Catatan Konsorsium KIA di Jakarta

konskia3

Pada tanggal 10-11 Desember 2012, telah berlangsung pertemuan konsorsium fakultas bidang kesehatan untuk kesehatan ibu & anak serta gizi (KIA-Gizi). Kegiatan ini dihadiri oleh Dekan FK & FKM dari beberapa universitas terkemuka (UGM, Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin, Universitas Padjajaran, dan lain-lain), Kementerian Kesehatan-Direktorat Bina Gizi-KIA, dan beberapa perwakilan dinas kesehatan provinsi di Indonesia. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari forum konsorsium yang telah diadakan sebelumnya. Agenda utama pertemuan adalah pembahasan dan finalisasi AD-ART konsorsium KIA-Gizi. Konsorsium tersebut diharapkan menjadi perwujudan peran serta perguruan tinggi dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak, serta terutama menurunkan angka kematian ibu dan anak. Konsorsium ini diharapkan dapat terbentuk tidak hanya berdasarkan ikatan moral, namun juga berbadan hukum, agar dapat menjalankan kegiatan dengan tepat membantu Kementerian Kesehatan mengatasi masalah KIA. Di tingkat provinsi atau daerah, konsorsium ini diharapkan dapat mengembangkan & memperkokoh hubungan perguruan tinggi dengan pemerintah daerah.

konskia3

Agenda hari pertama konsorsium yaitu pembahasan dan finalisasi AD-ART. Perumusan final AD-ART menjadi diskusi yang hangat, muncul banyak masukan yang membangun dari Dekan FK & FKM, dinas kesehatan dan kementerian kesehatan. Perumusan visi dan misi konsorsium didiskusikan bersama sehingga masing-masing pihak memahami harapan satu sama lain. Kementerian kesehatan memberikan informasi bahwa sudah disediakan anggaran sebesar Rp. 1 Miliar untuk membiayai kegiatan konsorsium KIA-Gizi, sehingga diharapkan seluruh kegiatan yang dipandang potensial dapat dilaksanakan dengan baik. Pembahasan AD-ART juga tidak terlepas dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menjadi acuan bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia dalam merencanakan kegiatan. Kegiatan konsorsium ini dilaksanakan dengan sepengetahuan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dikti) yang menjadi induk bagi seluruh perguruan tinggi seluruh Indonesia.

Agenda hari kedua konsorsium mengenai pembahasan peran perguruan tinggi dalam memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah pusat maupun daerah berdasarkan hasil penelitian dan rencana tindak lanjut kegiatan konsorsium. Dr. Kirana dari Direktorat Bina Kesehatan Anak memberikan pengantar mengenai harapan Kementerian Kesehatan terkait peran perguruan tinggi dalam meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak. Kirana juga memaparkan gambaran data hasil SDKI terbaru yang menunjukkan perubahan trend angka kematian anak menurut usia (namun data tersebut belum dapat dipublikasikan secara resmi). Beberapa daerah mengalami penurunan angka kematian bayi & balita, namun beberapa daerah lain justru mengalami peningkatan. Kementerian Kesehatan juga menekankan bahwa perguruan tinggi dapat berperan dalam mengakselerasi pencapaian MDGs terkait KIA.

Agenda hari kedua selanjutnya adalah pemaparan 3 policy briefs oleh Prof. Laksono Trisnantoro, salah satunya yaitu penggunaan angka kematian absolut untuk menentukan program KIA di daerah. Ketiga policy briefs tersebut kemudian dibahas oleh tiga orang narasumber, yaitu Prof. Dr. dr. Kuntaman MS, Sp.MK(K) dari Universitas Airlangga, Prof. Dr. dr. H. Alimin Maidin, MPH dari Universitas Hasanuddin, dan dr. Anung Sugihantono, M.Kes dari Dinkes Provinsi Jawa Tengah. Pembahasan berlangsung hangat dengan adanya diskusi beberapa pertanyaan dari peserta konsorsium, antara lain mengenai pengalaman dinas kesehatan dalam menggunakan angka kematian absolut untuk merencanakan program/ intervensi KIA. Selain itu, dipaparkan pula beberapa isu terkait hubungan dengan stakeholder lainnya dalam menyusun policy brief dan mengenai peran riil perguruan tinggi dalam melakukan penelitian hingga dapat menghasilkan policy brief yang berkualitas dan tepat sasaran.

Setelah membahas policy brief, agenda kegiatan hari kedua adalah diskusi mengenai konsultan manajemen KIA di Indonesia. Selama ini kita sudah sering mendengar banyak konsultan di bidang lain seperti konsultan pajak, konsultan hukum, konsultan teknik untuk pembangunan proyek tertentu, namun kita belum pernah mendengar mengenai konsultan manajemen KIA. Banyak program KIA yang belum berjalan efektif karena masih kurangnya kualitas manajemen program, mulai dari perencanaan-pelaksanaan-monitoring-hingga evaluasi. Seringkali program KIA sudah direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, namun karena aspek monitoringnya masih lemah, sehingga program tersebut menurun kualitas pelaksanaannya. Belum adanya lembaga independen yang bertugas melakukan monitoring dan evaluasi program KIA juga menjadi masalah yang perlu dibahas lebih lanjut.

Pembahasan mengenai konsultan manajemen KIA juga melibatkan diskusi yang menggigit di antara peserta, beberapa peserta setuju dengan konsep konsultan manajemen KIA, namun masih bertanya-tanya mengenai bagaimana cara mencetak tenaga konsultan manajemen KIA tersebut, siapa yang dapat mencetak dan bagaimana prospek kelangsungan konsultan manajemen KIA tersebut. Beberapa peserta juga membahas mengenai pengalaman selama menjadi konsultan independen untuk beberapa lembaga di bawah PBB. Isu yang menjadi pembahasan hangat adalah mengenai kejelasan kualifikasi pendidikan, kejelasan wewenang dan peraturan, sehingga ada kejelasan kapan seseorang dapat disebut sebagai konsultan manajemen KIA. Jika konsultan manajemen KIA sudah bekerja nantinya, maka diperlukan cost effectiveness analysis untuk menilai apakah konsultan memang dapat meningkatkan efektivitas pelayanan KIA-gizi.

Agenda kegiatan setelah manajemen KIA adalah pembahasan rencana tindak lanjut. Diskusi rencana tindak lanjut dilakukan di dalam tiga kelompok kecil, yaitu kelompok Dekan FK & FKM, kelompok Kemenkes dan Dinas Kesehatan Provinsi dan kelompok manajemen KIA (penelitian). Masing-masing kelompok memberikan rencana kegiatan yang diharapkan dapat membantu pemerintah meningkatkan kesehatan ibu & anak. Berikut adalah hasil diskusi masing-masing kelompok:

  1. Kel. Dekan FK-FKM (perguruan tinggi)
    1. Akan disusun pokja KIA-Gizi
    2. Pokja KIA didukung penerbitan SK rektor, dengan unsur: FK (obsgyn, anak, IKMKP), FKM (AKK, Prodi Gizi Kesehatan, Kesehatan reproduksi)
    3. Penyusunan program kerja untuk menurunkan AKI-AKA
      1. Internal : pemantapan pokja, Tri Dharma perguruan tinggi salah satu fokusnya adalah KIA-Gizi
      2. Eksternal : audiensi, advokasi ke pemerintah daerah, rencana aksi dan implementasi
         
  2. Kel. Manajemen KIA :
    1. Penelitian perbaikan instrumen mutu pencatatan dan pelaporan data KIA berbasis IT
    2. Peningkatan kemampuan soft skill bidan desa untuk mengurangi risiko keterlambatan dalam pelayanan emergensi di tingkat desa
    3. Peningkatan kemampuan petugas rekam medik dalam mengaudit dan memperbaiki kualitas data KIA
    4. Penguatan sistem pelayanan KIA di Puskesmas
    5. Peningkatan kemampuan bidan dan dokter umum dalam kasus penanganan kasus beresiko
    6. Pengembangan rumah tunggu bagi ibu hamil resiko tinggi
    7. Monitoring dan evaluasi program KIA-gizi
    8. Peningkatan sistem surveilans respon KIA-gizi berbasis di masyarakat
    9. Peningkatan pemahaman masyarakat dalam penanggulangan stunting
    10. Peningkatan dan pemahaman masyarakat dalam penanggulangan obesitas
    11. Rujukan
    12. Kematian pada ibu nifas
    13. Proposal penelitian yang disusun oleh multi-center
    14. Perbaikan sistem rujukan
    15. Respon terhadap kasus kematian ibu selama masa nifas
    16. Identifikasi sumber dana potensial : PNBP BOPTN, Dikti, Balitbangkes, Unicef, AusAID, USAID, GTZ, WHO, WFP, Balitbangkes dinkes provinsi
       
  3. Kel. Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi
    1. Perlunya identifikasi pos anggaran di tahun 2013 dan tiga tahun berikutnya yang dapat dipergunakan untuk kegiatan oleh Konsorsium. Direktorat Bina Kesehatan Anak menyediakan dana Rp. 1 Milyar untuk kegiatan konsorsium. Lima ratus juta rupiah akan dialokasikan untuk pertemuan rutin konsorsium, dan 500 juta rupiah untuk digunakan untuk memfasilitasi kegiatan konsorsium di empat kabupaten dan empat provinsi (akan ditentukan kemudian). Informasi sementara, dana dekon akan disediakan untuk tujuh provinsi untuk memfasilitasi kegiatan konsorsium (jumlah akan ditentukan kemudian).
    2. Identifikasi kegiatan yang dilakukan oleh Dinkes dan Kemenkes yang dapat melibatkan konsorsium:
      1. Manajemen Asfiksia dan BBLR (FK-Spesialis Anak)
      2. Pelatihan PONED (FK-Obsgyn)
      3. Supervisi PONED bersama SpOG dan SpA ke Puskesmas PONED
      4. AMP (Audit Maternal Perinatal)
      5. Pentoloka (program khusus provinsi Jawa Timur): pertemuan tahunan ilmiah untuk kesehatan ibu dan anak serta PENAKIB (Forum Penurunan AKI-AKB)
      6. Pelatihan SDIDTK
      7. Kelas ibu hamil
      8. Pelatihan konseling menyusui
      9. Pelatihan Konseling MP-ASI
      10. Pelatihan tim asuhan gizi buruk untuk RS dan Puskesmas dengan perawatan
      11. MTBS, MTBM (Manajemen Terpadu Balita Sakit), Manajemen Terpadu Bayi Muda
      12. Pelatihan PMTCT (Prevention HIV Mother to Child Transmission) bagi puskesmas
      13. Pelatihan peningkatan kemampuan dokter umum puskesmas perawatan.
      14. Orientasi Neonatal Essensial untuk akademi kebidanan dan akademi keperawatan
      15. TOT kelas ibu balita, TOT SDIDTK, Orientasi MTBS untuk dokter umum

