Rencana tindak lanjut POKJA KIA

back

Kelompok KIA:
Workshop Penyusunan Rencana Tindak Lanjut POKJA KIA 

32c3

Selama 4 hari pelaksanaan Forum Nasional IV Jaringan kebijakan Kesehatan Indonesia dan Konas IAKMI yang tahun ini dilaksanakan di Kupang, dibahas berbagai Program besar salah satunya Program KIA yang sedang berjalan di indonesia. Khusus Untuk POKJA KIA telah di bahas tiga konsep besar di mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan Policy Brief . Untuk Perencanaan telah di petakan adanya MAF di tingkat provinsi yang digunakan di Jawa tengah dan Perencanaan Berbasis bukti dan Penetapan Prioritas Program KIA dengan Analityc Herarcy Proses (AHP) di Sulbar, sedangkan untuk Pelaksanaan telah dipetakan juga 1) Revolusi KIA, 2) Program SH , 3) Program Expending maternal dan neonatal survival (Emas di prov jawa tengah), 4) Penelitian “Health seeking behavior di provinsi NTT dan Jawa Timur, 5) Penggunaan surveilans respons dan jumlah kematian absolut di provinsi DIY. Selanjutnya sudah disusun beberapa Policy Brief diantaranya Analisis kebijakan: Tentang penggunaan data kematian dan terjadinya stagnasi program di berbagai daerah, 2) Strategi penurunan jumlah kematian bayi dengan revitalisasi AMP, 3) Manual rujukan KIA, 4) surveilans respon, 5) Menyoroti gerakan revolusi KIA di NTT, 5) Determinasi kunjungan ANC di daerah Kumuh/perkotaan, 6) Evalusasi Kebijakan Jampersal di DIY.

Pada sesi ini yang bertindak selaku moderator adalah dr. Hanevi Djasri, MARS. Sesi ini cukup diminati oleh peserta. Pada sesi diskusi ada banyak usulan yang diberikan oleh peserta yang hadir diantaranya: 1). Perluasan informasi mengenai inovasi KIA, 2). Perbaikan tampilan/kemasan policy brief , 3) Memetakan dukungan politis dari sisi parlemen, 4). Distribusi policy brief ke dinkes, parlemen, 4). Intervensi dalam mutu pelayanan klinis (Clinical care) misalnya: Mutu ANC tidak hanya memantau cakupan K1 dan K4, Standarisasi pelaksana manual rujukan (pelaksana harus distandarisasi pelaksana-pelaksana ini , misalnya bidan faktanya bidan tidak mampu untuk memberikan pertolongan), Adanya komitment yang kuat dari pelaksana (dr. yang masih on call), 5). Menyusun modul program KIA sesusai dengan kondisi lokal (Misalnya modul MTBS 1-12) disederhanakan untuk provinsi papua) POA di level provinsi (bisa ambil pengalaman dari penyusunan manual rujukan KIA, 6) Keterlibatan tokoh adat dan pemuka agama, 7) Strategi implementasi yang lebih baik berdasarkan peraturan yang sudah ada: contoh Bimtek Monev KIA untuk melihat komitment Dinkes dan RS (Tim AMP) , 8) Menyusun strategi replikasi yang berlaku secara umum, 9). Pelatihan advokasi di level struktural dan kultural, 10) Menyebarluaskan manual rujukan yang sudah ada, 11) Progres berbagai inovasi yang dipaparkan tahun 2013, 12) Analisa berbagai kebijakan terkait KIA, 13) Keterkaitan antara aspek ilmiah dengan implementasi lapangan (Desain ilmiah dengan desain project), 14) Tanggapan atau analisis dari organisasi profesional :POGI, IDAI, Feto, Hogsi, Perinasia, JNPK , P2KB, dsb keterkaitan antara aspek klinisi –manajerial –regulasi, 15) Meningkatkan penerimaan konsep surveilans respon, 16) RS PONEK harus: AMP, dashbord, rujukan balik, 17) Policy brief harus evidence based jangan hanya experience based, 18) Menyusun topok-topik yang dapat diteliti oleh mahasiswa S2 sesuai dengan POA Pokja KIA

Ditulis oleh Armiatin

Reportase sesi 3.4C

back

 

Sesi 3. 4c

Makalah Bebas Kelompok KIA dan Penyakit Tidak Menular

Makalah bebas kelompok KIA dan penyakit tidak menular di laksanakan di ruang Pearl Hotel On The Rock Kupang. Pada sesi ini ada 6 pembicara yang mempresentasikan hasil penelitian yang dilakukan di berbagai daerah di indonesia. Presentasi pertama oleh Qomariah Alwi, dalam penelitiannya Qomariah Menyoroti tentang gerakan Revolusi KIA dalam meningkatkan Linakes di Faskes, pemberian ASI Ekslusif dan penimbangan Balita di Kab. Kupang NTT. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan revolusi KIA dan PPKIA dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak, khususnya persalinan Nakes di fasilitas kesehatan, pemberian asi ekslusif dan penimbangan. Qomariah menjelaskan bahwa ada banyak dampak positif yang dirasakan dengan adanya revolusi KIA ini, salah satunya adanya kebijakan lokal pemerintah untuk menerbitkan Perbub Revolusi KIA dan Perbub tentang percepatan pelayanan KIA, dengan adanya Perbub ini semakin meningkatkan Linakes dan Lin-Faskes, terjalin mitra bidan dukun-dukun dan kader diatur dengan reward dan punishment, Kades membuat Perdes persalinan Toma Toga berperan serta dalam persalinan dan kegiatan posyandu, ada MOU antara Puskesmas dengan pihak kecamatan/Satpol PP untuk penyelamatan bayi, tidak hanya itu Linakes di faskes meningkat cukup drastis, meskipun banyak manfaat yang dirasakan namun ada juga kekurangan-kekurangannya dalam pelaksanaannya, diantaranya kebijakan revolusi KIA tidak didukung dengan sarana prasarana SDM, biaya dan tidak adanya monitoring dari Provinsi. Gerakan ini masih berfokus ke kekesehatan ibu, belum serius ke masalah gizi balita.

Presentasi selanjutnya disampaikan oleh Tumiji dari Balitbangkes Surabaya, dengan judul Determinasi kunjungan antenatal care di daerah kumuh perkotaan di indonesia, dalam presentasinya Tumiji menyampaikan bahwa ditemukan hanya 60% ibu hamil yang menerima lengkap komponen antenatal care dan puskesmas memberikan pelayanan yang lebih baik. Wanita yang melakukan antenatal care di sektor swasta memiliki resiko lebih tinggi untuk menerima kecukupan anc yang rendah, meski kualitas teknis layanan antenatal care lebih rendah dibanding dipuskesmas/polindes, namun fasilitas kesehatan justru mendapat kunjungan antenatal care yang lebih tinggi. banyak alasan masyarakat memilih sektor swasta namun layanan yang diberikan sering tidak memadai dan tidak sesuai dengan pedoman pemerintah, sektor swasta dinilai lemah dalam peraturan dan kontrol meskipun ada, seringkali kurang efektif karena rendahnya pengawasan publi dan lemahnya penegakan hukum.

Selanjutnya Presentasi ketiga disampaikan oleh Ummul Khair dari Bapelkes Dinkes DIY. Penelitiannya menyoroti tentang Evaluasi Kebijakan jaminan persalinan di Provinsi DIY. berbagai upaya telah dilakukan pemerintah agar AKI dan AKB menurun, salah satunya adanya kebijkan Jampersal, namun menurutnya perlu dilakukan evaluasi kebijakan Jampersal ini. Penelitiannya dilakukan di 5 Kab/Kota dengan subyek penelitian Dinas Kesehatan dan pemberi layanan dan pengumpulan datanya dengan indepth interview. Hasil penelitiannya ditemukan SDM belum memenuhi secara kuantitas dan kualitas, masih ada RSUD yang belum memiliki dokter obsgyn, keterbatasan tenaga bidan di puskesmas dan masih kurangnya jumlah MOU dengan bidan. Untuk nominal jasa yang diberikan tidak sepadan dengan nilai jasanya, paketan jampersal yang belum akomodatif dan kadang-kadang menimbulkan image negatif, pemgembalian atau pencairan dana memakan waktu lama. Fasilitas dan peralatan di puskesmas belum kondusif dan kelengkapan peralatan di RS rujukan tidak semua puskesmas Poned memadai. Kebijakan yang ada tidak sinkron

Selanjutnya Presentasi keempat disampaikan oleh Triastuti Sugiatmi dari Dinkes Provinsi Tarakan dengan judul Evaluasi Kebijakan PPD test dalam kasus TB anak di dinkes kota tarakan. Hasil Penelitiannya menunjukkan PPD test diadakan dengan dana APBD pada tahun 2010 dan dimanfaatkan pada tahun Januari 2011- Oktober 2012, Logistik pendukung TB anak untuk kasus lanjutan khususnya yang didiagnosa positif TB anak (INH profilaksis) belum terjaga sustainabilitasnya—penatalaksanaan belum sesuai standar walaupun sudah dilakukan penegakan diagnosa yang lebih baik. Pelatihan ataupun on the job training TB anak belum ada program yang terpusat. Baru dilaksanakan di kota Tarakan Juni 2013. Tidak seluruh puskesmas yang menyelenggarakan tes PPD –mempunyai SOP. (3 dari 7 puskesmas ), TB Anak memang program yang masih sering diabaikan baik dalam tataran nasional maupun lokal. Upaya pengadaan PPD test dengan dana dari APBD II untuk meningkatkan cakupan program TB anak patut dihargai walaupun banyak kekurangan dalam tataran implementasi . Hasil mantoux test yang bisa memberikan hasil yang positif palsu maupun negatif palsu menggambarkan masih sulitnya penegakan diagnosis TB anak kasus khusus di layanan primer walaupun sudah memanfaatkan mantoux test.

Berikutnya Yusni Zainal berasal dari Dinkes Kab. Sinjai dengan judul Kelemahan dalam pelaksanaan pemantauan wilayah setempat kesehatan ibu dan anak. Menurutnya penting dilakukan pemantauan, karena semua pelaksanaan kegiatan memiliki potensi kegagalan, dan monitoring merupakan cara untuk menemukan kegagalan. Monitoring berguna untuk memperbaiki komponen kegagalan program. Temuan dalam penelitiannya adalah PWS KIA berorientasi pada peningkatan capaian, kurang dalam menemukan kasus-kasus yang justru perlu ditindaklanjuti, kasus-kasus yang harus di tindaklanjuti cepat justru tidak masuk dalam prioritas pencatata. Diharapkan kedepannya point tindak lanjut dari masalah situasi setempat harus menjadi tekanan dalam pelaporan pemantauan, sistem teknologi informasi bisa membantu akses oleh semua pihak dan diharapkan Dinkes mengontrak manajer untuk tindak lanjut masalah KIA. Pembicara Rini Anggraeni dari FKM Unhas menutup sesi dengan mempresentasikan hasil penelitiannya yang berjudul Faktor resiko penyakit tidak menular (Hipertensi dan DM) di Kab. Tana toraja tahun 2011. Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit tidak menular dengan angka kematian yang semakin meningkat. Sedangkan hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebeb meningkatnya resiko penyakit stroke, jantung dan ginjal. Tanah toraja merupakan salah satu kabupaten di sulawesi selatan yang masyarakatnya diduga memiliki resiko yang tinggu akan DM dan hipertensi. Pengamatan terhadap kebiasaan masyarakat/budaya menunjukkan bahwa tingkat konsumsi lemakcukup tinggi serta cenderung memiliki pola hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan mengkonsumsi alkohol. Kebiasaan ini dapat memicu konsumsi lemak yang tinggu dan memungkinkan terjadinya obesitas hiperlipidemia/hiperkolesterolemia dan hipertensi.

