Kuliah Umum Mahasiswa baru S3 Kesehatan Masyarakat

Term Of Reference

Kuliah Umum Mahasiswa baru S3
Kesehatan Masyarakat

Padang, 13 Oktober 2015

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

  PENDAHULUAN

Masalah pokok dalam pembelajaran mahasiswa program pasca sarjana S3 kesehatan masyarakat fakultas kedokteran universitas Andalas adalah ketidaksiapan dalam mempersiapkan diri dari berbagai aspek untuk melakukan penelitian yang berorientasi kepada penelitian tentang masyarakat luas. Hal ini membuat mahasiswa menjadi lebih lama dalam melakukan penelitian yang menjadi kewajiban yang harus diselesaikan oleh mahasiswa, untuk itu perlu masukan dan arahan dari berbagai narasumber yang sudah ahli dibidangnya untuk menunjang pendidikan dan penelitian yang diperlukan oleh mahasiswa, apalagi penelitian yang didapatkan haruslah merupakan temuan baru yang inovasi dan kreatif dalam dunia kesehatan masyarakat.

Berdasarkan kebutuhan diatas , maka pengelola S3 kesehatan masyarakat merasa perlu untuk memberikan kuliah umum kepada mahasiswa baru untuk mempersiapkan diri dalam proses perkuliahan dan proses pembuatan disertasi.

  TUJUAN KEGIATAN

  1. Memperluas pengetahuan mahasiswa mengenai tujuan dari kesehatan masyarakat itu sendiri
  2. Membuka pemikiran mahasiswa dalam merancang penelitian yang inovasi dan kreatif
  3. Memotivasi mahasiswa agar selau tekun, ulet , dan pantang menyerah dalam melaksanaan penelitian

Kegiatan untuk mencapai tujuan

Kuliah umum
kuliah dirancang untuk menambah pengetahuan mahasiswa dalam bidang ilmu kesehatan masyarakat. Untuk itu diundang 2 pembicara tamu dari ANU (australian national university)

PENYELENGGARA

Prodi S3 Kesehatan masyarakat fakultas kedokteran Universitas Andalas

  JADWAL ACARA

No.

Hari/Tanggal

Pukul

Kegiatan

Tempat

1

Selasa, 13 oktober 2015

07.30 – 08.00
08.00 – 08.30
08.30 – selesai

  1. Registrasi
  2. Pembukaan Kuliah umum
  3. Kuliah umum oleh

Prof. Peter McDonald
Dr. Iwu Dwisetyani Utomo

Gedung IJ dan Gedung LPTIK Unand

 

 

Sifat Kebijakan dan Perilaku Pengambilan Kebijakan

Sifat Kebijakan dan
Perilaku Pengambilan Kebijakan

Shita Dewi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan

  Tujuan

  1. Memahami sifat kebijakan
  2. Memahami perilaku pengambilan kebijakan

Materi

Pada penugasan minggu lalu, kita telah menetapkan kebijakan di level mana yang ingin kita pengaruhi atau ubah. Kita telah pula melihat proses apa yang harus dilalui oleh usulan kebijakan dan institusi mana saja serta level mana saja (pusat, propinsi, kabupaten, lembaga) yang terlibat selama proses itu berlangsung. Berdasarkan analisis tersebut, maka kita dapat mengidentifikasi siapa pengambil kebijakan. Hal ini mutlak harus kita lakukan karena tanpa itu kita tidak dapat menganalisa mereka.

Kemampuan dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan kebijakan tersebut juga harus diimbangi dengan pemahaman terhadap kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing pelaku kebijakan. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, sehingga tanggungjawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya.

Namun, ada baiknya pula kita terlebih dulu mengenali sifat dari kebijakan itu sendiri. Berdasarkan sifat dari kebijakan (Anderson, J.E., Public Policy Making: An Introduction, Boston: Houghton Mifflin Company, 2006) kebijakan publik dibagi ke dalam empat kategori, yaitu:

  1. Kebijakan substantif dan prosedural. Kebijakan substantif adalah kebijakan mengenai apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan substantif mengalokasikan keuntungan dan kerugian maupun biaya dan manfaatnya langsung kepada masyarakat. Misalnya, UU SJSN. Sebaliknya,kebijakan prosedural merupakan kebijakan yang berkaitan dengan bagaimana sesuatu akan dilakukan, atau siapa yang akan diberi kewenangan untuk mengambil tindakan. Contoh kebijakan prosedural adalah undang-undang atau peraturan atau ketetapan yang mengatur mengenai pembentukan suatu badan administratif tertentu serta kewenangan dan proses yang dimilikinya. Misalnya, UU BPJS.
  2. Kebijakan distributif, pengaturan (regulative), pengaturan sendiri (self-regulation), dan redistribusi.Kebijakan distributif adalah kebijakan dalam mengalokasikan pelayanan atau manfaat terhadap segmen tertentu dari masyarakat, yaitu individu, kelompok, perusahaan/lembaga atau masyarakat. Kebijakan distributif biasanya melibatkan penggunaan dana publik untuk membantu kelompok, masyarakat atau lembaga tertentu. Contohnya adalah kebijakan terkait program Raskin. Kebijakan pengaturan/regulatifadalah kebijakan yang memberlakukan larangan terhadap perilaku individu atau kelompok,membatasi sekelompok individu dan lembaga, atau sebaliknya, memaksa jenis perilaku tertentu. Biasanya kebijakan ini bersifat protektif atau mengatur kompetisi. Contohnya adalah peraturan tentang perijinan atau lisensi.Kebijakan pengaturan sendiri adalah kebijakan yang membatasi atau mengawasi terhadap suatu kelompok yang dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada kelompok tersebut untuk mengatur dirinya sendiri dalam rangka melindungi atau mempromosikan kepentingan dari anggota kelompoknya.Kebijakan redistributif adalah kebijakan atau program yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan dapat mendistribusikan kekayaan, hak kepemilikan dan nilai-nilai yang lain diantara berbagai kelas sosial masyarakat atau etnisitas di dalam masyarakat.
  3. Kebijakan material dan simbolik. Kebijakan material adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya komplet pada kelompok sasaran. Sedangkan, kebijakan simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok sasaran
  4. Kebijakan yang melibatkan barang kolektif atau barang privast. Kebijakan public goods adalah kebijakan yang mengatur pemberian barang atau pelayanan publik. Sedangkan, kebijakan private goods adalah kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas.

Berdasarkan pembagian kategori di atas, kita dapat mengidentifikasi bahwa usulan kebijakan kita merupakan kebijakan yang mana. Hal ini juga penting dilakukan karena perilaku pengambil kebijakan juga akan bergantung pada sifat kebijakannya.

Maka, seperti apa saja perilaku pengambil kebijakan itu? Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku pembuatan kebijakan. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut(Nigro, F.A., dan Nigro, L.G., Modern Public Administration, New York: Harper&Row Publishers, 5th ed., 1980):

  1. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar. Seringkali pejabat publik harus membuat keputusan karena adanya tekanan-tekanan dari luar. Pada modul yang lalu telah dibahas bahwa salah satu pembuatan kebijakan didasarkan pada asumsi rasional (yaitu parapengambil kebijakan harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian rasional), tetapi proses dan prosedur pembuatan kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata, sehingga adanya tekanan-tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses pembuatan keputusannya. Tekanan ini bisa saja berasal dari atasan atau dari lembaga lain.
  2. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme). Kebiasaan lama organisasi cenderung akan selalu diikuti kebiasaan itu oleh para pejabat publik kendati misalnya keputusan-keputusan itu telah dikritik sebagai sesuatu yang salah dan perlu di ubah. Kebiasaan-kebiasaan lama tersebut seringkali diwarisi oleh para pejabat publik yang baru dan mereka sering segan secara terang-terangan mengkritik atau menyalahkan kebiasaan-kebiasaan lama yang telah berlaku atau yang dijalankan oleh para pendahulunya.
  3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi. Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat kebijakan banyak mempengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Misalnya dalam proses penerimaan/pengangkatan pejabat baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
  4. Adanya pengaruh keadaan masa lalu. Pengalaman yang terdahulu kadang berpengaruh pada pembuatan kebijakan. Misalnya, orang sering membuat keputusan untuk tidak melimpahkan sebagian dari wewenang dan tanggungjawab kepada pihak lain karena khawatir kalau wewenang dan tanggung jawab yang dilimpahkan itu disalahgunakan.

Selain itu, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan pembuatan kebijakan sulit atau lambat, yaitu sulitnya memperoleh informasi yang cukup, bukti-bukti yang ada sulit disimpulkan; adanya berbagai macam kepentingan yang berbeda, sulitnya memperkirakan dampak kebijaksanaan, umpan balik kebijakan sering bersifat sporadis, proses perumusan kebijaksanaan tidak dimengerti dengan benar dan seterusnya.

Apalagi faktor lain yang mempengaruhi perilaku kebijakan? Faktor utama adalah konteksnya. Konteks kebijakan sangat menentukan arah kebijakan. Mengapa demikian? Karena pengambilan kebijakan sangat dipengaruhi oleh bukan hanya tatanan kelembagaan yang mungkin berubah sesuai konteksnya, tetapi juga oleh berbagai nilai, dan nilai-nilai ini dapat berubah pula tergantung pada konteksnya. Nilai-nilai yang dimaksud adalah(Anderson, J.E., Public Policy Making: An Introduction, Boston: Houghton Mifflin Company, 2006):

  1. Nilai-nilai politis (political Values).Keputusan-keputusan seringkali dibuat atas dasar kepentingan politik dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu.
  2. Nilai-nilai organisasi (organization values). Keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanctions), menjaga status quo, dan sebagainya. Nilai dan budaya organisasi khususnya organisasi birokrasi seringkali sulit berubah, atau mengalami perubahan yang sangat lambat.
  3. Nilai-nilai pribadi (personal values). Seringkali pula keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang dianut oleh pribadi pengambil kebijakan.
  4. Nilai-nilai kebijakan (policy values). Kebijakan juga bisa dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijaksanaan tentang apa itu “kepentingan publik”,atau kebijakan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan
  5. Nilai-nilai ideologi (ideological values). Nilai ideologi dapat menjadi landasan pembuatan kebijaksanaan seperti misalnya kebijakan yang berpihak pada kelompok marjinal atau sebaliknya berpihak pada kelompok kapitalis.

Terakhir, sifat pengambilan kebijakan juga sering dipengaruhi oleh beberapa kesalahan dan bias. Kesalahan-kesalahan umum sering terjadi dalam proses pembuatan keputusan (Nigro, F.A., dan Nigro, L.G., Modern Public Administration, New York: Harper&Row Publishers, 5th ed., 1980) yaitu:

  1. Cara berpikir yang sempit (cognitive nearsightedness). Adanya kecenderungan manusia membuat keputusan hanya untuk memenuhi kebutuhan seketika sehingga melupakan antisipasi ke masa depan. Pejabat publik pun sering membuat keputusan dengan dasar-dasar pertimbangan yang sempit dengan tanpa mempertimbangkan implikasinya ke masa depan.Atau, seringkali pula pembuat kebijakan hanya mempertimbangkan satu aspek permasalahan saja dengan melupakan kaitannya dengan aspek-aspek lain, sehingga gagal megenali problemnya secara keseluruhan.
  2. Adanya asumsi bahwa masa dapan akan mengulangi masa lalu (the future will repeat the past). Banyak anggapan bahwa situasi adalah stabil, orang akan bertingkahlaku sebagaimana para pendahulunya di masa yang lampau. Tetapi, keadaan sekarang jauh dari stabil. Banyak orang berperilaku di luar dugaan. Namun, kendatipun ada perubahan-perubahan yang besar pada perilaku masyarakat, masih banyak pejabat publik yang beranggapan bahwa perubahan-perubahan itu normaldan hanya bersifat sementara, serta kemudian akan segera kembali seperti sediakala.
  3. Terlampau menyederhanakan sesuatu (over simplification). Selain adanya kecenderungan untuk berpikir secara sempit, ada pula kencenderungan pembuat keputusan untuk terlampau menyederhanakan sesuatu. Misalnya dalam melihat suatu masalah,pelaku kebijakan hanya mengamati gejala-gejala masalah tersebut saja dengan tanpa mencoba mempelajari secara mendalam apasebab-sebab timbulnya masalah tersebut. Akibatnya, kebijakan sering tidak sepenuhnya dapat mengatasi masalahnya malah ustru mungkin menimbulkan masalah-masalah baru.
  4. Terlalubergantung pada pengalaman satu orang (overreliance on one’s own experience). Pada umumnya banyak orang meletakan bobot yang besar pada pengalaman mereka diwaktu yang lalu dan penilaian pribadi mereka. Walaupun seorang pejabat yang berpengalaman akan mampu membuat keputusan-keputusan yang lebih baik dibanding dengan yang tidak berpengalaman, tetapi mengandalkan pada pengalaman dari seseorang saja bukanlah cara yang terbaik. Situasi dan konteks di masa lalu mungkin berbeda, para pihak yang terlibat juga kemungkinan berbeda, dan sebagainya.
  5. Kebijakan yang dilandasi oleh pra konsepsi pembuat keputusan. Dalam banyak kasus, kebijakan seringkali di landaskan pada prakonsepsi parapembuat kebijakan. Hal ini tidak terlalu salah tetapi tidak sepenuhnya tepat. Kebijakan akan lebih baik hasilnya kalau didasarkan pada temuan dan bukti-bukti (evidence-based). Sayangnya temuan-temuan ini sering diabaikan bila bertentangan dengan gagasan atau prakonsepsi pengambil kebijakan.
  6. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan (unwillingness to experiment). Cara untuk mengetahui apakah suatu keputusan itu dapat diimplikasikan atau tidak adalah dengan mengujicoba secara nyata pada ruang lingkup yang kecil (terbatas). Adanya tekanan waktu, pekerjaan yang menumpuk dan sebagainya menyebabkan pembuat kebijakan tidak punya kesempatan melakukan proyek percobaan (pilot project). Selain itu ada yang beranggapan bahwa kegiatan-kegiatan piloting dianggap memboros-boroskan uang saja.
  7. Keengganan untuk membuat keputusan (reluctance to decide). Kendatipun mempunyai cukup fakta-fakta, beberapa orang tetap enggan untuk membuat keputusan. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap membuat keputusan itu sebagai tugas yang sangat berat, penuh resiko, bisa membuat orang frustasi, kurang adanya dukungan dari lembaga atau atasan, lemahnya sistem pendelegasian wewenang unutuk membuat keputusan, takut menerima kritikan dari orang lain atas keputusan yang telah dibuat dan sebagainya.

Pemahaman akan sifat kebijakan dan perilaku pengambilan kebijakan akan dapat membantu kita dalam mendekati dan berinteraksi dengan para pengambil kebijakan. Kita akan mampu memahami kekuatan, kelemahan dan kekhawatiran mereka serta mampu pula mengidentifikasi cara-cara terbaik untuk membantu mereka, yang pada gilirannya membantu kita dalam upaya untuk mempengaruhi kebijakan.Berikut ini kami lampirkan bahan bacaan mengenai dinamika salah satu kebijakan untuk KIA di Ghana dalam kurun waktu 4,5 dekade sebagai hasil dari dinamika faktor perilaku pengambil kebijakan dan faktor kontekstual.

Bahan bacaan

 

 

Modul 1

Selamat Datang !

Anda masuk pada Masyarakat Praktisi yang membahas mengenai hubungan antara peneliti dan pengambil kebijakan terutama dalam hal kebijakan kesehatan.
Tujuan Masyarakat Praktisi ini adalah untuk:

  1. Mempelajari hubungan antara peneliti dengan pengambil kebijakan melalui lesson-learned di berbagai kasus.
  2. Mengembangkan kemampuan peneliti untuk memahami sifat dan budaya pengambil kebijakan
  3. Mengembangkan kemampuan peneliti untuk menyusun Policy-Brief untuk para pengambii kebijakan.

Siapa anggota Masyarakat Praktisi ini?

Diharapkan yang menjadi anggota adalah:

  • Para peneliti kebijakan kesehatan
  • Para analis kebijakan kesehatan
  • LSM-kelompok-kelompok yang bergerak dalam advokasi kebijakan
  • Pengambil kebijakan yang ingin menggunakan hasil penelitian atau advokasi untuk proses pengambilan kebijakan.

