Kompetensi Dasar sebagai Konsultan

video part 1  video part 2

Minggu Keempat akan membahas kompetensi dasar sebagai konsultan yang meliputi dua tema, yaitu review minggu lalu dan memahami ketrampilan dasar sebagai konsultan. Hal yang mendasari dalam pencarian kebutuhan klien ialah apa kebutuhan, demand, kemampuan finansial, apakah kebutuhan klien tergantung pada politik? Dari konsultan Dinas Kesehatan menyatakan dalam waktu dekat akan ada penguatan Dinkes Kabupaten/kota, ada dua calon klien yang akan bergabung. Sementara, divisi MRS, sasaran kliennya ialah RS didorong untuk menjadi rujukan nasional, sasaran yaitu Aceh dan NTT. Gubernur Aceh ingin 6 RS menjadi rujukan regional. Sementara, harapan ke depan ialah NTT menjadi RS regional Flores.

Pertanyaan mendasar yaitu bagaimana mempengaruhi klien agar makin berkeinginan untuk menggunakan jasa konsultan? Hal ini akan coba dibahas dalam tema ‘pakem’. Pakem tersebut akan didiskusikan selama satu bulan. Klien sebagai narasumber, paket apa yang bisa dilakukan? Harus jelas kontraknya. Ketua kelompok kerja yang akan membahas pakem.

  Diskusi

Prof. Laksono sebagai pemateri dalam acara ini menyatakan masukannya untuk salah seorang peserta webinar, konsultan data manajemen dapat berdiri sendiri, bukan bagian KIA.

Heru Ariyadi dari ARSADA mempertanyakan pakem dapat dijadikan paket, kriterianya apa?. Prof. Laksono, misal ada dana swakelola, paket tergantung pada situasi klien. Jadi, harus melihat kriteria klien dari berbagai aspek tergantung dana dan sistem kontrak tiap daerah.

Hersumpana menanyakan bagaimana cara melihat kebutuhan klien? bagaimana cara mendeteksi kebutuhan tersebut? Prof. Laksono menyatakan kebutuhan mereka besar namun belum terekspresikan. Sehingga para konsultan harus proaktif dalam diskusi misalnya, untuk meyakinkan perlu ada pendampingan. Maka, butuh keaktifan konsultan.

Konsultan harus memiliki sejumlah kompetensi, antara lain kompetensi teknis, umum dan kketrampilan/perilaku konsultan.Kompetensi yaitu keadaan dimana seseorang dianggap mampu menangani suatu hal sesuai bidangnya. Jika tidak memahami kebutuhan klien, maka akan sulit. Misal, ada RS rujukan karena kebijakan BPJS bersinggungan dengan aspek politik, social dan budaya.

Maka, sejumlah teknis mutlak harus dimiliki konsultan, yaitu teknik wawancara, ambil data, komunikasi dan sebagainya. Selain itu, konsultan harus update informasi sebanyak mungkin.

Hersumpana mempertanyakan bagaimana cara mencari klien? Prof Laksono menjawab, melalui ikut/tandem dengan senior. Hal ini menarik jika klien membutuhkan jasa untuk memperbaiki lrembaganya maka perlu didampingi tim konsultan dari salah satu firma -> misal: obsgin, epidemolog dan IT.

M. Faozi menanyakan apa indikator untuk mendeteksi kemampuan konsultan atau ada penilaian khusus? Prof. Laksono menjawab belum ada teknologi yang mampu memilah kualitas konsultan dengan baik. Belum pernah ada testing tertulis, tes terbaik yaitu try out langsung- melalui training konsultan ini. Lalu, bagaimana memulai hubungan dengan calon klien? Melalui tender/cara lain? Anda harus memiliki CV yang menarik.

M. Faozi mempertanyakan kembali, kesulitan di PKMK, PKMK tidak bisa masuk ke tender padahal tender merupakan prasyarat keuangan. Prof. Laksono memberikan solusi, yaitu PT Gama Multi- tender untuk ke luar. Selain itu, kemitraan jangka panjang, itu yang diarapkan.

Anastasia Susty mempertanyakan bagaimana menyadarkan tentang kebutuhan jika tidak terkait langsung bisnis utama?. Prof. Laksono menegaskan RS harus mempunyai laporan akuntansi. Tidak bisa membangun laporan tanpa pendampingan konsultan.
Hanevi Djasri mempertanyakan di PKMK, bagaimana cara membangun kepercayaan konsultan muda, saat pemaparan data belum tentu dipercayai. Prof. Laksono, kita harus rumuskan pakem cara berpikir dalam menyelesaikan masalah. Maka, melalui pakem kita akan menemukan trik untuk mendapatkan kepercayaan.

Selanjutnya, kisah PKMK FK UGM yang sedang mendampingi Dinkes Balikpapan untuk Manual Rujukan (MR KIA). Program ini akan mengajak Unmul untuk dilibatkan. Hal tersebut disambut baik Unmul melalui perwakilannya, yaitu Krispinus Duma. Melalui kegiatan tersebut, Unmul dapat berfungsi baik untuk wilayah sekitarnya hingga Kaltim.

Hal lain yang menjadi keresahan Prof Laksono ialah banyaknya konsultan asing yang bekerja di Indonesia. Prfof. Laksono dan Ina Herawati akan membawa rekomendasi ke Kemenlu agar Kemenku dapat menerbitkan ijin kerja untuk konsultan internasional itu jika mereka melibatkan orang Indonesia.

Hersumpana mempertanyakan bagaimana cara agar mudah melobi? Prof. Laksono menjawab, kita harus jeli melihat kebutuhan dan karakter klien sebelum menentukan teknik lobi. Hal ini juga menjawab pertanyaan Mulyadi (Aceh), apakah ada pedoman meyakinkan klien?
Proses kegiatan konsultan meliputi diagnosis, rencana, pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan mengakhiri.

Dwi Handono mempertanyakan dalam konsultasi, permintaan klien berkembang.Bagaimana biar bisa seimbang? Prof. Laksono menyarakan jika ada yang baru, maka kontrak baru tanpa tender (wid).

 

 

Kompetensi dan Pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjadi Konsultan Profesional

back  kembali ke Jadwal   video part 1  video part 2

Bagian I

28feb1Memulai kegiatan pelatihan konsultan yang dihadiri oleh peserta yang berasal dari Yogyakarta, Nanggroe Aceh Darussalam, dan peserta yang berasal dari berbagai tempat lain yang dihubungkan dengan metode webinar. Prof Laksono sebagai pemateri dalam pertemuan kali ini membuka kegiatan bersama peserta dari Aceh.

Pada bagian pertama dalam sesi ini dibuka dengan penjelasan konsepsi dasar konsultan. Dijelaskan bahwa konsultan adalah orang yang mampu mengemban dan menyelesaikan tugas atau permasalahan tertentu. Untuk itu, sebagai konsultan harus dapat memiliki ketrampilan antara lain, pertama, ketajaman dan pemahaman bisnis; kedua, manajemen proyek pengembangan pribadidan professional; ketiga, memiliki cara berpikir proaktif dan analitis; keempat, intelegensi emosi; kelima, komunikasi efektif dan interpersonal; keenam, profesionalisme dan etika.

Namun, jika melihat pasar saat ini. Mereka sebagai konsultan harus mengetahui keahliannya pada bidang apa saja. Konsultan juga disarankan untuk tidak boleh secara teoritis namun harus secara riil dapat menggambarkan dan memberi target dalam mengatasi suatu masalah. Prof. Laksono selanjutnya menambahkan bahwa konsultan juga seharusnya pandai berkomunikasi efektif dengan klien dan harus betul-betul memahami klien serta kasus-kasus yang dihadapi.

Pertanyaan pertama dalam pelatihan ini dilontarkan oleh Heru Aryadi terkait adanya subspesialisasi pada PPK BLUD, manajemen keuangan dan lainnya saat ini. Pemateri memaparkan bahwa saat ini belum ada konsultan yang sangat spesialis dalam bidang-bidang itu.

Pertanyaan selanjutnya terkait persepsi yang berbeda pada hasil akhir terkait dokumen dan hasil analisis, namun sering sekali kerjasama belum dinyatakan selesai dan menimbulkan masalah antara dua pihak. Prof Laksono menjelaskan bahwa kontrak yang jelas pada awal kerjasama tidak akan mengakibatkan hal seperti demikian akan terjadi. Sehingga akhir hubungan kerja dapat menyenangkan bagi kedua belah pihak.

Pertanyaan dari Hanevi Djasri (peneliti PKMK FK UGM) menyangkut kompetensi yang harus dimiliki konsultan, maksudnya bukan hanya penulisan laporan ataukah hanya kompetensi terkhusus. Pemateri menjelaskan diskusi dan materi pada pekan ini dan selanjutnya menyangkut kompetensi apa yang dimiliki dan apa yang dibutuhkan oleh seorang konsultan.

Pertanyaan berikutnya datang dari Putu Eka (penetkiti PKMK FK UGM) yang menyatakan bahwa Intelligent emotional (dimiringkan) sangat diperlukan oleh seorang konsultan, maka mentoring perlu dilakukan oleh konsultan senior kepada konsultan muda. Pak Laksono menjawab bahwa hal tersebut memang jarang ditemukan, namun akan dijawab khusus pada salah satu sesi mendatang.

Bagian II

28-2Diskusi pada bagian kedua diawali oleh diskusi kecil mengenai identifikasi klien setiap tim/divisi. Beberapa divisi diberikan kesempatan untuk memaparkan klien yang membutuhkan jasa mereka. Dalam materi ini juga disampaikan bahwa lembaga konsultan dapat lebih baik menghadapi tantangan dibandingkan dengan konsultan individu, sebab konsultan individu tidak mampu menyelesaikan masalah manajemen.