Ditulis oleh Armiatin

Reportase sesi Sesi 3. 2C

back

 

Sesi 3. 2c.

Pengembangan Inisiatif Millenium Acceleration Framework
di Provinsi Jawa Tengah

Pembicara I: Dr. Arum Atmawikarta, MPH
(Sekretaris Eksekutif MDG’s Nasional BAPPENAS

32c2

Provinsi Jawa Tengah telah mengembangkan Inisiatif Millenium Acceleration Framework (MAF). MAF adalah kerangka metodologis yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan stakeholders berupa pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan bottleneck dalam upaya mencapai target MDGs dengan kategori off-track sekaligus solusinya. Tujuannya untuk Memberikan kontribusi untuk mengejar ketertinggalan pencapaian target MDGs dengan langsung menangani ‘intervensi’ utama secara efektif. Ada 4 langkah MAF yaitu: 1) Penentuan prioritas untuk melakukan intervensi secara spesifik, 2) Mengidentifikasi dan menyusun prioritas untuk mengatasi bottleneck secara efektif, 3) Menetukan solusi bersama multistakeholders dalam mengatasi bottlenecck, 4) Perencanaan dan pemantauan implementasi dari solusi yang ditentukan.

Metode MAF telah diimplementasikan di 15 negara di 3 benua. Di Indonesia penerapan pertama metode MAF dilaksanakan di Provinsi Jawa Tengah dengan pertimbangan daerah tersebut memiliki komitmen yang tinggi dan akan berdampak terhadap sasaran nasional. Dalam proses penyusunan MAF memerlukan kerja sama yang kuat antara berbagai stakeholders yang berasal dari Pemerintah, universitas, organisasi profesi, lembaga kemasyarakatan, media, mitra kerja internasional, swasta.

Tahapan penerapan MAF di Provinsi Jawa Tengah: 1) Penjajakan baik dipusat maupun didaerah untuk menyamakan persepsi tentang area MAF yang akan digarap (Komunikasi dengan kementrian kesehatan, komunikasi dengan Kementrian PPN/Bappenas, komunikasi dengan UN, 2) Pemilihan kandidat lokasi (komitmen Pemda tinggi dan akan berdampak terhadap sasaran secara nasional), 3) permintaan resmi dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah kepada UN, 4) mulai melakukan persiapan (Rapat koordinasi, menyusun agenda kerja, merekrut konsultan, menyusun TOR untuk pelaksanaan MAF, 5) berkunjung ke Provinsi Jawa Tengah (bertemu dengan Bappeda dan stakeholder lain menyampaikan gagasan MAF dan menyampaikan persepsi, stakeholder: Pemerintah, perguruan tinggi, Organisasi Profesi, Lembaga Swadaya Masyarakat.

Proses penyusunan MAF di Jawa Tengah dapat digunakan sebagai lesson learned untuk mempercepat pencapaian sasaran MDGs 5 atau MDGs kategori off track lainnya dengan berbagai penyesuaian sesuai dengan kondisi daerah.

Pengalaman Dinas Kesehatan Provinsi Papua dalam mendukung implementasi perencanaan berbasis bukti Sektor KIA di 7 Kabupaten di Provinsi Papua


 

Pembicara II: drg.Agnes Ang

32c1

Pada sesi ini dr. Agnes Ang selaku Kabid Bina Program dan Pengembangan Kesehatan Wilayah Dinkes Provinsi Papua berbagi pengalaman tentang Perencanaan Berbasis Bukti yang berlangsung di 7 Kabupaten di Papua. Perencanaan Berbasis Bukti (PBB) adalah inisiatif yang bertujuan untuk membuat perencanaan di level kabupaten/kota menjadi lebih sistematis dan menggunakan data kesehatan yang spesifik untuk daerah. Perencanaan Berbasis Bukti juga menggunakan bottleneck analysis framework dan mengedepankan penggunaan 66 intervensi yang berbasis bukti, atau yang telah terbukti efektif menurunkan angka kematian ibu dan anak. Melibatkan 3 kelompok yaitu masyarakat, keluarga hingga klinisi, selain itu dapat dijadikan sebagai bahan advokasi untuk pembiayaan dan bisa menggunakan strategi-strategi prioritas bagi daerah.

Tingginya AKI dan AKB di indonesia dan adanya kesempatan yang diberikan dalam era desentralisasi keleluasaan untuk merencanakan sesuai dengan kebutuhan daerah. mendorong Provinsi Papua untuk melakukan perencanaan dan penganggaran yang lebih tepat didaerah (bottom up) yang dipadu dengan top down. Namun ada berbagai tantangan Provinsi Papua dengan dengan luas Wilayah 316.553,1 dan jumlah penduduk 2.833.381 jiwa. Hampir separuh dari total penduduk papua berdomisili di wilayah pegunungan dan 60% penduduk Papua berdomisili daerah yang bertopografi sulit. Ada berbagai tantangan yang dihadapi seperti perencanaan yang tidak sistematis, kapasitas lokal yang terbatas, tidak digunakannya data lokal dalam perencanaan, SDM terbatas terutama untuk daerah pemekaran, apalagi di daerah yang terlibat konflik. Hampir separuh dari total penduduk papua berdomisili di wilayah pegunungan dan 60% penduduk Papua berdomisili daerah yang bertopografi sulit. Papua Kendalanya biaya tinggi, transportasi sulit bahkan ahanya ada 3 Provinsi yang bisa dilalui jalur darat, biaya transportasi tinggi

PBB di Papua telah berlangsung di 7 kabupaten dan telah menunjukkan adanya peningkatan anggaran untuk kesehatan ibu dan anak. Perencanaan berbasis bukti memiliki nilai tambah bagi Provinsi Papua 1) PBB menegaskan perlunya Intervensi efektif menjadi pedoman dalam program mengurangi kematian ibu dan anak, 2) PBB dapat memberikan gambaran kuantitatif untuk intervensi efektif dan bottlenecknya. Sebagian data dapat dipergunakan sebagai alat monitoring untuk UPK4, 3) PBB dapat memberikan gambaran besaran anggaran untuk meningkatkan intervensi efektif, 4) PBB dapat dipergunakan untuk memperbaiki alokasi sumber daya : mana yang prioritas untuk investasi. Kedepannya di diharapkan perencanaan dan penganggaran kesehatan di Kab/Kota dapat menggunakan pendekatan yang sistematis, PBB dikembangkan secara open-system dalam proses perencanaan dan penganggaran di daerah, Perencanaan menggunakan PBB hanya dapat berjalan apabila ada pendamping (tim fasilitator). Selain itu perlu mengembangkan sejumlah fasilitator/ technical assistance (TA), melembagakan kegiatan fasilitator dengan dana yang tersedia setiap tahun (misal dengan dana dekonsentrasi), dana ini akan komplemen dengan anggaran Perencanaan Mikro PKM dari BOK.

Ditulis oleh: Armiatin

Reportase sesi 3.1 Aids

31a

Sesi 3

Konteks Kebijakan AIDS:
Epidemiologi dan Perilaku Beresiko

 

Pengantar

Kelompok AIDS secara aktif berdiskusi pada Jumat, 6 September 2013 pukul 08.00-10.00 WIB di Ruang Ruby, Hotel On The Rock, Kupang. Epidemiologi dan Perilaku Beresiko dalam konteks Kebijakan AIDS merupakan tema pertama yang diutarakan dalam pembahasan pada sesi pertama Kelompok AIDS pada Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia IV yang diselenggarakan di Kupang pada 4-7 September 2013. Pembicara yang terlibat dalam sesi ini berasal dari berbagai pihak, baik itu lembaga pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat lokal, maupun pihak LSM dan donor asing yang terkait dengan Kebijakan dan Program HIV AIDS di Indonesia. Sesi Kelompok AIDS kali ini dimoderatori oleh Iko Safika, M.PH, PhD.

31a

Mengapa Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku perlu dilakukan di Indonesia

Narasumber pertama berasal dari Kementrian Kesehatan yaitu Dr. Siti Nadia Wiweko (Kasubdit AIDS P2PL). Nadia menyampaikan paparan terkait Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku. Pada sesi hari ketiga kelompok AIDS, Nadia memaparkan bahwa secara umum Indonesia adalah negara dengan epidemi HIV/AIDS rendah, tetapi terkonsentrasi pada sub populasi berisiko. Terkait dengan hal ini pemerintah merasa perlu melakukan kegiatan pemantauan regular terhadap epidemi yang terjadi. Sejak tahun 1998 hingga 2011, sudah dilakukan beberapa survei integrasi antara HIV dan IMS serta survei perilaku atau yang sering disebut dengan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP). STBP sendiri sudah dilakukan pada 2007, 2009, dan 2011. STBP 2011 dilakukan di 11 provinsi yaitu Provinsi Sumatra Utara, Kepulauan Riau, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua. Provinsi tersebut sama dengan STBP 2007, kecuali Lampung dan Maluku.

Apa Tujuan Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku ?

  1. Mengetahui prevalensi Gonore, Klamidia, Sifilis, dan HIV serta menganalisa populasi paling berisiko dan menganalisa kecenderungannya.
  2. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang penularan dan pencegahan HIV pada populasi paling berisko dan populasi rawan (remaja) dan menganalisa kecenderungannya.
  3. Mengetahui tingkat perilaku berisiko tertular atau menularkan HIV diantara populasi paling berisiko dan menganalisa kecenderungannya.
  4. Mengetahui cakupan internvensi pengendalian HIV dan IMS serta dampaknya pada kelompok populasi paling berisiko dan populasi rawan.

Siapa saja responden STBP

Kemudian, narasumber juga menjelaskan bahwa responden STBP adalah populasi usia >15 tahun berisiko tinggi tertular HIV dan populasi rawan tertular HIV (remaja), yang terdiri dari Wanita Pekerja Seks Langsung (WPSL), Wanita Penjaja Seks Tidak Langsung (WPSTL), Pria berisiko tinggi (Pria risti), Pengguna Napza Suntik (Penasun), Wanita-Pria (Waria), Lelaki suka Seks dengan Lelaki (LSL), Narapidana, dan murid kelas 11 9SMA) untuk mewakili populasi remaja, kelompok lelaki supir truk, tukang ojek, pelaut dan Tukang Bongkar Muat (TKBM). Populasi STBP 2011 sama dengan STBP sebelumnya, kecuali narapidana baru dimasukkan pada STBP 2011. Total responden adalah 25.150 dengan pembagian WPS 7304, Pria Risti 4899 (Pelaut, TKBM, Supir truk, Tukang ojek), Waria 1089, LSL 1250, Penasun 1420, WBP 2000, dan Remaja (pelajar SLTA) 7022.