Untuk mengembangkan kemampuan anggota dalam mencapai tujuan tersebut, ada beberapa Program Kegiatan yang dapat diperdalam, antara lain:

  1. Pelatihan Penulisan Policy Brief, 5 – 24 Oktober 2015
  2. Memahami Proses Pengambilan Kebijakandan Sifat Kebijakan dan Perilaku Pengambilan Kebijakan, 26 Oktober – 14 November 2015
  3. Penggunaan berbagai sarana untuk melakukan advokasi, 16 November – 2 Desember 2015

Penyusunan Ringkasan Kebijakan

Selamat datang di Modul 1, Penyusunan Ringkasan Kebijakan (Policy Brief). Modul ini akan mendampingi peserta selama tanggal 5 – 24 Oktober 2015 untuk dapat menulis setiap bagian dari policy brief. Peserta dapat mengakses setiap bagian dari modul ini secara berurutan pada tanggal 5 – 10 Oktober 2015.

Setelah itu, peserta harus menulis naskah ringkasan kebijakan dan dikirimkan ke fasilitator paling lambat tanggal 17 Oktober 2015. Naskah yang masuk akan direview dan diberi masukan oleh fasilitator antara tanggal 19 – 24 Oktober 2015.

Naskah ringkasan kebijakan diharapkan terdiri dari sekitar 1500 – 1700 kata, atau maksimal 5 halaman. Struktur naskah adalah sebagai berikut:

  • Ringkasan Eksekutif
  • Pendahuluan (sekitar 15% dari seluruh naskah)
  • Metodologi (sekitar 5% dari seluruh naskah)
  • Hasil dan Kesimpulan (sekitar 40% dari seluruh naskah)
  • Implikasi dan Rekomendasi (sekitar 40% dari seluruh naskah)

Modul-modul berikut ini disusun untuk menjelaskan panduan penulisan setiap bagian dari struktur tersebut.
Selamat mengikuti!

Hari 1, 5 Oktober : Pendahuluan
Hari 2, 6 Oktober: Metodologi, Hasil dan Kesimpulan
Hari 3, 7 Oktober: Implikasi dan Rekomendasi
Hari 4, 8 Oktober: Ringkasan Eksekutif
Hari 5, 9 Oktober: Finalisasi naskah

Bahan bacaan

 

{tab Modul Hari 1|red}

Pendahuluan

Sesuai namanya, ringkasan kebijakan (policy brief) adalah sebuah dokumen yang memberikan informasi yang singkat namun adekuat agar pembaca dapat mengambil keputusan atau membuat kebijakan. Tujuannya adalah agar ada sesuatu yang dilakukan oleh pengambil kebijakan.

Penulisan policy brief biasanya didasarkan pada hasil penelitian empiris. Kita perlu memahami apakah penelitian ini berada dalam tahapan:

  • Sebelum ada kebijakan. Dengan demikian policy brief diarahkan untuk memberi ide untuk penyusunan kebijakan yang relevan.
  • Saat kebijakan berada dalam proses legislasi untuk menjadi sebuah kebijakan public. Dengan demikian policy brief diarahkan untuk membentuk persepsi atau menggalang dukungan untuk suatu kebijakan yang akan disahkan.
  • Saat kebijakan dilaksanakan. Dengan demikian penelitian merupakan penelitian yang mengarah ke bagaimana pelaksanaan kebijakan (Implementation Research), dan policy brief diarahkan untuk mengidentifikasi tantangan-tantangan di lapangan.
  • Saat berada dalam fase Evaluasi Kebijakan. Dengan demikian policy brief diarahkan untuk menilai atau mengkritisi suatu kebijakan tergantung pada hasil yang dicapai.

Artinya, tujuan dari policy brief harus dinyatakan secara jelas di dalam naskah policy brief. Tujuan policy brief biasanya ditempatkan di bagian awal dari policy brief, yaitu di bagian Pendahuluan.

Selain tujuan, beberapa hal penting lain yang harus disebutkan di bagian Pendahuluan, yaitu kebijakan apa yang disorot. Nyatakan secara jelas apakah ini merupakan:

  • Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, atau
  • Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah propinsi, atau
  • Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota
  • Kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga

Sebutkan nomor dan judul kebijakannya, jika ada. Dengan memperhatikan konteks tingkat pengambil kebijakan maka kita sebagai penulis Policy Brief dapat membayangkan siapa yang akan dituju. Hal ini sangat penting untuk pemberian rekomendasi nantinya.

Bagian Pendahuluanadalah tempat dimana kita meyakinkan pembaca bahwa isu yang dipilih memang penting dan menarik, oleh karena itu perhatikan hal-hal apa yang harus muncul di bagian ini, serta pilihan kata dan gaya penulisan yang digunakan:

  • Nyatakan mengapa topik ini penting dan menarik
  • Jelaskan seperti apa situasinya atau seberapa mendesak hal ini
  • Nyatakan tujuan dari policy brief
  • Secara singkat berikan gambaran mengenai hasil temuan dan konklusi
  • Tulislah dengan gaya yang menarik perhatian, bukan dengan gaya penulisan laporan

Tergantung dari cara bagian Pengantar ditulis, pembaca dapat saja merasa bahwa:

  • Isunya tidak menarik dan tidak penting
  • Isunya menarik, tetapi tidak penting
  • Isunya penting, tetapi tidak menarik
  • Isunya memang penting dan menarik.

Mengingat sulitnya menulis sebuah policy brief, kami sarankan Anda untuk mempersiapkan hal-hal ini sebelum menulis:

  1. Identifikasi siapa audiensnya. Tanyakan pada diri sendiri: untuk siapa saya menulis, dan mengapa?
  2. Identifikasi pesan kuncinya. Tanyakan pada diri sendiri: apa yang harus pembaca saya ketahui?
  3. Susun kerangka menulis. Tanpa adanya kerangka, kita akan cenderung mengulang-ulang hal yang sama, atau menulis terlalu panjang tanpa fokus yang jelas.

 

{tab Modul hari 2|orange}

Metodologi, Hasil dan Kesimpulan

Bagian ini membahas caranya bukti dan fakta-fakta dikumpulkan, dan ringkasan dari fakta-fakta yang ditemukan. Bagian ini terdiri dari 3 hal:

  • Metodologi atau pendekatan. Uraikan bagaimana metode penelitian dilakukan, siapa yang melakukan penelitian, bagaimana cara data dikumpulkan dan teknik analisisnya.Harap diingat, jangan terlalu banyak istilah teknis yang sulit dipahami oleh pengambil kebijakan. Pengambil kebijakan tidak terlalu peduli tentang seberapa canggih metode yang Anda gunakan. Ingat, ini bukanlah ringkasan penelitian, dan bukan naskah publikasi.
  • Hasil dan diskusi. Hasil yang didapat perlu ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami. Hasil disajikan mulai dari yang umum ke hal spesifik. Apa isu dan konteks fakta perlu digambarkan dan dianalisis. Kalimat yang dipergunakan diharapkan tidak terlalu teknis (misalnya menyebutkan confidence interval). Nilai tambah Policy Brief bukan hanya pada adanya data, tetapi kemampuan untuk memaknai data menjadi informasi yang penting dan berguna untuk kebijakan.Jadi, dalam menyajikan temuan, selalu jelaskan kepada pembaca: “apa artinya”. Beri contoh, bila perlu. Batasi agar tidak terjebak dalam detil yang rumit, cukup sajikan apa yang perlu diketahui pembaca.

    Sebenarnya, setidaknya ada dua tipe policy brief.

    • Tipe pertama adalah policy brief yang meng-advokasi pembaca untuk mengambil langkah tertentu untuk mengatasi suatu masalah.
    • Tipe kedua adalah policy brief yang obyektif, yang menyajikan berbagai alternatif kebijakan yang berbeda untuk mengatasi suatu masalah.

      Ini menentukan seperti apabagian hasil dan diskusi ditulis. Untuk tipe pertama, hasil dan diskusi harus diarahkan untuk membuktikan argument dari penulis. Berikan argument yang kuat sehingga pembaca sampai pada kesimpulan yang sama dengan penulis. Untuk tipe kedua, penulis harus menyajikan berbagai perspektif yang berbeda dalam melihat masalah dan memaknai hasil temuan. Seluruh perspektif yang berbeda ini harus disajikan secara seimbang, tidak memihak.

  • Kesimpulan. Menurut WHO: “one of the main barriers between research and action is the inability to condense research results into conclusions which could facilitate policy formulation”. Jadi, walau pun kelihatannya sederhana, namun bagian Kesimpulan merupakan bagian yang penting. Kesimpulan harus didasarkan pada hasil temuan. Kelompokkan hal-hal penting ke bagian yang jelas dan mudah dibaca oleh. Dengan demikian seluruh isi kesimpulan dapat dibaca dengan mudah.Kesimpulan-kesimpulan harus merupakan pemikiran terbaik penulis yang dapat diajukan, dan disajikan secara meyakinkan dan sulit dibantah. Semakin nyata sebuah kesimpulan, dan semakin kuat pernyataan tegas yang ditulis, akan menjadi lebih baik. Namun harus diperhatikan bahwa kesimpulan harus seimbang dan tertata secara baik.

Jadi, inti dari bagian ini adalah:

  • Mengekspresikan gagasan dan argumen dengan pernyataan-pernyataan tegas yang jelas
  • Menyampaikan argumen yang seimbang dan dapat dipertahankan
  • Memaknai data yang ada dalam temuan
  • Menuliskan kesimpulan konkrit

 

{tab Modul hari 3|green}

Implikasi dan Rekomendasi

Bagian ini terdiri dari dua bagian:

  • Implikasi: apa yang penulis yakini akan terjadi, atau mungkin akan terjadi;
  • Rekomendasi: apa yang penulis harapkan akan terjadi.

Untuk kedua hal tersebut, bahan tulisan harus mengalir dari kesimpulan. Argumen harus didukung oleh data dan hasil temuan. Artinya, implikasi dan rekomendasi harus berbasis pada bukti yang kuat, bukan sekedar pernyataan normatif.

Bagian 1. Implikasi.

Implikasi merupakan pernyataan mengenai konsekuensi alamiah dari sebuah hal. Pernyataan implikasi sering disajikan dengan kalimat: Jika (If)……. maka (then)…

Misal:

Jika kebijakan penambahan fasilitas kesehatan di Indonesia bagian timur gagal dilakukan, maka manfaat Jaminan Kesehatan Nasioal cenderung hanya akan dimanfaatkan oleh warganegara Indonesia di daerah barat, khususnya Jawa.

Ini merupakan bagian yang paling penting dari sebuah policy brief. Bagian Implikasi harus menunjukkan apa dampaknya apabila kebijakan saat ini (atau situasi saat ini) tidak mengalami perubahan. Bagian ini harus meyakinkan pembaca (pembuat kebijakan) bahwa suatu tindakan harus segera diambil.

Dengan kata lain, bagian Implikasi harus menunjukkan urgensi masalah. Sampaikan secara riil apa dampaknya dari berbagai perspektif. Tanyakan terus pada diri sendiri: “Apa akibatnya bila hal ini dibiarkan terus menerus?” kemudian tuangkan di bagian ini.

Bagian 2. Rekomendasi.

Setelah menunjukkan implikasi dari situasi/kebijakan saat ini, berikan solusi. Sebuah policy brief harus memberikan rekomendasi yang jelas, sistematis, dan praktis. Jangan berikan rekomendasi yang normatif. Sedapat mungkin tujukan rekomendasi sesuai konteks masalahnya. Misalnya, ada pilihan rekomendasi untuk beberapa level pemerintah (kabupaten, provinsi dan pusat) apabila memang konteks permasalahan membutuhkan tindakan dari semua level pemerintahan. Bahkan, berikan rekomendasi pula untuk pihak-pihak terkait walau pun di luar sektor kesehatan, apabila memang diperlukan.

Jika demikian halnya, maka susunlah rekomendasi secara jelas, misalnya:

  • Rekomendasi untuk Kemenkes
  • Rekomendasi untuk Bupati
  • Rekomendasi untuk Dinas Kesehatan
  • Rekomendasi untuk DJSN
  • Rekomendasi untuk BPJS
  • Rekomendasi untuk Bappenas
  • dan sebagainya.

Setiap rekomendasi di atas harus berbeda isinya sesuai dengan tugas dan wewenang pengambil keputusan. Sebagai catatan, terkait dengan kondisi dan situasi setempat, terkadang secara budaya atau politis tidak tepat untuk memberikan rekomendasi. Dengan demikian penulis akan menyusun pernyataan yang persuasif untuk bertindak namun tidak terlalu agresif nadanya.

Tetapi intinya, rekomendasi adalah sebuah call for action. Rekomendasi merupakan sebuah sugesti bagi pengambil kebijakan mengenai apa yang diharapkan atau yang seharusnya akan terjadi. Rekomendasi yang terbaik adalah yang dapat menggambarkan secara spesifik aksi yang sebaiknya dilakukan.

Kaitkan rekomendasi dengan tujuan dari policy brief dan sifat dari penelitian Anda.

Contoh:

  • Untuk penelitian monitoring terhadap pelaksanaan kebijakan, (UU, Peraturan Pemerintah, Perpres, Permenkes, Perda, Pergub, Perbup dan lain-lain), rekomendasi dapat berupa: Cara perbaikan pelaksanaan kebijakan di aspek tertentu secara tepat, atau Scaling-up (memperluas) kebijakan atau cara melakukan evaluasi menyeluruh karena pelaksanaan kebijakan meragukan, menghentikan kebijakan yang efektif, dan seterusnya.
  • Untuk penelitian yang merupakan penelitian awal/pilot untuk menyusun kebijakan baru tentang sesuatu, rekomendasinya tentu terkait dengan bagaimana proses menyusun kebijakan baru dilakukan: apakah di level pusat, propinsi atau kabupaten, bagaimana proses penyusunan akan dimulai, siapa yang harus dilibatkan, dan seterusnya.

Kaitkan pula rekomendasi dengan sifat dari policy brief, apakah advokasi atau obyektif (lihat Modul hari 2). Jika ini adalah policy brief obyektif, maka rekomendasi harus berupa beberapa pilihan kebijakan, bukan hanya satu usulan kebijakan. Untuk masing-masing usulan pilihan kebijakan tersebut, harus disampaikan keuntungan dan kekurangannya, misalnya dari sisi sumberdaya, daya jangkau dan waktu yang dibutuhkan.

Jika penulis menggunakan perspektif pengambil kebijakan, maka rekomendasi yang ditulis dengan langkah-langkah yang tepat akan lebih memberi arti dibanding dengan pernyataan anjuran yang umum. Ingatlah bahwa rekomendasi harus praktis, artinya bisa dilaksanakan. Berikan saran kebijakan apa yang harus diambil. Sampaikan langkah-langkah apa yang harus dilakukan, dan apa konsekuensinya dari sisi sumberdaya (termasuk pendanaan), siapa berperan sebagai apa, dan siapa yang harus ambil pimpinan dalam mengatasi masalah, dan seterusnya. Jangan sampai, setelah membaca bagian rekomendasi, pembaca masih bertanya-tanya, “Lalu, bagaimana caranya?”

 

{tab Modul hari 4|blue}

Ringkasan Eksekutif

Bagian ini merupakan yang paling akhir ditulis, akan tetapi penempatannya di paling depan di policy brief. Ringkasan eksekutif merupakan bagian yang meringkas seluruh Policy Brief yang juga sudah pendek. Oleh karena itu ringkasan eksekutifnya tidak lebih dari 1 atau 2 paragraf pendek. Dan oleh sebab itu pula kami sarankan, ringkasan eksekutif ini ditulis setelah policy brief selesai ditulis.

Ringkasan eksekutif ini harus disajikan untuk menarik pembaca untuk memperhatikan seluruh isi naskah secara lebih rinci. Fungsi ringkasan eksekutif seperti pengantar masuk sebuah novel, meletakkan posisi isi dan merangsang minat pembaca untuk mendapatkan informasi lebih banyak. Pendek cerita, ringkasan eksekutif merupakan intisari yang paling esensial dari policy brief.Untuk menarik pembaca, ringkasan eksekutif biasanya ditempatkan di bagian paling atas.

Walau pun merupakan bagian yang paling singkat dari policy brief, namun Ringkasan Eksekutif sangat penting karena sangat menentukan apakah pembuat kebijakan dapat dibuat tertarik untuk membaca naskah policy brief tersebut. Artinya, ringkasan eksekutif harus MENARIK dan MENGINSPIRASI pembaca untuk melakukan sesuatu. Gunakan kata secara cermat, pilih kata yang memiliki dampak bagi pembacanya. Ingatlah siapa audiensnya, mereka adalah orang yang sangat sibuk dan tidak punya waktu, namun butuh informasi untuk segera mengambil keputusan. Artinya, walau pun ringkas, seluruh isi policy brief harus tercakup di dalam kalimat-kalimat yang Anda tulis di dalam Ringkasan Eksekutif. Ringkasan eksekutif ini harus mencakup apa kebijakan yang menjadi sasaran, apa masalahnya dan apa solusi yang ditawarkan.