 

konskia4Beberapa usulan peserta terkait hasil diskusi antara lain:

  1. Perlu diadakan diskusi lebih lanjut antara Kemenkes dengan PT, mengenai sebenarnya apa yang menjadi kebutuhan Kemenkes saat ini, sehingga PT bisa membantu sesuai kebutuhan.
  2. Penganggaran untuk penelitian didasarkan pada road map yang telah disusun fakultas, dana penelitian universitas tidak bisa dibagi rata, melainkan berdasarkan skala prioritas universitas.
  3. Konsorsium KIA-Gizi dapat melaksanakan kegiatan baru atau melakukan scalling-up beberapa program yang dirasa sebenarnya bisa berjalan tapi ternyata sulit berjalan  cakupan program masih rendah.

 

LAPORAN HARI KEDUA KEGIATAN

llap1

Laporan Hari Kedua

“Diskusi Penyusunan Bentuk Hukum Pengelola Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dan Pembahasan Policy brief dan Pengembangannya untuk Dua Topik Prioritas: BPJS dan KIA”, Jakarta, 10-11 Desember 2012

Pada hari kedua, para peserta dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama membahas policy brief dan pengembangannya untuk topik KIA. Kelompok kedua membahas policy brief dan pengembangannya untuk topik BPJS. Laporan ini akan membahas mengenai kelompok kedua.

11121222

Pertemuan ini diawali dengan sharing informasi oleh Faozi Kurniawan dari PMPK FK UGM. Faozi menyampaikan hasil Seminar dan Workshop ‘Peran Daerah dalam BPJS Kesehatan’. Pertemuan di Yogyakarta pada 7-8 Desember tersebut, membahas mengenai penyelenggaraan Jamkesda yang mulai tahun 2013 akan mengalami beberapa hambatan dengan berlakunya UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS dan dimulainya JK SJSN tahun 2014. Dalam sejarah, lahirnya Jamkesda merupakan komplementari dari lahirnya Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dengan berlakunya undang-undang BPJS tahun 2011 maka Jamkesmas harus menginduk pada BPJS. Dengan demikian, keberadaan Jamkesda tidak memiliki payung hukum yang jelas untuk berdiri sendiri. Anda dapat menyimak laporan kegiatan seminar tersebut pada link berikut: http://manajemen-jaminankesehatan.net/index.php/88-Reportase/490.

Beberapa isu pokok dari pertemuan Jamkesda yang disampaikan oleh Faozi sehubungan dengan operasionalisasi BPJS mengerucut pada tiga hal:

  1. Payung Hukum
  2. Iuran/premi
  3. Kepesertaan

Anda dapat mengunduh materi presentasinya silahkan klik disini 

Setelah sharing informasi selesai, diskusi pembahasan policy brief dimulai dengan dipimpin oleh Dr. Nyoman Anita. Diskusi diawali dengan pendapat dari Tyas bahwa mengawali operasionalisasinya, BPJS pada 2014-2019 atau sesuai peta jalan Jaminan Kesehatan Nasional (2012-2019) maka kondisi ini akan menjadi masa transisi. Selama masa transisi tersebut akan banyak isu yang dapat dilihat dari sisi penelitian kebijakan kesehatan.

Dalam kesempatan ini, Dr. Deni menyatakan pentingnya memahami istilah BPJS dan JK SJSN. Dalam beberapa diskusi di tempat lain, masih ada orang yang belum mengerti dan menganggap kedua istilah ini adalah sesuatu yang interchangeable. Padahal dua istilah ini merujuk pada dua hal yang berbeda. BPJS adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sehingga yang dimaksud adalah badan pelaksananya. Sementara JK SJSN adalah Jaminan Kesehatan Sistem Jaminan Sosial Nasional, sehingga yang dimaksud adalah sistemnya. Harapannya penjelasan tentang istilah ini dapat dimasukkan ke dalam bagian proses sosialisasi.

111212

Diskusi terus berlanjut menuju kebijakan mengenai BPJS dan SJSN. Menurut Chriswardani, sehubungan dengan kebijakan maka materi referensi utama yang digunakan adalah Undang Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Satu masukan lainnya adalah mengenai perlunya milis untuk para penulis policy brief. Melalui media ini, mereka dapat saling berbagi materi referensi dan juga hasil penelitian.

Prof Charles menyampaikan perlunya policy brief untuk menyoroti isu yang sudah ada konsensusnya. Sehingga policy brief tidak menyentuh isu yang masih dalam wilayah abu-abu. Dr Nyoman menyatakan bahwa terkait dengan BPJS ini akan ada banyak sekali isu yang bisa dibuat policy brief-nya. Beberapa contoh antara lain kualitas pelayanan medis, kualitas administrasi keuangan, manajemen peserta, juga terkait mindset dari semua lini yang terlibat.

Chriswardani juga menambahkan terkait sosialisasi operasional BPJS. Sosialisasi diperlukan tidak hanya untuk masyarakat sebagai peserta namun juga diberikan kepada pemberi pelayanan kesehatan. Perubahan model pembayaran out of pocket menjadi pra upaya telah menimbulkan banyak kebingungan tidak hanya di penerima pelayanan kesehatan, namun juga di pemberi pelayanan kesehatan.

Andre menyampaikan pendapatnya terkait isu kesiapan pemberi pelayanan kesehatan. Contohnya antara lain distribusi dokter yang belum merata serta fasilitas kesehatan di daerah tertentu yang masih sangat kurang. Bahkan di beberapa puskesmas masih belum ada dokter.

Ilsa juga mengangkat isu mengenai equality dan equity. Sementara itu, Dr. Deni menambahkan satu isu mengenai adekuasi. dr Ketut menambahkan isu terkait pembiayaan SJSN dengan studi kasus dari Jamkesda Propinsi Bali.

Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengarah kepada cakupan universal dipandang oleh Prof Bhisma melalui tiga dimensi yang dapat dilihat dari :

  1. Populasi yang dijangkau
  2. Seberapa besar benefit yang diberikan
  3. Jumlah cost sharing yang harus ditanggung.

Ketiga dimensi ini dapat dilihat untuk menentukan topic policy brief. Prof Siswanto menyatakan pentingnya distribusi policy brief. Target sasaran policy brief dapat dilihat dari level nasional maupun level daerah. Bisa juga policy brief ditujukan kepada target audiens tertentu. Misalnya kalangan akademis (mahasiswa, dosen), organisasi profesi (terkait pemberi pelayanan kesehatan), serta elemen birokrasi structural (kepala dinas, staf kementrian).

Diskusi ini menghasilkan cukup banyak daftar fokus utama substansi yang akan dibahas terkait pelaksanaan SJSN. Dr Nyoman menutup diskusi ini dengan menyatakan bahwa nanti policy brief ini akan dibawa melalui jaringan sampai menyentuh para pembuat kebijakan. Tindak lanjut diskusi ini adalah perlunya pembentukan milis. Milis akan menjadi media komunikasi untuk para penulis policy brief dan juga bermanfaat sebagai tempat berbagi informasi serta referensi.

Laporan Hari pertama

llap1llap2

LAPORAN HARI PERTAMA KEGIATAN “Diskusi Penyusunan Bentuk Hukum Pengelola Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dan Pembahasan Policy brief dan Pengembangannya untuk Dua Topik Prioritas: BPJS dan KIA” di Jakarta, 10-11 Desember 2012

101212

Kegiatan ini merupakan kegiatan tindak lanjut dari pertemuan besar Jaringan Kebijakan Kesehatan III dengan tema kebijakan KIA dan BPJS di Surabaya pada September 2012 lalu. Pertanyaan Kritis mengenai pertemuan kebijakan kesehatan in i: Apakah pertemuan ini dapat langsung mengubah kebijakan? Jawabannya adalah tentu tidak mungkin langsung merubah, apalagi tidak semua pengambil kebijakan datang. Dalam hal ini perlu follow-up yang berfokus pada aspek-aspek kebijakan. Dibutuhkan detailing kebijakan dimana dilakukan advokasi kebijakan secara terus menerus dan sistematis. Dalam detailing kebijakan ini diharapkan proses advokasi kebijakan ini dilakukan secara sistematis dengan berfokus pada topik-topik prioritas.

Kegiatan ini berlangsung pada 10-11 Desember 2012 bertempat di Hotel Aryaduta Semanggi, Jakarta. Tujuan acara ini untuk merumuskan bentuk hukum Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, merumuskan policy brief untuk topik KIA dan BPJS serta rencana penggunaannya, dan menyusun Plan of Action untuk advokasi kebijakan KIA dan BPJS. Peserta yang hadir dalam kegiatan ini antara lain dosen fakultas kedokteran, dosen fakultas kesehatan masyarakat, Badan Litbangkes Kemenkes RI, dan AusAid.

