4 Bulan Lagi JKN Berlaku, Layanan Kesehatan Dibenahi!

Kementerian Kesehatan berupaya meningkatkan pelayanan kesehatan seperti kondisi rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya dalam menyambut diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional pada 1 Januari 2014.

“Betul bahwa pelayanan kesehatan harus terus ditingkatkan dan dipersiapkan, kita masih memiliki waktu empat bulan untuk melakukan penyempurnaan,” ujar Sekretaris Jenderal Kemenkes Supriyantoro di Jakarta, Jumat (23/8/2013).

Supriyantoro mengemukakan, pihaknya menyadari bahwa beberapa rumah sakit di daerah belum siap menghadapi diberlakukannya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berupa JKN pada Januari 2014.

“Untuk daerah-daerah yang belum siap, maka BPJS wajib memberikan kompensasi kepada daerah tersebut. Itu bagian dari proses. Kami memang harus memperbaiki pelayanan kesehatan,” katanya.

Menurut Supriyantoro, salah satu tantangan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan adalah soal komunikasi yang baik antara petugas kesehatan dengan para pasien, meskipun beberapa rumah sakit sudah diperbaiki.

“Kurangnya komunikasi yang baik di rumah sakit itu bisa menyebabkan pasien Indonesia memilih berobat ke luar negeri. Meskipun sebenarnya pengobatan di Indonesia tidak kalah baik,” ujarnya.

Untuk itu, lanjutnya, Kemenkes akan membentuk Badan Pengawas Rumah Sakit di daerah-daerah sebagai upaya untuk mengawasi dan meningkatkan pelayanan kesehatan.

Tidak hanya itu, Supriyantoro mengatakan agar masyarakat dapat melaporkan berbagai kasus di bidang kesehatan yang dianggap melanggar norma kepada Dinas Kesehatan setempat atau ke pihak Kemenkes dengan menghubungi 500567.

“Jadi, kalau terjadi kasus terkait pelayanan kesehatan yang mengecewakan itu bisa disampaikan, namun perlu ada bukti untuk mendukung laporan tersebut,” ujar Supriyantoro.

sumber: health.liputan6.com

 

SOHO Perkenalkan Produk Herbal yang Teruji Klinis

Jamu dan Obat Herbal Terstandar (OHT) adalah dua jenis obat – obatan herbal yang umum dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun sebagai alternatif pengobatan kimiawi.

Khasiatnya pun mulanya beredar dari testimoni mulut ke mulut orang yang sembuh dari suatu penyakit setelah rutin mengonsumsi obat herbal.

Hal ini diperkuat oleh data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 bahwa hampir 96 persen masyarakat Indonesia percaya dan menyatakan bahwa jamu bermanfaat bagi kesehatan.

Namun yang perlu diperhatikan, tanpa adanya uji klinis, para dokter memiliki kendala dalam meresepkan obat – obatan herbal ini, karena mereka diharuskan untuk menerapkan Evidence Based Medicine (EBM) pada setiap obat yang diresepkan.

Selain itu, menurut dr. Arijanto Jonosewojo, Sp.PD., obat herbal berisiko memunculkan penyakit lain jika tidak mengerti indikasi dan dosis yang seharusnya.

“Jus belimbing memang bisa untuk turunkan kadar kolesterol dan tekanan darah. Tapi, kalau si pasien juga mengidap penyakit ginjal, justru semakin bahaya,” kata Kepala Program Studi Obat Tradisional Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini.

Pada pasien penyakit ginjal, racun saraf yang terdapat dalam belimbing tidak dapat disaring dan dibuang sehingga dapat berisiko mengancam kerja otak.

Melihat fenomena obat – obatan herbal ini, perusahaan farmasi SOHO Group memperkenalkan produk fitofarmaka, yaitu obat herbal yang telah lulus uji klinis mumpuni lewat Seed To Patient.