 

{tab Modul hari 5|grey}

Finalisasi Naskah

Setelah memahami bagian-bagian dari policy brief, maka kami harapkan Anda mulai menulis draft naskah policy brief masing-masing. Untuk finalisasinya, harap perhatikan hal-hal berikut ini:

Memeriksa bahasa yang digunakan. Gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Konsisten apabila menggunakan istilah tertentu, termasuk apabila hendak menggunakan istilah dalam bahasa Inggris atau hendak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Setiap kalimat harus menyampaikan suatu gagasan secara utuh dan terstruktur. Rangkaian kalimat pun harus disajikan dan ditata dengan baik. Artinya, tentu saja keterampilan menulis harus menjadi modal dasarnya. Apabila bahasa yang dipergunakan tidak terstruktur dengan baik, atau bertele-tele, atau berlebihan, atau ambigu, tentu saja akan sangat mengganggu pembaca dan menyimpangkan perhatian dari fokus pesan yang kita ingin sampaikan. Seluruh subjudul bagian-bagian dari policy brief hendaknya dalam bahasa Indonesia.

Membuat judul yang menarik. Pilih kata yang kuat, berdampak dan menggugah minat. Jangan gunakan judul penelitian atau naskah publikasi.

Buatlah policy brief yang menarik secara visual. Gunakan tabel, grafik textbox dan foto untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan. Berikut adalah prinsip dasar penggunaannya:

  • Sederhana, tidak perlu rumit
  • Pilih grafis yang sejelas mungkin menyampaikan informasi yang paling penting secara tepat.
  • Ingat bahwa teknologi hanyalah cara untuk mencapai tujuan. Jangan terjebak dalam keinginan untuk memamerkan kecanggihan menggunakan grafis, jika hasil akhirnya justru membingungkan pembaca.

Penggunaan tabel, gambar, grafik atau peta memang membuat tampilan policy brief lebih menarik secara visual, tetapi tujuan utama penggunaan grafis adalah untuk menyampaikan informasi, bukan untuk menyimpangkan perhatian dari informasi. Jadi, sebelum menggunakan grafis tertentu, tanyakan pada diri sendiri: Siapa pembaca saya? Apakah mereka ‘familiar’ dengan grafis yang akan saya pakai? Apa pesan utama yang ingin saya sampaikan melalui grafis ini? Apakah grafis yang saya pilih dapat secara efektif menyampaikan informasi yang saya inginkan?

Kemudian, setelah memilih grafis yang cocok, tanyakan lagi kepada diri sendiri: Apakah grafis ini menyampaikan informasi yang ingin saya sampaikan secara jelas? Apakah orang tidak akan salah interpretasi? Apakah grafis relevan dengan keseluruhan pesan yang ingin saya sampaikan?

Detil tambahan. Jangan lupa sebutkan nama penulis, detil kontak (alamat atau alamat e-mail) dan institusi asal. Ini dapat memperkuat kredibilitas penulis. Sebutkan bulan dan tahun policy brief ini ditulis, karena kemungkinan banyak hal dapat berubah setelah policy brief tersebut diterbitkan. Apabila diperlukan, sebutkan siapa yang mendanai penelitian (untuk memastikan tidak adanya conflict of interest atau adanya vested interest dalam suatu isu). Terakhir, jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan ulang untuk salah ketik atau detil-detil kecil lainnya yang terlewatkan. Anda dapat meminta bantuan orang lain untuk membacanya untuk melakukan test apakah policy brief Ibu dan Bapak sudah jelas dan mudah dimengerti.

Berikut ini kami lampirkan beberapa contoh dari policy brief dan panduan dalam menggunakan grafik.

Bahan Bacaan

 

{/tabs}

 

{jcomments on}

Membumikan Undang-Undang 18 tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa Masyarakat

Seminar Nasional

Membumikan Undang-Undang 18 tahun 2014
Tentang Kesehatan Jiwa Masyarakat

25 November 2015
Universitas Padjajaran Bandung

  Rasional

Kesehatan merupakan salah satu ukuran kesejahteraan suatu bangsa, di lain fihak juga merupakan modal dan investasi suatu bangsa dalam pembangunan. Ukuran kesehatan tidak saja menyangkut fisik, tetapi juga mental/ jiwa, sosial dan spiritual. Kesehatan jiwa masyarakat seringkali terabaikan, padahal magnitude gangguan jiwa semakin besar dan meningkat. Pada tahun 2020, gangguan depresi diperkirakan menjadi beban penyakit kedua terbesar setelah kardio-vaskuler.

Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan yang besar namun terlupakan. Sebagian besar penderita tidak mendapatkan pengobatan adekuat. Bahkan sebagian penderita bergelandangan di jalan serta dipasung. Penanganan gangguan jiwa berat yang jauh dari memadai terlebih disertai perlakuan salah sepertipemasungan dan fenomena gelandangan psiotik seringkali berlawanan dengan prinsip hak ajazi manusia dan pancasila serta Undang-undang Dasar 1945. Unmet need pada pelayanan kesehatan membutuhan terobosan dan pengelolaan yang adekuat dan sistemik, bila tidak, maka akan menjadikan tidak hanya tumpukan beban masalah kesehatan dan sosial, tetapi juga ekonomi, kemanusiaan, etika dan martabat bangsa.

Pada tahun 2014 telah diterbitkan Undang-undang no 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa masyarakat. Sampai sejauh ini, belum terlihat perubahan sistemik dalam sistem kesehatan di Indonesia. Sebagian besar masyarakat, bahkan pengambil kebijakan belum mengetahui atau mendalami undang-undang ini. Bagaimana implementasi dari instrumen kebijakan, apa yang harus dilakukan oleh sistem kesehatan di pusat dan daerah, bagaimana respon dari stakeholder dan apa yang harus dilakukan untuk efektifitas Undang-undang ii akan dibicarakan dalam seminar.

  Tujuan

Tujuan seminar ini adalah untuk mendorong implementasi kebijakan kesehatan jiwa masyarakat dalam sistem kesehatan daerah.

Pembicara:

Pembicara berasal dari Perguruan Tinggi dan praktisi:

  1. Direktorat Kesehatan Jiwa, Kemenkes RI : Yang telah dan belum dilakkan dalam menindaklanjuti UU 18/ 2014
  2. Wakil Bupati Garut : Pengalaman Kabupaten dan peran UU 18 tahun 2014 dalam memperkuat sistem kesehatan jiwa di Daerah
  3. Dr. Miranda Risang Ayu, SH, MHum (Fakultas Hukum Unpad/ …) : kekuatan dan kelemahan UU 18 tahun 2014
  4. Teddy Hidayat, dr, SpKJ (K) (FK Unpad/ RSHS/ TPKJM Prov Jabar) : Pengalaman Jabar dalam memperkuat sistem kesehatan jiwa
  5. Bambang Hasta Yoga, dr, SpKJ (FK UGM) : Pengalaman DIY dalam memperkuat sistem kesehatan jiwa
  6. Dr. Deni K Sunjaya, dr, DESS (Fakultas Kedokteran Unpad/ IAKMI) : Penguatan SKJ di daerah pasca UU 18 tahun 2014

Peserta:

Peserta terdiri dari kelompok dan perorangan. Peserta kelompok dikordinir oleh jaringan mitra Perguruan Tinggi yang telah terdaftar. Peserta perorangan mendaftar di www.kebijakankesehatanindonesia.net 

Penyelenggaraan:

Penyelenggara utama adalah Pusat Studi Sistem Kesehatan Fakultas Kedokteran Unpad.
Seminar ini dilaksanakan berbasis web, sehingga peserta dapat mengikuti darimanapun berada. Pusat penyiaran berada di JKKI.
Seminar dilaksanakan pada hari Rabu, tgl 25 November 2015; jam 09.00 – 13.00

Kontribusi

Kontribusi peserta di Fakultas Kedokteran Unpad sebesar Rp. 75.000,- yang digunakan untuk makan siang dan sertifikat. Sedangkan bagi peserta melalui Webinar dibebankan biaya sebesar Rp. 50.000,- untuk sertfikat dan pengirimannya.

  Pendaftaran dapat dilakukan melalui :

Deni K. Sunjaya, dr., DESS
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Telp : +6282218893543
Email : [email protected]  / [email protected] 
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 

Modul Berbagai Cara Mempengaruhi Kebijakan

Setelah memahami proses pengambilan kebijakan dan mengenai siapa para aktor pengambil kebijakan dan sifat-sifat mereka, maka kini adalah saat yang tepat untuk melihat berbagai alternative cara yang bisa dipilih untuk mempengaruhi kebijakan.

Modul ini akan terbagi ke dalam lima bagian yang berbeda, yang dapat diakses secara berurutan setiap harinya mulai dari hari ini. Setiap bagian memiliki bahan bacaan tersendiri yang harus dibaca untuk memperdalam pengetahuan mengenai topik yang dibahas.

Selamat mengikuti.

  • Bagian 1. Advokasi (4-5 Desember 2015)
  • Bagian 2. Lobbying (6-8 Desember 2015)
  • Bagian 3. Policy Brief (9-10 Desember 2015)
  • Bagian 4. Dialog Kebijakan (11-12 Desember 2015)
  • Bagian 5. Media (12-14 Desember 2015)

 

Modul Berbagai Cara Mempengaruhi Kebijakan

{tab Bagian 1|red}

Bagian 1. Advokasi

Shita Dewi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan

Tujuan:

  • Memahami konsep advokasi
  • Dapat menyusun perencanaan advokasi

Materi:

Advokasi adalah serangkaian kegiatan untuk mempengaruhi pihak lain, dalam hal ini khususnya yang bertujuan untuk merubah atau mempertahankan suatu pandangan dan arah kebijakan, atau bahkan seluruh sistem. Jadi, advokasi merupakan sebuah proses yang dinamik yang melibatkan setidaknya dua pihak. Advokasi harus memiliki tujuan. Advokasi dapat dilakukan di berbagai level pengambilan kebijakan: institusi, lintas institusi, kabupaten, propinsi, nasional bahkan internasional.

Advokasi dapat dilakukan melalui berbagai strategi, misalnya kampanye, public hearing, petisi, komunikasi-informasi-edukasi (KIE), pemasaran sosial, dan sebagainya. Advokasi dapat berlangsung dalam periode waktu yang singkat, atau jangka panjang, tergantung kepada tujuannya dan seberapa cepat tujuan tersebut dapat dicapai. Apabila ternyata dibutuhkan jangka waktu yang lebih panjang, advokasi biasanya akan terdiri dari berbagai kegiatan jangka pendek dan bersifat spesifik untuk mencapai tujuan jangka panjang tersebut.

Advokasi biasanya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:

  • Tujuan
    Karena terkadang isu kesehatan merupakan isu yang sangat kompleks, maka kita harus cermat dalam memilih tujuan advokasi. Pikirkan, apakah tujuan advokasi akan dapat mengatasi masalah yang ada? Apakah tujuan ini masuk akal dan dapat dicapai? Seperti biasa, pastikan bahwa tujuan tersebut SMART (specific, measureable, achievable, result-oriented, time-bound).
  • Data dan penelitian
    Data, hasil penelitian, dan analisis merupakan senjata utama dalam advokasi. Advokasi yang baik harus didasarkan pada bukti dan informasi. Jadi pikirkan, data dan informasi seperti apa yang kita butuhkan untuk mencapai tujuan advokasi yang kita pilih? Jika, data dan informasi itu tidak tersedia, bagaimana cara kita mendapatkannya?
  • Audiens
    Advokasi harus memiliki sasaran yang jelas dan tepat. Jadi pikirkan, siapa audiens yang tepat untuk isu yang kita angkat? Audiens mana yang memiliki pengaruh dan otoritas untuk menghasilkan perubahan yang kita inginkan (atau membantu kita mencapai tujuan advokasi kita)? Jadi, audiens ada yang bersifat primer/audiens kunci, ada pula yang bersifat secondary (bukan pengambil keputusan, tetapi mungkin memiliki kemampuan yang influential untuk pengambilan keputusan).
  • Pesan
    Audiens yang berbeda memiliki reaksi yang berbeda terhadap pesan tertentu. Jadi, pikirkan kecocokan antara isi dan cara menyampaikan pesan kepada audiens yang berbeda-beda. Namun, pastikan bahwa pesan tersebut mengandung setidaknya unsur what, why, when, where dan how. Para pengambil keputusan, misalnya, akan lebih cepat bereaksi bila melihat magnitude dari masalah.
  • Koalisi atau networking
    Seringkali, advokasi tidak bisa dilakukan sendirian. Dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak untuk memperkuat gerakan advokasi. Jadi pikirkan, siapa pihak-pihak yang memiiki kepentingan yang sama dengan kita dan dapat diajak berkoalisi?
  • Presentasi yang persuasif
    Advokasi harus persuasif. Padahal, kesempatan untuk berbicara dan berdialog dengan pembuat keputusan kunci seringkali terbatas. Jadi pikirkan: jika kita hanya memiliki satu kesempatan singkat untuk meyakinkan pengambil keputusan, apa yang harus kita sampaikan? Bagaimana caranya meyakinkan beliau?
  • Penggalangan dana
    Advokasi tidak murah. Advokasi yang berkelanjutkan, membutuhkan alokasi sumber daya yang cukup besar baik dari tenaga, waktu, pikiran, dan biaya. Jadi, pikirkan bagaimana cara kita mendapatkan sumberdaya yang dibutuhkan tersebut.
  • Evaluasi
    Apabila tujuan advokasi telah tercapai, perlu dilakukan evaluasi untuk menilai strategi kunci apa yang menentukan keberhasilannya. Apabila tujuan advokasi tidak tercapat, perlu dilakukan evaluasi untuk menilai kelemahan kita dan mengidentifikasi apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaikinya.

Dengan memahami elemen-elemen dari advokasi, maka sebuah rencana advokasi dapat disusun. Kemampuan menyusun rencana advokasi berperan penting untuk menyumbang kepada keberhasilan pencapaian tujuan advokasi. Berikut ini kami lampirkan sebuah advocacy workbook yang sangat praktis dan bermanfaat untuk menyusun rencana advokasi kita.

  TUGAS

Pelajari tools dan worksheets yang tersedia di dalam Advocacy Workbook terlampir.

  • Advocacy Workbook (PDF).
    Sumber: “Stronger Health Advocates, Greater Health Impacts: A workbook for policy advocacy development” (PATH, 2014).

Ada tools yang bisa digunakan sebagai checklist, dan ada worksheet yang digunakan untuk memperjelas strategi advokasi. Sebaiknya Anda menggunakan seluruh tools dan worksheet yang ada untuk membantu penyusunan strategi advokasi nantinya.

Namun, hanya untuk keperluan latihan ini, cobalah susun rencana advokasi Anda dengan menggunakan template yang tersedia di halaman 57-59.

Tugas harap dikumpulkan ke fasilitator paling lambat pada tanggal 20 Desember 2015

 

Bahan bacaan

  • Networking for Advocacy (PDF).
    Sumber: West Slevin, K., and C. Green (2013). “Networking and Coalition Building for Health Advocacy: Advancing Country Ownership”. Washington, DC. Health Policy Project: Futures Group.

 

{tab Bagian 2|orange}

Bagian 2. Lobbying

Shita Dewi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan

TUJUAN

Memahami praktek lobbying

MATERI

Pada umumnya lobbying memaksudkan kegiatan yang mencoba untuk mempengaruhi pemikiran legislator atau pejabat publik lainnya untuk/atau terhadap isu tertentu.

Ini mencakup lobbying yang langsung terkait dengan bagian tertentu dari undang-undang, peraturan, kebijakan, dsb, yang kita umumnya ketahui. Namun ada pula lobbying yang lebih terkait dengan ‘mengatur suasana’ (atmosphere setting) di sekitar masalah tertentu atau debat publik. Sebagai contoh, atmosfir perdebatan pro-kontra rokok dan tembakau yang sangat ditentukan oleh kekuatan lobbying industri rokok.