Penutup

Kesimpulan dari hasil survei pada seluruh kelompok sasaran adalahdibanding STBP 2007, pola prevalensi HIV antar kelompok sasaran cenderung tetap, sedangkan prevalensi Infeksi Menular Seksual (IMS) mengalami perubahan. Pada pola perilaku tidak terjadi peningkatan perilaku penggunaan kondom secara konsisten pada seks berisiko.Sedangkan pada sisipengetahuan komprehensif tentang HIV-AIDS pada seluruh kelompok sasaran mengalami penurunan (Pengetahuan komprehensif mengukur tingkat pengetahuan pencegahan dan penularan HIV-AIDS tentang lima hal berikut: (1) tidak dapat mengetahui ODHA hanya dengan melihat; (2) setia terhadap pasangan dapat mencegah penularan HIV; (3) penggunaan kondom dengan benar dapat mencegah penularan HIV; (4) penggunaan alat makan bersama dengan ODHA tidak dapat menularkan HIV; (5) gigitan nyamuk/serangga tidak dapat menularkan HIV.)Untuk selanjutnyapada penggunaan napza suntik pada kelompok sasaran selain penasun cenderung tetap.Sedangkanperilaku berbagi jarum pada penasun cenderung turun.

Tujuan Survei Cepat Perilaku (SCP)

Pada sesi kedua pemaparan Kelompok AIDS pada 6 September 2013, Halik Sidik (Asisten Deputi Penguatan Kelembagaan-Komisi Penanggulangan AIDS Nasional/KPAN) memaparkan hasil survei dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mengenai Survei Cepat Perilaku Penasun (Pengguna napza suntik) dan Wanita Pekerja Seksual (WPS) Tahun 2010, 2011, dan 2013. SCP Penasun WPS dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran akses terhadap program dan pola perilaku berisiko Penasun di 9 kota serta WPS di 12 kabupaten/kota dengan jumlah WPS terbanyak. Tujuan khusus SCP WPS adalah untuk mengetahui karakteristik WPS, untuk mengetahui akses WPS terhadap program dan perilaku penggunaan kondom dengan menggunakan rancangan survei kuantitatif berbasis komunitas dimana hasil survei dapat digeneralisir pada populasi penasun di lokasi SCP.

31b

Di mana saja lokasi SCP Penasun dan WPS dilakukan?

SCP Penasun dilakukan di Medan, DKI Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Makassar. Sedangkan SCP WPS dilakukan di Jakarta barat, Semarang, Malang, Banyuwangi, Denpasar, Indramayu, Bintan, Palembang, Makassar, Jayapura, Sorong dan Simalungun.

Kesimpulan hasil SCP

Upaya mengubah perilaku pada Penasun relatif berhasil sementara pada Pembeli Seks belum berhasil dengan melihat rendahnya kesadaran akan pemakaian kondom pada saat berhubungan dengan WPS. Kemudian, dari hasil pemaparan kesimpulan SCP muncul pertanyaan terkait dengan kebijakan bahwa: Apakah rendahnya perubahan perilaku pada pembeli seks disebabkan karena skala intervensi yang masih rendah atau karena metodologi intervensinya, atau karena keduanya? Sumber daya dan manajemen bisa jadi menjadi solusi dan pendekatan untuk mengatasi masalah secara skala dan gabungan keduanya. Namun apabila masalahnya terletak pada Metodologi intervensinya, pemerintah masih memiliki tugas untuk mencari pendekatan dan solusi yang paling sesuai dengan kondisi perkembangan persebaran HIV/AIDS di Indonesia saat ini.


Narasumber 3:

Silvy Devina – HCPI (HIV Cooperation Program Indonesia)
Survey Terpadu Biologi dan Perilaku di Lapas (Integrated Biological and Behavioral Surveilance) (IBBS)

HIV Cooperation Program Indonesia (HCPI) adalah sebuah proyek di bawah naungan Burnet Institute Australia yang memiliki program membantu Indonesia dalam merencanakan, membangun, dan mengiplementasikan penanganan yang efektif dan berkelanjutan terhadap HIV.

31c

Latar Belakang Peneltiian diadakannya STBP terhadap WBP

Ibu Silvy Devina memulai pemaparannya pada pertemuan sesi Kelompok HIV dengan menjelaskan bahwa latar belakang diadakannya penelitian Prevalensi HIV dan SIfilis (2010) dan HIV dan HCV (2012) dan Perilaku Berisiko karena prevalensi HIV pada WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) lebih tinggi daripada komunitas umum. (Dolan J. et al 2007) dan menurut estimasi dari sekitar 140.000 WBP di Indoensia, 5000 sudah terinfeksi HIV (3,6%) (kemenkes, 2009). Melihat angka yang cukup signifikan tersebut, HCPI membuat sebuah studi pada tahun 2010 dan 2012.

Tujuan Studi 2010 dan 2012 adalah untuk:

  1. Mengetahui prevalensi HIV dan Sifilis (2010) dan HIV dan HCV (2012)
  2. Mengidentifikasi perilaku berisiko penularan HIV dan HCV: Penggunaan jarum suntik untuk menyuntikkan napza, praktek tato, tindik, pemasangan aksesoris kelamin.
  3. Menilai pengetahuan WBP tentang penularan dan pencegahan HIV dan HCV.

Kesimpulan dan Rekomendasi Studi 2010 dan 2012

Seperti dijelaskan oleh Ibu Devina, Prevalensi HIV pada WBP di Lapas Narkotika lebih tinggi dibandingkan di Lapas Umum (6,5% berbanding 1,1%). Prevalensi HIV lebih tinggi pada WBP perempuan (2010) dan Perilaku berisiko pada WBP laki-laki: penasun, tato, tindik, dan aksesoris kelamin.

Sebagai penutup HCPI meberikan rekomendasi dari hasil studi yang mengacu pada penemuan hasil akhir penelitian dengan mengingat pentingnya upaya pencegahan, perawatan dan dukungan terhadap populasi kunci dalam hal ini WBP.

  1. Membangun kerjasama, jejaring, sistem rujukan layanan deteksi dini dengan penyedia layanan kesehatan HIV/AIDS.
  2. Menyediakan pemutih, kondom, jarum suntik steril dan menginkatkan layanan methadone dan rehabilitasi/ detoksifikasi di Lapas.
  3. Kajian terhadap program KIE
  4. Pelatihan program HIV/AIDS untuk petugas Lapas/Rutan
  5. Pendekatan alternative penahanan penasun, pengurangan masa hukuman, dan de-kriminalisasi pengguna Napza.
  6. Program deteksi dini, pemeriksaan dan pengobatan IMS khusus WBP perempuan.

Narasumber 4:

Ibu Retno Mardiyati – Yayasan Spiritia
Faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV pada ODHA di Indonesia

Yayasan Spiritia adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang didirikan pada 1995 sebagai kelompok dukungan sebaya oleh dan untuk orang yang terinfeksi HIV (Odha) dan terpengaruh oleh HIV (Ohidha).

Topik bahasan oleh narasumber dari Yayasan Spiritia berfokus pada penelitian yang memberikan dukungan terhadap Orang Dengan HIV AIDS (ODHA).

Mengapa ada Terapi Kepatuhan terhadap ARV?

HIV merupakan salah satu penyakit yang treatable tapi belum curable karena belum ditemukan obatnya.Sehingga seorang ODHA harus mengonsumsi obat ARV seumur hidup dan tepat waktu.Jadwal ketat minum obat HIV ini tidak boleh meleset agar bisa menekan jumah virus di tubuh. Jika tidak disiplin obat justru akan menjadi resisten terhadap tubuh.Karenanya ODHA harus mengonsumsi obat ARV untuk mempertahankan kekebalan tubuhnya.

Mengapa Penelitian ini diadakan?

Ibu Retno memberikan penjelasan mengenai latar belakang pentingnya penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV pada ODHA di Indonesia.

•  Menurunkan risiko kematian
•  Mengurangi angka kesakitan
•  Mengurangi jumlah virus
•  Meningkatkan daya tahan tubuh

Lokasi Penelitian meliputi Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Bangka, Belitung, Lampung dan DKI Jakarta.Responden utama adalah ODHA dengan kepatuhan 95% berjumlah 16 orang.Responden pendukung adalah Ohida 14 orang, Petugas kesehatan 10 orang, dan dukungan sebaya 5 orang.

Karakteristik yang berhubungan dengan kepatuhan minum ARV meliputi umur, gender, waktu, status HIV, pergantian rejimen ARV. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam terapi ARV dikategorikan dalam: Faktor personal, Faktor sosial, faktor Lupa dan Cara Mengingat, peran Ohida, dan Obat.

Hasil Penelitian dan Rekomendasi

Narasumber menjelaskan kesimpulan mengenai hasil penelitian bahwa berdasarkan analisis multivariat, variable dominan yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV adalah mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat (peran Ohida).

Berkaitan dengan kompleksnya terapi ARV baik itu ditinjau dari faktor personal, faktor sosial, faktor Lupa dan Cara Mengingat, peran Ohida, dan Obat, hasil temuan penelitian merekomendasikan hal-hal yang perlu dilakukan.

Kementrian Kesehatan perlu melakukan:

  1. Segera menerapkan penggunaan obat yang lebih disederhanakan untuk mengurangi jumlah pil yang digunakan dan mengurangi frekuensi minum obat dengan kombinasi dosis tetap
  2. Memperbaiki pendataan dan pelaporan pengguna obat untuk menghindari ketidaktersediaan stok obat di tempat layanan

Rumah Sakit Rujukan dan Puskesmas perlu:

  1. Memperhatikan peningkatkan kepuasan pasien terhadap layanan yang diberikan melalui peningkatan kenyamanan klinik/tempat layanan, jadwal dokter yang sesuai dengan kebutuhan pasien, durasi waktu menunggu yang lebih singkat, meningkatkan keterampilan komunikasi antara dokter dan pasien.
  2. Meningkatkan kualitas layanan dengan mengurangi stigma dan diskriminasi di tempat layanan
  3. Meningkatkan kepedulian dan keterampilan para pemberi layanan kesehatanMeningkatkan keterlibatan pasien dalam layanan
  4. Mempermudah jangkauan/akses pasien ke tempat layanan melalui penyediaan layanan atau layanan satelit yang lebih banyak
  5. Menyediakan layanan terintegrasi (satu atap)
  6. Meningkatkan jumlah dokter sehingga rasio dokter dengan pasien tercukupi.
  7. Dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu membantu mengingatkan Odha dalam meningkatkan kepatuhan dengan cara pengoptimalan teknologi sederhana seperti penggunaan alarm.