“Seed To Patient adalah konsep dimana kami mengontrol secara ketat dan menyeluruh proses pembuatan obat herbal. Mulai dari proses penanaman benih, panen, ekstraksi, pembuatan dan pengepakan, uji klinis, hingga produk tersebut sampai di tangan konsumen,” ujar Nick Burgess, Professional Liaison and Education Manager SOHO Flordis International.

Pada grand launching Seed To Patient, Kamis (22/8), SOHO Group juga sekaligus menghadirkan dua produk obat herbal andalan, yaitu Prospan dan Ginsana yang sudah teruji klinis.

Prospan dibuat oleh perusahaan asal Jerman, Engelhard Arzneimittel, yang telah menjadi obat batuk herbal nomor satu di dunia (IMS, 2011). Prospan berbahan dasar ekstrak daun ivy kering yang memiliki tiga aksi teurapeutik (mengencerkan dahak, melegakan saluran pernafasan, dan meredakan batuk.)

Sedangkan Ginsana berfungsi sebagai anaktogen yang dapat meningkatkan dan mempercepat metabolisme tubuh. Diproduksi di Swiss, Ginsana terbuat dari ekstrak Panax Ginseng C.A Meyer yang juga berfungsi untuk meningkatkan fungsi paru – paru dan aktifitas pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (COPD).

“Permasalahan utama pada produksi obat herbal tradisional adalah sulitnya mengidentifikasi jenis tanaman dan proses produksi yang seting tidak konsisten. Ini tentu dapat mempengaruhi efektifitas hasil akhirnya,” ungkap Burgess.

Program Seed To Patient, jelas Burgess, telah bekerjasama dengan ilmuwan dan peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk menjamin konsistensi kualitas bahan obat – obatan herbal serta proses produksi.

sumber: www.beritasatu.com

 

Standarisasi Obat Herbal Jadi Tantangan Baru Dunia Kesehatan

OBAT herbal sudah diketahui dan digunakan meluas di Indonesia. Namun, rata-rata obat herbal di Indonesia belum terstandarisasi dengan baik.

Menurut data dari Riset kesehatan Dasar (RisKesDas) 2010, sebanyak 55, 3 persen masyarakat Indonesia menggunakan jamu untuk menjaga kesehatan. Pada mulanya, eksistensi obat herbal berasal dari testimoni orang yang sudah sembuh dari suatu penyakit, tapi saat obat herbal yang dikonsumsi belum teruji klinis pada akhirnya akan sulit menggeneralisir khasiat dari obat herbal tersebut.

Di Indonesia obat herbal terbagi menjadi tiga jenis, yakni jamu, obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka. Di mana pada jamu belum dilakukan uji klinis apa pun dan khasiatnya untuk menyembuhkan penyakit hanya berdasarkan informasi yang diwariskan turun menurun. Sedangkan untuk OHT, sudah dilakukan standarisasi bahan baku produk seperti dari ekstrak tumbuhan serta telah dilakukan uji praklinik dengan hewan dan terbuki berkhasiat dan aman diuji pada hewan. Terakhir pada fitofarmaka, sudah dilakukan standarisasi bahan produk serta telah dilakukan uji klinis (uji pada manusia, setelah pada uji hewan berkhasiat dan aman), yang membuktikan keamanan dan khasiatnya.

Menanggapi hal itu, Dr. Arijanto Jonosewojo, Sp. PD selaku Kepala Poliklinik Komplementer Alternatif RSU Dr. Soetomo-Surabaya menjelaskan bahwa dengan banyak obat herbal yang belum terstandarisasi, nantinya obat herbal menjadi tantangan tersendiri di dunia kesehatan.

“Obat herbal pada akhirnya akan menjadi kendala ketika masuk ke dalam layanan kesehatan formal. Pasalnya, dokter dituntut untuk menerapkan Evidance Based Medicine (EBM) pada setiap obat yang diresepkan. Tetapi, sayangnya kebanyakan obat herbal yang beredar di Indonesia berada pada kategori jamu dan OHT,”katanya dalam acara yang bertema Peluncuran Seed to Patient, di Le Meridien, ruang Puri Asri 1, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2013).

