reportase 20 dese 13

Telah Diselenggarakan Diskusi:

Berbagai Isu Strategis Dalam Sistem Kesehatan di Kabupaten dalam Era BPJS

Saat ini, berbagai isu strategis muncul di Indonesia terkait dengan sistem kesehatan, terutama menjelang era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN). Isu strategis yang masih ‘terkendala’ ialah upaya promosi-prevensi di era BPJS dan bagaimana peran dinas kesehatan kabupaten/kota dan propinsi dalam menghadapi SJSN. Kali ini, PKMK bekerjasama dengan Minat KMPK dan MMR FK UGM menyelenggarakan ‘Diskusi Berbagai Isu Strategis Dalam Sistem Kesehatan di Kabupaten dalam Era BPJS’ pada Jumat (20/12/2013) di R. 301, IKM FK UGM. Sementara, peserta yang hadir meliputi kalangan: dosen, mahasiswa, konsultan, pengelola di KMPK, Minat Studi Promkes, MMR, PKMK dan S2 IKM.

Acara pertama dibuka oleh Prof. Laksono Trisnantoro melalui Pengantar : Situasi Upaya Pencegahan dan Promosi Saat ini dan Kemungkinannya di Era BPJS.

Diskusi kita hari ini merupakan konteks yang sangat penting-Januari 2014 BPJS mulai diberlakukan. Hasil dari diskusi diharapkan menjadi masukan untuk pemerintah. Di samping itu, saat ini PKMK bekerjasama dengan 15 universitas di Indonesia sedang menyusun proposal dengan tema tersebut. Untuk mengetahui informasi terkait hal in,i silahkan kunjungi proposalnya di pojok kanan atas pada website manajemen-pembiayaankesehatan.net. Kita akan meneliti sebelum dan setelah pelaksanaan BPJS. Sesi pagi kita akan membahas seputar promkes.

BPJS akan beroperasi di level kabupaten juga. BPJS pusat, cabang dan regional. BPJS secara finansial sangat besar, sekitar 20 Trilyun. Apakah BPJS membawa perubahan-apakah fungsi Dinkes dalam mutu pelayanan? Era BPJS, promkes dilakukan oleh siapa? Hal yang perlu kita cermati, bagaimana memantau Mutu Pelayanannya?

Sesi Diskusi Pertama mengangkat judul Penyusunan Rencana Strategis untuk Program Pencegahan dan Promosi yang disampaikan oleh Dr. Bambang Sulistomo, MPH – Penasehat Khusus Menteri Kesehatan RI. Sementara pembahasan dilakukan oleh Dr. dr. Yayi Suryo Probandari, M.Sc. Ph.D dan Dr. Krishnajaya, MS.

Promosi kesehatan meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan edukatif. Kaitan derajat kesmas dengan upaya promosi dan prevensi. Dalam Konas Promkes tahun ini, disebutkan upaya promosi kuat dilakukan. Namun, rencana strategi promosi untuk menyambut BPJS belum ada yang merumuskannya. Saran saya, silahkan buat proporsi upaya promosinya, sebelum menyusun anggaran, ungkap Dr. Bambang Sulistomo. Salah satunya, RPP Tembakau segera selesaikan. Lalu, Upaya kesehatan melalui sekolah digalakkan kembali. Selama ini, semangat promkes hanya sampai LSM dan ormas-ormas atau belum sampai ke bawah. Aliansi kader kesehatan posyandu (dulu), sekarang belum tentu jalan. Upaya promkes banyak yang merupakan upaya swadaya masyarakat. Hal yang terpenting yaitu Mencegah Orang Sakit, sayangnya banyak RS Internasional didirikan agar tidak banyak yang ke luar negeri. Maka, yang utama ialah memantapkan upaya preventif, memperkuat kapasitas (deklarasi Jakarta 2013). Deklarasi yang diadakan pada November 2013 itu dihadiri oleh: pemerintah pusat, Pemda, kelompok profesi, organisasi kemasyarakatan, swasta, dan masyarakat. Deklarasi tersebut merupakan hasil pertemuan Konas Promkes keenam tahun 2013 yang menyatakan:

1. Memantapkan upaya promotif-preventif dalam penerapan JKN sebagai bagian dari SJSN

2. Memperkuat komitmen dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam upaya promotif-preventif sebagai solusi masalah kesmas

3. Memperkuat kapasitas promotif-preventif di pusat dan daerah yang mencakup regulasi, kelembagaan dan manajemen, ketenagakerjaan, pendanaan serta sarana dan prasarana.

4. Memperkuat keterlibatan individu, keluarga, masyarakat termasuk ormas dan swasta dalam menerapkan PHBS, Pengendalian faktor resiko penyakit dan lingkungan

5. Meningkatkan sinergisme multisektor dalam pembangunan berwawasan kesehatan

6. Menguatkan peran dan kapasitas organisasi profesi kesehatan dalam mendukung upaya promotif-kuratif.

Mana upayanya untuk menyambut era BPJS ini? Saya berkhayal bangsa ini sehat tumbuh dari bawah, bagaimana masyarakat sadar akan kesehatannya, tambah Bambang. Dana untuk promkes apakah hanya ada di Kementrian kesehatan/Dinas kesehatan/dinas lainnya?

Dr. Yayi Suryo Prabandari, S2 IKM Minat Perilaku dan Promkes, FK UGM menyampaikan promkes belum menjadi isu seksi karena memang banyak hal yang harus dibenahi. Catatan dari Yayi, Pencegahan primer yang belum dilakukan yaitu pendidikan dan penyuluhan yang belum atraktif dan interaktif, lalu belum ada pelatihan Life Skills yang sebenarnya bisa dilakukan dengan pihak swasta. Kemudian, Kemudian, pemasaran sosial (cuci tangan dengan pihak swasta) serta komunikasi kesehatan-kampanye (anti tembakau-tayangannya ditolak tv swasta meski bayar sama), melalui media massa, penggunaan IT (website based-social media).

Salah satu fenomena menarik yang ada, yaitu Billboard rokok sebulan sekali ganti-jadi menarik masyarakat.

Masalah yang kita hadapi, struktur kurang jelas di provinsi, anggaran terbatas, pemahaman petugas (nakes) berbeda serta komunikasi advokasi terbatas. Misalnya terkait RUU Pengendalian produk tembakau, ada banyak poin yang dihilangkan. Sehingga saat pengesahan UU nya, bahkan bagian penting yang hilang. Misalnya Pasal 3: melindungi dampak tembakau, perlindungan untuk yg tidak merokok.