Dalam lembaga konsultan atau firma terdapat beragam pelaku yang bekerjasama. Pelaku itu terdiri atas pemimpin projek, negosiator,penasehat konseptual, analis, penulis laporan, hingga pelaku di lapangan. Sementara itu, tingkatan konsultan dalam pelaku itu dapat dibagi kedalam konsultan utama, menengah, dan konsultan muda.

Muh. Faozi (peneliti PKMK FK UGM) memberikan pandangan tentang salah satu hambatan konsultan pada divisinya sendiri yang dinilai belum memadai, yaitu pada saat klien meminta laporan yang memiliki tata bahasa asing yang baik. Maka hal tersebut perlu meng-hire (dimiringkan) tenaga ahli lainnya.

Elisabeth dari PKMK FK UGM menanyakan penentuan level konsultan lembaga yaitu penggolongan utama, menengah, dann muda. Dari pertanyaan tersebut, Prof. Laksono menyampaikan bahwa mereka yang disebut senior ketika sudah menjalani proses: magang, bekerja sekian tahun dan dipercaya klien. Namun, yang terpenting untuk dapat disebut konsultan harus lulus kompetensi dasar dulu.

Atik Tri Ratnawati menanyakan apakah seorang konsultan harus menguasai banyak keahlian seperti penguasaan software? Atau cukup tahu dan orang lain yang mengerjakan? Jawaban dari Prof Laksono menyatakan bahwa hal tersebut akan bergantung situasi. Untuk konsultan manajemen harus menguasai statistik, untuk analis khusus maka harus menguasai beberapa hal sekaligus.

Pertanyaan terakhir dari pertemuan ini disampaikan oleh Putu Eka dari PKMK FK UGM terkait jenis konsultan yang paling baik di antara konsultan firma dan perorangan. Jawaban dari Prof. Laksono menyatakan sebaiknya bergabung dalam firma/lembaga konsultan.

 

 

“Pakem” Sebagai Pegangan Kerja

7mart-1

  kembali ke Janodwal  video part 1  video part 2  video part 3

7mart-1Sesi pelatihan konsultan kali ini dimulai pada pembagian kelompok konsultan. Peserta yang tergabung dalam kegiatan ini terdiri dari peserta webinar dari dinas kesehatan NAD, Jakarta, Kalimantan, dan peserta dari RSUP Sardjito dan konsultan PKMK yang melakukan tatap muka langsung di Yogyakarta. Kelompok pelatihan terbagi atas kelompok konsultan KIA, manajemen penyakit menular, manajemen rumah sakit, pembiayaan kesehatan, pengelolaan data dan informasi, kebijakan/program penanggulangan bencana, dan kelompok konsultan manajemen mutu dan pemberantasan fraud/korupsi.

Materi yang disampaikan oleh Prof Laksono menekankan pemahaman pakem bagi setiap konsultan. Menurut beliau, setiap konsultan membutuhkan pakem dalam pelaksanaan konsultasi. Hal ini disebabkan karena masalah yang dihadapi klien tidak dianggap sebagai suatu proses seni yang sulit direkayasa dan dilakukan berulang, melainkan memiliki target yang jelas dan pola yang terarah. Seperti yang dicontohkan pada dokter spesialis yang mengatasi masalah dengan kerangka konsep yang jelas.

Setiap kasus dalam pemberian jasa konsultan perlu melihat kompleksitas masalah yang tentunya akan menggunakan pakem beragam pula. Pengatasan masalah dilakukan dengan pemahaman mendalam oleh konsultan. Permintaan jasa konsultasn berasal dari dua hal pokok, yaitu klien yang memiliki masalah dan membuthkan pendampingan, dan ekspresi yang ditunjukkan oleh klien dalam hal permintaan pendampingan kepada konsultan.

Pertanyaan pertama dalam pelatihan ini datang dari bapak Martinus Sutena yang menanyakan tentang cara penentuan masalah dalam suatu daerah apakah ditentukan oleh konsultan atau klien itu sendiri. Prof Laksono memaparkan bahwa jasa konsultan akan diminta oleh para klien yang mengekspresikan kebutuhan/permasalahannya.

Pertanyaan berikutnya berasal dari Mustofa yang menanyakan cara memberi pemahaman kebutuhan kepada klien. Prof Laksono sendiri menjawab bahwa hal tersebut harus menjadi salah satu keterampilan konsultan. Pelatihan ini akan mencoba mengembangkan keterampilan tersebut untuk setiap konsultan.

Sementara komentar dari Cristinus menyatakan bahwa pekerjaan konsultan kedengarannya memiliki sebuah gengsi, namun jika jenis konsultan adalah individu maka masih tetap susah ditemukan oleh klien-klien yang membutuhkan. Heru Ariadi menambahkan bahwa klien sering menghadapi kendala internal salah satunya adalah hal mendasar seperti keterbatasan SDM dan alat kesehatan di rumah sakit. Namun terkadang klien tersebut tidak dapat melakukan dan memungsikan kemampuan eksternal. Mereka sendiri tidak tahu untuk melakukan apa dengan masalah yang dihadapi.
Prof Laksono menyebutkan bahwa unsur konsultan, klien, dan penyandang dana merupakan konteks proyek di Indonesia. selain itu, jasa konsultan tetap harus menerapkan prinsip proyek karena pada prinsipnya proyek dan kosultan memiliki target dan masa kerja yang jelas.

Ina hernawati menceritakan pengalaman terkait pada proyek kementrian yang pernah mengadakan bidan desa di salah satu daerah, namun kompetensi bidan yang didistribusikan di daerah tidak begitu baik, sehingga capaian target menjadi terhambat. Pelaksanaan proyek ini dilihat tidak seharusnya hanya berlangsung selama 3 tahun. Selain itu monitoring dan evaluasi dari lembaga indepent harus dilaksanakan pada saat pertengahan dan akhir kegiatan agar kinerja dapat optimal.
Prof Laksono menanggapi dengan menunjukkan contoh pada evaluasi MDG yang dianggap berhasil atau gagal. Pusat harus membawa program yang lebih detil ke kab/kota untuk memperjelas pola tindakan dan pola kerja yang dilakukan. Dalam hal seperti ini seharusnya melibatkan konsultan yang independen. tim yang berani, dan memiliki tantangan atau hasil yang jelas. Tidak semata pada peningkatan angka K1 tapi penurunan kematian absolut.
Paket-paket dalam pakem dapat dikelompokkan dalam beberapa macam pertimbangan seperti penyesuaian pada kebutuhan kliem, kemampuan klien, hingga kelayakan pelaksanaan. Pengalaman seperti ini dapat dibagikan oleh para konsultan senior kepada para konsultan muda. Dalam system pemaketan ini biasanya para konsultan lebih cenderung mencari masalah yang besar seperti pada AKB tinggi di suatu daerah dikarenakan hasil dari sebuah intervensi akan terlihat sangat signifikan atau tampak menunjukkan perubahan AKB.

Pertanyaan dari peserta di Aceh terkait perbedaan pakem yang diterapkan dalam projek. Prof Laksono menjawab bahwa pelatihan ini dikembangkan untuk menyusun sebuah pakem baru, dan ajang pembelajaran bagi konsultan muda diluar waktu kerja. Sehingga selain saran dari konsultan senior, para konsultan perlu mencari referensi pendukung pakem yang disusun bersama.

 

 

PKMK FK UGM Resmi Membuka Pelatihan Konsultan

 

rteater

Memahami pekerjaan Konsultan di bidang Kesehatan dan “Pakem”
sebagai pegangan kerja

materi  video

PRA SESI

  • Kegiatan pelatihan dilakukan dengan para senior (konsultan), sehingga menjadi ajang untuk pembelajaran bagi para konsultan/peneliti muda
  • Perorangan cara webinar
  • Perkenalan anggota PKMK (peneliti/konsultan) dan Pusdatin Kemenkes
  • Penjelasan mengenai latar belakang dan gambaran kegiatan pelatihan konsultan
  • Pembasan jadwal pelatihan
  • Materi terkait materi dasar konsultan, kompetensi, hingga pembahasan klien
  • Pertanyaan : ada solusi jika tidak dapat hadir dalam webinar? Based on webinar sehingga dapat dilakukan dimanapun, selain itu pada website telah disediakan video pelatihan sebelumya.

SESI I

  • Siapa konsultan itu? Pemberi saran yang telah dianggap expert di bidangnya
  • Perbedaan dosen, surveyor/peneliti dan konsultan
  • Konsultan ada karena klien membutuhkan jasa seseorang yang mampu menyelesaikan masalahnya
  • Konsultan memiliki kemampuan peneliti, problem solving, dan lainnya.
  • Terdapat perbedaan antara konsultan manajemen dan teknis,
  • Konsultan manajemen membutuhkan skill tersendiri yang dibangun biasanya lebih lama.
  • Ciri konsultan manajemen yaitu berhadapan dengan eksekutif puncak, membutuhkan citra yang baik, harus mempunyai kemampuan tinggi, berorientasi pada puncak dan klien
  • Kunci keberhasilan konsultan adalah bagaimana memberi kepastian pada tingkat keberhasilan.
  • Menjadi konsultan yang lebih baik dengan memberi hasil yang riil.
  • Apakah dapat diterapkan konsultan teknis sekaligus manajemen dalam proyek? Jawaban; konsultan manajemen dan teknik itu akan berbeda sesuai dengan pekerjaannya. Kosultan teknik biasanya jelas asosiasinya, namun konsultan manajemen hingga saat ini belum jelas
  • Pertanyaan : diagnosa vs akar masalah? Diagnosa dan akar masalah sebenarnya tidak ada bedanya
  • Bagaimana membedakan konsultan manajemen dan teknis? Caranya, dengan menjelaskan kepada klien tentang kompetensi konsultan agar tidak terjadi multitafsir.
  • Konteks pemberian solusi adalah fungi konsultan
  • Pendapat: konsultan sebagai pendamping, harus menghilangkan ego. Sebab ego masih sering dimiliki para dosen dan peneliti.
  • Pendapat: konsultan bukan sepenuhnya pendampingan karena setiap konsultan dapat melakukan eksekusi dan bertanggung jawab hingga akhir projek
  • Pertanyaan: konsultan manajemen harus memiliki altenatif yang lain karena masalah kesehatan biasanya memiliki masalah lainnya.
  • Konsep evidence based dapat diterapkan oleh konsultan agar dapat ditawarkan kepada klien

