang terkait bidang tertentu saja melainkan juga terkait dengan pendanaan, SDM, dan aspek lainnya. PKMK berupaya mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM & Nila Munana, S.HG., MHPM.

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus. Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik Industri Obat dan Alkes
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan
  4. Memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan di masa mendatang,

  Waktu Kegiatan

Jam (WIB) PIC / Narasumber
08.35 – 08.50

Pengantar Diskusi
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar dan Konsultan PKMK FK-KMK)

materi

08.50 – 09.10

Prof. Apt. Dr. Zullies Ikawati
(Guru Besar dan Peneliti di bidang Farmakologi, Farmasi Klinik, dan Farmakogenomik cluster Fakultas Farmasi UGM)

materi

09.10 – 09.30

Dr. Hilda Ismail, M.Si., Apt
(Pusat Studi Industri Farmasi dan Teknologi Kesehatan UGM)

materi

09.30 – 09.55 Moderator, Narasumber dan Peserta
09.55-10.00 Rangkuman diskusi
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Sosialisasi Halaman tentang Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan

Sosialisasi Halaman tentang Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan
pada website kebijakankesehatanindonesia.net

Jumat, 22 September 2023  |   Pukul: 14:00 – 14:30 WIB

  Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Menyusul setelah pengundangan tersebut, pada bulan September 2023 ini Pemerintah telah mempublikasikan rancangan Peraturan Pemerintah yang direncanakan menjadi peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2023. Selaras dengan hal tersebut, pemerintah juga membuka kesempatan untuk berpartisipasi dalam perancangan Peraturan Pemerintah tersebut. PKMK FK-KMK UGM berupaya untuk mengelola agar rancangan peraturan pemerintah ini tersosialisasi dengan baik dan dapat terbaca dengan baik. Oleh sebab itu dikembangkanlah halaman khusus dalam website yang dikelola yaitu pada https://kebijakankesehatanindonesia.net. Terdapat keinginan agar jejaring, mahasiswa dan akademisi yang terhubung dengan PKMK FK-KMK UGM dapat tersosialisasikan dengan baik, dan kedepannya memiliki kesempatan untuk menentukan arah kebijakan kesehatan di Indonesia dalam partisipasi masyarakat untuk Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mensosialisasikan terkait cara mengakses Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan
  2. Mensosialisasikan tentang terbukanya partisipasi masyarakat untuk memasukkan usulan pasal-pasal sesuai dengan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Anggota Jaringan Kebijakan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI)
  2. Akademisi/Dosen dan Mahasiswa Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM
  3. Peneliti Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK ) FK-KMK UGM
  4. Peneliti dari lembaga penelitian dan Think Tank lainnya
  5. Akademisi/Dosen dan Mahasiswa dari perguruan tinggi negeri dan swasta lainnya

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 14 September 2023
Pukul 10:30 – 12:00 WIB

Link Zoom

ID Zoom : 899 1263 9460
Passcode : 276527
Streaming : PKMK FK-KMK UGM (CH 1)

  Kegiatan

Moderator:
Eurica Stefany Wijaya, S.H., M.H.


Pemaparan Sosialisasi halaman Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan pada kebijakankesehatanindonesia.net
oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D


 

 

 

 

Diskusi ke-6 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Mata

Diskusi ke-6 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Mata

Jumat, 11 Agustus 2023  |   Pukul: 13:00 – 14:00 WIB

Webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan #6 berfokus pada topik pembahasan topik Kesehatan Mata dalam kaitannya dengan UU Kesehatan. Melalui diskusi ini, diharapkan dapat menginisiasi berbagai rekomendasi untuk peraturan turunan dari UU Kesehatan terkait kesehatan mata serta memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan.

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi kesehatan di Indonesia.

