Seminar Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan

Kerangka Acuan
Seminar Sinkronisasi RPJMD-RPJMN
Sub-Bidang Kesehatan

Yogyakarta, Jumat 17 Juni 2016

  LATAR BELAKANG

Setelah pemilukada serentak 9 Desember 2015 di 264 daerah, kepala daerah terpilih dilantik pada 17 Februari 2016. Menurut Permendagri No. 54 Tahun 2010 Pasal 75 ayat (1), Bupati/Walikota harus menyampaikan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD kabupaten/kota paling lama 5 (bulan) setelah dilantik. Dengan kata lain, rancangan Perda tersebut harus sudah disampaikan paling lambat tanggal 17 Juli 2016. Rancangan Perda tersebut, menurut Pasal 76 Permendagri No. 54 Tahun 2010, harus sudah ditetapkan paling lambat 6 bulan setelah Bupati/Walikota dilantik atau tanggal 17 Agustus 2016.

Paralel dengan itu, semua SKPD harus menyusun Rencana Strategis (Renstra). Menurut Pasal 97 ayat (7) Permendagri No. 54 Tahun 2010, rancangan akhir SKPD harus sudah disahkan dengan keputusan kepala daerah paling lambat 1 (satu) bulan setelah Perda tentang RPJMD ditetapkan (atau tanggal 17 September 2016). Selanjutnya menurut Permendagri No. 54 Tahun 2010 Pasal 97 ayat (8), penetapan Renstra SKPD oleh kepala SKPD paling lama 7 (tujuh) hari setelah Renstra SKPD disahkan oleh kepala daerah (atau tanggal 24 September 2016).

Berbeda dengan sebelumnya, dalam penyusunan RPJMD dan Renstra SKPD kali ini sangat ditekankan keselarasan dan sinkronisasi yaitu antara RPJMD dengan RPJMN (dalam hal ini RPJMN Sub Bidang Kesehatan), dan antara Renstra SKPD dengan RPJMD Bidang Kesehatan. Keselarasan dan sinkronisasi ini penting untuk menjaga semangat NKRI dan menjamin keselarasan dan sinkronisasi rencana pembangunan dari pusat hingga ke daerah.

Dalam konteks demikian, Bappenas yang didukung oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM dan AIPHSS, telah menyusun Modul Sinkronisasi RPJMD – RPJMN Sub Bidang Kesehatan. Modul ini dikembangkan dalam format hardcopy dan versi online, yang dilengkapi dengan Modul Pembelajaran dan Buku Kerja untuk memudahkan upaya sinkronisasi yang diharapkan. Dengan kebijakan “money follow programs” yang ditekankan Presiden Joko Widodo, sinkronisasi tersebut akan menjadi “jembatan” untuk memastikan disalurkannya dana APBN ke daerah dan sinergisnya program yang akan dilakukan.

Berdasarkan latar belakang demikian, upaya sosialisasi Modul Sinkronisasi ini dianggap penting karena bisa membantu tugas kepala daerah yang baru saja dilantik. Untuk itu, PKMK FK UGM bermaksud menyelenggarakan Seminar dan Workshop Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan.

  TUJUAN

  1. Memahami RPJMN 2015-2019 dan kaitannya dengan kebijakan sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan
  2. Memahami konsep dan tahap-tahap sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan
  3. Memahami metode pembelajaran Modul Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan
  4. Mengetahui pendekatan sinkronisasi Renstra SKPD-RPJMD.
  5. Menyepakati tindak lanjut hasil Seminar.

  NARASUMBER

  • Pungkas Bahjuri Ali, S.TP, MS, Ph.D (Kasbdit Kesehatan Masyarakat)- Bappenas
  • Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
  • DR. dr. Dwi Handono Sulistyo, MKes
  • Moh. Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH

  PESERTA

  • Bappeda Provinsi, Kabupaten/Kota dari daerah yang mengikuti pemilukada 9 Desember 2015
  • Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dari daerah yang mengikuti pemilukada 9 Desember 2015
  • Dosen
  • Konsultan
  • Mahasiswa S2/S3

  WAKTU DAN TEMPAT

  • Waktu: Tanggal 17 Juni 2016, jam 08.30 – 11.30 WIB
  • Tempat: Ruang Theater , Gedung Perpustakaan lantai 2, Fakultas Kedokteran UGM

  AGENDA

Jam

Materi

Nara Sumber

Moderator

Metode

08.00 – 08.30

Registrasi Peserta

Panitia

   

08.30 – 09.00

Pembukaan dan Pengantar Seminar/Workshop

video

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

MC

 

09.00 – 09.45

RPJMN dan Kebijakan Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan

video

Pungkas Bahjuri Ali, S.TP, MS, Ph.D (Kasubdit Kesehatan Masyarakat-Bappenas RI

materi

Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH

Ceramah Tanya Jawab

09.45 – 11.15

Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan; dan Sinkronisasi Renstra SKPD dengan RPJMD

video

DR. dr. Dwi Handono Sulistyo, MKes

materi

Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH

Seminar

Metode Pembelajaran Modul Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan, dan Contoh Aplikasinya

diskusi

Moh. Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH

11.15 – 11.30

Rencana Tindak Lanjut dan Penutup

video

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

   


PEMBIAYAAN

Seminar ini tidak dipungut biaya.

PENUTUP

Demikian Kerangka Acuan ini disusun sebagai dasar pelaksanaan kegiatan. Dalam implementasinya, sangat terbuka untuk dilakukan penyesuaian sesuai perkembangan dan kebutuhan.

Modul Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan & Gizi Masyarakat sebagai Inovasi Perencanaan Pembangunan Kesehatan di Indonesia yang User Friendly

Modul Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub-Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat disusun sebagai upaya untuk membantu daerah yang mengikuti Pemilukada serentak 9 Desember 2015 lalu.

Hal tersebut telah disosialisasikan dalam seminar yang bertajuk “Seminar Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub-Bidang Kesehatan”pada Jumat 17 Juni 2016 di R. Theater Fakultas Kedokteran UGM. Seminar yang dilaksanakan secara tatap muka dan melalui webinar ini menghadirkan Narasumber dari PPN/ Bappenas dan Konsultan PKMK UGM, serta dihadiri secara langsung oleh Bappeda, Dinkes Kulon Progo, Dinkes Bantul, dan Dinkes Gunung Kidul. NGO-Simavi juga ikut berpartisipasi dalam seminar ini melalui webinar.

“Sinkronisasi ini sangat penting untuk dilakukan, karena kompleksnya sistem perencanaan pembangunan di Indonesia, dan sering terjadi ketidaksinkronan perencanaan kesehatan daerah dan perencanaan kesehatan dari pusat” . Begitulah ungkapan penekanan yang disampaikan oleh Pungkas (Kasubdit Kesehatan Masyarakat Bappenas).

Beliau juga menyampaikan bahwa ada lima hal yang perlu disinkronkan ke dalam RPJMN antar lain sasaran, arah kebijakan, strategi, indikator dan target pembangunan kesehatan. Dalam mensinkronkan tentunya daerah tetap harus mempertimbangkan kemampuan daerah dan prioritas nasional.

Modul sinkronisasi ini sifatnya user friendly , jadi ada buku kerja untuk memudahkan perencana atau konsultan daerah dalam mengaplikasikannya, dan modul ini sudah diuji coba di kabupaten Situbondo” ujar Dwi Handono (Konsultan PKMK) .

Lebih lanjut beliau menyampaikan bahwa modul sinkronisasi ini juga sudah dilengkapi dengan cara bagaimana cara mensinkronkan Renstra SKPD dengan RPJMD nya. Hal ini dilakukan berdasarkan permasalahan di daerah bahwa ada perbedaan antara Bappeda dan Dinas Kesehatan, Dinas Kesehatannya lebih senang menyinkronkan Renstra SKPD nya dengan RPJMD, sementara Bappeda lebih senang menyinkronkan RPJMD dengan RPJMN nya.