Notulen: Faisal Mansur (Asisten Peneliti PKMK FK UGM)

Jadwal Pelatihan Pengembangan Konsultan Manajemen Kesehatan

klik disini

 

 

 

Seminar Kepemimpinan dalam Penelitian Kebijakan Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan oleh pihak Independen

underline

 

JADWAL

KEGIATAN   

 

10.00-10.10

Pembukaan oleh Prof. Laksono Trisnantoro    

materi

10.10-10.20 

Pemaparan materi oleh Prof. Laksono Trisnantoro

video

  Pembahasan Oleh:   
10.20-10.30  Togar Siallagan – Kepala Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan Pusat  materi  video
10.30-10.40  dr. Arida Oetami, M.Kes – Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY materi  video
10.40-10.50  dr. Budiono Santoso, MSc, PhD – FK UGM materi  video
10.50-11.00  Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA – FK UGM video
11.00-12.00  Diskusi dan tanya jawab video 


Pentingnya Peran Leadership dalam Penelitian Monev yang Dilakukan Perguruan Tinggi

Poin yang disampaikan Prof. Laksono :

Permasalahan kesehatan banyak yang belum terselesaikan.

  1. AKI yang tidak kunjung turun
  2. TB yang permasalahannya terungkap makin meningkat, dari segi cost dan sebagainya.
  3. Dari sisi obat, penyelenggaraan pengadaan obat masih menimbulkan masalah. Salah satu pabrik obat melakukan kesalahan, yaitu anaestesi Buvanest Spinal tertukar dengan Asam Trakseranat.
  4. Penyelenggaraan JKN yang diduga memicu terjadinya kasus fraud.

Selama ini, penyelenggaraan program kesehatan oleh Dinas Kesehatan tidak dikontrol melalui monev oleh pihak independen. Kontrol kualitas dan output dari suatu program kesehatan berbeda dengan Dinas Pekerjaan Umum yang terbiasa dengan keberadaan pihak monev independen. Di Dinas PU, Bahkan monev independen ini justru memiliki sekian persen dari anggaran untuk pembiayaannya. Sementara, dinas kesehatan belum terbiasa dengan ini.

Dampak tidak adanya monev independen, akhirnya terjadi ketidaklengkapan sistem kesehatan. Bappenas paling diharapkan untuk merealisasikan gagasan perlunya anggaran untuk kegiatan monev independen.

Bagaimana seharusnya?

Sumber anggaran untuk Monev ini bisa 1% dari anggaran BPJS untuk kegiatan monev independen.
Salah satu caranya yaitu mendorong Dinkes Provinsi dan DInkes Kabupaten/Kota yang selama ini telah menjalin kerja sama untuk monev independen namun masih bersifat sukarela. Faktanya, belum ada dana khusus, maka perlu juga mendorong juga untuk peningkatan jumlah konsultan monev independen (bukan sekedar surveyor). Ke depan, perlu kampanye untuk para pemimpin di lembaga penelitian untuk pentingnya meningkatkan peran PT/lembaga penelitian sebagai konsultan monev independen. Selain itu, dibutuhkan juga kampanye untuk policy maker agar menyadari kebutuhan monev indpenden sebagai bagian dari sistem kesehatan.

  Poin penting yang disampaikan Dr. Budiono Santoso

Hal yang perlu diwujudkan ialah Universal access, dimana setiap orang berhak mendapat pelayanan bahkan meski tidak datang ke pelayanan kesehatan. Faktanya, ketersediaan obat dan vaksin 2010 – 2014 : pelaporan yang diberikan adalah nilai uang dari komoditas obat di daerah. Tetapi tidak mencerminkan ketersediaan komoditas obat tersebut (contoh: tidak tersedia oksitosin di PKM). Banyak Provinsi dan Kabupaten yang ketersediaan obatnya lebih dari 100%, sebaliknya terjadi kekurangan di level faskes primer. Kemudian, perbandingan harga e-catalog dengan international referrence price : harga obat di Indonesia di bawah 100% standar internasional. Kemungkinan yang dapat terjadi yaitu kualitas obat buruk

Dampaknya:

  1. Perlu adanya ketaatan supplier
  2. Mutu obat yang tidak terjaga
  3. Ketersediaan obat yang kurang
  4. Kesehatan industri generik : kita mempunyai success story untuk industry generik selama 40 tahun. Namun, penerapan kebijakan populis yang tidak berdasarkan bukti, tidak realistis. Karena pabrik obat dari India dan China yang murah dengan kualitas buruk, membuat pabrik obat yang bagus selama 40 tahun ini gulung tikar.

Pilihan :

  • Jejaring pemantauan di provinsi dan kabupaten
  • Jejaring pemantauan di PT/pusat penelitian/NGO
  • Pemantauan difokuskan pada indikator2 yang peka (pusat sering tidak menggunakan indikator yang peka)
  • Memanfaatkan IT
  • Sistem monitoring yang dinamis (jangan laporan tahunan)


  Poin penting yang disampaikan dr. Arida Oetami:

Peran Dinkes dalam Monev Pelaksanaan JKN
Banyak peraturan yang sudah ada untuk JKN. Namun, bagaimana posisi dinas kesehatan untuk menyiapkan fasyankes (melakukan monitoring)? Salah satunya melalui Diskusi Komisi VIII Rakernas Fraud yang melibatkan, peserta BPJS, faskes dan BPJS.
Monev khusus dapat dilakukan pihak yang memang mengurus hal tersebut, yaitu OJK untuk monev kesehatan keuangan BPJS, kemudian DJSN untuk monev kepesertaan serta Kemkes untuk monev faskes.

Temuan:

Ada praktik menarik dana kapitasi ke praktek mandiri, Puskesmas (PKM) jam 11 siang sudah tidak melayani. Namun, usai jam tersebut, dokter mantan PKM ini kemudian membuka praktek sendiri di samping PKM. Temuan lain menyatakan satu tahun pasca JKN, belum ada peningkatan untuk kondisi faskes, faktanya: tidak tersedia MgSO4 tidak ada di PKM tapi ada di tempat praktek mandiri.
Lalu, kemampuan Dinkes dalam monev terbatas. Muncul Forum Koordinasi Jamkesta yang dipimpin Sekda Provinsi. Kemudian, evaluasi pelayanan BPJS (forum kemitraan) juga dilakukan. Badan Pengawas RS (hingga saat ini tidak didanai kemkes) meski sudah ada regulasinya namun belum ada anggaran untuk honorarium. Kesimpulannya, jadi kebutuhan monev sudah ada namun tradisi di sektor kesehatan belum ada sehingga ini tradisi ini melemahkan akuntabilitas bidang kesehatan kita.


  Poin penting yang disampaikan Togar Siallagan (DJSN) :

Skema Monev JKN menyatakan adanya peran lembaga pengawas independen dalam skema monev JKN bersama DJSN. Pengawas eksternal yaitu BPJS Watch, Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Serikat pekerja dan lain-lain. BPJS sudah banyak melakukan kerja sama dengan PT hanya belum secara resmi. Jadi, program Kemitraan sudah dianggarkan dan sudah direalisasikan serta dashboard JKN sudah dibuat dengan Anis Fuad (FK UGM). Kebijakan yang ada yaitu sebaiknya menggunakan dana operasional yang diberikan pemerintah kepada pihak BPJS atau jangan presentase 0,5% dari 40 trilyun (iuran kepesertaan). Faktanya, pola belum jelas, peran monev masih dalam kerangka lembaga keuangan (OJK dan BPK).


  Poin penting yang disampaikan Dr. Mubasysyir Hasanbasri:

Semua badan merasa sudah mempunyai sistem monev. Tetapi menempatkan perguruan tinggi (PT) sebagai pihak monev independen masih menimbulkan kekhawatiran. Jangan-jangan PT bisa jadi sama saja dengan semua lembaga yang mengklaim sudah melakukan monev selama ini. Selama ini bahkan PT pemimpinnya lebih memiliki menjadi politisi yang sebenarnya tidak memperjuangkan kepentingan publik tetapi cenderung kepentingan pribadi yang dikedepankan. Padahal seharusnya PT itu sebagai leader yang fokus memperjuangkan kepentingan publik.

Perlu tidak?
Sebenarnya ingin mengatakan tidak perlu karena lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki pemimpin yang tidak memiliki hati. Maka, lebih tepat kita sebut kita bersama-sama mengubah dan memperbaiki lembaga tsb untuk memiliki hati, good governance. Bukan profesional karena belum tentu memiliki hati. PT memiliki tantangan, membutuhkan leadership yang komitmen sehingga tidak mengedepankan kepentingan pribadi, kepentingan lembaga PT. Maka gerakan yang tepat adalah koalisi lembaga penelitian dan koalisi perguruan tinggi bergerak bersama (pergerakan sosial) sehingga kepentingan pribadi menjadi minimal.

Sesi Diskusi :

  1. Dominirsep Dodo menanyakan
    1. Data sekunder tersentral di Pusat dan tidak dimiliki kantor cabang penelitian. Jadi peneliti local sulit mengaksesnya.
    2. Lalu, peneliti local menemukan kantor cabang tidak melayani wawancara untuk keperluan penelitian.

      Togar (DJSN) :
    1. Memang data sekunder terpusat, masukan akan diterima dan akan disosialisasikan bagaimana cara/prosedur memperoleh data tersebut
    2. Prosedur dan sosialisasi akan ditingkatkan oleh BPJS Pusat dengan daerah.