Kegiatan lobbying dapat berlangsung dalam sejumlah bentuk yang berbeda, termasuk:

  • Pertemuan tatap muka dengan para politisi atau pejabat publik.
  • Komunikasi dengan politisi (melalui surat, memo, dll)
  • Keikutsertaan dalam kelompok penasihat pemerintah, think tank, atau kelompok penyusun peraturan, UU, dsb
  • Membuat pengajuan formal kepada Pemerintah (misalnya membuat ‘naskah akademik’ dan langkah-langkah persiapan legislatif lainnya, atau mengajukan permohonan ke MK)
  • Presentasi di konferensi dengan tujuan menyampaikan pesan tertentu
  • Menulis di surat kabar, online media, dll
  • Mempresentasikan informasi berbasis bukti kepada komisi legislatif atau pejabat publik lain.
  • Keikutsetaan dalam Kemitraan Multi-sektor (terutama dalam kaitannya dengan pengaturan standar, menyusun kerangka regulasi, dll)
  • Mensponsori penelitian dengan agenda kepentingan tertentu
  • Memberikan sumbangan keuangan atau hadiah, menyelenggarakan atau mensponsori kunjungan dan perjalanan dengan tujuan tertentu
  • Mensponsori atau melakukan gerakan grassroots dan kampanye hubungan masyarakat
  • Dan sebagainya

Lobbyist merupakan suatu profesi. Seorang pelobi adalah seseorang yang menghabiskan proporsi yang signifikan dari waktu mereka berusaha untuk mempengaruhi arah yang diambil oleh para pembuat kebijakan.
Lobbyist bisa saja merupakan:

  1. Konsultan lobbyist. Biasanya mereka dibayar untuk mewakili klien.
  2. In-house lobbyist. Secara formal, mereka ditunjuk oleh anggota organisasinya untuk melakukan lobbying.
  3. Group lobbyist. Mereka secara formal ditunjuk oleh beberapa organisasi yang bergerak di sektor tertentu untuk melakukan lobbying demi kepentingan sektor tertentu.

Apa tujuan dari lobbying? Lobbying dapat memenuhi salah satu dari tujuan ini:

  1. Self-interest lobbying. Mereka melakukan lobbying untuk memajukan kepentingan organisasi mereka sendiri.
  2. Public interest lobbying. Mereka melakukan lobbying untuk memajukan kepentingan umum.
  3. Kombinasi dari self-interest lobbying dan public interest lobbying. Mereka melakukan lobbying untuk memajukan kepentingan organisasinya sendiri yang kebetulan pula merupakan bagian dari kepentingan umum.

Kegiatan lobbying diatur dan diawasi dengan ketat di negara-negara maju, misalnya Amerika Serikat. Untuk menjadi seorang lobbyist, mereka harus terdaftar secara resmi. Praktek-praktek mereka pun diawasi, dan apabila ada praktek-praktek yang dinilai tidak etis, mereka akan dikenai sanksi dan tindakan tertentu. Terkadang, kata lobbying memiliki konotasi negatif. Sebagai contoh, terlampir kami berikan contoh bagaimana kelompok NCD Alliance menduga bahwa praktek lobbying dari industri rokok telah berhasil mempengaruhi pengambil kebijakan.

Kegiatan lobbying membutuhkan keterampilan interpersonal yang sangat baik. Lobbyist juga harus sangat memahami isu yang diangkat, dapat mengajukan argumen dan melakukan counter argument, mengenal betul siapa ‘players’ yang relevan, dan bagaimana proses politik dan kebijakan berlangsung serta jadwal-jadwalnya, sabar, tekun, memiliki keterampilan komunikasi yang sangat baik, selalu berpikir sebagai analis, secaca strategis, taktis, tetapi juga political savvy. Karena menjadi lobbyist yang efektif tidak mudah, lobbyist menjadi salah satu profesi yang dibayar cukup mahal untuk keahlian mereka.

Bahan bacaan:

 

 

{tab Bagian 3|green}

Bagian 3. Policy Brief

Shita Dewi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan

TUJUAN

Memahami cara mewujudkan potensi policy brief sebagai alat mempengaruhi kebijakan

MATERI

Pada modul sebelumnya, kita telah berlatih teknik membuat sebuah policy brief. Policy brief merupakan dokumen yang penting karena memiliki potensi yang besar untuk mempengaruhi kebijakan. Namun, untuk dapat berfungsi dengan optimal, tentu saja ada beberapa prasyaratnya. Tanpa bermaksud mengulang-ulang materi yang telah diberikan terdahulu, berikut ini kami mencoba membuat ringkasannya.

Pertama, apakah policy brief kita mengangkat isu yang penting dan menarik bagi para pemangku kepentingan dan pengambil keputusan? Apakah policy brief kita telah diletakkan pada konteks yang tepat, Kedua, apakah policy brief kita telah menggambarkan masalahnya dengan jelas? Apakah policy brief kita juga telah meyakinkan dalam hal menunjukkan apa solusi dari masalah, berapa prakiraan biayanya, dan mengidentifikasi kunci sukses implementasi solusi tersebut?

Selain itu, ada elemen-elemen lain yang turut menentukan baik buruknya sebuah policy brief. Misalnya, apakah policy brief kita telah menunjukkan kredibilitas dalam hal teknik yang digunakan dalam penelitian? Apakah policy brief kita juga telah mencerminkan faktor-faktor seperti kearifan lokal, ekuitas, dan applicability dalam solusi yang ditawarkan?

Seringkali, policy brief yang kita susun perlu mendapat masukan dari pihak lain untuk memperbaiki kualitasnya. Ada dua jenis masukan yang kita perlukan. Pertama, adalah peer review. Peer review adalah review yang dilakukan oleh sesama peneliti. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa policy brief kita telah mencapai kualitas scientific yang baik. Jenis yang lain adalah merit review. Merit review biasanya dilakukan oleh setidaknya seorang peneliti, seorang pengambil kebijakan, dan satu orang pemangku kepentingan lain. Tujuan dari merit review adalah untuk memastikan bahwa selain memenuhi standar kualitas scientific yang baik, policy brief ini mudah dipahami oleh orang awam, dan relevan dengan sistem kesehatan dan proses pengambilan kebijakan.

Policy brief juga tidak bisa melakukan fungsinya untuk mempengaruhi kebijakan apabila dokumen ini tersimpan dengan rapi di laci kita. Policy brief ini harus dibagikan kepada audiens yang ditargetkan, dan dibaca oleh mereka. Ada beberapa cara paling mudah untuk mendistribusikan sebuah policy brief. Pertama, tentu saja adalah mengirimkan policy brief ke target audiens yang dituju. Tujukan ke alamat yang spesifik (misal: Ibu A, Direktur Jenderal ………., Kementerian Kesehatan). Minta ijin kepada institusi yang bersangkutan untuk membagikan poliy brief ke beberapa orang lain di bagian tersebut, atau meletakkannya di ruang tamu kantor tersebut.

Kedua, policy brief juga bisa dibagikan dalam suatu acara khusus yang terkait dengan masalah yang dibahas oleh policy brief tersebut. Misalnya, apabila ada acara rapat atau seminar yang diselenggarakan terkait masalah yang dibahas. Acara ini bisa saja merupakan acara yang kita selenggarakan sendiri sebagian bagian dari kegiatan advokasi, atau acara yang diselenggarakan oleh pihak lain atau oleh pemerintah. Dalam hal ini, tentu saja kita harus secara resmi meminta ijin kepada panitia untuk membagikan policy brief kita.

Ketiga, policy brief juga bisa diunggah ke situs resmi institusi kita sehingga audiens yang lebih luas juga dapat mengunduhnya. Walau pun mereka belum tentu merupakan audiens primer dari policy brief kita, tetapi mereka bisa saja merupakan audiens secondary kita, yang kemungkinan dapat menjadi mitra dalam kegiatan advokasi. Selain itu, apabila policy brief tersedia di situs resmi institusi kita, kita dapat dengan mudah menampilkannya apabila sewaktu-waktu ada kesempatan tak terduga untuk melakukan advokasi.

Keempat, policy brief dapat pula diberikan langsung secara personal kepada individu yang kita tuju. Cara ini terkadang diperlukan khususnya apabila kita tengah berada dalam proses advokasi dan dialog kebijakan yang intens. Misalnya, kita menyurati audiens yang menjadi target untuk minta ijin bertemu, kemudian secara pribadi mengunjungi mereka. Atau mencoba menemui mereka pada saat rehat suatu acara atau di sela-sela rapat. Mengingat mereka adalah orang-orang yang sangat sibuk dan belum tentu punya waktu untuk membaca, kita harus siap untuk menjelaskan isi policy brief tersebut kepada beliau dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan cara yang sangat meyakinkan. Kemauan mereka untuk membaca lebih lanjut policy brief kita juga akan sangat ditentukan oleh tampilan dan judul policy brief yang menarik minat dan secara visual juga menarik.

Jadi, policy brief adalah salah satu ‘senjata’ yang bisa kita pakai untuk mempengaruhi kebijakan, tetapi keberhasilannya tentu bergantung pada seberapa tajam ‘senjata’ tersebut dan seberapa terampil kita menggunakannya.

Bahan bacaan:

 

 

{tab Bagian 4|blue}

Bagian 4. Dialog Kebijakan

Shita Dewi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan

TUJUAN

Memahami konsep dan pemanfaatan dialog kebijakan

MATERI

Dialog kebijakan adalah dialog yang terjadi antara para pemangku kepentingan untuk mengangkat sebuah isu, berbagi sudut pandang, menemukan titik temu dan mencapai kesepakatan atau konsensus tertentu mengenai sebuah kebijakan. Jadi, dialog kebijakan semestinya berlangsung antara para pengambil kebijakan dengan kelompok kepentingan, kelompok profesi, LSM, dan sebagainya (Hardee, K., Feranil, I., Boezwinkle, J., and Clark, B., The Policy Circle: The Framework for Analyzing the Components of Family Planning, Reproductive Health, Maternal Health, and HIV/AIDS Policy, Policy Working Paper Series no. 11, Washington, D.C: Futures Group, 2004, p. 15).

Dialog kebijakan merupakan sarana yang sangat penting dalam tahapan awal dari siklus kebijakan, yaitu agenda setting. Dialog kebijakan yang dilakukan antara para pemangku kepentingan dengan para pengambil kebijakan bertujuan untuk melakukan issue framing dan mencapai kesepakatan mengenai isu tersebut, atau jika mungkin, solusinya.

Agar dapat berhasil, sebuah dialog kebijakan membutuhkan beberapa prasyarat. Pertama, para pengambil kebijakan harus menyadari pentingnya melakukan dialog dengan pihak lain dan memberi ruang dan kesempatan untuk itu. Kedua, harus ada pihak yang terampil dalam memfasilitasi dialog ini dan menjembatani berbagai kepentingan yang berbeda. Ketiga, pihak pemangku kepentingan non pemerintah harus kredibel dan mampu menyajikan informasi berbasis bukti yang meyakinkan, akurat dan tepat waktu. Oleh karena itu, seringkali kita harus mempersiapkan sebuah policy brief sebelum melakukan dialog kebijakan. Keempat, harus terjalin hubungan yang bersifat kemitraan antara pihak-pihak yang berdialog. Dan terakhir, masing-masing pihak harus memiliki keterampilan komunikasi, negosiasi, problem-solving dan resolusi konflik.

Selain kemampuan dan keterampilan individual di atas, organisasi dan institusi yang terlibat dalam dialog kebijakan harus memiliki kapasitas organisasional yang handal. Misalnya, pihak pemangku kepentingan harus memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian yang komprehensif dan melakukan analisis yang tajam untuk dapat mengumpulkan informasi berbasis bukti. Pihak pengambil kebijakan juga perlu memiliki kapasitas dan sumberdaya untuk melakukan kegiatan dialog kebijakan ini dengan berbagai pihak di berbagai kesempatan.

Dialog kebijakan dapat saja berlangsung dalam suasana yang resmi, misalnya sebuah rapat atau sebuah event tertentu. Namun, dapat pula berlangsung dalam bentuk yang tidak terlalu resmi, misalnya lunch discussion, atau diskusi-diskusi kecil lainnya. Yang penting adalah kualitas dari dialog tersebut. Mengingat ini adalah dialog, pastikan bahwa suasana yang dibangun adalah suasana dialog, bukan debat. Keduabelah pihak harus merasa win-win. Jangan sampai pula pihak pengambil kebijakan atau pemangku kepentingan lain merasa ‘dikuliahi’. Keduabelah pihak harus memiliki kesempatan yang sama untuk mengutarakan pendapat. Selain itu, kuantitas (seberapa sering hal itu dilakukan) dari dialog kebijakan juga penting. Terkadang, dialog kebijakan harus dilakukan berulang-ulang sebelum sebuah gagasan bisa tertanam dengan baik, atau sebuah kesepakatn berhasil dicapai.

Bersama ini kami lampirkan bacaan utama yang harus dibaca peserta untuk lebih memahami apa saja yang terlibat dalam penggunaan dialog kebijakan untuk mempengaruhi kebijakan. Bacaan ini juga memuat contoh-contoh dari praktek dialog kebijakan.

Bahan bacaan:

 

 

{tab Bagian 5|grey}

Bagian 5. Media

Shita Dewi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan

TUJUAN

Memahami konsep dan cara memanfaatkan media untuk advokasi.

MATERI

Menulis opini atau hasil analisis kita di media massa atau pun online media merupakan salah satu cara termudah untuk melakukan advokasi melalui media. Namun, selain itu ada pula teknik advokasi yang lain yaitu menyusun sebuah media advocacy. Terdapat berbagai teknik dan strategi melakukan komunikasi massa yang terkait dengan hal ini, misalnya pemasaran sosial, humas, siaran pers, dan lain-lain. Bagi kita yang awam, terkadang sulit untuk membedakan sifat dan penggunaan strategi komunikasi massa. Di bawah ini kami mencoba memberikan ringkasannya:

 

Pemasaran Sosial

Public Relations

Media advocacy

Fokus pesan

Look at You

  • Kenali risiko Anda
  • Ubah perilaku Anda

Look at Me

Meningkatkan image dan hubungan dengan publik

Look at Us

  • Agenda setting
  • Isu kebijakan

Audiens

  • Individu yang berisiko
  • Masyarakat umum
  • Klien/target market
  • Penyandang dana
  • Masyarakat umum
  • Pemangku kepentingan
  • Pengambil kebijakan

Tujuan

Memotivasi perubahan perilaku

Membangun hubungan

Perubahan di masyarakat melalui perubahan kebijakan

Ada beberapa elemen kunci yang perlu kita perhatikan apabila kita bermaksud untuk menggunakan advokasi melalui media untuk isu-isu terkait kesehatan masyarakat (Wallack, L., Dorfman, L., Jernigan, D., and Themba, M., Media Advocacy and Public Health: Power for Prevention, Newburry Park, CA: Sage Publications Inc., 1993), yaitu:

  • Ada masalah yang merupakan policy gap
  • Tersedia hasil penelitian berbasis bukti
  • Ada tujuan kebijakan yang hendak dicapai
  • Identifikasi siapa audiens targetnya
  • Mobilisasi komunitas
  • Issue framing
  • Rencana aksi dan strategi
  • Evaluasi

Dari elemen-elemen kunci di atas, ada beberapa hal yang mungkin baru bagi kita yaitu mobilisasi komunitas dan issue framing. Hal-hal ini akan kita bahas disini.

Mobilisasi komunitas memaksudkan penggalangan dukungan dari komunitas dan sekelompok orang untuk mengangkat isu kebijakan yang kita pilih. Adanya dukungan banyak kelompok dan komunitas akan membuktikan kepada pihak pengambil kebijakan bahwa isu yang kita angkat penting dan menyangkut kepentingan orang banyak. Selain itu, dukungan dari komunitas juga memiliki nilai positif karena dapat memberikan sumbangan dalam hal dana, sumber daya, akses kepada pihak-pihak tertentu, keahlian tertentu, dsb.

Issue framing merupakan cara untuk mempresentasikan sebuah isu. Sebuah isu harus dapat disajikan secara menarik dalam waktu yang singkat dan sesuai dengan persepsi yang diharapkan. Untuk dapat menarik perhatian (attention grabbing), sebuah isu dapat saja dikemas sebagai sesuatu yang bersifat kontroversi, ironi terobosan, atau suatu isu yang serius dan mendesak. Ini disebut framing for access. Namun, sebuah isu juga harus menyajikan informasi yang akurat dan sesuai dengan persepsi yang diharapkan. Ini disebut framing for content. Caranya, dengan menterjemahkan isu tersebut menjadi isu sosial (misal, ‘dampak merokok mengakibatkan kematian prematur yang lebih banyak dari korban kecelakaan pesawat)’, menyajikan konsekuensi positif atau negatif dengan angka yang mudah dipahami dan spesifik (misalnya, sebutkan kerugian dalam bentuk rupiah), memberikan solusi yang praktis dan nyata, dan jika memungkinkan gunakan gambar atau kutipan dari pihak-pihak yang terkait. Mengingat ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan, seringkali dibutuhkan tenaga professional dan ahli komunikasi massa untuk dapat menyusun dan mendisain sebuah brief yang baik untuk media massa. Berikut ini kami lampirkan sebuah contoh media brief .