Prof. Laksono menyampaikan di Thailand desain bungkus rokok bergambar mengerikan desainernya dari indonesia. Gambar mengerikan itu mewakili apa saja yang terjadi pada tubuh manusia usai menjadi perokok pasif. Lalu, Filipina berhasil menggunakan: sin tax dari cukai rokok untuk promkes.

Dr. Krisnajaya, MS-Kepala Asosiasi Dinas Kesehatan (Adinkes) menyampaikan saya berharap ada ahli sospol yang memperjuangkan fokus regulasi, ungkap Krisna. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan (P2PL)-bukan penanggulangan tapi promotif. Sebaiknya Kemenkes tempatkan tenaga proimkes di daerah tertinggal yaitu di 98 kabupaten. NTT saja memiliki jargon revolusi KIA (preventif), meskipun dana kesehatannya kurang dari 3%. Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebaiknya menegaskan seluruh upaya promotif dan preventif. Selama ini Kemenkes belum mengirim pengajar, sebaiknya Kadinkes dilatih birokrasi manajemen pemerintahan tiga bulan pertama. Jika tidak ada anggaran dari pusat, maka daerah harus menyediakannya. Perlu dilihat kemampuan fiskal dan SDMnya juga.

Dr. Bambang S, public health dan health promotion agar dikuatkan. Promosi prevensi lebih baik. Belum ada visi yang sama di dalam organisasi Dinkesnya dan nakes, yaitu belum menganggap promosi itu wajib dan lebih baik untuk dilakukan. Maka, kita perlu mengerjakan strategi promosi dan rencana strategis. Mengapa masih ada AKI Tinggi?, karena tidak yakin upaya promosi itu lebih baik. Masyarakat sebagai pelengkap penderita. Puskesmas lebih terlihat sebagai Pusat Pengobatan Masyarakat. Mari kita gunakan kesempatan SJSN untuk menjadi momentum politik-misal Deklarasi Jogja-diperlukan strategi kesehatan untuk menyongsong SJSN. Salah satu poin yang ditekankan yaitu kesadaran masyarakat perlu diberdayakan. Sehingga, strategi ini bisa dibawa ke DPR dan Menkes. Jika perlu, strategi ini disepakati dan ditandatangani oleh Pengurus IAKMI, Arsada, IBI dan Adinkes se-Indonesia. FK FKM harus sadar, kita harus mengembalikan atau mengubah pola pikir.

Prof Laksono, pelaku-pelaku promkesnya kurang militan-karena sibuk mengurus Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sering dimutasi sehingga programnya terganggu. Maka, promkes ini tergantung pada siapa? Siapa pemimpinnya? Dinkes atau ormas atau LSM? Hal ini harus jelas, karena Dinkes penuh dengan politik. Promotor kesehatan lebih baik dari Dinas atau swasta?

Dr. Yayi Suryo memberi masukan, promkes bukan hanya birokrat, tetapi juga swastra dan akademisi. Misalnya di Jogja terkait Perwal KTR-isu ini akan membuat proses mitasi Kadinkes. Saat World Tobbaco Day-Kadinkes salah satu kabupaten sudah mau datang, namun dicegah Sekda. Lalu, saya pernah memberi konseling berhenti merokok di kawasan Jawa Barat, 20 dari 30 pesertanya dimutasi dari Puskesmas.

Dr. Krisnajaya menambahkan, kemudian, untuk menjadi kadinkes kab/kota yang memilih Gubernur. Harus memiliki kompetensi teknis-manajerial pemerintahan, kepemimpinan lembaga. Alangkah baiknya jika Kemendagri mengundang Kadinkes dan Sekda (birokratif). Saat ini, masih banyak gubernur yang sebenarnya kurang mumpuni namun menang karena politik dan massa.

Suwarta (Arsada) menyampaikan, saya sebagai orang yang memiliki latar belakang bekerja di Puskesmas-Promkes-public health-RS dan swasta. Mohon maaf, ada salah kebijakan karena selama ini kita hanya berfokus pada kuratif. Daerah harus bisa mengatur dirinya sendiri. Nakes harus mengerti dulu tentang promkes. Desentralisasi pemerintahan seharusnya berbagi leadership antara kabupaten dan kota. Pemimpin promkes sebaiknya Kadinkes dengan kompetensi terukur.

Sitti Zaenab, M. Kes (PKMK FK UGM) mengusulkan Dinkes dan Pemda sebagai regulator, eksekutornya LSM. LSM yang dimaksud disini ialah yang teruji. Ada kemungkinan Dinkes mengkontrakkan promkes ke swasta supaya bisa berjalan dengan baik.

Diah (KPMAK) menjelaskan jika fungsi Bappeda perlu kita lihat kembali, karena Bappeda memiliki peran penting. Salah satu diantaranya, mengatur alokasi anggaran dengan nuansa kesehatan. Memberikan kemampuan leadership pada jajaran Dinkes. Bagaimana bermitra dengan orang lain.

Puti (PKMK FK UGM) jurnalisme warga penting digalakkan, masyarakat menengah ke atas bisa menginformasikan kesehatan secara umum. Kita bisa juga menggunakan dokter muda caranya mereka memberikan info yang lebih akademis dengan kalimat sederhana. Contoh ini bisa disimak dari kolom Kompasiana yang tulisannya lebih edukatif ke masyarakat.

Doni, S2 MMR menyampaikan integrasi promkes melalui standing comitte dengan partner lain untuk efisiensi anggaran dan keberlanjutannya-inklusi materi kesehatan dalam pendidikan termasuk pendidikan seks (MOU dengan Kementrian Pendidikan).

Kuncoro mengungkapkan ada ketidakmampuan daerah melaksanakan kebijakan makadibutuhkan pemetaan (road map dan rundown-nya harus jelas). Maka, Dinkes-Puskesmas-sekolah harus bergerak bersama.

Dr Anung Sugiyantono, M. Kes, Kadinkes Purbalingga menyampaikan diperlukan klinik promosi dan pusat promkes di daerah. Strategi promkes diikuti anggaran lalu leadership untuk advokasi hal tersebut. Banyak aspirasi eksekutif yang disuarakan legislatif. Promotif preventif lebih murah untuk dilakukan. Dengan pendidikan masyarakat yang masih rendah, angka kuratif sangat tinggi.