      Prof. Laksono:
    1. Gubernur Riau ingin memperoleh data agar bisa merumuskan kebiajkan terutama terkait program kesehatan yang bisa dilakukan di level pemda.
    2. Perlu SOP untuk pengajuan permohonana data. Contoh email permohonan, 1 jam kemudian data sudah diterima BPJS daerah untuk diberikan kepada pemohon.
  2. dr. Endang mengkonfirmasi untuk permohoanan keperluan data yang lebih lengkap, apakah bisa?
    Togar (DJSN) : segera menindaklanjuti agar pihak BPJS melengkapi data yang diinginkan.
  3. Dr. Budiono : Sebaiknya desentralisasi software untuk data JKN atau akan tetap sentralisasi?
    Togar (DJSN) : Kita masih terpusat, namun apabila dibutuhkan maka data akan di-share. Ke depan mulai tahun ini, monev akan dilakukan maksimal melalui sistem website, kode diberikan kepada Bupati untuk melihat utilisasi (bukan clear dananya).
  4. Prof. Laksono, Kekhawatiran pemanfaatan dana BPJS di daerah rural justru digunakan oleh daerah maju (kota).
    Togar (DJSN) : JKN itu prinsipnya membaur, sehingga memang ada persilangan dana. Maka kewajiban peningkatan utilisasi ada di pihak pemda dan bukan di pihak BPJS (karena prinsip membaur dan pengelolaan dana). Jika perspektif Prof. Laksono tadi maka akan menimbulkan reaksi dari berbagai pihak speerti kalangan pemuda dengan utilisasi lebih oleh kelompok lansia.
  5. Dr. Budiono : Lebih tepat fokus dulu pada OOP yang bisa diminimalkan dengan BPJS. Pihak BPJS merupakan lembaga yang masih terus berkembang.
  6. dr. Arida menambahkan penerjemahan hasil penelitian para akademisi oleh birokrat. Para birokrat diharapkan tidak terlalu awam dengan hasil penelitian akademisi untuk direalisasikan dalam kebijakan pemerintah.
  7. Prof. Laksono menyatakan leadership perlu terutama dengan prinsip trust antar pihak. Prinsip menari tango, harus kedua belah pihak yang saling trust. Kalau trust tidak terbangun, maka justru akan saling menyakiti. Kewajiban PT itu adalah mengingatkan, apa yang mungkin terjadi 5 tahun ke depan jika hal ini terus berlanjut.

Closing statement :

  • dr. Arida Oetami : Dinkes memerlukan PT untuk pihak monev indpenden.
  • Togar (DJSN) : Tahun 2015 BPJS siap untuk memajukan monev dengan konsep input dan impact oelh pihak PT, jadi bukan monev struktural.
  • Dr. Mubasysyir : Monev selama ini digunakan untuk mengubah mindset dan untuk kepentingan pribadi atau lembaga. Lepaskan, fokus pada kepentingan publik.
  • Dr. Budiono : memajukan dan memanfaatkan teknologi informasi. Indonesia harus bisa memaksimalkan teknologi informasi terutama dalam monev dan transparansi.
  • Prof. Laksono : akhir yang menarik, tetapi mengawali proses yang lebih panjang setelah ini. Para pembahas sepakat bahwa monev indpenden perlu dilakukan.

Pembahasan oleh Prof. Laksono :

Data yang ditampilkan oleh dr. Arida : lembaga perguruan tinggi masih menjadi penonton dalam sistem permainan JKN. Para pihak (BPJS, PPK, Peserta) sedang bermain dengan model yang belum sempurna. Kami, PKMK bermaksud memfasilitasi Perguruan Tinggi untuk mengikuti pelatihan konsultan. Para pengambil keputusan bisa mengikuti seminar-seminar yang bisa menjadi inspirasi dalam pengambilan keputusan. Biaya 10 juta rupiah bisa mengikuti pelatihan ini bagi PT, Blended Learning selama tiga bulan ke depan.

Anis Fuad (FK UGM) :

Terkait tenaga peneliti internal BPJS masih minimal, tetapi sistem data sudah bagus (jauh lebih bagus dari kemkes). Tetapi kerahasiaan data masih penting untuk di-filter sebelum dibagai ke daerah. Karena banyak friksi yang mungkin muncul karena content data yang menunjukan lemahnya cleaning data dari faskes.

Kesimpulan :

Transparansi data penting terutama untuk pedoman perumusan dan pengelolaan bidang kesehatan di lokal/daerah. Baik pemangku kepentingan maupun universitas di daerah akan bisa memanfaatkan kekayaan data ini sehingga tidak hanya menjadi penonton.

Notulen: Dhini Rahayu Ningrum (Asisten Peneliti PKMK FK UGM)

 

  Apa yang terjadi di tahun 2015 ini?

Kebijakan JKN BPJS mengatur besaran klaim rasio di atas 100%. Klaim rasio sangat tinggi terutama untuk kelompok non-PBI mandiri. Pihak BPJS sendiri mengharapkan kenaikan premi karena tahun 2014 sudah menggunakan dana talangan. Kemudian, pertanyaan yang muncul yaitu : Apakah kenaikan premi tidak disertai dengan perbaikan pemerataan yang mendapatkan manfaat BPJS dan meningkatkan efisiensi (termasuk mengurangi fraud?)

Pelayanan KIA, masih banyak Kabupaten/Kota yang jumlah kematian ibu dan bayinya meningkat. Pertanyaannya, Apakah target MDG akan tercapai?
Untuk program TB, Ada pemburukan situasi, pertanyaannya: Bagaimana sistem pengawasan dari Global Fund yang mendanai kegiatan pengurangan TB?.

Manajemen obat, kebijakan e-procurement berjalan dengan berbagai masalah tanpa ada kejelasan solusi. Di dalam pemberian obat juga terjadi masalah pada labeling sehingga produk obat dari PT K ditarik dari seluruh Indonesia.

“Mengapa terjadi situasi ini?”

Pada tahun 2014 atau era JKN, BPJS mengelola dana sekitar 40 Triliun . Dana ini diserahkan ke pelayanan primer melalui pembayaran kapitasi dan pelayanan rujukan melalui pembayaran klaim INA-CBGs. Jika diamati, penggunaan atau pemanfaatan dana Rp 40 Triliun ini dilakukan tanpa diikuti sistem monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Sementara itu, potensi penyimpangan dana sangat besar, seperti yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen.

Kementerian Kesehatan juga mempunyai berbagai program antara lain pencegahan penyakit menular dan tidak menular, KIA,serta pelayanan rumah sakit. Saat ini, di Kementerian Kesehatan juga tidak ada tradisi melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Akibatnya, kinerja kegiatan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian Kesehatan belum dapat dinilai dan berbagai program seperti usaha penurunan kematian ibu dapat dikatakan belum berhasil ditangani. Akhir-akhir ini, dilaporkan juga bahwa pelaksanaan kebijakan TB dan kebijakan obat juga bermasalah.

  Beda Sektor Kesehatan dengan Pekerjaan Umum

Sektor kesehatan berbeda dengan sektor pekerjaan umum, dimana seluruh proyek PU selalu mempunyai komponen perencanaan dan pengawasan oleh pihak independen. Dengan demikian, kebijakan dan proyek-proyek PU dapat disebut lebih akuntabel dibanding kebijakan dan program kesehatan. Kegagalan proyek fisik lebih dapat diketahui dan dicegah dibanding dengan proyek kesehatan. Patut dicatat, program kesehatan sama dengan proyek PU yang dapat membahayakan nyawa manusia. Kegagalan program kesehatan dapat menambah kematian yang tidak perlu misalnya kematian ibu yang seharusnya dapat dicegah.

Oleh karena itu, adanya Monitoring dan Evaluasi merupakan suatu keharusan dan diperlukan perjuangan untuk mewujudkannya. Apa masalahnya? Dalam anggaran Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan/BPJS tidak ada anggaran untuk melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan. Hal ini berbeda dengan sektor Pekerjaan Umum dimana selalu ada sekitar 5 % anggaran dipergunakan untuk monitoring dan evaluasi oleh pihak independen.

  Budaya tidak diawasi dan tidak adanya peraturan

Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan BPJS tidak mempunyai tradisi menjadi obyek monitoring dan evaluasi secara independen. Monev oleh pihak luar dalam program Kemenkes dan BPJS tidak ada dalam peraturan. Selama ini juga tidak ada tradisi monitoring dan evaluasi pihak luar. Kemenkes dan DinKes merencanakan kebijakan dan program, melaksanakan, dan mengevaluasi sendiri tanpa ada pihak luar yang membantu.

Dinas Kesehatan sebagai perpanjangan tangan Kementerian Kesehatan sebagai pengawas sistem pelayanan kesehatan di propinsi dan kabupaten/kota mempunyai kelemahan khususnya kekurangan tenaga ahli. Sebagai gambaran, dalam upaya menjamin mutu pelayanan dan keselamatan pasien, akibatnya kebijakan dan program kesehatan di Indonesia berjalan tanpa ada logika yang tepat. Terjadi apa yang disebut sebagai kesulitan atau hambatan dalam menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan atau program.

  Bagaimana seharusnya?

Kemenkes dan BPJS perlu menyadari bahwa kebijakan dan program kesehatan seharusnya dimonitor dan dievaluasi oleh pihak independen di level nasional. Harapannya dapat terjadi akuntabilitas, transparansi dan peningkatan efektivitas pelaksanaan kebijakan dan program. Di propinsi dan kabupaten kota, Kemenkes perlu mengaktifkan Dinas Kesehatan sebagai pengawas sistem kesehatan yang dapat bekerja sama dengan pihak independen.