Hal ini dibenarkan oleh peserta dari Dinas Kesehatan Kulon Progo dalam sesi diskusi bahwa memang yang terjadi di daerah Dinas Kesehatan lebih cenderung mensinkronkan Renstra dengan RPJMD. Oleh karena itu, produk ini merupakan dapat menjadi jembatan antara perencana daerah dan pusat.

Modul sinkronisasi ini bersifat dinamis dan nantinya akan terus mengalami pembaharuan, jadi tidak hanya saklek sampai disini. Akan ada perubahan –perubahan sesuai dengan kondisi yang ada.

Untuk itu, dalam pentupannya Laksono (Ketua Board PKMK UGM) menyampaikan bahwa akan ada expert panel dan pendampingan untuk konsultan di daerah. Lebih lanjut, beliau mengusulkan bahwa harus ada konsultan tenaga ahli dan tim monitoring evaluasi yang independen yang disupport oleh Bappenas dan Kemenkes.

Reportase Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era MEA

Yogyakarta – PKMK FK UGM menyelenggarakan pertemuan diskusi kedua dari Seri Seminar Perhimpunan Profesi pada Sabtu, 20 Februari 2016. Diskusi ini mengangkat tema Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Para pembicara dan pembahas dari bagian PPSDM Kementerian Kesehatan, PKMK, POGI, KKI, IDI, dan PAPDI hadirdalam seminar ini.

Dalam konteks MEA ini ada potensi konflik antara Ikatan Profesi dengan keinginan masyarakat. Masyarakat ingin lebih banyak dokter agar akses lebih baik. Sementara itu ada kemungkinan Ikatan Profesi berusaha menahan masuknya dokter asing. Bermula dari kekhawatiran inilah kemudian seminar ini diselenggarakan.

Diskusi dimulai dengan presentasi dari dr. Asjikin Iman H. Dachlan, MHA, Kepala Pusrengun PPSDM Kementerian Kesehatan dan Dr. dr. Andreasta Meiala, M.Kes dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Dr. Asjikin menjelaskan mengenai beberapa regulasi dan kesepakatan yang telah diatur dalam rangka MEA, sedangkan dr. Andreas mengemukakan beberapa data mengenai kondisi lapangan tenaga kesehatan di beberapa negara. Terdapat kesimpulan bahwa negara-negara ASEAN saat ini masih memproteksi tenaga kesehatan Warga Negara Asing dan bersepakat untuk hanya saling bertukar teknologi informasi. Selain itu, Indonesia merupakan negara yang sangat diminati untuk kerja dokter spesialis dari asing, membangun Rumah Sakit dan mengekspor pasien ke luar negeri. Meski sudah terdapat beberapa regulasi yang mengatur, namun Indonesia masih memiliki soft door policy sehingga dibutuhkan strategi yang lebih matang dalam menghadapi MEA, apakah strategi bertahan atau penetrasi ke luar negeri, atau untuk menambah supply tenaga kesehatan yang kurang. Terutama adanya klausul bahwa jika aturan lokal tidak sesuai dengan aturan internasional, seperti adanya ketimpangan rasio tenaga kesehatan, maka aturan pelarangan masuknya tenaga kesehatan asing dapat ditembus.

Setelah presentasi, dilanjutkan dengan diskusi bersama para pembahas yaitu DR. dr. Kiki Lukman, M(Med)Sc, Sp.B.KBD, FCSI (Wakil ketua MKKI) sebagai perwakilan IDI Pusat, Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A(K) (Ketua Divisi Pendidikan KK) dari Konsil kedokteran indonesia, dr. Nurdadi Saleh, SpOG dari POGI Pusat , dan DR. dr. Zulkifli Amin, SPPD-KP dari Kolegium PAPDI. Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam ini membahas bahwa perhimpunan profesi tidak sepenuhnya menolak MEA, sebaliknya beberapa perhimpunan profesi telah menyiapkan banyak hal dalam persiapan menghadapi MEA. Selain itu, para perhimpunan profesi menginginkan disusunnya suatu regulasi tentang masuknya tenaga kesehatan asing dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia agar mendapatkan pelayanan yang benar, termasuk juga melindungi dokter-dokternya, jangan sampai dokter Indonesia justru tidak bisa mencari lapangan pekerjaandi tanah air sendiri. Diperlukan pula penelitian lebih lanjut tentang distribusi

Dokter serta akar masalah lambat dan kurangnya layanan kesehatan, apakah dari alat yang rusak atau penganggaran dana kesehatan yang kurang. Pada akhirnya diperlukan terobosan baru dari pihak perhimpunan profesi, kementerian kesehatan, institusi pendidikan kedokteran, dan berbagai pihak yang terkait untuk mengatasi masalah ketimpangan distribusi dokter dan dokter spesialis-subspesialis agar tidak menjadi justifikasi bagi masuknya dokter asing ke Indonesia.

Sebagai ringkasan dan kesimpulan, posisi IDI dan KKI tidak sepenuhnya menolak MEA. Ke depan, diperlukan kemampuan diplomasi yang baik untuk melindungi kepentingan masyarakat Indonesia dan anggota perhimpunan profesi. Jangan sampai IDI menjadi public enemy karena tidak pandai berdiplomasi. Selain itu, dibutuhkan pula data yang lebih detail tentang spesialis dan sub-spesialis serta menjadikan residen sebagai pekerja dokter yang sedang magang melalui academic health system yang lebih baik. Dengan kemampuan menyusun strategi persiapan yang lebih matang dalam menghadapi MEA, diharapkan kita dapat menjadikan MEA sebagai peluang untuk memperbaiki status kesehatan di Indonesia, bukan sebagai ancaman.

Reporter: Noor Afif Mahmudah

{jcomments on}

Reportase Seminar Peran IDI & Perhimpunan Profesi dalam Memperjuangkan Hak Residen dan Fellow dalam Proses Pendidikan

Yogyakarta – Jum’at, 4 Maret 2016 Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan UGM bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran UGM telah menyelenggarakan Seminar Perhimpunan Profesi Diskusi yang ke-3 dengan judul “Peran IDI dan dan Perhimpunan Profesi dalam memperjuangkan hak residen dan fellow dalam proses pendidikan” di Ruang Theater, Gedung Perpustakaan FK UGM. Seminar ini terdiri dari dua sesi dan mendatangkan berbagai pembicara serta pembahas dari AIPKI, ARSPI, PERSI, IDI, IKABI, Direktur RSUP dr. Sardjito, dan Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan.

  Pengantar

Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Annual Scientific Meeting FK UGM 2016 dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D selaku Ketua Board PKMK UGM. Acara ini terselenggara atas kerja sama PKMK FK UGM dan Roche. Laksono mengutarakan tujuan dari seminar ini untuk membahas kemajuan proses pemenuhan hak residen dan fellow sesuai dengan UU Pendidikan Kedokteran; membahas peranan IDI dan Perhimpunan Dokter Ahli dalam pemenuhan hak residen dan fellow; serta membahas bentuk gabungan antara university-based dengan hospital-based training untuk residen dan fellow dalam Academic Health System.

  Sesi I – Pembicara

Sesi pertama membahas mengenai apakah residen dan fellow merupakan dokter yang bekerja dalam pendidikan ataukah seorang siswa? Apakah ada kemajuan dalam pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran?. Sesi ini diawali dengan presentasi oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. Laksono memaparkan tentang setelah 2 tahun UU Pendidikan Kedokteran disahkan, masih tampak sistem pendidikan kedokteran dan sistem pelayanan kesehatan berjalan secara terpisah. Diperlukan adanya integrasi antara duasistem tersebut untuk mencapai pelayanan kesehatan yang lebih baik. Ditekankan pula bahwa residen dan fellow bukan siswa biasa dan tidak dapat dipisahkan dengan SDM kesehatan lain di Rumah Sakit, dimana mereka juga memiliki hak sebagai perkerja seperti hak mendapatkan insentif, serta hak untuk beristirahat. Dukungan dari perhimpunan profesi seperti IDI sangat dibutuhkan dalam reformasi ini.