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD yang mengulas tentang UU Kesehatan sebagai sebuah reformasi. Reformasi kesehatan secara luas didefinisikan sebagai sebuah perubahan berkelanjutan dan terarah untuk meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan efektivitas sektor kesehatan. Reformasi kesehatan terjadi jika lebih dari satu tombol kebijakan dikelola secara bersamaan melalui siklus reformasi. Di Indonesia, belum pernah ada Reformasi Kesehatan secara menyeluruh sebelum pandemi Covid-19. Setelah pandemi COVID-19, Kementerian Kesehatan berupaya mempercepat reformasi kesehatan melalui proses Transformasi Sistem Kesehatan yang mengelola banyak tombol kebijakan dalam bentuk pilar-pilar transformasi. Undang-Undang Kesehatan sebagai dasar hukum dari Transformasi Sistem Kesehatan terdiri dari 20 Bab dimana setiap bab dan pasalnya saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi. Upaya kesehatan pendengaran dan penglihatan termuat dalam UU Kesehatan ini pada Bab V Bagian 10 pasal 71-73, namun dalam memahaminya perlu untuk menelaah pula bagian lain yang terkait dengan pembiayaan, SDM, teknologi kesehatan, dan sebagainya. Selanjutnya berbagai ketentuan dalam UU ini akan diturunkan dalam regulasi turunan yang diharapkan dapat lebih aplikatif dan dapat mencapai tujuan reformasi kesehatan terkait kesehatan mata.

VIDEO

Pembicara Utama: dr. Muhammad Bayu Sasongko, Sp.M(K)., M.Epi., Ph.D (Kepala Departemen Ophtalmology FK-KMK UGM, Ahli Vitreo-retina bedah dan medis)

11ags 4Sesi pembahasan disampaikan oleh dr. Muhammad Bayu Sasongko, Sp.M(K)., M.Epi., Ph.D yang menjelaskan bahwa UU Kesehatan yang mengatur tentang pelayanan kesehatan mata hanya termuat dalam 3 pasal dan bersifat sangat generic. Namun, dalam UU Kesehatan ini terdapat kata kunci yang menarik di Pasal 72 ayat (1) bahwa upaya kesehatan penglihatan dan pendengaran diselenggarakan secara terpadu, komprehensif, efektif, efisien dan berkelanjutan. Kata kunci ini menggarisbawahi pentingnya sistem surveillance yang selama ini masih belum optimal. Sebelumnya sistem surveillance ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan 82 tahun 2020 dan masih banyak area abu-abu yang belum jelas sehingga belum optimal. Hal ini juga terkait pada pasal 72 ayat (2) dimana pemerintah pemerintah pusat dan daerah dapat menetapkan gangguan penglihatan atau pendengaran tertentu sebagai prioritas nasional atau daerah. Dari pasal tersebut bisa membuat aturan turunan terkait pendanaan, pendayagunaan dan infrastruktur. Sehingga di aturan turunan perlu diperjelas supaya kita bisa memetakan secara lebih akurat daerah mana terkait gangguan penglihatan dan pendengaran sehingga bisa mendukung strategi nasional kesehatan mata yang efektif dan tepat sasaran.

video


Sesi Diskusi:
Webinar dilanjutkan dengan diskusi yang membahas tentang telemedisin untuk upaya kesehatan mata, yang mana telemedisin telah diatur dalam UU Kesehatan ini. Aturan turunan UU Kesehatan perlu memberikan rambu-rambu yang jelas untuk pelaksanaannya sehingga upaya kesehatan mata dengan konsep “rumah sakit tanpa dinding” dapat memperoleh payung regulasi yang jelas. Diskusi juga membahas task-shifting dalam upaya kesehatan mata. Task-shifting untuk kesehatan mata saat ini masih jauh dari pemikiran karena dibutuhkan waktu, infrastruktur dan effort yang cukup besar untuk melatih dokter umum dalam tindakan medis penanganan kasus mata, berbeda dengan melatih dokter umum untuk tindakan bedah minor. Sehingga, strategi saat ini masih mengarah pada afirmasi pendidikan spesialis mata untuk dokter umum yang akan ditempatkan di daerah terpencil. UU Kesehatan memiliki sisi inovasi pada isu ini dimana terdapat pendekatan baru yang memungkinkan daerah untuk membangun kerjasama sister hospital kaitannya dengan pendidikan spesialis hospital-based. Potensi segmen pasar non-BPJS untuk pelayanan kesehatan menjadi isu menarik untuk didiskusikan yang mana juga terkait dengan muatan UU Kesehatan pada aspek pendanaan.

video

11ags 5

Sesi Penutup:

