day II

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

 

Laporan Strategies for Private Sector Policies and Engagement in Health

Oleh Shita Listyadewi

foto1Hari kedua dimulai dengan penyajian ringkasan dari sesi-sesi pada hari pertama. Menariknya, peserta yang diminta membuat dan menyajikan ringkasan, sehingga ini bisa menjadi indikasi pemahaman peserta terhadap materi yang disampaikan.

Private Health Sector Assessment/PHSA (Siripen Supakankunti and Chantal Herberholz)

PHSA adalah guideline (bukan blueprint) untuk mengumpulkan dan mengevaluasi informasi yang tersedia tentang sector swasta (atau bagian khusus dari sector swasta) dengan cara mengidentifikasi apa isu dan informasi yg dibutuhkan, kemudian mengidentifikasi bagaimana caranya mengumpulkan informasi tersebut, bagaimana cara menganalisanya dan menyajikan informasi tersebut.

Yang tercakup di dalam PHSA adalah:

  • Memahami dan mengakui siapa saja yang menyediakan pelayanan tersebut (‘mengakui’ disini penting, karena kadang-kadang ada penyedia pelayanan yg secara nyata ada di dalam masyarakat tetapi tidak eksis di dalam sistem (misalnya: penyedia pelayanan informal/tradisional))
  • Memahami konteks pembiayaan dari pelayanan yg tersedia tersebut
  • Memahami siapa saja yg menjadi intermediaries pelayanan tersebut yang harus dipertimbangkan, misalnya organisasi profesi tertentu, perusahaan atau kelompok perusahaan tertentu, dan bagaimana hubungan mereka dengan pemerintah
  • Memahami kapasitas pemerintah untuk berinteraksi dengan sector swasta, berdasarkan kapasitas kepemimpinan, unit/kelompok khusus yg akan membangun hubungan dengan sector swasta, dan pengalaman yg dimiliki selama ini dalam bekerjasama dengan sector swasta

Mengapa PHSA dilakukan? Karena kita ingin meningkatkan kinerja sistem kesehatan dalam salah satu tujuan kesehatan, karena kita ingin mencapai tujuan sistem kesehatan dengan meningkatkan potensi dan kontribusi sector swasta. Jadi, PHSA dilakukan jika ada masalah kinerja dalam salah satu tujuan kesehatan kita (catatan: lihat kembali kerangka pikir course ini). Tetapi tentu saja PHSA tidak akan mungkin dilakukan jika kita tidak mengakui bahwa sector swasta eksis (dan sebenarnya ukurannya cukup besar) untuk dapat menjadi partner dan member daya ungkit dalam pencapaian tujuan kesehatan tersebut. Untuk memahami seberapa penting peran sector swasta dalam pencapaian tujuan kesehatan, tentu saja kita perlu mengetahui bagaimana situasi sector swasta yg sebenarnya, dan apa strategi yg bisa dilakukan untuk meningkatkan kontribusi mereka. Oleh karena itu kita perlu memikirkan data (kuantitatif dan kualitatif) apa yg dibutuhkan untuk mengetahui situasi sector swasta dan bagaimana cara mengumpulkan data tersebut, dan inilah esensi dari PHSA.

Langkah-langkah dalam melakukan PHSA adalah:

  1. Langkah 1: Mendapatkan pemahaman utuh mengenai sector swasta
    1. Mendapatkan informasi berdasarkan data sekunder yg tersedia tentang informasi umum Negara/region/propinsi/distrik dimana kita berada, mengenai sistem kesehatan (bagaimana caranya di-organisir, bagaimana caranya di-manajemeni dan bagaimana caranya dibiayai), informasi umum mengenai siapa saja actor sector swasta yg ada/menyediakan pelayanan
    2. Mendapatkan informasi mengenai situasi lingkungan dimana sector swasta berada. Hal ini mencakup (tetapi tidak terbatas pada):
      1. Belanja kesehatan yang tersedia untuk mereka
      2. Pemilik dari para penyedia layanan tersebut dan karakteristik mereka
      3. Peran mereka dalam hal infrastruktur mau pun layanan (termasuk layanan swasta yg mungkin tersedia di sector public)
      4. Landasan dan kerangka hukum yg tersedia bagi mereka
      5. Seberapa besar korupsi menjadi factor yg mempengaruhi mereka
      6. Perkembangan baru dalam pembiayaan kesehatan (jika ada)
      7. Hambatan yang mungkin ada (trade barriers), sistem perpajakan, fluktuasi kurs
      8. Regulasi yg tersedia (atau tidak) mengenai situasi persaingan

    Point (i-iii) terkait dengan seberapa besar peran mereka dalam sistem kesehatan, sementara point (iv – viii) terkait dengan seberapa luas atau seberapa terbatas ruang gerak mereka, yang tentu saja akan mempengaruhi seberapa besar mereka bisa meningkatkan kontribusi mereka (Artinya, pemerintah mungkin bisa merubah salah satu dari point iv-viii untuk memperluas/membatasi ruang gerak mereka).

    Data yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi ini adalah: data sekunder yang tersedia (review literature, survey rumahtangga, survey fasilitas kesehatan, dan data NHA), mau pun data primer (menggunakan focused group, interview, melakukan survey ke fasilitas, ke penyedia pelayanan dan ke konsumen/pengguna). Pertimbangkan pula factor-faktor yg mungkin mempengaruhi kualitas data yg tersedia dan data yg bisa dikumpulkan.

  2. Langkah 2: Berdiskusi dengan stakeholder (baik stakeholder di pihak pemerintah mau pun stakeholder di pihak swasta). Intinya adalah harus ada kaitan antara pemahaman dan informasi yg kita peroleh dengan melakukan engagement. Faktor yg sangat penting disini adalah seberapa besar trust (atau mistrust) yang ada di antara keduabelah pihak (pihak pemerintah dan pihak swasta). Faktor lain yang penting disini adalah kemungkinan besar diperlukan capacity building di kedua belah pihak untuk dapat memperbaiki/meningkatkan hubungan di antara keduanya.

  3. Langkah 3 : Melakukan penelitian yang targeted, dengan tujuan untuk mengumpulkan salah satu aspek tertentu dari sector swasta dengan tujuan untuk dapat mengidentifikasi strategi. Penelitian ini dapat berupa:
    1. Segmen tertentu dari sector swasta
    2. Jenis layanan yang tersedia dari segmen ini
    3. Area cakupan mereka dan populasi yg mereka layani
    4. Strategi terdahulu yang mungkin telah terbukti berhasil

    Hasil akhir dari PHSA ini harus dapat membantu kita memilih strategi apa yang tepat (dan workable) (Catatan: lihat kembali kerangka pikir course ini untuk melihat pilihan strategi dan instrument yang tersedia).

pppd1

Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan contoh bagaimana PHSA dilakukan di Bangladesh. Sesi berikutnya adalah teaching case. Peserta dibagi ke dalam dua kelompok, dan masing-masing diberi tugas yang merupakan simulasi dari melakukan PHSA. Setelah diskusi dalam kelompok, setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi mereka.

Program Pengembangan Metode Penelitian Kebijakan dan Pelaksanaannya

banneridrc

banneridrc

 

Program Pengembangan Metode Penelitian
Kebijakan dan Pelaksanaannya

 

Dengan Fokus Pada Topic Pemerataan Pelayanan Kesehatan

Diselenggarakan oleh:
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran UGM

Bekerjasama dengan IDRC Canada

Pengantar

Bab I. Pendahuluan

Situasi sistem kesehatan di Indonesia saat ini masih mempunyai berbagai tantangan berat. Ada masalah pemerataan pelayanan kesehatan, perencanaan kesehatan yang tidak tepat sasaran, pelaksanaan yang terdesak waktu, belum baiknya kesinambungan dan integrasi antar program kesehatan. Secara geografis masih terdapat ketimpangan antar regional dalam pelayanan kesehatan. Sebagai catatan di tahun 2014 program BPJS akan berjalan dengan asumsi sudah terjadi pemerataan pelayanan kesehatan.

Sementara itu, kecenderungan regionalisasi dan desentralisasi sistem kesehatan semakin meningkat. Berbagai peraturan baru mengatur kebijakan regionalisasi dan desentralisasi. Konsekuensinya, kebijakan di pusat dan daerah harus sambung, tidak boleh terfragmentasi.

Di sisi pengambilan kebijakan, masih ada kekurangan pemahaman mengenai kebutuhan penelitian yang dapat meningkatkan efektifitas pengambilan kebijakan. Dalam dekade 2000an ini berbagai kebijakan nasional dan regional tentang kesehatan terlihat ditetapkan tanpa masukan penelitian. Bagaimana hasilnya? Sejarah telah mencatat berbagai kebijakan nasional yang sulit disebut sebagai efektif. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah memang tidak diperlukan penelitian kebijakan?

Pertanyaan ini menarik karena masalahnya adalah belum tersedianya peneliti tentang kebijakan kesehatan di nasional dan regional/daerah dalam jumlah yang cukup. Saat ini peneliti kebijakan masih langka. Pusat-pusat penelitian kebijakan kesehatan masih terbatas, dan terutama berada di kota-kota besar di Jawa.

Dengan minimnya tenaga peneliti kebijakan, terjadi suatu situasi dimana tidak ada dorongan untuk melakukan penelitian kebijakan. Celakanya di sisi pengambil kebijakan, masih ada pendapat yang menganggap tidak perlu adanya penelitian kebijakan yang independen. Sejarah mencatat bahwa beberapa kebijakan besar (contoh Askeskin, penurunan angka kematian ibu dan bayi, penggunaan pathways), dilakukan tanpa didahului, dimonitor pelaksanaannya, dan dievaluasi oleh penelitian yang independen. Akibatnya efektifitas kebijakan menjadi buruk dan sulit dinilai.

Dalam suasana ini, dapat dipahami bahwa saat ini terjadi kekurangan peneliti dalam kebijakan kesehatan. Kekurangan ini diperburuk dengan knayataan bahwa penelitian kebijakan merupakan bentuk penelitian multidisiplin yang belum terbiasa dilakukan oleh peneliti di bidangkesehatan. Banyak ilmu dan konsep yang berasal dari ilmu-ilmu sosial dan politik, serta ekonomi. Fakta lain adalah bahwa dana untuk penelitian kebijakan menjadi tidak terperhatikan. Resultan dari berbagai hal tersebut berakibat buruk yaitu metode penelitian kebijakan dalam sistem kesehatan menjadi tidak terperhatikan.

Akan tetapi pada beberapa tahun belakangan ini, WHO dalam kelompok Alliance for Health Policy menyelenggarakan berbagai pertemuan dan penelitian untuk menguatkanmetode riset dalam kebijakan kesehatan serta sistem kesehatan. Di tahun 2012 keluar buku yang diedit oleh Lucy Gilson berjudul Health Policy and Systems Research: A Methodology Reader. Buku ini memberi peluang bagi peneliti di Indonesia untuk mengembangkan kemampuan dalam penelitian kebijakan kesehatan dan sistem kesehatan.

Bab II. Kompetensi

Program ini berusaha mengembangkan peneliti di berbagai daerah di Indonesia yang kompeten dalam merencanakan, melaksanakan, serta melakukan penelitian kebijakan dalam sistem kesehatan dan penyampaian hasilnya berbasis metodologi yang tepat.

Dalam program ini, penelitian kebijakan dalam sistem kesehatan akan difokuskan ke isu pemerataan dalam pelayanan kesehatan. Isu pemerataan ini mencakup pemerataan sosial ekonomi dan pemerataan geografis.

Bab III. Tujuan dan Manfaat

Tujuan

  1. Memahami ilmu kebijakan yang diterapkan di sistem kesehatan, khususnya dalam topik pemerataan pelayanan kesehatan;
  2. Meningkatkan pemahaman dan kemampuan peserta dalam metode penelitian kebijakan dan sistem kesehatan sejak dari menyusun proposal, melaksanakan penelitian kebijakan, dan menuliskan hasil;
  3. Meningkatkan pemahaman dan kemampuan peserta dalam metode analisis kebijakan, penyebaran hasil penelitian, dan advokasi kebijakan;
  4. Mengembangkan pusat pengembangan kebijakan kesehatan nasional dan regional dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi di sektor kesehatan.

Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari kegiatan ini:
Bagi peneliti:

  1. Semakin memahami aplikasi ilmu kebijakan dalam sistem kesehatan
  2. Semakin memahami metode penelitian kebijakan dan sistem kesehatan (Health Policy and System Research).
  3. Terciptanya kesempatan bagi para peneliti kebijakan kesehatan di Indonesia terutama para peneliti muda untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dalam melaksanakan penelitian kebijakan dan sistem kesehatan.

Bagi perguruan tinggi dan lembaga penelitian

  1. Semakin berkembangnya penelitian kebijakan kesehatan yang dilaksanakan oleh para peneliti kebijakan.
  2. Perintisan model think-tank di dalam perguruan tinggi yang bermanfaat bagi pengambil kebijakan nasional maupun regional

Bagi pengambil kebijakan/policy makers

  1. Semakin berkembangnya kebijakan kesehatan yang memiliki kerangka berpikir logis yang tepat sehingga meningkatkan kinerja kebijakan kesehatan yang dilaksanakan
  2. Adanya dukungan dari peneliti dalam menyusun kebijakan
  3. Meningkatkan komitmen untuk pengemangan penelitian riset kebijakan dan sistem kesehatan.

 

Bab IV. Peserta dan Fasilitator

Peserta:

  • Peneliti kebijakan kesehatan di perguruan tinggi
  • Peneliti kebijakan kesehatan di lembaga-lembaga penelitian;
  • Mahasiswa pascasarjana kesehatan masyarakat dan kedokteran

Fasilitator;

Fasilitator Isi:
Laksono Trisnantoro, Dumilah Ayuningtyas, Yodi Mahendradata, Shita Dewi

Fasiltator jarak-jauh:

Bab V. Struktur Program Pelatihan

Pelatihan ini akan dilaksanakan dengan menggunakan metode gabungan antara pelatihan internet dan workshop tatap muka.

Pelatihan melalui Internet:
Angkatan 1: Waktu bulan Juni dan Juli 2012
Angkatan 2: Agustus-September 2012
Angkatan 3: Oktober-November 2012

Cara belajar melalui internet:

  1. Peserta mempelajari modul-modul yang tersedia
  2. Peserta menjawab berbagai pertanyaan di tiap modul
  3. Peserta aktif menjadi peserta diskusi di internet

Tujuan kegiatan di Internet:

Tindakan selanjutnya adalah:

  • Proposal dikirim ke panitia untuk kemudian dilakukan seleksi.
  • Peserta terpilih kemudian akan melakukan presentasi Proposal dan Pengembangan lebih lanjut (tatap muka) selama 2 hari.

Jadual kegiatan tatap muka adalah sebagai berikut:

  1. Angkatan 1 Yogyakarta (Peserta diseleksi menjadi 20 orang). Pertemuan dilaksanakan tanggal 8 dan 9 Agustus 2012
  2. Angkatan 2 Medan (Peserta diseleksi menjadi 20 orang). Pertemuan dilaksanakan pada Bulan Oktober 2012
  3. Angkatan 3 Makassar (Peserta diseleksi menjadi 20 orang). Pertemuan dilaksanakan pada Bulan Desember 2012.

Hasil Presentasi Proposal penelitian yang baik (sekitar 25% dari seluruh peserta tatap muka) akan mendapat pendanaan sekitar Rp 10 juta (Sekitar 10 – 15 pemenang) dengan syarat menjadi anggota penelitian collaborative.

Penelitian akan dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juni tahun 2013. Dalam penelitian dilakukan pula kegiatan advokasi kebijakan ke pemerintah pusat atau propinsi/kabupaten.

Penyajian hasil dilakukan pada pertemuan Jaringan Kebijakan Kesehatan di bulan September tahun 2013. Para peneliti akan menyajikan hasil penelitian pada Forum Jaringan Kebijakan Kesehatan Nasional IV.

