Sambut Jamkesnas, Depkes Tambah 16.500 Tempat Tidur

Jakarta – Untuk menyambut akan diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) mulai 1 Januari 2014, Departemen Kesehatan berencana menambah 16.500 tempat tidur di rumah sakit dan puskesmas pada 2013. Upaya pemenuhan dilakukan dengan menimbang tingkat utilitas rumah sakit di suatu daerah atau bed occupancy ratio (BOR).

“Jika BOR di satu kabupaten atau kota masih rendah, maka ia belum menjadi prioritas walaupun menurut perhitungan masih ada kekurangan,” kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dalam rapat evaluasi persiapan pelaksanaan Jamkesnas yang dipimpin Wakil Presiden Boediono di Kantor Wapres, Rabu (6/2).

Menurut Nafsiah, setelah ada tambahan 16.500 tempat tidur itupun, pada 2013 pemerintah menghitung masih ada kekurangan 70.421 tempat tidur. Kekurangan ini rencananya akan dipenuhi pada 2014.

Menanggapi hal ini, Wapres meminta Kemenkes menyusun sebuah sistem informasi terpadu yang secara online terus memperbarui basis data terperinci tentang pusat-pusat layanan kesehatan, baik rumah sakit maupun puskesmas. “Saya harapkan sistem ini selesai pada 2013, agar bisa kita pakai untuk mengambil keputusan,” ujarnya.

Sistem informasi kesehatan itu berisi data yang terperinci mengenai jumlah dokter, tenaga medis, persediaan obat, kapasitas, maupun lokasi yang dilengkapi dengan koordinat geospasial dan foto terakhir.

Selain itu, Boediono juga mengingatkan agar Kemenkes bersama-sama Kemendagri merumuskan pembagian peran dengan pemerintah daerah secara lebih jelas. “Harus benar-benar ada garis batas yang jelas. Ini penting karena nanti akan ada integrasi antara Jaminan kesehatan secara nasional dan jaminan kesehatan yang diselenggarakan daerah,” sambungnya.

Sebelumnya Wapres menekankan pada pentingnya persiapan sisi pasokan (supply) yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pasokan ini termasuk dokter, tenaga medis, infrastruktur, obat-obatan, aturan dan ketentuan, termasuk juga persiapan pembiayaannya.

“Ini aspek-aspek penting yang harus kita selesaikan. Saya minta semua kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab di bidang kesehatan mengambil langkah-langkah dan rencana aksi yang konkrit,” tutur Wapres.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyampaikan, ada beberapa hal yang memang memerlukan perhatian. Untuk mengatasinya, Kemenkes membutuhkan dukungan kerja sama dengan kementerian maupun lembaga lain. Misalnya, untuk memenuhi jumlah dokter dan tenaga kesehatan atau meningkatkan kapasitas rumah sakit.

(sumber: www.suaramerdeka.com)

Kantong Darah PMI Kelak Dibayar BPJS

Jakarta-PKMK. Dengan beroperasinya Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) pada tahun 2014, kantong darah donor yang dipasok PMI akan dibayar oleh BPJS. ‘Karena biaya pengobatan pasien diganti oleh BPJS, demikian pula tentunya dengan biaya kantong darah tersebut,’ ucap Jusuf Kalla, Ketua Umum PMI, Rabu (6/2/2013).

Kalla menambahkan, dengan pembayaran oleh BPJS itu, PMI masih memberikan subsidi. Harga yang ditetapkan PMI sebesar Rp 250.000 per kantong sementara yang selama ini dibayarkan Pemerintah Indonesia masih dibawah itu. Dalam paparannya, Kalla menambahkan bahwa untuk kantong darah itu, istilah “harga” sebenarnya tidak terlalu tepat. “Lebih baik, istilah yang digunakan adalah ‘biaya pengganti,'” ucap mantan wakil presiden RI itu.

Jika ada yang menginginkan bahwa pasien miskin memperoleh kantong darah secara gratis, itu sebenarnya sudah terjadi. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia membayar kantong darah itu melalui pelayanan Jamkesmas ataupun nantinya melalui BPJS,” ucapnya.

Kantong darah sebaiknya tidak gratis, namun ada nilai tertentu yang harus dibayar. “Kalau kantong darah digratiskan, nanti permintaan bisa terlalu banyak. Sebentar-sebentar ada permintaan,” imbuhnya. Selain itu, sebaiknya aktivitas lembaga pemasok kantong darah seperti PMI, tetap tidak di bawah Pemerintah Indonesia. Itu untuk menghindari dampak negatif yang bisa timbul. “Misalnya, warga miskin banyak antre mendonorkan darah untuk mendapatkan uang. Belum lagi, muncul pula proyek-proyek terkait pengadaan darah,” ucap Kalla. Maka, sebaiknya PMI tetap sebagai sebuah lembaga masyarakat seperti halnya di negara lain Pemerintah Indonesia membantu apa yang diperlukan.

Ribka: Kesiapan Pemerintah Jalankan Jaminan Sosial Meragukan

Jakarta – Ketua Komisi IX DPR RI, Ribka Tjiptaning di Jakarta, Selasa, (5/2), masih meragukan kesiapan Kementerian Kesehatan (Kemkes) menjalankan program Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS). Keraguan Ribka itu disampaikan, pasalnya, beberapa fasilitas penunjang program ini masih belum memadai. Pasca bencana banjir misalnya, Kemkes tidak punya kebijakan antsipasi pelayanan tempat tidur di rumah sakit (RS) pemerintah.