Pertemuan ini dibuka oleh Prof. Laksono Trisnantoro, Ketua S2 Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, IKM, Universitas Gadjah Mada. Sesi pertama langsung membahas topik yang berjudul “Penguatan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia”. Anda dapat mengunduh materinya . Prof. Laksono mengawali sesi pertama dengan pertanyaan “Mengapa diperlukan jaringan kebijakan kesehatan Indonesia?” Ada tiga hal yang menjadi sorotan Prof. Laksono, yang pertama adalah jumlah anggaran kesehatan yang terus meningkat. Poin kedua adalah bahwa tanpa adanya satu lembaga independen maka efektifitas suatu kebijakan tidak bisa dinilai. Sedangkan poin ketiga yaitu mengenai semakin berkurangnya jumlah peneliti kebijakan kesehatan dan terbatasnya lembaga riset independen.

Ketika menyinggung mengenai jumlah peneliti, muncul diskusi yang menarik di antara para peserta diskusi. Topik yang pertama kali disorot adalah adanya fragmentasi antara peneliti dari fakultas kedokteran dan peneliti dari fakultas kesehatan masyarakat. Siti (Unair) mengungkap dua alasan yang menjadi penyebab munculnya fragmentasi tersebut. Pertama yaitu adanya ego yang mengakibatkan masing-masing peneliti tidak mau saling bekerja sama. Poin kedua mengenai rekan-rekan peneliti dari fakultas kedokteran yang memilh praktek dibandingkan meneliti. Hal ini terjadi karena praktek dokternya laris dan mampu memberikan penghasilan lebih baik dibandingkan menjadi peneliti. Menurut Siti, fighting spirit untuk menulis dan meneliti masih kurang. Diperlukan adanya win win solution dan kemampuan kerja sama yang baik untuk mengatasi permasalahan fragmentasi peneliti dan jumlah peneliti. Pembentukan jaringan adalah salah satu upaya membangun kerja sama yang baik antar peneliti.

Jaringan kebijakan kesehatan Indonesia diharapkan dapat menjadi lembaga independen yang mampu melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan secara obyektif. Jaringan bukan sebuah asosiasi, ikatan profesi, atau paguyuban yang cuma kumpul-kumpul. Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia adalah sekumpulan peneliti dan lembaga peneliti independen yang mempunyai interest pada penelitian kebijakan kesehatan dan advokasi pengambil kebijakan. Prof Charles menyampaikan bahwa jaringan adalah suatu kebutuhan. Kesempatan untuk mengembangkan jaringan pun terbuka lebar. Salah satu contohnya, mengenai sektor infrastruktur yang masih membutuhkan masukan-masukan dari sektor kesehatan.

Prof Bhisma menngungkapkan bahwa hadirnya rekan-rekan dari universitas dapat meningkatkan objektifitas jaringan dalam kegiatannya. Disamping itu, diperlukan juga adanya kehadiran para pembuat kebijakan. Hal yang melatarbelakangi ini ialah para pembuat kebijakan inilah yang menerima masukan dari jaringan dan mengaplikasikannya. Prof Laksono menyatakan bahwa jaringan akan berfokus pada independensi. Dalam kegiatannya, jaringan akan melibatkan pembuat kebijakan, tetapi mereka tidak dilibatkan dalam kepengurusan jaringan. Ibu Kris menyatakan bahwa jaringan adalah forum yang bisa menyatukan Indonesia, keanekaragaman bisa masuk disini.

Pada kesempatan ini, Prof. Laksono juga menyampaikan sejarah pengembangan jaringan sejak tahun 2002 sampai kemudian menggunakan website www.kebijakankesehatanindonesia.net. Siswanto menyatakan bahwa jaringan harus ada nilai tambahnya. Maka perlu disusun program kerja yang sasaran akhir yang jelas. Kegiatan dari jaringan antara lain : mengorganisir pertemuan ilmiah riset kebijakan kesehatan, mengadakan multi center health policy research, mengadakan pelatihan untuk para member, melakukan distribusi policy brief, melakukan advokasi kebijakan, mengumpulkan dana, mempublikasikan jurnal dan website kebijakankesehatanindonesia.net.

Salah satu kegiatan yang menjadi pembahasan dalam diskusi kali ini adalah policy brief. Policy brief menggunakan atas nama perorangan dalam jaringan. Arah distribusi policy brief adalah advokasi dan legislasi kebijakan. Policy brief akan disampaikan pada pihak yang berkepentingan tergantung topik/isu yang diangkat. Pengiriman dilakukan kepada orang-orang kunci pembuat kebijakan.

Kegiatan lain yang telah dilaksanakan adalah pelatihan jarak jauh. Jaringan mengharapkan pelatihan ini dapat menciptakan kelompok-kelompok ahli kebijakan kesehatan.

1012122

Siswanto menyampaikan bahwa meskipun anggotanya banyak dari universitas, jaringan tidak tergabung dengan universitas. Jaringan memiliki kegiatan sendiri dan memiliki kantor kesekretariatan sendiri. Salah satu keuntungan anggota jaringan adalah bisa menyampaikan pendapatnya pada forum-forum dan didengarkan oleh para pembuat kebijakan. Hal ini menjadi perhatian Prof Laksono terkait kemampuan jaringan untuk bertahan dalam jangka panjang. Agar bisa bertahan tentunya jaringan membutuhkan pendanaan. Kemudian, mengemuka pemikiran agar bagaimana anggota jaringan merasa untung. Ketika anggota jaringan merasa memiliki jaringan dan mendapatkan manfaatnya, maka mereka akan mau bergabung bahkan mau membayar iuran untuk menjaga keberlangsungan jaringan. Pihak-pihak yang diharapkan menjadi anggota jaringan antara lain:

  1. Lembaga penelitian
    Bisa dari unit/pusat penelitan di universitas, lembaga penelitian swasta, maupun badan penelitian dan pengembangan milik pemerintah daerah.
  2. Perorangan
    Seperti para peneliti dan konsultan kebijakan dan manajemen kesehatan atau bisa juga dari mahasiswa pascasarjana kebijakan kesehatan.

Saat memasuki sesi kedua, diskusi lebih banyak focus mengenai bentuk dasar hukum yayasan. Untuk info lebih lengkap, silahkan . Beberapa ide yang muncul antara lain adalah bentuk hukum seperti PT, yayasan , maupun perkumpulan. Latar belakang jaringan memerlukan suatu dasar hukum adalah agar dapat mengelola dana untuk kegiatannya. Pada sesi ini, Prof Laksono menekankan kembali bahwa Jaringan ini terpisah dari universitas.

Salah seorang peserta diskusi, Dwijo, berpendapat bahwa yayasan adalah bentuk hukum yang paling tepat. Bentuknya lebih sederhana dibandingkan PT dimana ada pemegang saham namun tetap lebih kuat dari perkumpulan. Prof Alimin menyetujui hal tersebut dan menyampaikan bahwa yayasan bisa lebih sustainable serta dapat dikelola secara profesional. Diskusi kembali berlanjut membahas komponen penyusun yayasan dengan landasan UU Yayasan. Kemudian, muncul pertanyaan siapa yang akan menempati posisi-posisi Dewan Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Dari diskusi para peserta, muncul beberapa nama calon Dewan Pembina yang akan ditindak lanjuti pada pertemuan selanjutnya. Mengenai pengurus, diskusi menyepakati bahwa diperlukan para profesional yang bekerja penuh waktu. Para pengurus diharapkan dapat menghasilkan penghasilan untuk kegiatan jaringan serta memiliki akses ke pembuat kebijakan dalam rangka melakukan advokasi. Prof Charles mengutarakan pendapatnya bahwa masalah keuangan jaringan harus jelas. Transparansi dalam hal pendanaan adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar.

Dr Nyoman Anita menyampaikan bahwa dengan orang lain mengetahui bagaimana kekuatan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia maka banyak pihak yang akan tertarik untuk bergabung. Salah satunya adalah lembaga riset, karena kegiatan jaringan ini sangat erat hubungannya dengan penguatan kelembagaan/lembaga riset. Prof Laksono juga menyampaikan harapannya terkait modul pembelajaran. Harapannya dalam jaringan dapat dilakukan common share. Sehingga anggota jaringan bisa mendapatkan hal-hal yang baik dari anggota jaringan yang lain. Contohnya:anggota yang memiliki modul pembelajaran yang baik bisa berbagi pengetahuan dengan rekan anggota di daerah sehingga para anggota di daerah juga bisa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan serta informasi terbaru. Satu masukan yang menarik dari Siswanto adalah media baru policy brief. Policy brief dikembang tidak lagi dalam media tertulis namun dalam media audiovisual. Melalui media audiovisual diharapkan dapat menjadi satu bentuk komunikasi yang lebih menarik dalam proses advokasi terhadap pembuat kebijakan.

Diskusi dilanjutkan membahas malam hari policy brief berbasis data epidemiologis. Contoh kasus yang digunakan adalah kasus Kesehatan Ibu dan Anak di Nusa Tenggara Timur. Prof Laksono mengawali diskusi ini dengan pemaparannya mengenai penggunaan data absolut untuk mengubah kebijakan yang sudah berjalan. Prof Bhisma mengatakan bahwa penggunaan data absolut justru benar. Proporsi dan ratio bermanfaat untuk promosi kesehatan sedangkan counts akan lebih bermakna untuk manajemen kebijakan.

Sehingga dapat dilihat bahwa policy brief harus berisi bukti dengan data sebaik-baiknya. Dengan dukungan data, logika, dan referensi maka policy brief dapat menjadi salah satu alat komunikasi antara jaringan dengan pembuat kebijakan. Untuk mempermudah manajemen policy brief, dalam diskusi ini Prof Laksono menyampaikan ide mengenai sebuah sistem notifikasi yang dinamakan Alert System. Sistem ini adalah sebuah system yang bertujuan untuk menyampaikan informasi terbaru. Sistem ini memanfaatkan media elektronik berupa email dan sms. Alert System akan menjadi salah satu cara jaringan dalam mendistribusikan policy brief kepada orang yang tepat.

Hasil uji coba Alert System yang telah dilakukan oleh PMPK FK UGM disampaikan dalam pertemuan ini. Penggunaan sistem notifikasi yang cepat diharapkan dapat menjadi salah satu kekuatan jaringan. Pertemuan hari pertama ditutup oleh Prof Laksono dengan catatan untuk pertemuan kecil selanjutnya mengenai pemilihan Dewan Pembina Yayasan. Hari kedua akan dilakukan pembahasan policy brief dua topik prioritas yaitu KIA dan BPJS.