Sebagai contoh: Dinas Kesehatan perlu mengaktifkan pengawasan sistem kesehatan. Bidang pelayanan kesehatan dan yang bertugas untuk memberi perijinan tenaga dan fasilitas kesehatan (rumah sakit dan pelayanan primer) di Dinas Kesehatan perlu ditingkatkan kemampuan dan otoritasnya, termasuk pengawasan pelayanan BPJS. Mengingat lemahnya Dinas Kesehatan dalam pengawasan, maka fungsi ini sebaiknya dibantu oleh pendidikan tinggi dan/atau lembaga swasta yang mampu melakukan Monitoring dan Evaluasi serta investigasi secara independen.

  Ketidaksiapan lembaga independen melakukan monitoring dan evaluasi

Sebagaimana telur dan ayam, karena selama ini tidak ada anggaran dan kebijakan monitoring dan evaluasi independen, maka jarang ada lembaga yang mampu melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Para dosen/peneliti Perguruan Tinggi belum terbiasa meneliti kebijakan kesehatan khususnya monev. Secara khusus, para dosen tidak terbiasa menyusun proposal penelitian kebijakan dan manajemen. Selain, tugas pokok mereka yaitu beban mengajar yang berat. Padahal di setiap Propinsi sebaiknya ada satu unit penelitian/lembaga yang dapat menjalankan fungsi sebagai tim independen untuk perencanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan. Bahkan di Propinsi besar seperti Jawa Tengah diperlukan lebih dari satu pusat. Sementara itu, lembaga penelitian swasta di sektor kesehatan juga belum banyak yang melakukan monitoring dan evaluasi. Kondisi ini perlu diperbaiki, salah satunya melalui kegiatan ini.

Apa yang perlu dilakukan?

  1. Meningkatkan kepemimpinan para peneliti di sektor kesehatan, khususnya dalam monitoring dan evaluasi;
  2. Meningkatkan kemauan atau minat para pemimpin/pengambil kebijakan di sektor kesehatan untuk melakukan monitoring dan evaluasi;

Strategi Kegiatan:

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM memulai kampanye untuk terselenggaranya Monitoring dan Evaluasi oleh pihak independen melalui berbagai cara, salah satunya melalui seminar.

  Waktu & tempat pelaksanaan

Hari : Rabu, 25 Februari 2015
Waktu  : Pukul 10.00 – 12.00 Wib.
Tempat  : Ruang Theater Gedung Perpustakaan Lt.2 FK UGM

 

Pembicara: Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc PhD

attach  materi presentasi

Pembahas:

  • Dr. Budiono Santoso, M.Sc PhD
  • Kepala Biro Perencanaan Kemenkes
  • Kepala Dinas Kesehatan DIY
  • BPJS Pusat

Kampanye dilakukan melalui kegiatan pasca Seminar pada bulan Maret – Mei 2015 yang menggunakan Blended Learning dan penulisan Policy Brief untuk berbagai pihak.

Pengembangan Pelatihan dengan Pendekatan Blended Learning dilakukan untuk:

  1. Para peneliti di bidang kesehatan dengan judul Pengembangan Kemampuan Lembaga Perguruan Tinggi untuk melakukan Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan;
  2. Para pengambil kebijakan/pejabat yaitu Apa yang harus dilakukan oleh Kemenkes, BPJS, dan DInas Kesehatan di tahun 2015 untuk terselenggaranya Monev oleh pihak independen.


  Pendaftaran:

Sdr. Wisnu Firmansyah
Gedung IKM Baru Lt.2 Sayap Utara
Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp/Fax (hunting) (+62274) 549425
Kontak: 081215182789
email: [email protected]  

Materi Memahami Konsultan & Kompetensi Dasar Konsultan Diselenggarakan oleh: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan

underline

  LATAR BELAKANG

Sektor kesehatan di Indonesia saat ini membutuhkan banyak konsultan manajemen rumahsakit, konsultan mutu pelayanan rumahsakit, konsutlan manajemen program KIA sampai ke sistem pembiayaan. Kebutuhan ini tidak disertai dengan ketersediaan tenaga konsultan yang cukup, dan masih minimnya anggaran untuk konsultan. Oleh karena itu pelatihan ini diselenggarakan agar terjadi keseimbangan yang lebih baik antara kebutuhan dengan ketersediaan konsutan yang bermutu.

Pelatihan ini mempunyai metode on the job-training yang terdiri atas 2 Tahap. Pelatihan tatap muka dan web (Tahap 1) diperuntukkan agar materi dapat dilihat secara keseluruhan. Namun perlu ditekankan bahwa Pelatihan tidaklah cukup. Peserta harus langsung bekerja bersama tim dengan bimbingan konsultan senior untuk mulai melakukan kegiatan. Pelatihan Tahap 1 harus diikuti dengan pendampingan langsung di lembaga klien (Tahap 2). Untuk itu para peserta diharapkan sudah mempunyai Proyek Konsultasi, atau sedang mencari proyek riil.


  TUJUAN

Pelatihan ini secara umum bertujuan untuk meningkatkan kemampuanpara peserta sebagai konsultanmanajemen rumah sakit.

Secara khusus tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah untuk mengembangkan:

  1. Memahami pekerjaan sebagai konsultan;
  2. Memahami kompetensi dasar sebagai konsultan;
  3. Menerapkan pemahaman ini ke dalam kegiatan sebagai konsultan.

 

  JADUAL

Tahap 1: Persiapan Konsultasi

Kegiatan Minggu 1:

Rabu 25 Februari 2015

  1. Memahami peran konsultan, dosen perguruan tinggi, peneliti, dan surveyor dalam manajemen lembaga dan program di sektor kesehatan;
  2. Menyadari kebutuhan dan ketersediaan konsultan dalam manajemen kesehatan;
  3. Melakukan pendalaman mengenai konsep “pakem” dalam pekerjaan sebagai konsultan manajemen.

materi  reportase

Sabtu  28 Februari 2015: Pukul  10.00 – 12.00

  1. Memahami kompetensi dasar yang diperlukan sebagai konsultan.
  2. Melakukan identifikasi calon klien atau profil klien.

materi  reportase

Kegiatan Minggu 2: Sabtu, 7 Maret 2015, pukul 08.30– 10.00

Menyiapkan “Pakem” sebagai pedoman isi untuk melakukan konsultasi.

materi  reportase

Kegiatan Minggu 3: Sabtu, 14 Maret 2015, pukul 10 – 12.00

  • Kompetensi dalam memahami lingkungan organisasi (Politik, Ekonomi. Sosial, Teknologi, Hukum, Lingkungan)
  • Kompetensi dalam mengelola hubungan dengan Klien
  • Kompetensi mengelola proses konsultasi: membentuk hubungan, memberikan hasil konsultasi, dan mengakhiri hubungan kerja. Termasuk ketrampilan menulis.
  • Kompetensi dalam menggunakan berbagai fasilitas konsultasi
  • Kompetensi dalam mengelola praktek sebagai konsultan, termasuk hubungan interpersonal

materi  reportase

Kegiatan Minggu 4: Sabtu 28 Maret 2015, pukul 10.00 – 12.00

  • Ketajaman dan pemahaman mengenai business
  • Manajemen Proyek
  • Pengembangan pribadi dan professional
  • Cara berfikir proaktif dan analitis
  • Inteligensia emosional
  • Komunikasi efektif dan interpersonal
  • Profesionalisme dan Etika

materi 1  materi 2  materi diskusi  reportase 

Kegiatan Minggu 5: Sabtu 4 April 2015, pukul 10.00 – 12.00

Menyusun Plan of Action untuk pengembangan tim konsultan.

  • Memulai kegiatan konsultasi
  • Sistem Kontrak Kerja.
  • Diagnosis di lembaga klien
  • Merencanakan kegiatan
  • Pelaksanaan kegiatan
  • Monitoring dan Evaluasi
  • Mengakhiri

reportase

 

Tahap 2: Melakukan Pekerjaan Konsultasi (bulan April – Mei 2015)

Pembahasan Kasus 1,2,3 dan 5.

                      Skema Kegiatan

            gb1a

Tahap 2

gb2

 

Kegiatan Minggu 1: Proyek dan Manajemen Proyek

materi  reportase

Kegiatan Minggu 2: Manajemen Proyek

Harmein Harun 

Supriantoro – Peran IKKESINDO dalam sertifikasi tenaga ahli konsultan kesehatan

materi  reportase

 

Kegiatan Minggu 3: asd

Broto Wasisto – Kode Etik Kosultan Kesehatan

materi

Anita Lestari – Kecerdasan Emosional dan Komunikasi

materi 1  materi 2  reportase 

Kegiatan Minggu 4: 

Sealvy Kristianingsih – Penggunaan Microsoft Project / Project Libre dalam Mengelola Suatu Kegiatan

materi  reportase

 

Struktur Pelatihan

Para peserta diharapkan membentuk kelompok. Kegiatan mingguan pada hari Sabtu merupakan kegiatan bersama. Sementara itu kegiatan pasca tatap muka dalam 1 minggu merupakan kegiatan yang perlu direncanakan sendiri oleh tiap kelompok.

 

  PENDAFTARAN

Wisnu Firmansyah
PKMK FK UGM, Gedung IKM Sayap Utara,
Jalan Farmako Sekip Utara Yogyakarta
Telpon/Fax: 0274 549425
email: [email protected] 

 

 

Blended Learning Pengembangan Kemampuan Lembaga Perguruan Tinggi/Konsultan untuk Melakukan Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan

underline

Blended Learning

Pengembangan Kemampuan Lembaga Perguruan Tinggi/Konsultan untuk Melakukan Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan

Periode Februari – Mei 2015

 

  PENDAHULUAN

Di era JKN tahun 2015 ini, sektor kesehatan di Indonesia membutuhkan dukungan penelitian kebijakan, khususnya dalam rangka monitoring dan evaluasi independen dalam pelaksanaan berbagai kebijakan kesehatan. Sebagai gambaran BPJS mengelola dana sekitar 40 Triliun rupiah setiap tahun.