Dalam sesi penutup, Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menyampaikan bahwa para pakar kesehatan mata, spesialis mata, kesehatan masyarakat dan sebagainya harus aktif dalam menyusun dan memberikan masukan untuk regulasi turunan UU Kesehatan ini. Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD juga mengarahkan bahwa diskusi dapat dilanjutkan di website yang telah dikembangkan oleh PKMK: https://kebijakankesehatanindonesia.net

video

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus. Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik kesehatan mata
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan
  4. Memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan di masa mendatang

 

Analisis Implikasi Norma Pengaturan Pasal 310 UU Kesehatan dan Interpretasinya

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Analisis Implikasi Norma Pengaturan Pasal 310 UU Kesehatan dan Interpretasinya

Senin, 2 Oktober 2023  |   Pukul: 10:00 – 11:30 WIB

Webinar ini merupakan rangkaian webinar mengenai pembahasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-24 mengenai Analisis Implikasi Norma Pengaturan Pasal 310 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam ranah Medis dan Interpretasinya. Webinar ini dipandu oleh Nila Munana, MHPM sebagai moderator dan pembawa acara.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro

Pada seri ke-24 ini, dibahas satu isu kunci, yang berkaitan dengan aspek hukum dalam Undang-Undang Kesehatan. Khususnya yang terkait dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu Arbitrase dan Mediasi. Analisis awal dilaksanakan oleh seorang ahli hukum yaitu, Dr. Rimawati yang sekaligus Ketua Program Studi Hukum Kesehatan di Fakultas Hukum UGM. Rima melakukan telaah hukum awal terhadap pasal tersebut. Kemudian, pada pertemuan selanjutnya diharapkan ada tanggapan dari tenaga medis, baik dari dokter dan/atau dokter gigi, untuk melihat bagaimana implikasi pasal 310 terhadap praktik medis yang dijalankan. Paparan ini memberikan penjelasan yang komprehensif, terutama untuk menceminkan kerja sama antara analis yang terdapat di Fakultas Hukum dengan praktisi pelayanan kesehatan dan praktik kedokteran. Dengan adanya komunikasi yang baik antara ahli hukum dan ahli kesehatan masyarakat akan menjadi kunci untuk melihat bagaimana undang-undang diterapkan dalam praktik.

Materi oleh Dr. Rimawati, SH., M.Hum

Rimawati menjelaskan 5 hal, yang pertama adalah jenis-jenis alternatif penyelesaian sengketa (APS) di dalam hukum, kemudian dilanjutkan dengan konsep dari APS yang sudah ada, lebih mengerucut lagi dijelaskan soal mediasi dan arbitrase, dilanjutkan dengan analisis dan implikasi Pasal 310 UU Kesehatan. Pada pendahuluan, Rimawati menjelaskan bahwa hubungan antara dokter dapat terjadi apabila terdapat kontrak (terapeutik) dan juga perintah undang-undang (zaakwarneming). Perjanjian terapeutik sederhananya adalah hubungan antara dokter dan pasien dalam kondisi non darurat, contohnya pasien berobat ke dokter karena penyakit flu. sementara zaakwarneming adalah konsep yang diperintahkan oleh undang-undang apabila pasien di dalam situasi gawat dan/atau darurat maka dokter harus menolongnya tanpa mempersulit dengan hal-hal administratif, misalnya pasien dalam kondisi tidak sadarkan diri. Sengketa dapat terjadi apabila timbul ketidakpuasan dari pasien terhadap dokter dalam kerangka pengobatan. Ketidakpuasan tersebut bisa terjadi karena ada dugaan kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan tugasnya sehingga menimbulkan kerugian pada pihak pasien.

Sengketa dalam dunia medik, dapat diselesaikan melalui jalur hukum dan jalur etika. Jalur hukum berarti dapat diselesaikan melalui hukum perdata, pidana atau perlindungan konsumen. Sementara jalur etika dapat diselesaikan melalui Majelis Disiplin Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan. Penyelesaian sengketa di ranah medis, dalam rezim Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menggunakan fokus non-litigasi berupa mediasi. Kemudian dalam paradigma Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang baru, alternatif penyelesaian sengketa menjadi lebih luas, tidak hanya mediasi. Terdapat arbitrase sebagai upaya lain untuk menyelesaikan sengketa medis. Kemudian, bagaimanakah konsep arbitrase tersebut? Kemudian apa yang menjadi nilai lebih arbitrase dan mediasi dalam penyelesaian sengketa medis?. Silakan simak rekaman webinar untuk mengetahui lebih jauh (klik video).