Jadwal Konsorsium

TENTATIVE JADWAL

FINALISASI AD/ART RENCANA TINDAK LANJUT KERJASAMA DINAS KESEHATAN
PROVINSI DENGAN PERGURUAN TINGGI
DALAM RANGKA PERCEPATAN PENCAPAIAN MDG

Jakarta , 10-12 Desember 2012

 

WAKTU

ACARA

KETERANGAN

Harike-I, Senin 10 Desember 2012

09.00 – 09.30

Registrasi peserta

Panitia

10.00 –  13.00

Pembahasan petunjuk pelaksanaan kerjasama Dinkes dan PT dan AD dan ART

Moderator

Sekretaris Konsorsium PT
Kabag Hukormas Ditjen Bina Gizi KIA

13. 00 – 14.00

ISHOMA

14.00 – 15.00

Arahan dari Dirjen Bina Gizi dan KIA

 

Pendamping

Direktur Bina Kesehatan Anak

15.00 – 17.00

Finalisasi AD dan ART Konsorsium PT

Moderator

Dekan FK Hasanuddin
Dekan FK UNDIP

17.00 – 19.00

ISHOMA

19.00 – 21.00

Jejaring GIZI dan KIA

Prof Laksono Trisnantoro

Harike-II, Selasa11Desember 2012

08.00 – 10.00

Pembahasan mengenai Policy Advokasi dan Policy Brief di bidang Gizi dan KIA

 

Prof LaksonoTrisnantoro, M.Sc., Ph.D

Pembahas :

  1. Kadinkes Prop Jateng
  2. Ketua IDAI
  3. Prof. Dr. dr. H. Alimin Maidin, MPH
  4. Dekan FK UNAIR

10.00 – 10.15

Rehat Kopi

10.00-12.00

Diskusi kelompok Policy Advokasi dan Policy Brief di bidang Gizi dan KIA

 

12.00 – 13.00

ISHOMA

 

13.00 – 15.00

Diskusi pengembangan penelitian MDG 1, 4 dan 5

 

15.30 – 17.00

Rencana Tindak Lanjut

 

17.00 – 18.00

Penutupan

Direktur Bina Kesehatan Anak

Harike-III,Rabu 12 Desember 2012

 

Peserta daerah pulang ketempat masing-masing

 

Konsorsium KIA

lapkeg

KERANGKA ACUAN

FINALISASI AD dan ART RENCANA TINDAK LANJUT KERJASAMA
DINAS KESEHATAN PROVINSI DENGAN PERGURUAN TINGGI
DALAM RANGKA PERCEPATAN PENCAPAIAN MDG

Jakarta , 10-12 Desember 2012

lapkeg

    1. Pendahuluan

      Millenium Development Goals merupakan kesepakatan lebih dari 180 Kepala Negara dan Pemerintahan termasuk Presiden RI pada tahun 2000 yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Tujuan ke 1, 4 dan ke 5 dari Millenium Development Goals tahun 2015 adalah sangat terkait erat dengan kesehatan ibu dan anak. Target yang akan dicapai adalah menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23/1.000 kelahiran hidup, Angka Kematian Balita (AKBAL) 32/1.000 kelahiran hidup serta Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102/100.000 kelahiran hidup. Perlu dilakukan berbagai kegiatan untuk mencapai target pada tahun 2015.

      Upaya mempercepat pencapaian MDG1, MDG4 dan MDG5 diperlukan berbagai strategi penting antara lain: (1) penatalaksanaan continuum of care dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak; (2) memperhatikan proses kebijakan agar mendapatkan hasil yang baik; dan (3) perlunya sinergi antara Kementerian Kesehatan, Perguruan Tinggi, lembaga pemikir (think-tank) dan lembaga-lembaga swasta dan masyarakat.

      Perguruan Tinggi sebagai pusat intelektual, memiliki Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pangabdian Masyarakat) dapat memberikan kontribusi dalam Agenda Setting dan Policy Formulation melalui berbagai riset, ikut aktif dalam perencanaan, dan monitoring serta evaluasi terhadap program kesehatan.Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kesehatan Masyarakat yang jumlahnya cukup banyak memiliki potensi besar sebagai stakeholder Kementerian Kesehatan dalam fungsi ini serta partners dalam pencapaian MDGs. Perguruan Tinggi diharapkan menghasilkan tenaga kesehatan yang diharapkan dapat siap pakai dalam pembangunan kesehatan.

      Terkait hal tersebut maka pada tanggal 19 September 2012 telah dilaksanakan penandatangan kesepakatan bersama antara Dirjen Gizi dan KIA dengan 32 Dekan FK dan FKM Negeri dalam rangka maka dalam rangka percepatan pencapaian MDGs1,4 dan 5. 

      Sebagai tindak lanjut dari rangkaian kegiatan antara Dirjen Bina Gizi dan KIA denga FK dan FKM, akan dilaksanakan “FinalisasiAD/ART dan Rencana Tindak Lanjut Kerjasama Dinas Kesehatan Provinsi dengan Perguruan Tinggi dalam rangka percepatan pencapaian MDG

    2. TUJUAN

Disepakatinya AD dan ART Konsorsium Perguruan Tinggi, dan Rencana Tindak Lanjut Kerjasama Dinkes Provinsi di Bidang KIA

    1. LUARAN
       

      1. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Konsorsium Perguruan Tinggi
      2. Disepakatinya Draft Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Konsorsium Perguruan Tinggi untuk Ibu-Anak dan Gizi dengan Dinkes provinsi dan Kabupaten/Kota 
      3. Disepakatinyarencana kerja Konsorsium Perguruan Tinggi untuk Ibu-Anak dan Gizi dalam rangka mempercepat pencapaian MDGs1,4 dan 5.
      4. Adanya Policy Brief di Bidang KIA
         
    2. KEGIATAN

Hari/tanggal : Senin-Rabu/ 10-12 Desember 2012
Waktu         : (jadwal terlampir)
Tempat       : Hotel Aryaduta Semanggi, JL. Garnisun Dalam 8, Sudirman- Jakarta

    1. PESERTA PERTEMUAN
       

      1. Peserta yang dibiayai dari dana Pertemuan Pokja MDG di Jakarta DIPA Direktotat Bina Kesehatan Anak :

        1. Peserta Pusat
          1. Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
          2. Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen DIKTI
          3. Direktur Bina Kesehatan Anak
          4. Direktur Bina Kesehatan Ibu
          5. Direktur Bina Gizi
          6. Kepala Pusdiklat Aparatur BPPSDM
          7. Direktur P2M
          8. Direktur Simkarkesma
          9. Ketua PB-IDI
          10. Ketua POGI
          11. Ketua PP-IDAI
          12. Ketua PP-IBI
          13. Ketua PPNI
          14. Ketua IAKMI
          15. Kasubdit Bina Kelangsungan Hidup Bayi
          16. Kasubdit Bina Kelangsungan Hidup Balita dan Anak Pra Sekolah
          17. Kasubdit Bina Kewaspadaan Balita Berisiko
          18. Kasi Standarisasi Subdit Bina Kelangsungan Hidup Bayi
          19. Kasi Bimev Subdit Bina Kelangsungan Hidup Bayi
          20. Staf SubditBina Kelangsungan Hidup Bayi 4 (empat) orang
             
        2. Peserta Daerah
          1. Ir. Suyatno (Sekretaris Konsorsium FK dan FKM untuk KIA dan Gizi)
          2. Pejabat eselon III penanggung jawab program KIA dan Gizi ProvinsiJawa Tengah
          3. Pejabat eselon III penanggung jawab program KIA dan Gizi Provinsi Jawa Barat
          4. Dekan FK Universitas Mulawarman
          5. Dekan FK Universitas Nusa Cendana
          6. Dekan FKM Universitas Nusa Cendana
             
      2. Peserta yang dibiayai dari Peningkatan Kerjasama dengan Perguruan Tinggi DIPA Sesditjen Bina gizi dan KIA :

        1. Peserta Pusat
          1. Dekan FK UI
          2. Dekan FKM UI
          3. Sesditjen Bina Gizi dan KIA
          4. Dinas Kesehatan Provinsi DKI
          5. Kabag PI Sesditjen Bina Gizi dan KIA
          6. Kabag Hukormas Sesditjen Bina Gizi dan KIA
          7. Staf Sesditjen Bina Gizi dan KIA 4 (empat) orang
             
        2. Peserta Daerah

          No

          Peserta

          Daerah

          1

          Dekan FK Universitas Syiah Kuala

          ACEH

          2

          Dekan FK Universitas Sumatera Utara

          SUMUT

          3

          Pejabat eselon III penanggung jawab program KIA dan Gizi Dinkes Prov Sumut

          SUMUT

          4

          Dekan FK Universitas Andalas

          SUMBAR

          5

          Pejabat eselon III penanggung jawab program KIA dan Gizi Dinkes Prov Sumbar

          SUMBAR

          6

          Dekan FK Universitas Riau

          RIAU

          7

          Dekan FK Universitas Sriwijaya

          SUMSEL

          8

          Dekan FKM Universitas Sriwijaya

          SUMSEL

          9

          Pejabat eselon III penanggung jawab program KIA dan Gizi Provinsi Sumatera Selatan