KP, KDS, dan pihak keluarga perlu:

  1. Memberikan pengetahuan esensial mengenai cara penularan, pengobatan, efek samping, kepatuhan, resistensi dan motivasi dan pendukungan minum obat.
  2. Mengembangkan strategi dukungan kesebayaan lebih kuat dimana pendukung sebaya tidak hanya berdasarkan status HIV tetapi juga kesebayaan berdasarkan populasi risiko dan telah terapi ARV khususnya yang berkepatuhan tinggi sehingga dapat menjadi model.
  3. Perlu meningkatkan jumlah dan mutu pendukung sebaya dalam memotivasi dan mempersiapkan odha menggunakan ARV.

ODHA perlu:

  1. Meningkatkan rasa percaya diri dengan melalui keterlibatan diri dalam kegiatan dukungan sebaya.
  2. Meningkatkan pengetahuan ARV sehingga memotivasi diri Odha untuk kesiapan memulai dan mempertahankan kepatuhan ARV.
  3. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya melaporkan efek samping yang dialami kepada dokter.
  4. Mengetahui faktor atau potensi yang menyebabkan penghambat kepatuhan dan mencari akses akan dukungan dan rujukan untuk mengatasinya.
  5. Meningkatkan kesadaran Odha dalam memulai terapi tepat waktu sesuai pedoman yang berlaku.
  6. Membuat manajemen waktu pribadi yang sesuai dengan aktivitas pribadi dan waktu minum obat

Penutup

Pencapaian untuk semua rekomendasi diatas membutuhkan wadah dukungan sebaya dan pemberi layanan kesehatan primer. Kedua wadah tersebut akan berjalan dengan baik jika penguatan sistem komunitas dan penguatan sistem kesehatan terselenggara dengan baik di tingkat lokal dan nasional.

 

Reportase kelompok AIDS – 6 September

 

Apakah Perlu Ada Jaringan untuk Kebijakan AIDS?

Diskusi JKKI Kelompok AIDS


Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia Kelompok AIDS merupakan kelompok yang baru terbentuk pada Forum Nasional Kebijakan Kesehatan keempat tahun 2013 di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Menurut Praptoraharjo, terbentuknya kelompok ini untuk merespon epidemi HIV/AIDS di Indonesia dan kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia. Dalam diskusi perdanananya pada Jumat, 6 September 2013 yang bertempat di Hotel On The Rock, Kupang, kelompok ini akan membahas dua hal penting dari sisi konteks kebijakan dan pemerintahan. Konteks kebijakan selama ini melihat seberapa jauh kebijakan sudah merefleksikan nature of the disease, dimensi sosial, politik, ideologi, serta kecenderungan epidemiologi AIDS berlandaskan kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia. Dari sisi pemerintahan, kelompok AIDS akan melihat bagaimana kepemimpinan dalam pengembangan dan implementasi kebijakan dan program ini bagaimana peran kelembagaan, kejelasan peran dan konteks desentralisasi, apakah ada sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan, bagaimana mengintegrasikan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang ada dengan mempertimbangkan sifat dari penyakit, serta melihat partisipasi, akuntabilitas dan transpirasi.

Rangkuman sesi Kelompok AIDS sebelumnya, yaitu (1) melihat seberapa jauh pemanfaatan bukti untuk mengembangkan kebijakan, (2) melihat pembiayaan, adanya isu layanan (stigma dan diskriminasi, rendahnya efektivitas strategi program), adanya missed opportunity (diagnosis, perawatan/terapi dini, akses dukungan sosial), terbatasnya akses dan utilisasi terhadap layanan (LASS, TRM, VCT, dan ART), logistik dan SDM yang kurang memadai, jejaring dan rujukan antar layanan, kualitas layanan dan kebijakannya, dan mitigasi dampak program perlindungan sosial dalam respon nasional untuk penanggulangan HIV.

Prof. Laksono membuka diskusi dengan pertanyaan Apakah AIDS merupakan bagian dalam sistem kesehatan? Marguari (Spiritia) menjawab dengan pasti bahwa AIDS tidak akan lepas atau keluar dari sistem kesehatan. Saat ini memang AIDS menjadi bagian dari sistem kesehatan, tetapi belum sempurna jika dilihat dari faktor-faktor lain yang secara tidak langsung bersinggungan dengan isu ini, misalkan adanya faktor sosial, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi.

Utomo (HCPI) menanggapi pertanyaan tersebut dengan perlunya menyepakati framework untuk diskusi sehingga relevan dengan isu utama yaitu mencari gap antara framework dengan implementasi (realita) yang ada. Dari bidang kesehatan masyarakat perlu dilihat sisi kebijakan, bagaimana konteksnya, dan penganggaran, dengan tujuan untuk mengurangi epidemi yang ada. Tentu saja ada framework kesehatan masyarakat yang akan dibuat, tetapi ini merupakan diskusi awal untuk membangun sinergi antara kelompok kebijakan dan kelompok AIDS, jelas Trisnantoro. Hasil kebijakan AIDS lebih maksimal jika ditangani oleh orang AIDS yang diberikan penjelasan tentang kebijakan, bukan sebaliknya.

Sistem kesehatan AIDS melihat fungsi dalam sistem dari setiap komponen sistem, sebagai contoh KPA menjalankan fungsi regulasi atau sebagai penyusun kebijakan, Kementrian Kesehatan dan Dinas Kesehatan menjalankan fungsi pemberi dana, Rumah Sakit dan Puskesmas sebagai pelaksana kegiatan, LSM dan organisasi lainnya bergungsi untuk pengembangan SDM. Jika melihat fungsi dan komponen sistem tersebut maka jelaslah pembagian peran dari masing-masing komponen dan meninjau kompetensi staf dari setiap komponen.

Dr. Andri menanggapi, perusahaan swasta perlu menjadi komponen karena mempekerjakan buruh. Dalam hal ini buruh dianggap sebagai populasi berisiko karena menjadi pelanggan Wanita Penjaja Seks (WPS). Kementrian Tenaga Kerja sudah termasuk dalam komponen sistem, namun hingga saat ini implementasi dinilai belum berjalan optimal. Marguari menanyakan apa yang dimaksud dan menjadi kriteria komponen? Menurutnya, ada banyak faktor yang mempengaruhi sistem sehingga komponennya menjadi lebih sederhana. Tentu saja semakin banyak aktor yang berperan akan semakin banyak pula komponen dalam suatu sistem, lanjut Trisnantoro. Menurut Naomi (Ikatan Perempuan Positif Indonesia-IPPI) dan Aldo (Organisasi Perubahan Sosial Indonesia-OPSI) dalam sistem kebijakan kesehatan AIDS perlu dimasukkan komponen ODHA dari berbagai kelompok, misal pengguna narkoba, gay, dan waria.

Dalam diskusi juga membahas tentang kerancuan fungsi antara stakeholder dalam implementasi program AIDS. Marguari menanyakan secara spesifik kerancuan itu seperti apa, karena rancu bukan dipahami sebagai tidak menjalankan fungsi secara optimal. Bukan kerancuan yang terjadi, tapi tidak menjalankan secara optimal. Lihat saja peran KPA sebagai pembuat kebijakan, yang memobilisasi sumber dana, dan menjalankan fungsi lainnya, terimplementasi iya, tetapi yang menjadi pertanyaan sudah optimalkah implementasi tersebut.

Isu selanjutnya dalam diskusi terkait fungsi KPA yang kadang dapat tumpang tindih dengan Kemenkes. Argumentasi dari Utomo menyatakan bahwa keduanya (KPA dan Kemenkes) mempunyai terminologi yang sama yaitu sebagai pemangku kepentingan. Banyak cara membangun framework. Usulan program seharusnya memiliki tiga fungsi pokok; pengembangan kebijakan (regulasi), jaminan pelaksanaan (perencanaan, pendanaan, kelembagaan dalam konteks pelaksanaan), dan fungsi assesment. Ketiga fungsi tersebut bukan hanya sekedar list tetapi perlu dilengkapi akses vertikal, misal nasional ke tingkat provinsi kemudian ke kabupaten/kota. Keduanya harus sepakat memetakan pemangku kepentingan, bagaimana tanggung jawab, dan secara kelembagaan bagaimana menjalankan peran dari masing-masing. Kalau ada overlapping itulah yang menjadi masalah yang kita temui, sedangkan tujuan program HIV/AIDS ialah perubahan perilaku dan perubahan epidemi yang secara anatomis terbagi tiga, yaitu epidemi dan perilaku, layanan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), services (pengobatan dan lainnya), serta kelembagaan. Khoirun (FKM Universitas Jember) membenarkan isu overlapping dengan melihat realita di lapangan selama ini dimana pelaksana tatanan kebijakan merupakan sesuatu yang diatas, tidak dalam tatanan pelaksana sehingga overlapping dipastikan selalu terjadi. KPAD dan LSM harusnya sejajar, KPA menjadi motor dan koordinator dari semua kegiatan HIV/AIDS, Dinkes menjalankan fungsi pemeriksaan dan pengobatan, dan LSM sebagai pelaksana. Bupati, dari struktur organisasi ditempatkan sebagai ketua seringkali sulit ditemui dan tidak bisa hadir dalam setiap pertemuan koordinasi dan evaluasi antara anggota dalam struktur KPAD, sehingga patut dipertanyakan bagaimana bupati sebagai ketua dapat menjalankan fungsi dan perannya seperti yang diamanatkan.

Apakah selama ini ada acuan seperti itu dan setiap individu yang berperan harus menjalankannya? Marguari, Khoirun, Tappy (FKM Universitas Cendrawasih), Aldo, dan Naomi merespon pertanyaan tersebut dengan melihat kesesuaian dengan poin-poin dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Selanjutnya, USU mempertanyakan kejelasan implementasi Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT) di lapangan seperti yang pernah dialami saat melalukan penelitian, dimana seharusnya melakukan PMTCT, di Seksi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) atau Seksi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL)? Sistem yang diatur dalam Permenkes belum terimplementasi di dinas. Pembagian peran sudah lebih rapih tetapi kemudian yang menjadi masalah ialah tidak adanya wewenang KPA di daerah untuk membuka KPA baru di tingkat kabupaten/kota, ibarat pepatah ‘hidup segan mati tak mau’. Isu yang menjadi fokus saat ini terletak pada keseriusan pemimpin di daerah untuk menanggapi epidemi HIV/AIDS di daerahnya. Utomo menyepakati perlunya kejelasan lebih lanjut tentang fungsi KPA di daerah dan dinas, yang mana peran koordinasi dan untuk menggerakkan menjadi tanggung jawab KPA, tetapi karena satu dan lain hal, keduanya tidak sejalan. Mengapa bupati yang ditunjuk sebagai ketua dalam organisasi KPAD, jawabannya tentu berkaitan erat dengan kekuasaan (power) untuk menjalankan program HIV/AIDS di daerah. Jika representasi dari masing-masing bidang sering tidak hadir saat pertemuan KPA menandakan peran fasilitasi tidak berjalan maksimal. Menurut Universitas Udayana fungsi dan peran struktur organisasi KPA hadir karena peran dari lembaga donor (dukungan dana Global Fund). KPA tidak punya power untuk menyarankan hal tertentu kepada SKPD begitu pula sebaliknya, sehingga pada akhirnya fungsi dan peran keduanya tidak berjalan secara maksimal karena tidak mempunyai kekuasaan. Dampak desentralisasi di daerah menjadikan kekuasaan dipegang sepenuhnya oleh pimpinan dari masing-masing kota, jika bupati memiliki komitmen tentu saja peran KPAD berjalan maksimal. Universitas Udayana juga membenarkan adanya overlapping peran dan fungsi dari KPA dan Dinas. Realita yang ada KPA menjadi regulator sekaligus juga menjadi implementor sebagai tuntutan HCPI atau GF.