Anna-Mahasiswa MMR, jika melihat konteks Dinkes gagal, alternatif untuk LSM dalam menjalankan promkes tadi. Dikhawatirkan kesinambungan ke depan jarang berlanjut karena lebih banyak mengincar anggaran. Kenapa bukan ke Surat Ketentuan Pemerintah Daerah (SKPD) saja? PHBS daerah luar Jawa menunggu anggarannya. Ketika dana sampai, mereka akan bertemu dengan lokasi yang sulit maka dana tidak akan sampai turun ke lokasi. Jadi, tidak ada hasil.

Firman, KMPK. Seharusnya ada pusat sistem informasi di Puskesmas. Mungkin bisa melibatkan satu dua masyarakat. Masyarakat (pasien) tidak akan kembali ke Puskesmas jika informasinya tidak jelas.

Dra. Retna Siwi Padmawati, MA, FK UGM. Kasus di Jogja ada dana keistimewaan, yang terjadi ialah universitas yang diminta Dinkes dan Pemprov untuk mendampingi SKPD. Ini alternatif yang lain disamping LSM, universitas terutama jika beberapa universitas memiliki road map yang menyesuaikan dengan kebutuhan daerah. Untuk Kawasan Tanpa Rokok (KTR)-universitas sudah mendampingi hingga Perda. LSM mungkin sudah berkemampuan, namun dianggap sebagai pihak yang menganggu Pemda. Universitas disini yang saya maksud bukan personal, namun pusat studinya.

Dr. Yayi, saya setuju dengan jejaring, siapa pelaku promkesnya dan mereka yang akan bahu membahu. LSM beragam, berwawasan kesehatan, bukan abal-abal. Perusahaan atau swasta yang memiliki CSR yang tidak temporer. Bagaimana kita menggandeng semuanya? Promkes lebih baik dan lebih murah.

Dr. Krisnajaya-kesehatan itu leadership melibatkan banyak pihak. Adinkes saat ini sedang membuat materi kompetensi, lalu membuat jejaring salah satu yang harus dimiliki.

Dr. Bambang S, promosi prevensi lebih baik. Hal yang kita kejar dari keduanya ialah produktivitas manusia, kebersamaan, hubungan antar amsayrakat lebih baik dalam kerangka promosi prevensi dibanding kurasi. Lembaga dan orangnya-BKKBN, tanpa lembaga kompetensi dan kemampuan ini akan sulit dilakukan (Gerakan nasional Keluarga Bencana Daerah misalnya). Pernyataan bersama dan audiensi dengan pejabat terkait.

Konklusi: Bambang proporsional-LSM dan kerjasama dengan dinas lain.

Prof. Laksono, sebaiknya dana untuk BPJS sekitar 19,6 Trilyun dialokasikan juga untuk upaya promosi prevensi. Kewirausahaan di bidang promkes, jadi promkes yang digerakkan swasta bisa bebas politik, militan dan agresif.

Doni, mahasiswa-NTT lembaga internasional 29 dan lokal 45 sulit untuk diajak bekerjasamakarena masing-masing LSM memiliki value yang berbeda. LSM lokal banyak yang model siluman-jika ada dana muncul tapi jika tidak, maka hilang.

Agus Rahmadi-MMR. Melihat Kementrian Pekerjaan Umum (PU) mengkontrakkan beberapa proyeknya melalui outsourcing. Jadi, jika ingin melibatkan LSM harus ada kriterianya. Leader dari upaya ini kalau bisa dari pendidikan. Kemudian, melalui organisasi profesi-usulan kuat dan mendukung.

Anung, BPJS memiliki kepentingan berpromosi-AKI turun sehingga anggarannya turun. Strategi prmosi seperti apa? Anggaran di luar BPJS akan di-cover darimana? Saat ini merupakan momen yang bagus untuk membuat bagaimana sistem promosinya.

Sitti Zaenab, M. Kes, organisasi keagamaan misalnya NU dan Muhammadiyah (Ormas) bisa digandeng untuk masuk ke promkes. Mungkin, bisa diambil sekian persen dari anggaran untuk dana promkes ini.

Sasongko, penyamaan persepsi upaya kesehatan promosi prevensi mana wadahnya? Kalau tidak ada lembaga, untuk lobi sulit.

Dr. Bambang: silahkan telpon dr. Fahmi Idris dan silahkan mencari informasi promosi prevensi sudah seberapa jauh di BPJS? Tolong sampaikan jika ada masukan dari Jogja. Bagaimana kita memadukan SDM, gagasan, dana, dan kelompok masyarakat? Salah satunya melalui asosiasi yang terkait kesehatan, visinya harus sama. Upaya kesehatan yang strategis harus dikelola dengan kuat, untuk menghadapi kelompok dunia usaha.

Dr. Bambang: hasil pertemuan, akan dibawa ke Kemkes.

Catatan lain: dari Doni-mahasiswa MMR. Kesehatan reproduksi selalu mendapat tentangan di Dinas kebudayaan. Faktanya aborsi dan kematian ibu masih menjadi ancaman di kalangan anak muda.

DISKUSI LINTAS ILMU : STUDI KASUS PUTUSAN MA TERHADAP KASUS DOKTER SPESIALIS

Magister Manajemen Rumah Sakit dan
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan

Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta

menyelenggarakan

DISKUSI LINTAS ILMU :
STUDI KASUS PUTUSAN MA TERHADAP KASUS DOKTER SPESIALIS

Selasa, 17 Desember 2013
Pukul 12.00 – 15.00 WIB

  Pengantar

Kasus beberapa dokter spesialis yang ditahan di Manado memiliki beberapa hal penting yang perlu dicermati, antara lain :

  1. Sebuah Putusan Pengadilan yang menjadi perhatian luas masyarakat karena dianggap jauh dari rasa keadilan;
  2. Sebuah Putusan Pengadilan yang mengundang perdebatan di kalangan hukum; dan
  3. Sebuah Putusan pengadilan yang penting dijadikan pegangan, sehingga mempunyai nilai tinggi bagi dosen, mahasiswa, dan masyarakat untuk belajar dari kasus ini.