Bab VI. Proses Pengembangan

 
  • Kurikulum dan Metode Pembelajaran
  • Proses Pembelajaran

Kurikulum dan Metode Pembelajaran
Ruang lingkup materi yang akan disampaikan dalam pelatihan ini meliputi beberapa modul:

  1. Modul Jarak Jauh I;
  2. Modul Tatap Muka selama 2 hari;
  3. Modul Jarak Jauh II yang meliputi:
    1. Modul Pelaksanaan Penelitian;
    2. Modul Pelaksanaan Advokasi; dan
    3. Modul Presentasi Hasil Pelaksanaan dan Advokasi


A. Modul Jarak-Jauh

Modul Jarak jauh tersusun atas 3 modul:
Modul 1. Memahami Ilmu Kebijakan dan Isi Kebijakan;
Modul 2. Metode Riset untuk Kebijakan
Modul 3. Melakukan translasi hasil-hasil riset kebijakan ke pengambil keputusan

Dalam mempelajari modul jarak jauh, para peserta diharapkan mengalokasikan waktu tiap harinya secara efektif. Waktu tersebut digunakan untuk membaca berbagai sumber belajar dan menuliskan tugas. Para peserta diharuskan mengirimkan tugas berdasarkan jadual kegiatan yang ada di setiap modul.

{showhide title=”Silahkan Klik Disini” template=”strong” changetitle=”Klik untuk menutup” mousetitleistitle=true closeonclick=true titleasspan=true}

  1. Modul 1. Memahami Sistem Kesehatan, Ilmu Kebijakan dan Isi Kebijakan (11 Juni – 29 Juni 2012)

    Modul ini secara umum membahas aplikasi ilmu kebijakan dalam system kesehatan. Para peserta pelatihan didorong untuk mempelajari system kesehatan, arti ilmu kebijakan dan penerapannya di system kesehatan, serta kebutuhan akan penelitian kebijakan kesehatan dan system kesehatan. Disamping memahami isi, Modul 1 menyiapkan peserta untuk menulis bagian pendahuluan dari proposal yang akan disusun pada Modul 2.

    Modul 1 tersusun atas beberapa bagian.

    • Modul 1a. Membahas arti sistem kesehatan, Ilmu Kebijakan, dan aplikasi ilmu kebijakan di sistem kesehatan. Dilaksanakan antara 11 Jun – 14 Juni 2012.
    • Modul 1b. Membahas isu Ideologi dalam sistem kesehatan serta penanganan masalah pemerataan (equity). 15 juni – 19 Juni 2012.
    • Modul 1c. Membahas Desentralisasi di sektor kesehatan. Dilaksanakan pada tanggak 20 juni – 23 Juni
    • Modul 1d. Memahami Topik-topik Prioritas dan Isu-isu penting dalam Kebijakan Kesehatan yang dibahas pada tanggal 24 – 28 Juni 2012.
    • Modul 1e. Membahas penggunaan data besar untuk penelitian kebijakan. Dilakukan pada tanggal 28 Juni – 29 juni 2012

    Penutup Modul 1. Setelah mengikuti Modul 1 ini diharapkan para peserta dapat melakukan penulisan awal untuk pendahuluan dan identifikasi fokus penelitian yang akan dipergunakan di Modul 2. Untuk itu para peserta diharapkan melakukan penulisan awal proposal penelitian (lebih kurang 500 kata) dan dikirimkan ke pengelola kursus dengan kode: XXXM1pendahuluan.doc. Dikirim 30 Juni 2012.

  2. Modul 2. Metode Riset untuk Kebijakan (2 Juli – 22 Juli 2012)

    Modul ini kelanjutan dari Modul 1 dan merupakan inti program pengembangan ini. Setelah memperoleh fokus tentang kebijakan kesehatan, para peserta akan melanjutkan ke metodenya. Ada beberapa modul sebagai berikut:

    • Modul 2a. Introduction to health policy and system research (HPSR)
    • Modul 2b. Doing HPSR:key steps in the process
    • Modul 2c. Overview of research strategies
       
  3. Modul 3. Melakukan translasi hasil-hasil riset kebijakan ke pengambil keputusan

    Modul ini sebagian akan diberikan di tatap muka.

{/showhide}

Sumber belajar:

Program pengembangan ini bersifat digital. Sumber belajar diusahakan semaksimal mungkin dapat diakses melalui internet. Sumber belajar dapat berupa situs web yang terkait, laporan workshop, pelatihan, sampai ke berbagai artikel ilmiah yang bersifat open-access.
Pintu utama untuk mencari referensi adalah pada: www.kebijakankesehatanindonesia.net . Pintu utama ini akan membuka banyak jalur ke sumber belajar dalam negeri ataupun luar negeri.

Sebagian bahan belajar akan diberikan alamat aksesnya, namun para peserta diharapkan mencari sendiri berbagai sumber bacaan lain, termasuk yang harus membayar dengan dana sendiri (bukan open-access). Dengan model belajar ini para peserta akan mendapatkan kepustakaan terbaru yang ada di dunia pengetahuan, dan komputer yang ada menjadi perpustakaan pribadi di manapun berada.

Apabila menggunakan buku cetak, diusahakan agar buku tersebut dapat dibeli di toko buku setempat atau dipesan melalui internet. Salahsatu anjuran adalah para peserta diharapkan mempunyai buku-buku tentang ilmu kebijakan dan penelitian kebijakan yang berasald dari ilmu-ilmu sosial. Contoh pengarang yang terkenal adalah William Dunn yang bukunya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan dapat dibeli di berbagai toko buku dan melalui toko buku on-line.

Proses Pembelajaran

diagramalur idrc

Diagram Alur Kegiatan Pelatihan

Bab VII. Monitoring dan Evaluasi Pelatihan

Pengembangan ini membutuhkan waktu cukup panjang, sekitar satu setengah tahun. Oleh karena itu dilakukan proses monitoring dan evaluasi sebagai berikut:

  1. Dalam pembelajaran Modul Jarak Jauh 1, para peserta akan didampingi oleh fasilitator. Tugas fasilitator adalah memastikan bahwa para peserta tepat waktu dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan (fungsi monitoring).
  2. Para peserta akan dievaluasi pertama kali dalam menyusun proposal. Evaluasi ini akan menghasilkan 20 peserta yang dinilai mempunyai kemampuan dan minat dengan didukung oleh institusi yang mengirim.
  3. Pada saat tatap muka, 20 peserta yang terpilih akan menyajikan proposalnya pada sebuah panel penilai. Para peserta akan dinilai isi proposal dan kemampuan untuk menyajikan materi secara oral dan poster.
  4. Akan dipilih 5 peserta untuk mendapatkan insentif dana penelitian masing-masing sebesar Rp 10 juta rupiah. Bagi yang tidak terpilih, diharapkan untuk mencari sumber dana. Dalam hal ini penyelenggara akan memfasilitasi ke berbagai sumber dana.
  5. Para peserta yang 5 orang akan meneruskan ke Modul Jarak Jauh II dengan monitoring saat pelaksanaan. Para peserta yang tidak terpilih dapat mengikuti kegiatan secara pasif melalui internet, atau dapat pula aktif dengan membayar biaya.
  6. Para peserta yang 5 orang akan didanai untuk menyajikan hasil kegiatannya di forum Kebijakan Kesehatan Nasional ke IV. Dalam forum ini akan ada penilaian terakhir mengenai hasil dan kemampuan menyajikan hasil.

Disamping itu, aka nada monitoring dan evaluasi program pengembangan ini dengan metode Kickpatrick.

Bab VIII. Sertifikasi

Akan ada beberapa sertifikat dalam pengembangan ini:

  1. Sertifikat mengikuti pelatihan Jarak Jauh I selama 1.5 bulan (bagi 108 peserta jarak jauh).
  2. Sertifikat mengikuti pelatihan tatap muka selama 2 hari (bagi 20 orang peserta tatap muka).
  3. Sertifikat mengikuti pelatihan Jarak Jauh II selama beberapa bulan (bagi 5 peserta yang terpilih dan peserta yang menndaftar aktif)
  4. Sertifikat mengikuti Forum Kebijakan Kesehatan Nasional ke IV (Bagi peserta yang presentasi).


Formulir pendaftaran secara online

Formulir Pendaftaran (word document) Formulir_Pendaftaran.docx 

Informasi Lebih Lanjut:

Angelina Yusridar
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Jl. Farmako, Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp/Fax. +62274 – 549425 (hunting)
Mobile. +628111 498 442
Email : [email protected]

day 1

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

Strategies for Private Sector Policies and Engagement in Health
Makati City, Manila, 14 – 19 May 2012

foto2Ini adalah sebuah course yang disusun bersama oleh Asia Network for Health System Strengthening (ANHSS) bekerjasama dengan World Bank Institute. ANHSS menyelenggarakan empat acara tahunan, yang meliputi topik-topik Hospital Reform, Public-Private Partnership, Flagship program on Health Sector Reform dan Equity in Health. Course ini adalah bagian dari kegiatan Public-Private Partnership cluster dan telah diselenggarakan untuk tahun ke-tiga. Pada tahun pertama (2010), course ini diselenggarakan di Bali dan secara umum memperkenalkan kerangka pikir PPPs. Pada tahun kedua (2011), course ini diselenggarakan di Bangkok dan memiliki dua jalur; satu jalur khusus berfokus pada PPPs dalam level pelayanan primer, dan jalur yang lain berfokus pada PPPs pada level RS. Untuk course kali ini, lebih terfokus kembali pada PPPs pada level pelayanan primer, dengan dua jalur konsentrasi yaitu dalam konteks Lower-Middle Income Countries dan konteks Upper-Middle Income Countries.

Peserta course kali ini berasal dari Mauritus, Afghanistan, Filipina, Mongolia, Bangladesh, dan representasi dari developing partners (World Bank, ADB, JICA, dan GIZ).

Opening remarks – Health Secretary

Pembukaan oleh Health Secretary, Dr. Enrique Ona, menyampaikan beberapa peran penting sector swasta dalam pencapaian tujuan kesehatan di Filipina. Peran swasta dalam pembangunan infrastruktur untuk kesehatan telah mulai dilakukan sejak peraturan pemerintah ttg hal ini dikeluarkan tahun 90an. Selain itu di Departemen Kesehatan telah dibentuk unit khusus yang menangani PPPs untuk kesehatan, khususnya terkait dengan infrastruktur dan procurement. Hal ini sejalan dengan strategi nasional dalam memperluas cakupan kesehatan dan perbaikan kualitas rumah sakit dan pelayanan kesehatan rural. Program strategis yang dilakukan antara lain pembangunan Pusat Ortopedi dan Research Institute for Tropical Medicine serta upgrade sekitar 25 regional medical center. Selain itu, dalam rangka mencapai tujuan financial protection, PhilHealth sejak didirikan telah melibatkan sector swasta sebagai penyedia pelayanan mengingat sector swasta adalah sector yang dominan dalam pelayanan kesehatan. Selain itu, dari sekitar 30-an sekolah pendidikan kedokteran, hanya 4 yang milik Pemerintah, menunjukkan betapa besar peran sector swasta di Filipina.

Sebagai penutup, Health Secretary menekankan bahwa yang perlu diingat adalah bagaimana kita mendefinisikan “partnership”, apa peran dan tanggungjawab yang dapat dijalankan oleh keduabelah pihak, khususnya untuk memenuhi tujuan kesehatan dengan prioritas bagi masyarakat miskin. Pihak pemerintah harus memahami dan menghargai motivasi sector swasta untuk berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan, dan begitu pula sebaliknya. Untuk melakukan PPPs secara berhasil dibutuhkan ketrampilan khusus, dan untuk itulah pemahaman mengenai konsep dan aplikasi yang dapat dipelajari dalam course ini dapat menjadi sangat berguna.

Private Primary Care in the Region (Tim Evans)

Ada terlalu banyak ‘bias’ dalam istilah PPPs sehingga kita perlu memperjelas apa yang tercakup di dalam hubungan dan interface antara sector ‘publik’ dan sector swasta dalam kesehatan, agar pemahaman kita lebih komprehensif dan lebih tepat.

Selain itu kita harus memahami konteks dimana sistem kesehatan nasional kita bergerak. Secara umum, ada tiga trend utama di regional Asia: Survival menjadi lebih baik (dalam hal angka kematian) tetapi morbiditas tidak; bertambahnya ageing population dan transisi di sector kesehatan yang bergerak ke arah Non Communicable Diseases, obesitas dan permasalahan kesehatan yang terkait dengan itu, dan urban health deprivation. Secara umum, ekspektasi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan meningkat, dan tugas menuju pencapaian MDGs belum selesai. Inequality masih menjadi masalah, dan sistem kesehatan semakin menjadi kompleks. Oleh karena itu, semakin tajam kita dapat melihat interface antara sector public dan sector swasta, semakin baik kita dapat mendisain partnership yang efektif.

Interface pertama adalah dalam hal service provision. Hal pertama yang perlu disadari adalah betapa besar peran swasta dalam penyediaan pelayanan kesehatan dan apa preferensi dari masyarakat sebagai pengguna. Sebagai contoh, sebuah studi dilakukan yang melihat dimana ibu-ibu melahirkan (studi dilakukan di beberapa Negara di Asia). Di quintile yang miskin justru lebih banyak melahirkan di private facility – mulai dari “rumah” baik rumah sendiri mau pun rumah penyedia pelayanan (formal mau pun informal), berbagai klinik, dan rumah sakit swasta; sementara di quintile yang lebih kaya lebih banyak melahirkan di public facility. Hal ini juga memberikan indikasi kepada kita bahwa bukan hanya masyakarat lebih banyak mengakses pelayanan di sector swasta, tetapi juga menggambarkan betapa banyaknya ‘aktor’ penyedia layanan di level primary care swasta (baik formal mau pun informal, baik for-profit mau pun not-for-profit). Jadi, yang dimaksud dengan ‘sektor swasta’ adalah semua non state sector terdiri dari multiple actors yang sangat beragam, dan yang dimaksud dengan ‘primary care’ adalah first-line care, tidak soal siapa penyedianya.

Interface berikutnya adalah tantangan yang terlibat dalam tumbuhnya sector swasta. Salah satu hal kunci yang perlu dilakukan untuk menyusun strategi Primary Care suatu negara adalah memiliki pemahaman yang lengkap dan tepat mengenai pergerakan pasien dan pergerakan keuangan di level primary care (sector public dan sector swasta) mau pun antara level primary care dan level rujukannya. Namun, tanpa sistem informasi yang terintegrasi, hal ini mustahil dilakukan. Masing-masing unit penyedia layanan biasanya membuat sendiri sistem informasinya sendiri, tetapi tidak ada cara untuk me-linked-kannya sehingga menghasilkan informasi yang berguna. Selain itu, hal ini menimbulkan duplikasi dalam banyak hal. Harus ada strategi untuk mengatasi tantangan ini.

Interface ketiga yang perlu dicermati adalah dalam hal tenaga kesehatan. Trend yang muncul di Asia adalah berkembang pesatnya institusi pendidikan kesehatan swata (untuk pendidikan kedokteran, keperawatan, kebidanan, dsb). Supply yang semakin bertambah tentu saja mendorong pula kompetisi antara sector public dan sector swasta dalam hal merekrut dan mempertahankan tenaga kesehatan. Ini juga mendorong pergerakan tenaga kesehatan ke Negara-negara lain yang dianggap lebih ‘menjanjikan’.

Interface lain yang terkait dengan continuity of care. Berbagai studi akan menunjukkan kepada kita betapa pasien bergerak/berpindah antara sector public dan sector swasta sepanjang continuity of care: baik across services, across level (rujukan) mau pun across life-cycle. Begitu pula ada interface yang terkait dengan medical products (termasuk produksi dan distribusi obat, perbekalan, peralatan, dan sebagainya). Akan ada tiga interface lain yang akan dibahas secara lebih mendalam dalam sesi-sesi berikutnya yaitu financing, stewardship dan regulasi.

Private Sector PHC and Course Framework (Dominic Montagu)

Hal pertama yang perlu ditekankan adalah apa yang kita maksud dengan “PPPs” dan apa yang bukan “PPPs”.

Hal kedua yang penting pula diingat adalah bahwa kita tidak boleh terjebak dalam kepercayaan bahwa ketika tombol “PPPs” kita tekan, semua permasalahan dalam sistem kesehatan kita akan otomatis menjadi lebih baik.