Media brief ini bisa diberikan langsung kepada pihak media tertentu yang menjadi target kita (pemilihannya didasarkan pada, misalnya, demografi dan region pembaca). Atau, kita dapat menyelenggarakan acara khusus bagi para awak media dari sejumlah media yang terseleksi. Keuntungannya adalah kita dapat memiliki kesempatan untuk memaparkan isi media brief dengan lebih jelas dan komprehensif serta membuka kesempatan untuk tanya jawab. Acara ini tentu saja membawa konsekuensi finansial dan sumberdaya yang lebih besar. Sekali lagi, untuk dapat melakukan pemilihan target media yang tepat, terkadang diperlukan konsultasi dengan ahli komunikasi massa.

Bahan bacaan:

 

 

{/tabs}

 

Pertemuan Ilmiah Tahunan Jaringan Epidemiologi Nasional

  Latar Belakang

Pada masa kampanye kepala daerah dan calon wakil rakyat cukup sering didengar janji pengobatan gratis dan program menyejahterakan rakyat. Saat ini masih terdapat banyak kesenjangan kesehatan, kependudukan dan keluarga berencana diantara kelompok penduduk.Terdapat kesenjangan kesehatan antara kelompok miskin dan kaya, kota dan desa, Jawa dan luarJawa. Selain itu upaya pencegahan dan promosi kesehatan kurang mendapatkan perhatian. Terjadi peningkatan angka kesakitan dan pertambahan penduduk yang semakin lama menjadi beban masyarakat dan pemerintah.

Di satu pihak terdapat perkembangan pelayanan kesehatan yang memerlukan peningkatan kemampuan berbagai tenaga kesehatan. Pendidikan tenaga kesehatan telah mengalam berbagai pengembangan,baik di bidang pendidikan dokter, farmasi, kesehatan masyarakat, perawat, bidan, sanitarian, gizi, dan lainnya. Semua institusi pendidikan telah berupaya untuk menyesuaikan dengan peran layanan primer di puskesmas, dokter praktek, ataupun di tempat layanan primer yang lain, termasuk dengan system penyediaan dan pembiayaan kesehatan yang dibangun BPJS Kesehatan dan Ketenaga kerjaan dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Ringkasan fakta dan tantangan terkini tentang masalah kependudukan, kesehatan dan keluarga berencana sedang dibuat oleh ahli epidemiologi bersama Badan Koordinasi Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Komite Nasional Perempuan dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), yang nantinya akan diberikan kepada calon kepala daerah, partai politik pengusung dan ketua DPRD.

Kepala Daerah Surabaya sebagai kota kedua terbesar di Indonesia, diminta untuk memberikan tanggapannya tentang upaya yang sudah dilakukan , memanfaatkan bonus demografi termasuk bagaimana upaya pencegahan kesehatan yang perlu dilakukan.Dengan demikian kekhawatiran akan meningkatnya biaya kesehatan,biaya pendidikan dan biaya sector kehidupan lain dapat diatasi pemerintah daerah Surabaya dan daerah lainnya di Indonesia.

Jaringan (JEN) merupakan lembaga jejaring nirlaba yang beranggotakan lembaga-lembaga yang berminat di bidang kesehatan masyarakat. JEN bekerja sama dengan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga kesehatan di dalam dan di luar negeri, bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Dalam mengatasi berbagai masalah kesenjangan kesehatan, kependudukan dan keluarga berencana, JEN akan mengadakan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) di Surabaya berupa Seminar& Workshop dengan tema:

  1. Mengatasi masalah kesenjangan kesehatan, kependudukan dan keluarga berencana.
  2. Mengembangkan kurikulum tenaga kesehatan Indonesia tentang JKN dan pelayanan kesehatan primer.

  Tujuan

  1. Mengintegrasikan masalah kesenjangan kesehatan,kependudukan dan keluarga berencana dalam pembuatan kebijakan public dan pilihan politik para politisi.
  2. Memberikan rekomendasi untuk pengembangan kurikulum tenaga kesehatan Indonesia tentang JKN dan pelayanan kesehatan primer.
  3. Menambah wawasan dan kemampuan analisis data bagi peserta.

Sasaran

Anggota Legislatif, Dokter Puskesmas,Dokter Umum, Dokter Keluarga, Dokter Spesialis, Peneliti, Sarjana kesehatan Masyarakat, Perawat, Bidan, Ahli Gizi, Sanitarian, Psikolog, Statistikawan, LSM, dan pemerhati kesehatan yang lain.

  Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Waktu : Selasa-Rabu, 22-23 September 2015.
Tempat : Pusdiklat Humaniora Kemenkes RI
Jl. Indrapura No. Surabaya

Jadwal Acara

WAKTU

TOPIK

NARA SUMBER

08.30- 09. 00

Pembukaan

 

SESI 1

Pembangunan Kesehatan, Kependudukan, dan Keluarga Berencana di Era Pilkada

Moderator :
Prof. Dr. Charles Suryadi dr, MPH

09.00—09.30

Strategi Pemerintah Kota untukMengatasi Masalah Kesenjangan Kesehatan dan Tekanan Kependudukan di Perkotaan

Tri Rismaharini, Ir, MT
(Walikota Surabaya)

09.30 – 10.00

Statistic Update dalam Bidang Kesehatan & Demografi

materi

Kresnayana Yahya, Drs, MSc (Dosen ITS Surabaya)

10.00 – 10.30

DISKUSI

 

10.30 – 11.00

Peningkatan Peran Pelayanan Kesehatan Primer dan Pengarus-utamaan Kesehatan dalam Kebijakan Publik

materi

Herlin Ferliana, dr, MKes.

Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur

11.00 – 11.30

Strategi Revitalisasi Program Keluarga Berencana dan Pemanfaatan Bonus Demografi

materi

Prof. Dr. Haryono Suyono, MA, PhD  (Pakar Kependudukan & KB)

11.30 – 12.00

Peran Tenaga Kesehatan Indonesia dalam Pengendalian Kelahiran di Jawa Timur

materi

Dwi Listyawardani, Ir, MSc
(BKKBN JawaTimur)

12.00—13.00

DISKUSI

 

13.00 – 14.00

ISHOMA

 

SESI 2

Pengembangan Kebijakan JKN dan Pelayanan Kesehatan Primer pada Institusi Kesehatan

Moderator :
Prof. Ghufron Ali Mukti, dr, MSc, PhD

14.00 – 14.30

Tantangan Optimalisasi Peran Dokter Layanan Primer dalam  Penyediaan dan Pembiayaan Kesehatan di Era JKN

Ghazali  Situmorang, Drs, Apt, MSi. (BPJS Pusat)

14.30—15.00

Pengembangan Dokter Layanan Primer dalam Menjawab Tantangan JKN dan MEA

materi

Dr. Pudji Lestari dr, Mkes
(PDKI Jawa Timur)

15.00 – 15.30

Pendidikan Dokter Layanan Primer dan Kesenjangan Kesehatan

materi

Dr. Raden Chasny Noviane (WHO)

15.30 – 16.00

Tantangan pengembangan layanan primer dikaitkan dengan peran Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer dalam Penerapan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional 

materi

Prof. Laksono Trisnantoro, dr, MSc, PhD (Dosen FK UGM)

16.00 – 17.00

DISKUSI

 

17.00 – 17.15

Penutupan Seminar

 

17.15 – 19.00

ISTIRAHAT

 

19.00 – 21.00

Rapat JEN

Prof. BhismaMurti, dr, MPH, MSc, PhD

21.00 – 06.00

ISTIRAHAT

 

 

WAKTU

KEGIATAN

07.00 – 08.00

Makan Pagi

 

08.00 – 12.00

Lanjutan rapat JEN

 

08.00—14.00

 

Workshop   :
Metodologi Penelitian Kesehatan dan Kependudukan

12.00 – 13.00

Kesimpulan hasil rapat JEN

 

13.00 – 14.00

Penutupan dan makan siang

Penutupan Workshop

Panitia

Pengarah/SC : 

  • Prof. Bhisma Murti,dr, MPH, MSc, PhD
  • Prof. Charles Surjadi, dr,
  • Prof. Muninjaya, dr,
  • Prof. Hadi Pratomo, dr,
  • Dr. Siti Pariani, MS, MSc, PhD
  • Prof. Budi Utomo, dr, MPH, PhD
  • Dr. Sabarinah
  • Dr. Ridwan Thaha, SKM, M

Ketua OC : Dr. Florentina Sustini, dr, MS
Wakil : Dr. Budi Utomo, dr, MKes
Sekretaris

  1. Sugiharto, dr, MARS
  2. Atika SSi, MKes

Bendahara

  1. Dr. Sulistiawati, dr., MKes
  2. Fariani Syahrul, SKM, MKes

Sie Ilmiah

  1. Prof. Dr. Chatarina UW, dr, MS, MPH
  2. Dr.Sunaryo., dr., MS., MS.i
  3. Djohar Nuswantoro, dr, MPH
  4. Dr. Siswanto, dr, MSc
  5. Dr. Susilowati Andajani, dr, MS
  6. Dr. Pudji Lestari, dr, MKes
  7. Budiono, dr, MKes

Sie Acara

  1. Linda Dewanti, dr, MKes, MSc, PhD
  2. Pramita Andarwati, dr (Litbangkes Pusat Humaniora)
  3. drg. Ansarul Fahrudda, MKes (Dinkes Provinsi JawaTimur)
  4. Dr. Sisilia Windi
  5. Rukmini, SKep Ns.MKes

Sie Konsumsi

  1. Widati Fatmaningsrum
  2. Dwi Susanti, dr, MPH
  3. Dr. Pramita (Litbangkes Pusat Humaniora)

Sie Publikasi/ Dok

  1. Dr Sri Setyani (Dinkes Kota Surabaya)
  2. PKFI Surabaya
  3. Bagian IKM FK UA, UB, UNEJ, UWK, UHT, UWM, UNUSA, UMM, urindo, UNISMA, FKM UA

Kesekretariatan

  1. Tania Wahyu Sadati, S.Sosio
  2. Satrio Wibowo
  3. Septi Fajar Ningtyas

 

Proses Pengambilan Kebijakan

{tab Modul 1|red}

Modul Proses Pengambilan Kebijakan

Periode pelatihan: 1-29 November 2015

Shita Dewi dan Laksono Trisnantoro
Pusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan.

 PENGANTAR

Latihan tentang pengambil kebijakan ini dimulai dengan pemahaman mengenai Proses Pengambilan Kebijakan. Mengapa? Dalam hal ini para peserta perlu untuk meyakini dirinya sendiri bahwa proses pembelajaran ini akan masuk ke kenyataan yaitu mempelajari ilmu kebijakan yang berasal bukan dari disiplin ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat. Dengan demikian modul ini mencoba mengajak para peserta untuk memahami proses pengambilan kebijakan dengan dasar teori ilmu kebijakan yang diaplikasikan di sector kesehatan. Pembahasan aplikasi ini akan dilakukan dengan diskusi virtual dimana para peserta di minta untuk mengaplikasikan apa yang ada di lapangan dengan konsep yang ada.

  TUJUAN

Memberi gambaran mengenai konsep terkait proses pengambilan kebijakan

  MATERI

Proses kebijakan adalah proses yang meliputi kegiatan perencanaan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Dalam hal ini kita khususnya membahas kebijakan publik, yaitu kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk kepentingan public. Proses kebijakan melibatkan berbagai pihak terkait, antara lain: para politisi, berbagai institusi pemerintah, para pengambil keputusan, kelompok kepentingan dan pihak-pihak lain.

Untuk memahami proses kebijakan, kita perlu memahami berbagai konsep dasar terkait proses kebijakan, penentuan agenda kebijakan dan perumusan kebijakan.

1. Berbagai Model Proses Kebijakan

Terdapat berbagai macam model proses kebijakan. Pada kesempatan ini, kita akan membahas hanya tiga model.

Pertama, model rasional. Model rasional menekankan bahwa proses kebijakan merupakan proses yang rasional dan dilakukan oleh aktor-aktor yang memiliki cara berpikir yang rasional. Menurut model ini, proses kebijakan meliputi tahap-tahapan tertentu dan berjalan seperti sebuah siklus. Para aktornya dapat secara jelas melihat tujuan dari kebijakan dan cara mencapai tujuan tersebut. Sejak tahun 1950an, konsep ini telah berkembang dan menghasilkan berbagai variasi, namun memiliki esensi yang sama (Laswell, H.D., The Decision Process: Seven Categories of Functional Analysis, University of Maryland Press: 1956; Jenkins, W.I., Policy Analysis. A Political and Organisational Perspective, Martin Robertson: 1978).

Apabila dielaborasi, maka proses kebijakan akan dimulai dari adanya masalah yang teridentifikasi masuk ke dalam agenda kebijakan (atau, agenda setting). Kemudian setelah informasi yang diperlukan terkumpul, ditemulan berbagai pilihan dan alternative kebijakan, sehingga dapat disusun sebuah kebijakan (policy formulation). Kemudian diambil keputusan mengenai rancangan kebijakan yang paling efisien dan efektif dan diputuskan sebagai suatu kebijakan yang memiliki kekuatan hukum (decision making). Hasilnya adalah sebuah kebijakan yang hampir ideal dan optimal. Setelah ini kebijakan dijalankan (policy implementation) dan dievaluasi (monitoring & evaluation), apabila ditemukan masalah-masalah baru, masalah tersebut akan masuk menjadi agenda kebijakan dan memulai siklus ini kembali.

pk-1

Namun kenyataannya, tidak semua kebijakan mengalami proses yang rasional seperti ini. Dalam kenyataannya, proses kebijakan merupakan proses yang rumit dan kompleks karena dipengaruhi oleh tarik-menarik antara berbagai kepentingan dan berbagai aktor, dipengaruhi pula oleh latar belakang pengalaman implementasi kebijakan terkait atau kebijakan sebelumnya, di’arah’kan oleh berbagai ‘suara’ kelompok kepentingan, dan biasanya memasuki ranah politik kepentingan.

pk-1

Maka muncul model kedua yaitu Incremental Model. Menurut model ini, proses pencarian informasi yang diperlukan berlangsung terbatas, tidak seluruhnya sistematis, dan dikendalikan oleh terlalu banyak pemain. Kadang cara mencapai tujuan tidak dapat terlihat nyata. Terkadang pilihan dan alternatif kebijakan yang tersedia hanya bisa dinilai dengan cara melihat sejauh mana manfaat kebijakan terdistribusi. Lebih lagi, kebijakan yang dipilih seringkali adalah kebijakan yang mendukung kelompok peserta dari proses ini, dan kurang mempertimbangkan pihak lain yang kebetulan tidak terlibat dalam proses ini. Hasilnya, kebijakan seringkali tidak optimal dan harus diperbaiki terus menerus, sedikit demi sedikit (Lindblom, C.E., The Science of Muddling Through, Public Administration Review 19 (2), p. 79-88).

Konsep ini semakin berkembang dalam model ketiga, yaitu model “tong sampah” (Garbage Can). Model ini melihat bahwa suatu kebijakan dapat dipicu dari tiga arah, yaitu dari masalah (problem stream), kebijakan sebelumnya atau kebijakan terkait (policy stream) atau dari kepentingan politis (political stream). Ketiga aliran ini dapat saja tercampur dan seringkali tidak terduga arahnya. Akibatnya, baik masalah, para aktornya mau pun solusi yang diperkirakan dapat berubah-ubah dengan cepat. (Cohen, M., March, J., and Olsen, J., A Garbage Can Model of Organizational Choice, Administrative Science Quarterly 17, 1972, p. 1-25; Kingdon, J.W., Agendas, Alternatives, and Public Policies, HarperCollins College Publisher: 1983). Akhirnya, sebuah kebijakan bisa saja diambil karena dimotivasi oleh hal-hal lain, yaitu:

  1. Decision by Oversight: kebijakan dibuat for the sake of making deci¬sion tanpa peduli apakah menyelesaikan masalah atau tidak.
  2. Decision by Flight: keputusan tidak dibuat sampai masalahnya pergi meninggalkan pilihan yang ada.
  3. Decision by Resolution: masalah akan diselesaikan secara ad-hoc.

pk-1

Jadi, menurut model ini, kebijakan seringkali tidak menyentuh esensi permasalahan. Para pengambil keputusan harus segera pindah ke ‘penyelesaian’ masalah berikutnya.