Berdasarkan permasalahan tersebut, Magister Manajemen Rumah Sakit bekerjasama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM bermaksud untuk mengangkat sebuah diskusi yang melibatkan kalangan dari lintas ilmu. Kasus tersebut menarik untuk dibahas secara akademik melalui pendekatan diskusi kasus. Dalam diskusi ini, pembahasan akan dilakukan secara lintas disiplin dengan narasumber adalah mahasiswa S2 Hukum Kesehatan Universitas Gadjah Mada dan dibahas oleh beberapa pakar sector kesehatan dan hukum.

Mengapa perlu pembahasan secara lintas disiplin? Sebagaimana diketahui, status ketiga dokter tersebut adalah mahasiswa didik Program Dokter Spesialis FK Universitas Sam Ratulangi. Dalam hal ini ada beberapa hal menarik yang perlu dibahas yaitu :

  1. Mengapa kasus ini fokus pada 3 orang dokter yang pada saat kejadian berlangsung masih berstatus Residen?;
  2. Siapa dan dimana dokter penanggungjawab Siswa yang saat ini disebut sebagai dokter penanggungjawab pasien?
  3. Bagaimana peran dokter spesialis lain yang terlibat dalam kegiatan pelayanan tersebut?
  4. Bagaimana peran manajemen rumah sakit tempat kejadian berlangsung?
  5. Bagaimana peran fakultas kedokteran sebagai lembaga dokter tersebut bernaung?

Terkait dengan hal tersebut maka ada diperlukan bedah kasus mengenai posisi residen dalam pelayanan kesehatan, serta bedah kasus dalam hal lainnya.

 

  Maksud dan Tujuan Diskusi

Berdasarkan latar belakang tersebut, maksud dan tujuan dari diskusi kasus ini adalah:

  1. Membedah kasus di Manado tersebut secara akademik dalam perspektif hukum;
  2. Mempelajari konteks kasus dalam perkembangan manajemen RS pendidikan dan mekanisme pendidikan calon dokter spesialis/residen di fakultas kedokteran;
  3. Mengkaji keselarasan mekanisme pendidikan calon dokter spesialis dengan UU Praktek Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran;

Rekomendasi akhir dari pertemuan ini dapat dipergunakan sebagai bahan masukan untuk perbaikan sistem manajemen rumah sakit pendidikan dan pendidikan residen di Indonesia.

 

  Agenda

Ruang Theater Perpustakaan FK UGM lt. 2. Yogyakarta

Waktu

Kegiatan

Pembicara/Penanggungjawab

12.00 – 12.30

Registrasi Peserta dan makan siang

 

12.30 – 13.15

Uraian Kasus : Perspektif dari Segi Hukum

Mahasiswa S2 Fakultas Hukum UGM

13.15 -15.00

Pembahasan  dari berbagai disiplin ilmu

 

 

Diskusi

Prof. Dr. dr. Herkuntato, Sp.F, SH, LL.M – Ketua Komite Keselamatan Pasien

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D – PKMK FK UGM

Supriyadi, SH, M.Hum – Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

dr. Nurdadi Saleh, SpOG – POGI

15.00 -15.30

Kesimpulan dan Penutup

 

 

  Peserta

Peserta yang diharapkan hadir adalah:

  1. jajaran Direksi RS, Ketua Program Studi Dokter Spesialis, dan Bagian Hukum RS Pendidikan di sekitar DIY;
  2. RS Mitra A dan B Project Sister Hospital di NTT (via streaming terbatas)
  3. Dosen Fakultas Hukum dan Fakultas Kedokteran
  4. Ikatan Profesi
  5. Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Rumah Sakit dan Manajemen Pelayanan Kesehatan
  6. Peserta Pendidikan Residensi
  7. Konsultan Hukum
  8. Asosiasi Pendidikan Kedokteran
  9. Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan
  10. Badan Pengawas dan Dewan Pengawas Rumah Sakit

 

Tidak dipungut biaya, namun peserta yang mengikuti mohon melakukan pendaftaran terlebih dahulu melalui :

Hernie Setyowati (Menik) /Angelina Yusridar/Hendriana Anggi

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Lt. 2, Fakultas Kedokteran UGM
Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-551408 (hunting)
Mobile : +62818269560 / +628111498442 /081227938882
Email : [email protected] / [email protected] / [email protected]
Web : www.kebijakankesehatanindonesia.net

 

Workshop Pengajaran IKM di Pendidikan Kedokteran

Pada hari pertama (11/12/2013) acara dibuka oleh tuan rumah Chulalongkorn Medical School. Silahkan klik paper pembukaan dari:

Dr. Pak – Regional Strategic framework for strengthening teaching of pubic health in undergraduate

Dr. Kumara – Current Public Health Challenges

Setelah itu, para peserta melaporkan kemajuan dari negaranya masing-masing. Wakil Indonesia adalah Dr. Trevino Pakasi, Ph.D dari FK UI, Ketua Regional III PDKKIKM Indonesia. Dr. Pakasi mempresentasikan mengenai apa yang dikerjakan oleh FK-FK Indonesia setelah pertemuan di Bangkok tahun 2009. Memang selama 4 tahun setelah pertemuan di Bangkok, belum banyak yang terjadi karena kendala komunikasi. Silahkan  untuk menyimak papernya.

Pada hari kedua, forum membahas berbagai inovasi pengembangan kurikulum IKM termasuk pengembangan aspek sistem kesehatan dan kebijakan didalamnya. Prof. Laksono Trisnantoro memaparkan pengalaman 10 tahun FK UGM dalam memberikan pengajaran IKM dan memasukkan unsur Ilmu-ilmu yang interdisiplin ke dalam pendidikan mahasiswa kedokteran. Silahkan  untuk menyimak laporannya.

Pada hari kedua dibahas sesi yang menarik mengenai Transformative Public Health Teaching in Undergraduate Medical Schools oleh Prof. Thomas V.Chacko. Prof. Thomas merupakan Secretary General South East Asean Regional Association for Medical Education. Berikut ini beberapa poin penting yang disampaikan Prof. Thomas:

Pertama, reformasi ketiga membahas mengenai perspektif sistem kesehatan. Calon dokter perlu dididik dalam konteks sistem kesehatan. Maka, leadership dalam kurikulum mutlak dibutuhkan.

Kedua, perlu ada Interprofessionnal Education

Ketiga, terkait masalah Dosen IKM. Dosen IKM perlu dibekali dengan ketrampilan mengajar yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebaiknya ada kewajiban bagi dosen IKM untuk selalu mendapat pelatihan terus menerus mengenai pengajaran IKM di medical education. Bagaimana caranya? Perlu dilakukan dengan berbagai cara.