Laksono mengemukakan, idealnya sebuah sistem menghasilkan outcome dari fungsi-fungsi yang ada, fungsi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan assessment. Kebijakan operasional seperti obat yang langung dikonsumsi juga merupakan kebijakan sistem. Diluar konteks AIDS sesuai pengamatan Marguari, tiga hal yang perlu digaris bawahi dalam kebijakan pemerintah: (1) peningkatan pagu anggaran kesehatan sebagai salah satu sumber dan masalah yang besar, (2) kebijakan desentralisasi tidak berimplikasi positif pada HIV/AIDS, (3) secara multisektoral pemerintah tidak punya mekanisme pada masyarakat kecil terkait donasi sosial sehingga tidak mampu mengakomodir secara berarti.

Selama ini peran KPA hanya sebatas day to day activity untuk sekrtetariat KPA. Pernahkah dilakukan studi mendalam sebagai sejarah hadirnya KPA? Irwanto menjelaskan ditahun 1988 HIV muncul di seluruh dunia yang mana epideminya terjadi pada homoseksual sehingga berimplikasi pada keputusan-keputusan selanjutnya. Pada waktu itu adanya dokumen kecil, adanya orang hukum dan hankam sudah dianggap cukup karena membutuhkan respon yang sangat cepat. Respon tersebut tidak hanya berlaku untuk sektor kesehatan saja, namun kenyataannya tidak diimplementasikan karena semua orang takut dikotori oleh stigma karena pasien yang ditemukan lebih banyak dari homoseksual. Respon awal sangat mewarnai komisi 1988 sehingga baru diresmikan tahun 1999.

Isu selanjutnya adalah kasus AIDS dianggap sebagai kecelakaan sejarah, itu given. Menurut Irwanto infectious disease jarang dilihat dalam sistem, jangan sampai kena populasi general, masih saling menuding siapa yang salah, sehingga implikasinya cara berpikir masih terbawa secara historis. Populasi yang termarginalisasi merupakan populasi berisiko. Paradigma yang disusun secara sistematik mengelompokkan AIDS sebagai kelompok penyakit tersebut.

Perbaikan kebijakan diluar AIDS dilihat melalui pisau kebijakan, misal ‘KPA is the part of the problem‘. Universitas Hasanudin (Unhas) menanggapi dengan menjelaskan bahwa process involuntery of marginalization, kurang populasi yang ingin dimarginalisasi. Turunan dari KPA ke bawah yang harus membahas isu AIDS dan menjadikan isu populer. JKKI dalam forum riset perlu melihat bagaimana sosialisasi process involuntery of marginalization yang tidak memiliki masalah dan prominent. Isu marginalisasi berawal dari peneliti. Isu ini tidak pernah muncul sebelumnya, karena hanya sebagai pandangan konservatif yang sangat tidak berdasar. Indonesia perlu mencontoh negara lainnya yang berhasil mengatasi HIV dengan perspektif isu marginalisasi.

JKKI Kelompok AIDS perlu memahami betul aspek historis tadi, termasuk bagaimana perkembangan selama 25 tahun implementasi kebijakan HIV/AIDS. Diskusi ini menjadi dasar untuk melihat sistem kesehatan AIDS dalam kerangka kebijakan awal. Utomo membenarkan hal tersebut karena hub dan respon pemerintah dalam HIV/AIDS sangat diperlukan, berbicara soal respon, pemerintah Indonesia cukup cepat melaksanakannya. Bukti dapat dilihat berapa banyak terbitan Surat Keputusan (SK) Pemerintah sebagai bentuk respon, namun praktek di lapanganlah yang menjadi pertanyaan besar. Anehnya lagi dalam SK ditemui banyak pasal-pasal yang tidak sesuai karena tidak ada tenaga kesehatan masyarakat yang berhak mendapat kompensasi untuk mendapatkan pelayanan. Undang-undang banyak hadir disebabkan kecelakaan sejarah. Dugaan Trisnantoro, konflik yang ada saat ini merupakan bawaan masa lalu.

Riyadi (PKBI Pusat) mempertanyakan fokus JKKI, apakah nantinya akan membahas kebijakan, karena kebijakan merupakan sesuatu yang abstrak. Selama ini program HIV lebih banyak berbasis donor response, bukan problem response. Irwanto menanggapi mengapa tidak ada respon dari Indonesia, karena masih ada marginalisasi terhadap kelompok berisiko. Contoh riil, kasus pelemparan sebuah rumah hanya karena ada anak di rumah tersebut yang terinfeksi HIV.

Kesesuaian konteks kebijakan epidemi HIV/AIDS antara 20 tahun yang lalu dengan sekarang menjadi poin diskusi selanjutnya. Thailand berhasil menerapkan kebijakan kondom 100%, Indonesia sulit mengimplementasikan best practice kebijakan kondom tersebut karena toleransi agama yang tinggi dan adanya kelompok penentang kebijakan (misal Forum Pembela Islam-FPI) yang perlu diperhitungkan untuk mendukung kebijakan.

Tahapan perbaikan kebijakan AIDS di Indonesia diawali ide, pilot, kemudian merumuskan naskah akademik kebijakan, melalui proses legislasi, implementasi kebijakan, mengevaluasi kebijakan serta merumuskan rekomendasi untuk perubahan kebijakan. Di level mana kebijakan akan diimplementasikan juga perlu ditentukan, apakah di tingkat pusat, provinsi, atau kabupaten. Maukah setiap peserta diskusi yang hadir masuk dalam JKKI Kelompok AIDS? Marguari secara prinsip mendukung, perlu digarisbawahi keikutsertaan itu perlu minat. Isu kebijakan adalah isu hulu yang nantinya berimplikasi terhadap network, tidak hanya pada kacamata HIV. Lintas aspek yang lain sangat penting. Apakah ada kemajuan selama ini? Contohnya saja obat dapat diperoleh di tempat layanan, program ada dimana-mana, penjangkauan bisa dilakukan, tapi bagaimana dengan perubahan perilaku? Kuncinya tetap satu, perubahan perilaku. Berapa persen orang yang pakai kondom. Di luar forum kebijakan, bagaimana perubahan perilaku yang ada? Komunitas tetap bisa berjalan tanpa ada donor. Local ownership dari masing-masing daerah harus tinggi.

Trisnantoro menanggapi bahwa analisis kebijakan publik membandingkan dulu dan saat ini. Pendekatan yang digunakan dalam analisis kebijakan merupakan bagian desentralisasi melihat jaringan AIDS di pusat, jaringan AIDS di provinsi, jaringan AIDS di 82 kabupaten/kota. Analisis kebijakan dinamis karena melihat proses implementasi kebijakan yang dinamis.

Universitas Atma Jaya Jakarta (UAJJ) merespon terkait poin diskusi pendekatan yang akan digunakan JKKI Kelompok AIDS apakah menggunakan pendekatan hulu (sisi promotif dan preventif) atau hilir (sisi kuratif dan rehabilitatif), di hilir hanya dokter yang berperan, pendamping layanan dan LSM pun bagian dari hilir. Kemenkes dituntut membuat kebijakan yang sesuai dengan tanggung jawabnya. Selama ini rujukan sudah didisain tetapi apakah konteks berjalan baik perlu ditanyakan menurut Marguari.

JKKI mencakup berbagai macam jaringan. Bagaimana komitmen para pemimpinnya untuk melakukan kegiatan jejaring? Apakah bisa kerja sama? Sugiharto (Persaudaraan Korban Napza Indonesia-PKNI) memberi contoh best practice kerja sama lintas sektor dalam program rehabilitasi korban napza di Bogor. Harm reduction (HR) dalam rehabilitasi mengadopsi Behavior Drug Reduction Counselling (BDRC) yang membolehkan pasien panti rehabilitasi memakai narkoba selama proses rehabilitasi berjalan. Pasien diminta mengisi kapan waktu pakai, jam berapa, berapa rupiah yang dikeluarkan, dimana atau kemana pakai, dan semuanya harus dilaporkan kepada konselor. Program itu terbukti berhasil dalam penelitian, dan menjadi inovasi dibidang program HR. Selain itu program didukung polisi setempat, jika ditemukan pasien rehabilitasi tidak akan ditangkap tapi dikembalikan ke panti.

Sistem rusak ‘mendirikan benang basah’. Contoh kasus di Kabupaten Bantul, Sleman dan Kota Yogyakarta seperti hasil penelitian LSM IDEA yang diungkapkan Wijiyati, dengan melihat bagaimana politik anggaran di DIY, ditemukan ada yang salah. Orang-orang dalam struktur organisasi di KPA sebaiknya paham dan mengambil peran untuk melaksanakan kebijakan. Temuan di lapangan banyak SKPD yang tidak mengetahui AIDS sehingga implementasi kebijakan tidak optimal. Catatan kemudian, ‘hadirnya SDM makin memperparah implementasi kebijakan’. Perlu dilihat lagi kebijakan yang ada dan siapapun bisa mengingatkan.

Kebijakan logis, politik lah yang tidak logis. Masyarakat ingin action sehingga menurut Marguari perlu didesain rencana ke depan. Saat menetapkan desain dikaitkan dengan tata pemerintahan karena hal tersebut sangat signifikan melakukan perubahan kebijakan. Bagaimana perubahan kepemimpinan. Dominan dalam masa kepemimpinan. Perlu memperhitungkan dalam proses untuk bersinggungan karena unpredictable, misalkan apa yang akan terjadi dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), perlu juga mempertimbangkan apa yang terjadi. Kepala dinas dalam struktur organisasi KPA merupakan political position. Unhas menambahkan, what works is not working dan tidak berjalan tidak popular.

Ada dua hal yang perlu dilihat, yaitu memahami symptom melihat dari seluruh konteks dan meneruskan diskusi mailing list atau pertemuan di tingkat kota atau masyarakat. Ada agenda yang sudah dilkeluarkan untuk memantau kebijakan yang sudah ada dan apa saja yang perlu dikembangkan yaitu pada pertemuan tahun depan di Bandung. Temuan-temuan dan perkembangan kebijakan di daerah kita masing-masing akan disampaikan dalam forum selanjutnya.