2. Agenda setting

Namun, sebelum kebijakan dapat dirumuskan dan diadopsi, masalah harus bersaing untuk mendapat ruang dalam agenda kebijakan. Agenda kebijakan ada di berbagai level, termasuk agenda sistem politik, agenda lembaga legislatif dan presiden, dan agenda birokrasi. Aktor kunci yang menentukan pengaturan agenda termasuk think tank, kelompok kepentingan, media, dan pejabat pemerintah.

Ada dua model utama dalam melihat agenda kebijakan, yaitu model ‘teknokratis’ dan model ‘politik’. Model teknokratis menjelaskan perubahan kebijakan sebagai hasil dari para pengambil keputusan yang mengubah preferensi mereka dan beradaptasi dengan kondisi baru. Sesuai siklus kebijakan, mereka belajar dari pengalaman yang ditunjukkan oleh hasil evaluasi kebijakan. Inovasi kebijakan, jika ada, adalah produk dari pembuatan kebijakan di mana kebijakan dipandang sebagai hipotesis, atau teori, dan pelaksanaan atau implementasi kebijakan adalah sebagai pengujian dari teori atau hipotesis tersebut. Sementara, model politik, pada dasarnya berusaha untuk menjelaskan penyusunan kebijakan sebagai akibat dari perubahan dalam konfigurasi kepentingan yang dominan.

Meskipun demikian, fakta bahwa suatu masalah harus masuk menjadi agenda kebijakan, menegaskan kepada kita bahwa ada ‘jendela kebijakan’ dan ‘kesempatan untuk tindakan’ (Kingdon, 1983), dan tidak selalu berarti bahwa hanya itu permasalahan yang ada di lapangan. Dalam analisis kebijakan, “masalah” merupakan konstruksi analitik, namun dalam politik “masalah” adalah konstruksi politik. Dalam analisis kebijakan, konstruk atau masalah yang teridentifikasi adalah produk dari suatu hasil analisis. Dalam politik apa yang diakui atau disahkan sebagai “masalah” adalah produk dari proses politik. Oleh karena itu, walau pun ada banyak masalah di lapangan, namun tidak seluruhnya masuk ke dalam agenda kebijakan.

Bagaimana cara masalah diangkat ke dalam agenda kebijakan? Ada berbagai cara. Pertama, masalah tersebut harus dirasakan secara luas sebagai situasi yang tidak memenuhi harapan publik. Dengan cara ini, masalah paling tidak masuk ke dalam agenda masyarakat (public agenda). Masalah bisa bergerak menjadi sorotan publik dan dipaksa ke dalam agenda kebijakan dengan besarnya jumlah perhatian dan kemarahan publik. Media dapat sangat efektif dalam hal ini (agenda building). Sebaliknya, media juga dapat menjaga masalah dari agenda kebijakan dengan memberikan kesan bahwa masalah tidak memerlukan resolusi melalui proses kebijakan (agenda cutting). Oleh karena itu, masalah juga bisa masuk melalui dorongan kelompok kepentingan dan para gatekeepers yang menentukan agenda mass media (Rogers, E. M., & Dearing, J. W., Agenda-setting research: Where has it been? Where is it going?, Communication Yearbook, 11, 1988, p. 555-594). Selain itu, suatu peristiwa penting dapat bertindak sebagai pemicu kebijakan yang segera mendorong masalah masuk ke dalam agenda kebijakan. Dalam bidang kesehatan, misalnya kejadian bencana atau wabah.

pk-4

Namun, agenda setting hanyalah sebuah ‘entry point’. Sebuah isu tetap harus menarik perhatian para pengambil keputusan (atau, setidaknya salah satu institusi pemerintah) untuk dapat masuk ke dalam proses kebijakan publik. Perlu disadari bahwa tidak semua ‘agenda publik’ dan ‘agenda media’ akan masuk ke dalam siklus kebijakan dan kemudian menjadi rumusan kebijakan, sampai akhirnya menjadi sebuah kebijakan yang terlegitimasi. Agenda kebijakan pun memiliki keterbatasan waktu. Seringkali, item-item di dalam agenda bergeser dengan cepat dan digantikan oleh isu-isu lain yang lebih mendesak terutama di saat krisis.

3. Perumusan Kebijakan

Perumusan kebijakan adalah pengembangan kebijakan yang efektif dan dapat diterima untuk mengatasi masalah apa yang telah ditempatkan dalam agenda kebijakan.

Perhatikan bahwa ada dua bagian definisi ini:

  • Formulasi efektif, berarti bahwa kebijakan yang diusulkan dianggap sebagai solusi yang valid, efisien, dan dapat diterapkan. Jika kebijakan ini dilihat sebagai tidak efektif atau tidak bisa dijalankan dalam prakteknya, maka tidak ada alasan yang sah untuk mengusulkan rumusan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, terdapat berbagai alternatif kebijakan yang diusulkan. Ini adalah fase analisis dari perumusan kebijakan.
  • Formulasi diterima berarti bahwa arah kebijakan yang diusulkan kemungkinan akan disahkan oleh pengambil keputusan yang sah, biasanya melalui suara mayoritas dalam proses tawar-menawar. Artinya, kebijakan itu harus layak secara politis. Jika kebijakan kemungkinan akan ditolak oleh pengambil keputusan, mungkin tidak praktis untuk menyarankan kebijakan tersebut. Ini adalah fase politik perumusan kebijakan.

Seperti telah disebut sebelumnya, proses perumusan kebijakan harus melalui fase analisis. Rancangan kebijakan dan berbagai pilihan alternative kebijakan harus dianalisis untuk menemukan kebijakan yang paling valid untuk mengatasi masalah, efisien dan dapat dipraktekkan di dunia nyata. Beberapa model analisis dalam rumusan kebijakan, misalnya:

  1. Analisis Biaya-Manfaat
  2. Model multiobjectives
  3. Analisis Keputusan (decision analysis)
  4. Analisis Sistem (system analysis)
  5. Operation research
  6. Nominal group technique

Pada kesempatan ini, kami memberikan salah satu bahan bacaan terkait analisis sistem yang menjelaskan bagaimana kebijakan disusun dengan melihat ke lingkungan internal dan lingkungan eksternal dari suatu masalah. Namun itu hanyalah salah satu bagian saja dari proses rumusan kebijakan, karena ada fase selanjutnya yaitu fase politis. Pejabat yang terpilih atau ditunjuk secara politis bertanggungjawab kepada publik untuk menyusun kebijakan yang baik dan efektif, namun tidak selalu memiliki kemampuan analitis untuk melakukan hal tersebut.

Para perencana kebijakan memang diharapkan dapat memberikan kontribusi teknis mengenai cara, perilaku, biaya, strategi implementasi, dan konsekuensi dari kebijakan, baik atau buruk. Namun, para ahli dan analis teknis tidak bertanggung jawab langsung kepada publik. Keputusan untuk melakukan trade-off, prioritas nilai, dan beban efek keseluruhan pada akhirnya tetap harus diambil oleh para pengambil keputusan yang, secara teori, akuntabel terhadap masyarakat dalam sistem perwakilan di pemerintahan kita. Hanya dengan adanya otorisasi dari para pengambil keputusan inilah sebuah kebijakan dapat memiliki wewenang dan kekuatan hukum.

Oleh karena itu kita perlu memahami pula proses perundangan yang ada di negara kita. Artinya, proses institusional dan proses politis apa yang harus dilalui agar sebuah usulan kebijakan dapat akhirnya resmi menjadi suatu kebijakan. Hanya dengan memahami proses perundangan ini maka kita dapat mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam proses kebijakan dan siapa pengambil keputusan. Hanya dengan cara ini kita mengenali beberapa ‘entry point’ ke dalam area kebijakan. Ingatlah bahwa tidak semua area kebijakan merupakan area yang terbuka untuk publik. Seringkali area ini merupakan area tertutup atau hanya dapat dimasuki dengan adanya ‘undangan’ dari para pengambil keputusan. Di bawah ini kami memberikan beberapa bahan bacaan berbagai mekanisme penyusunan perundangan yang dapat dipelajari lebih lanjut.

Sebagai penutup, penting untuk kembali memijakkan kaki ke dunia nyata. Pengambilan keputusan di dunia nyata seringkali dibatasi oleh setidaknya dua hal ini:

Bounded rationality — pengambil keputusan memiliki keterbatasan dalam hal sejauh mana mereka berperilaku rasional.

Satisficing — pengambil keputusan dapat saja mengambil usulan pertama yang memenuhi kriteria-kriteria minimum tertentu.

Akibatnya, pengambilan keputusan seringkali dipengaruhi oleh berbagai bias, misalnya hanya dapat melihat satu dimensi ketidakpastian, memberikan bobot yang terlalu besar terhadap infomasi yang tersedia, dan mengabaikan the law of randomness.

  Diskusi

Anda diharapkan masuk ke website www.kebijakankesehatanindonesia.net untuk melakukan diskusi virtual atau menggunakan mailinglist masyarakat praktisi untuk menyampaikan pendapat.

Diskusi akan dilakukan bertahap dengan cara virtual.

 

  Tugas Akhir modul

  1. Bagaimana cara Anda mengangkat masalah yang Anda pilih untuk masuk ke dalam agenda kebijakan?
  2. Identifikasi pada level apa kebijakan yang Anda ingin ubah/usulkan: UU? PP? Peraturan Menteri? Peraturan Daerah?
  3. Deskripsikan proses perundangan yang harus dilalui oleh usulan kebijakan yang Anda usullkan tersebut.

Tugas harap dikirimkan ke fasilitator paling lambat pada tanggal 9 November 2015 kepada Angelina Yusridar / Hendriana Anggi melalui email [email protected]


  Bacaan lebih lanjut:

 

{tab Modul 2|orange}

Sifat Kebijakan dan
Perilaku Pengambilan Kebijakan

Shita Dewi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan

  Tujuan

  1. Memahami sifat kebijakan
  2. Memahami perilaku pengambilan kebijakan

Materi

Pada penugasan minggu lalu, kita telah menetapkan kebijakan di level mana yang ingin kita pengaruhi atau ubah. Kita telah pula melihat proses apa yang harus dilalui oleh usulan kebijakan dan institusi mana saja serta level mana saja (pusat, propinsi, kabupaten, lembaga) yang terlibat selama proses itu berlangsung. Berdasarkan analisis tersebut, maka kita dapat mengidentifikasi siapa pengambil kebijakan. Hal ini mutlak harus kita lakukan karena tanpa itu kita tidak dapat menganalisa mereka.

Kemampuan dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan kebijakan tersebut juga harus diimbangi dengan pemahaman terhadap kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing pelaku kebijakan. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, sehingga tanggungjawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya.

Namun, ada baiknya pula kita terlebih dulu mengenali sifat dari kebijakan itu sendiri. Berdasarkan sifat dari kebijakan (Anderson, J.E., Public Policy Making: An Introduction, Boston: Houghton Mifflin Company, 2006) kebijakan publik dibagi ke dalam empat kategori, yaitu:

  1. Kebijakan substantif dan prosedural. Kebijakan substantif adalah kebijakan mengenai apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan substantif mengalokasikan keuntungan dan kerugian maupun biaya dan manfaatnya langsung kepada masyarakat. Misalnya, UU SJSN. Sebaliknya,kebijakan prosedural merupakan kebijakan yang berkaitan dengan bagaimana sesuatu akan dilakukan, atau siapa yang akan diberi kewenangan untuk mengambil tindakan. Contoh kebijakan prosedural adalah undang-undang atau peraturan atau ketetapan yang mengatur mengenai pembentukan suatu badan administratif tertentu serta kewenangan dan proses yang dimilikinya. Misalnya, UU BPJS.
  2. Kebijakan distributif, pengaturan (regulative), pengaturan sendiri (self-regulation), dan redistribusi.Kebijakan distributif adalah kebijakan dalam mengalokasikan pelayanan atau manfaat terhadap segmen tertentu dari masyarakat, yaitu individu, kelompok, perusahaan/lembaga atau masyarakat. Kebijakan distributif biasanya melibatkan penggunaan dana publik untuk membantu kelompok, masyarakat atau lembaga tertentu. Contohnya adalah kebijakan terkait program Raskin. Kebijakan pengaturan/regulatifadalah kebijakan yang memberlakukan larangan terhadap perilaku individu atau kelompok,membatasi sekelompok individu dan lembaga, atau sebaliknya, memaksa jenis perilaku tertentu. Biasanya kebijakan ini bersifat protektif atau mengatur kompetisi. Contohnya adalah peraturan tentang perijinan atau lisensi.Kebijakan pengaturan sendiri adalah kebijakan yang membatasi atau mengawasi terhadap suatu kelompok yang dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada kelompok tersebut untuk mengatur dirinya sendiri dalam rangka melindungi atau mempromosikan kepentingan dari anggota kelompoknya.Kebijakan redistributif adalah kebijakan atau program yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan dapat mendistribusikan kekayaan, hak kepemilikan dan nilai-nilai yang lain diantara berbagai kelas sosial masyarakat atau etnisitas di dalam masyarakat.
  3. Kebijakan material dan simbolik. Kebijakan material adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya komplet pada kelompok sasaran. Sedangkan, kebijakan simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok sasaran
  4. Kebijakan yang melibatkan barang kolektif atau barang privast. Kebijakan public goods adalah kebijakan yang mengatur pemberian barang atau pelayanan publik. Sedangkan, kebijakan private goods adalah kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas.

Berdasarkan pembagian kategori di atas, kita dapat mengidentifikasi bahwa usulan kebijakan kita merupakan kebijakan yang mana. Hal ini juga penting dilakukan karena perilaku pengambil kebijakan juga akan bergantung pada sifat kebijakannya.

Maka, seperti apa saja perilaku pengambil kebijakan itu? Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku pembuatan kebijakan. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut(Nigro, F.A., dan Nigro, L.G., Modern Public Administration, New York: Harper&Row Publishers, 5th ed., 1980):

  1. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar. Seringkali pejabat publik harus membuat keputusan karena adanya tekanan-tekanan dari luar. Pada modul yang lalu telah dibahas bahwa salah satu pembuatan kebijakan didasarkan pada asumsi rasional (yaitu parapengambil kebijakan harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian rasional), tetapi proses dan prosedur pembuatan kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata, sehingga adanya tekanan-tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses pembuatan keputusannya. Tekanan ini bisa saja berasal dari atasan atau dari lembaga lain.
  2. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme). Kebiasaan lama organisasi cenderung akan selalu diikuti kebiasaan itu oleh para pejabat publik kendati misalnya keputusan-keputusan itu telah dikritik sebagai sesuatu yang salah dan perlu di ubah. Kebiasaan-kebiasaan lama tersebut seringkali diwarisi oleh para pejabat publik yang baru dan mereka sering segan secara terang-terangan mengkritik atau menyalahkan kebiasaan-kebiasaan lama yang telah berlaku atau yang dijalankan oleh para pendahulunya.
  3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi. Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat kebijakan banyak mempengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Misalnya dalam proses penerimaan/pengangkatan pejabat baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
  4. Adanya pengaruh keadaan masa lalu. Pengalaman yang terdahulu kadang berpengaruh pada pembuatan kebijakan. Misalnya, orang sering membuat keputusan untuk tidak melimpahkan sebagian dari wewenang dan tanggungjawab kepada pihak lain karena khawatir kalau wewenang dan tanggung jawab yang dilimpahkan itu disalahgunakan.

Selain itu, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan pembuatan kebijakan sulit atau lambat, yaitu sulitnya memperoleh informasi yang cukup, bukti-bukti yang ada sulit disimpulkan; adanya berbagai macam kepentingan yang berbeda, sulitnya memperkirakan dampak kebijaksanaan, umpan balik kebijakan sering bersifat sporadis, proses perumusan kebijaksanaan tidak dimengerti dengan benar dan seterusnya.