Tak hanya itu, tambah dia, banyak masyarakat yang menganggap bahwa obat herbal itu aman 100 persen, padahal obat herbal tertentu itu harus dievaluasi dengan baik atau diobservasi secara mendalam. Menurutnya, opini yang menyatakan bahwa obat herbal lebih aman dari obat kimiawi mungkin benar, tapi mereka tak bisa mengobati secara optimal suatu penyakit karena belum terstandarisasi.

Melihat fakta tersebut, Soho Group yang merupakan perusahaan farmasi menawarkan produk herbal Ginsana & Prospan yang sudah teruji klinis dan mungkin bisa dijadikan referensi pengobatan untuk masyarakat, serta dokter guna meresepkan obat herbal kepada pasien.

“Ginsana mengandung ekstrak panax ginseng G115 (100 mg) yang berguna untuk meningkatkan performa fisik dan waktu pemulihan, menigkatkan fungsi paru-paru dan aktivitas pada pasien dengan penyakit paru obstruktif (COPD). Ginsana menggunakan bahan dasar ginseng yang diperoleh dari Korea dan cina dan diproduksi di Swiss. Hinggi kini, Ginsana sudah ada 40 negara di dunia. Sedangkan untuk Prospan, merupakan obat batuk yang berbahan dasar ekstrak daun ivy kering yang berasal dari Jerman. Prospan memiliki tiga aksi dalam mengatasi batuk, yaitu mengencerkan dahak ( sekretolitik), melegakan saluran pernafasan ( bronkospasmolitik) dan meredakan batuk itu sendiri (cough-relieving). Menurut data dari IMS tahun 2011, Prospan adalah obat yang nomor satu di dunia,”kata Nick Burgess, selaku Profressional Liaisom and Education Manager SOHO Flordis Internasional.

Ditambahkannya bahwa pembuatan dari kedua obat itu sudah melalui serangkaian uji klinis, dimulai dari proses penanaman benih hingga produk di tangan konsumen. (ind)

sumber: health.okezone.com

 

Belum Teken FCTC, Indonesia Rugi Empat Hal

Sampai saat ini hanya Indonesia dari seluruh negara di Asia yang belum menandatangani dan mengakses Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau.

“Padahal FCTC bertujuan untuk melindungi generasi masa kini dan masa mendatang dari dampak konsumsi tembakau dan paparan asap rokok terhadap kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi,” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan Murti Utami dalam rilisnya yang dikirim ke ROL.

Akibat belum menandatangani dan mengakses FCTC ada empat kerugian yang dialami Indonesia. Pertama, saat ini Indonesia merupakan target pasar atau tujuan utama pemasaran industri rokok multi nasional yang berisiko merusak kesehatan generasi bangsa dan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.

Kedua, konsumsi rokok di Indonesia akan semakin meningkat tajam terutama di kalangan kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil dan penduduk miskin. Hal ini akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian terkait penyakit akibat konsumsi rokok.

Ketiga, Indonesia tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti Conference of Party, yaitu konferensi negara-negara yang telah meratifikasi FCTC untuk memperjuangkan kepentingannya dan terlibat dalam negosiasi penerapan panduan dan protokol FCTC.

Keempat, Indonesia kehilangan harkat dan martabat sebagai negara yang melindungi dan bertanggung jawab meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Lebih lanjut Murti mengungkapkan Indonesia adalah negara urutan kedelapan produsen tembakau di dunia. Tiga negara penghasil tembakau terbesar di dunia yaitu China, Brasil dan India justru telah menandatangani serta meratifikasi FCTC.