  Sesi I – Pembahasan Tahap ke-1

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pertama oleh beberapa pembahas yaitu Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Ph.D., Sp.OG(K) sebagai perwakilan ketua AIPKI dari Pokja Spesialis dan Subspesialis, Prof. dr. H. Abdul Khadir, Ph.D., Sp.THT/KL(K)., MARS selaku Ketua 1 ARSPI yang juga menjabat sebagai Direktur RS Dharmais, serta dr. Kuntjoro A. Purjanto, MMR sebagai ketua PERSI.

Pada sesi pembahasan tahap ini, Prof. dr. Ova Emilia mendukung reformasi ini dan mengusulkan misi dari reformasi adalah untuk meningkatkan bentuk tanggung jawab residen dari pendidikan tidak hanya dari pencapaian segi kompetensi saja, namun juga meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan. Pihak ARSPI juga sangat mendukung dan menyatakan bahwa ke depannya harus ada reformasi serta diharapkan adanya penguatan Fakultas Kedokteran dan RS Pendidikan melalui Academic Health System. Beliau juga menegaskan kembali tentang tiga hak residen yang harus dipenuhi berdasarkan UU Dikdok, yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak untuk mendapatkan insentif, dan hak untuk mendapatkan istirahat. Ketua PERSI mengutarakan bahwa PERSI menunggu aplikasi rundown serta roadmap yang jelas dari reformasi ini, agar bersifat akuntabel dan jelas jalan eksekusinya. Selain itu, dibutuhkan pula pemberdayaan masyarakat agar masyarakat tahu dan bisa memenuhi keadilan dan pemerataan kesehatan di seluruh Indonesia. Hal ini dapat terwujud jika adanya komitmen yang kuat dari semua pihak terkait.

Setelah pembahasan kemudian terdapat diskusi yang sangat menarik antara pembahas dengan peserta seminar. Salah satu peserta, dr. Endro Basuki, Sp. BS dari RSUP dr. Sardjito menyatakan bahwa residen harus dimanusiakan. Target utama adalah bagaimana residen selesai masa pendidikan dengan selamat, serta yang paling mudah selain pemberian insentif adalah residen tidak perlu membayar biaya PPDS karena sudah dibiayai oleh pemerintah atau instansi lain. Dari sesi ini dapat diambil kesimpulan bahwa semua pihak setuju bahwa residen perlu mendapatkan haknya, dan detail operasional tentang pemenuhan hak ini perlu dibicarakan lebih lanjut.

  Sesi I – Pembahasan tahap ke-2

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tahap ke-2. Prof. DR. Dr. David S Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K) selaku Ketua MKKI – IDI menyatakan bahwa IDI perlu memprioritaskan status residen di Rumah Sakit sebagai apa, kemudian sumber alokasi dana insentif dari mana, serta dilaksanakan dalam jumlah yang memadai. IDI berharap bahwa ada dukungan dari pemerintah untuk dapat mencapai tujuan ini.

Ketua IKABI Pusat, yakni dr. R. Suhartono, Sp.BT-KV menekankan perlunya kesamaan persepsi tentang residen dari pihak fakultas, perhimpunan profesi, dan kementerian kesehatan (Kemenkes). Selain itu dalam penerimaan residen, harus disesuaikan dengan kebutuhan dari Kemenkes sehingga terdapat kesesuaian antara jumlah residen yang diterima oleh universitas dan kebutuhan di Rumah Sakit.

dr. Achmad Soebagjo Tancarino, MARS sebagai kepala pusat pendidikan SDM Kesehatan mengutarakan tentang adanya pembentukan perencanaan yang disusun bersama oleh dinas kesehatan kabupaten di mana kini sedang konsolidasi peta kebutuhan SDM tenaga kesehatan selama 5 tahun mendatang. Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan ini tidak hanya diperlukan di RS Pemerintah saja, namun juga RS Swasta.

Pada diskusi pembahasan tahap ini diutarakan beberapa pendapat, seperti harapan bahwa dosen klinis dari residen perlu dimanusiakan juga agar mendapatkan porsi yang sesuai. Suara dan aspirasi dari Persatuan Dokter Dosen Klinis (PERDOKDI) juga diharapkan untuk turut didengar dalam penyusunan PP dari UU Dikdok. Ditekankan pula perlu diciptakan iklim yang sehat dan kondusif tidak hanya untuk residen, namun juga untuk dokter senior. Sembari menanti penyusunan PP, pihak-pihak yang bersangkutan juga mempersiapkan yang dibutuhkan sehingga ketika PP telah jadi bisa langsung dieksekusi.

  Sesi II – Pembicara

Pada sesi kedua dilakukan pembahasan mengenai Harapan di masa mendatang tentang skenario Academic Health System di Indonesia berdasarkan PP RS Pendidikan dan harapan untuk badan PPSDM Kementerian Kesehatan. Pembicara sesi ini yaitu Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, Dipl. PH sebagai ketua minat MMR FK UGM menyampaikan hasil data kajian pemberian insentif yang dilakukan di RSUP dr. Sardjito, RSUD dr. Moewardi, dan RSUP dr. Cipto Mangunkusumo.

Di Era JKN peningkatan jumlah pasien yang tidak diikuti oleh jumlah DPJP menyebabkan adanya pembagian beban kerja yang “dibungkus” oleh pendidikan. Dalam pembagian beban ini sudahkah ada pembagian beban kerja, kompensasi, dan keadilan yang jelas antara DPJP dan residen?
Dari hasil riset didapatkan bahwa ada beberapa bentuk pembagian insentif dari Rumah Sakit, namun dengan dasar acuan yang tidak jelas dan memiliki aturan masing-masing yang tergantung pada: status residen, regulasi yang mendukung, dan manajemen RS. Melalui riset, didapatkan pula bahwa residen sudah masuk dalam siklus manajemen, namun yang belum ada adalah sistem reward dan punishment bagi residen. Selain itu data jumlah residen, fellow, dan data kapasitas RS Pendidikan serta data dosen pendidik untuk pendidikan spesialis dan sub-spesialis masih sulit untuk ditemukan.

Prof. Laksono sebagai moderator menambahkan tentang Academic Health System di mana Fakultas Kedokteran sebagai pihak pengelola residen sehingga tetap dikenakan biaya SPP, namun yang membayar bukan pihak residen pribadi namun RS, Pemerintah daerah, atau kelompok tertentu yang membayar. Selain itu penetapan RS Pendidikan dan jejaring tidak bisa asal namun sesuai kebutuhan. Jika RS tidak membutuhkan adanya residen atau fellow, maka tidak perlu menjadi RS Pendidikan. Ijazah dan sistem kontrol mutu pendidikan yang mengeluarkan tetap universitas karena kondisi yang sulit keluar dari UU Sisdiknas.