          SUMSEL

          10

          Dekan FK dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

          JAMBI

          11

          Dekan FK Universitas Padjajaran

          JABAR

          12

          Dekan FK UGM

          YOGYA

          13

          Dekan FK UNDIP

          JATENG

          14

          Dekan FKM UNDIP

          JATENG

          15

          Dekan FK Universitas Sebelas Maret

          SOLO

          16

          Dekan FK UNAIR

          JATIM

          17

          Dekan FKM UNAIR

          JATIM

          18

          Dekan FK Brawijaya

          JATIM

          19

          Pejabat eselon III penanggung jawab program KIA dan Gizi Dinkes Prov Jatim

          JATIM

          20

          Dekan FK Universitas Udayana

          BALI

          21

          Dekan FK Universitas Mataram

          NTB

          22

          Dekan FK dan Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura

          KALBAR

          23

          Ketua program Studi Pendidikan Dokter Universitas Palangkaraya

          KALTENG

          24

          Dekan FK Universitas Hasanuddin

          SULSEL

          25

          Dekan FK dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako

          SULTENG

          26

          Dekan FK Universitas Sam Ratulangi

          SULUT

          27

          Dekan FKM Universitas Sam Ratulangi

          SULUT

          28

          Dekan FK Universitas Cenderawasih

          PAPUA

          29

          Dekan FKM Universitas Cenderawasih

          PAPUA

      3. Peserta yang dibiayai oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Universitas Gajah Mada (PMPK UGM)

        Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI

        1. Kepala Badan Litbangkes Kemkes RI
        2. Dr Soewarta Kosen, MPH

        Kelompok Dosen FK :

        1. Prof dr Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
        2. Prof dr Bhisma Murti, MPH (UNS)
        3. Prof Dr. dr Endang Basuki, MPH (UI)
        4. Dr Subur Prayitno, MS (UNAIR)
        5. Dr Yodi Mahendradhata MSc, PhD (UGM)
        6. Dr. dr Deni Sunjaya, DES (UNPAD)
        7. Dr Felik Kasim, MPH (Universitas Maranatha)
        8. Dr Rachmad Bachtiar MKes (Universitas Mulawarman)
        9. Dr. Ketut Suardjana (Universitas Udayana)
        10. Prof. Dr dr Charles Suryadi, MPH (universitas Atmajaya)

        Kelompok Dosen FKM

        1. Prof Dr Ascobat gani, MPH (UI)
        2. Prof. Dr. dr. H. Alimin Maidin, MPH (UNHAS)
        3. Prof Dr.dr Nurul Rochmah Ec, MKes (UNAIR)
        4. Dr drg Nyoman Anita Damayanti, MKes (UNAIR)
        5. Dra Chriswardani Suryaningtyas, MKes (UNIDIP)
        6. Dr. Dra. Dumilah Ayuningtyas, MARS (UI)
        7. Dr. Drs Surya Utama, MS (USU)
        8. Dr dr Grace Kandau MKes
        9. Efindya (UHAMKA)
        10. Tadeus Andreas Laga Regaletha (UNDANA)

 

  1. Biaya

    Kegiatan ini berasal dari DIPA Satker Direktorat Bina Kesehatan Anak TA 2012, Sesditjen Bina Gizi dan KIA TA 2012 dan Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan (PMPK) UGM TA 2012.

 

Pasca Pertemuan: Diskusi untuk pengembangan di Indonesia

   

Pasca Pertemuan: Diskusi untuk pengembangan di Indonesia

 

Bagaimana relevansi isi Pertemuan AAAH 7 dan pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk Indonesia?

Dalam rangka mengembangkan SDM kesehatan yang lebih baik, merata, dan sesuai kebutuhan masyarakat, kami akan fasilitasi diskusi secara virtual melalui miling-list ini. Silahkan diskusikan di bawah ini:

 

  

{jcomments off}

Hari III. Penutupan

   

Hari ketiga : Penutup

Sesi penutupan dilakukan dengan cara membahas berbagai pertanyaan dan masukan dari peserta. Ada moderator dan panel yang terdiri dari Chair dan Chair Elect AAAH, serta dari tuan rumah Thailand. Berikut ini disampaikan sebagian dari pertanyaan-pertanyaan yang ada:

tanyaa

Pertanyaan 1.Bagaimana kepemimpinan akan dilakukan di Human Resources for Health?

Moderator mengawali dengan menyatakan bahwa pemimpin-pemimpin dibina dan dikembangkan sejak dari muda. Bagaimana cara mengembangkan kepemimpinan di negara anda?

Thailand: Pengembangan kepemimpinan ini bukan tugas AAAH saja. Tapi juga seluruh pihak. Bagaimana setiap orang dapat digerakkan uuntuk menjadi leader. Leadership seperti mesin, yang jika tanpa ada kemudi…akan kacau. Jadi perlu pedoman…harus ada ini. pelaksanaan kepemimpinan melalui gerak nyata. Kepemimpinan harus dengan aksi. Tanpa aksi….berarti tidak ada.

Moderator: Dalam AAAH kita harus mengembangkan kepemimpinan seperti yang dilakukan di China. Banyak pemimpin muda. Harap bisa dilakukan di negara anda masing masing.

tanyaa

Pertanyaan 2: bagaimana kita secara efektif dapat mengadvokasi policy maker tentang SDM Kesehatan? 

Thailand: Yang penting bukti, legitimasi, dan etik tentang misal ketidak adilan dalam SDM. Memang harus ada solusi. Misal kita punya rata-rata dokter per 10000. Di berbagai tempat gapnya sangat besar antar daerah. Gap ini harus dibahas. Tetapi berbagai pemerintah atau policy maker sering korupsi. Mereka tidak perduli sering. Bagaimana mengecilkan gap ini. Ini yang susah. Perlu waktu panjang, minimal sekitar 10 tahun.

Chair Elect AAAH: Memang, saya setuju bahwa evidence mengenai SDM harus dipahami dengan baik oleh pengambil keputusan.

Chair AAAH: Kami di China mengembangkan pada yang disebut sebagai training dengan standar. Ada tim konsultan kuat yang membantuk kami.

tanyaa

Pertanyaan 3: Bagaimana menangani Konflik atau dikotomi antara Kementerian Pendidikan dan Kementerian Kesehatan?  

Chair AAAH: Di China terjadi pula hal ini, Tidak ada komunikasi baik antara Kementerian Pendidikan dan Kesehatan, Sebagai contoh, untuk perawat terjadi over supply sehingga banyak yang tidak bisa bekerja pada bidangnya. Kedua Kementerian berusaha mengatasi hal ini.

Thailand: Kita harus membikin stategi, dengan menyusun steering commitee untuk pengembangan dan pelaksanaan kepemimpinan antara Kemenkes dan Kemendikbud serta perhimpunan profesi. Tapi harus ada action dalam produksi, termasuk pengembangan health system dan rural health.

tanyaa

Pertanyaan 4: Apa rencana untuk menguatkan link AAAH dengan member country, serta bagaimana ekspansinya? 

Chair AAAH: Kami akan terus menyelenggarakan annual confence, mengembangkan websites, dan saling menceritakan berbagai perngalaman dari tiap-tiap negara.

Chair Elect: AAAH akan semakin menggunakan focal point di tiap negara untuk mengembangkan hubungan kerjsama anta negara.

Thailand: Sebuah network hanya akan jalan kalau semua member merasa mendapat manfaat. Jadi adanya konferensi dan berbagai kegiatan lainnya merupakan hal yang harus dirasakan manfaatnya oleh anggota.

 

Kesimpulan terakhir:

Focal Point tiap negara sebaiknya harus bisa berkordinasi dengan jaringan nasional. AAAH tidak bisa langsung menangani. Kegiatan yang utama terjadi di nasional, bukan di AAAH. Kita tidak hanya menjalankan riset, namun juga kalau bisa ikut mempengaruhi kebijakan.

 

{jcomments on}

Hari kedua 7th AAAH Bangkok

   

Hari kedua 7th AAAH Bangkok

 

mixx

Sesi Pleno pertama pada hari II membahas mengenai analisis antar negara,
pembicara dalam sesi ini ada 4. Pembicara pertama adalah
Prof Pisake Lumbiganon, Dean Khon Kaen Medical School,
yang menjabat sebagai Co-Coordinator Asia-Pacific Network on Health
Professional Education Reforms
(ANHER).

Prof Pisake membahas mengenai Sejarah Medical Education di berbagai negara dan kebutuhan untuk melakukan reformasi pada awal abad ke 21 ini. Sebagai co-chair dari sebuah jaringan ANHER, pembicara mengajak para peserta untuk memahami tantangan pendidikan kedokteran, antara lain: (1) perubahan pola penyakit yang tidak hannya communicable disease tapi juga NCD;(2) tantangan sosial demografi, perubahan struktur social ekonomi; (3) Health System Challenge, antara lain kerjasama tim yang buruk, kepemimpinan yang lemah, kecenderungan konflik antar profesi, pengembangan health system yang semakin kompleks dan mahal, kekurangan SDM, Universal Coverage dan Health Equity; (4) Medical Education Challenges, misal adanya lulusan yang kurang bermutu. Oleh karena itu dirasakan perlu Reform Global untuk pendidikan kedokteran dan kesehatan. Reform ini diluncurkan di Harvard pada 2010 lalu. Pelaksanaan di Asia : ANHER dibahas di AAAH meeting di Bali 2010 (Catatan : Indonesia kemudian tidak ikut). Bulan April 2001, pertemuan di Hanoi dimana China dan India bergabung, tapi Indonesia belum. Kelima negara kemudian bergabung dan melakukan penelitian bersama mengenai reformasi dalam pendidikan kesehatan dan kedokteran.

Pembicara 2 adalah Prof Barbara McPake, Director of the Institute for International Health and Development Queen Margaret University, Edinburg.

The Challenges for Human Resources for of Reducing Health Financing . Presentasi ini membahas implikasi penghapusan user-fee untuk pelayanan kesehatan ibu dan anak. Hal yang menjadi pertanyaan besar : apa bukti penggratisan ini terhadap sistem pelayanan kesehatan? Berbasis pada desk-top research dan dua studi lapangan di Sierra Leone dan Zimbabwe ditemukan berbagai bukti bahwa penggratisan ini menunjukkan adanya dampak positif dalam penggunaan pelayanan kesehatan. Masyarakat miskin lebih mendapat manfaat untuk dibanding yang kaya. Akan tetapi masalah di sisi supply memberikan negative impact. Contohnya: peningkatan beban kerja, penurunan moral. Di beberapa negara ada dana kompensasi berupa nsentif untuk tenaga kesehatan seperti yang dilakukan di Nepal dan Niger. Lebih jauh lagi ditemukan bahwa ada kemungkinan memperburuk ketimpangan rural dan urban. Dalam kesimpulan memang susah mengukur impact perubahan kebijakan pembiayaan (penghapusan user-fee/penggratisan) terhadap sistem kesehatan dan SDM di dalamnya. Disamping itu, banyak hal yang masih harus dibahas.