Produksi tembakau di Indonesia sebesar 1,91 persen dari total produksi dunia. Sedangkan produksi tembakau di Cina, Brasil dan India menghasilkan 64 persen dari total produksi dunia.

sumber: www.republika.co.id

 

Pelayanan Kesehatan Indonesia Tertinggal

Pela­yanan kesehatan di Indonesia masih jauh di bawah standar, dibanding pelayanan kese­hatan yang ada di sejumlah negara berkembang lainnya.

Pernyataan itu menge­mu­ka pada Seminar Internasional bertajuk Interprofesional Relationship Education for Improving Health, yang digelar Sekolah Tinggi Ilmu Kese­hatan (STIKes) Fort de Kock Bukitinggi, di Hotel The Hills Bukittinggi kemarin.

Seminar Internasional ini dimaksudkan guna mem­per­siapkan diri bagi STIKes Fort de Kock Bukitinggi untuk mem­­­­buka kelas Internasional. Se­jum­lah professor dan doktor dari Internasional dihadirkan seba­gai keynote speaker.

Seperti Prof. Dave Holmes R.N.Ph.D (Assiate Dean Ottawa University Kanada), Dr. Surasak Soonthorn (Boro­marajonani Nursing Collage Saraburi Thailand), serta Prof. Siswanto Wilopo (Ketua Prodi S2 IKM FK Universitas Gadjah Mada Yogyakarta).

Menurut Surasak Soon­thorn, pelayanan kesehatan harus adil dan tidak boleh membedakan pasien dari segi agama, suku, ras, golongan dan jumlah penghasilan.

Sementara di Indonesia sen­diri, pelayanan kesehatan ma­sih membeda-bedakan pa­sien antara yang berpeng­hasilan dengan pasien yang kurang berpenghasilan, yang dapat dibuktikan dengan pem­bukaan kelas bagi pasien.

Untuk pasien di kelas VIP akan dilayani istimewa, se­mentara yang di kelas bawah kurang diperhatikan.

Dia menilai, untuk me­ning­katkan kulitas pelayanan pada pasien, dibutuhkan tem­pat yang nyaman, sehingga ikut membantu percepatan kesembuhan pasien.

Dicontohkan, di beberapa negara berkembang, pem­ba­ngunan villa tidak hanya dipe­runtukan sebagai tempat rek­reasi saja, tapi juga sebagai tem­pat pelayanan kesehatan, se­hingga selama menjalani pe­ngobatan pasien merasa betah seperti berada di rumah sen­diri.

Sementara itu, Profesor Siswanto Wilopo, yang lebih fokus membahas masalah ke­se­hatan ibu dan bayi meng­ungkapkan bahwa kon­disi kesehatan ibu dan bayi di Indo­nesia mengalami penu­ru­nan semenjak 10 tahun ter­akhir.

Dari data yang ada, angka kematian ibu dan bayi di Indonesia, menurut Siswanto Wilo­po, cenderung meningkat pada akhir 2012. “Kesehatan ibu dan bayi sangat menggam­bar­kan derajat kesehatan seca­ra keseluruhan,” kata Siswan­to.

Di Sumbar sendiri, menu­rut Sis­wanto, angka kematian ibu dan bayi juga masih tinggi. Selain kesalahan pemerintah, kesada­ran masyarakat untuk hidup sehat juga masih ku­rang, sehing­ga perhatiannya perlu diting­katkan lagi.

Menurut Siswanto Wilo­po, si­kap masyarakat lebih cen­de­rung mengobati dari­pada men­­­jaga kesehatan. Ia men­con­­tohkan, di beberapa rumah sakit banyak pasien yang men­de­rita diare. Padahal untuk lang­kah awalnya bisa dilak­sanakan di rumah, dan baru di­bawa ke rumah sakit jika me­mang kondisinya sa­ngat parah.

Hal itu membuktikan bah­wa pendidikan kesehatan bagi ma­syarakat sangat minim. Padahal tindakan pencegahan lebih baik daripada mengobati. “Banyak masalah kesehatan yang harus ditangani bersama, dan banyak kebijakan peme­rintah yang harus dievaluasi untuk mening­katkan pela­yanan kesehatan di Indone­sia,”ujar Siswanto.