Reporter: Tim Website UU Kesehatan PKMK

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 2 Oktober 2023
Pukul 10:00 – 11:30 WIB

  Kegiatan

Moderator: Nila Munana, MHPM


Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

VIDEO


Pembicara: Dr. Rimawati, S.H., M.Hum (Dosen Fakultas Hukum UGM)

VIDEO   MATERI


Sesi Diskusi

video 

 

 

 

 

Webinar “Analisis Usulan Daftar Perencanaan Program Penyusunan Judul dan Pokok Materi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Berdasarkan Hasil Inventarisasi Pendelegasian UU NO. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan”

Senin, 14 Agustus 2023  |   Pukul: 13:00 – 14:00 WIB

Diskusi ini membahas inventarisasi aturan pelaksana pendelegasian UU Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan menggunakan dua perspektif yaitu perspektif hukum dan perspektif pemerhati kebijakan kesehatan.

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi kesehatan di Indonesia.

14ags 1Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai penyusunan turunan UU Kesehatan dengan perspektif reformasi dan terkoordinir dengan UU lain yang tidak masuk dalam UU Omnibus Law kesehatan. UU Kesehatan merupakan landasan untuk transformasi sistem kesehatan yang disusun untuk dilaksanakan dengan berbagai aturan turunan. Enam pilar transformasi kesehatan termuat dalam UU Kesehatan yang terdiri dari 20 bab yang terkait pendahuluan, pilar kesehatan, fondasi dan aspek hukum. Setiap bab dan pasal saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi, sehingga setiap topik sebaiknya tidak dilihat secara terpisah-pisah. Sebagai contoh, pasal penglihatan dan pendengaran hanya termuat dalam 3 pasal UU Kesehatan, yaitu pasal 71, 72 dan 73. Namun perlu ditelaah pada pasal lainnya, bagaimana pelayanan penglihatan dan pendengaran didanai? Akankah ditopang oleh regulasi pasal 401 – 412? Bagaimana SDM diatur? Apakah ditopang oleh regulasi bab VII pasal 197 – 311? Dengan demikian, dalam aturan turunan terdapat berbagai pasal yang dipakai bersama oleh pasal-pasal upaya kesehatan. Pasal-pasal itu cenderung berada di pilar-pilar yang berfungsi seperti pondasi dalam metafora transformasi kesehatan yang terkait pendanaan, SDM, teknologi, perbekalan kesehatan, dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu diinventarisasi pasal yang dipakai bersama dan merupakan pilar dasar, di sisi lain, terdapat berbagai pasal yang dipakai bersama masih diatur oleh UU lain di luar UU Nomor 17 Tahun 2023 seperti UU SJSN dan UU BPJS, UU Pendidikan Tinggi, UU IT dan sebagainya, sehingga akan ada banyak aturan turunan yang penulisannya sangat kompleks. Oleh karena itu, tantangan saat ini adalah bagaimana memberikan masukan untuk turunannya. Pasal demi pasal dalam UU Kesehatan dapat dipelajari dan turunan UU akan dapat dipelajari melalui website: https://kebijakankesehatanindonesia.net/4735-uu-kesehatan-omnibus-law-2023  yang didalamnya membahas berbagai isu dalam bentuk webinar, diskusi per-bab UU Kesehatan, serta referensi dalam berbagai kategori. Dengan demikian, website ini diharapkan menjadi tempat untuk mempelajari dan membahas UU Kesehatan secara interaktif.

materi   video

Pembicara Utama: Dr. Rimawati, S.H., M.Hum (Dosen Fakultas Hukum UGM)

14ags 2Rimawati memberikan penjelasan mengenai upaya inventarisasi aturan pelaksana yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Mengingat cukup banyak peraturan turunan yang timbul sejak diundangkannya regulasi tentang kesehatan ini. Rimawati juga menjelaskan, terdapat prinsip utama yang tidak boleh dilanggar dalam penyusunan peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Mengadopsi dari teori Piramida Hukum (Hans Kelsen), sebuah peraturan baru dapat diakui secara legal jika tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu jenjang yang lebih tinggi. Kemudian juga terdapat asas-asas yang melandasi sebuah peraturan baru diciptakan, asas pertama adalah lex superiori derogate legi inferiori yang berarti peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah (sehingga peraturan yang lebih tinggi kedudukannya akan didahulukan). Asas kedua, lex specialis derogate legi generali yang bermakna peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat umum. Kemudian asas ketiga, lex posteriori derogate legi lex priori bermakna peraturan yang baru mengesampingkan peraturan yang lama.