Keempat, bagaimana caranya agar para dosen IKM di FK terlibat dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi program-program kesehatan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah. Silahkan  

Hari ketiga:

Di hari ke 3 ini ada topik menarik mengenai peran Konsil Kedokteran dalam pengajaran IKM di pendidikan kedokteran. Judulnya adalah Peran Konsil Kedokteran dalam Pendidikan Kesehatan Masyarakat di Pendidikan Kedokteran oleh Somsek Lolekha MD PhD, President, Medical Council of Thailand.

Dalam pemaparan Somsek menyebutkan tugas Konsil antara lain untuk licensing penetapan academic standard dan certify the diplomate in board if medical specialty and sub-specialty. Dalam penetapan kompetensi ini, PH merupakan ilmu kunci yang perlu diberikan kepada mahasiswa kedokteran. Kompetensi di Thailand mencakup mulai dari ilmu kesehatan masyarakat yang klasik seperti epidemiologi, sampai ke sistem kesehatan Thailand dan ekonomi kesehatan serta ekonomi klinis. Dalam paparan mengenai kerjasama internasional menghadapi pasar Asia yang semakin terbuka, direncanakan ada pembagian tugas dimana untuk masalah kompetensi ini akan dikembangkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Di samping itu dianjurkan juga untuk mengembangkan penggunaan e-learning dan e-teaching. Silahkan 

Acara dilanjutkan dengan diskusi menarik mengenai Rekomendasi Global untuk pendidikan kedokteran yang disampaikan oleh Erica Wheeler dari WHO Geneva. Silahkan simak diskusi tersebut dengan  


 

Refleksi kegiatan ini untuk Indonesia. Setelah penutupan acara, ada beberapa hal yang perlu dicermati untuk Indonesia:

  1. Pengajaran IKM di pendidikan kedokteran merupakan gerakan yang harus dipantau di level SEARO dan di level negara;
  2. FK-FK Indonesia yang hadir di Bangkok (UI, UGM, Unair, Unsri, Unpad) perlu mengembangkan kegiatan sebagai follow-up pertemuan ini. Badan Koordinasi IKM dan IKP diharapkan dapat menjadi lembaga yang mampu mengembangkannya.
  3. Disepakati bahwa pertemuan internasional yang dikoordinir WHO akan dilakukan dua tahun lagi untuk mengetahui progress kemajuan peningkatan pengajaran IKM di pendidikan kedokteran. Kemudian, negara-negara anggota diminta untuk menyiapkan diri.

 

 

Berbagai Isu Strategis Dalam Sistem Kesehatan di Kabupaten Dalam Era BPJS

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK)
bekerjasama dengan

Magister Kebijakan dan Manajemen Kesehatan dan MMR
Prodi S2 IKM FK UGM

Menyelenggarakan diskusi mengenai:

Berbagai Isu Strategis Dalam Sistem Kesehatan
di Kabupaten 
Dalam Era BPJS

Ruang R. 301 IKM FK UGM, Yogyakarta
Jumat, 20 Desember 2013
Disiarkan melalui streaming di berbagai website di PKMK FKUGM

 

  Pengantar

Berbagai isu strategis saat ini muncul di Indonesia terkait dengan system kesehatan, terutama menjelang era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN). Beberapa hal yang masih mendapatkan kendala adalah upaya promosi dan prevensi di era BPJS dan bagaimana peran dinas kesehatan kabupaten/kota dan propinsi dalam menghadapi SJSN.

Dalam rangka mendiskusikan isu – isu tersebut, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan bekerjasama dengan Minat KMPK dan MMR FK UGM bermaksud menyelenggarakan Diskusi Satu Hari dalam membedah Isu – Isu Strategis dalam Sistem Kesehatan di Kabupaten dalam Era BPJS.

 

  Agenda

Ruang R. 301 IKM FK UGM Yogyakarta

Waktu

Keterangan

Pembicara

08.00 – 08.30

Registrasi

 

TOPIK : Upaya Promosi dan Prevensi di Era BPJS

08.30 – 09.00

Pengantar : Situasi Upaya Pencegahan dan Promosi saat ini dan Kemungkinannya di Era BPJS

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

09.00 – 11.00

SESI DISKUSI:

Penyusunan Rencana Strategis untuk Program Pencegahan dan Promosi

Dr. Bambang Sulistomo, MPH – Penasehat Khusus Menteri Kesehatan RI

   Deklarasi Jakarta 2013

Pembahasan oleh :

  1. Dr. dr. Yayi Suryo Probandari, M.Si. Ph.D
  2. Dr. Krishnajaya, MS

11.00 – 13.30

ISHOMA

 

TOPIK : Peran Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Propinsi dalam Era BPJS

13.00 – 13.30

Pengantar Diskusi

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

13.30 – 16.00

SESI DISKUSI:

Peranan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Propinsi dalam Era BPJS dan Hubungan Antara Dinas Kesehatan dan RSD dan RS Swasta

Metode : Round table discussion

Pembahasan oleh :

dr. Anung Sugihantono, M.Kes – Kadinkes Jateng

Dr. Ronny Rukmito, M.Kes – Kadinkes Kabupaten Klaten

Dr. Krishnajaya, MS – Ketua ADINKES

Dr. Kuntjoro, M.Kes – Ketua ARSADA

 

  Peserta

Peserta yang diharapkan hadir adalah:

  1. Dosen dan pengelola KMPK
  2. Dosen dan pengelola Minat Studi Promkes
  3. Dosen dan pengelola MMR
  4. Mahasiswa S2 IKM
  5. Konsultan / Peneliti PKMK

 

Tidak dipungut biaya, namun peserta yang mengikuti mohon melakukan pendaftaran terlebih dahulu melalui :

Ratna Sary /Hendriana Anggi
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Lt. 2, Fakultas Kedokteran UGM
Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-542900 (hunting)
Mobile : +628164261996/ +628122793882
Email : [email protected] / [email protected]
Web: www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 

Materi Presentasi Workshop Standar Pelayanan Kedokteran

 

Broto Wasisto – Peran Perhimpunan Profesi dalam Menyusun Standar Pelayanan Kedokteran

  Dr. Djoti Atmojo – Standar Pelayanan Kedokteran

  Prof. Sofyan Ismael – Workshop Standar Pelayanan Kedokteran

  Prof. Budi Sampurna – Standar Pelayanan Kedokteran

  Prof. Sudarto Ronoatmodjo – Standar Pelayanan Kedokteran & BPJS

Prof. Digdo – Evidence-Based CLINICAL PRACTICE GUIDELINES (Panduan Praktik Klinis)