Juga ikut sebagai pem­bicara dalam seminar Inter­nasional ini, Ketua STIKes Fort de Kock Bukitinggi NS Hj. Evi Hasnita S.Pd M.Kes dan Indra Lesmana dari Universitas Esa Unggul Jakarta. (*)

sumber: padangekspres.co.id

 

Pasar Obat Herbal Diharapkan Terus Meningkat

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengharapkan pasar obat herbal di Indonesia terus mengalami peningkatan seiring berkembangnya tren penggunaan obat alami di dunia. Sejalan dengan tren back to nature, penggunaan obat herbal secara global diprediksi mencapai 100 miliar dollar AS pada tahun 2015.

“Dengan perkembangan ini, diharapkan pasar obat herbal di Indonesia juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, walaupun masih kecil dibandingkan keseluruhan pasar global,” ujarnya dalam acara Peresmian Fasilitas Industri Ekstrak Bahan Alam, Dexa Laboratories of Biomolecular Sciencis (DLBS), PT Dexa Medica, Selasa (20/8/2013) di Cikarang, Jawa Barat.

Mengutip data dari Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes, pada 2006 pasar obat herbal di Indonesia mencapai Rp 5 triliun. Di 2007 mengalami peningkatkan menjadi Rp 6 triliun, dan pada 2008 naik lagi menjadi Rp 7,2 triliun. Sedangkan pada 2012 mencapai Rp 13 triliun atau sekitar 2% dari total pasar obat herbal di dunia

Menurut Nafsiah, Indonesia sangat berpotensi menjadi salah satu sumber industri bahan baku obat herbal. Hal ini karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Terlebih, imbuhnya, obat herbal tradisional di Indonesia sendiri sudah digunakan secara turun temurun oleh masyarakat Indonesia.

Hasil riset di berbagai universitas di Indonesia menunjukkan, bahan-bahan yang biasa digunakan sebagai obat atas kearifan lokal, terbukti ilmiah memiliki manfaat menyembuhkan penyakit.

Meskipun demikian, Nafsiah mengatakan, saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 60 persen bahan baku obatnya. Dan kebanyakan dari bahan baku obat tersebut berupa sintetik.

Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang menambahkan, Kemenkes selalu memberikan bimbingan dan dukungan perkembangan industri farmasi di Indonesia. “Diharapkan perkembangannnya bisa mencapai lima persen pertahun,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Linda, industri farmasi di Indonesia seharusnya sudah harus mengembangkan industri bahan baku obat. Bukan lagi memproduksi obat jadi dengan bahan baku impor.

sumber: health.kompas.com

 

Dr. Nicolas Chally Tirayoh, Peduli Kesehatan Nelayan

“Nelayan mungkin profesi yang kerap diabaikan, padahal berkat mereka kita mendapatkan sumber protein yang dibutuhkan tubuh”.

Begitulah kalimat pembuka yang membawa dokter berusia 30 tahun ini berinisiatif membuat program Usaha Kesehatan Kerja (UKK).

Memiliki tempat praktik dekat dengan lingkungan nelayan dan akrab berinteraksi dengan mereka dijadikan alasan dr. Nicolas Chally Tirayoh untuk terus menjalankan programnya.

“Kesehatan dan keselamatan kerja banyak yang tidak dihiraukan oleh nelayan, mereka tetap melaut dengan peralatan kesehatan seadanya,” ujar dokter yang kerap disapa Chally.

Program UKK di Puskesmas Kauditan I Jaga V Kecamatan Kauditan Minut, Sulawesi Utara dijalankannya dua tahun belakangan ini. Berkat program ini suami dari dr. Anastasia Runtunuwu ini terpilih menjadi tenaga kesehatan teladan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Prestasinya ini membuatnya merasa senang dan bangga dapat bertatap langsung dengan Menkes RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH di kantor Kemenkes, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan beberapa hari lalu.