Selain memperhatikan prinsip dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, pemerintah juga perlu menyusun rencana penyusunan Peraturan Pemerintah yang memuat hasil inventarisasi pendelegasian Undang-Undang. Pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah Kementerian yang terkait dengan perintah pendelegasian yang terdapat di Undang-Undang.

Unsur berikutnya yang juga patut diberi perhatian, adalah mengenai partisipasi masyarakat. Ada beberapa metode yang bisa digunakan pemerintah untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu lisan dan tertulis. Kondisi yang dapat digunakan untuk menyampaikannya adalah melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/ata seminar, lokakarya dan/atau diskusi. Media untuk mengumumkan terbukanya kesempatan untuk partisipasi publik biasanya diberikan oleh Pemerintah melalui media elektronik, media cetak maupun forum tatap muka atau dialog langsung.

Pada bagian akhir, Rimawati menjelaskan tentang hasil identifikasi delegasi peraturan yang harus dibentuk oleh Pemerintah, untuk lebih lengkapnya silahkan untuk menyimak materi berikut ini

materi   video

Sesi Diskusi

Pertanyaan dari peserta cukup banyak dan beragam. Salah satunya adalah pertanyaan mengenai kepastian hukum dari peraturan turunan yang sudah berlaku sebelumnya, apakah tiba-tiba tidak berlaku begitu saja atau akan tetap berlaku?. Terdapat kekhawatiran tentang kekosongan hukum. Salah satu peserta juga menanyakan terkait dengan kedudukan dokter residen dan dokter spesialis, terutama kaitannya dengan jobdesc dan insentif yang diberikan. Seperti apa jawabannya?
Silakan klik di sini untuk menonton videonya.

video

Closing Remarks

Peraturan turunan yang didelegasikan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 begitu banyak, dan perlu perhatian tinggi untuk fokus dalam mengawalnya. Kemungkinan yang dapat terjadi dalam pembuatan peraturan turunan ini, waktu pelaksanaannya akan cukup cepat. Selain itu Laksono mendorong untuk berdiskusi lebih jauh sesuai dengan topik-topik yang tersedia dan mendorong untuk membuat policy brief untuk usulan yang akan diberikan pada Pemerintah terkait.
Reporter: Tim asisten topik UU Kesehatan PKMK

video

 

Pengantar

Setelah Undang-Undang Kesehatan diundangkan pada tanggal 8 Agustus 2023 lalu, secara otomatis akan mengubah aspek-aspek dalam bidang-bidang Kesehatan. Melalui Undang-Undang Kesehatan itu pula kemudian diikuti dengan pembentukan peraturan-peraturan turunannya. Menurut tujuan (outcome) dari Reformasi Kesehatan kebijakan Kesehatan harus dapat mendukung peningkatan status Kesehatan masyarakat, kepuasan masyarakat dalam pelayanan Kesehatan yang diperoleh dan pengurangan risiko terhadap masalah Kesehatan yang dihadapi. Oleh karena itu perlu ada “tombol-tombol” kontrol (input) untuk menjamin tercapaianya tujuan, seperti tombol pembiayaan, tombol pendanaan, tombol pengorganisasian, tombol regulasi dan tombol perilaku. Kelima tombol tersebut harus dapat bekerja bersama-sama.
Pertanyaannya untuk saat ini, apakah Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 bisa menjadi sarana untuk mendorong upaya Kesehatan dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut?. Berangkat dari hal tersebut. Mengingat muatan dari Undang-Undang Kesehatan yang baru cukup banyak, seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
  4. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  5. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  6. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  7. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  8. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  9. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  10. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan

Beberapa aspek terutama dalam aspek jaminan sosial dalam perjalanan pembentukan Undang-Undang Kesehatan tidak dimasukkan dalam draft finalnya karena dalam perjalannya terdapat pengemukaan pendapat yang beragam hingga akhirnya UU SJSN dan UU BPJS tidak turut diubah. Pertanyaan berikutnya, apakah rangkaian Undang-Undang yang diubah tersebut kedepannya dapat mendukung reformasi Kesehatan? Apakah cukup reformis?. Oleh karena itu perlu pendalaman dan diskusi-diskusi yang dilaksanakan untuk membedah Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Pada Webinar ini terdapat dua perspektif yang akan disampaikan oleh para pembicara. Perspektif yang pertama adalah mengenai perspektif hukum, akan dijelaskan muatan apa saja yang didelegasikan oleh Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ke peraturan turunannya. Kemudian pada perspektif yang kedua, akan disampaikan mekanisme pengusulan muatan materi yang akan difasilitasi oleh PKMK FK-KMK UGM.

  Tujuan Kegiatan

  1. Memberikan sosialisasi kepada lingkungan peneliti, akademisi dan praktisi di bidang hukum dan Kesehatan mengenai muatan apa saja yang didelegasikan oleh UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
  2. Memberikan sosialisasi kepada lingkungan peneliti, akademisi dan praktisi di bidang hukum dan Kesehatan mengenai adanya website yang memfasilitasi untuk memberikan usulan dan masukan terhadap materi yang akan dimasukkan ke dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan turunan lain dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Narasumber

Pengantar Diskusi – Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

materi   video

Dr. Rimawati, S.H., M.Hum (Dosen Fakultas Hukum UGM)

materi   video

Sesi Diskusi

video

Penutup Oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

video

Task Shifting dalam Implementasi Undang-Undang No.17/ 2023 tentang Kesehatan

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Task Shifting dalam Implementasi UU No.17/ 2023 tentang Kesehatan

Senin, 9 Oktober 2023  |   Pukul: 11:00 – 12:30 WIB

9okt

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomer 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-26 yang membahas Task Shifting dalam implementasi Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Narasumber Utama oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D mengantar webinar dengan mempresentasikan peluang era baru sistem kesehatan melalui penerapan task shifting yang diatur dalam UU Kesehatan. Saat ini Indonesia masih menghadapi masalah jumlah SDM yang terbatas baik dalam hal produksi dan distribusi serta ketersediaan anggaran sehingga mempengaruhi akses, pemerataan, dan mutu pelayanan kesehatan. Salah satu alternatif yang muncul ke permukaan adalah task-shifting, yaitu pemindahan task (tugas), dengan sepantasnya, dari tenaga medis atau tenaga kesehatan yang mempunyai kualifikasi tinggi ke tenaga medis atau tenaga kesehatan yang lebih rendah kualifikasi dan pelatihannya. UU Kesehatan telah secara tegas mengatur mengenai task-shifting, namun kemanfaatannya akan bergantung pada implementasi yang diatur dalam aturan pelaksana UU Kesehatan.

Pembahas: dr. Jon Calvin Frans Paat, M.Kes- MMR

dr. Jon Calvin Frans Paat, M Kes- MMR menjelaskan bahwa task shifting merupakan kebijakan untuk menjembatani gap ketersediaan sumber daya manusia (SDM) terutama di daerah yang terpencil. Kekurangan SDM dokter spesialis pada umumnya disebabkan oleh retensi yang rendah, kenyamanan kurang terjamin, serta kesejahteraan tidak menentu. Transformasi SDM kesehatan dan transformasi sistem pembiayaan kesehatan membutuhkan pemikiran outside the box untuk dapat menjangkau masyarakat di berbagai daerah secara merata. Task shifting merupakan salah satu solusi, meski demikian, ketentuan mengenai task shifting masih dalam tataran UU. Ketentuan mengenai task shifting perlu diatur lebih lanjut dalam RPP, PMK, hingga pedoman/panduan task shifting.