Dana ini diserahkan ke pelayanan primer melalui pembayaran kapitasi dan pelayanan rujukan melalui pembayaran klaim INA-CBGs. Saat ini diamati pelaksanaan dana sebesar Rp 40 Triliun ini dilakukan tanpa ada system monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Sementara itu potensi penyimpangan dana sangat besar, seperti yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen.

Kementerian Kesehatan juga mempunyai berbagai program antara lain di pencegahan penyakit menular dan tidak menular, KIA, pelayanan rumah sakit. Saat ini di Kementerian Kesehatan juga tidak ada tradisi melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Akibatnya, kinerja kegiatan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian Kesehatan belum dapat dinilai dan berbagai program seperti usaha penurunan kematian ibu dapat dikatakan belum berhasil ditangani. Akhir-akhir ini dilaporkan juga bahwa pelaksanaan kebijakan TB juga bermasalah.

Oleh karena itu adanya Monitoring dan Evaluasi merupakan suatu keharusan dan diperlukan perjuangan untuk mewujudkannya. Apa masalahnya?

  Ketidak biasaan diawasi dan tidak adanya peraturan

Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan BPJS tidak mempunyai tradisi menjadi obyek monitoring dan evaluasi secara independen. Monev oleh pihak luar dalam program Kemenkes dan BPJS tidak ada dalam peraturan.

  Bagaimana seharusnya?

Kemenkes dan BPJS perlu menyadari bahwa kebijakan dan program kesehatan seharusnya dimonitor dan di evaluasi oleh pihak independen di level nasional. Harapannya dapat terjadi akuntabilitas, transparansi dan peningkatan efektifitas pelaksanaan kebijakan dan program. Di propinsi dan kabupaten kota, Kemenkes perlu mengaktifkan Dinas Kesehatan sebagai pengawas sistem kesehatan yang dapat bekerja sama dengan pihak independen.

  Ketidaksiapan lembaga independen melakukan monitoring dan evaluasi

Saat ini jarang ada lembaga yang mampu melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Para dosen/peneliti Perguruan Tinggi belum terbiasa meneliti kebijakan kesehatan khususnya monev.

  TUJUAN UMUM DAN KHUSUS KEGIATAN PENGEMBANGAN

Program ini bertujuan untuk memperkuat sisi perguruan tinggi dan/atau lembaga penelitian untuk menjadi pihak independen dalam melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan kesehatan.

  • Secara umum bertujuan agar perguruan tinggi mampu untuk mengembangkan unit penelitian kebijakan.
  • Secara khusus, diharapkan mampu untuk melakukan monitoring dan evaluasi untuk pelaksanaan berbagai kebijakan kesehatan. Dalam tujuan ini ada dua yaitu:
    1. Tujuan Perorangan
      Diharapkan para peserta yang berada di perguruan tinggi mampu untuk :
      1. Melakukan penelitian kebijakan, khususnya monitoring dan evaluasi
      2. Menjadi tenaga ahli yang melakukan networking dengan berbagai pihak.
      3. Mengembangkan kemampuan personal untuk menjadi tenaga ahli/konsultan dalam sektor kesehatan.
    1. Tujuan Kelembagaan
      1. Memperkuat lembaga sebagai sebuah lembaga penelitian dan konsultan kebijakan kesehatan;
      2. Secara khusus menyiapkan lembaga sebagai pihak yang mampu melakukan monitoring dan evaluasi secara independen.

  SASARAN PESERTA

Universitas-universitas di Indonesia

  • Universitas Andalas
  • Universitas Riau
  • Universitas Mulawarman
  • Universitas Syah Kuala
  • Universitas Nusa Cendana
  • Universitas Jendral Soedirman
  • Universitas Gadjah Mada

Fakultas Kedokteran UGM:

  • PKMK
  • KP-MAK
  • PRO

Berdasarkan tujuan kegiatan maka peserta Program Pengembangan adalah Unit Peneliti di perguruan tinggi atau lembaga penelitian swasta, dengan anggota-anggota yang terdiri dari pihak manajemen dan peneliti.

Para peserta setiap lembaga minimal 5 orang yang terdiri dari 2 orang (minimal) pemimpin dan staf administrasi lembaga; dan 3 orang (minimal) staf peneliti.

Catatan:
Kegiatan ini diusahakan dilakukan secara tandem. Ada dua kegiatan di suatu wilayah: Kepada Dinas Kesehatan setempat, serta ke perguruan tinggi/lembaga penelitian yang berada di daerah tersebut.

  WAKTU KEGIATAN

Kegiatan dilakukan dalam waktu 3 bulan ke depan sejak bulan Maret, April, sampai dengan Mei 2015 dengan menggunakan model Blended Learning, yakni menggabungkan antara metode pembelajaran tatap muka dengan teknologi teleconference (jarak jauh) menggunakan program Webinar.

MODUL YANG DIBAHAS

Kelompok 1: Mengelola sebuah Lembaga Penelitian yang dapat menjadi pelaku monitoring dan evaluasi independen, agar :

  • Memahami ketrampilan manajemen untuk mengelola lembaga peneltian
  • Mampu mengembangkan Kepemimpinan dalam lembaga.

Kelompok 2: Meningkatkan kemampuan peneliti untuk menjadi :

  • Tenaga Technical Assistance dan konsultan
  • Melakukan monitoring dan evaluasi ke beberapa kebijakan penting seperti JKN dan KIA.
  • Mengembangkan kemampuan melakukan komunikasi dan networking.

  LANGKAH-LANGKAH PELATIHAN

  1. Membentuk tim kerja, atau tim dari pusat penelitian/lembaga penelitian yang terdiri dari kelompok 1 (tim manajemen), dan Kelompok 2 (tim peneliti).
  2. Menyiapkan sistem telekomunikasi dan ruangan untuk pelaksanaan pelatihan jarak-jauh.
  3. Menyiapkan anggaran untuk pelatihan yang terdiri atas:
    1. Fee ke UGM sebesar Rp 10 juta rupiah per kelompok (maksimal 5 orang). Apabila ada tambahan orang maka akan dikenakan biaya Rp 1 juta rupiah per orang.
    2. Dana untuk pertemuan-pertemuan internal
    3. Dana untuk menghadiri pertemuan tatap muka. Apabila tidak ada dana untuk tatap muka, maka kegiatan dilakukan secara webinar.

 

  INFORMASI DAN PENDAFTARAN

Sdr. Wisnu Firmansyah, S.IP
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lantai 2
Jalan Farmako Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Telp/Faks : 0274 – 549425 (hunting)
Email: [email protected] 

 

 

Monitoring dan Evakuasi Kebijakan dan Program Kesehatan Oleh Pihak Independen

underline

MONITORING DAN EVALUASI KEBIJAKAN DAN PROGRAM KESEHATAN
OLEH PIHAK INDEPENDEN:
“Apa yang harus dilakukan oleh Kemenkes, BPJS, dan
Dinas Kesehatan di Tahun 2015?”

Periode Februari – Mei 2015

 

  PENDAHULUAN

Di era JKN tahun 2015 ini, sektor kesehatan di Indonesia membutuhkan dukungan penelitian kebijakan, khususnya dalam rangka monitoring dan evaluasi independen dalam pelaksanaan berbagai kebijakan kesehatan. Sebagai gambaran BPJS mengelola dana sekitar 40 Triliun setiap tahun.

Dana ini diserahkan ke pelayanan primer melalui pembayaran kapitasi dan pelayanan rujukan melalui pembayaran klaim INA-CBGs. Saat ini diamati pelaksanaan dana sebesar Rp 40 Triliun ini dilakukan tanpa ada system monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Sementara itu potensi penyimpangan dana sangat besar, seperti yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen.

Kementerian Kesehatan juga mempunyai berbagai program antara lain di pencegahan penyakit menular dan tidak menular, KIA, pelayanan rumah sakit. Saat ini di Kementerian Kesehatan juga tidak ada tradisi melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Akibatnya, kinerja kegiatan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian Kesehatan belum dapat dinilai dan berbagai program seperti usaha penurunan kematian ibu dapat dikatakan belum berhasil ditangani. Akhir-akhir ini dilaporkan juga bahwa pelaksanaan kebijakan TB juga bermasalah.

Oleh karena itu adanya Monitoring dan Evaluasi merupakan suatu keharusan dan diperlukan perjuangan untuk mewujudkannya. Apa masalahnya?

  Ketidak biasaan diawasi dan tidak adanya peraturan

Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan BPJS tidak mempunyai tradisi menjadi obyek monitoring dan evaluasi secara independen. Monev oleh pihak luar dalam program Kemenkes dan BPJS tidak ada dalam peraturan.

  Bagaimana seharusnya?

Kemenkes dan BPJS perlu menyadari bahwa kebijakan dan program kesehatan seharusnya dimonitor dan di evaluasi oleh pihak independen di level nasional. Harapannya dapat terjadi akuntabilitas, transparansi dan peningkatan efektifitas pelaksanaan kebijakan dan program

  Ketidak siapan lembaga independen melakukan monitoring dan evaluasi

Saat ini jarang ada lembaga yang mampu melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Para dosen/peneliti Perguruan Tinggi belum terbiasa meneliti kebijakan kesehatan khususnya monev.

  TUJUAN KEGIATAN PENGEMBANGAN

Program ini bertujuan untuk memperkuat Pengambil Kebijakan di Kemenkes, Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten serta BPJS untuk melaksanakan kegiatan Monitoring dan Evaluasi oleh pihak independen.

Setelah mengikuti kegiatan ini diharapkan para peserta:

  1. Menyadari perlunya Monitoring dan Evaluasi oleh pihak independen
  2. Memahami bahwa kegiatan Monev pihak independen dapat dilakukan secara nyata
  3. Mampu mengalokasikan anggaran untuk keperluan Monitoring dan Evaluasi oleh pihak independen di tahun 2015

Catatan:
Kegiatan ini diusahakan dilakukan secara tandem. Ada dua kegiatan di suatu wilayah: Kepada Dinas Kesehatan setempat, serta ke perguruan tinggi/lembaga penelitian yang berada di daerah tersebut.