Refleksi kebijakan selama 25 tahun berjalan harus dilakukan menurut Irwanto, dengan melihat apa dampak terhadap epidemi dan perilakunya, harus bekerja sama dengan posisi yang berbeda. Realita yang ada masing-masing sibuk melihat diri dan program sendiri. Setiap orang harus menjadi bagian dari solusi, bukan dari masalah, mencari apa solusi yang bisa ditawarkan. Apakah selama ini kebijakan menjadi stagnan? Setiap pihak perlu merekonstruksi solusi beneficiaries, menolong orang-orang ke dalam mainstream, menghormati mereka terlebih dahulu, jadikan sebagai keluarga besar, harus bisa komunikasi dengan baik. Dibalik semuanya itu, dituntut semangat baru untuk melihat policy untuk merusak virus. Virusnya akan kalah.

Kedepannya, ada media yang nantinya dapat terus membagi informasi, memberikan penyuluhan dalam strategi yang sangat berbeda. Tidak ada inisiatif tanpa ada duit dapat melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan memicu kegiatan AIDS di lapangan. Inisiatif lokal menjadi isu utama dalam diskusi ini.

Oleh: Sisilya Oktaviana Bolilanga, S.K.M., M.Sc.

Sesi 3.4E Makalah Bebas Kelompok Kebijakan Inovatif

Sesi 3.4E

Makalah Bebas Kelompok Kebijakan Inovatif


Bertindak selaku moderator dalam sesi diskusi makalah bebas kelompok kebijakan inovativ adalah Ali Imron dengan 2 presentan diantaranya adalah Felix Kasim dari Universitas Maranatha dan Mubasysyr Hasanbasri dari Fakultas Universitas Gadjah Mada. Semula presentan dalam sesi diskusi ini akan disampaikan oleh 3 orang, namun dalam pelaksanaannya hanya dilakukan oleh 2 orang saja karena peserta lainnya tidak dapat mengikuti kegiatan. Namun hal ini tidak mengurangi antusiasme dari peserta seminar daan sesi tanya jawab, karena 2 peserta yang ada membawakan diskusi dengan sangat menarik dan sangat maksimal dengan sentuhan pendekatan masing-masing.

Presentan pertama mengangkat materi mengenai Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Jamkesda di Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas yang berada dalam lingkup pembinaan dinas kesehatan Kota Banjar. Keingintahuan tentang seberapa jauh program jamkesda sudah berjalan sangat kuat dikarenakan kota banjar dipimpin oleh walikota yang merupakan seorang dokter dan wakilnyapun seorang doker sehingga dukungan terkait kesehatan akan lebih baik diberikan oleh pihak pemerintah daerah apabila pemerintahnya responsif. Hal ini menjadi catatan penting bagi Dinkes Kota Banjar karena manfaat program Jamkesda di Kota Banjar ternyata dirasakan masih kurang oleh masyarakat karena secara khusus Jamkesda lebih terasa manfaatnya di RS, namun secara umum manfaatnya sebagai jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin, manfaat untuk persalinan, dapat membantu pelaksanaan program puskesmas, serta dapat mendeteksi dini kasus penyakit. Kendala dari program Jamkesda di Kota Banjar adalah adanya database yang tidak tepat sasaran, manlak dan juknis yang belum jelas, alokasi dana belum lancar dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang Jamkesda sehingga Diharapkan masyarakat dapat memberikan respon yang lebih baik dan mendukung keberlangsungan program ini, dengan cara bertanya pada pihak bersangkutan bila tidak mengerti.

Berbeda halnya dengan presentan kedua yakni Mubasysyr Hasanbasri dari Universitas Gadjah Mada yang mempresentasikan mengenai Pelajaran dari Gebrakan Joko Widodo dalam Memecahkan Pelayanan Kesehatan di Jakarta, sebuah Content Analysis. Pelajaran yang bisa diambil dari jokowi dalam memecahkan masalah adalah menganggap masalah bukanlah masalah kebijakan namun masalah manajemen dan easy to solve serta lebih menekankan pada siapa yang menderita bukan penyakitnya karena yang mengurusi penyakit adalah dokter. Ia peduli dengan hal-hal yang menjadi urusan para manajer Jokowi dan Ahok memiliki argumen manajerial yang jelas terhadap isu kebijakan. Setiap pilihan yang diambil memiliki arah yang strategis bagi pengembangan sistem. Berbeda halnya dengan Pemerintah daerah kadang latah mengikuti pola projek dan senang bekerja jika ada projek. Jokowi dan Ahok tidak tampak mengikuti pola projek ini. Ada beberapa hal juga yang perlu diketahui juga bahwa Kunci untuk pembuatan kebijakan yang sukses adalah melakukan manajemen yang baik dan kuncinya adalah memahami masalah manajemen dengan baik. Adapula sebuah pelajaran yang baik dikarenakan jokowi adalah seorang enterpreneur sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat adalah enterpreneur policy bukan projek policy.

Kedua presentan berhasil membuat rasa penasaran peserta seminar sehingga memicu diskusi yang menarik sehingga waktu yang dibutuhkan lebih panjang yakni pelaksanaan diskusi berakhir lebih lama dari jadwal yang sudah ditentukan yakni berakhir sekitar 10 menit dari jadwal. 

Oleh: Andriani Yulianti

Reportase sesi 3.4E

Sesi 3.4 E

Makalah Bebas Kelompok Kesehatan jiwa


Bertindak selaku moderator dalam sesi diskusi makalah bebas kelompok jiwa adalah Dr. dr. Dwi Handono, M.Kes dengan 3 presentan diantaranya adalah Muhammad Mulia dari Survey Meter, Budi Anna Keliat dari Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia, Sunar Indriati dari Survey Meter. Masing-masing memperesentasikan makalahnya dengan sangat maksimal dengan beberapa pendekatan yang sudah diteliti oleh masing-masing peneliti. Presentan pertama disampaikan oleh Muhammad Mulia yang membahas mengenai Kebijakan Kesehatan Jiwa Paska Bencana, Terapi Pemberdayaan Diri secara Kelompok sebagai Sebuah Alternatif, kita mengetahui bahwa Indonesia merupakan wilayah rawan bencana, sehingga program trauma healing diharapkan dapat digunakan secara luas untuk memenuhi kebutuhan akan respon terhadap trauma mental paska bencana di Indonesia, manfaat dari program ini tidak hanya dalam mengurangi gangguan paska trauma dan mengelola stres, tetapi juga memberdayakan masyarakat melalui peningkatan rasa percaya diri namun kelelmahannya dalam penelitian ini tidak dilakukan secara jangka menengah sehingga untuk mengadopsi kembali diperlukan penelitian lebih lanjut.

Hal serupa terkait dengan kesehatan jiwa juga diangkat oleh Prof Budi Anna Kelliat dari Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia, membahas mengenai Efektifitas Penerapan Model Community Health Nursing (CMHN) terhadap kemampuan hidup pasien gangguan jiwa dan keluarganya di wilayah DKI Jakarta. penerapan CHMN merupakan pelayanan keperawatan jiwa masyarakat yang komprehensif, holistik, paripurna berfokus pada masyarakat yang sehat jiwa, risiko gangguan jiwa dan gangguan jiwa agar dapat mandiri dan produktif. Untuk mendukung penerapan model ini diperlukan keterlibatan keluarga. Hasil yang didapatkan bahwa asuhan keperawatan setelah dilakukan 12 kali home visite dapat meningkatkan kemandirian dan waktu produktif pasien, meningkatkan pengetahuan dan psikomotor dalam merawat, mengurangi beban keluarga. Sehingga kedepan agar jalannya pengobatan sesuai dengan yang diharapkan paling tidak dilakukan 1 kali perminggu/2 minggu serta berharap agar pelayanan di puskesmas ada Home Visite terkait dengan asuhan perawatan jiwa.

Kemudian presentan ketiga yakni oleh Sunar Indriati mengenai Penilaian Kepatuhan Terhadap Standar Kebijakan Nasional untuk Pelayanan Kesehatan Lansia di Yogyakarta, Puskesmas Santun Lanjut Usia. Berangkat dari kenyataan bahwa indonesia merupakan peringkat keempat negara dengan populasi penduduk lanjut usia terbanyak di dunia dengan proporsi lanjut usia terbanyak berada di Provinsi D.I. Yogyakarta provinsi sehingga peneliti ingin melihat kembali kinerja puskesmas dalam program pemerintah mencanangkan “puskesmas lanjut usia” di 121 puskesmas yang tersebar di wilayah DIY dengan narasumber yakni koordinator/ programer, dokter dan kepala puskesmas dan didapatkan hasil bahwa Puskesmas Santun Lanjut Usia di D.I.Y secara keseluruhan memberikan dampak yang positif pada pelayanan kesehatan untuk lanjut usia sehingga kebjakan nasional puskesmas santun lanjut usai perlu untuk diterapkan kesemua puskesmas serta perlu evaluasi agar program di puskesmas dapat meningkatkan kinerjanya.

Setelah ketiga dari presentan selesai mempresentasikan makalah masing-masing, maka Dr. dr. Dwi Handono, M.Kes selaku moderator membuka sesi diskusi yang disambut antusias oleh peserta dengan tanya jawab. Sesi yang dilaksanakan di mutiara ballroom ini berjalan tepat waktu dan selesai sesuai dengan yang sudah dijadwalkan.

Reportase sesi 3.3C

 

Sesi Makalah Bebas Kelompok KIA dan KB serta Reproduksi


Bertindak selaku moderator dalam sesi diskusi makalah bebas kelompok KIA dan KB serta reproduksi adalah Yane Tambing dengan 5 presentan yang masing-masing datang dari berbagai Fakultas di wilayah indonesia diantranya adalah Agus Zaenuri dari FKM Universitas Cendrawasih Papua, Ali Imron dari FIS Universitas Negeri Surabaya, Demsa Simbolon dari Poltekes kemkes Bengkulu, Kasman Makassau dari Dinkes Prop. Sulawesi Barat dan Nurfadillah dari FKK Universitas Muhammadiyah Jakarta. Masing-masing memperesentasikan makalahnya dengan sangat maksimal dengan pemaparan yang berbeda-beda namun tetap dengan goals bagaimana angka kematian ibu dan bayi di indonesia dapat ditekan dengan beberapa pendekatan yang sudah diteliti oleh masing-masing peneliti.

Seperti misalnya pada presentan pertama Agus Zaenuri dari FKM Universitas Cendrawasih Papua meneliti bahwa MTBS di Puskesmas Sentani tidak berjalan, hal ini dikarenakan tidak seimbangnya jumlah petugas yang menangani bayi/balita sakit dikarenakan petugas terlatih MTBS yang melaksanakan tugas rangkap, petugas terlatih pindah tugas dan atau petugas terlatih melanjutkan pendidikan serta terhentinya pengadaan sarana penunjang pelaksanaan MTBS dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura kepada Puskesmas Sentani dan tidak berkualitasnya sarana/fasilitas penanganan bayi/balita yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura sehingga Dinas Kesehatan perlu untuk melakukan revitalisasi MTBS dan perlu membuat standar pelayanan MTBS serta kebijakan (juklak dan juknis). perencanaan mengenai anggaran yang berasal dari dana APBD serta dibentuk Tim khusus untuk menangani pelaksanaan MTBS di Kabupaten Jayapura mulai dari pelatihan, supervisi, hingga pada evaluasi. Menurut Agus Zaenuri hal ini harus sesegera mungkin diambil tindakan mengingat puskesmas sentani rencana akan dijadikan pilar projek percontohan di papua oleh UNICEF.