Berikut ini adalah framework yang digunakan dalam course ini:

pppd1

Framework ini adalah kerangka pikir dari sisi pemerintah untuk melibatkan sector swasta. Komponen pertama adalah tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah melalui sistem kesehatan: equity dalam hal distribusi pelayanan, efisiensi dalam pelayanan dan memastikan kualitas pelayanan. Berdasarkan tujuan-tujuan ini, perlu difokuskan pada aspek khusus dalam tujuan yang ingin dicapai, dan permasalahan apa yang ada dalam aspek tersebut, dan apa prioritasnya.

Setelah ada identifikasi masalah, maka perlu melakukan assessment: apa potret sebenarnya dari sistem kesehatan kita: siapa yang men-deliver services, dan bagaimana sistem kesehatan itu dibiayai. Kemudian, perlu diidentifikasi intermediaries apa saja yang terlibat dan bagaimana hubungan mereka dengan pemerintah. Akhirnya perlu pula dipahami apa kapasitas pemerintah dalam hal berinteraksi dengan sector swasta.

Setelah ada pemahaman diatas, maka baru dipilih strategi apa yang akan dipakai: menumbuhkan sector swasta, atau mendayagunakan sector swasta yang sudah tumbuh pesat, atau meng-konversi sector pemerintah (rangenya mulai dari otonomisasi, korporatisasi sampai privatisasi) atau membatasi peran sector swasta.

Untuk menjalankan strategi yang dipilih, tersedia beberapa tools yang dapat digunakan pemerintah: mekanisme contracting, regulasi, demand-side financing, dsb.

Financing of Private Primary Care (Tim Evans)

Mengapa financing penting dalam primary care? Terdapat dua alasan penting, yaitu karena ini berkaitan dengan fairness dan equity: seberapa banyak payment akan ditanggung langsung oleh masyarakat? Dan, apakah layanan yang dibiayai pemerintah adalah layanan yang paling penting sesuai dengan kebutuhan kesehatan setempat? Selain itu, terdapat pula dampak logis dari alokasi pembiayaan yang balanced atau tidak karena resources yang terbatas harus dibagi di berbagai level sehingga alokasi (khususnya, yang tidak efisien) di satu level otomatis mengurangi alokasi di level lain. (Pertanyaannya: Apakah financing terlalu banyak di primary care level? Terlalu banyak di secondary atau tertiary care level?)

Berikutnya dibahas konsep dan perbedaan antara berbagai sumber pembiayaan:

  1. Government expenditure
  2. Pooling and pre-payment
  3. Employer
  4. OOP
  5. Philanthropy

Selanjutnya juga dibahas konsep dan perbedaan antara bagaimana pembayaran dilakukan:

  1. Langsung oleh konsumen
  2. Melalui provider
  3. Mekanisme reimbursement e.g DRG, capitation, fee-for-service

Namun ada hal yang cukup sering terjadi (dalam kenyataan) di level primary care, yaitu “informal payment” walau pun mungkin sebenarnya primary care tersedia free at point of service, dan juga subsidi “tidak resmi” (misalnya: dual-practice, dimana tenaga kesehatan public ternyata melayani di sector swasta pada jam kerja resmi pemerintah)

Key message-nya adalah bahwa masing-masing mekanisme pembiayaan dan pembayaran akan member peluang dan tantangan yang spesifik di masing-masing Negara, dan tidak ada magic bullet yang bisa di-resep-kan untuk menjawab: manakah mekanisme pembiayaan dan pembayaran yang paling baik. Biasanya yang terjadi adalah mixed dari berbagai mekanisme, namun tujuan utamanya adalah harus tersedianya pelayanan pada level primary care yang affordable.

Stewardship (Tim Evans)

Isi dari presentasi kebanyakan adalah konsep governance and stewardship yang bersumber dari referensi WHO. Dijelaskan pula beberapa instrument governance:

  • Formal/”hard” misalnya aturan, hukum, dsb. Sifatnya mengikat secara hukum dan biasanya memiliki konsekuensi hukum
  • Informal/”Soft” misalnya norma, kebiasaan, consensus, kesepakatan, dan code of practices; biasanya ‘ketundukan’nya secara sukarela dan bergantung pada self-regulation.

Terkait dengan primary health care, kita tidak bisa secara ekstrim memutuskan untuk melakukan segala sesuatunya secara centrally-planned, namun tidak dapat pula membiarkannya begitu saja (laissez-faire).

Nishtar (2010) menulis tentang mixed health system yang biasanya memiliki karakteristik sebagai berikut:

  • Diversity dalam penyedia layanan kesehatan
  • Sektor swasta yang dominan tetapi poorly organized
  • Layanan sector public yang compromised
  • Ketidakjelasan/pemisahan yang tidak jelas antara sector public dan sector swasta

Nishtar juga menyatakan bahwa implikasi dari mixed health system yang tidak memiliki fungsi stewardship yang baik akan berimplikasi pada:

  • Biaya kesehatan yang tinggi bagi pengguna
  • Kualitas yang bervariasi
  • Irregular ethical conduct
  • Penyebaran pelayanan kesehatan yang tidak tersedia secara equal

Dengan kata lain, apabila sistem kesehatan kita mengalami hal-hal di atas, ini merupakan indikasi tidak berjalannya fungsi stewardship.

pelatihan analisis kebijakan

downloadd thumb_medium90_

TERMS OF REFFERENCE

PELATIHAN ANALISIS KEBIJAKAN BIDANG KESEHATAN
FORUM KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA III
SURABAYA, 5 – 6 JUNI 2012

I. PENDAHULUAN

Kebijakan kesehatan memiliki peran strategis dalam pengembangan dan pelaksanaan program kesehatan. Kebijakan kesehatan juga berperan sebagai panduan bagi semua unsur masyarakat dalam bertindak dan berkontribusi terhadap pembangunan kesehatan. Melalui perancangan dan pelaksanaan kebijakan kesehatan yang benar, diharapkan mampu mengendalikan dan memperkuat peran stakeholders guna menjamin kontribusi secara maksimal, menggali sumber daya potensial, serta menghilangkan penghalang pelaksanaan pembangunan kesehatan.

Kegiatan pelatihan analisis kebijakan bidang kesehatan melatih para peserta melakukan review analisis kebijakan di bidang kesehatan. Tujuan pelatihan adalah mempertajam dan memperkuat pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan analisis serta penelitian di bidang kebijakan kesehatan. Narasumber dan trainer dalam pelatihan ini adalah pakar dan praktisi di bidang analisis kebijakan dan penelitian kebijakan bidang kesehatan.

Leaflet Pelatihan Analisis Kebijakan Kesehatan 

II. PELATIHAN ANALISIS KEBIJAKAN

  1. Nama Kegiatan

    Kegiatan yang akan diselenggarakan adalah “Pelatihan Analisis Kebijakan”

  2. Tempat dan Waktu Kegiatan

    Kegiatan ini direncanakan diselenggarakan di:
    Hari      : Selasa – Rabu
    Tanggal : 5 – 6 Juni 2012
    Tempat : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya

  3. Rancangan Kegiatan

    Dalam kegiatan Pelatihan Analisis Kebijakan ini nantinya para peserta pelatihan akan mendapatkan pencerahan dan materi tentang:

    1. Konsep Analisis Kebijakan (Policy Analysis)
      1. Definisi, Pengertian, Teori dan Masalah Kebijakan
      2. Ruang Lingkup Kebijakan
      3. Kebijakan di Bidang Kesehatan sebagai Kebijakan Publik
      4. Konsep Analisis Kebijakan (Policy Formulation, Policy Implementation, Policy Review)
         
    2. Review Kebijakan (Policy Review), meliputi:
      1. Ruang Lingkup Review Kebijakan
      2. Prinsip Review Kebijakan
      3. Pendekatan dalam Review Kebijakan
      4. Tahapan Review Kebijakan
         
    3. Penyusunan Policy Brief
       
  4. Hasil Pelatihan yang Diharapkan

    Setelah mengikuti kegiatan Pelatihan Analisis Kebijakan, para peserta diharapkan:

    1. Mampu memahami konsep analisis kebijakan
    2. Mampu melakukan review kebijakan
    3. Mampu menyusun policy brief
       
  5. Narasumber Kegiatan

    Narasumber dan Trainer dalam Kegiatan Pelatihan Analisis Kebijakan ini adalah:

    1. Prof. Ascobat Gani, dr., MPH., Dr.PH (Pakar Kebijakan Bidang Kesehatan, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia)
    2. Prof. Dr. Jusuf Irianto, Drs., M.Com.(Pakar Kebijakan Publik, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga)
    3. 3. Dr. Dumillah Ayuningtyas, Dra., M.Kes. (Pakar Penelitian Bidang Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia)
       
  6. Run Down Kegiatan

    Hari

    Waktu

    Kegiatan

    Nara Sumber

    Selasa,
    5 Juni
    2012

    07.30 – 08.30

    Registrasi dan Coffe

    Morning

     

    08.30 – 09.00

    Pembukaan

    Panitia

    09.00 – 10.00

    Keynote Speaker :

    Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur

    Dr. Budi Rahaju, MPH.

    Notulensi 

    10.00 – 10.45

    Diskusi dan Tanya jawab

     

    10.45 – 11.45

    Pemberian Materi :

    Konsep Analisis

    Kebijakan Publik

    Prof. Dr. Jusuf Irianto, Drs., M.Com

    Notulensi

    11.45 – 12.30

    Diskusi dan Tanya jawab

    pelsby

     

    12.30 – 13.30

    ISHOMA

     

    13.30 – 14.30

    Pemberian Materi :

    Kebijakan Kesehatan

    Prof. Dr. Jusuf Irianto, Drs., M.Com

    slide 1 – Pelatihan kebijakan publik

    slide 2 – Pelatihan kebijakan publik

    slide 3 – Stakeholder analisis bidang kesehatan

    14.30 – 15.15

    Diskusi dan Tanya jawab

     
           

    Rabu,
    6 Juni
    2012

    08.30 – 09.00

    Pemberian Materi :

    Review Kebijakan

    Prof. Ascobat Gani, dr., MPH., Dr.PH

    09.00 – 12.00

    Latihan Review :

    Kebijakan (UU BPJS)

    Prof. Ascobat Gani, dr., MPH., Dr.PH dan Tim

    12.00 – 13.00

    ISHOMA

     

    13.00 – 14.30

    Latihan Review :

    Kebijakan (UU BPJS)

    Prof. Ascobat Gani, dr., MPH., Dr.PH dan Tim

    14.30 – 16.30

    Latihan Policy Brief

    slide contoh health Policy Brief

    slide contoh policy brief kesehatan indonesia

    slide contoh policy brief Gerhan 2007

    slide contoh policy brief jaminan pembiayaan

    Prof. Ascobat Gani, dr., MPH., Dr.PH dan Tim

    Notulensi

     

    16.30 – 17.00

    Penutupan

    Panitia

     

 III. SASARAN PESERTA

Peserta pelatihan analisis kebijakan kesehatan diharapkan berasal dari:

  1. Dinas Kesehatan
  2. Praktisi Analisis Kebijakan
  3. Dosen/Akademisi
  4. Mahasiswa Pasca Sarjana (S2/S3)
  5. Organisasi Pelayanan Kesehatan

IV. KEBIJAKAN YANG DIREVIEW

Pelatihan analisis kebijakan kesehatan akan mereview kebijakan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial.

laporan hari II (HOGSI)

LAPORAN PIT V HOGSI

(PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN KE V HIMPUNAN OBSTETRI GINEKOLOGI SOSIAL INDONESIA)
DI HOTEL ROYAL AMBARUKMO YOGYAKARTA, 30 APRIL-2 MEI 2012

Pelapor: dr. Sitti Noor Zaenab, M.Kes

Berbeda dengan acara hari pertama yang sempat tertunda 1 jam menunggu pembukaan resmi, pada hari kedua ini SIMPOSIUM 1 dengan topik ” Bugar di Usia Senja” langsung dimulai tepat pukul 08.00 WIB. Tampil 4 pakar kesehatan sebagai pembicara yaitu:

  1. Prof. dr. Ariawan Soejoenoes, SpOG(K), dengan judul: Bugar di Usia Senja
  2. DR. Dr. Tono Juwantono, SpOG(K), dengan judul: Kesehatan Tulang Pasca Menopause
  3. dr. Grace Tumbelaka, dengan judul: Olahraga dan Gaya Hidup
  4. Prof. DR.Wimpie Pangkahila, SpAnd, dengan judul: Aktifitas Seksual Wanita Pasca Menopause

Sesi ini cukup menarik karena yang ditampilkan adalah merupakan masalah yang dihadapi kebanyakan peserta yang rata-rata sudah berumur diatas 45 tahun, apalagi disertakan pula gambar-gambar yang sedikit saru tetapi tetap ilmiah. Saat ini jumlah lansia makin bertambah, hal ini membawa dampak pada masalah ekonomi, sistem kesehatan yang menjamin mutu kehidupan, kemandirian, dan keseimbangan peran keluarga. Dibutuhkan pelayanan publik dan infrastruktur yang ramah lansia. Definisi tua tidaklah sama tergantung dari sudut pandang, dapat dilihat dari 3 sudut pandang yaitu: Chronical age; Biological age; dan Psychological age . Meski menu, yang dibutuhkan adalah kualitas hidup yang meliputi 4 ranah yaitu: Fisik; Psikososial; Hubungan Sosial; dan Lingkungan. Tujuan menua yang sehat adalah: mempertahankan kesehatan fisik dan mental; menghindari kelainan; dan tetap aktif dan mandiri. Untuk mencapai itu perlu melakukan kebiasaan sehat yaitu: mengatur pola makan yang bergizi seimbang; olahraga teratur; dan aktif secara mental. Meskipun sangat dibutuhkan olahraga tetapi tidak semua boleh dilakukan. Yang tidak boleh yaitu: lompat, flexi, aktifitas berpotensi jatuh, abduksi dan adduksi dengan beban berat.

Salah satu masalah di usia tua adalah kesehatan tulang, terutama pada wanita pasca menopause dapat terjadi osteoporosis , yang disebabkan kekurangan hormon eostrogen. Berkurangnya hormon oestrogen menyebabkan ketidakseimbangan antara respon tulang dan formasi tulang, respon tulang menjadi lebih cepat dibanding formasi tulang, akhirnya masa tulang menjadi rendah dan mudah rapuh. Kalau tidak hati-hati dan jatuh dapat menyebabkan patah tulang. Pengobatan osteoporosis ini ada 2 macam yaitu dengan terapi hormonal (Estrogen Replacement Therapy) dan non hormonal. Yang lebih penting lagi adalah pencegahan yaitu dengan cukup asupan Kalsium dan Vitamin D, olahraga teratur, dan cukup gerak. Efek lain dari kekurangan hormon karena usia tua adalah terganggunya kehidupan seksual, sehingga kalau tidak diobati maka gejala akan berjalan terus, kualitas hidup menurun, dan dapat terjadi disharmoni seksual dengan pasangan.

Waktu untuk diskusi sangat singkat sehingga menimbulkan penasaran, dan acara dilanjutkan ke SIMPOSIUM 2 dengan topik “Medikolegal dan Malpraktek”, tampil 4 penbicara:

  1. dr.Hani Susiarno, SpOG(K), dengan judul: Malparaktik atau Resiko Tindakan Medis?
  2. dr.Nurdadi Saleh, SpOG, dengan judul: Pengalaman Penanganan Dugaan malpraktik dalam Pelayanan Obstetrik
  3. Prof.DR.Siti Ismijati Jenie, SH, CN, dengan judul: Antisipasi Dugaan Malpraktik
  4. dr.Siswanto Sastrowiyoto, SpTHT, MH, dengan judul: Penanganan Kasus-Kasus Medikolegal, Pengalaman di RS Sardjito

Ketiga pembicara pada sesi ini dari kalangan medis, sehingga sangat menarik ketika tampil seorang proffessor yang murni ahli hukum. Malpraktik dan resiko tindakan medik adalah 2 hal yang berbeda. Malpraktik adalah melakukan kesalahan/kelalaian yang melanggar ukuran kemampuan rata-rata seorang profesional, yang menyebabkan kerugian /kematian pasien. Malpraktik dapat dituntut pidana atau dituntut ganti rugi secara perdata. Sedang resiko tindakan medik adalah bukan kesalahan/kelalaian karena sekecil apapun tindakan medik selalu ada resiko. Resiko tindakan medik tidak boleh ada penuntutan apapun. Oleh sebab itu beberapa hal ini perlu diperhatikan sebelum melakukan tindakan: Tidak menjamin kesembuhan tapi inspanning verbintenis ; Hati-hati pada kasus yang berpotensi menimbulkan medicolegal trouble ; Tidak melakukan pengobatan dibawah standar/tidak sesuai dengan standar profesi; dan Semua prosedur dilakukan dengan informed consent.