  SASARAN PESERTA

  • Pejabat Kementerian Kesehatan yang berwenang
  • Pejabat Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten yang berwenang
  • Pimpinan BPJS Pusat, Regional dan Cabang.

  WAKTU KEGIATAN

Kegiatan dilakukan dalam waktu tiga bulan ke depan pada bulan Maret, April, sampai Mei 2015 dengan menggunakan pendekatan Blended Learning Executive Seminar melalui tatap muka atau jarak jauh

Topik yang dibahas dalam Seminar Eksekutif antara lain:

  • Memahami mengapa perlu monitoring dan evaluasi secara independen. Apa risikonya apabila tidak melakukan monev independen?
  • Memahami berbagai kebijakan yang membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen;
    • Pembahasan kasus KIA
    • Pembahasan kasus dana BPJS
  • Memahami anggaran-anggaran yang dapat dipergunakan untuk monitoring dan evaluasi secara independen
  • Memahami teknik kontrak

  LANGKAH-LANGKAH PELATIHAN

  1. Membentuk tim kerja
  2. Menyiapkan sistem telekomunikasi dan ruangan untuk pelaksanaan pelatihan jarak-jauh.
  3. Menyiapkan anggaran untuk pelatihan yang terdiri atas:
    1. Fee ke UGM sebesar Rp 10 juta rupiah per kelompok (maksimal 5 orang). Apabila ada tambahan orang maka akan dikenakan biaya Rp 1 juta rupiah per orang.
    2. Dana untuk pertemuan-pertemuan internal
    3. Dana untuk menghadiri pertemuan tatap muka. Apabila tidak ada dana untuk tatap muka, maka kegiatan dilakukan secara webinar.

 

  INFORMASI DAN PENDAFTARAN

Sdr. Wisnu Firmansyah, S.IP
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lantai 2
Jalan Farmako Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Telp/Faks : 0274 – 549425 (hunting)
Email: [email protected] 
Kontak: 081215182789

 

 

Seminar Kepemimpinan dalam Penelitian Kebijakan Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan oleh pihak Independen

underline

Seminar Kepemimpinan dalam Penelitian Kebijakan
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan oleh pihak Independen

Rabu, 25 Februari 2015  |  Pukul 10.00 – 12.30 Wib
di Ruang Theater Gedung Perpustakaan Lt.2 FK UGM

Acara dapat diikuti melalui Webinar dan informasi lebih jauh dapat disimak melalui:

www.kebijakankesehatanindonesia.net

 

  Apa yang terjadi di tahun 2015 ini?

Kebijakan JKN BPJS mengatur besaran klaim rasio di atas 100%. Klaim rasio sangat tinggi terutama untuk kelompok non-PBI mandiri. Pihak BPJS sendiri mengharapkan kenaikan premi karena tahun 2014 sudah menggunakan dana talangan. Kemudian, pertanyaan yang muncul yaitu : Apakah kenaikan premi tidak disertai dengan perbaikan pemerataan yang mendapatkan manfaat BPJS dan meningkatkan efisiensi (termasuk mengurangi fraud?)

Pelayanan KIA, masih banyak Kabupaten/Kota yang jumlah kematian ibu dan bayinya meningkat. Pertanyaannya, Apakah target MDG akan tercapai?
Untuk program TB, Ada pemburukan situasi, pertanyaannya: Bagaimana sistem pengawasan dari Global Fund yang mendanai kegiatan pengurangan TB?.

Manajemen obat, kebijakan e-procurement berjalan dengan berbagai masalah tanpa ada kejelasan solusi. Di dalam pemberian obat juga terjadi masalah pada labeling sehingga produk obat dari PT K ditarik dari seluruh Indonesia.

“Mengapa terjadi situasi ini?”

Pada tahun 2014 atau era JKN, BPJS mengelola dana sekitar 40 Triliun . Dana ini diserahkan ke pelayanan primer melalui pembayaran kapitasi dan pelayanan rujukan melalui pembayaran klaim INA-CBGs. Jika diamati, penggunaan atau pemanfaatan dana Rp 40 Triliun ini dilakukan tanpa diikuti sistem monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Sementara itu, potensi penyimpangan dana sangat besar, seperti yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen.

Kementerian Kesehatan juga mempunyai berbagai program antara lain pencegahan penyakit menular dan tidak menular, KIA,serta pelayanan rumah sakit. Saat ini, di Kementerian Kesehatan juga tidak ada tradisi melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Akibatnya, kinerja kegiatan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian Kesehatan belum dapat dinilai dan berbagai program seperti usaha penurunan kematian ibu dapat dikatakan belum berhasil ditangani. Akhir-akhir ini, dilaporkan juga bahwa pelaksanaan kebijakan TB dan kebijakan obat juga bermasalah.

  Beda Sektor Kesehatan dengan Pekerjaan Umum

Sektor kesehatan berbeda dengan sektor pekerjaan umum, dimana seluruh proyek PU selalu mempunyai komponen perencanaan dan pengawasan oleh pihak independen. Dengan demikian, kebijakan dan proyek-proyek PU dapat disebut lebih akuntabel dibanding kebijakan dan program kesehatan. Kegagalan proyek fisik lebih dapat diketahui dan dicegah dibanding dengan proyek kesehatan. Patut dicatat, program kesehatan sama dengan proyek PU yang dapat membahayakan nyawa manusia. Kegagalan program kesehatan dapat menambah kematian yang tidak perlu misalnya kematian ibu yang seharusnya dapat dicegah.

Oleh karena itu, adanya Monitoring dan Evaluasi merupakan suatu keharusan dan diperlukan perjuangan untuk mewujudkannya. Apa masalahnya? Dalam anggaran Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan/BPJS tidak ada anggaran untuk melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan. Hal ini berbeda dengan sektor Pekerjaan Umum dimana selalu ada sekitar 5 % anggaran dipergunakan untuk monitoring dan evaluasi oleh pihak independen.

  Budaya tidak diawasi dan tidak adanya peraturan

Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan BPJS tidak mempunyai tradisi menjadi obyek monitoring dan evaluasi secara independen. Monev oleh pihak luar dalam program Kemenkes dan BPJS tidak ada dalam peraturan. Selama ini juga tidak ada tradisi monitoring dan evaluasi pihak luar. Kemenkes dan DinKes merencanakan kebijakan dan program, melaksanakan, dan mengevaluasi sendiri tanpa ada pihak luar yang membantu.

Dinas Kesehatan sebagai perpanjangan tangan Kementerian Kesehatan sebagai pengawas sistem pelayanan kesehatan di propinsi dan kabupaten/kota mempunyai kelemahan khususnya kekurangan tenaga ahli. Sebagai gambaran, dalam upaya menjamin mutu pelayanan dan keselamatan pasien, akibatnya kebijakan dan program kesehatan di Indonesia berjalan tanpa ada logika yang tepat. Terjadi apa yang disebut sebagai kesulitan atau hambatan dalam menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan atau program.

  Bagaimana seharusnya?

Kemenkes dan BPJS perlu menyadari bahwa kebijakan dan program kesehatan seharusnya dimonitor dan dievaluasi oleh pihak independen di level nasional. Harapannya dapat terjadi akuntabilitas, transparansi dan peningkatan efektivitas pelaksanaan kebijakan dan program. Di propinsi dan kabupaten kota, Kemenkes perlu mengaktifkan Dinas Kesehatan sebagai pengawas sistem kesehatan yang dapat bekerja sama dengan pihak independen.

Sebagai contoh: Dinas Kesehatan perlu mengaktifkan pengawasan sistem kesehatan. Bidang pelayanan kesehatan dan yang bertugas untuk memberi perijinan tenaga dan fasilitas kesehatan (rumah sakit dan pelayanan primer) di Dinas Kesehatan perlu ditingkatkan kemampuan dan otoritasnya, termasuk pengawasan pelayanan BPJS. Mengingat lemahnya Dinas Kesehatan dalam pengawasan, maka fungsi ini sebaiknya dibantu oleh pendidikan tinggi dan/atau lembaga swasta yang mampu melakukan Monitoring dan Evaluasi serta investigasi secara independen.

  Ketidaksiapan lembaga independen melakukan monitoring dan evaluasi

Sebagaimana telur dan ayam, karena selama ini tidak ada anggaran dan kebijakan monitoring dan evaluasi independen, maka jarang ada lembaga yang mampu melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Para dosen/peneliti Perguruan Tinggi belum terbiasa meneliti kebijakan kesehatan khususnya monev. Secara khusus, para dosen tidak terbiasa menyusun proposal penelitian kebijakan dan manajemen. Selain, tugas pokok mereka yaitu beban mengajar yang berat. Padahal di setiap Propinsi sebaiknya ada satu unit penelitian/lembaga yang dapat menjalankan fungsi sebagai tim independen untuk perencanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan. Bahkan di Propinsi besar seperti Jawa Tengah diperlukan lebih dari satu pusat. Sementara itu, lembaga penelitian swasta di sektor kesehatan juga belum banyak yang melakukan monitoring dan evaluasi. Kondisi ini perlu diperbaiki, salah satunya melalui kegiatan ini.

Apa yang perlu dilakukan?

  1. Meningkatkan kepemimpinan para peneliti di sektor kesehatan, khususnya dalam monitoring dan evaluasi;
  2. Meningkatkan kemauan atau minat para pemimpin/pengambil kebijakan di sektor kesehatan untuk melakukan monitoring dan evaluasi;

Strategi Kegiatan:

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM memulai kampanye untuk terselenggaranya Monitoring dan Evaluasi oleh pihak independen melalui berbagai cara, salah satunya melalui seminar.