Berbeda halnya dengan Presentan kedua yakni Ali Imron dari FIS Universitas Negeri Surabaya juga menganggakat tema yang sama yakni KIA namun dengan pendekatan yang berbeda dikarenakan beliau adalah seorang sosiolog sehingga sebagian besar pandangan lebih banyak dilihat dari perspektif sosiologi. Dalam penelitiannya peneliti mengkaji implementasi program LIBAS 2+ yang fokus pada Bebas kematian ibu melahirkan dan Bebas kematian bayi kemudian mengidentifikasi faktor-faktor sosial budaya yang memengaruhi implementasi program tersebut. Setelah dilakukan penelitian didapatkan hasil bahwa secara sosiologis, dipengaruhi oleh kemitraan bidan dukun, Program 5T (Timbang, Tensi, Tablet fe, Timbang ukuran perut, dan Tinggi badan) membantu ibu hamil, SMS “Bayi Sehat 24 jam”, Secara kultural kontruksi budaya tradisional Madura yang bercorak pesisir masih mengakar kuat sehingga konstruksi pengetahuan tentang kesehatan reproduksi masih lemah, Pijat dukun, jamu tradisional, mitos kehamilan serta kharismatik tokoh sentral masih berjalan, Infrastruktur masih lemah, Relasi sosial dan dukungan aktor lokal masih lemah. Sehingga menurut Ali imron semua harus berkolaborasi secara sistematik. Politik harus bagus, sistem ekonomi terkait dengan budgeting yang mendukung dan sistem budaya yang kuat.

Setelah pemaran dari tim UNESA kemudian dilanjutkan dengan pemaran oleh Demsa Simbolon dari Poltekes kemkes Bengkulu yang mengangkat tema Determinan Kinerja Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di RS Pemerintah Indonesia, sangat mencengangkan hasil yang didapatkan bahwa manajemen pelayanan KIA secara keseluruhan semua dengan proporsi yang kurang maksimal. Disampaikan juga oleh penyaji bahwa ada atau tidak adanya sumber daya manusia rata-rata memiliki kinerja yang kurang optimal namun apabila dibandingkan dengan yang lainnya hanya model status akreditasi rumah sakit memiliki skor yang lebih baik dari beberapa faktor determinan lainnya seperti RS sebagai wahana pendidikan, SDM team ponek, Dokter jaga terlatih di IGD,Tim siap melakukan operasi atau tgas meskipun on call, jumlah dokter Sp.A dan koordinasi internal. Hal ini menjadi catatan bagi KEMENKES untuk perlu melakukan perbaikan pada seluruh jenis pelayanan untuk mendapatkan akreditas dimana akreditasi sebaiknya bisa lengkap 16 jenis pelayanan serta perlu menjadikan RS pemerintah sebagai RS wahana pendidikan, peningkatan kuantitas dan kualitas SDM PONEK, pelengkapi dokter jaga terlatih di UGD, ketersediaan tim siap melakukan operasi atau tugas meskipun on call, dan peningkatan komitmen organisasi.

Hal yang lain dari sudut pandang yang berbeda mengenai KIA juga disampaikan oleh presentan ke Empat yakni Kasman Makassau dari Dinkes Prop. Sulawesi Barat yang mengangkat judul Penetapan Prioritas Program Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak dengan Metode Analyitc Herarcy Process (AHP), dikatakan bahwa dengan penerapan AHP dapat memberikan kesempatan bagi para perencana dan pengelola program bidang kesehatan untuk dapat membangun gagasan-gagasan atau ide-ide dan mendefinisikan persoalan-persoalan yang ada dengan cara membuat asumsi-asumsi dan selanjutnya mendapatkan pemecahan yang diinginkannya serta hasil yang didapatan lebih cepat, lebih baik dan lebih akurat. Namun penjelasan dari Presentan ini lebih tepat apabila dilakukan pelatihan khusus bagi para peserta karena lebih kepada pengenalan software yang masih asing dimata peserta seminar. Dibutuhkan waktu khusus untuk lebih mendalami lagi apa yang sudah disampaikan presentan tentang software yang sejatinya dapat membantu para tenaga kesehatan untuk membuat skala prioritas pada program yang akan dijalankan.

Kemudian presentan yang terakhir adalah Nurfadillah dari FKK Universitas Muhammadiyah Jakarta yang mempresentasikan penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi ideal pada pasangan menikah, selama ini penggunaan alat kontasepsi dianggap masih menjadi tanggungjawab wanita sehingga peran laki-laki sangat rendah padahal kondom sendiri merupakan alat kontasepsi yang efektifitasnya tinggi dan relatife tanpa efek samping sehingga Petugas kesehatan diharapkan dapat menganjurkan penggunaan kondom sebagai alkon ideal, di samping penjelasan tentang semua alternative alkon yang dapat digunakan pasangan. Informasi tentang KB dan alkon sebaiknya dilakukan tidak hanya kepada salah seorang dari pasangan namun keduanya. Serta diperlukan peran serta dari BKKBN untuk melakukan sosialisasi program dan melaksanakan lagi program motivator/panutan.

Setelah kelima dari presentan selesai mempresentasikan makalah masing-masing, maka Yane Tambing selaku moderator membuka sesi diskusi yang disambut antusias oleh peserta dengan tanya jawab. Sesi yang dilaksanakan di ruangan Pearl hotel On The Rock ini berjalan tepat waktu meskipun sempat dilakukan pergantian moderator namun tetap menarik minat peserta.

Oleh: Andriani Yulianti

KELOMPOK AIDS – 7 September 2013

Kelompok AIDS

Laporan Content Pertemuan Awal dengan Universitas Lokal
Penelitian Kebijakan HIV/AIDS di Indonesia


Pertemuan kelompok erja AIDS telah dilaksanakan pada Sabtu, 7 September 2013 di On The Rock Hotel. Pertemuan diawali dengan perkenalan dari masing-masing peserta, baik tim inti peneliti dan tim peneliti universitas rekanan. Ignatius Praptoraharjo memberikan pengantar tentang gambaran penelitian Kebijakan AIDS di Indonesia, yang mana pemetaan kebijakan AIDS di Indonesia dalam konteks sistem kesehatan berlaku di tingkat nasional dan lokal sehingga dianggap penting untuk melibatkan banyak universitas di daerah agar dapat memberikan pemahaman yang luas tentang penelitian. Terdapat dua keluaran yang diharapkan dari penelitian ini, pertama secara normatif adanya kebijakan ke pemerintah, kedua, penelitian ini secara praktis dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan teknis dan pendanaan AusAID tahun 2016 yang mendorong kebijakan-kebijakan dibidang AIDS. Fokus advokasi diharapkan tidak hanya pada saat pengumpulan data dan analisa. Tahapan pengumpulan data diawali dengan diskusi dengan pemerintah daerah, proses dialog dengan para policy maker dan kelompok dampingan, diseminasi informasi penelitian, pertemuan untuk mendorong agenda-agenda kebijakan,melakukan advokasi melalui unit pengetahuan sebagai bentuk advokasi ke policy maker. Penelitian ini ada di dalam upaya untuk membangun knowledge hubungan antara unit intermediary (pihak NGO) dengan policy maker. Melihat tujuan penelitian ini maka dibutuhkan peran dari tingkat lokal sehingga dalam pengorganisasiannya penelitian ini terdiri dari dua tim, tim inti yang menyiapkan (PKMK FK UGM) dan tim tim universitas. Pertemuan koordinasi kali ini akan membahas tentang pengorganisasian tim peneliti dan hal-hal substansial terkait penelitian akan dibahas pada pertemuan selanjutnya di Yogyakarta.

MATERI PRESENTASI (EXECUTIVE SUMMARY)

Udayana mengawali tanggapannya dengan menanyakan mekanisme keputusan tentang publikasi authorship dari dosen tim universitas. Hal ini didasari pengalaman dari Unipa peneliti lokal umumnya hanya sebatas kemitraan sehingga dalam laporan penelitian terdahulu tidak mencantumkan nama peneliti lokal. Kesepakatan tentang autorship harus ditentukan sejak awal. USU menambahkan, membangun mekanisme transparan memang sulit, publikasi (authorship) biasanya dari pihak kampus dan dari dinas, bukan peneliti.

Ignatius Praptoraharjo merespon bahwa nantinya akan terkumpul sembilan laporan dari masing-masing universitas yang mana dalam setiap laporan akan teridentifikasi siapa pengarangnya karena setiap laporan akan ditulis nama penelitinya. Kedepannya, tidak hanya laporan penelitian saja yang menjadi keluaran dari penelitian ini, tetapi harus ada aksi yang digunakan untuk advokasi. Terdapat salah satu contoh penelitian multi-countries, multi-institution (Kemenkes, NGO, universitas, dan sebagainya) yang mana dalam penelitian tersebut tercatat nama-nama peneliti yang terlibat.

Adapun pihak yang memiliki hak sepenuhnya terhadap penelitian ini ialah AusAID dan authornya tetap tim inti dan tim universitas. Ada beberapa kegiatan dalam penelitian yang memberikan kesempatan bagi peneliti lokal dalam penulisan jurnal nasional maupun internasional. Tanggapan yang berbeda diperoleh dari AusAID yang menyatakan bahwa kegiatan penelitian ini milik Indonesia karena menjadi kebutuhan pusat, bukan AusAID. Ignatius mengklarifikasi pernyataan tersebut dengan penjelasan tentang peraturan-peraturan terkait dan hak publikasi oleh donor penelitian yang memberikan dana bagi penelitian, misal setelah lima tahun atau waktu yang disepakati setelah penulisan laporan, pihak donor membolehkan publikasi hasil penelitian, pada batas waktu tersebut siapa saja dapat memperoleh data penelitian.

Isu selanjutnya diangkat oleh USU yaitu mengenai justifikasi penunjukkan peneliti lokal. Umumnya penelitian yang melibatkan universitas lokal akan masuk melalui lembaga penelitian yang berimplikasi pada institutional fee karena melalui fakultas. Alangkah baiknya jika tim inti (PKMK FK UGM) bersurat kepada dekan universitas lokal terkait pemilihan peneliti lokal, dan perlu menambahkan kalimat ‘berdasarkan kriteria tertentu ditunjuklah (nama peneliti) sebagai peneliti lokal’ agar tidak diragukan identitasnya. Draft protokol akan dibahas di minggu keempat November. Pembahasan akan dihadiri oleh perwakilan core team, AusAID, National Advisory Board (NAB), dan consultative group. Kesepakatan waktu pertemuan menunggu dari masing-masing universitas lokal.