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi dibahas bahwa penekanan dalam task shifting adalah dalam rangka pemerataan akses terhadap pelayanan kesehatan. Task shifting perlu dilakukan untuk mengurai masalah ketiadaan SDM Kesehatan di tempat tertentu, misalnya ketiadaan dokter spesialis obstetri ginekologi di daerah tertentu sehingga dapat dilakukan task shifting dari dokter spesialis obstetri ginekologi kepada dokter umum yang telah dilatih untuk melakukan operasi sectio caesaria. Deklarasi ketiadaan dan kebutuhan akan SDM Kesehatan pada daerah tertentu ini dinyatakan oleh pemerintah daerah untuk kemudian diimplementasikan kententuan terkait task shifting. Sementara, pelatihan bagi tenaga yang diberi limpahan wewenang dilakukan oleh pihak yang terkait untuk pelatihan kompetensi, seperti kolegium yang bersangkutan. Disamping itu, pembiayaan untuk implementasi task shifting juga perlu diatur dengan jelas, serta perlu ada jaminan hukum dan jaminan kesejahteraan bagi tenaga medis atau tenaga kesehatan yang mendapatkan pelimpahan wewenang dan tanggungjawab melalui proses task shifting.

Diskusi tentang task shifting dalam implementasi Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan untuk UU Nomer 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya terkait proses task shifting untuk pemerataan akses terhadap layanan kesehatan di seluruh Indonesia. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

  Narasumber

Moderator: Eurica Stefany Wijaya, S.H., M.H.

Pembicara: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

video   materi

Pembahas: dr. Jon Calvin Frans Paat, M Kes- MMR

video   materi

Sesi Diskusi

video

 

 

 

 

 

Webinar Peran Strategis RUU OBL Kesehatan menuju Masyarakat Indonesia yang Sehat, Beradab dan Berkeadilan

Webinar Peran Strategis RUU OBL Kesehatan menuju Masyarakat Indonesia yang Sehat dan Berkeadilan

Diselenggarakan oleh Komunitas Dokter Bhinneka Tunggal Ika 

9jl

  Agenda

Hari, tanggal: Minggu, 9 Juli 2023
Waktu: 13.00 – 15.00 WIB

Moderator: Dr. dr. Yosephin Sri Sutanti, MS., SpOk(K)

  Narasumber

Prof. dr. M.Ahmad Djojosugito, dr., SpOT(K), MHA, MBA

Peran dan tanggung jawab OP Kesehatan

MATERI   video

dr. Putu Moda Arsana, Sp.PD.KEMD,. FINASIM

Peran KKI dan Kolegium dalam menghasilkan Dokter dan Dokter Gigi yg Kompeten dalam Pelayanan Kesehatan

materi   video

dr. PC Bambang Suyatmoko

Harapan Masyarakat dan Tenaga Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Nasional yang Lebih Baik

materi   video

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

RUU Kesehatan OBL untuk Pemerataan dan Keadilan Sosial

materi   video

Sesi Diskusi video

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Webinar LiLA Keluarga – Pemberdayaan Keluarga untuk Deteksi Dini Wasting

Kerangka Acuan Kegiatan

Webinar LiLA Keluarga – Pemberdayaan Keluarga untuk Deteksi Dini Wasting

Kamis, 10 Agustus 2023  |  Pukul 10.00 – 12.00 WIB

  Latar Belakang

Komitmen global sebagaimana yang tercantum dalam SDGs 2.2 adalah menghilangkan berbagai bentuk malnutrisi pada 2030 (UN General Assembly, 2015). Di Indonesia, salah satu perhatian utama pemerintah adalah mengatasi wasting pada anak di berbagai wilayah di tanah air. Wasting adalah bentuk kekurangan gizi akut yang sangat berbahaya, karena memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang pada pertumbuhan anak (UNICEF, 2022). Anak yang mengalami wasting memiliki risiko 3 kali lebih tinggi untuk menjadi stunting (Wright et al., 2023).

Secara statistik terdapat 6,7% anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia termasuk dalam kategori wasting (WFP, WHO & UNICEF, 2020). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi balita wasting menunjukkan adanya penurunan dari 13,6% (2007) menjadi 10,2% (2018) dalam satu dekade (Kemenkes RI, 2018). Namun, berdasarkan data Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi balita wasting meningkat menjadi 7,7 persen dari sebelumnya 7,1 persen pada 2021.