  Sesi II – Pembahas

Pembahasan sesi ke-2 kali ini diisi oleh dr. Achmad Soebagjo Tancarino, MARS (Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan), Prof. DR. dr. David S Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K) (Ketua MKKI – IDI), dan dr. M. Syafak Hanung, Sp.A (Direktur Utama RSUP dr. Sardjito). Melalui pembahasan kali ini didapatkan fakta bahwa data mengenai residen yang melalui tugas belajar di Pusat Pendidikan SDM Kesehatan dapat diakses jika perlu. Ketua MKKI juga menyampaikan bahwa data-data di perhimpunan profesi juga ada dan tengah dirapikan, serta diharapkan minggu depan sudah dapat dirilis. Sedangkan dr. Syafak menyampaikan bahwa di RSUP dr. Sardjito telah membentuk tim ad hoc untuk membicarakan tentang bagaimana sistem pendidikan residen dapat diatur dengan lebih baik agar dapat memenuhi hak dan kewajiban dari residen terhadap RS Pendidikan.
Dari diskusi pada sesi ini diungkapkan bahwa semua pihak telah sepakat bahwa residen itu juga termasuk pekerja pelayanan kesehatan sehingga hak insentif dan jam istirahat harus diperjuangkan. Tentang jam istirahat, ada kaidah kesehatan kerja yang seharusnya diimplementasikan pada residen yang tidak menghambat residen untuk meraih target kompetensi.

  Penutup dan Kesimpulan

Seminar yang berjalan selama kurang lebih 6 jam ini ditutup dengan dukungan penuh dan kesepakatan dari semua pihak baik dari Perhimpunan profesi, RS Pendidikan, Fakultas Kedokteran, dan Kementerian Kesehatan tentang residen dan fellow juga termasuk tenaga medis RS sehingga harus dipenuhi hak dan kewajibannya. Langkah ini jangan hanya berhenti di PP saja, namun juga harus sampai teknis operasionalnya. Ke depannya akan dibentuk tim yang membahas teknik operasional dari berbagai stakeholder. IDI menyatakan siap untuk menjadi anggota tim. RSUP dr. Sardjito juga sedang menyiapkan tim ad hoc untuk teknis operasional ini. Kemenkes bersedia menjadi inisiator dan bekerjasama dengan Kemenristek dikti. Serta Kemenkes berencana akan mengumpulkan dan melibatkan kolegium serta RS Pendidikan untuk dokter spesialis dan subspesialis. Dapat diambil kesimpulan bahwa semua pihak bertekad untuk terus menjalankan amanat UU dan siap untuk memfasilitasi proses ini.

Oleh: Noor Afif Mahmudah dan M. Ali Rosadi

 

Hasil Pertemuan II: Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas

LATAR BELAKANG

Kebijakan Kementerian Kesehatan untuk memprioritaskan kegiatan promotif-preventif di puskesmas tahun 2016 ini tercermin dalam Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016, khususnya pada Subbab IV tentang Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Hal ini merupakan tonggak penting karena akhirnya keberpihakan pada kegiatan promotif-preventif bisa tercermin dalam alokasi anggaran yang jelas dan relatif besar.

Dalam konteks demikian, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM bekerja sama dengan IAKMI dan Pusat Promosi Kesehatan FK UGM menyelenggarakan seminar khusus untuk itu. Mengingat luas dan kompleksnya permasalahan yang ada, seminar ini diselenggarakan dalam 2 (dua) kali. Seminar ke-1 telah dilakukan pada Kamis 11 Februari 2016, sedangakan Seminar ke-2 dengan tema: Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas juga telah diselenggarakan pada Kamis 18 Februari 2016. Resume hasilnya disampaikan dalam laporan singkat ini.

RESUME

  1. Grand Design Promosi Kesehatan dibutuhkan sebagai acuan kegiatan promosi kesehatan mulai dari level provinsi, kabupaten/kota, hingga ke puskesmas. Dasar pemikirannya antara lain:
    • Jangka Waktu 5 Tahun. Seperti halnya RPJMD dan Rencana Strategis, Grand Design Promosi Kesehatan memiliki jangka waktu 5 tahun. Hal ini menguntungkan karena kegiatan promosi kesehatan yang bertujuan mengubah perilaku sulit dilihat hasilnya dalam satu tahun atau jangka pendek. Dengan adanya Grand Design, ada acuan (dan diharapkan jaminan) untuk mengimplementasikan strategi promosi kesehatan secara berkesinambungan (minimal 5 tahun) agar perubahan perilaku dapat terjadi.
    • Fokus Perubahan Perilaku terkait Masalah Kesehatan Prioritas. Grand Design Promosi Kesehatan sejalan dengan Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota karena harus mengacu pada masalah kesehatan prioritas yang ada dan dirumuskan dalam Renstra. Dengan demikian, posisi Grand Design Promosi Kesehatan adalah “penjabaran” Renstra di bidang promosi kesehatan dengan focus perubahan perilaku terkait masalah kesehatan prioritas.
      Catatan: Masalah Kesehatan Prioritas adalah 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK), Sanitasi Terpadu Berbasis Masyarakat (STBM), Posbindu, ATM (AIDS, TB, Malaria), dan Upaya Kesehatan Sekolah (UKS).
    • Integrasi Kegiatan di Semua Level. Grand Design di daerah dikembangkan di level provinsi kemudian dijabarkan di level kabupaten/kota sebagai acuan penyusunan rencana kerja kegiatan promosi kesehatan di puskesmas. Dengan prinsip integrasi seperti ini, kegiatan promosi kesehatan dapat lebih fokus untuk mendukung upaya mengatasi masalah kesehatan prioritas di suatu wilayah khususnya terkait perubahan perilakunya.
    • Pendekatan Akademis dan Praktis. Grand Design disusun dengan mengacu pada sistematika yang dianjurkan dalam teori. Meskipun demikian, penyusunan Grand Design tidak terlalu teoritis. Untuk itu kombinasi dengan pendekatan praktis juga dilakukan agar Grand Design yang dihasilkan lebih membumi.
    • Fokus pada Program Nyata. Kegiatan promosi kesehatan selama ini seringkali dianggap “abstrak.” Salah satu penyebabnya adalah upaya tersebut tidak dijabarkan dalam “bahasa program” yang jelas indikatornya dan dapat dihitung biayanya. Grand Design Promosi Kesehatan ini berfokus pada program nyata untuk menghindari ketidakjelasan (abstrak) tersebut.
    • Dimensi Upaya Promosi Kesehatan Terintegrasi dengan BOK. Secara operasional, Grand Design dijabarkan ke dalam program yang mencakup empat dimensi yaitu KIE, Pemberdayaan Masyarakat, Advokasi, dan Kemitraan dengan sasaran Rumah Tangga, Pelayanan Kesehatan, Sekolah, Tempat Kerja, dan Tempat Umum. Keempat dimensi tersebut sudah tersedia “menunya” dalam Juknis BOK dari Kementerian Kesehatan. Dengan demikian, penganggaran implementasi Grand Design ini di level puskesmas tidak menjadi masalah.
    • Terbuka Inovasi dalam Implementasi di Level Lokal. Posisi Grand Design ini berada di level “meso” (antara makro dengan mikro). Dalam penjabarannya di level mikro (puskesmas) sangat terbuka peluang untuk melakukan inovasi baik teknologi maupun pendekatannya sesuai kebutuhan setempat. Adanya Grand Design untuk memastikan agar semua kegiatan promosi kesehatan dapat terfokus dan terintegrasi di semua level.
  2. Dari aspek kebutuhan SDM, dalam penyusunan Grand Design Promosi Kesehatan dibutuhkan Tim Tenaga Ahli (minimal S2 Promosi Kesehatan). Di sisi lain, untuk implementasi di level puskesmas, dibutuhkan tenaga promoter kesehatan. Dalam Juknis BOK, puskesmas dapat mengontrak tenaga promoter kesehatan. Namun, yang belum jelas adalah sumber anggarannya untuk mengontrak tenaga ahli tersebut.
  3. Secara teknis, bagaimana menyusun (how to) Grand Design agar dapat direplikasi di semua daerah, masih harus dibahas lebih lanjut.

 

{jcomments on}

Grand Design Sebagai Tools Kegiatan Promotif Dan Preventif Yang Terintegrasi

Grand Design promosi kesehatan diharapkan memiliki bentuk lebih aplikatif , dan bisa menjadi kebijakan nasional yang bersifat lokal specifik. Hal ini yang menjadi perdebatan panjang dalam seminar seri kedua yang bertajuk Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas. Seminar ini diselenggarakan oleh PKMK FK UGM pada Kamis 18 Februari 2016.