Di dalam sebuah organisasi profesi seyogyanya ada Dewan Pertimbangan yang bertugas: Membahas dan menganalis kasus; Memutuskan kasus bisa digolongkan sebagai : putih, abu – abu, atau hitam ;Memberi nasihat untuk melanjutkan kasus tersebut ke proses hukum selanjutnya atau di tempuh mediasi antara para pihak; dan Menentukan saksi ahli. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gugatan malpraktik maka semua pihak yang mungkin menjadi sasaran gugatan malpraktik itu melaksanakan tugasnya sesuai standar profesinya, sesuai pula dengan standar pelayanan rumah sakit, senantiasa mematuhi ketentuan perundang‐undangan di bidang kesehatan, serta memperhatikan code etik masing‐masing profesi. Kalaupun harus menghadapi tuntutan malpraktik maka harus dihadapi bersama-sama (dalam sebuah RS) karena ada yang disebut tanggung gugat dan tanggung renteng.

Kemudian dilanjutkan dengan kuliah umum dari Prof.DR.dr.Nila Djuwita F.Moeloek, SpM(K) dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs, dengan judul: Meningkatkan Kemitraan yang berkelanjutan untuk Menunjang PencapaianTarget MDGs 2015. Disampaikan bahwa obyektif 8 goals dari MDGs adalah meningkatkan kualitas ekonomi dan sosial masyarakat miskin. Ada beberapa target yang sudah dicapai saat ini, ada yang bisa dicapai pada tahun 2015, tetapi ada yang sulit dicapai yaitu Penurunan AKI; Jumlah penduduk dengan HIV/AIDS; dan Tingkat emisi gas rumah kaca, air bersih dan sanitasi. Masalah kematian ibu ditunjang oleh perilaku sex remaja yang tidak sehat, usia perkawinan pertama dibawah 20 tahun yang tinggi, kehamilan yang tidak diinginkan, yang akan berakibat putus sekolah, aborsi tidak aman, meningkatnya resiko kematian ibu, dan resiko mortalitas dan morbiditas. Untuk itu dibutuhkan kerja keras semua pihak yaitu masyarakat, pemerintah, dan swasta. Kerja keras saja tidak cukup tetapi harus bekerja dalam jaringan untuk saling mendukung. Dimulai dari hal-hal kecil dari masing-masing orang dengan menggunakan teknologi informasi yang makin berkembang, misalnya mengirim SMS/BBM yang berisi pesan-pesan Kesehatan Reproduksi (Kespro). Kalau semua mau berperan sesuai kemampuan dan posisi masing-masing tanpa harus saling menunggu atau saling menyalahkan maka target MDGs ini akan tercapai.

Waktu berjalan begitu cepat, masuk ke SIMPOSIUM 3 dengan topik “Peningkatan Pelayanan di RS dalam Upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu”, dipaparkan oleh 4 pembicara:

  1. dr.HR. Dedi Kuswenda, SpOG (Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Kemenkes RI), dengan judul: Peningkatan Kinerja Puskesmas PONED sebagai Jejaring RS PONEK
  2. dr. Diar Wahyu Indriati, MARS (Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan Kemenkes RI), dengan judul: Penyiapan RS PONEK 24 jam
  3. dr.Omo Abdul Majid, SpOG(K), (Direktur Umum dan Operasional RSCM), dengan judul: Peran Manajemen RS dalam Upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu
  4. dr.R. Soerjo Hadijono, DTRM&B(Ch)., SpOG(K), (Kepala Departemen Obstetri Ginekologi FK UNDIP) dengan judul: On The Job Training (OJT) PONEK dan Peran Jaringan Nasional Pelatihan Kesehatan (JNPK) dalam meningkatkan Kompetensi Tenaga Kesehatan

Pelayanan Obstetri Emergensi yang adekuat merupakan upaya terakhir mencegah kematian ibu. Puskesmas PONED berperan sebagai tempat Rujukan atau Rujukan Antara dalam Penanganan Komplikasi Obstetri & Neonatal;. Puskesmas PONED dan RS PONEK merupakan suatu kesatuan Sistem Rujukan Emergensi Obstetri & Neonatal. Sehingga diperlukan dukungan berbagai pihak untuk pengembangan Sistem Rujukan, dan diperlukan Komitmen Daerah dan Seluruh Stakeholders . Peningkatan sistem rujukan juga untuk mendukung jejaring pelayanan terpadu dalam mewujudkan universal coverage 2014.

Pelatihan adalah intervensi untuk masalah kompetensi dan peralatan adalah syarat untuk melaksanakan prosedur klinik sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Pelatihan dilakukan untuk standardisasi pelayanan, peralatan diberikan untuk menyelenggarakan pelayanan, dan supervisi fasilitatif dilakukan untuk membantu pihak rumah sakit dapat menerapkan hasil pelatihan dan menyelenggarakan pelayanan berkualitas. Investasi pelatihan dan penyediaan sarana-prasarana, baru dapat menggerakkan sebagian mesin produksi PONEK, karena program pemerintah pusat, tidak akan memberikan hasil yang memuaskan apabila tidak didukung sepenuhnya oleh pemilik rumah sakit/pemerintah daerah.

Setelah ishoma dilaksanakan sidang paralel yang terbagi pada 3 kelompok, yaitu:

  1. Workshop 5 dengan topik “Kerjasama Lintas Sektoral dalam Upaya Percepatan MDGs 2015”
  2. Sesi Bidan dengan topik ” Kontrasepsi, kaitannya dengan Infeksi panggul dan kanker”
  3. Makalah Bebas, yang terbagi 2 yaitu Makalah Bebas 1a dan 1b

Penulis mengikuti WORKSHOP 5 yang diadakan di Ballroom, disini tampil 5 pemakalah yaitu:

  1. dr.Muljo Hadi Sungkono, SpOG(K), dengan judul: Peran, Sumbangan, dan Kendala RS Mitra dalam Program Sister Hospital di NTT
  2. dr.Yuanda Nova , MARS (Ditjen BUK Kemenkes RI), dengan judul: Improvement Collaborative Approach dalam Penanganan Kasus Emergency Maternal dan Neonatal
  3. dr.Rukmono Siswishanto, M.Kes, SpOG(K), dengan judul: Peran dan Dukungan Pemda Setempat dalam Menjaga Keberhasilan dan Kelangsungan Program Sister Hospital di NTT
  4. dr.Diar Wahyu Indriati, MARS (Direktorat BUKR), dengan judul: Peran dan dukungan Kemenkes dalam Keberlangsungan & Keberhasilan Program Sister hospital di NTT
  5. dr.Rosilawati Anggaraeni (UNFPA), dengan judul: Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Pasca Bencana

Pencapaian MDGs bukan sekedar penurunan AKI/AKB tetapi peningkatan KESEHATAN IBU dan ANAK secara komprehensif. Demikian juga terkait dengan penanganan masalah sampai “HULU” bukan hanya penanganan masalah secara instan di “HILIR”. Untuk itu diperlukan upaya pencegahan mulai dari hulu sampai hilir yaitu berupa PRIMARY PREVENTION yang meliputi: Mencegah kesakitan maternal dan perinatal, Perubahan Perilaku, Perbaikan Sistem yang berkesinambungan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Kemandirian Daerah; SECONDARY PREVENTION yang meliputi: Menurunkan jumlah kematian ibu dan bayi, dan Penyediaan PONEK 24 jam; dan TERTIARY PREVENTION yang meliputi: Menurunkan komplikasi , Menurunkan Keparahan, dan Menurunkan intensitas penyakit.

Kolaborasi Perbaikan merupakan pendekatan yang paling sesuai untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang persisten. Kunci dari kolaborasi adalah kesamaan visi dan tujuan untuk melakukan perbaikan diantara pengampu atau pelaku program kesehatan.Bimbingan teknis dan dukungan dari seluruh pengampu/mitra akan sangat menentukan upaya perbaikan yang dijalankan

Isu Exit Strategy untuk Sister Hospital adalah: Kemandirian Rumah Sakit, Pemanfaatan teknologi untuk akselerasi pencapaian kemandirian, Penguatan budaya kerja & partisipasi, misalnya Spirit kearifan local di RSUD Bajawa Su’u papa suru, Sa’a papa laka.

Kemenkes mendukung program Sister Hospital melalui: Pemenuhan anggaran Prog.Pembinaan Upaya Kesehatan yang diarahkan pada pemenuhan TT (kelas 3), PONEK, IGD, UTD RS dan gedung RS yang bermuara pada peningkatan mutu pelayanan (hardware); Peningkatan mutu brainware / software RS yaitu peningkatan kapasitas SDM, manajemen dan pelayanan medik; Diharapkan mampu mempercepat kemandirian RS bergerak &RS Pratama . Untuk itu perlu dukungan Dinkes, FK dan sektor swasta.

Masalah Kespro sering dilupakan dalam kondisi bencana, padahal hal tersebut tidak dapat ditunda. UNFPA yang merupakan bagian WHO mengenalkan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kespro dalam keadaan bencana. Adapun tujuan PPAM adalah: Identifikasi coordinator, Mencegah & menangani konsekuensi kekerasan seksual, Mengurangi penularan IMS/HIV, Mencegah peningkatan kesakitan dan kematian maternal dan neonatal, Merencanakan layanan Kesehatan Reproduksi komprehensif terintegrasi pada layanan kesehatan primer, sesegera mungkin. Sehingga kerjasama lintas sektoral menjadi hal yang wajib dalam mencapai target MDGs 2015.

Selesai sidang paralel para peserta kembali ke Ballroom untuk mengikuti SEMINAR 1 dengan topik “Best Practices in Obstetrics care“. Para pemapar dalam seminar ini:

  1. dr.Moh.Hakimi, PhD, SpOG(K), dengan judul: Postpartum Hemorrhage
  2. dr.R.Soerjo Hadijono, DTRM&B(Ch), SpOG(K), dengan judul: Delayed Cord Clamping

SEMINAR 2 dengan topik “Trend and Controversies of Obstetric Care in the Aspect of Medicolegal“. Tampil para praktisi sebagai pembicara:

  1. dr.Ova Emilia, M.Med.Ed, PhD, SpOG(K),dengan judul: Water Birth
  2. dr.Zainal Arifin, SpOG, dengan judul: Hypnobirthing

Pada 2 topik seminar ini membahas prmasalahan klinis sebagai tambahan pengetahuan bagi para peserta, yang kebanyakan adalah dokter spesialis obsgyn, dokter umum, dan bidan.

Meskipun pertemuan hari ke dua berlangsung sampai sore, tetapi para peserta tetap antusias mengikuti sampai selesai karena topik-topik yang diangkat cukup up to date dan menarik.

Khusus anggota HOGSI masih melanjutkan Focus Group Discussion pada malam hari, dengan topik “Pelaksanaan dan Hambatan Jampersal di Lapangan”. Tentu saja penulis tidak ikut karena bukan anggota HOGSI.

Pertemuan secara umum akan berlanjut besok hari terakhir dengan topik-topik yang makin menarik. Penulis berusaha untuk melaporkan secara keseluruhan, baru akan membahas lesson learnt dari acara PIT V HOGSI baik proses maupun materinya. Mungkin ada sesuatu yang bisa diambil sebagai bagian dari proses pembelajaran di organisasi PMPK FK UGM.

Link terkait:

Laporan hari pertama

LAPORAN PIT V HOGSI

(PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN KE V HIMPUNAN OBSTETRI GINEKOLOGI SOSIAL INDONESIA)
DI HOTEL ROYAL AMBARUKMO YOGYAKARTA, 30 APRIL-2 MEI 2012

Reporter: dr. Sitti Noor Zaenab, M.Kes

Suasana Hotel Ambarukmo yang sekarang bernama Royal Ambarukmo Yogyakarta memang berbeda setelah renovasi. Saat masuk melewati pos pemeriksa kendaraan tamu, Satpam langsung berdiri memberi hormat dengan menangkupkan ke dua tangan di depan dada dan menganggukkan kepala dengan melempar senyum yang cukup wajar, demikian juga ketika bertemu dengan petugas-petugas berikutnya. Ruang pertemuan ada di lantai VIII yaitu di The Karaton Ballroom Ambarukmo, dan telah tersedia sekitar 400 buah kursi yang terisi penuh para peserta yang terdiri dari dokter spesialis obsgyn, bidan, dokter umum, dll. Tema PIT V ini adalah Percepatan Pencapaian MDGs melalui kerjasama Lintas Sektoral dan Peningkatan Kualitas SDM

Tepat pukul 09.00 WIB acara pembukaan dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan persembahan tarian daerah untuk menyambut para tamu yang berasal dari seluruh Indonesia. Beberapa pemangku kepentingan memberikan sambutan yaitu Ketua Panitya PIT V, Ketua PB POGI, dan Wakil Gubernur DIY. Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Menteri Kesehatan RI mewakili Menteri Kesehatan RI. Beliau meminta kepada para hadirin untuk mendoakan Menteri Kesehatan dr.Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH,DR.PH semoga diberi mukjijat untuk segera sembuh. Juga menghimbau para dokter dan tenaga kesehatan untuk selalu menjaga kesehatan diri sendiri, selain melayani kebutuhan kesehatan orang lain. Jangan sampai sakit atau meninggal disebabkan terlalu kecapekan. Upacara pembukaan diakhiri dengan menyanyikan Mars HOGSI dan lagu-lagu daerah persembahan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) UGM, yang disambut meriah para hadirin. Yang menarik adalah bahwa Mars HOGSI baru pertama kali dikumandangkan , dimana syairnya adalah gubahan dr.H. Risanto Siswosudarmo, SpOG (K) dan diaransemen oleh dr.Danudoro, Sp.S (K).

Selanjutnya diisi kuliah umum dari Menteri Kesehatan RI yang disampaikan oleh Prof. dr.Ali Ghufron Mukti, MSc, Ph.D. dengan judul: Trend dan Status Pencapaian Target 4 dan 5 MDGs 2015 pada tahun 2011 serta Prediksinya pada tahun 2014. Beliau memaparkan berbagai indikator yang harus dicapai, diprediksi banyak yang bisa dicapai kecuali Angka Kematian Ibu (AKI). Dengan melihat trend AKI dimana pada tahun 2007 sebesar 228 dan kecenderungan tahun-tahun berikutnya, diperkirakan sulit mencapai 102 pada tahun 2015 kalau tenaga kesehatan hanya bekerja biasa-biasa saja, sehingga diperlukan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas dari seluruh yang terlibat.

Setelah kuliah umum Menkes, acara berikutnya adalah WORKSHOP 1 dengan topik: Peran Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu. Disini tampil 4 pembicara cukup ternama yaitu:

  1. dr.Ribka Tjiptaning Proletariati (Ketua Komisi IX DPR RI), dengan judul: Legislasi dan Anggaran Pendidikan Tenaga Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu
  2. DR. Illah Sailah (Direktur Akademik Dirjen Dikti Kemendikbud RI) dengan judul: Kebijakan Kemendikbud dalam Proses Pembelajaran dan Produksi Tenaga Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu
  3. Laurentina Lawintono, MSc, dengan judul: Materi Kognitif dan Pencapaian Kompetensi bagi Bidan Pelaksana Program KIA
  4. Dr.dr. Dwiana Octiyanti, SpOG (K), dengan judul: Sumberdaya untuk Pendidikan Dokter Umum , Spesialis, dan Spesialis Konsultan dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu

Sebenarnya topik ini cukup penting, tetapi alokasi waktu untuk masing-masing pembicara hanya sekitar 5-8 menit, demikian juga waktu untuk diskusi sangat terbatas, apalagi tidak didukung oleh ketersedian makalah/bahan tertulis bagi para peserta. Semoga di akhir kegiatan pihak panitya dapat memberikan soft copy atau dalam bentuk apapun dari materi-materi tersebut sehingga para peserta dapat memahami dengan lebih baik dan jelas.