Hal tersebut menggarisbawahi perlunya deteksi sedini mungkin pada kasus wasting dan ditangani secara terintegrasi. Salah satu bentuk deteksi dini yang mudah dilakukan di tingkat keluarga adalah pengukuran lingkar lengan atas (LiLA) anak. Upaya ini telah diujicobakan sebagai bagian dari pendekatan Pengelolaan Gizi Buruk Terintegrasi (PGBT) yang menekankan perlunya pelibatan masyarakat dalam penanganan wasting. Orang tua atau pengasuh dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan agar mampu mengenali tanda awal wasting pada anak-anak, serta dapat segera mencari pertolongan apabila anak menunjukkan tanda-tanda wasting.

Melihat pentingnya deteksi dini dan penanganan terintegrasi untuk kasus wasting di Indonesia, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) bekerja sama dengan UNICEF Indonesia menginisiasi webinar dengan judul “LiLA Keluarga – Pemberdayaan Keluarga untuk Deteksi Dini Wasting”.

  Tujuan

Kegiatan ini bertujuan untuk:

  1. Membahas pentingnya pelibatan masyarakat dalam deteksi dini wasting
  2. Berbagi pengalaman inovasi pemberdayaan keluarga dalam deteksi dini dan rujukan wasting

  Narasumber

  1. Direktorat Gizi dan KIA, Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI
    • Kebijakan Terkait Pencegahan dan Tata Laksana Wasting dengan Fokus Penemuan Balita Wasting dan Mobilisasi Masyarakat.
  2. UNICEF
    • – Pengukuran LiLA Keluarga Sebagai Salah Satu Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Deteksi Dini Wasting
  3. Tim Narasumber Provinsi NTB, yang terdiri dari Dinas Kesehatan Provinsi NTB, GEN NTB, dan Kader
    • Dinas Kesehatan Provinsi NTB:
      Peran Masyarakat dan Implementasi Pengukuran LiLA Keluarga dalam Deteksi Dini Wasting melalui Pemberdayaan Keluarga di NTB
    • GEN NTB
      Integrasi Pengukuran LiLA Keluarga melalui Program PARANA
    • Kader/Orang Tua
      Berbagi Pengalaman terkait Praktik Pengukuran LiLA Keluarga
  4. Tim Narasumber Kabupaten Sukoharjo, yang terdiri dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, Kader/Orang Tua
    • Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo
      Peran Masyarakat dan Implementasi Pengukuran LiLA Keluarga dalam Deteksi Dini Wasting melalui Pemberdayaan Keluarga di Kabupaten Sukoharjo
    • Puskesmas Bendosari
      Implelementasi Pengukuran LiLA Keluarga di Tingkat Puskesmas
    • Kader/Orang Tua
      Berbagi Pengalaman terkait Praktik Pengukuran LiLA Keluarga

  Moderator

Luthfiatul Chamidah – IMAM Coordinator Jawa Timur

  Target Peserta

  1. Pengambil keputusan nasional dan daerah.
  2. Akademisi bidang kesehatan masyarakat, kebijakan kesehatan, dan lain-lain.
  3. Peneliti, konsultan dan pemerhati bidang kesehatan masyarakat, kebijakan kesehatan, dan sebagainya
  4. Masyarakat umum, organisasi profesi, mahasiswa

  Agenda

Hari, tanggal : Kamis, 10 Agustus 2023
Pukul : 10.00 – 12.00 WIB

Link Zoom

Meeting ID : 879 2690 7862
Passcode : 864496
Live Streaming : Youtube – CH 1 PKMK

Waktu Kegiatan Pembicara
10.00 – 10.05 WIB

Pembukaan

10.05 – 10.20 WIB Pemaparan
  1. Direktorat Gizi & KIA, Kemkes RI (15 menit)
10.20 – 10.35 WIB
  1. UNICEF (15 menit)
10.35 – 11.05 WIB Talk Show Sesi 1
  1. Dinas Kesehatan Provinsi NTB (7 menit)
  1. GEN NTB (8 menit)
  1. Perwakilan Kader/Orang Tua Provinsi NTB (15
11.05 – 11.35 WIB Talk Show Sesi 2
  1. Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo (8 menit)
  1. Puskesmas Bendosari (7 menit)
  1. Perwakilan Kader/Orang Tua (15 menit)
11.35 – 11.55 WIB

Diskusi dan Tanya Jawab (Moderator – 20 menit)

11.55 – 12.00 WIB

Penutupan (Moderator – 5 menit)

Narahubung:

Monita (WhatsApp)
+62 82265001737