Melalui seminar seri kedua ini PKMK FK UGM ingin menyepakati bagaimana bentuk dari Grand Design dari promosi kesehatan. Selama ini sering terjadi disintegrasi antara kegiatan promotif dan preventif, yang seharusnya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, promotif harus ada disetiap program-program preventif dan dilakukan oleh tenaga ahli. Bagaimana hal tersebut diatur dan siapa yang mengatur akan dikemas dalam sebuah Grand Design sehingga sangat penting untuk dirumuskan.

Yayi Suryo Purbandari (Departemen Perilaku Kesehatan,Lingkungan dan Kedokteran Sosial) sebagai narasumber dalam seminar ini menjelaskan bahwa Grand Design disusun disetiap level, ada yang ditingkat nasional, provinsi, ada yang ditingkat kabupaten.

Menambahkan pernyataan tersebut, Rita Damayanti (Perkumpulan Promotor dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia) sebagai narasumber juga mengatakan bahwa Grand Design minimal harus menyinggung 5 program utama dalam promosi kesehatan (Gerakan 1000 hari pertama kehidupan , STBM, Posbindu, ATM (AIDS, TB,Malaria), UKS), dan tetap harus menyambung program generiknya BOK. Grand Design harus cukup efisien, dan fleksibel serta jelas. Fleksibel artinya dapat disesuaikan dengan keadaan daerah masing-masing.

Yayi Suryo Purbandari (Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial) menjawab seharusnya Grand Design dibuat oleh Tim Ahli, dan Grand Design yang ada sekarang ini masih terus direview.

Menyambung hal tersebut Dwi Handono Sulistyo (Konsultan PKMK FK UGM) menyampaikan bahwa pembahasan Grand Design ini tidak akan sampai pada seminar seri kedua ini saja, akan ada seminar lanjutan untuk mematangkan konsep Grand Design tersebut.

{jcomments on}

Resume Hasil Pertemuan 1: Kajian Prospek Kegiatan Promotif-Preventif Di Puskesmas Dalam Anggaran Kemenkes

LATAR BELAKANG

Kebijakan Kementerian Kesehatan untuk memprioritaskan kegiatan promotif-preventif di puskesmas tahun 2016 ini tercermin dalam Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016, khususnya pada Subbab IV tentang Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Hal ini menjadi tonggak penting karena akhirnya keberpihakan pada kegiatan promotif-preventif bisa tercermin dalam alokasi anggaran yang jelas dan relatif besar.

Anggaran Kementerian Kesehatan di tahun 2016 ini perlu diketahui oleh para ahli promosi kesehatan. Ada beberapa pertanyaan mendasar, antara lain:

  1. Apakah “menu” kegiatan promosi kesehatan yang bersifat generik tersebut dapat diterapkan dan sesuai dengan kebutuhan spesifik masing-masing puskesmas?
  2. Bagaimana bentuk kegiatan riil promosi dan preventif kesehatan di Puskesmas dengan menggunakan dana yang ada?
  3. Apakah memang diperlukan system kontrak?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM bekerja sama dengan IAKMI dan Pusat Promosi Kesehatan FK UGM menyelenggarakan seminar khusus untuk itu. Mengingat luas dan kompleksnya permasalahan yang ada, seminar ini diselenggarakan dalam dua kali. Seminar pertama telah dilakukan pada Kamis, 11 Februari 2016. Resume hasilnya disampaikan dalam laporan singkat ini. (Catatan: Seminar ke-2 dengan tema: Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas akan diselenggarakan pada Kamis 18 Februari 2016).

RESUME

Dengan dukungan dana BOK 2016, prospek kegiatan promotif-preventif di puskesmas menjadi cerah. Prospek cerah ini akan tercapai jika berbagai prasyaratnya terpenuhi antara lain:

  • Dinas Kesehatan Kab/Kota harus dapat menjabarkan Juknis DAK Bidang Kesehatan dari pusat ke dalam Juklak sesuai situasi dan kebutuhan setempat. Hal ini dibutuhkan sebagai acuan bagi puskesmas termasuk dalam membuat indicator kinerja bagi tenaga kontrak promoter kesehatan.
  • Lingkungan internal kesehatan (mulai dari level kabupaten hingga ke puskesmas) harus benar-benar memahami kebijakan baru tersebut agar bisa mendukung dan atau melaksanakan kegiatan tersebut dengan baik. Namun, dikhawatirkan belum semua pegawai memahami hal ini.
  • Pemda setempat perlu diadvokasi agar penyerapan dana BOK ini bisa dilakukan sejak awal tahun. Permasalahan muncul karena tahun ini dana BOK harus melalui APBD sehingga ada pemda yang mengharusnya penyerapan dana BOK harus sesuai mekanisme APBD. Hal ini berdampak pada terlambatnya penyerapan.
  • Kegiatan promosi kesehatan tidak bisa lagi dilakukan secara rutin dengan pendekatan klasik (tanpa inovasi atau tidak sesuai dengan kebutuhan setempat). Agar upaya ini efektif, kegiatan tersebut harus berdasarkan suatu Grand Design. Grand Design ini disusun di level provinsi, kemudian dijabarkan di level kabupaten/kota sebagai acuan pelaksanaan di level puskesmas.

Kualifikasi tenaga promoter kesehatan yang dibutuhkan tergantung pada level organisasi dan tugas yang harus dilakukan. Jika hanya sebagai eksekutor di puskesmas, maka cukup D3 Kesehatan (tapi jika harus membuat analisis, harus S1). Untuk level kabupaten/kota, minimal S1 Promkes. Untuk level provinsi, minimal S2 Promkes. Artinya, di semua level tenaga promoter kesehatan dibutuhkan dengan kualifikasi yang sesuai.
Bagi daerah yang sulit untuk mendapatkan tenaga promoter kesehatan (seperti di Indonesia Bagian Timur), muncul ide agar dilakukan pendekatan teknologi informasi yang paling sesuai.

{jcomments on}

 

Tantangan Promosi Kesehatan di tahun 2016 , What do we need?

11febkki

11febkki

Menyambut tahun emas Promkes, Indonesia memerlukan Promoter Kesehatan yang bersifat lokal spesifik dan menu kegiatan promotif preventif yang tidak generik. Begitulah kira-kira kesimpulan hasil seminar yang diselenggarakan PKMK FK UGM pada Kamis 11 Februari 2016 yang bertajuk Kajian Prospek Promotif dan Preventif di Puskesmas Dalam Anggaran Kemenkes 2016.

“Tahun ini merupakan tahun istimewa bagi sektor kesehatan karena Pemerintah Pusat menaikan anggaran untuk kesehatan terutama kegiatan promosi kesehatan dari tahun sebelumnya, sehingga penting untuk membuat suatu model atau bentuk kegiatan yang efektif agar dana tersebut terserap dengan tepat “, ungkap LaksonoTrisnantoro dalam pembukaan seminar.

Melalui seminar ini PKMK mencoba mengkritisi Permenkes No.82 tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016. Ada dua poin, yaitu menu upaya promotif dan preventif, dan sistem kontrak tenaga promoter kesehatan, dalam konteks ini Dwi Handono Sulistyo (Konsultan PKMK FK UGM) juga mengarahkan para ahli promkes untuk membuat suatu grand design dalam pelaksanaan upaya promotif-preventif yang terarah.

Hal tersebut merupakan langkah awal untuk mengoptimalkan Dana DAK non fisik yang dialokasikan untuk kegiatan promotif-preventif yang dirasakan selama ini masih banyak gagal di daerah.