“Saya sangat senang dan bangga atas kinerja kami selama ini membawa saya bisa bertatap langsung dan akan terus mengembangkan program UKK ini,” ungkapnya.

Rasa bahagia tergambar dari ekspresi wajah pria yang pernah mengikuti pelatihan kesehatan kerja di Bogor, saat mendapat kesempatan berbagi pengalaman menjadi nakes teladan dengan menkes dan 128 nakes teladan lainnya dari seluruh Indonesia ini.

Dr. Chally dibantu dengan beberapa lembaga kesehatan dan kementerian telah melakukan penyuluhan-penyuluhan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja.

Menurutnya walaupun baru terkumpul 30 pelampung untuk membantu selama nelayan berada di laut, hal ini menjadi motivasi Kepala Puskesmas Kema ini untuk terus mengajak para kader membantu kebutuhan kesehatan nelayan.

Menjalankan program ini tidak luput dari kesulitan-kesulitan seperti nelayan yang masih saja tidak patuh dan tidak mengindahkan kesehatan kerja.

“Seperti daun yang terus tumbuh, kami akan terus mengingatkan para nelayan pentingnya kesehatan kerja sehingga melaut akan tetap aman,” harapnya.

sumber: health.liputan6.com

 

Berikan Sanksi, Majelis Kehormatan Dokter Bakal Dituntut

Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) mengaku tidak menyetujui jika ada pihak yang menggugat KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) dan MKDKI (Majelis Kehormatan dan Disiplin Kedokteran Indonesia) dalam hal sanksi kedokteran melaui PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).

Hal ini disampaikan langsung oleh ketua YPKKI dr. Marius Widjajarta, S.E dalam konferensi pers di kantor Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta pada Senin (19/8/2013).

“MKDKI akan dituntut esok hari di PTUN setelah memberikan sanksi disiplin pada seorang dokter. Padahal Undang-undangnya sudah jelas bahwa MKDKI sesuai pasal 67 No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran bertugas memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang hanya berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi. Bukan sengketa dengan PTUN,” tegas Marius.

Marius menyampaikan, jika ada dokter yang tidak suka dengan kinerja MKDKI atau KKI, kenapa ketika diberikan jangka waktu untuk membuktikan kebenarannya dokter tersebut tidak melakukan apa-apa.

“YPKKI sendiri sangat menyayangkan kasus ini dan tidak setuju bila ada pihak yang bermaksud menggugat MDKI dan KKI melalui PTUN,” ujar Marius.

Marius menambahkan, pemberian sanksi tegas kedisiplinan dari MKDKI adalah untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi.

MKDKI sebelumnya memberikan sanksi disiplin pada seorang dokter bernama Tamtam Otamar Syamsudin. SpOG yang berpraktik di Rumah Sakit MMC, Jakarta. Ia dirasa lalai karena memaksakan kondisi pasien yang semestinya tidak bisa dioperasi.

Kasus tersebut menimpa pasien bernama Santi Mulyasari. Santi dinyatakan meninggal dunia tahun lalu setelah dokter Tamtam melakukan operasi seksio sesaria (prosedur melahirkan bayi dengan melakukan sayatan pada kulit perut dan membuka rahim ibunya untuk mengeluarkan bayi).

Masalahnya, ini adalah kali keempat dokter tersebut melakukan penangan seksio tersebut dengan status HB (hemoglobin) pasien berstatus sembilan. Setelah itu, pasien mengalami pendarahan dan akhirnya meninggal dunia. Padahal seharusnya dengan operasi yang berisiko, seorang dokter harusnya bisa menyiapkan persediaan darah terlebih dahulu.

Maka itu, dari hasil penelusuran MKDKI, dokter Tamtam dinyatakan bersalah dengan sanksi disiplin dicabut SRT(Surat Tanda Registrasi). Atau dengan kata lain, dokter tersebut tidak diizinkan praktek selama 9 bulan.