Pembicara 3. Ms Taina Nakari, Global Health Workforce Alliance (GHWA),

Geneva membahas mengenai Jaringan GHWA dan jaringan lokal. GHWA di Geneva mendukung pengembangan jaringan-jaringan regional. Sebagai gambaran adalah AAAH di Afrika dan di Asia Pasifik. Ada beberapa kegiatan, misal: HRH Observatories di Latin America, Africa, Easter Mediteranean, dan berbagai tempat lainnya. Ms Nakari memaparkan mengenai keuntungan menjadi anggota Jaringan HRH di region. Ada banyak kegiatan termasuk: Kepemimpinan, migrasi, penempatan di daerah terpencil, MDGs dan adanya Konsultasi Regional.

Pembicara 4. Prof Tim Evans, Dean of BRAC University’s James P Grant School of Public Health

lebih berperan sebagai pembahas. Dalam kesempatan tersebut Prof Tim Evans mengingatkan mengenai manfaat kegiatan kolaborasi, kembali ke tahun 2001. Mengapa harus ada jaringan? Jawabannya untuk meningkatken efisiensi. Ada public goods aspect di dalam kegiatan ini. Di dalam proses jaringan ini ada penguatan kapasitas misalnya, dan hal ini sangat pendting dalam konteks medical education. Di Afrika terlihat ada efisiensi dan penajaman dalam peningkatan kemampuan kapasitas. Peningkatan ini berada dalam konteks : individu, institusi, dan informasi.

caatat
Catatan dari Prof Laksono untuk Indonesia 
(tidak dibahas di Sidang, namun untuk dibawa pulang).
Dalam sesi ini ada beberapa catatan untuk Indonesia, yaitu:

1. Isu medical education reform
2. Dampak perubahan sistem pembiayaan untuk SDM

 

  1. Isu medical education reform.

    Indonesia memang tidak menjadi anggota dari ANHER, walaupun pada tahun 2010 diselenggarakan di Bali. Akan tetapi isu reformasi pendidikan kedokteran ini dikembangkan dalam penyusunan RUU Pendidikan Kedokteran. Dalam RUU Pendidikan Kedokteran (yang masih tertahan di DPR karena pemerintah/cq Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih belum ingin mengesahkan), dilakukan berbagai usaha untuk mereformasi sistem pendidikan kedokteran. Referensi yang digunakan dalam naskah akademik RUU Pendidikan Kedokteran sama dengan apa yang dibahas di ANHER. Dalam konteks pengembangan reformasi medical education ini, ada baiknya RUU Pendidikan Kedokteran ditelaah kembali.

  2. Dampak perubahan sistem pembiayaan untuk SDM.

    Apa yang dibahas oleh Barbara McPake terjadi di Indonesia dalam kasus Jampersal dan Jaminan Kesehatan Aceh. Perubahan sitem pembiayaan dengan cara membebaskan biaya ternyata berdampak langsung pada sumber daya manusia, yaitu terjadi penurunan pendapatan. Respon langsung SDM sangat menarik. Dalam kasus Jampersal tahun 2011 terjadi peningkatan rujukan ke RS. Sementara itu di Aceh, para spesialis di daerah sulit menjadi tidak nyaman karena berkurang pendapatannya. Terjadi migrasi ke urban, atau tidak full bekerja di daerah sulit. Jadi, isu ini perlu diteliti lebih lanjut.

Sesi paralel di Hari II yang menarik adalah masalah kebijakan agar para tenaga kesehatan tetap berada di daerah terpencil (isu retensi). Ada tiga pembicara yang berasal dari China, Vietnam, dan Thailand.

Pembicara 1; Dr. Xu Ji, Pimpinan Center for Health Human Resources Development , China Ministry of Health. Bagaimana kebijakan untuk retensi di daerah sulit di China?

Di tahun 2009 ada reformasi kesehatan. Ada dana sebenar 135 biliun dollar untuk reformasi pada tahun 2009 sampai dengan 2011. Salah satu hal penting adalah membentuk jaringan pelayanan kesehatan dasar di China. Situasi yang terjadi di HRH China. Pelayanan kesehatan primer diperbaiki tahun 2011. Ada 2200 RS kabupaten dan 33 ribu puskesmas yang direnovasi. Kemudian, dibutuhkan banyak SDM yang berkualifikasi tinggi di daerah pedalaman China.

Situasi HRH seperti berikut ini, total 8.21 juta HRH, 5.88 juta tenaga kesehatan, 1.09 juta dokter desa. Rasio perbandingan dokter dengan perawat = 1.18. Lebih banyak lulusan kesehatan yang tinggi di kota dibandingkan di daerah, 3.4 kali lebih tinggi. Sementara, untuk jabatan masih banyak yang rendah. Ada berbagai kebijakan retensi tenaga kesehatan di China. Kebijakan pertama berupa pemberian bimbingan teknis dari pelayanan kesehatan dari perkotaan ke desa. Dalam hal ini yang diuntungkan adalah RS kabupaten. Hasil yang diharapkan adalah peningkatan mutu, dan kemampuan manajemen. Kebijakan kedua adalah rekruitmen di daerah untuk di tempatkan di pedesaan. Kemudian, lembaga yang diuntungkan adalah puskesmas di rural.

Kebijakan ketiga adalah peningkatan kapasitas untuk pelayanan kesehatan di daerah pedesaan. Kebijakan keempat adalah melakukan kerja kontrak dengan mahasiswa kedokteran dengan berbagai paket manfaat. Pertanyaan mendasar adalah : Apakah kebijakan tersebut berhasil? Masih belum banyak bukti yang dapat dipakai.

Pembicara kedua adalah Khuong Anh Tuan dengan materi Policy Mapping and Analysis on Rural Retention in Vietnam.
Tuan adalah Head Department of Health Service Management Research, Health Strategy and policy institute Vietnam. Pembicara menyatakan bahwa cakupan SDM di Vietnam sudah mulai membaik. Tapi tetap banyak masalah seperti kekurangan jumlah, mutu yang rendah di lapangan, kurang dana di daerah sulit, dan adanya brain drain dari rural ke urban. Tujuan peyajian : 1. membahas secara kronologis seluruh kebijakan pemerintah yang meningkatkan retensi tenaga kesehatan di daerah rural. 2. Melakukan analisis terhadap kebijakan publik untuk retensi tenaga kesehatan di daerah terpencil; dan 3. memberikan usulan opsi kebijakan. Kesimpulan yang diperoleh dari analisis ini sebagai berikut. Pertama, kebijakan untuk retensi tenaga kesehatan di daerah rural Vietnam belum membahas isu-isu penting seperti kurikulum yang merefleksikan isu kesehatan rural, compulsory service, support untuk pelayanan jauh, kondisi kehidupan yang lebih baik, jaringan professional, dan penghargaan publik. Kedua, ada gap besar antara isi dokumen kebijakan nasional dengan peraturan untuk pelaksanaan kebijakan. Sehingga, dalam pelaksanaannya perlu ada kebijakan lain.

Pembicara terakhir dari sesi ini mengenai Analisis Kebijakan Retensi di Thailand yang disampaikan oleh Passaroen Wanhaijiraboon.
Di Thailand ada sekitar 700 district hospitals (100 TT), 9 % berada di daerah sangat terpencil, dan 16% terpencil. Kebijakan yang dijalankan adalah mengatur supply tenaga kesehatan, mengembangkan distribusi dan penggunaan yang baik, serta memberikan insentif berupa non-keuangan dan keuangan.

Kebijakan tersebut mencoba mengatur dinamika perpindahan dokter dari rural ke urban. Muncul peraturan wajib kerja sejak tahun 1972. Kemudian pada tahun 1980 ada kebijakan investasi di RS Swasta. Jumlah RS Swasta meningkat menjadi 25% (sebelumnya hanya 10%). Ada brain drain dari RS rural ke RS swasta yang berada di kota-kota besar. Di lapangan, jumlah dokter tidak bertambah banyak. Di pertengahan 1997 terjadi krisis ekonomi. Sebagian RS Swasta menurun kinerjanya. Ada pengembangan balik, dimana dokter migrasi dari swasta ke pemerintah. Namun sejak tahun 2002 terjadi economic recovery dan kembali ada migrasi dari rural dan pemerintah ke swasta.

Untuk meredam dinamika ini, kebijakan yang dilakukan adalah menambah jumlah mahasiswa kedokteran dan menambah jumlah rural dokter karena selama ini semakin banyak dokter spesialis, dan GP menurun. Kebijkan insentif terus dikembangkan. Akan tetapi kebijakan insentif keuangan belum memberikan hasil maksimal. Dalam menjalankan kebijakan retensi dokter ini prinsipnya adalah Plan Long-Act Short-Update Open.

Kesimpulan dari diskusi ini:

Kebijakan retensi dokter merupakan hal yang penting dalam Human Resources for Health. Berbagai kebijakan telah dilakukan di tiga negara. Hasil memang belum menggembirakan, akan tetapi usaha sudah mulai dilakukan. Pelajaran penting dari Thailand adalah perubahan sistem pembiayaan akan mengubah dinamika dan migrasi dari urban ke rural dan sebaliknya. Insentif keuangan memang penting, tapi bukan satu-satunya insentif seperti yang dilakukan di Vietnam dan Thailand. Dalam hal ini, promosi jabatan juga menjadi isu penting.

caatatCatatan dari Prof Laksono untuk Indonesia (tidak dibahas di Sidang, namun untuk dibawa pulang).