Prof. Digdo – Evidence-Based CLINICAL PRACTICE GUIDELINES (Panduan Praktik Klinis)

Prof. Paul Tahalele – Peran Dokter Spesialis Bedah Dalam Pelayanan Pasien BPJS 2014

Dr. Andi Afdal Abdillah – Pentingnya Standar Pelayanan Kedokteran Menyongsong Era JKN 2014

  Diskusi

  Djoti Atmodjo – Standar Pelayanan Kedokteran

 

 

 

Refleksi untuk Indonesia

refleksi

refleksiTujuan antara CHPESAA dan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) memang serupa, namun banyak perbedaannya. Pada pertemuan pertama tahun 2010, JKKI didirikan atas inisiatif beberapa perguruan tinggi yang dimotori oleh UGM. Pertemuan tahunan dilakukan hingga yang terakhir terjadi pada September 2013 di Kupang, NTT. Pendirian ini memang tidak berdasarkan proyek.

Perbedaan lain yaitu CHEPSAA menitik beratkan pada penyelenggara pendidikan pascasarjana di bidang kebijakan dan sistem kesehatan. Salah satu fokusnya ialah penguatan kurikulum pendidikan. Sementara, JKKI belum memiliki tujuan serupa.

Hal yang mirip ialah langkah awal berupa penilaian diri. CHEPSAA dimulai dengan langkah awal berupa penilaian kapasitas diri. JKKI akan mendapat dukungan dana dari AusAid secara formal pada 2014 di Indonesia. Hasil penilaian awal ini akan dilakukan pada Desember 2013. Harapannya, akan ada laporan dari tim konsultan yang dikontrak AusAid untuk kegiatan ini.

Lalu, berikut ini daftar beberapa hal penting yang perlu dikembangkan di Indonesia:

  1. Penggunaan prinsip Open dalam materi-materi yang dihasilkan oleh Konsorsium ini.
    Prinsip Open memang bertentangan dengan asas monopoli maupun penguasaan atas karya ilmiah. Dengan sistem Open yang berdasarkan kerangka lisensi berbagai produk pengembangan ditawarkan kepada pihak lain dengan berbagai persyaratan. Hal ini yang bekum banyak dilakukan di Indonesia karena pemahaman mengenai hal ini juga belum banyak. Bagian dari hasil kunjungan ini mengenai sistem Open menjadi pembelajaran penting.
     
  2. Pengembangan Emerging Leaders.
    Poin lain yang tak kalah penting yaitu pengembangan para peneliti muda dalam program Emerging Leaders. Dalam konteks penelitian kebijakan, perlu dilakukan kegiatan untuk melatih para peneliti muda. Pengalaman di Afrika menunjukkan perlunya pengembangan peneliti muda secara berkesinambungan.
     
  3. Ketrampilan Personal.
    Penelitian kebijakan harus memiliki ketrampilan personal untuk berkomunikasi secara formal dan informal. Hal ini dibutuhkan sejak awal penulisan proposal, memperoleh dukungan dana, saat penelitian, saat laporan dan advokasi hasil penelitian. Ketrampilan-ketrampilan ini tidak mudah diperoleh karena situasi di masing-masing negara berbeda. Atau yang biasa disebut unsur ‘seni’.

Demikian beberapa refleksi yang dapat ditarik dari kunjungan ke Afrika Selatan (LT).

Kunjungan ke University of Cape Town untuk mempelajari Consortium for Health Policy and System Analysis in Africa (CHEPSAA)

Melalui kerjasama dengan 7 universitas di Afrika dan 4 universitas di Eropa, University of Cape Town mengembangkan jaringan untuk sektor penelitian dan analisis kebijakan kesehatan dan sistem kesehatan di Afrika sejak 2011. Hal ini dilakukan karena kemampuan melakukan riset kebijakan dan sistem kesehatan dinilai masih kurang di Afrika.

Konsorsium ini didirikan dengan lima tujuan, yaitu:

  1. Apa saja action yang dibutuhkan untuk anggota organisasi, termasuk untuk menilai kebutuhan.
  2. Berdasarkan kebutuhan tersebut, maka dilakukan pengembangan-pengembangan aset dan kompetensi staf, termasuk para staf muda dan membahas kekurangan yang ada.
  3. Melakukan konsolidasi dan pengembangan pendidikan pascasarjana yang dapat diakses secara gratis melalui website.
  4. Mengembangkan kerjasama antara peneliti, dosen, policy makers, dan manajer.
  5. Mengelola pengetahuan secara efektif untuk mempermudah komunikasi.

Seluruh tujuan ini, ditetapkan pada tahun 2011 dengan dukungan dana dari European Union. Dukungan tersebut akan diberikan hingga 2015 mendatang.

Apa yang sudah dilakukan oleh CHEPSAA selama dua tahun terakhir?

Berikut ini beberapa hal yang telah dilakukan CHEPSAA, diantaranya: pertama, merancang dna mendokumentasikan pendekatan untuk pengembangan kapasitas dari anggota. Kedua, melakukan penilaian akan kebutuhan anggota. Ketiga, mengembangkan berbagai strategi untuk: pengembangan staf dan organisasi untuk mendukung pengajaran dan penelitian; membangun networking dan melakukan riset pada kebijakan dan praktek; serta mrngelola pengetahuan.

Keempat, melakukan pengembangan kurikulum untuk program Master atu kursus singkat. Kelima, melakukan pertemuan tahunan di Ghana dan Afrika Selatan. Keenam, mengembangkan website untuk ilmu kebijakan dan pengembangan media sosial.

Dalam diskusi dengan Prof. Lucy, muncul hal menarik terkait hal yang sudah dilakukan yaitu menggunakan sistem open. Dalam program ini, berbagai materi perkuliahan dapat dipergunakan pihak lain dengan berbagai syarat. Contohnya: Modul Introduction to Complex Health Systems: Course Outline for Public Discussion (October 2013).

Modul ini dapat digunakan dalam mekanisme kerja lisensi berdasarkan prinsip Creative Commons Atribution Non Commercial Share Alike 2.5 (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/2.5/za/). Apa arti lisensi ini?