Tidak puas dengan gugatan tersebut, dokter Tamtam kini menggugat balik MKDKI dan KKI dengan gugatan, semua yang dilakukannya sudah sesuai prosedur.

Namun MKDKI berkilah bahwa kasus dokter Tamtam bukan hanya itu saja terjadi. Sebab belum lama ini seorang pasien juga menilai dokter Tamtam tidak melakukan prosedur melahirkan yang diminta pasien. Ketika itu, pasien minta di seksio, tapi dokter Tamtam tetap melakukan persalinan water birth.

Water birth dianggap MKDKI merupakan prosedur yang belum di standarisasi di Indonesia. Jadi prosedur ini sangat berisko. MKDKI pun kembali memutuskan sanksi disiplin dicabut STR 1 tahun pada dokter Tamtam.

YPKKI berharap, kasus seperti dokter Tamtam ini semestinya tidak terjadi pada pasien jika dokternya menjalankan segala sesuatunya dengan benar.

sumber: m.liputan6.com

 

Ribuan Bidan PTT Se-Indonesia Tuntut Kejelasan Nasib

Merasa belum adanya kejelasan nasib untuk menjadi pegawai tetap (PNS), ribuan bidan pegawai tidak tetap (PTT) se-Indonesia kembali melakukan aksi damai di depan Istana Negara. Mereka menagih janji Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi merealisasikan janjinya untuk mengangkat bidan PTT menjadi pegawai tetap.

“Bu Menkes menjanjikan adanya kejelasan nasib kami untuk diperjuangkan menjadi pegawai tetap (PNS), namun sampai saat ini tidak ada kejelasan dari beliau,” kata koordinator aksi damai Ruby Maharani di depan Istana Negara, Jakarta, Senin (19/08).

Selain itu, lanjut Ruby, belum adanya titik terang koordinasi yang dilakukan Menkes dengan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan), Mendagri, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Pasalnya, pihak kementerian terkait justru saling lempar tanggung jawab.

“Antarkementerian terkait (Kemenkes, Kemenpan, Kemendagri, dan BKN) malah saling lempar tanggung jawab, ini juga terjadi di pemerintah daerah,” kritik Ruby.

Menurutnya, aksi damai yang dilakukan bidan PTT se-Indonesia kali ini merupakan aksi yang kedua kalinya. Sebelumnya mereka melakukan aksi pada 7 Mei 2013. Dalam pekembangannya, kata Ruby, “Kami melakukan dengar pendapat dengan Komisi IX DPR pada 14 Mei 2013, dan pada 15 Mei 2013. Kami difasilitasi Komisi IX DPR untuk mengikuti rapat kerja dengan Menkes di DPR.”

Kesimpulan raker tersebut, ungkap Ruby antara lain, “Pertama, Menkes menjanjikan adanya kejelasan nasib kami untuk diperjuangkan menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) dengan mengkoordinasikan melalui Menpan, Mendagri, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Kedua, Bidan PTT yang sudah dua (2) kali masa penugasan dapat kembali memperpanjang secara otomatis.”

Bidan PTT juga menyesalkan langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang membuka penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) melalui jalur umum termasuk profesi bidan. “Seharusnya, Menkes mengangkat bidan PTT secara otomatis dan bertahap sesuai masa bakti ketimbang menerima bidan baru yang belum memiliki pengalaman,” jelas Ruby.

DPR Desak Janji Menkes

Anggota Komisis IX DPR RI Poempida Hidayatulloh mendesak Menteri Kesehatan (Menkes) untuk segera mengangkat ribuan bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT) se-Indonesia menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Hal ini, menurut Poempida sebagaimana janji Menkes saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR beberapa bulan lalu.

“Kami di DPR masih menunggu apa yang pernah dijanjikan Menkes, jika tidak kami bisa ancam Menkes!,” tegas Poempida di Gedung Parlemen (19/08/2013).