Dalam sesi ini ada beberapa catatan untuk Indonesia, yaitu:

1. Bagaimana kebijakan retensi ini di Indonesia?
2. Apakah perlu ada suatu kebijakan baru?

 

  1. Kebijakan untuk retensi tenaga kesehatan di daerah terpencil.

    Di Indonesia, belum ada kebijakan yang jelas mengenai retensi tenaga dokter dan tenaga kesehatan lainnya sampai saat ini. Memang sudah ada kebijakan dokter atau bidan kontrak, insentif daerah terpencil atau pengembangan daerah tertinggal. Akan tetapi belum jelas, juga dalam hubungannya dengan proses produksi.

  2. Apakah perlu ada kebijakan baru? Ya dan hal ini telah menjadi perhatian Dr Untung Suseno MKes, Kepala Badan PPSDM Kemenkes yang baru dilantik, dan hadir aktif mengikuti kegiatan di Bangkok ini. Dalam konteks ini Universitas Gadjah Mada akan menyelenggarakan pertemuan usulan Kebijakan SDM Kesehatan di daerah terpencil di bulan Maret 2013. Selama 5 tahun terakhir ini FK UGM melakukan berbagai kegiatan untuk mendukung pengembangan SDM di daerah terpencil, antara lain :
    1. Memberikan affirmative selection untuk calon mahasiswa baru di daerah terpencil. Dengan memberikan tempat yang hanya diperebutkan oleh lulusan SMA setempat, ada jaminan lulusan SMA dapat masuk ke FK UGM.
    2. Mengembangkan Sister Hospital yang berusaha untuk mendidik residen dari daerah terpencil di pedalaman NTT dan sambil menunggu kedatangan kembali, mengisi dengan tenaga kontrak untuk mengurangi kematian ibu dan bayi.
    3. Mengembangkan studi persiapan untuk mendukung dokter di daerah terpencil, termasuk pengembangan perhimpunan dokter di daerah sulit.

 

0900-030 

Plenary Session 3 Cross country analysis; Lessons from Intersession activities (Intersession activity of AAAH)
Coordinator: AAAH secretariat

Pisake Lumbiganon, MD, MS(Penn)

Barbara McPake, Sophie Witter

Regional HRH networks – diverse models

1030-045

Coffee break

1045-215

Parallel Session 4

The Roles of the Public and Private Sectors in HRH Education and Regional Labour Markets (Sub-theme 5)

Coordinator: Dr Viroj Tangcharoensathien

 

Dr.Gantuya Sengee,MOH

A/Prof. Le Cu Linh, PhD.

Dr. Piniru Perera

Akira Shibanuma

Parallel Session 5

HRH Rural Retention Policy Analysis (Sub-theme 6)

Coordinator: Researcher from intersession research

 

Parallel Session 6

Ensuring the Quality and

Effectiveness of HRH Financing

  (Sub-theme 7)

Coordinator: Dr Marilyn Lorenzo

1215-300

Lunch

1300-1700

Field visits 3 sites (Participants will be separated into 3 groups.) –[one group per one site] 

1700-900

Official Conference Celebration Dinner –on the Chao Praya Grand River Cruise

 

  

Hari 1 Sesi Poster

   

Hari 1 Sesi Poster

photobankok2

Setelah makan siang diselenggarakan Poster Session dimana ada diskusi dengan pemilik poster.  Ada 11 poster, tapi satupun tidak ada yang berasal dari penulis Indonesia. Apa saja judul posternya?

A.  Kelompok Pendidikan Tenaga Kesehatan.

  1. Thai new Medical graduates confidence in medical and public health competency
  2. Differential Responses of attitudes toward inter-professional health care teams and the education to program for the first and third year undergraduate students.

B. Kelompok Manajemen dan Kepemimpinan

  1. Leadership/Management Capacities of Nursing Professionals at the Policy Level across various state of India
  2. Medical Leadership
  3. Assessment of health system contribution in promoting leadership amongst community health workers in Sri Lanka.
  4. Entangle issues of Nurse Retention : The Absence of Nurse’s Leadership.
  5. District Program Management Units in Rajasthan India: Changing Organization Culture.
  6. The 3rd Eye; using information technology in Human Resource management. A Sri Lankan experience

C. Kebijakan SDM terutama untuk menjamin tenaga kesehatan tetap berada di daerah terpencil.

  1. Retention of health workers to serve population in rural area in extremely important strategy in Lao PDR, but what and how to do?
  2. How policy intervention of human resources development of midwifery contributed to the reduction of maternal mortality in Cambodia.
  3. Retention factors and strategies of rural health care professionals in Sri Lanka.

Isi poster–poster tersebut menunjukkan adanya suatu pengembangan baru yang mengacu pada hubungan antara masalah SDM dalam pelayanan kesehatan dengan system produksinya. Hal  ini ditunjukkan oleh para penulis poster yang sebagian berasal dari isntitusi pendidikan, dan sebagian lain dari lembaga pelayanan kesehatan.

Mengapa tidak ada poster dari Indonesia? Hal ini merupakan pertanyaan menarik. Ada kemungkinan Aliansi ini tidak begitu dikenal di Indonesia walaupun pada pertemuan ke V diselenggarakan di Bali pada tahun 2010.  Kemungkinan lain, tema  yang menggabungkan antara kebutuhan pelayanan kesehatan dengan system pendidikan (produsen tenaga kesehatan) memang belum begitu dipahami pentingnya . Diharapkan pada pertemuan AAAH tahun 2014, akan lebih banyak penyaji dan penulis poster dari Indonesia. (Laksono Trisnantoro).  

 

Laporan Pertemuan Hari 1- Sesi 1

   

Laporan Pertemuan Hari 1- Sesi 1

bangkok1a

Pertemuan ini diawali oleh Dr. Junhua Zhang, Chair of SC dalam pertemuan AAAH ke-7 yang dihadiri sekitar 250 wakil dari negara-negara di Asia Pacific, mulai dari Mongolia hingga Australia. Hal yang ditekankan bahwa perlu ada respon strategis dalam hal Human Resources for Health untuk menghadapi pencapaian MDGs dan adanya himbauan untuk upaya Universal Coverage di seluruh dunia. Berbagai usaha ini perlu dijalankan secara nyata. Wakil dari Kementerian Public Health menyatakan perlunya pengembangan kepemimpinan tenaga kesehatan sejak usia muda. Setelah pidato-pidato pembukaan, dilanjutkan dengan pemberian Award AAAH untuk dua pelaku pelayanan kesehatan di Nepal dan Burma.

Pertama, Khima Kumari Poudel adalah seorang pembantu bidan di Nepal yang diberi penghargaan karena usahanya yang sangat gigih dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kedua, yaitu pemberi pelayanan dari Burma bernama Dr.Myint Thein Tun, selau Kepala Dinas Kesehatan Kota Paukkaung. Award ini diberikan karena dedikasinya selama puluhan tahun untuk pengembangan kesehatan ibu di daerahnya. Kandidat dari Indonesia belum terpilih dalam Award AAAH tahun ini.

Sesi 1 setelah pembukaan adalah Sidang Pleno yang membahas Pengembangan Kepemimpinan dan Tantangan untuk Penguatan Sistem Kesehatan. Sidang Pleno 1 dipimpin oleh Dr. Budihardja MPH, mantan DirJen Gizi dan KIA Kemenkes. Pembicaranya adalah:

  1. Prof. Laksono Trisnantoro, Ketua S2 Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, IKM, Universitas Gadjah Mada
  2. Prof. Sanjay Zodpey, Director-Indian Institute of Public Health
  3. Dr. Muhammad Mahmood Afzal, Head of Country Facillitation Team, Global Health Workforce Alliance, Geneva.

Sesi 1 diawali dengan pembukaan oleh moderator yang menyatakan bahwa kepemimpinan dalam HRH merupakan komponen penting untuk pencapaian status kesehatan masyarakat. Dalam diskusi akan diawali oleh pengalaman Indonesia dalam pengembangan kepemimpinan di KIA yang bersifat multi-aktor, lintas sector dan mempunyai target penurunan kematian. Kemudian pembicara kedua membahas mengenai konsep kepemimpinan dan penanganannya secara makro.  Pembicara ketiga membahas mengenai peran dari Country Coordination and Facilitation untuk pengembangan SDM Kesehatan di Negara-negara anggota WHO.

Pembicara 1, Prof Laksono Trisnantoro
pada intinya menyatakan bahwa pengembangan kepemimpinan dalam HRH untuk mencapai penurunan kematian KIA harus dilakukan dengan prinsip memahami bahwa kegiatan KIA merupakan sebuah jaringan. Dalam Jaringan tersebut, misal di kabupaten, terdapat berbagai pemimpin yang terbagi atas pemimpin birokrasi kesehatan (KaDinkes di level kabupaten), pemimpin politik pemerintahan (bupati), pemimpin teknis kesehatan (spesialis atau dokter, atau taskshifting ke profesi lain yang mempunyai komitmen dan paling tinggi pendidikannya dalam ilmu kesehatan), serta pemimpin masyarakat. Situasi kepemimpinan tidak mudah karena belum terkoordinasi, sementara itu pemimpin teknis kesehatan seperti spesialis masih banyak yang belum sadar akan perannya.
Materi presentasi Prof. Laksono Trisnantoro download.

Pembicara 2, Prof Sanjay Zodpey
menyatakan bahwa ada krisis SDM kesehatan di dunia.  Secara kuantitatif diperkirakan ada kekurangan sebanyak 4 juta SDM kesehatan di berbagai profesi.  Disamping itu ada mal-distribution. Sebagai respon untuk krisis setiap Negara harus mempunyai strategi dalam SDM kesehatan.  Selanjutnya Prof Sanjay membahas mengenai situasi di India yang mengeluarkan berbagai kebijakan seperti  adanya Konsil Kedokteran, Konsil Perawatan, peningkatan mutu pendidikan kesehatan dan kedokteran, serta adanya Task-Force untuk pengembangan Public Health. Diharapkan pemerintah pusat menjadi pemimpin dalam pengembangan kebijakan SDM kesehatan.