  Waktu & tempat pelaksanaan

Hari : Rabu, 25 Februari 2015
Waktu  : Pukul 10.00 – 12.00 Wib.
Tempat  : Ruang Theater Gedung Perpustakaan Lt.2 FK UGM

 

Pembicara: Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc PhD

attach  materi presentasi

Pembahas:

  • Dr. Budiono Santoso, M.Sc PhD
  • Kepala Biro Perencanaan Kemenkes
  • Kepala Dinas Kesehatan DIY
  • BPJS Pusat

Kampanye dilakukan melalui kegiatan pasca Seminar pada bulan Maret – Mei 2015 yang menggunakan Blended Learning dan penulisan Policy Brief untuk berbagai pihak.

Pengembangan Pelatihan dengan Pendekatan Blended Learning dilakukan untuk:

  1. Para peneliti di bidang kesehatan dengan judul Pengembangan Kemampuan Lembaga Perguruan Tinggi untuk melakukan Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan;
  2. Para pengambil kebijakan/pejabat yaitu Apa yang harus dilakukan oleh Kemenkes, BPJS, dan DInas Kesehatan di tahun 2015 untuk terselenggaranya Monev oleh pihak independen.

  Pendaftaran:

Sdr. Wisnu Firmansyah
Gedung IKM Baru Lt.2 Sayap Utara
Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp/Fax (hunting) (+62274) 549425
Kontak: 081215182789
email: [email protected]  

 

 

Hari ke V The 14th World Congress on Public Health

15feb15-1

Human Rights and Law as tools for sustainable development

Co-Chairs: Dr David Butler-Jones, Senior Medical Officer, First Nations and Inuit Health Branch, Health Canada and former Chief Public Health Officer of Canada and DrYogendra. K. Gupta, Professor & Head, Department of Pharmacology, All India Institute of Medical Sciences, New Delhi.

Pembicara :

  • Sharon Friel :Professor of Health Equity & ARC Future Fellow,ANU College of Medicine, Biology and Environment and ANU College of Asia and the Pacific, Australia
  • Martin McKee :Professor ofEuropean Public Health, London school of Hygene and Topical Medicine. UK
  • JavedRahmanzai : Member Governance council, Executive Board Member Afghanistan
  • Y.K Gupta
  • K.SrinathReddy :President , Public Health Foundation of India
  • Dinesh Thakur : Consultant on Drug Manufacturing, EX- Ranbaxy Laboratories

15feb15-1

Pleno kali ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam berbagai pengalaman dan pendapat tentang bagaimana hak asasi manusia dan hukum dapat diintegrasikan dan mampu menjadi pilar kebijakan kesehatan masyarakat dalam tindakan maupun kegiatannya.

Sharon tertarik pada :

  • Konsep dan integrasi dari berbagai disiplin ilmu dalam meningkatkan kesetaraan kesehatan (Health Equity)
  • Adanya aturan dari faktor-faktor struktural dalam mempengaruhi ketidakadilan kesehatan termasuk perdagangan dan investasi, urbanisasi dan perubahan iklim.
  • Analisis dari proses kebijakan dan efektifitas dalam menangani ketidakadilan kesehatan
  • Menerapkan system teori-teori keilmuan dan metode-metode untuk study Kebijakan public yang sehat dan adil.

Pembicara lain yaitu Rahmanzai memberikan pengalaman mengenai kondisi pengungsi yang berada dalam daerah konflik dan perang. Dimana kondisi ini menimbulkan banyak orang kelaparan dan menderita. Rahmanzai mengajak semua peserta untuk bersama-sama berpikir untuk keadaan ini dan melihat secara global bahwa pengungsi di daerah konflik adalah suatu masalah yang besar, dimana saat kita melakukan politik, membuat regulasi dll tetapi faktanya belum dapat memecahkan masalah kebutuhan kesehatan publik pada masyarakat yang berada di daerah konflik. Apa sebenarnya isu terbesar terhadap kesehatan publik pada masyarakat di konflik zone? Seorang peserta juga mengingatkan masalah pengungsi yang diakibatkan oleh bencana. Sehingga mungkin kita juga bisa melihat kasuspengungsi yang diakibatkan oleh keadaan bencana di Indonesia contohnya pengungsi gunung meletus Rokatenda dan di Sumatera Utara, mereka telah berbulan-bulan berada di kampung pengungsian. Apakah yang dibutuhkan mereka saat ini terkait dengan kesehatan dan makanan sudah laik? Pembicara ini juga mengatakan bahwa kita harus ikut bekerja dan masuk dalam sistem dan tidak hanya sekedar memberi konsumsi pada pengungsi. Ahli epidemiologi sangat dibutuhkan dalam penyiapan data, sehingga kita tidak hanya menggunakan pemberitaan media.

Pembicara lain bercerita tentang tiga pilar dalam kebijakan publik terhadap susteinabilitas kesehatan masyarakat yaitu :

  • Ekonomi
  • Sosial
  • Lingkungan

Ketiga pilar tersebut saling mendukung, terutama pilar sosial dan lingkungan yang sangat besar dalam mendukung ekonomi dan ini jelas terkait kesehatan publik. Isu hak asasi manusia ini termasuk dalam kapabilitas manusia dan kapabilitas kesehatan seperti kesetaraan kesehatan (health equity), udara bersih dan air bersih.

Pembicara terakhir bukan seorang dokter melainkan seorang pengusaha dan ahli dalam obat-obatan bercerita bagaimana pengembangan produk biomedis, regulasi dan teknologis informasi obat. Beliau mengatakan bahwa beliau bukanlah seorang yang anti terhadap obat generik karena obat generic adalah obat sehat dan ekonomis, namun terdapat problematik sistem terhadap obat generik. Dalam pemberian obat seperti antibiotik juga seringkali menjadi masalah sehingga banyak dijumpai resistensi obat di masyarakat. Kejadian serupa juga terjadi di Indonesia bahwa banyak terdapat pemberian obat yang seringkali tidak sesuai kebutuhan dan bagaimana pemahaman masyarakat terhadap antibiotik yang dapat dibeli dengan bebas yang mengakibatkan resistensi dikarenakan mengkonsumsi dengan tidak sesuai yang seharusnya.

Beliau juga bercerita bahwa ada perusahaan obat yang dialaporkan melakukan penipuan yaitu pemalsuan data obat dan melanggar Good Manifacturing Practices (GMP) dan Good Laboratory Practices (glp), sehingga perusahaan tersebut membayar dari tuntutan yang diberikan.

Efektivitas sistem kesehatan memiliki dampak besar pada morbiditas dan mortalitas, terutama di negara-negara yang berpenghasilan rendah dan menengah dimana kapasitas pengawasan obat lemah.

Beliau juga mengatakan bahwa di India dibutuhkan quality control dan quality insurance, agar tidak terjadi pemalsuan obat dan label obat. Terhadap obat generik perlu akses Good Quality Medicine.

Situasi ini akan dijadikan bingkai yang utama untuk masuk dalam masalah hukum kesehatan masyarakat dan akan disajikan menjadi suatu kasus dalam perjanjian global yang baru.

Output yang diharapkan yaitu ini akan menjadi kerangka kerja untuk kebijakan WFPHA dan aksi pernyataan untuk pendekatan kesehatan masyarakat.

Drug & medicine quality-the case of falsified and falsely-labeled medicines-WFPHA

15feb15

Sesi ini bertujuan untuk menunjukkan pentingnya kualitas obat sebagai penentu kesehatan dan berdiskusi sehingga mendapatkan dukungan terkait dengan konsep perjanjian internasional sebagai sarana mengatasi masalah peredaran obat-obatan palsu dan berlabel palsu. Panel menghadirkan dua pembicara dan dua pembahas yang dimoderatori oleh Dr. Amir Attaran.

  • Dinesh Thakur, expert and accomplished entrepreneur in pharmaceuticals, biomedical product development, drug regulation, and information technology
  • Prof Martin McKee, Professor of European Public Health at the London School of Hygiene and Tropical Medicine and President, European Public Health Association
  • Prof. Michael Asuzu, Professor of Public Health & Community Medicine, University College Hospital, Ibadan and President, Society of Public Health Professionals of Nigeria
  • L. Eugenio

Pengalaman peredaran obat palsu dan berlabel palsu dari Brazil dan Nigeria menjadi masalah kesehatan masyarakat global. Hal ini berdampak pada kualitas sistem perawatan kesehatan yang dapat meningkatkan mortalitas. Sesi ini dikemas dalam hukum kesehatan masyarakat.

Beberapa poin penting dari sesi ini adalah

  • Kejahatan obat merupakan ancaman kesehatan dan kehidupan masyarakat
  • Semua obat yang beredar harus mempunyai kualitas yang bagus
  • Kasus obat berkualitas dipalsukan dan tingginya peredaran obat palsu
  • Kurangnya pengawasan obat sehingga memudahan obat palsu beredar
  • Belum kuatnya regulasi yang mengatur tentang sanksi peredaran obat palsu
  • Ada empat tipe kejahatan obat, mulai dari falsified medicine, obat yang kualitasnya dibawah standar, obat yang tidak terregistrasi, dan obat tiruan (palsu)
  • Peredaran obat palsu merupakan tindakan kriminal yang harus diberantas melalui kerjasama terpadu antara pembuat kebijakan, lembaga pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas), industri obat, penegak hukum, media dan masyarakat.

Sesi ini cukup banyak menarik perhatian anggota World Federation of Public Health Associations (WFPHA). Organisasi ini multi-professional non pemerintahan yang berfokus pada masalah kesehatan masyarakat. Namun, hingga saat ini PKMK belum  menjadi anggota WFPHA. Kasus di Indonesia bahkan dibeberapa negara lainya di dunia, masyarakat tanpa sadar mengkonsumsi obat palsu, akibatnya hal ini memperburuk kondisi bahkan menyebabkan kematian. Setelah menemui fakta ini, masyarakat dunia menyadari perlunya campur tangan semua pihak terkait seperti pengambil kebijakan, tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, media, penegak hukum dan masyarakat tentang  bahaya obat.