Perguruan Tinggi lain dapat menggunakan dengan tujuan:

to Share – to copy, distribute and transmit the work

to Remix – to adapt the work

Dalam kondisi:

Attribution. You must attribute the work in the manner specified by the author or licensor (but not in any way that suggests that they endorse you or your use of the work)

  Non-commercial. You may not use this work for commercial purposes

Share Alike. If you alter, transform, or build upon this work, you may distribute the resulting work but only under the same or similar license to this one

 

Ada beberapa syarat lainnya:

  1. For any reuse or distribution, you must make clear to others the license terms of this work. One way to do this is with a link to the license web page: 
  2. http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/2.5/za/
  3. Any of the above conditions can be waived if you get permission from the copyright holder.
  4. Nothing in this license impairs or restricts the authors’ moral rights.
  5. Nothing in this license impairs or restricts the rights of authors whose work is referenced in this document.
  6. Cited works used in this document must be cited following usual academic conventions
  7. Citation of this work must follow normal academic conventions

Jika anda ingin mempelajari lebih lanjut mengenai konsorsium ini,
silahkan klik di www.hpsa-africa.org  

 


Refleksi Untuk Indonesia

refleksi

Tujuan antara CHPESAA dan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) memang serupa, namun banyak perbedaannya. Pada pertemuan pertama tahun 2010, JKKI didirikan atas inisiatif beberapa perguruan tinggi yang dimotori oleh UGM. Pertemuan tahunan dilakukan hingga yang terakhir terjadi pada September 2013 di Kupang, NTT. Pendirian ini memang tidak berdasarkan proyek.

Perbedaan lain yaitu CHEPSAA menitik beratkan pada penyelenggara pendidikan pascasarjana di bidang kebijakan dan sistem kesehatan. Salah satu fokusnya ialah penguatan kurikulum pendidikan. Sementara, JKKI belum memiliki tujuan serupa.

Hal yang mirip ialah langkah awal berupa penilaian diri. CHEPSAA dimulai dengan langkah awal berupa penilaian kapasitas diri. JKKI akan mendapat dukungan dana dari AusAid secara formal pada 2014 di Indonesia. Hasil penilaian awal ini akan dilakukan pada Desember 2013. Harapannya, akan ada laporan dari tim konsultan yang dikontrak AusAid untuk kegiatan ini.

Lalu, berikut ini daftar beberapa hal penting yang perlu dikembangkan di Indonesia:

  1. Penggunaan prinsip Open dalam materi-materi yang dihasilkan oleh Konsorsium ini.
    Prinsip Open memang bertentangan dengan asas monopoli maupun penguasaan atas karya ilmiah. Dengan sistem Open yang berdasarkan kerangka lisensi berbagai produk pengembangan ditawarkan kepada pihak lain dengan berbagai persyaratan. Hal ini yang bekum banyak dilakukan di Indonesia karena pemahaman mengenai hal ini juga belum banyak. Bagian dari hasil kunjungan ini mengenai sistem Open menjadi pembelajaran penting.
     
  2. Pengembangan Emerging Leaders.
    Poin lain yang tak kalah penting yaitu pengembangan para peneliti muda dalam program Emerging Leaders. Dalam konteks penelitian kebijakan, perlu dilakukan kegiatan untuk melatih para peneliti muda. Pengalaman di Afrika menunjukkan perlunya pengembangan peneliti muda secara berkesinambungan.
     
  3. Ketrampilan Personal.
    Penelitian kebijakan harus memiliki ketrampilan personal untuk berkomunikasi secara formal dan informal. Hal ini dibutuhkan sejak awal penulisan proposal, memperoleh dukungan dana, saat penelitian, saat laporan dan advokasi hasil penelitian. Ketrampilan-ketrampilan ini tidak mudah diperoleh karena situasi di masing-masing negara berbeda. Atau yang biasa disebut unsur ‘seni’.

Demikian beberapa refleksi yang dapat ditarik dari kunjungan ke Afrika Selatan (LT).

pelatihan menulis skrip

Pelatihan Teknik Penulisan Skrip Video

Pembicara:
Pascalis Pramantya W

Tempat & Waktu : 
R. Leadership, 13 November 2013

 

Pertemuan dan Diskusi Akademi Ilmu Pengetahuan Yogyakarta (AIPY)

Pertemuan dan Diskusi
Akademi Ilmu Pengetahuan Yogyakarta (AIPY)

Tanggal 19 Oktober 2013 


 

Peran Ilmu Pengetahuan di Berbagai Negara Oleh Prof. Dr. Umar Anggara Jenie, PhD

 

Modal Sosial dan Kebijakan Publik Oleh Prof Dr Sunyoto Usman

 

Akademi Ilmu Pengetahuan Yogyakarta Oleh DR. Budi Santoso, PhD

Sesi 3.3.B Implementasi Kebijakan dan Program AIDS

 

Sesi 3.3.B
Implementasi Kebijakan dan Program AIDS

 

aidsfn2

Pembicara :

1. Suhendro Sugiharto – PKNI

Menurut Suhendro Sugiharto sebagai perwakilan dari lembaga PKNI (Persaudaraan Korban Napza Indonesia), saat ini trend penggunaan narkotika sudah bergeser, dari Heroin ke ATS, namun, layanan yang tersedia umumnya masih berbasis pada penanganan Heroin. Bagaimana dengan pengguna ATS? Apakah layanan sudah memadai bagi perawatan ketergantungan narkotika sebagai komponen yang efektif dalam penerapan program diversi? Bagaimana dengan SDM-nya? Bagaimana akses terhadap layanan? Apakah sejalan dengan penegakan hukum? Dalam skema Wajib Lapor hanya mereka yang sudah diputus pengadilan ditanggung Negara dan jumlah putusan rehabilitasi sangat kecil. Bagaimana dengan pecandu yang suka rela melaporkan diri? Apakah biaya perawatan ditanggung oleh negara? Dialektika tersebut memunculkan pernyataan sikap dari PKNI yang berisi pengakuan, penghormatan dan pemenuhan HAM; dekriminalisasi korban penyalahgunaan napza; pendekatan berorientasi kesehatan meliputi pendidikan, informasi, konseling, integrasi sosial, farmakologis, psikososial dan aftercare; Sistem Informasi Napza yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA) Generik dan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit; Studi dan Policy Brief untuk kebijakan berbasiskan bukti.