Selanjutnya terkait poin aplikasi etik di daerah penelitian sebagai pertanyaan dari Udayana. Ethical clearence akan dibuat oleh PKMK dan diajukan ke Komisi Etik FK UGM. Menurut Iko, hal tersebut perlu ditindaklanjuti di masing-masing universitas karena bisa saja beda daerah beda pula peraturannya. Tim universitas lokal perlu membuat timetable penelitian disamping timetable tim inti. Di Medan biaya untuk memperoleh ethical clearence sangat mahal, sebesar dua juta rupiah maka perlu dipertimbangkan kembali poin tersebut jika dilakukan di daerah. Ignatius merespon dengan konsultasi antara masing-masing universitas lokal terkait peraturan ethical clearence dan menginformasikannya dengan tim inti.

Mengingat alokasi waktu penelitian yang cukup panjang, Ignatius menanyakan komitmen dari masing-masing peneliti universitas lokal dalam jangka waktu 30 bulan kedepan. Uncen, Udayana, dan UAJJ menyatakan jika dalam waktu tersebut ada peneliti yang ingin resign maka harus mencari pengganti yang sesuai kriteria dan harus jelas. Informasi tambahan dari Ignatius bahwa kerjasama bersifat individual sehingga jelas siapa yang akan menggantikan, tidak perlu meminta pengganti dari universitas.Menurut Iko, surat resmi komitmen penelitian bisa dilakukan paralel jika terdapat multicenter, dan komitmen dari individual peneliti lokal ke PKMK. Nantinya pihak PKMK FK UGM yang akan memberitahukan ke dekan masing-masing universitas. Saran dari USU, surat kesediaan probadi dikonsepkan PKMK UGM, mengetahui pihak dekanat, dan ada poin tambahan, seandainya dalam perjalanannya ada perubahan maka pihak yang bersangkutan merekomendasikan siapa yang akan mengganti. Pertemuan selanjutnya akan membahas protokol penelitian sampai kegiatan selanjutnya, yang direncanakan akhir November, kemudian dilanjutkan training sehingga sesuai timetable tim inti pada Februari akan dilakukan turlap.

Iko menanggapi UAJJ yang menanyakan tentang pelaksanaan kegiatan desk review. Desk review dilakukan dengan mengambil daerah tertentu karena hasil kegiatan ini bukanlah data primer. Tim peneliti inti yang akan datang melakukannya di lokasi penelitian. Uncen menyarankan tim inti yang membuatkan surat surat pemberitahuan ke daerah penelitian. Di Bali pengurusan surat ijin penelitian sangat mudah pengurusannya, cukup dilengkapi proposal surat ijin sudah bisa dikantongi.

Sebelum penyusunan protokol, USU mengusulkan sebaiknya setiap universitas lokal sudah memiliki baseline data awal (data kasar) dari KPAD provinsi maupun kabupaten untuk didiskusikan. Tindak lanjutnya, tim inti membuat surat pengantar untuk memperoleh data awal tersebut. Dalam desk review tim inti akan memilih beberapa kabupaten/kota dan menjelaskan alasan pemilihan daerah. Langkah awal dari pertemuan koordinasi ialah mendaftarkan setiap pihak yang terlibat dalam penelitian, termasuk tim inti dan tim universitas lokal, kedalam group sebagai media koordinasi.

Oleh: Sisilya Oktaviana Bolilanga

Reportase sesi 3.1 KIA

 

Sesi 3.1

Simpisium KIA


Di Hari ketiga sesi pertama kelompok KIA, diawali pemaparan oleh dr. Stefanus Bria Seran, MPH (kepala Dinas Provinsi Nussa Tenggara Timur).

Di kesempatan ini dr. Stefanus memaparkan mengenai pengalaman program Sister Hospital dengan revolusi KIA di provinsi Nusa Tenggara Timur.

Program Sister Hospital merupakan salah satu program yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur untuk mengantisipasi tingginya kematian ibu dan anak. Konsep dari program Sister Hospital dengan cara menggandeng beberapa rumah sakit besar yang ada di berbagai tempat untuk bekerja sama dengan rumah sakit kecil di provinsi Nusa Tenggara Timur

Program tersebut mempunyai beberapa tujuan, antara lain; perubahan etos kerja di bidang kesehatan, penataan dan pengembangan SDM kesehatan, meningkatkan peran serta aktif masyarakat, dan pemenuhan dokter spesialis di rumah sakit kabupaten atau kota melalui pendidikan dokter spesialis. Dari beberapa tujuan tersebut terdapat tujuan yang paling mendesak yaitu agar puskesmas dan rumah sakit dapat mempersiapkan diri untuk menjadi PONEK 24 jam.

Program ini sudah dilaksanakan sejak tahu 2010. Oleh karena itu terdapat beberapa hasil yang sudah diperoleh. Hasil tersebut, antara lain; jumlah dokter spesialis (anastesi, ahli peralatan medis, obsgyn, dan anak) meningkat, meningkatnya jumlah persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan, semakin meningkatnya kepercayaan diri petugas rumah sakit dan puskesmas bila menerima rujukan. Dengan adanya kepercayaan diri yang terbentuk maka akan semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat bila mereka harus dirujuk oleh petugas kesehatan ke fasilitas yang lebih tinggi.

Hasil secara umum yang diperoleh dari program sister hospital adalah menurunnya kematian ibu dan anak selama 2010 hingga 2013.

Selain hasil di atas, pemerintah provinsi NTT menggunakan system yang efisien untuk memantau atau mengingatkan ibu hamil ketika mendekati hari persalinan. Menurut dr. Stefanus memaparkan bahwa dokter atau petugas kesehatan yang menangani ibu hamil tersebut mengirimkan sms ke camat, kepala desa, bidan desa untuk mengingatkan bahwa ada ibu hamil yang mendekati hari persalinan. Pemantauan dilakukan aktif oleh petugas kesehatan.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, terdapat banyak pembelajaran yang diambil dari program Sister Hospital. Pemebelajaran tersebut, antara lain; Tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan (masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai strandard), menularkan budaya kerja yang baik, semakin meningkatnya kepercayaan diri dari staf atau petugas kesehatan terhadap pekerjaannya, sebagai media pengenalan daerah melalui kunjungan rutin dari rumah sakit mitra.

Sesi 3.1, pembicara 2.

Setelah dilakukan pemaparan oleh Kepala Dinas Provinsi Nusa Tenggara Timur, dilanjutkan oleh dr. Hartanto Hardjono, M.Kes dengan tema “pengalaman program expanding maternal and neonatal survival (EMAS) di beberapa kabupaten”.

Pada awal pemaparan dr. Hartanto menjelaskan tujuan besar dari program EMAS ini untuk memberikan kontribusi sebesar mungkin terhadap penurunan kematian maternal dan neonatal. Program EMAS dilaksanakan di 6 provinsi dan mempunyai beberapa tujuan. Tujuan 1, antara lain; mematiskan prioritas intervensi medis berdampak besar pada penurunan kematian ibu dan neonates diterapkan di rumah sakit dan puskesmas, pendekatan tata kelola klinis diterapkan di rumah sakit dan puskesmas. Tujuan 2, antara lain; menguatkan peran serta masyarakat dalam menjamin akuntabilitas dan kualitas tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, dan pemerintah daerah; penguatan sistem rujukan; mempermudah akses masyarakat untuk menggunakan fasilitas kesehatan.

Dengan tujuan untuk mengurangi angka kematian ibu dan anak, maka framework program emas dengan cara meningkatkan kualitas layanan darurat serta meningkatkan efisiensi kualitas system rujukan. Dengancara tersebut

Setelah pemaparan oleh Kepala Dinas kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur dan dr. Hartanto Hardjono, M.Kes, presentasi dilanjutkan oleh Digna Niken Purwaningrum, S.Gz., MPH; Ratna Dwi Wuladari, SKM, M.Kes, dan Christina Rony Nayoan, SKM, M.Kes. Presentasi ini membahas mengenai “Temuan Hasil Kualitatif HSB: Pola Pencarian Pelayanan Kesehatan serta Faktor Apa Saja yang Berpengaruh pada Kelompok Miskin dan Hampir Miskin di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur”. Penelitian ini berfungsi sebagai baha base line program Health System Strengthened.

Di awal presentasi ini dipaparkan mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui respon atau pendapat masyarakat mengenai program jampersal dan jamkesmas, mengidentifikasi fasilitas kesehatan apa yang biasa dipakai oleh masyarakat miskin dan hampir miskin, mengeksplorasi konsep sehat dan saki di masyarakat, mengidentifikasi kualitas pelayanan kesehatan yang sering dipakai oleh masyarakat miskin dan hampir miskin.

Daerah penelitian dilakukan dua provinsi yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Sumba Barat Daya, Flores Timur, Ngada dan kabupaten Timor Tengah Utara); dan Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Sampang, Bangkalan, Situbondo, dan Kabupaten Bondowoso)

Metode untuk penelitian ini menggunakan dua fase yaitu kualitatif dan kuantitatif. Untuk metode kualitatif penelitian ini menggunakan berbagai tekhni, antara lain; Focus Group Discussion (FGD) dan indepth interview dengan berbagai kalangan responden.

Hasil kualitatif memperoleh data yang beraneka ragam mengenai persepsi sehat dan sakit untuk orang dewasa dan anak-anak. Masyarakat mempunyai konsep sehat yang sakit yang sederhana yang didasarkan pada ada atau tidaknya rasa sakit di badan serta gangguan fungsi tubuh yang dirasakan mengganggu. Untuk penggunaan fasilitas kesehatan kebanyakan masyarakat sudah menggunakan fasilitas kesehatan medis (puskesmas dan jajarannya, rumah sakit). Pelayanan kesehatan swasta yang sering dimanfaatkan adalah mantra, Bidan Praktek Swasta, BKIA dan Dokter praktek Swasta dengan berbagai macam alasan. Banyak masyarakat yang menyatakan karena jaraknya relative dekat, bisa dimanfaatkan pada sore hari, mau dipanggil ke rumah, dan ada unsure kecocokan. Namun juga ada yang menggunakan pengobat tradisional ataupun melakukan pengobatan sendiri (dengan beli obat sendiri di apotik, toko obat). Untuk pola pencarian pelayanan kesehatan pada sarana pengobatan modern di masyarakat sebagian besar sudah mengikuti sistem rujukan berjenjang.

Perilaku kesehatan ibu saat hamil sudah menunjukkan kondisi yang baik, karena ibu hamil sudah terbiasa melakukan ANC di bidan dengan frekuensi yang teratur. Sebagian besar ibu bersalin ditolong oleh bidan dengan tempat persalinannya masih banyak yang dilakukan di rumah penduduk. Dikarenakan kurang pengetahuan mengenai kondisi akan melahirkan. Program jamkesmas sudah sangat dikenal oleh masyarakat sebagai kartu berobat gratis, tetapi program Jampersal belum banyak dikenal (masyarakat hanya mengetahui mengenai ada program periksa hamil dan melahirkan gratis).