Menanggapi aksi damai yang dilakukan 3000-an bidan PTT se-Indonesia hari ini di Istana Negara, Poempida menegaskan bahwa aksi unjuk rasa adalah hak konstitusional yang diatur Undang-Undang. “Jadi, aksi damai yang saat ini dilakukan ribuan bidan PTT sangat baik dan ini merupakan hak yang dilindungi konstitusi,” tegas politisi Partai Golkar ini.

Poempida mengatakan, bidan adalah pekerjaan profesi sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di daerah. Karena itu, dirinya tetap berharap Menkes bisa merealisasikan janjinya, paling tidak dalam penerimaan PNS tahun ini. “Kami akan terus tagih janji Menkes ini,” katanya.

Karena itu, Poempida meminta Menkes untuk bersikap arif bijaksana dengan mempertimbangkan azas keadilan didalam memperlakukan nasib bidan PTT. “Kami merekomendasikan agar bidan PTT diangkat menjadi pegawai tetap,” tandas Poempida.

sumber: www.beritasatu.com

 

7 Kementerian dan Lembaga Dapat Alokasi Anggaran di Atas Rp 30 Triliun dalam RAPBN 2014

Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2014 terdapat tujuh Kementerian dan Lembaga (K/L) yang akan mendapat alokasi anggaran di atas Rp 30 triliun.

SBY mengatakan ketujuh K/L tersebut adalah Kementerian Pertahanan dengan alokasi anggaran sebesar Rp 83 triliun, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp 82 triliun, Kementerian Pekerjaan Umum Rp 74 triliun, Kementerian Agama Rp 49 triliun, Kementerian Kesehatan Rp 44 triliun, Kepolisian Negara Republik Indonesia Rp 41 triliun, dan Kementerian Perhubungan Rp 39 triliun.

“Tujuh K/L tersebut harus bisa mengalokasikan anggaran tersebut dengan sebaik baiknya untuk mencapai target atau sasaran yang sudah ditetapkan,” ujar dia dalam acara “Penyampaian Nota Keuangan 2014” di Gedung DPR, Jakarta, pada Jumat (16/8).

SBY mengatakan alokasi anggaran pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama diarahkan untuk meningkatkan mutu, akses, dan pemerataan pelayanan pendidikan dengan tujuan untuk mengakselerasi pembangunan sumber daya manusia.

SBY menjelaskan, upaya meningkatkan kualitas pendidikan akan terus dilakukan antara lain melalui peningkatan kualitas guru termasuk di dalamnya sertifikasi guru, beberapa program afirmasi akan tetap dilanjutkan seperti pengiriman guru pada daerah terpencil, terluar dan tertinggal, pengiriman pelajar asal Papua untuk studi di beberapa SMA/SMK, dan Perguruan Tinggi Negeri terbaik di luar Papua serta infrastruktur sekolah juga akan terus ditingkatkan.

SBY menambahkan, alokasi anggaran pada Kementerian Kesehatan diprioritaskan untuk peningkatan akses dan kualitas kesehatan, menurutnya pemerintah merencanakan untuk membangun Puskesmas perawatan di daerah perbatasan dan pulau pulau kecil terdepan yang berpenduduk ditambah bantuan operasional kesehatan kepada 9.536 puskesmas.

SBY mengatakan di bidang pertahanan, alokasi dana diarahkan untuk mendukung terlaksananya modernisasi dan peningkatan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) dengan tujuan mempercepat pembangunan kekuatan dasar minimum sedangkan Kepolisian Negara alokasi dana diprioritaskan untuk peningkatan rasa aman dan ketertiban masyarakat melalui pelaksanaan reformasi Polri serta untuk memenuhi fasilitas sarana dan prasarana Polri.

Dia mengatakan alokasi dana untuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan diprioritaskan untuk pembangunan konektivitas nasional melalui pembangunan jalan.

sumber: www.beritasatu.com