2. Esteria Naomi – IPPI (Ikatan Perempuan Positif Indonesia)

IPPI adalah LSM yang mendukung kelompok ODHA perempuan. Tema yang diangkat adalah Feminisasi HIV. Esterina Naomi menjelaskan bahwa IPPI mendorong pemerintah untuk mengeluarkan komitmen kebijakan bersama antara Kementrian Kesehatan, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dalam mengintegrasikan Kekerasan Terhadap Perempuan dan HIV-AIDS. IPPI juga mendorong pemerintah, mitra pembangunan internasional serta Lembaga PBB untuk membuat skema pendanaan bagi organisasi perempuan dan jaringan perempuan dengan HIV. Tujuannya membangun kesadaran masyarakat akan kerentanan perempuan terhadap kekerasan dan HIV-AIDS. IPPI juga menyatakan perlu adanya mekanisme sistem rujukan layanan kekerasan terhadap perempuan dan layanan HIV-AIDS termasuk layanan bantuan hukum bagi perempuan dengan HIV yang menjadi korban kekerasan serta proses re-integrasi.

3. Tono Muhammad – GWL Ina

Tono Muhammad sebagai perwakilan dari GWL Ina memaprkan bahwa GWL INA mencoba menyoroti pelibatan komunitas GWL dalam pembuatan kebijakan penanggulangan HIV bagi GWL. GWL Ina merupakan sebuah jaringan organisasi-organisasi berbasis komunitas gay, waria dan LSL lain di 28 propinsi dengan 71 organisasi anggota. Fokus mereka saat ini adalah penguatan sistem komunitas agar dapat terlibat secara lebih bermakna dalam penanggulangan HIV.

Menurut Tono, saat ini sulit memperkirakan besarnya populasi GWL karena mereka cenderung tidak diperhitungkan, stigma dan diskriminasi masih tinggi baik internal komunitas maupun eksternal (stakeholder dan masyarakat), adanya kebijakan-kebijakan yang tidak kondusif (misal kriminalisasi kondom dan kriminalisasi homoseksual), kasus pada kelompok dibawah 24 tahun terus meningkat, penggunaan media berbasis teknologi mengurangi kesempatan untuk melakukan pertemuan (tatap muka), kurangnya layanan IMS yang bersahabat dan komprehensif. Strategi yang perlu dikembangkan adalah peningkatan kapasitas komunitas agar lebih terlibat dalam pembuatan kebijakan; strategi perlu sesuai dengan karakteristik sub komunitas dan kondisi geografis; perlu adanya kebijakan-kebijakan yang kondusif dan tidak mengkriminalkan homoseksual; peningkatan kualitas layanan yang bersahabat dan satu atap; menjadikan komunitas sebagai solusi dan bukan sebagai masalah.

4. Aldo – OPSI (Organisasi Perubahan Sosial Indonesia)

OPSI melalui pemaparan Aldo melihat isu HIV dan AIDS dalam sudut pandang stigma dosa dan kesehatan seksual. Virus HIV yang menjadi penyebab AIDS menular dengan hukumnya sendiri tanpa melihat keyakinan agama, keimanan dan ketaqwaan seseorang. Beberapa implikasi yang muncul karena stigma tersebut adalah banyak pekerja seks yang malu dan takut untuk melakukan VCT sehingga kondisi riil epidemi tidak bisa dideteksi dan dikontrol secara maksimal karena pekerja seks HIV+ akan menyembunyikan diri sehingga penanggulangan HIV dan AIDS tidak bisa maksimal.

Menurut Aldo, masih banyak terjadi pelanggaran HAM terhadap ODHA melalui perlakuan diskriminatif, pengucilan, penolakan, bahkan kekerasan di lingkungan keluarga, kerja, masyarakat, birokrasi pemerintahan, bahkan sampai di tempat-tempat layanan kesehatan. Saatnya mengubah strategi penjangkauan bagi pekerja seks, melalui pendampingan, pemberdayaan, peer outreach. Perubahan kebijakan apapun yang menyangkut pekerja seks wajib melibatkan pekerja seks secara bermakna. Program HIV secara eksplisit harus mencakup dukungan hukum dan perlindungan HAM. Kekerasan terhadap pekerja seks yang selama ini terjadi harus menjadi tolak ukur dalam evaluasi kebijakan tentang kerja seks.

5. Aditya Wardhana – IAC (Indonesia AIDS Coaliton)

Aditya Wardhana sebagai perwakilan dari IAC mengawali pemaparannya dengan beberapa pembelajaran dan peran dari CSO yang concern pada isu AIDS. Program yang dijalankan CSO khususnya dengan partisipasi populasi kunci mampu menjangkau kelompok yang terpinggirkan secara sosial politik (ODHA, Pengguna Narkotika, Pekerja Seks, Gay, Waria, Transgender). Orang dengan HIV lebih tanggap dalam memahami haknya sebagai pasien. Advokasi menjadi salah satu spesialisasi populasi kunci di bidang AIDS baik di level nasional, regional maupun global. Pelibatan penuh komunitas menjadi salah satu poin penting dalam perencanaan implementasi maupun monitoring evaluasi. Tantangan kebijakan selama ini adalah koordinasi, untuk itu perlu penguatan payung hukum Perpres 75 dan modifikasi/penguatan kelembagaan KPAN. Pada aspek implementasi perlu ada Quality Assurance dari kebijakan. Aspek akuntabilitas dan transparansi dari kebijakan serta monitoring dan evaluasi program juga perlu untuk dilakukan. Dari segi pembiayaan, tidak hanya mencakup pendanaan bagi staf KPA namun juga perlu ada alokasi pendanaan APBN/APBD untuk program yang dijalankan populasi kunci.

Presentasi Makalah Bebas :

  1. Dampak Implementasi Kebijakan Penutupan Tempat Layanan Sosial Transisi untuk PSK dan Untuk Penutupan Prostitusi Terhadap Program Penanggulangan HIV-AIDS – Dewi Rochmah Khoiron, FKM Universitas Jember
  2. Pola dan Kinerja Kebijakan Anggaran Penanggulangan HIV dan AIDS: Studi Kasus Kota Yogyakarta, Kab. Sleman dan Kab. Bantul th 2010 s.d. 2012 – Valentina Sri Wijiyati, IDEA

 

19.00 – 21.30 : Membangun Jaringan Kebijakan AIDS Indonesia di Pusat dan Daerah Dalam Konteks Sistem Kesehatan

7 September 2013

08.00 – 10.00 : Pertemuan dengan peneliti dari 9 universitas.