Apalagi faktor lain yang mempengaruhi perilaku kebijakan? Faktor utama adalah konteksnya. Konteks kebijakan sangat menentukan arah kebijakan. Mengapa demikian? Karena pengambilan kebijakan sangat dipengaruhi oleh bukan hanya tatanan kelembagaan yang mungkin berubah sesuai konteksnya, tetapi juga oleh berbagai nilai, dan nilai-nilai ini dapat berubah pula tergantung pada konteksnya. Nilai-nilai yang dimaksud adalah(Anderson, J.E., Public Policy Making: An Introduction, Boston: Houghton Mifflin Company, 2006):

  1. Nilai-nilai politis (political Values).Keputusan-keputusan seringkali dibuat atas dasar kepentingan politik dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu.
  2. Nilai-nilai organisasi (organization values). Keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanctions), menjaga status quo, dan sebagainya. Nilai dan budaya organisasi khususnya organisasi birokrasi seringkali sulit berubah, atau mengalami perubahan yang sangat lambat.
  3. Nilai-nilai pribadi (personal values). Seringkali pula keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang dianut oleh pribadi pengambil kebijakan.
  4. Nilai-nilai kebijakan (policy values). Kebijakan juga bisa dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijaksanaan tentang apa itu “kepentingan publik”,atau kebijakan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan
  5. Nilai-nilai ideologi (ideological values). Nilai ideologi dapat menjadi landasan pembuatan kebijaksanaan seperti misalnya kebijakan yang berpihak pada kelompok marjinal atau sebaliknya berpihak pada kelompok kapitalis.

Terakhir, sifat pengambilan kebijakan juga sering dipengaruhi oleh beberapa kesalahan dan bias. Kesalahan-kesalahan umum sering terjadi dalam proses pembuatan keputusan (Nigro, F.A., dan Nigro, L.G., Modern Public Administration, New York: Harper&Row Publishers, 5th ed., 1980) yaitu:

  1. Cara berpikir yang sempit (cognitive nearsightedness). Adanya kecenderungan manusia membuat keputusan hanya untuk memenuhi kebutuhan seketika sehingga melupakan antisipasi ke masa depan. Pejabat publik pun sering membuat keputusan dengan dasar-dasar pertimbangan yang sempit dengan tanpa mempertimbangkan implikasinya ke masa depan.Atau, seringkali pula pembuat kebijakan hanya mempertimbangkan satu aspek permasalahan saja dengan melupakan kaitannya dengan aspek-aspek lain, sehingga gagal megenali problemnya secara keseluruhan.
  2. Adanya asumsi bahwa masa dapan akan mengulangi masa lalu (the future will repeat the past). Banyak anggapan bahwa situasi adalah stabil, orang akan bertingkahlaku sebagaimana para pendahulunya di masa yang lampau. Tetapi, keadaan sekarang jauh dari stabil. Banyak orang berperilaku di luar dugaan. Namun, kendatipun ada perubahan-perubahan yang besar pada perilaku masyarakat, masih banyak pejabat publik yang beranggapan bahwa perubahan-perubahan itu normaldan hanya bersifat sementara, serta kemudian akan segera kembali seperti sediakala.
  3. Terlampau menyederhanakan sesuatu (over simplification). Selain adanya kecenderungan untuk berpikir secara sempit, ada pula kencenderungan pembuat keputusan untuk terlampau menyederhanakan sesuatu. Misalnya dalam melihat suatu masalah,pelaku kebijakan hanya mengamati gejala-gejala masalah tersebut saja dengan tanpa mencoba mempelajari secara mendalam apasebab-sebab timbulnya masalah tersebut. Akibatnya, kebijakan sering tidak sepenuhnya dapat mengatasi masalahnya malah ustru mungkin menimbulkan masalah-masalah baru.
  4. Terlalubergantung pada pengalaman satu orang (overreliance on one’s own experience). Pada umumnya banyak orang meletakan bobot yang besar pada pengalaman mereka diwaktu yang lalu dan penilaian pribadi mereka. Walaupun seorang pejabat yang berpengalaman akan mampu membuat keputusan-keputusan yang lebih baik dibanding dengan yang tidak berpengalaman, tetapi mengandalkan pada pengalaman dari seseorang saja bukanlah cara yang terbaik. Situasi dan konteks di masa lalu mungkin berbeda, para pihak yang terlibat juga kemungkinan berbeda, dan sebagainya.
  5. Kebijakan yang dilandasi oleh pra konsepsi pembuat keputusan. Dalam banyak kasus, kebijakan seringkali di landaskan pada prakonsepsi parapembuat kebijakan. Hal ini tidak terlalu salah tetapi tidak sepenuhnya tepat. Kebijakan akan lebih baik hasilnya kalau didasarkan pada temuan dan bukti-bukti (evidence-based). Sayangnya temuan-temuan ini sering diabaikan bila bertentangan dengan gagasan atau prakonsepsi pengambil kebijakan.
  6. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan (unwillingness to experiment). Cara untuk mengetahui apakah suatu keputusan itu dapat diimplikasikan atau tidak adalah dengan mengujicoba secara nyata pada ruang lingkup yang kecil (terbatas). Adanya tekanan waktu, pekerjaan yang menumpuk dan sebagainya menyebabkan pembuat kebijakan tidak punya kesempatan melakukan proyek percobaan (pilot project). Selain itu ada yang beranggapan bahwa kegiatan-kegiatan piloting dianggap memboros-boroskan uang saja.
  7. Keengganan untuk membuat keputusan (reluctance to decide). Kendatipun mempunyai cukup fakta-fakta, beberapa orang tetap enggan untuk membuat keputusan. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap membuat keputusan itu sebagai tugas yang sangat berat, penuh resiko, bisa membuat orang frustasi, kurang adanya dukungan dari lembaga atau atasan, lemahnya sistem pendelegasian wewenang unutuk membuat keputusan, takut menerima kritikan dari orang lain atas keputusan yang telah dibuat dan sebagainya.

Pemahaman akan sifat kebijakan dan perilaku pengambilan kebijakan akan dapat membantu kita dalam mendekati dan berinteraksi dengan para pengambil kebijakan. Kita akan mampu memahami kekuatan, kelemahan dan kekhawatiran mereka serta mampu pula mengidentifikasi cara-cara terbaik untuk membantu mereka, yang pada gilirannya membantu kita dalam upaya untuk mempengaruhi kebijakan.Berikut ini kami lampirkan bahan bacaan mengenai dinamika salah satu kebijakan untuk KIA di Ghana dalam kurun waktu 4,5 dekade sebagai hasil dari dinamika faktor perilaku pengambil kebijakan dan faktor kontekstual.

Bahan bacaan

 

 

{/tabs}

 

jadwal pgf

TIME

Day 1: 14 SEPTEMBER 2015

VENUE

0800

Arrival and registration of participants

Lobby, Main Auditorium
Education Block, UKMMC

0900

Welcoming address
Prof. Dato’ Dr. Syed Mohamed Aljunid – Chairman

Organizing Committee, 9th Postgraduate Forum

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

0910

Welcoming speech and official launching of Forum
Prof. Datuk Dr. Noor Azlan bin Ghazali – Vice Chansellor

Universiti Kebangsaan Malaysia

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

0930

Plenary 1

Complex vs. Simple additional payment designs to health personnel to attain equity and efficiency of public health sector in Thailand

Prof. Dr. Supasit Pannarunothai, Naresuan University

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

1030

Refreshment & Press Conference

Foyer
Education Block, UKMMC

1100

Plenary 2

Provider Payment Mechanism Change After The Implementation Of Universal Coverage Policy In Indonesia

Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, Universitas Gadjah Mada

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

1200

Poster Presentation

Gallery, in front of the Auditorium

1300

Lunch

Foyer
Education Block, UKMMC

1400

Special lecture

Challenges in Commercialization of Research Outputs of Local Universities

Prof. Dr. Raha binti Abdul Rahim

Director of Higher Education Planning Excellence, Department of Higher Education Malaysia

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

1500

Symposium

Provider Payment Reforms in Developing Countries: Impact on Pharmaceutical Industries

Ms. Michaela Dinboeck – Novartis Corporation (Malaysia) Sdn. Bhd

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

1630

Refreshment
END OF DAY 1

Foyer
Education Block, UKMMC

2000-2200

GALA DINNER

Banquet Hall, International Youth Center, Kuala Lumpur

 

Day 2: 15 SEPTEMBER 2015

 

0830

Arrival and registration of participants

Lobby, Main Auditorium

Education Block, UKMMC

0900

Keynote address

Postgraduate training in public health – current and future needs

Datuk Dr. Lokman Hakim bin Sulaiman
Deputy Director General of Health (Public Health)

Ministry of Health, Malaysia

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

1000

Refreshment

Foyer
Education Block, UKMMC

1030

Free paper presentation
2 concurrent sessions

Main Auditorium & Preclinical Building UKMMC

1300

Lunch

Foyer
Education Block, UKMMC

1400

Plenary 3

Designing and Implementing Provider Payment Reform in Social Health Insurance: Theory vs. Practice

Prof. Dato’ Dr. Syed Mohamed Aljunid

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

1500

Panel discussion

Getting your research output published

Malaysia: Dr. Nor Azlin Mohd Nordin
Indonesia: Dr. Mubasysyir Hasanbasri
Thailand: Dr. Pudtan Phanthunane

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

1630

Prize-giving ceremony

Closing remarks
Refreshment

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

Reportase: Pembukaan Postgraduate Forum

The 6th Postgraduate Forum on Health System and Policy 2015

“Provider Payment Reforms in SEA: Impact and Lessons Learned”

VENUE : Universiti Kebangsaan Malaysia Medical Center (UKMMC)
14 – 15 September 2015

HARI I   |   HARI II

Reportase: Pembukaan

Hari Pertama, 14 September 2015
Reporter: Tiara Marthias, MPH

Pada tahun 2015 ini, PGF diselenggarakan oleh International Center for Casemix and Clinical Coding, Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dan diawali oleh Ketua Panitia Prof. Dato’ Syed Mohamed Aljunid dan diikuti dengan pembukaan resmi oleh Prof. Datuk Dr. Noor Azlan bin Ghazali selaku Vice Chancellor UKM.

Tahun ini, PGF mengangkat topik Mekanisme Pembayaran Provider di Asia Tenggara: Dampak dan Pembelajaran. Topik ini sangat relevan dengan perkembangan terbaru di bidang pembiayaan kesehatan, terutama di Indonesia. Hal ini tampak dari dua presentasi khusus yang diberikan oleh Prof. Dr. Supasit Pannarunothai (Naresuan University) serta Prof. dr. Laksono Trisnantoro (FK Universitas Gadjah Mada), dimana berbagai tantangan di sistem pembiayaan kesehatan dalam rangka mencapai Universal Health Coverage (UHC) menjadi isu yang penting baik di Thailand maupun Indonesia.

Thailand sendiri yang telah memulai program UHC sejak tahun 1990-an, saat ini tengah membahas pola pembayaran provider kesehatan. Pada awal 1990-an, Thailand memberlakukan sistem insentif untuk menjaga dokter dan tenaga kesehatan lainnya hanya praktik di sektor publik dan tidak melakukan dual practice. Insentif lainnya termasuk tambahan penghasilan bagi tenaga kesehatan yang mau memberikan layanan kesehatan di luar jam kerja/sore hari. Namun, kebijakan ini memiliki moral hazard tersendiri, dimana tampak adanya peningkatan penundaan layanan menjadi sore hari agar insentif tenaga kesehatan bertambah. Insentif lain yang diberlakukan pada tahun 2000-an adalah insentif khusus untuk tenaga kesehatan di daerah pedesaan. Insentif ini digantikan dengan pay for performance yang diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih efektif dan efisien dalam pembiayaannya. Namun, berbagai perkembangan kebijakan ini memiliki berbagai sisi positif maupun negatif, termasuk berdampak terhadap kesetaraan (inequity) dan juga capaian layanan kesehatan.

Program JKN merupakan gerakan yang ambisius dan akan menjadi sistem single-pool terbesar di dunia pada tahun 2019 mendatang. Untuk itu, implementasi JKN ini membutuhkan masukan yang riil dan perbaikan terus-menerus agar mendapatkan hasil yang diinginkan. Presentasi dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro sendiri menggambarkan sejumlah temuan awal dari implementasi program JKN di Indonesia termasuk kekhawatiran terhadap program ini dalam sistem reimbursement dan detil kebijakan yang ada saat ini. Sistem reimbursement saat ini misalnya, menerapkan open ended reimbursement, dimana rumahsakit dapat mengajukan klaim tanpa batas atas. Di lain sisi, besaran kapitasi per populasi telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan. Di level layanan primer, peraturan teknis dan detil belum banyak dikeluarkan, sehingga para penyedia layanan tidak memahami secara komprehensif tatacara penggunaan dana di sistem baru ini.

Berbagai hasil studi di bidang UHC ini sangat menarik untuk dibagi dalam forum ini, terutama dalam konteks bagaimana pembelajaran dapat terjadi di skala global dan secara langsung tersampaikan antar sesama akademisi dan juga praktisi di bidang kesehatan (TM).

“Challenges in Commercialization of Research Outputs of Local Universities”

Prof. Dr. Raha binti Abdul Karim

Komersialisasi meupakan suatu usaha untuk memperkenalkan suatu produk baru, dimana produk yang dimaksud adalah rancangan desain baru khususnya yang berhubungan dengan kesehatan. Komersialisasi untuk rancangan desain tersebut harus melibatkan berbagai pihak. Pihak yang dimaksud antara lain: pemerintah, universitas, dan institusi penelitian. Namun saat ini, investasi dan keterlibatan antara berbagai pihak tersebut masih sangat rendah. Hal tersebut dikarenakan hubungan yang kurang antara akademisi dengan industri. Untuk meningkatkan investasi terhadap rancangan desain, maka universitas harus segera berkolaborasi dengan industri untuk mewujudnyatakan rancangan desain tersebut. Ketika rancangan desain tersebut diperkenalkan lebih luas, hal yang perlu dilakukan adalah menmpatenkan rancangan desain tersebut. Jadi, poin utama dari komersialisasi rancangan desain adalah melakukan promosi, bekerjasama dengan berbagai pihak (misal:industri), dan meng-hak patenkan rancangan desain tersebut.

“Provider Payment Reform in Developing Countries : Impact on Pharmaceutical Industries”
Oleh : Ms. Michaela Dinboeck

Reporter: Emmy Nirmala, MPH

Ada tiga dasar tujuan dalam sistem kesehatan pertama, meningkatkan kualitas kesehatan masing masing personal. Kedua, memelihara dan melayani orang–orang yang sakit. Ketiga, melindungi dan menjaga keluarga untuk tidak mengeluarkan biaya untuk perawatan kesehatan. Who have to pay ? Who have to receive? Pada dasarnya sistem asuransi kesehatan menentukan siapa dan apa yang diterima setelah mendapatkan pelayanan kesehatan tersebut, serta bagaimana pengelolaan asuransi yang baik.

Tarif pelayanan kesehatan setiap tahun mengalami peningkatan. Mengapa traif pelayanan kesehatan meningkat? Life style yang beragam, aging population, inovasi dalam bidang kesehatan, populasi lansia dengan masalah penyakit yang cukup beragam, meningkatnya bidang pengobatan dan inovasi.

Universal coverage melibatkan tiga hal; luas cakupan, lingkup cakupan dan kedalaman cakupan: berapa biaya untuk setiap obat?. Universal coverage di Indonesia 75% member merasa puas dengan penyedia layanan asuransi kesehatan dan 80% kebijakan untuk mendukung program JKN telah terlaksana.

Ikhtisar prinsip farmasi, pertama di industri yaitu sebagai penggerak pertumbuhan di masa depan (pariwisata medis). Kedua, lingkungan yaitu produksi farmasi. Ketiga, pertimbangan Pemerintah dengan mekanisme pembayaran penyedia. Perbedaan dengan pelayanan di Malaysia di bidang farmasi, GP Clinic, RS swasta dan RS pemerintah. Reformasi pembayaran beberapa bisa berpengaruh pada industri farmasi dengan kualitas, hasil inovasi, insfrastruktur, harga. Novartis berkontribusi dalam pemberian manajemen pelayanan kesehatan secara terstruktur dan sustainable dalam sistem pelayanan kesehatan.

Hari ke II PGF

The 6th Postgraduate Forum on Health System and Policy 2015

“Provider Payment Reforms in SEA: Impact and Lessons Learned”

VENUE : Universiti Kebangsaan Malaysia Medical Center (UKMMC)
14 – 15 September 2015

HARI I   |   HARI II

Postgraduate Training in public health – current and future needs

Oleh: Datuk Dr. Lokman Hakim bin Sulaiman-Deputy Director General of Health, Ministry of Health, Malaysia.

Fakta yang terjadi saat ini, terdapat perubahan skenario. Kemudian, interaksi human-animal, emergency-re emergency infection disease threats. Adanya harapan hidup yang meningkat. Perubahan lingkungan dan manusia dalam menginduksi perubahan iklim. Public health harus melanjutkan dengan melakuakan penguatan dan membuat strategi baru. Terdapat banyak isu penyakit karena perjalanan, perdagangan dan cross border.