Berikutnya memasuki WORKSHOP 2 dengan topik: Upaya Peningkatan Cakupan dan Kualitas Pencegahan Kanker Leher Rahim di Indonesia. Disini tampil 4 pakar yaitu:

  1. Prof.Dr.dr. M.Farid Aziz, SpOG (K) dari HOGSI, dengan judul: Upaya Preventif, Deteksi Dini, dan Pengelolaan IVA positif di Level Fasilitas Kesehatan Primer dan Rujukan
  2. Prof.dr.Endy M.Moegni, SpOG (K) dari HOGSI, dengan judul: Strategi jangka Panjang Pencegahan Kanker Leher Rahim di Indonesia
  3. Dr.Martin Luber dari WHO-GAVI dengan judul: Peran WHO-GAVI (Global Alliance Vaccines and Immunisations) dalam Membantu Vaccinasi HPV di Indonesia
  4. Dr.Fatun Basalamah dari Kemenkes RI, dengan judul: Peran Kemenkes dalam Membantu Vaksinasi di Indonesia

Inti dari pemaparan para pakar ini adalah masalah kanker pada wanita masih didominasi oleh Ca Mamma dan Ca Cervic, diperlukan upaya pencegahan primer dan pencegahan sekunder yang efektif untuk menanggulangi masalah tersebut. Penggunaan Metode Pap Smears untuk deteksi dini masih cukup kompleks dalam pelaksanaannya, direkomendasikan pemakaian metode IVA yang cukup mudah dan cost effectiffeness. Vaksinasi HPV sangat membantu untuk mencegah Ca Cervix, makin muda usia wanita yang mendapatkan vaksinasi tersebut akan makin baik hasilnya. Diperkirakan biaya vaksinasi HPV Rp.1.000.000,- perorang, sehingga dibutuhkan biaya yang cukup besar seandainya akan diprogramkan secara nasional.

Setelah Ishoma acara dilanjutkan lagi dengan Kuliah umum dari Kepala BKKBN , DR.dr. Sugiri Syarief, MPH, dengan judul: Keluarga dan Pelayanan KB yang Berkualitas sebagai Upaya Promotif dan Preventif dalam Mencapai Target MDGs 2015. Beliau menyampaikan ada 3 masalah penting yang harus diperhatikan yaitu: Kuantitas penduduk, Kualitas Penduduk, dan Perkembangan Penduduk. Penduduk Indonesia cukup banyak, tetapi 60% tingkat pendidikannya baru tamat SD, pada tahun 2011 HDI Indonesia berada pada posisi 124 dari 187 negara. Diberikan data tentang gambaran median umur perkawinan pertama yaitu pada usia 19 tahun (sasaran umur 21 tahun), dan pada SP 2010 umur ini menurun lagi. TFR tahun 2007 sebesar 2,6 dan pada tahun 2010 sebesar 2,1, dipredeksi pada tahun 2060 baru terjadi penduduk tanpa pertumbuhan. Pada sesi ini tidak ada tanya jawab.

Secara marathon acara dilanjutkan dengan WORKSHOP 3, dengan topik: Jaminan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan dan Dampaknya terhadap Penurunan AKI dan AKB. Disini tampil 4 praktisi sebagai pembicara yaitu:

  1. dr.Supriyantoro, SpP, MARS (Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI), dengan judul: Strategi Aplikasi dan Kesiapan Administratif RS dalam Pengelolaan Jaminan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan
  2. dr.Ribka Tjiptaning Proletaria (Ketua Komisi IX DPR RI) dengan judul: Latar Belakang Legislasi Jaminan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan terkait MDG 2015
  3. dr.Bayu Wahyudi , MPHM, SpOG (Direktur RSUP Hasan Sadikin), dengan judul: Pelaksanaan dan Masalah Pengelolaan Jamkesmas/Jamkesda
  4. dr.Andi Wahyuningsih Attas, SpAn (Direktur RSUP Fatmawati), dengan judul: Pengalaman dan Rekomendasi dalam Menjalani Uji Coba Jamkesmas/Jamkesda

Inti dari sesi ini adalah bahwa setiap penduduk idealnya memiliki jaminan kesehatan, dalam pelayanan kesehatan harus ada kendali biaya dan kendali mutu. Jamkes yang dikembangkan pemerintah adalah jaminan sosial sehingga tarifnya memang bukan tarif penuh. Dokter seharusnya tidak meminta bayaran tinggi karena profesi dokter adalah pengabdian dan merupakan pilihan. Memang diakui sekarang biaya untuk sekolah dokter atau spesialis mahal, sehingga perlu dicarikan solusi ke depan bagaimana supaya pendidikannya gratis, tetapi setelah lulus betul-betul mengabdi untuk kepentingan rakyat.

Banyak sekali masalah yang dihadapi RS dalam pelayanan pasien Jamkesmas dan Jampersal, kalau tidak segera ditata dengan baik maka yang timbul adalah saling menyalahkan. Untuk itu perlu ada pertemuan rutin berbentuk Round Table Discussion bagi para pemangku kepentingan. Kalau saat ini Jampersal belum berefek pada penurunan AKI dan AKB, salah satu penyebabnya adalah sistim rujukan yang belum memiliki pola yang jelas sehingga memberi beban yang tidak perlu pada RS rujukan tertier. Sehingga perlu pemberdayaan pada fasilitas pelayanan kesehatan primer dan sekunder, dan penataan sistem rujukan dan pembiayaan yang baik. Kalau hal ini tidak dilakukan maka berapapun anggaran yang disediakan, tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak ada pemateri yang mewakili RSUD, sehingga suara mereka tidak terdengar pada acara ini

Meskipun waktu semakin sore, para peserta mulai capek dan juga ada yang nampak kesal karena tidak ada makalah/materi sebagai pegangan dan waktu diskusi yang sangat terbatas, acara dilanjutkan ke WORKSHOP 4. Disini tampil 4 pembicara yaitu:

  1. DR.Harni Koesno, MKM (Ketua PB IBI) dengan judul: Kesiapan Bidan dalam Pelayanan KB Pascasalin
  2. dr.H.Risanto Siswosudarmo, SpOG (K) dengan judul: Strategi Penyiapan Tenaga Medis dan Fasilitas untuk Pelaksanaan KB Pascasalin
  3. dr.Christina Manurung (Subdit Bina Keluarga Berencana Kemenkes RI) dengan judul: Upaya Akselerasi KB Pascasalin pada Pasien Jampersal
  4. dr.Wicaksono, M.Kes (Direktur Pelayanan KB Jalur Pemerintah BKKBN) dengan judul: Strategi Penyediaan sarana dan Prasarana KB Pascasalin

Pada workshop terakhir pada PIT hari pertama ini, intinya adalah bahwa Bidan Delima siap untuk melaksanan KB pasca salin sesuai semboyan “Ada KB ada Bidan, ada Bidan ada KB”, dan juga siap sebagai pemberi informasi kepada masyarakat di lini depan. Dalam pendidikan dokter dan dokter spesialis, mereka dilatih untuk memasang IUD pascasalin dengan methode/alat khusus. BKKBN siap untuk pengadaan sarana dan prasarana pendukung . Diharapkan para pelaksana di lapangan dapat mendorong masyarakat pengguna Jampersal untuk mengikuti KB pascasalin. Ke depan pembayaran Jampersal akan dikaitkan dengan kualitas ANC (?)

Selesai acara para peserta pulang, dan panitya mengumumkan bahwa malamnya akan diadakan Malam Keakraban di Pelataran Candi Prambanan. Supir saya menunggu sekitar 30 menit di halaman Royal Ambarukmo, dan begitu keluar dikenakan biaya parkir sebesar Rp.4000,- Ambarukmo memang telah berubah setelah renovasi. Mohon maaf laporan ini belum sempurna karena disusun tanpa didukung referensi tertulis. Sekian .

Link terkait:

day III

 

TOR HCF Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III 

 

Pembiayaan untuk Non Communicable Diseases: Kasus Cambodia

hcf3Dalam konteks Cambodia yang kekurangan sumberdaya, upaya kesehatan diarahkan pada upaya perubahan perilaku/gaya hidup yang berhubungan dengan penyakit tidak menular, baik pada para penderita, tetapi juga ditargetkan kepada kelompok masyarakat yang masih sehat. Upaya kesehatan ini dilakukan di distrik pada level primary care. Hal ini dilakukan dengan cara melibatkan pasien untuk melakukan pengelolaan mandiri sekaligus memberi mereka reward dengan menjadikan mereka sebagai petugas kesehatan ‘amatir’ (atau lebih tepatnya: peer educator) untuk mereka yang mungkin tidak/belum sadar bahwa mereka termasuk kelompok resiko tinggi. Mekanisme pembayaran bagi mereka dikaitkan dengan re-assessment dari random sample pasien untuk memperhitungkan besarnya reward untuk para peer educator ini dan juga untuk menilai besarnya reward untuk upaya sebagai tim.

Beberapa elemen kunci dalam program ini adalah:

  • Meningkatkan awareness dan mengupayakan edukasi untuk masyarakat
  • Akses terhadap screening dan early diagnosis
  • Dukungan untuk melakukan pengelolaan mandiri
  • Koordinasi dan kolaborasi antara sector public dan sector swasta
  • Sistem monitoring and surveillance

Upaya untuk menghitung cost-effectiveness-nya bisa diukur dengan cara membandingkan antara primary care yang melakukan kegiatan ini dengan primary care yang tidak melakukan kegiatan ini, dan mempertimbangkan benefit dari intervensi ini. Namun diperlukan semacam threshold untuk mengukurnya dan ini membutuhkan judgement dan tentu saja terkait dengan pertanyaan apakah hal ini ethical untuk dilakukan atau tidak (harus mempertimbangkan factor contextual dan juga budaya setempat).

Penghitungan cost-nya lebih mudah dilakukan dan di Cambodia sudah dilakukan penelitian untuk memperhitungkan intervensi pada level komunitas untuk penyakit kronis misalnya diabetes dan tekanan darah tinggi. Intervensi ini sudah dilakukan sejak 2005 (dimulai dengan intervensi terhadap diabetes) tetapi kemudian diperluas untuk mencakup pula early diagnosis dan risk factor control melalui upaya pengelolaan mandiri dan perubahan gaya hidup (terdapat 14 service outputs untuk ini). Penghitungan ini sudah dikaitkan dengan long term improved outcomes dan telah menghasilkan bukan hanya total cost tetapi juga annual cost per service output dan per pasien. Setelah investasi awal dibuat, biaya untuk tahun-tahun berikutnya ternyata cukup stabil dan affordable (untuk operational district) tetapi tetap tidak affordable untuk pasien miskin.

Oleh karena itu dilakukan pembiayaan supplementer dengan menggunakan vouchers (dengan dana Health Equity Fund) khusus untuk pasien diabetes, tekanan darah tinggi dan disorder yg terkait dengan itu (misalnya dyslipidemia, penyakit ginjal, dll). Penggunaan voucher (voucher ini dibagikan by name, dan disebutkan nilai uangnya) diharapkan dapat mengurangi resiko impoverishment masyarakat miskin, membiayai kehadiran secara regular dalam pertemuan dengan peer educator (voucher untuk ini khusus memiliki batas waktu expiry, untuk memastikan kehadiran mereka paling tidak tiga kali dalam sebulan).

Catatan:

hcf3aHal yang khas dalam Regional Forum ini adalah dimana para peserta dibagi ke dalam kelompok, dan setiap sesi sore hari dilakukan diskusi di dalam kelompok. Masing-masing kelompok diberi tugas/pertanyaan yang spesifik untuk dibahas yang terkait dengan presentasi dalam sesi pagi, dan kemudian dilaporkan kembali (oleh perwakilan kelompok) kepada seluruh hadirin.

Selain itu pada hari terakhir ini juga diinformasikan mengenai dibuatnya semacam platform untuk orang per orangan yang tertarik untuk menjadi pemerhati dan berkontribusi dalam diskusi dalam topic pembiayaan kesehatan melalui media Health Space: http://HCF.HealthSpaceAsia. Tujuan dari grup ini adalah untuk berbagi ide, berbagi dokumen, mencari saran atau rekomendasi atau pengalaman dari Negara lain, memiliki data (karena masing-masing anggota harus membuat profil mereka sendiri) untuk mencari/menemukan ahli dalam bidang-bidang tertentu. Tantangannya adalah grup ini menggunakan bahasa Inggris (karena sulit menemukan bahasa yang digunakan oleh semua anggota dalam region Asia yang sangat multi-language)

Materi-materi Presentasi :

Day I

Laporan Hari I Laporan Hari II Laporan Hari III

Regional Forum on Health Care Financing

Oleh : Shita Listyadewi

Regional Forum on Health Financing yang diselenggarakan pada 2-4 Mei di Phnom Penh bertujuan untuk mempertemukan para pemangku kepentingan (stakeholders), untuk bertukar pengalaman pada scheme design, pelaksanaan, evaluasi, dan scaling up terutama pada kebijakan pembiayaan kesehatan. Selain itu, Forum ini diselenggarakan sebagai wadah untuk berbagi pengetahuan dalam memfasilitasi dasar-dasar dalam pembuatan kebijakan serta menetapkan komunitas para praktisi.

Presentasi yang dipaparkan pada hari pertama dapat diikuti melalui twitter yang dibuat khusus untuk Regional Forum ini yaitu dengan mem-follow #RFHCF.

Hari pertama pembukaan Regional Forum on Health Financing ini dibuka dengan Keynote Speech oleh Joe Kutzin yang merupakan Health Financing Policy WHO Jenewa. Topik dalam Keynote ini disampaikan mengenai International and Regional challenges for health care financing and universal coverage. Dalam pesannya, terdapat beberapa point yang utama yaitu :

  • OOP tetap merupakan masalah di Negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan
  • Perspektif untuk melihat belanja pemerintah dalam adalah fungsi dari konteks fiscal (THE/GDP) dan konteks kebijakan public (THE/total government spending)
    • Konteks fiscal: Negara di Asia mengalami tantangan dalam mengumpulkan pajak untuk pembiayaan tax-based karena kebanyakan pekerjanya adalah sector informal dan sector public.
    • Konteks kebijakan public: data menunjukkan prioritas pemerintah di Negara-negara Asia Tenggara/Selatan masih rendah dalam hal belanja untuk kesehatan.
  • Variasi di antara Negara-negara Asia Tenggara/Selatan menunjukkan bahwa terkadang bukan hanya seberapa banyak uang yang bisa dikumpulkan untuk pembiayaan kesehatan, tetapi juga bagaimana pelayanan diorganisir sehingga penggunaannya efisien dan efektif. Contohnya adalah negara Thailand yang mempunyai contoh baik dalam menurunkan ketergantungan terhadap OOP
  • WHO berkomitmen untuk membantu Negara-negara dalam mencapai Universal Coverage walaupun tidak committed untuk suatu metode tertentu. Koordinasi dalam instrument yang akan dipakai sangat penting untuk memastikan manifestasi dari strategi. Roadmap untuk mencapai Universal Coverage harus “home-grown”.
  • Karena akan selalu ada kelompok yang tidak bisa berkontribusi, Negara-negara akan banyak bergantung kepada general revenues (tetapi sumbernya dari mana tidaklah menentukan) .
  • Ke depannya perlu juga dipikirkan tentang strategic purchasing: linking provider payment to information on their performance or population health needs.
  • Sistem yang fragmented akan menjadi penghalang bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat dan juga antar pemerintah daerah. Mengkoordinasikan ini menjadi tantangan dan akan menyulitkan redistribution of prepaid funds and redistribution of pooling. Fragmentasi terjadi sebagai konsekuensi dari kebijakan politik, kebijakan public atau bahkan alasan historis. Di Thailand sendiri : tiga skema digabung menjadi satu dan didanai oleh pendapatan umum, namun belum sepenuhnya mengatasi kerusakan yang dilakukan oleh “mulai degan sektor formal” . Pada saat ini, yang terjadi adalah agenda menyamakan manfaatnya.
  • Pelajaran dari Negara maju menunjukkan bahwa ada kecenderungan :
    • Starting insurance with the formal sector (contoh: Eropa Barat dan Jepang) ternyata mempertajam inequalities, fragmentasi sisten and sulit untuk di-undo.
    • CBHI biasanya bermasalah dalam low coverage (hanya sekitar 5% dari populasi) tetapi biasanya kegagalannya bukan karena adverse selection tetapi lebih karena orang tidak enrolled

Beberapa key lesson learned dalam moving towards Universal Coverage antara lain:

  • Komplementaritas yang eksplisit untuk sumber dana yang berbeda
  • Berfokus pada mengurangi fragmentasi dan memperluas kolam ukuran
  • Peran pendapatan umum yang eksplisit
  • Strategi pembelian untuk mengatasi inefisiensi bahasa dari sistem
  • Tujuan yang terukur dengan menghubungkan pembayaran manfaat inti

 

Selanjutnya, dalam sesi panel dibahas mengenai : Country reports on HCF and UC (low income countries). Sesi ini diisi oleh Dr. Sok Kanha (DPHI/MOH) dari Kamboja, Dr. Bouaphat Phonvisay dari Laos, Dr. Nguyen Thi Thuy Nga dari Vietnam, dan pembicara dari Myanmar.