Menu promosi kesehatan dalam Juknis DAK selain generik juga tidak up-to date , ungkap salah satu penanya dari webinar.

Menanggapi hal tersebut Dedi Kuswenda (Direktur Promosi Kesehatan Pemberdayaan Masyarakat Kemenkes) menyatakan bahwa hal tersebut sebenarnya masih bisa di modifikasi, dan hal tersebut juga merupakan upaya untuk tetap mengingatkan tugas Puskesmas sebagai pelaksana UKM, tidak hanya UKP saja seperti yang selama ini terjadi.

Tanggapan mengenai menu kegiatan promosi kesehatan juga dibahas oleh Veronika Evita Setyanignrum (Kepala Puskesmas Moyudan, Sleman, DIY) Beliau membenarkan bahwa menu promosi kesehatan tersebut masih generik dan untuk mengatasi hal tersebut, Puskesmas Moyudan membuat petunjuk kegiatan operasional agar lebih mudah diimplementasikan di daerah.

Poin kedua yang dibahas mengenai kualifikasi tenaga promkes yang akan di kontrak. Fatwa Sari Tetra (Departemen Perilaku Kesehatan,Lingkungan dan Kedokteran Sosial) memberikan masukan bahwa kualifikasi tenaga promkes yang dikontrak seharusnya mempertimbangkan kearifan lokal. Dedi Kuswenda menyampaikan bahwa kualifikasi tenaga ahli sesuai dengan levelnya yaitu level provinsi, kabupaten/kota, dan pengembangan sistem kontrak dimulai dengan grand design untuk menjadi acuan nantinya.

Seminar ini merupakan seminar seri pertama dalam rangkaian seminar Promosi Kesehatan dan akan dilanjutkan pada Hari Kamis, 18 Februari 2016 mendatang dengan pematangan mematangkan konsep grand design.

{jcomments on}

Workshop Jarak-Jauh

  LATAR BELAKANG

Praktis hingga akhir tahun 2015, jargon “mencegah itu lebih baik daripada mengobati” hanya merupakan semangat yang tidak tercermin dalam prioritas program dan pembiayaan kesehatan baik di pusat maupun di daerah. Di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini, lemahnya upaya preventif dan promotif dalam upaya kesehatan masyarakat (UKM) ditengarai menjadi salah satu penyebab tingginya angka kesakitan yang berdampak pada tingginya biaya klaim di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL). Dalam konteks demikian, desakan untuk memprioritaskan upaya promotif preventif tersebut terus mengemuka. Akhirnya, perubahan terjadi pada tahun 2016 dimana upaya promotif preventif mendapat prioritas yang tinggi.

Melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016, khususnya pada Subbab IV tentang Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), penekanan untuk kegiatan promotif dan preventif di puskesmas tergambar jelas. Dana BOK ini diarahkan untuk meningkatkan kinerja Puskesmas melalui upaya kesehatan promotif dan preventif dalam mendukung pelayanan kesehatan di luar gedung. Untuk itu, dana BOK dapat digunakan untuk membayar 1 (satu) orang per puskesmas tenaga kontrak Promosi Kesehatan yang kontraknya ditetapkan melalui SK Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang mengacu pada peraturan yang berlaku. Adapun Ketentuan Khusus terkait dengan tenaga kontrak promoter kesehatan dan rincian kegiatan yang harus dilakukan juga tertera dalam Petunjuk Teknis tersebut (terlampir).

Dalam konteks perkembangan ini Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM bekerja sama dengan IAKMI dan Pusat Promosi Kesehatan FK UGM akan menyelenggarakan seminar khusus untuk itu. Mengingat luas dan kompleksnya permasalahan yang ada, seminar ini akan diselenggarakan dalam 2 (dua) kali pertemuan.

Kajian Prospek Kegiatan Promotif-Preventif
di Puskesmas Dalam Anggaran Kemenkes

Tanggal: 11 Februari 2016

  PENDAHULUAN

Anggaran Kementerian Kesehatan di tahun 2016 ini perlu diketahui oleh para ahli promosi kesehatan. Ada beberapa pertanyaan mendassar:

  1. Apakah “menu” kegiatan promosi kesehatan yang bersifat generik tersebut dapat diterapkan dan sesuai dengan kebutuhan spesifik masing-masing puskesmas?
  2. Bagaimana bentuk kegiatan riil promosi dan preventif kesehatan di Puskesmas dengan menggunakan dana yang ada?
  3. Apakah memang diperlukan system kontrak?


Tujuan Sesi I ini adalah:

  • Membahas kesesuaian “menu” generic kegiatan Promosi Kesehatan dalam Petunjuk Teknis BOK dengan kebutuhan local puskesmas.
  • Membahas kualifikasi tenaga kontrak promoter kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan local puskesmas. Apakah kualifikasi tenaga kontrak promoter kesehatan sebagaimana yang ditentukan dalam Ketentuan Khusus dapat menyelenggarakan kegiatan promotif preventif? Apakah untuk itu dibutuhkan tenaga ahli promoter kesehatan dengan kualifikasi yang lebih tinggi? Jika dibutuhkan tenaga ahli promoter kesehatan dengan kualifikasi yang lebih tinggi, bagaimana ketersediaan dan pemerataannya di seluruh daerah?


  WAKTU & TEMPAT

  • Seminar I: Kamis 11 Februari 2016 jam 08.30 – 13.00
  • Ruang Kuliah 301 Gd. IKM Kampus FK UGM.
  • Via Webinar

 

  AGENDA

Waktu

Materi

Nara Sumber

08.00 – 08.30

Registrasi peserta

 

08.30 – 09.30

Pengantar Seminar

Prof. Dr. Laksono Trisnantoro MSc PhD dan dr. Dwi Handono

video

09.30 – 10.00

Diskusi sesi I

video 

10.00 – 11.00

 

 

Kebijakan dan kegiatan promosi kesehatan di pusat hingga ke puskesmas; serta gambaran ketersediaan tenaga promosi kesehatan di Indonesia

Dr. Dedi Kuswenda,MKes
Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kemenkes

materi   video

Tinjauan sistem kontrak tenaga promoter kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan local puskesmas.

DR. dr. Dwi Handono Sulistyo, MKes

materi   video

Pembahas:

  • Dr. Veronika Evita Setyaningrum, MPH (Kepala Puskesmas di Kabupaten Sleman)
  • Dr. Fatwa Sari Tetra Dewi, MPH, PhD
    (Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial)

materi   video

11.00 – 12.30

Diskusi Part 1  Part 2  Part 3  Part 4

12.30 – 13.00

Pembulatan dan Rencana Tindak Lanjut

DR. dr. Dwi Handono Sulistyo, MKes

video

13.00

Lunch

 

Reportase Kegiatan   Resume

 

PEMBIAYAAN

  1. Biaya peserta tatap muka sebesar Rp. 250.000,00 per-orang.
  2. Biaya per kelompok peserta dengan jarak-jauh: RP 1 juta rupiah (dapat berkelompok sampai 40 orang).

 

PESERTA

  • Ahli promosi kesehatan
  • Dinas Kesehatan Provinsi dan kabupaten/kota
  • Puskesmas
  • Anggota IAKMI di seluruh Indonesia
  • Mahasiswa S2/S3 IKM FK UGM
  • Dosen dan Konsultan di FK UGM

Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan
di Puskesmas

Kamis, 18 Februari 2016 – FK UGM

Kegiatan promosi dan preventif di Puskesmas perlu ada Grand Design. Bagaimana mengembangkan program promosi kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan local dengan pendekatan yang spesifik? 

  TUJUAN

  • Membahas Grand Design system promosi dan pencegahan di Puskesmas pada era Jaminan Kesehatan Nasional yang mempunyai dana dari BOK dan dari kapitasi.
  • Membahas hubungan antara prevensi perorangan dan prevensi masyarakat dengan sumber dana dari BPJS dan Kemenkes serta Pemerintah Daerah
  • Membahas kegiatan preventif dan promotif yang diselenggarakan oleh Dinas-dinas dan lembaga di luar Dinas Kesehatan.