Malaysia memiliki skenario untuk bidang kesehatan mereka yaitu menyelesaikan masalah kesehatan dengan memperluas program public health. Seperti dalam pengaksesan primary health care. Malaysia selalu memastikan kesehatan dalam setiap tahap kehidupan. Sebagai contoh dalam penanganan diabetes dan dalam penanganan NCD’s. Sehingga dalam sebuah surat kabar pernah menyebutkan “Malaysia has one of the best healthcare system in the world.. Malaysia health care system hailed…Malaysia health care world class”

Topic : Designing and Implementing Provider Payment Reform in Social Health Insurance : Theory vs Practice

Keynote Speaker : Prof. Dato’ Dr. Syed MohamedAljunid
Notulen: Emmy Nirmalasari, MPH

Pada sesi ini, Professor Aljunid membahas pengalaman bagaimana mendesain dan melaksanakan Social Health Insurance di Malaysia.

Social Health Insurance di Malaysia sangat accessible untuk semua kalangan. Artinya Social Health Insurance tidak hanya dapat dijangkau pada masyarakat dengan ekonomi tinggi tapi juga terjangkau untuk masyarakat miskin.

Lebih lanjut, Aljunid membandingkan pengalaman Indonesia menggunakan BPJS dengan Social Insurance.

Untuk keberlangsugan Social Health Insurance yang perlu diperhatikan antara lain effisiensi, control moral hazards, biaya operasional yang tidak lebih dari 10% dan harus diterima oleh stakeholder-stakeholder lain. Kenapa? Karena dengan adanya stakeholder dapat mendukung efisiensi.

Keuntungan menggunakan Social Health Insurance dalam hal ini Casemix antara lain; jika ada resiko mengenai finansial dapat dirundingkan dengan si pemberi dana (funder) dengan provider,casemix bisa mengidentifikasi biaya per kasus, dapat mengembangkan cost containment measures.

Bagaimana mengembangkan casemix?

Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan koding atau mengkode data, mengelompokan data, mengeksplorasi, cleaning dan trimming, serta melakukan cost analisis.

Sesi ini berlangsung sangat interaktif sekali dengan durasi 65 menit.

Reporter: Gerardin Ranind K

Taha Almahbashi
“Peningkatan Kualitas Pentingnya dan Kinerja di Institut Kesehatan profesi Pendidikan di Yaman”

Poin utama untuk penelitian ini adalah untuk menilai peningkatan kualitas di lembaga profesi kesehatan dan difokuskan pada peningkatan perubahan lima dimensi di semua tingkat dalam organisasi (kepemimpinan, kebijakan dan strategie, orang, kemitraan dan sumber daya, dan proses). Menggunakan studi cross-sekte dengan random sampling. Jumlah level untuk pelaksanaan sukses dari scheme.ple HEF: 201/207  90%. Hasil: Kesenjangan tertinggi (-0,81) antara kepentingan dan kinerja peningkatan kualitas layanan pada masyarakat. Kesimpulan: Meningkatkan kepemimpinan akan mempengaruhi kualitas sistem dan memotivasi orang.

Azimatun Noor
“Kemampuan Malaysia dan Kesediaan untuk Bayar untuk Kesehatan dan Faktor yang Mempengaruhi mereka”

Orang-orang yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan menunjukkan perbedaan dalam APT dan WTP. Tujuan penelitian: Untuk mempelajari kemampuan dan kemauan untuk membayar kesehatan oleh individu. Penanya telah melakukan wawancara tatap muka.
Hasil: Mayoritas responden mampu membayar dan bersedia membayar untuk kesehatan mereka, juga mereka menerima dan bersedia untuk berkontribusi untuk Pembiayaan Kesehatan Skema Nasional.

Saysong Somsamouth
“Kepuasan Pasien Terhadap Kesehatan Equity Fund: Sebuah Studi Kasus di Nong Kabupaten Savanket Provinsi Lao PDR”

Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi tingkat kepuasan anggota terhadap skema HEF, dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan anggota di Nong Kabupaten, Provinsi Savannaket Laos. Kepuasan terdiri dari kuratif, uang makan, transportasi, dan co-pembayaran. Analisis deskriptif dengan sampel adalah orang miskin dan berusia lebih dari 15 tahun. Hasil: Perempuan menggunakan layanan lebih dari laki-laki tapi mereka kurang puas dengan layanan dari laki-laki. Kesimpulan: rumah sakit harus fokus pada layanan kesehatan yang berkualitas berorientasi pasien daripada berfokus hanya pada penyakit pasien, dan otoritas harus mengambil tindakan untuk meningkatkan kepuasan anggota.

Irwan Saputra
“Dampak casemix Penggantian di Rumah Sakit Penghasilan Berdasarkan Aceh Program Asuransi Kesehatan”

Melalui Jaminan (Asuransi) Kesehatan Aceh atau JKA, biaya layanan rumah sakit diganti oleh pemerintah daerah. Metode ini membuat sumber daya keuangan di rumah sakit meningkat. JKA yang diintegrasikan ke dalam JKN (Program Asuransi nasional) yang merupakan asuransi dengan metode casemix berdasarkan INA-CBGs. Hasil akhirnya, rumah sakit pemerintah di Aceh yang menggunakan metode casemix, peningkatan pendapatan mereka dan lebih tinggi dari ketika mereka menggunakan JKA atau membayar untuk metode layanan.

Improving Maternal and Child Health in Indonesia Papua Region Through The Implementation of Evidence Based- Planning and Budgeting

Oleh : Tiara Marthias

Masalah kesehatan ibu dan anak di Indonesia memerlukan perhatian khusus oleh pemangku kebijakan, khususnya di daerah Papua. Usaha yang telah dilakukan untuk masalah tersebut diantaranya adalah dengan penguatan perencanaan kapasitas lokal, dengan menggunakan pendekatan EPB dan Budgeting.

Prevalence of Depression, Anxiety and Stress and Its Associated Factors Among Caregivers of Stroke Patients Residing at Home in the Community
Oleh : Ozdalifah Omar

Beberapa pasien penderita pasca stroke mengalami ketidakmampuan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, sehingga dalam melakukan aktivitas sehari-hari harus membutuhkan bantuan orang lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi tingkat kecemasan, depresi dan stress yang dialami oleh caregiver kepada pasien penderita stroke, dengan menggunakan kuesioner skala pengukuran kecemasan dan depresi.

Economic Aspect of Caeserean Section Casemix by Measuring Australian Diagnosis Related Groups (DRG’s) Aplication Based Costing (ABC) System in Hospitals Indonesia.
Oleh: Siti Rahmawati

Penelitian dilakukan karena beberapa hal diantaranya tingginya angka SC dalam proses persalinan, penggunaan teknologi yang sangat mahal, dan penyalahgunaan prosedur dan lamanya waktu tunggu operasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan tarif DRG menggunakan aplikasi “ABC” di rumah sakit Indonesia.

Anxiety , Depression and Quality of life among type 2 Diabetic Patients : Crossectional Study
Oleh : Rafidah Aini

Pada pasien penderita diabetes sering mengalami kecemasan dan depresi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kecemasan, tingkat depresi pada pasien penderita diabetes tipe 2 dengan menggunakan form Hospital Anxiety and Depression (HAD) dan Short Form (SF-36).

Fostering Midwife Performance in Indonesia with Continuous Education
Oleh : Yuli Mawarti

Angka kematian ibu di Indonesia meningkat. Perubahan kondisi ekonomi di Indonesia berdampak pada pelayanan kesehatan. Perlu dilakukan peningkatan kualitas tenaga bidan, seperti training dan pelatihan secara reguler.

SWOT Analysis the Midwife’s Role in Controlling HIV/AIDS in Denpasar Assesment of Barriers and Achievment
Oleh: Ni Komang Yuni Rahyani

Penyebaran penyakit HIV/AIDS di Indonesia masih cukup tinggi. Perlu dilakukan pemerikasaan yang variatif untuk mencegah penyebaran tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilakukan oleh coordinator bidan di beberapa health center di Denpasar dan BPM. Hasil penelitian ini adalah kekuatan utama dalam pengontrolan kasus HIV/AIDS adalah adanya kebijakan untuk pencegahan tersebut yang dilakukan dari pusat ke daerah.

Why Thai Long Term Care Providers in Rural Area Don’t Wait The Patient at the Hospital? : Lamsonthi Distric Model
Oleh : Nalinee

Angka pertumbuhan populasi lansia meningkat, khususnya di daerah Lamsonthi. Populasi lansia di daerah ini sangat miskin dan pemberi pelayanan kesehatan (caregivers) tidak mampu membawa mereka ke pusat kesehatan terdekat, sehingga masalah kesehatan yang terjadi pada lansia terabaikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan hasil kesehatan lansia setelah dilakukan perawatan jangka panjang, dan menganalisis bagaimana pola dan penerapan yang dilakukan (long term care) di daerah tersebut. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perawatan untuk lansia dengan gangguan khususnya masalah kesehatan dapat dilakukan dengan perawatan jangka panjang yang bisa dilakukan di rumah, tanpa harus ke pusat pelayanan kesehatan. Perlu dilakukam kerja sama antara pemberi pelayanan kesehatan dan dinas sosial.

Follow up of Maternal and Perinatal Death of Review in Public Hospital (Case Study in Panemnahan Senopati and Wonosari Public Hospital in DIY)
Oleh: Emmy Nirmalasari

Menurut data SDKI 2012, menyatakan bahwa terdapat peningkatan angka kematian ibu yang cukup signifikan dari tahun 2007 sampai tahun 2012. Penyebab utama kematian tersebut adalh kasus peradarahan, eklampsi, preeklamsi dan infeksi. Dengan kondisi tersebut, pemerintah menggalakkan program AMP (Audit Maternal Perinatal). Penelitiaan ini menunjukkan bahwa follow up rekomendasi pelaksanaan AMP tidak berjalan optimal.

Getting your research output published

Malaysia: Dr. Nor Azlin Mohd Nordin
Indonesia: Dr. Mubasysyir Hasanbasri
Thailand : Dr. Pudtan Phanthunane

Indonesia: Dr. Mubasysyir Hasanbasri
Bagaimana bisa anggota Fakultas dapat memiliki siswa mengembangkan Penelitian mereka diterbitkan. Produk program MPH PhD: Pemecahan masalah manajer atau peneliti. PhD untuk guru pendidikan, gerakan pendidikan sehingga lebih tinggi, dan publikasi internasional menjadi kriteria harus dipenuhi. Apa yang bisa dilakukan untuk membantu siswa untuk mengejar cita-cita sebagai peneliti?

Ada beberapa poin perlu ditangani:

  1. harus dipilih mahasiswa muda yang ingin dipromosikan menjadi peneliti daripada menjadi agen atau manajer pemerintah
  2. masalah kadang-kadang datang dari dosen, sebagai dosen mungkin tidak seorang peneliti, sehingga mereka alami tidak bisa benar-benar secara alami menghasilkan sesuatu yang mereka tidak tahu
  3. untuk melibatkan mahasiswa dalam proyek penelitian, masalahnya jika proyek hanyalah proyek konsultan bukan proyek penelitian akhir sehingga tidak bisa dipublikasikan secara internasional
  4. menulis paper untuk publikasi internasional dengan professor. Profesor dan mahasiswa harus benar-benar bekerja sama untuk menghasilkan paper tersebut
  5. jika mahasiswa menghasilkan paper, maka diserahkan ke jurnal nasional, untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam membuat paper dan mempromosikan mereka yang ingin menjadi seorang peneliti.

Thailand: Dr. Pudtan Phanthunane

Penelitian Tinjauan Studi:

  • Meta analysiss
  • Analisis isi

Menggunakan Data primer
Menggunakan Data Sekunder

Publikasi Nasional: faktor dampak Thai, TCI Internasional

Contoh: tesisnya dalam penelitian skizofrenia di Thailand
Konseptual kerangka tesis “Skizofrenia di Thailand: Mengaktifkan informasi yang lebih baik untuk solusi yang efisien”
Tujuan: tujuan Umum, ia memiliki empat tujuan, masing-masing dapat dipublikasikan, jadi dia akan memiliki empat publikasi OE bahkan lebih dalam jurnal yang sama atau berbeda.
Analisis inti: harus cocok dengan kompetensi Anda. Siapa Anda? Apa ahli Anda?

Konferensi Publikasi adalah hal lainnya. Kehidupan peneliti harus gigih dalam mengembangkan penelitian, pembuatan paper, pemikiran atas penolakan kadang-atau bahkan sering untuk membuatnya diterbitkan.

Publikasi ini sangat penting bagi kami untuk berbagi apa yang kita lakukan untuk orang lain untuk membuatnya memiliki manfaat untuk orang lain dan masyarakat, membuatnya berguna dalam bidang mereka, memberikan kontribusi nyata bagi implementasi yang relevan.

Malaysia: Dr Nor Azlin Mohd Nordin

UKM, Fisiotherapist-Rehabilitasi, Neurologi, Biaya program yang efektif.

Kendala:

  • Keterampilan menulis akademik terbatas
  • Kurangnya pengalaman dalam publikasi
  • Jadwal thight
  • Kurangnya bimbingan atau dukungan

Solusi:

Strategi yang diusulkan:

  • Meningkatkan keterampilan menulis: membaca, menulis gaya penulis lain, menghadiri akademik menulis saja, latihan, latihan dan praktek
  • Temukan jam paling produktif Anda: mencoba waktu yang berbeda dari hari, hari kerja vs akhir pekan, sendiri atau dalam kelompok. Tambahkan beberapa fasilitas apakah yang akan membuat Anda bekerja lebih baik, misalnya musik yang ingin Anda dengar dan bisa menyemangati. Minum cokelat, kopi, es krim, atau apa pun untuk menyelamatkan zona dan membuat Anda lebih produktif. Remove apa yang tidak maka perlu dari otak Anda, sehingga otak Anda akan lebih ringan dari beban yang tidak perlu dan Anda akan merasa lebih ringan dan lebih kreatif.
  • Bergaul dengan teman baik Anda, belahan jiwa yang baik atau kelompok untuk meningkatkan keterampilan menulis Anda. Menjaga lingkungan Anda yang positif bagi pengembangan tulisan Anda, Anda mungkin akan lebih memilih untuk menemukan kelompok dari ruang cyber, menemukan kelompok pelajar menulis di internet. Ini yang kami sebut dukungan sebaya untuk meningkatkan tata bahasa Anda, ejaan dan lain-lain
  • Dorong diri Anda: mulai awal, konsisten, menetapkan target yang handal dan menjadi murid untuk mengikuti target Anda.
  • Menghadiri lokakarya penulisan naskah dan menetapkan target untuk menerbitkan surat-surat Anda sebelum lulus (itu adalah semacam target Anda harus mematuhi)
  • Jadilah positif, memiliki sikap positif untuk supervisor Anda.
  • Publikasikan kertas diterbitkan sebelum Anda memiliki ujian resmi tesis Anda. Itu akan menjadi peluru di tangan Anda.
  • Reward diri ketika Anda capai target Anda, kecil tapi sering setelah menyelesaikan setiap bagian, dan memanjakan diri dengan sesuatu yang signifikan ketika Anda selesai seluruh kertas dan mendapatkannya diterbitkan.

Closing remarks Postgraduate Forum 2015

Reporter: Emmy Nirmala, MPH

Pada sesi ini Professor Dato’ DR.Syed Mohamed Aljunid mengundang Professor Laksono Trisnantoro dan Professor Supasit Pannarunothai untuk maju ke podium. Sebelum closing Aljunid mempersilakan masing-masing dari mereka untuk melontarkan pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang disampaikan pada sesi-sesi sebelumnya dan memberikan reward berupa buku bagi yang bisa menjawab pertanyaan.

Professor Dato’ DR.Syed Mohamed Aljunid berterima kasih atas kehadiran seluruh partisipan dan disampaikan. Professor Laksono lalu menambahkan bahwa Postgraduate berikutnya akan diselenggarakan pada tanggal 3-4 Maret 2016 di Yogyakarta dengan topik Non-Communicable Disease, Universal Health Coverage. Deadline for abstract subbmission 27th November 2015. Pengumuman abstrak tanggal 15 Desember 2015. Peserta dari UKM Malaysia, Naresuan University Thailand, Songkla University Thailand dan United Nation University serta tuan rumah Universitas Gadjah Mada dibebaskan biaya pendaftaran. Professor Dato’ DR.Syed Mohamed Aljunid menutup acara. Tambahan dari Songkla University Thailand. Dekan dari Universitas ini mengenalkan univeritasnya sebagai anggota baru dalam forum Postgraduate ini.