  1. Cambodia : Dr. Sok Kanha (DPHI/MOH) menyampaikan mengenai Health Equity Fund, yang digunakan di Kamboja untuk mempromosikan kegunaan prioritas dari Pelayanan Kesehatan Publik. Health Equity Fund dilakukan dalam tiga bentuk yang berbeda :
    1. Model 1: National hospitals  
      Beroperasi dengan subsidi pemerintah tanpa pembayar pihak ketiga, menggunakan direct medical benefit, tanpa tambahan tunjangan apa pun, dilakukan untuk pihak yang sudah diidentifikasi sebelumnya, dan bertanggungjawab terhadap MoH dalam hal penggunaan dana.
    2. Model 2: Sama dengan di atas, hanya perbedaannya pada operatornya yang local.
    3. Model 3: Dibiayai oleh donor, dioperasionalkan oleh HEF implementers dan operatornya local NGOs (HEFoperators), tidak hanya mencakup medical benefit tetapi juga tunjangan transport dan pemakaman
  2. Laos : Dr. Bouaphat Phonvisay, membahas mengenai prespektif kesiapan institutional. Saat ini, Laos memiliki 4 schemes yaitu :
    1. Informal population : CBHI, BEF
    2. Formal population: SSO (private sector), SASS (public sector)
      Di Laos, sedang mengupayakan adanya National SHI Authority dan secara progresif menyatukan ke-4 scheme ini. Prasyaratnya adalah:

      1. Menetapkan tujuan dan peran yg helas dari National SHI Authority
      2. Mendefinisikan pengaturan institutional
      3. Membuat tools dan SOP yang diperlukan
      4. Investasi pada SDM
      5. Investasi pada technical and managerial capacity
      6. Finalize adequate institutional and legislative setting
      7. Melakukan pilot atas the merged SHI di beberapa propinsi
      8. Kerjasama yg erat antara MoH and MoSocial Welfare
  3. Vietnam : Dr. Nguyen Thi Thuy Nga

    Pengalaman di Vietnam memberikan arah pada strategi mereka ke depan berupa :

    1. Merubah system kepersertaan individual menjadi kepersertaan secara rumah tangga
    2. Meningkatkan kepersertaan dari sector formal (private)
    3. Untuk Informal sector: harus diputuskan apakah akan contributory or tax-based
    4. Mendefinisikan ulang benefit package (depth)
    5. Reformasi metode provider payment : capitation, case based
    6. Revise co-payment policy (height)
    7. Improve capacity and quality of health care service (untuk menghindari inefisiensi dalam system pelayanan)
  4. Myanmar, membahas mengenai situasi yang ada saat ini yaitu menjadi pilot study pada 2012 yang antara lain berisi :
    1. MCH voucher scheme
    2. Township based (CBHI)

Beberapa komentar yang muncul dari para peserta antara lain :

  1. Pertanyaan kritis yang muncul adalah bahwa kita tidak bisa meng-cover semua orang pada saat yang sama. Kita harus melakukannya pada satu tempat sebagai permulaan.
  2. Sistem pembiayaan dengan kapitasi tidak harus sama bagi setiap orang, melainkan berdasarkan kebutuhan kesehatan
  3. Kontribusi yang diharapkan juga tidak harus sama untuk setiap orang, melainkan beberapa akan membutuhkan subsidi lebih dari yang lain
  4. Tidak ada peluru ajaib

Sistem platform yang diterapkan merupakan sistem informasi terpadu di seluruh skema yang ada. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi penerima manfaat. Walaupun nantinya akan sangat mahal dalam hal biaya administrasi bagi penyedia untuk menangani sistem informasi beberapa yang berbeda dari setiap pembayar yang tentunya berbeda juga.

Perlunya diadakan prioritas untuk setiap hal yang berbeda. Oleh karena itu, perlu diidentifikasi “buah mana yang tergantung paling rendah”. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan adalah (selain dari masalah uang) :

  1. Peningkatan kapasitas pada SDM yaitu meningkatkan ketrampilan orang-orang
  2. Penciptaan permintaan dari pembuat kebijakan: beberapa keterbukaan dalam menghasilkan pengetahuan
  3. Kelembagaan platform: kemampuan dari luar pemerintah untuk memberikan umpan balik ke dalam pembuatan kebijakan

Pada sesi selanjutnya, masih dalam bentuk panel, membahas mengenai Country reports on HCF and UC (middle-income countries)

  1. Thailand: Dr. Phusit Prakongsai. Di sini disampaikan mengenai keberhasilan Thailand dalam beberapa hal yaitu :
    1. Peningkatan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan kebutuhan yang tak terpenuhi sangat rendah.
    2. Perawatan sistem kesehatan lebih pro kepada yang miskin dan distribusi subsidi pemerintah untuk kesehatan setela mencapai universal coverage pada tahun 2002.
    3. Perlindungan terhadap kemiskinan kesehatan dengan turunnya OOP.

    Faktor yang menjadi kunci keberhasilan adalah :

    1. Pajak yang berbasis pada pajak progresif.
    2. Paket komprehensif manfaat

    Hal ini tak luput dari tantangan yang di hadapi pemerintah Thailand, yaitu :

    1. Subsidi pemerintah yang tidak merata antara tiga skema asuransi kesehatan masyarakat
    2. Harmonisasi paket manfaat dan metode penyedia pembayaran antara tiga skema
    3. Ketidakcocokan antara beban meningkatnya penyakit dengan rendahnya promosi kesehatan serta pencegahan penyakit pada investasi NCD.

    Mengaktifkan faktor-faktor tersebut berfokus pada ekuitas dan efisiensi antara lain :

    1. Memperkuat kapasitas sisi penawaran
    2. Kepemimpinan yang kuat dan komitmen berkelanjutan
    3. Kapasitas individu dan kelembagaan yang kuat
  2. Indonesia: Dr. Yulita Hendrartini

    Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia adalah :

    1. Sistem informasi yang belum sempurna
    2. Butuh kapasitas yang lebih: 100.000 + tempat tidur
    3. Roadmap dari pembayar multi untuk pembayar tunggal
    4. Roadmap untuk memenuhi sisi penawaran: partisipasi swasta, dokter keluarga, dll
  3. Philippines: Eduardo Banzon menyampaikan mengenai komitmen politik yaitu : risiko perlindungan keuangan, fasilitas kesehatan dan peningkatan pencapaian yang berhubungan dengan MDGs di sektor kesehatan. Artinya, upaya untuk memperluas paket bantuan berupa :
    1. Memperluas kasus-skema pembayaran
    2. Anggaran pembayaran global
    3. Manfaat perawatan primer dengan rawat jalan dan obat-obatan untuk hipertensi dan diabetes
    4. Kasus ketik Z, yaitu paket untuk penyakit yang parah
    5. PhilHealth Plus yaitu tambahan asuransi kesehatan
    6. Paket pengobatan untuk gigitan hewan
    7. Ditiadakannya penagihan keseimbangan kebijakan (nol pembayaran bersama) untuk anggota sponsor (pajak dialihkan ke SHI)

    Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, beberapa tantangan ditemukan sebagai berikut :

    1. Kesehatan penyedia dimana mereka membentuk perilaku pasar. Terjadi pergeseran sehingga PhilHealth dari akreditasi untuk kontraktor (penyedia komitmen kinerja) akan mendominasi pasar (dasar dari PhilHealth: “Anda menurunkan harga, kami akan membawa Anda pada volume”)
    2. penguatan kapasitas organisasi meningkat untuk memberikan manfaat yang lebih baik dan layanan dengan merombak sistem teknologi informasi
    3. individu membayar program untuk sektor informal

    Hal yang dipelajari:

    1. Buat rencana permainan dengan memberikan campuran yang tepat pada konteks reformasi sendiri
    2. Bertujuan untuk menyenangkan pelangganPenyedia
    3. Pembuat kebijakan dan pelaksana harus belajar lebih cepat
    4. Kemitraan adalah kunci dimana komitmen politik dibutuhkan antara sipil dan LSM untuk memberikan umpan balik.

Pada intinya, yang dapat disimpulkan pada hari pertama Regional Forum on Health Financing hari pertama ini adalah : “Setiap kali kita berkeinginan untuk memindahkan gunung, kita membutuhkan sebuah segitiga sebagai tuas”. Segitiga ini adalah :

  1. Dukungan politik
  2. Akademik/dukungan teknis
  3. Masyarakat sipil
 
Materi-materi Presentasi :

hcf1a

hcf1b

Day I

TOR HCF Laporan Hari I Laporan Hari II Laporan Hari III

Regional Forum on Health Care Financing

Oleh : Shita Listyadewi

Regional Forum on Health Financing yang diselenggarakan pada 2-4 Mei di Phnom Penh bertujuan untuk mempertemukan para pemangku kepentingan (stakeholders), untuk bertukar pengalaman pada scheme design, pelaksanaan, evaluasi, dan scaling up terutama pada kebijakan pembiayaan kesehatan. Selain itu, Forum ini diselenggarakan sebagai wadah untuk berbagi pengetahuan dalam memfasilitasi dasar-dasar dalam pembuatan kebijakan serta menetapkan komunitas para praktisi.

Presentasi yang dipaparkan pada hari pertama dapat diikuti melalui twitter yang dibuat khusus untuk Regional Forum ini yaitu dengan mem-follow #RFHCF.

Hari pertama pembukaan Regional Forum on Health Financing ini dibuka dengan Keynote Speech oleh Joe Kutzin yang merupakan Health Financing Policy WHO Jenewa. Topik dalam Keynote ini disampaikan mengenai International and Regional challenges for health care financing and universal coverage. Dalam pesannya, terdapat beberapa point yang utama yaitu :

  • OOP tetap merupakan masalah di Negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan
  • Perspektif untuk melihat belanja pemerintah dalam adalah fungsi dari konteks fiscal (THE/GDP) dan konteks kebijakan public (THE/total government spending)
    • Konteks fiscal: Negara di Asia mengalami tantangan dalam mengumpulkan pajak untuk pembiayaan tax-based karena kebanyakan pekerjanya adalah sector informal dan sector public.
    • Konteks kebijakan public: data menunjukkan prioritas pemerintah di Negara-negara Asia Tenggara/Selatan masih rendah dalam hal belanja untuk kesehatan.
  • Variasi di antara Negara-negara Asia Tenggara/Selatan menunjukkan bahwa terkadang bukan hanya seberapa banyak uang yang bisa dikumpulkan untuk pembiayaan kesehatan, tetapi juga bagaimana pelayanan diorganisir sehingga penggunaannya efisien dan efektif. Contohnya adalah negara Thailand yang mempunyai contoh baik dalam menurunkan ketergantungan terhadap OOP
  • WHO berkomitmen untuk membantu Negara-negara dalam mencapai Universal Coverage walaupun tidak committed untuk suatu metode tertentu. Koordinasi dalam instrument yang akan dipakai sangat penting untuk memastikan manifestasi dari strategi. Roadmap untuk mencapai Universal Coverage harus “home-grown”.
  • Karena akan selalu ada kelompok yang tidak bisa berkontribusi, Negara-negara akan banyak bergantung kepada general revenues (tetapi sumbernya dari mana tidaklah menentukan) .
  • Ke depannya perlu juga dipikirkan tentang strategic purchasing: linking provider payment to information on their performance or population health needs.
  • Sistem yang fragmented akan menjadi penghalang bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat dan juga antar pemerintah daerah. Mengkoordinasikan ini menjadi tantangan dan akan menyulitkan redistribution of prepaid funds and redistribution of pooling. Fragmentasi terjadi sebagai konsekuensi dari kebijakan politik, kebijakan public atau bahkan alasan historis. Di Thailand sendiri : tiga skema digabung menjadi satu dan didanai oleh pendapatan umum, namun belum sepenuhnya mengatasi kerusakan yang dilakukan oleh “mulai degan sektor formal” . Pada saat ini, yang terjadi adalah agenda menyamakan manfaatnya.
  • Pelajaran dari Negara maju menunjukkan bahwa ada kecenderungan :
    • Starting insurance with the formal sector (contoh: Eropa Barat dan Jepang) ternyata mempertajam inequalities, fragmentasi sisten and sulit untuk di-undo.
    • CBHI biasanya bermasalah dalam low coverage (hanya sekitar 5% dari populasi) tetapi biasanya kegagalannya bukan karena adverse selection tetapi lebih karena orang tidak enrolled

Beberapa key lesson learned dalam moving towards Universal Coverage antara lain:

  • Komplementaritas yang eksplisit untuk sumber dana yang berbeda
  • Berfokus pada mengurangi fragmentasi dan memperluas kolam ukuran
  • Peran pendapatan umum yang eksplisit
  • Strategi pembelian untuk mengatasi inefisiensi bahasa dari sistem
  • Tujuan yang terukur dengan menghubungkan pembayaran manfaat inti

 

Selanjutnya, dalam sesi panel dibahas mengenai : Country reports on HCF and UC (low income countries). Sesi ini diisi oleh Dr. Sok Kanha (DPHI/MOH) dari Kamboja, Dr. Bouaphat Phonvisay dari Laos, Dr. Nguyen Thi Thuy Nga dari Vietnam, dan pembicara dari Myanmar.

  1. Cambodia : Dr. Sok Kanha (DPHI/MOH) menyampaikan mengenai Health Equity Fund, yang digunakan di Kamboja untuk mempromosikan kegunaan prioritas dari Pelayanan Kesehatan Publik. Health Equity Fund dilakukan dalam tiga bentuk yang berbeda :
    1. Model 1: National hospitals  
      Beroperasi dengan subsidi pemerintah tanpa pembayar pihak ketiga, menggunakan direct medical benefit, tanpa tambahan tunjangan apa pun, dilakukan untuk pihak yang sudah diidentifikasi sebelumnya, dan bertanggungjawab terhadap MoH dalam hal penggunaan dana.
    2. Model 2: Sama dengan di atas, hanya perbedaannya pada operatornya yang local.
    3. Model 3: Dibiayai oleh donor, dioperasionalkan oleh HEF implementers dan operatornya local NGOs (HEFoperators), tidak hanya mencakup medical benefit tetapi juga tunjangan transport dan pemakaman
  2. Laos : Dr. Bouaphat Phonvisay, membahas mengenai prespektif kesiapan institutional. Saat ini, Laos memiliki 4 schemes yaitu :
    1. Informal population : CBHI, BEF
    2. Formal population: SSO (private sector), SASS (public sector)
      Di Laos, sedang mengupayakan adanya National SHI Authority dan secara progresif menyatukan ke-4 scheme ini. Prasyaratnya adalah:
      1. Menetapkan tujuan dan peran yg helas dari National SHI Authority
      2. Mendefinisikan pengaturan institutional
      3. Membuat tools dan SOP yang diperlukan
      4. Investasi pada SDM
      5. Investasi pada technical and managerial capacity
      6. Finalize adequate institutional and legislative setting
      7. Melakukan pilot atas the merged SHI di beberapa propinsi
      8. Kerjasama yg erat antara MoH and MoSocial Welfare
  3. Vietnam : Dr. Nguyen Thi Thuy Nga

    Pengalaman di Vietnam memberikan arah pada strategi mereka ke depan berupa :

    1. Merubah system kepersertaan individual menjadi kepersertaan secara rumah tangga
    2. Meningkatkan kepersertaan dari sector formal (private)
    3. Untuk Informal sector: harus diputuskan apakah akan contributory or tax-based
    4. Mendefinisikan ulang benefit package (depth)
    5. Reformasi metode provider payment : capitation, case based
    6. Revise co-payment policy (height)
    7. Improve capacity and quality of health care service (untuk menghindari inefisiensi dalam system pelayanan)
  4. Myanmar, membahas mengenai situasi yang ada saat ini yaitu menjadi pilot study pada 2012 yang antara lain berisi :
    1. MCH voucher scheme
    2. Township based (CBHI)

Beberapa komentar yang muncul dari para peserta antara lain :

  1. Pertanyaan kritis yang muncul adalah bahwa kita tidak bisa meng-cover semua orang pada saat yang sama. Kita harus melakukannya pada satu tempat sebagai permulaan.
  2. Sistem pembiayaan dengan kapitasi tidak harus sama bagi setiap orang, melainkan berdasarkan kebutuhan kesehatan
  3. Kontribusi yang diharapkan juga tidak harus sama untuk setiap orang, melainkan beberapa akan membutuhkan subsidi lebih dari yang lain
  4. Tidak ada peluru ajaib

Sistem platform yang diterapkan merupakan sistem informasi terpadu di seluruh skema yang ada. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi penerima manfaat. Walaupun nantinya akan sangat mahal dalam hal biaya administrasi bagi penyedia untuk menangani sistem informasi beberapa yang berbeda dari setiap pembayar yang tentunya berbeda juga.