 

  AGENDA

Jam

Aktivitas dan Narasumber

Keterangan

08.00 – 08.30

Koordinasi teknis webinar dengan peserta

MC

08.30 – 09.15

Pembukaan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

video

09.15 – 10.00

Pengantar

DR. dr. Dwi Handono, MKes

materi   video

10.00 –11.00

Usulan Grand Design kegiatan Promosi Kesehatan di Puskesmas

Moderator: Drs. Tudiono, MKes

Dr. Dra. Rita Damayanti, MSPH (FKM Universitas Indonesia)

materi

Dra. Yayi Suryo Prabandari, MSi, PhD (FK Universitas Gadjah Mada)

materi

video

11.00 – 11.30

Pembahas

Moderator: Drs. Tudiono, MKes

  • drg. Hunik Rimawati, MKes Kepala Bagian Pelayanan Masyarakat Dinas Kesehatan Kulon Progo
  • dr. Veronika Evita Setyaningrum, MPH Kepala Puskesmas di Moyudan Sleman

video

11.30 – 12.30

Diskusi

Moderator : Drs. Tudiono, MKes

12.30 – 13.00

Penutup dalam Konteks Peluang Sistem Kontrak

DR. dr. Dwi Handono, MKes 

video

13.00

Makan Siang

 

Reportase Kegiatan   Resume

 


PEMBIAYAAN

  1. Biaya peserta tatap muka sebesar Rp. 150.000,00 per-orang.
  2. Biaya per kelompok peserta dengan jarak-jauh: RP 1 juta rupiah (dapat berkelompok sampai 40 orang).

 

PESERTA

  • Ahli promosi kesehatan
  • Dinas Kesehatan Provinsi dan kabupaten/kota
  • Pimpinan Puskesmas
  • Anggota IAKMI di seluruh Indonesia
  • Mahasiswa S2/S3 IKM FK UGM
  • Dosen dan Konsultan di FK UGM

PENUTUP

Demikian Kerangka Acuan ini disusun sebagai pedoman umum penyelenggaraan seminar. Dalam pelaksanaannya sangat terbuka untuk dilakukan penyesuaian sesuai kebutuhan dan perkembangan yang muncul.

 

Lampiran 1

Ketentuan Khusus Terkait dengan Tenaga Kontrak Promoter Kesehatan
(Lampiran Permenkes No. 82 tahun 2015, halaman 78)

Ketentuan khusus terkait dengan tenaga kontrak promoter kesehatan adalah:

  1. Berpendidikan minimal D3 Kesehatan jurusan/ peminatan Kesehatan Masyarakat diutamakan jurusan/peminatan Promosi Kesehatan/Ilmu Perilaku, dengan pengalaman kerja minimal 1 tahun di bidangnya.
  2. Diberikan honor minimal sesuai upah minimum di Kabupaten/Kota yang berlaku dengan target kinerja bulanan yang ditetapkan secara tertulis oleh Kepala Puskesmas (output based performance).
  3. Diberikan hak/fasilitas yang setara dengan staf puskesmas lainnya termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
  4. Lama kontrak maksimal 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai ketersediaan anggaran dan capaian target kinerjanya.


LAMPIRAN 2:

Rincian Kegiatan Pemanfaatan BOK Untuk Upaya Promosi Kesehatan
(Lampiran Permenkes No. 82 tahun 2015, halaman 85)

lamp2

 

Reportase Lunch Seminar Global Health Financing

PKMK-Yogya. Pada Kamis (21/1/2016), Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM, Program Doktoral FK UGM dan World Bank mengadakan Diskusi Lintas Ilmu yang mengambil dua tema terkait health financing. Diskusi sesi satu mengambil tema Global Health Financing dengan pembicara Christoph Kurowski (World Bank). Sesi dua mengambil tema Monitoring BPJS Kesehatan 2 Tahun: Apakah Dapat Survive? Bagaimana Ideologi di Balik Kebijakan Ini? dengan pembicara: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD. Moderator dalam kuliah ini ialah Deni Harbianto, SE (PKMK FK UGM). Selain Christoph, hadir pula sejumlah tokoh penting World Bank antara lain: Ajay Tandon, PhD, Emiko Masaki, MA, MPH dan Dr. Pandu Harimurti, MPPM.

Ada sejumlah yang menarik yang disampaikan Christoph, antara lain:

Universal Health Coverage bukan masalah distribusi kartu asuransi di Indonesia, karena banyak aspek lain yang harus diperhatikan seperti akses, mutu dan lain-lain. Beberapa rekomendasi dari Christoph untuk kebijakan ke depan antara lain pertama, pastikan pembiayaan publik yang memadai untuk kepentingan paket JKN. Kedua, meningkatkan tata kelola dan kapasitas pemerintah daerah dalam bidang perencanaan dan monitoring pelayanan. Ketiga, memperjelas paket manfaat JKN. Keempat, meningkatkan akuntabilitas dan insentif hasil. Kelima, pengaruh dan mengintegrasikan pembiayaan pada sisi permintaan. Keenam, fokus pada pencegahan dan promosi terutama di populasi / intervensi kesehatan masyarakat.

Secara umum, focus diskusi ialah terhadap keadaan global mengenai sistem pembiayaan kesehatan dan ketercapaian universal health coverage. Salah satu perhatian utamanya adalah meminimalisir out of pocket dari masyarakat dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan. Out of pocket bukan hanya meliputi biaya langsung, melainkan juga biaya tidak langsung yang dikeluarkan oleh masyarakat, termasuk biaya transportasi dalam memperoleh akses pelayanan kesehatan (transportasi, akomodasi dan biaya waktu menunggu). Poin terkait out of pocket ini ditegaskan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD. Faktanya, fenomena JKN di Indonesia pada rentang 2014-2015 pihak yang menggunakan dana JKN lebih banyak ialah masyarakat golongan mampu dan di daerah perkotaan. Sementara masyarakat miskin dan daerah tertinggal sulit mengakses dana ini (BES&W).

Simak materi dan video para pembicara pada link berikut:

Christoph Kurowski (World Bank)

materi

Prof. Laksono Trisnantoro

materi

Video Global Solution for Health Financing – Bagian 1

video

Video Global Solution for Health Financing – Bagian 2

Video

Video Global Solution for Health Financing – Bagian 3

Video

Video Global Solution for Health Financing –  Diskusi Bagian 1

Video

Video Global Solution for Health Financing – Diskusi Bagian 2

video

 

 

{jcomments on}

 

Seminar nasional kebijakan, Implementasi dan kendala dalam pelaksanaan SPGDT Pra-rumah sakit

SEMINAR NASIONAL DAN WORKSHOP 2016

Seminar Nasional
Kebijakan, Implementasi dan Kendala dalam Pelaksanaan SPGDT Pra-Rumahsakit

Workshop
Penanggulangan Gawat Darurat Pra-Rumahsakit
dan Rumahsakit

  LATAR BELAKANG

Gawat Darurat Medik merupakan peristiwa yang dapat menimpa setiap orang. seseorang secara tiba-tiba dan membahayakan jiwa sehingga membutuhkan penangan yang cepat dan tepat. Dalam kondisi gawat darurat, diperlukan sebuah sistem informasi yang terpadu dan handal untuk bisa digunakan sebagai rujukan bagi penanganan gawat darurat. Dengan latar belakang tersebut, maka perlu dikembangkan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT).