Pembicara 3,  Dr MH Afzal
memaparkan mengenai peran Country Coordination and Facilitation (CCF) dari Global Health Workforce Alliance dengan pengalaman di Pakistan.  Sejak tahun 2009 CCF yang berbasis di Geneva telah memberikan support untuk 25 negara di dunia untuk menggunakan pendekatan CCF untuk kebijakan SDM. Berbagai negara seperti Pakistan, Nepal, Afganistan dan Indonesia, telah berhasil melaksanakan dengan dukungan CCF.  Konsultan luar yang menilai mengenai CCF mengakui manfaatnya di berbagai negara Afrika. Salahsatu kunci pentingnya adalah bagaimana mendorong diskusi kebijakan dengan pengambil kebijakan.  Berbagai materi mengenai CCF dapat dibaca di www.aaahrh.org

Setelah presentasi dilakukan diskusi selama 30 menit. Sebagian besar komentar dan pertanyaan ditujukan kepada Prof. Laksono Trisnantoro.

Ada beberapa pertanyaan sebagai berikut di Termin 1:

Komentar  1 dari Nepal : Mengapa Leadership. Kepemimpinan untuk memotivasi dan mempengaruhi agar terjadi perubahan di lapangan. Contoh dari Nepal menunjukkan hal tersebut. Saya sepakat dengan isi dari seluruh pembicara.

Komentar  2 dari Prof Syeh, India. Saya sangat terkesan dengan presentasi Dr. Laksono. Ada kesamaan antara Indonesia dengan India. Kepala Dinas Kesehatan berada dalam posisi yang susah dan sering dijadikan sasaran kesalahan kalau ada kegagalan dalam pencapaian status kesehatan. Mereka kurang didukung oleh wewenang dan anggaran untuk memimpin. Hal ini merupakan tantangan yang perlu dibahas di AAAH secara kontinyu.

Komentar 3 Prof Ajun dari Nepal: Saya tertarik dengan pernyataan Dr. Laksono. Apakah sudah ada pengembangan kurikulum di fakultas kedokteran mengenai system kesehatan dan kepemimpinan? Kita perlu untuk memperkuat kepemimpinan sejak dari pendidikan.

Komentar 4 dari Hanoi :Bagaimana Dr. Laksono bisa menyampaikan isu penting mengenai pengembangan leadership ke Menteri Keuangan yang harus mendanai pelatihannya? Mohon di beri tahu.

Kementar 5. Dr. Ohta: Bangladesh. : Apakah Indonesia akan mengembangkan kegiatan kepemimpinan di luar KIA

Ringkasan Jawaban Prof Laksono Trisnantoro di Termin 1:

Ya… kepemimpinan adalah sebuah hal yang perlu dibuktikan di lapangan apakah ada pengaruh atau tidak. Seorang pemimpin harus mempunyai pengaruh dan dalam kasus di program KIA adalah menurunnya kematian ibu dan anak. Untuk Prof Syed dari India: kepemimpinan kepala Dinas Kesehatan ini memang yang paling unik karena dalam jaringan KIA mereka harus “memimpin” para “pemimpin lain” yang lebih powerful, lebih senior,  dan lebih tinggi status social ekonominya. Celakanya mereka rentan terhadap pemecatan karena adanya power Bupati. Mungkin sama dengan di India. Oleh karena itu pemimpin teknis seperti spesialis harus banyak aktif. Tidak bisa masalah MDG dibebankan kepada pemimpin Dinas Kesehatan saja. Di level nasional Ketua Perhimpunan Ahli harus aktif dan berperan dalam merancang kebijakan SDM nasional. Untuk Prof Adjun, sejak 3 tahun yang lalu secara resmi Fakultas Kedokteran UGM telah memasukkan ke kurikulum pendidikan kedokteran mengenai Sistem Kesehatan dan Kepemimpinan. Topik ini merupakan salahsatu dari topik-topik favorit mahasiswa. Di pendidikan residensi juga sudah diberikan. Kami berharap AAAH dapat mengembangkan hal ini. Untuk  Ibu dari Hanoi, pihak Kemenkes tentunya atas persetujuan dari Kemenkeu sudah mendukung kegiatan ini. Masalahnya adalah bagaimana metode yang paling tepat untuk melatih leadership di para pemimpin di lapangan. Kami memilih menggunakan Problem Solving Method.  Untuk Dr. Ohta, kami memang merencanakan juga untuk leadership dalam penyakit tidak menular (NCD). Logikanya para spesialis harus bekerja bersama tenaga kesehatan lain dan menjadi pemimpin teknis untuk penanganan NCD di sebuah kabupaten. Sayangnya perhatian spesialis masih rencah.

Prof Laksono kemudian minta para peserta yang spesialis mengacungkan jari. Ternyata dari 250 peserta hanya sekitar 7 orang yang spesialis. Dari delegasi Indonesia ada yaitu Dr. Wawang Sukarya mewakili KKI.  Prof Laksono kemudian mengajak AAAH untuk memberikan kesempatan bicara bagi spesialis pada pertemuan tahunan mendatang.

 

Komentar/Pertanyaan di Termin 2:

Komentar 6. Ramesh. Nepal. Local Government : Bagaimana penghubung antara dokter yang sangat teknis dengan masyarakat biasa?

Komentar 7, Dr. Untung Suseno: Indonesia. Mengajak spesialis untuk membahas hal-hal seperti ini sangat sulit karena mereka sibuk bekerja. Perlu ada penekanan tentang hal ini.

Komentar 8. Prof Tim dari BRAC Dakka. Leadership tidak sederhana, perlu consensus yang sangat spesifik antar berbagai pemimpin. Komplesitas leadership di kesehatan sangat besar. Sering terjadi kekurangan consensus di berbagai pemimpin yang mempunyai kekuasan besar.

Ringkasan Jawaban Prof Laksono Trisnantoro pada Termin 2 :

Ya pada intinya kami melihat bahwa para spesialis adalah pemimpin pentingan dalam jaringan di system kesehatan. Mereka pemain kunci yang juga harus memberikan pemahaman teknis ke masyarakat seperti yang dinyatakan oleh Ramesh. Mengenai waktu yang sangat sulit bagi spesialis, saya setuju dengan Dr. Untung. Akan tetapi ini tidak menjadi halangan asal ada pemahaman dari para spesialis mengenai konsep “probono”. Konsep ini menyatakan bahwa profesi yang terhormat, dan kaya, seperti pengacara, mereka biasanya mempunyai kebiasaan untuk meluangkan waktu memberikan pelayanan publik bagi mereka yang miskin. Peluangan waktu ini merupakan sebuah tanggung jawab social. Tidak hanya berupa pengobatan gratis tapi juga mendorong pengembangan status kesehatan masyarakat. Saya sudah diskusi dengan banyak spesialis. Mereka sangat berminat, namunmemang tidak tahu harus bagaimana.

Untuk Prof Tim, memang sekali lagi saya tekankan bahwa kepemimpinan HRH harus dilihat di level local karena disinilah perubahan pada status kesehatan masyarakat terjadi. Kita tidak bisa hanya terus bicara dan seminar di hotel. Perlu ada action riil di lapangan yang kompleks. Tenaga-tenaga kesehatan tertentu sangat potensial karena walaupun tidak mempunyai power, tetapi mereka mempunyai influence (pengaruh), Sayang masih belum dimaksimalkan karena memang masih sulit. Tapi mari kita mulai dari sekarang.

Pada penutupan sesi, moderator menyimpulkan sebagai berikut:

We are aware that HRH is a bottleneck for improving health outcomes. To some extent this is due to lack of clarity in messaging and role of the multiple actors, a comprehensive planning exercises and overall policy dialogue. Efforts have been made in such a big way in many countries, however the increased awareness of the need HRH as the backbone of the health systems has not translated into corresponding investments.

Therefore, leadership in articulating policy options is one of the key words in building up a sound HRH for effective health systems to lead to better health outcomes for the populations. Areas that are strategic for articulating sets of policy options include:

  • Measuring and monitoring trends of HRH situation, including production, deployment and health labour market.
  • Institutional strategies for scaling up education and production of health professionals.
  • Embed HRH planning in the sectoral policy dialogue
  • Aligning national policy dialogue on HRH plans with wide sector approach and aid-effectiveness initiatives.
  • Benchmarking (exchange of experiences) among the countries of the AAAH Network on quality, production, deployment and HRH management

 

Time

Topic / activity

0900-1015

  • Opening ceremony
  • Opening address by 2-3 key persons (4 minutes per speaker)
  • Dr Junhua Zhang, AAAH Chairperson
  • AAAH award ceremony and keynote speeches from 2 awardees  (10 minutes each)

1015-1030

Coffee break

Press Conference

1030-1200

Plenary Session 1 Leadership Development and Challenges for Health System Strengthening: A Focus on HRH (Theme)
Coordinator: Dr Budihardja Singgih

Dr. Myint Thein Tun
Dr. Muhammad Mahmood Afzal
Prof. Laksono Trisnantoro
Prof. Sanjay Zodpey, MD, PhD

1200-1300

Lunch

1300-1430

Plenary Session 2 HRH Policy Strengthening through Leadership Development (Sub-theme 1)
Coordinator: Dr Gulin Gedik

Gantuya Sengee, MD, MCH.,
Dr. Christine Joan R. Co

1430-1445

Coffee break

1445-1530

Poster presentation

1530-1715

Parallel Session 1

Improving Information Systems and Evidence on HRH (Sub-theme 2)
Coordinator: Dr Gulin Gedik

Dr. Mario R. Dal Poz, MD, PhD
Dr. Kenneth G. Ronquillo
Chosita Pavasuthipaisit M.D., MS.c
Case Study: HRIS Development in Lao PDR

Parallel Session 2

Community Involvement in HRH Development (Sub-theme 3)
Coordinator: Dr Bambang Giatno

Development: Samoa Experience
Dr Muhammad Mahmood Afzal
M Zobair Hasan

1715-2000

Conference Welcome Dinner