Perlunya diadakan prioritas untuk setiap hal yang berbeda. Oleh karena itu, perlu diidentifikasi “buah mana yang tergantung paling rendah”. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan adalah (selain dari masalah uang) :

  1. Peningkatan kapasitas pada SDM yaitu meningkatkan ketrampilan orang-orang
  2. Penciptaan permintaan dari pembuat kebijakan: beberapa keterbukaan dalam menghasilkan pengetahuan
  3. Kelembagaan platform: kemampuan dari luar pemerintah untuk memberikan umpan balik ke dalam pembuatan kebijakan

Pada sesi selanjutnya, masih dalam bentuk panel, membahas mengenai Country reports on HCF and UC (middle-income countries)

  1. Thailand: Dr. Phusit Prakongsai. Di sini disampaikan mengenai keberhasilan Thailand dalam beberapa hal yaitu :
    1. Peningkatan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan kebutuhan yang tak terpenuhi sangat rendah.
    2. Perawatan sistem kesehatan lebih pro kepada yang miskin dan distribusi subsidi pemerintah untuk kesehatan setela mencapai universal coverage pada tahun 2002.
    3. Perlindungan terhadap kemiskinan kesehatan dengan turunnya OOP.

    Faktor yang menjadi kunci keberhasilan adalah :

    1. Pajak yang berbasis pada pajak progresif.
    2. Paket komprehensif manfaat

    Hal ini tak luput dari tantangan yang di hadapi pemerintah Thailand, yaitu :

    1. Subsidi pemerintah yang tidak merata antara tiga skema asuransi kesehatan masyarakat
    2. Harmonisasi paket manfaat dan metode penyedia pembayaran antara tiga skema
    3. Ketidakcocokan antara beban meningkatnya penyakit dengan rendahnya promosi kesehatan serta pencegahan penyakit pada investasi NCD.

    Mengaktifkan faktor-faktor tersebut berfokus pada ekuitas dan efisiensi antara lain :

    1. Memperkuat kapasitas sisi penawaran
    2. Kepemimpinan yang kuat dan komitmen berkelanjutan
    3. Kapasitas individu dan kelembagaan yang kuat
  2. Indonesia: Dr. Yulita Hendrartini

    Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia adalah :

    1. Sistem informasi yang belum sempurna
    2. Butuh kapasitas yang lebih: 100.000 + tempat tidur
    3. Roadmap dari pembayar multi untuk pembayar tunggal
    4. Roadmap untuk memenuhi sisi penawaran: partisipasi swasta, dokter keluarga, dll
  3. Philippines: Eduardo Banzon menyampaikan mengenai komitmen politik yaitu : risiko perlindungan keuangan, fasilitas kesehatan dan peningkatan pencapaian yang berhubungan dengan MDGs di sektor kesehatan. Artinya, upaya untuk memperluas paket bantuan berupa :
    1. Memperluas kasus-skema pembayaran
    2. Anggaran pembayaran global
    3. Manfaat perawatan primer dengan rawat jalan dan obat-obatan untuk hipertensi dan diabetes
    4. Kasus ketik Z, yaitu paket untuk penyakit yang parah
    5. PhilHealth Plus yaitu tambahan asuransi kesehatan
    6. Paket pengobatan untuk gigitan hewan
    7. Ditiadakannya penagihan keseimbangan kebijakan (nol pembayaran bersama) untuk anggota sponsor (pajak dialihkan ke SHI)

    Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, beberapa tantangan ditemukan sebagai berikut :

    1. Kesehatan penyedia dimana mereka membentuk perilaku pasar. Terjadi pergeseran sehingga PhilHealth dari akreditasi untuk kontraktor (penyedia komitmen kinerja) akan mendominasi pasar (dasar dari PhilHealth: “Anda menurunkan harga, kami akan membawa Anda pada volume”)
    2. penguatan kapasitas organisasi meningkat untuk memberikan manfaat yang lebih baik dan layanan dengan merombak sistem teknologi informasi
    3. individu membayar program untuk sektor informal

    Hal yang dipelajari:

    1. Buat rencana permainan dengan memberikan campuran yang tepat pada konteks reformasi sendiri
    2. Bertujuan untuk menyenangkan pelangganPenyedia
    3. Pembuat kebijakan dan pelaksana harus belajar lebih cepat
    4. Kemitraan adalah kunci dimana komitmen politik dibutuhkan antara sipil dan LSM untuk memberikan umpan balik.

Pada intinya, yang dapat disimpulkan pada hari pertama Regional Forum on Health Financing hari pertama ini adalah : “Setiap kali kita berkeinginan untuk memindahkan gunung, kita membutuhkan sebuah segitiga sebagai tuas”. Segitiga ini adalah :

  1. Dukungan politik
  2. Akademik/dukungan teknis
  3. Masyarakat sipil

Materi-materi Presentasi :

hcf1a

hcf1b

Laporan Hari III

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III 

 

Laporan hari 3 (hari terakhir, jalur budaya organisasi dan kepemimpinan)

paris3Pada hari ketiga ini pendekatan Budaya Organisasi dalam safety dan quality menjadi tema pokok konferensi. Keynote speaker pertama adalah David R. Wiliams yang merupakan astronot (3 kali spacewalks) sekaligus sebagai dokter emergency, dan saat ini menjabat sebagai Presiden and CEO Southlake Regional Health Center and Assistant Professor of Surgery, University of Toronto.

Mengamati pembicara ini, terlihat bahwa pengelola Forum mencoba untuk menarik perhatian lebih ke aspek budaya dan membawa pembicara tidak hanya dari dunia penerbangan biasa, namun juga dari astronot yang juga menjadi dokter. Ini mencerminkan keinginan Forum untuk lebih menekankan mengenai budaya mutu. Pembicara menekankan mengenai sifat aerospace yang sangat riskan jika mempunyai kesalahan. Dan sifat ini secara penuh masuk ke budaya organisasi NASA sebagai lembaga yang mengurusi perjalanan angkasa luar. Tantangan pribadi bagi dia adalah bagaimana membawa budaya ini ke lingkungan rumahsakit setelah menjalani misi ulang-alik.

Selanjutnya pembicara menerangkan mengenai bagaimana karyawan Nasa bangga menggunakan badge. Dimana mana dipakai. Merayakan budaya organisasi merupakan hal yang sangat kuat di NASA. Shared value dan ada fokus pada culture safety. Pertanyaan kritisnya adalah mengapa pada tanggal 28 Januari 1986 terjadi failure pada peluncurannya Challenger. Ini adalah kesalahan sangat fatal, dan mereka pelajari.

NASA melakukan analisis pada saat decision making peluncuran. Ada sebuah hal menarik yang ditemukan yaitu: “Normalization of Deviance”. Mereka melihat bahwa ada suatu situasi dimana yang menyimpang dianggap normal. Situasi ini ternyata fatal.

Sebagian pihak di NASA percaya bahwa sulit ada kelainan di permesinan. Mesin tidak pernah gagal. Sayangnya sebagian di NASA tidak menggunakan data dari tes, namun lebih banyak eksperience. Normalization of Deviation juga terjadi saat Columbia terbakar habis pada saat re-entry ke bumi. Tapi NASA tidak menyerah dan terus melakukan perbaikan sampai penerbangan ulang-alik dihentikan.

Apakah Normalization of deviance ada di kesehatan? Ya ada dan banyak menurut pembicara. Hal ini yang perlu diperbaiki.

Kembali ke NASA. Dalam pengembangan SDM termasuk pelatihan astronot, ada yang menarik bahwa ada training untuk menjadi leader, namun juga ada training menjadi follower yang baik. Disamping itu ada penekanan luar biasa mengenai bekerja dalam satu team dan secara interprofesi. Hal-hal ini dibawanya ke kehidupan di rumahsakit dimana dilakukan pengembangan clinical leadership. Kultur yang dikembangkan adalah: Work in a team and Build Team Emotional Intelligence. Ini menyangkut kepercayaan terhadap anggota, mempunyai identitas kelompok yang kuat, mempunyai sense of group efficacy,mempunyai komitmen ke kelompok, dan mempunyai ketrampilan untuk interaksi antar perorangan yang baik.

Refleksi ke Indonesia. Pada pertemuan ini Forum berusaha merefleksikan budaya safety dan mutu tidak hanya dari penerbangan biasa, tapi sampai ke aerospace dan juga balapan formula 1. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa mereka ingin benchmark yang lebih tinggi, yang oleh sebagian pihak mungkin dianggap berlebihan. Indonesia bagaimana? Hal ini menarik karena ternyata budaya organisasi belum banyak dipahami di rumahsakit. Masih banyak fragmentasi yang terjadi atau bahkan tidak menyadari bahwa ada satu faktor kunci besar dalam mutu dan safety yaitu budaya yang terkait erat dengan perilaku tenaga kesehatan, manajer rumahsakit, dan pemilik.

Sesi Creating a Culture of Excellence

Sesi in diselenggarakan di Amphiteater Utama. Hal ini membuktikan bahwa budaya organisasi memang menjadi isu utama dalam peningkatan mutu dan safety di pelayanan kesehatan. Pembicaranya adalah James Anderson, Michael Dowling, Gary Kaplan, dan Andrea Kabcenell RN

Sebagai fasilitator, Andrea menyatakan bahwa budaya adalah alat strategi untuk pengembangan diri. Strategi tanpa dilandasi budaya organisasi yang kuat akan sulit berjalan. Konsep Budaya organisasi disini banyak mensitasi dari bukunya Schein. Disadari bahwa budaya organisasi tidak banyak dipakai di kesehatan. Namun sudah mulai diterapkan dengan menggunakan beberapa step kunci untuk perubahan budaya, antara lain: Menetapkan Tujuan, melakukan identifikasi perilaku yang mencerminkan budaya. Memberikan dukungan untuk perilaku yang baik dalam sistem informasi, kebijakan SDM, pelatihan, kepemimpinan, dan insentives serta peran para pemimpin yang terus mempromosikan perilaku dan pesan-pesan.

Dalam menciptakan kultur menuju ke prestasi cemerlang diperlukan katalis yang terkait dengan: Tujuan, identifikasi perilaku, struktur dan metode dalam governanc, training, incentives, rules, dan sistem mengkontrak tenaga dan peralatan. Diharapkan ada perubahan perilaku, perubahan sikap dan akhirnya perubahan iklim organisasi dan perubahan budaya. Konsep ini dijalankan oleh beberapa rumahsakit yang dibahas pada sesi ini:

James M. Anderson yang mengarahkan perubahan di RS Anak anak Cincinnati sebagai Presiden dan CEO tahun 1996 sampai 2009. Prinsip dasar yang dipergunakan adalah: RS merupakan lembaga yang sangat kompleks dan mempunyai sistem yang saling tergantung.Hanya dapt berjalan baik jika semua komponen berjalan mendekati semua.

Sebelum tahun 1996 dilakukan sebuah pembaharuan: To be the leader in improving Child Health. Dalam penyusunan visi ini ada terkandung pertanyaan: Mengapa tidak semua pelayanan, Apa hasil yang akan kita berikan dalam pelayanan? Dan bagaimana kita akan mengukur hasil kita?

Kemudian di tahun 1999 ada perubahan kepemimpinan: CEO dan kepala Board yang baru yang tidak mempunyai pengalaman di kesehatan namun mempunyai komitmen kuat. Saat itu yang terjadi adalah Cultur of No. Bekerja terpisah pisah seperti dalam silo silo. Tidak ada ukuran mengenai keberhasilan lembaga. Pencapaian melalui usaha individu bukan usaha kelembagaan. Struktur Organisasi tidak ccock untuk perubahan transformasional. Oleh CEO yang baru dilakukan perubahan budaya melalui Menciptakan unit usaha yang partisipatif. Dilakukan dalam pelayanan klinik seperti jantung, psikiatri, dll. Unit usaha ini:

  1. Dipimpin oleh dokter dan perawat serta business leaders
  2. Punya akses ke tim pemimpin senior
  3. Merombak sistem kerja yang terfragmentasi dalam silo-silo

Dalam pelaksanaannya menggunakan banyak pertemuan yang terukur dan rutin terprediksi; menggunakan laporan yang berbasis temp-plate untuk aspek Keuangan dan Non Keuangan. Menggunakan alat lainnya seperti penggunaan data real time, menyusun rencana strategis yang baik, transparansi, sistem yang reliabel, dan belajar dari industri lain yang juga high risk. Terakhir struktur organisasi harus merefleksikan prioritas dan mekanisme yang akan dilakukan, dan mendukung semangat Risk taking serta pencapaian share vision dan high aspiration.

Michael Dowling menggunakan nilai-nilai Sistem- Excellence dan Customer Focus dalam pengembangan budaya organisasi untuk peningkatan mutu pelayanan. Ciri-ciri organisasi yang besar menurut Dowling adalah selalu ingin berkembang, mempunyai semangat belajar terus menerus termasuk belajar ke industri lain, mempunyai budaya yang excellence. Dasar perubahan antara lain: pemimpin harus dapat menerangkan mengenai landscape perubahan. Landscape ini harus dipahami oleh semua karyawan, lengkap dengan tahapan proses perubahannya. Jelas mengenai tujuan perubahan; Menciptakan lingkungan yang selalu belajar. Disamping itu perubahan perlu pada SDM dengan fokus pada leadership dan kaitannya dengan pasien sebagai pengguna, mengharapkan SDM selalu saling komunikasi. Dalam pengembangan SDM perlu memperhatikan secara seksama rekrutmen, pengembangan karyawan yang berbakat, mencari pemimpin-pemimpin masa depan yang potensial, dan merencanakan suksesi kepemimpinan. Berbagai pengembangan tersebut didukung dengan perubahan struktur organisasi yang semula tidak tepat menjadi lebih mendukung. Dalam konteks pelayanan perubahan menggunakan simulasi simulasi untuk peningkatan pengalaman, agar mendapat masukan dan input.

Gary Kaplan dari Virgina Masin Medical Center USA merubah budaya dengan pendekatan Strategic Plan yang disusun dengan baik. Dalam strategic plan pasien ditempatkan di posisi yang sangat penting untuk pelayanan. Pasien sebagai pengguna. Penyusunan rencana strategis dilakukan dengan semangat perubahan yang dapat dilihat dari pernyataan visinya. Namun ternyata mengalami kesulitan dalam melakukan perubaha. Mengapa sulit sekali merubah? Ada banyak faktor, antara lain budaya organisasi yang enggarn berubah, kekurangan shared vision, harapan yang tidak sampai, merasa tidak penting dan adanya kepemimpinan yang tidak efektif.

Dari titik ini diperlukan perubahan berbagai asumsi, termasuk pemikiran lama adalah sikap dokter yang mewarisi pemikiran yang sulit diubah karena mempunyai otonomi dan ada priviledge. Perlu penekanan mengenai peningkatan keselamatan dan mutu pelayanan yang memberikan pengalaman pelayanan yang baik. Oleh karena itu dalam rencana strategis diperlukan Strategic Vision yang dapat dipahami dokter dan lembaga.