SPGDT adalah sebuah sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri dari unsur, pelayanan pra Rumah Sakit, pelayanan di Rumah Sakit dan antar Rumah Sakit. Pelayanan berpedoman pada respon cepat yang menekankan time saving is life and limb saving, yang melibatkan pelayanan oleh masyarakat awam umum dan khusus, petugas medis, pelayanan ambulans gawat darurat dan sistem komunikasi.

Dengan Sistem Pena nggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGD T), masyarakat dapat menelfon call center 119 untuk mendapatkan layanan informasi mengenai rumah sakit mana yang paling siap dalam memberikan layanan kedaruratan, advis untuk pertolongan pertama dan menggerakan angkutan gawat darurat ambulan rumah sakit untuk penjempu tan pasien. Petugas call centre adalah dokter dan perawat yang mempunyai kompetensi gawat darurat. SPGDT 119 bertujuan memberikan pertolongan pertama kasus kegawatdaruratan medis, memberikan bantuan rujukan ke Rumah Sakit yang tersedia, mengkoordinasikan pelayanan informasi penanganan medis yang terjadi pada pasien sebelum mendapatkan pelayanan medis di Rumah Sakit.

Salah satu jenis masalah kegawatdaruratan yang dapat menimbulkan kematian mendadak biasanya d iakibatkan oleh henti jantung (cardiac arrest), dalam keadaan ini tindakan resusitasi segera sangat diperlukan. Jika tidak segera dilakukan resusitasi dapat menyebabkan kematian atau jika masih sempat tertolong dapat terjadi kecacatan otak permanen. Waktu sangat penting dalam melakukan bantuan hidup dasar. Bantuan hidup dasar umumnya dilakukan oleh paramedic, namun di Negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada serta Inggris dapat dilakukan oleh kaum awam yang telah mendapatkan pelatihan sebelumnya.

  TUJUAN

Tujuan Umum

Setelah mengikuti Seminar dan Pelatihan ini peserta diharap kan mendapatkan :

  1. Sosialisasi dan update pengetahuan dalam upaya pe ngembangan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Pra Rumah Sakit dan Rumah Sakit.
  2. Informasi cara memberikan pertolongan pertama pada kasus Pra Rumah Sakit.
  3. Mampu memberikan pertolongan pertama pada kasus Pra Rumah Sakit.

Tujuan Khusus

Setelah mengikuti Seminar dan Pelatihan ini peserta diharap kan mampu :

  1. Melakukan prosedur pertolongan pertama pada kasus kegawatdaruratan
  2. Melakukan tindakan pijat jantung (resusitasi jantung)
  3. Melakukan pemasangan Automatic External Defibrillation (AED)

  METODE

Materi Seminar Nasional dengan tema Kebijakan, Implementasi dan Kendala dalam Pelaksanaan SPGDT Pra Rumah Sakit adalah sebagai berikut :

  1. Kebijakan dalam implementasi sistem penanggulangan gawat darurat terpadu di Indonesia
  2. SPGDT Pra Rumah Sakit : bagaimana implementasi, kendala dan tantangannya
  3. Prosedur pertolongan pertama pada kasus kegawatdaruratan diluar rumah sakit oleh DR. Dr. Tri Wahyu Murni Sulisetyowati, Sp.B., Sp.BTKV(K), M.Hkes
  4. Sharing best practice Emergency Management in Malaysia oleh Dr. Cheah Phee Kheng

Materi Workshop Penanggulangan Gawat Darurat Pra Rumah Sakit dan Rumah Sakit adalah sebagai berikut :

  1. Jalan Nafas / Airway Management
  2. Resusitasi Jantung / CPR
  3. Automatic External Defibrilator
  4. Stabilisasi Pasien
  5. Diskusi
  6. Hands On 1 : Airway & Breathing Support
  7. Hands On 2 : Resu sitasi Jantung & Penggunaan AED

HASIL YANG DIHARAPKAN

Melalui Seminar dan Workshop yang dilakukan ini diharapkan masyarakat baik dari Medis maupun non Medis memahami prosedur pertolongan pertama apabila terjadi kasus kegawatdaruratan. Disamping itu peserta seminar dan workshop memahami regulasi dan kebijak an pemerintah terkait sistem penanggulangan gawat darurat terpadu di Indonesia.

   PELAKSANAAN

Seminar dan Workshop diselenggarakan pada tanggal 3 Februari 2016 di Hotel Bidakara Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 71-73, Pancoran, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12870.

   PESERTA

Peserta Seminar terdiri dari :

  • Dinas Kesehatan
  • Asosiasi Profesi te rkait
  • Masyarakat Awam
  • Profesi

Peserta Workshop terdiri dari :

  • Dinas Kesehatan
  • Asosiasi Profesi terkait
  • Masyarakat Awam
  • Profesi

  SUSUNAN ACARA

SEMINAR

08.00-08.30

Registrasi dan Snack

08.30-09.00

Berbagi Pengalaman: membangun SPGDT Pra Rumahsakit di Bekasi

09.00-09.10

Pembukaan dan kata sambutan

09.10-09.55

Keynote / Topik 1: kebijakan dalam implementasi sistem penanggulangan gawat darurat terpadu di indonesia

09.55-10.05

BREAK

10.05-10.30

Topik 2: SPGDT prahospital – implementasi, kendala dan tantangannya

10.30-10.55

Topik 3: Penanganan kasus gawat darurat diluar rumah sakit – DR. dr. Tri Wahyu Murni Sulisetyowati, Sp.B.,SpBTKV(k), MH.Kes

10.55-11.20

Topik 4: Sharing Best practice Emergency Management in malaysia – Dr. Cheah Phee Kheng, MMed

11.20-12.00

Diskusi

12.00-13.00

Makan siang

 

WORKSHOP

08.00-08.30

Registrasi dan Snack

08.30-09.00

Berbagi Pengalaman: membangun SPGDT Pra Rumahsakit di Bekasi

09.00-09.10

Pembukaan dan kata sambutan

09.10-09.55

Keynote / Topik 1: kebijakan dalam implementasi sistem penanggulangan gawat darurat terpadu di indonesia

09.55-10.05

BREAK

10.05-10.25

Penilaian awal korban – Dr. Hartono MM,Ph.D

10.25-10.40

Jalan nafas / airway management – Dr. Hartono MM.,Ph.D

10.40-11.00

Pernafasan / breathing – Dr. Hartono MM.,Ph.D

11.00-11.15

Resusitasi jantung / CPR – Dr. Sylvana M.Kalibonso, Sp.An, KAKV

11.15-11.30

Automatic External Defibrilator – Dr. Sylvana M.Kalibonso, Sp.An, KAKV

11.30-11.50

Stabilisasi pasien – Dr. Sylvana M.Kalibonso, Sp.An, KAKV / Dr. Hartono MM.,Ph.D

11.50-12.00

Diskusi

12.00-13.00

Hands On 1: Airway & breating Support – Dr. Sylvana M.Kalibonso, Sp.An, KAKV dan Dr. Hartono MM.,Ph.D

13.00-15.00

Hands On 2: Resusitas jantung & penggunaan AED – Dr. Sylvana M.Kalibonso, Sp.An, KAKV dan Dr. Hartono MM.,Ph.D

 

  PENDAFTARAN

Tiara Yulianti
Indonesia HealthCare Forum
Wisma 76 Lt. 17, Jl. Letjen S. Parman Kav. 76, Slipi – Jakarta 11410
Phone : +62 21 2567 8989 | Mobile : +62 8111 6789 21 | Fax : +62 21 53661038 Email : sekretariat@i ndohcf.com
Website : http://indohcf.com 

Format Pendaftaran :

  • Seminar Nasional
    SEMINARJKT / Nama lengkap beserta Gelar/Instansi / Jabatan / Alamat e-mail / No.HP
  • Workshop
    WORKSHOPJKT / Nama lengkap beserta Gelar / Instansi / Jabatan / Alamat e-mail / No. HP