Dalam proses perubahan yang dialami memang diperlukan kepemimpinan yang menetapkan arah. Pemimpin ini memberikan tanda-tanda yang mampu mengurangi ketidakpastian dan kebimbangan mengenai apa yang penting dan bagaimana cara rumahsakit bertindak. Para pemimpin di rumahsakit juga harus mampu mengangkat mereka yang distress dan menjadi sponsor perubahan.

Lebih lanjut Kaplan menyatakan bahwa pengalaman menunjukkan para pemimpin perlu menguraikan visi keberhasilan, menetapkan tujuan dengan jelas, menyediakan resources, menghilangkan penghalang-penghalang dan merayakan keberhasilan-keberhasilan yang diraih. Jika ada yang harus diberikan, para pemimpin harus mengucapkan terimakasih. Dalam menangani masalah para pemimpin dirumahsakit harus mengatasi sendiri, mengenal dan memahami seluruh SDM serta mampu menghubungkan berbagai titik dalam jaringan kerja. Disamping itu pemimpin harus mempunyai rasa, hati yang baik dan pandangan jernih. Pengalaman menunjukkan perlu keberanian dalam mengelola dan memimpin perubahan. Pengalaman yang dapat dilihat adalah merubah staf yang skeptis pada perubahan menjadi champion.

Refleksi untuk Indonesia:

Model perubahan budaya ini menarik karena membutuhkan waktu yang cukup lama dan proses perubahan detil yang membutuhkan leadership kuat. Tidak gampang untuk mencari RS di Indonesia yang berhasil melakuan perubahan. Ada dua yang saya ketahui adalah RSD Banyumas dan RSD Tabanan. Namun perubahan budaya ini sudah lama dilakukan. Dalam konteks RS yang berada dalam situasi BLU dan Jamkesmas saat ini belum ada riset operasional mendalam mengenai perubahan budaya di RS pemerintah. Untuk RS pendidikan belum pernah dilakukan dan mungkin sangat membutuhkan perubahan budaya. Pertanyaan pentingnya adalah apakah para manajer dan konsultan manajemen rumahsakit dan mutu memperhatikan aspek budaya organisasi? Forum di negara maju sangat memperhatikan budaya organisasi. Logikanya Indonesia sebagai negara sedang berkembang mempunyai tantangan lebih besar dalam menata budaya organisasi agar dapat mendukung pelayanan yang bermutu dan aman .

Pengembangan Kepemimpinan untuk mutu

Sesi setelah makan siang membahas mengenai pengembangan kepemimpinan untuk peningkatan mutu. Sesi ini difasilitasi oleh Robert Varnam, Martin Vogel, David Labby, dan Richard Grol. Inti pembicaraan pada sesi adalah bagaimana mengawinkan antara manusia dengan teknologi. Secara praktis dapat dilihat bahwa perkembangan teknologi menghasilkan sistem pelayanan kesehatan yang semakin kompleks. Di dalam sistem yang semakin kompleks ini ada SDM yang perlu dipimpin. Tantangan ini yg dikerjakan oleh NHS Inggris selama bertahun tahun. Salahsatu toolnya adalah PDSA (Plan, Do, Study, Action). Pengkawinan antara perbaikan sistem dan leadership menjadi hal menarik karena sistem yang kompleks perlu didukung oleh leadership yang mungkin mempunyai tingkat kecanggihan yang lebih kompleks.

Dalam konteks pengembangan sistem ini, bagaimana karyawan merespon terhadap change? Yang menarik salahsatu pembicara menyataka bhawa sebagian besar orang punya pengalaman menyenangkan tentang perubahan. Perubahan yang baikpun mungkin tidak dapat dilakukan.

Sebagai gambaran, ada kemungkian sebuah ide brilian disampaikan ke karyawan. Tapi ternyata tidak menarik bagi sebagian besar orang. Akibatnya perubahan gagal. Intinya proses perubahan tidak dapat menghasilkan hasil kalau tidak ada dukungan dari seluruh pihak. Jadi perubahan perlu ada dukungan, penerimaan, dan partisipasi dari banyak pihak. Situasi ini yg akan membawa hasil. Dalam hal ini kultur organisasi berpengaruh.

Bagaimana hubungan perubahan sistem denan karyawan dan pemimpinnnya. Ada banyak contoh. Orang ingin ke berubah ke suatu tujuan lebih lanjut. Tapi mereka lebih kawatir tentang bagaimana perjalanan sampai ke sana.

Pertanyaan lebih detil mengapa ada proses perubahan yang gagal? Hal ini perlu dilihat dalam konteks proses. Tahap 1 dalam perubahan adalah melakukan diagnosis situasi kelembagaan yang ada saat ini. Apa yang terjadi? Bagaimana hubungan sistem dengan orang. Pada tahap ini munkin sudah ada kegagalan.

Tahap 2 adalah bagaimana merancang design yang disengaja. Dalam hal ini menyusun visi dalam rencana strategis haruslah mendalam. Visi harus disusun dari hati. Tantangannya bagaimana mencari visi yang memberikan ilham bagi banyak pihak. Hal ini dapat dicari dari pergi ke konferensi, diskusi dengan banyak karyawan dll. Inti dari memulai disain perubahan adalah bagaimana mengajak berbagai pihak untuk melihat ke depan. Perlu menggunakan ceritera, diagram, dan gambaran. Kemudian rancangan ini dijalankan dan dipimpin dengan komitmen yang kuat. Tanpa ada desian dan visi jelas, maka perubahan dapat gagal.

Hambatan Politik dalam Peningkatan Mutu

Sesi berikutnya adalah mengenai bagaimana politik dapat menghambat pengembangan mutu. Namun sebaliknya, tekanan politik dan keterbukaan dapat meningkatkan mutu. Tema ini dipilih dalam diskusi dengan bahasan sebuah masa ketika terjadi kematian yang tinggi pada bedah jantung anak di RS Bristol Inggirs. Ternyata ada masalaah didalam pelaporan safety. Pelaporan sebelumnya berlangsung tertutup, dan menjadi hal yang terkait politik. Namun kemudian ada tekanan publik untuk membuka mengapa kematian meningkat. Dengan tekanan publik ini kemudian dilakukan penyelidikan dan ternyata hasilnya menarik. Setelah penyelidikan data menunjukkan kematian menurun.

Dalam laporan kasus ini disebutkan bahwa ada masalah yang sangat besar yaitu adanya culture of denial (budaya menyangkal) walaupun sebagian besar staf merasakan adanya masalah dan memikirkannya. Berdasarkan pengalaman ini, selama bertahun-tahun dilakukan pengembangan untuk mengurangi kultur ini. Salahsatu kuncinya adata keterbukaan data. Pada tahun 2010 NHS mengeluarkan kebijakan nasional mengenai monitoring. Hal ini penting untuk memantau hasil. Penilaian didasarkan pada Hospital Standardized Mortality Ratios yg disusun oleh Imperial College. Di dalam transparansi ini banyak pihak yang terlihat, termasuk pressure group dari kelompok masyarakat dan Independent inquiry juga ada.

Di dalam proses ini gejala Normalization of Deviance juga ditemukan (Lihat laporan sebelumnya). Gelaja ini pada intinya ada situasi yang membiarkan dan menganggap biasa penyimpangan; mengapa kita membiarkan hal hal yang buruk, kenapa tidak diatasi. Contohnya antara lain: tidak cuci tangan dengan benar, tidak mengikuti protokol, dokumentasi buruk, menggunakan pakaian rumahsakit di rumah, dan lain sebagainya.

Normalization of deviance bisa menjadi awal dari merosotnya kelembagaan yang akhirnya menjadi gejala organizational deviance.Terjadi penyimpangan oleh lembaga dari hal-hal yang benar. Sebuah data menarik menunjukkan bahwa pasien yang dioperasi pada hari Jumat mempunyai risiko kematian lebih tinggi dibanding pasien yang dioperasi hari Senin sampai Rabu. Penanganan oleh residen baru juga lebih berbahaya dibanding yang senior. Sebagai catatan: Columbia crash (kembali) berasal pada kultur buruk yang mengacuhkan adanya penyimpangan dan membiarkan.

Bagaimana mencegah Normalization of deviance? Apakah bisa melindungi karyawan yang menjadi peniup peluit (whistler blower) mengenai sesuatu yang menyimpang? Apakah perlu tekanan publik dan media? Sebagai catatan RS Bristol berubah menjadi lebih baik lagi dalam waktu duapuluh empat bulan setelah penyelidikan dilakukan.

Kunci lain adalah budaya organisasi yang dapat menangkal gejala Normalization of Deviance. Budaya ini antara lain menyangkut semangat untuk menyadari bahwa pekerjaan di RS sangat renta pada error, menentang keras terjadinya normalisasi penyimpangan, dan kegiatan untuk keselamataan. Apa yg dibutuhkan? Berbagai hal dilakukan antara lain: Continous quality control, reguler audits, menjauhkan gerakan mutu dari pengaruh buruk politisi namun tetap menggunakan politik untuk perbaikan mutu, dan publikasi data penting untuk pasien and klinisi dalam konteks pengambilan keputusan yang transparan.

Sesi Penutupan

Sesi penutupan dilakukan dengan presentasi akhir oleh Professor Donald Berwick yang sangat terkenal dalam konsep mutunya. Judulnya adalan Towards an Ethics of Improvement. Pidato penutupan ini dilakukan dengan pemaparan mengenai pengalaman pribadinya melakukan error dan bagaimana perasaannnya.

paris3aProf Berwick menceriterakan: Pada awal tahun 70an saya menjadi dokter residen di sebuah RS di Boston.

Saya mengalami kejadian yang tdak pernah saya lupakan. Bayi yang seharusnya dapat ditolong tetapi menjadi bermasalah karena kesalahan saya. Pada awalnya saya tidak tahu mengapa salah. Mengapa ada yang salah…ternyata ada yang salah dalam melakukan transfusi….dan saya tidak memperhatikan. Saya mengakui betapa bodohnya saya…dan saya diam saja.

Senior saya yang tahu hanya menyatakan jangan sedih, banyak yang melakukan kesalahan. Waktu itu saya bingung apa yang harus saya lakukan. Saya kerjakan nothing…Dalam kasus tersebut saya merasakan ada sesuatu yang salah. Kenapa saya diam. Hal ini tidak etis. Merasakan sebuah kesalahan dan diam sebenarnya melanggar etika, tapi waktu itu saya tidak tahu harus bagaimana. Di sisi lain saya juga mengalami ketakutan tentang kesalahan ini.Dengan pengalaman ini saya mengusulkan dalam pengembangan mutu pelayanan perlu dimasukkan komponen etik. Juga pada apa yang disebut dengan waste (hal yang terbuang sia-sia) dalam pelayanan kesehatan. Banyak pemborosan saat ini yang terus akan berkembang. Tindakan medik yang tidak diperlukan atau terlalu banyak merupakan sumber pemborosan. Hal ini juga harus dikaitkan dengan etika. Kita tidak boleh membiarkan hal ini terjadi terus. Sebaiknya masuk sebagai etika.

Dalam penutup, Professor Berwick mengusulkan An Ethics Of Improvement yang tersusun atas:

  1. Professionals have a duty to help improve the systemes in which they work
  2. Leaders have duty to make no 1 logical, feasible, and supported
  3. No excuses for inaction of no 1 and no 2 are acceptable
  4. The duty to improve encompasses safety, effectiveness, patient centeredness, timeliness, efficiency, and equity. This requires the continual reducation of waste
  5. Those who educate professionals have a duty to prepare them for this improvement work.

Pidato penutupan tersebut sangat mengesankan sehingga ketika selesai peserta Forum melakukan standing ovation. Panitia Forum kemudian menutup acara dan mengumumkan bahwa pertemuan tahun depan (2013) akan diselenggarakan di London.

Refleksi akhir mengikuti Forum

Sebelum mengikuti Forum di Paris ini saya sudah menyadari bahwa ini adalah Froum untuk negara maju. Hal ini terbukti dari pembicara dan peserta yang sebagian besar berasal dari negara maju. Namun juga banyak poster yang mulai berasal dari negara-negara sedang berkembang, termasuk Thailand dan Indonesia (dari saya mengenai Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak dalam program Sister Hospital NTT). Pertanyaan menariknya adalah apakah mengikuti Forum ini berguna?

Saya pribadi melihat bahwa pengelola pelayanan kesehatan di Indonesia, Kementerian Kesehatan, juga para pimpinan RS Swasta dan pemerintah di Indonesia perlu untuk mengikuti Forum ini. Mengapa? Dengan mengikuti forum ini saya dapat melihat betapa semakin majunya pengembangan mutu dan keselamatan pelayanan kesehatan di negara maju. Selama mengikuti Forum ini saya selalu bertanya: Apakah pelayanan kesehatan di Indonesia akan mampu dan akan sampai ke level negara maju dalam safety and quality ini? Apa visi Indonesia dalam pelayanan kesehatan? Ataukah kita hanya sampai pada situasi yang tidak punya visi yang harus diwujudkan?

Hal ini tentu perlu kita sikapi dalam menentukan kebijakan nasional untuk pengembangan mutu. Sebagai gambaran ada pertanyaan yang sederhana; Bagaimana strategi nasional untuk peningkatan mutu dan safety di Indonesia. Kemudian bagaimana di level propinsi dan kabupaten? Apakah kita akan menyerahkan ke lembaga-lembaga independen dengan peran minimal negara? Atau bagaimana? Pengalaman di negara maju, saat ini NHS Inggris berperan sebagai leader dalam pengembangan mutu dan safety pelayanan kesehatan.

Ada baiknya refleksi ini dapat dibahas di Indonesia. Mutu dan keselamatan pasien ini menjadi semakin penting dalam era Jamkesmas dan SJSN. Apakah pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin akan lebih rendah mutunya dibanding bagi mereka yang mampu membayar dengan kantong sendiri? Hal ini menjadi tantangan tersendiri: bagaimana menjamin mutu bagi pasien SJSN dan Jamkesmas/Jamkesda. Apakah hal ini juga akan terkait dengan pengembangan residen sebagai tenaga kesehatan yang mempunyai kontrak dengan RS seperti yang digariskan dalam RUU Pendidikan Kedokteran? Banyak hal saling terkait yang perlu dibahas.

Dalam konteks pembahasan di Indonesia, diharapkan Jaringan Mutu Kesehatan Indonesia (Indonesian Health Quality Network) dapat terus berkembang untuk terus mempercepat peningkatan mutu. Kemudian untuk pertemuan di London, saya berharap bahwa ada peserta dengan jumlah cukup dari Indonesia. Pada tahun ini saya ikut dan mengambil jalur Transformational Change, Workforce and Culture, serta Leadership. Masih banyak jalur lain yang perlu dipelajari oleh kita, antara lain: Safe and reliable care, Better value and Lower Cost, Clinical Improvement, Patient engagement, Primary Care, sampai Technology for Improvement. Daftar acara dapat dilihat di website forum: http://internationalforum.bmj.com/. Secara keseluruhan Forum ini bagus untuk diikuti banyak pihak di Indonesia antara lain: Direktur RS, Direktur Pelayanan Medik, Ketua Komite Medik, Dokter Spesialis, Perawat Manajer, sampai ke pejabat Kementerian Kesehatan yang bertanggung-jawab pada mutu. Apabila banyak pihak yang berminat ikut, diharapkan berangkat dalam bentuk team.

Dengan mengirim peserta dalam bentuk team, diharapkan kita dapat mempelajari secara utuh (di berbagai jalur) perkembangan mutakhir tentang Mutu dan Safety dalam pelayanan kesehatan di dunia. Pengiriman team ini dapat disiapkan dengan cara ikut aktif menyusun paper atau poster untuk disajikan di Forum. Kemudian sebelum pergi ke Forum sudah menyiapkan diri dan pemahamannya. Selama mengikuti Forum diharapkan ada diskusi mendalam dengan peserta dari berbagai negara, dan dari juga sesama peserta dari Indonesia. Sementara itu pasca mengikuti Forum dapat membahas secara terpadu hasil dari berbagai jalur. Memang biaya mengikuti cukup mahal dan perlu kerjasama team. Saya menilai bahwa apabila kita yang bekerja dalam pengembangan mutu dan keselamatan pasien dapat mengikuti Forum di tahun 2013 secara team, maka kegiatan mendatang dapat disebut sebagai investasi bangsa.

Paris, 21 April 2012

Laksono Trisnantoro