“Hampir semua RS penuh, disebabkan banyaknya rakyat yang terjangkit virus, bakteri, dan kuman lainnya. Dalam keadaan apa pun, seharusnya UGD RS tidak boleh menolak pasien, apapun alasannya, karena hal itu sudah tercantum dalam UU Rumah Sakit,” ungkap Ribka.

Menurutnya, baru menangani pasien akibat bencana banjir saja pemerintah gagal menyiapkan kebijakan darurat untuk mengadakan tempat tidur di RS, terutama bagi masyarakat peserta Jamkesmas, apalagi nanti jika program BPJS sudah berjalan pada 2014 yang menjamin kesehatan seluruh warga negara.

Seperti kita ketahui, kata Ribka, program pemerintah menerbitkan Jamkesmas atau Jamkesda dan diganti dengan BPJS pada 2014 mendatang, bertujuan untuk mebiayai pengobatan masyarakat agar mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa kecuali. Pasalnya, mendapatkan kesehatan yang layak merupakan hak seluruh warga negara yang dijamin konstitusi.

Namun dalam kenyataannya, ungkap Ribka, mengapa rakyat yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dikarenakan infrastruktur yang tidak memadai. “Pertanyaannya, untuk apakah dana yang sudah disiapkan tersebut kalau tidak dapat digunakan oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan medis secara gratis,” cetusnya.

Menurutnya, kejadian seperti ini membuat kita ragu akan keseriusan pemerintah pusat dalam melaksanakan program BPJS 2014. “Pemerintah tidak serius mempersiapkan membangun infrastruktur yang memadai guna memberikan pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya.(IS)

(sumber: www.gatra.com)

1.000 Tanda Tangan Lawan Malpraktik

JAKARTA – Kasus dugaan malapraktik dan buruknya pelayanan rumah sakit yang cenderung mengedepankan materi tanpa mengedepankan profesionalitas dan rasa kemanusiaan semakin marak terjadi.

Menyikapi hal itu, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perhimpunan Pemuda Penegak Hukum (P3H) menggelar aksi galang 1.000 tanda tangan sebagai bagian dari bentuk keprihatinan dan kepedulian mereka.

“Gerakan 1.000 Tanda Tangan mengenai pelayanan di rumah sakit yang cenderung hanya mementingkan material tanpa mengedepankan profesionalitas dan rasa kemanusiaan yang tinggi, dan kita akan mendampingi bagi korban yang tersandung dalam masalah itu” kata lagi” kata Ketua Bidang Organisasi P3H Achmed kepada Okezone, di depan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (3/2/2013).

Kata dia, berdasarkan pantauan dari bergulirnya kasus-kasus tersebut minimal ada tiga kasus yang mencuat belakangan ini. Meskipun, dia yakin bahwa masih ada beberapa kasus yang tidak mencuat kepermukaan dikarenakan keluarga pasien sangat pesimis jika harus meminta pertanggung jawaban kepada pihak rumah sakit serta tim dokter yang menangani pasien untuk meminta keadilan dalam proses penegakan hukum.

“Meminta keadilan dalam proses penegakan hukum kearah yang lebih baik namun akhirnya tenggelam ditengah jalan dalam proses pencapaian keadilan bagi keluarga yang dirugikan,” katanya.

Dia juga telah meminta mediasi kepada Komisi IX DPR terkait dugaan kasus malapraktik yang sedang mencuat tersebut.

“Kita sudah ke Komisi IX DPR, untuk menjatuhkan saksi moril atau hukum kepada kepala tim medis terhadap kasus dugaan malpraktek, salah satunya kasus Raihan bocah 10 tahun yang diduga menjadi korban malpraktek Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Jakarta,” tuturnya.

“Tim RS Medika Permata Hijau yang menangani raihan yang awalnya divonis usus buntu yang akut, namun pasien yang bernama Raihan mengalami koma selama 32 hari di RS Permata Hijau dan henti jantung 15 menit,” pungkasnya.

(sumber: jakarta.okezone.com)

Transformasi BPJS Masih Dalam Persiapan

Menjelang pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), kementerian terkait dan badan penyelenggara sampai saat ini masih sibuk menyiapkan berbagai hal yang dibutuhkan. Mulai dari peraturan pelaksana sampai hal teknis.

Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Wahyu Widodo mengatakan BPJS menjadi isu penting karena menyangkut hak warga negara atas jaminan pelayanan kesehatan.

Melihat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta orang, Wahyu memperkirakan pelaksanaan BPJS berpotensi berjalan baik. Pasalnya, semakin banyak peserta BPJS dan disiplin membayar iuran, maka pelaksanaan BPJS akan turut berjalan baik. Sebagai salah satu kementerian yang dilimpahi tanggung jawab untuk membentuk BPJS, khususnya BPJS Ketenagakerjaan, Wahyu menyebut Kemenakertrans telah menyelesaikan berbagai rancangan peraturan pelaksana.

Dia mencatat sedikitnya Kemenakertrans mengemban amanat untuk menyelesaikan sembilan peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan. Sampai saat ini sebagian rancangan peraturan menurutnya sudah selesai. Namun, dia menyebut belum dapat mempublikasikan rancangan itu karena masih dalam proses pendalaman di Kemenakertrans. “Ada sembilan peraturan yang harus disiapkan untuk melaksanakan BPJS (Ketenagakerjaan,-red),” kata dia dalam seminar yang digelar Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), di Jakarta, Kamis (31/1).

Pada kesempatan yang sama, Direktur Kepesertaan dan Hubungan Antar Lembaga PT Askes, Sri Endang Tidarwati, mengatakan sebagai badan penyelenggara BPJS Kesehatan, di tahun 2013 ini PT Askes sedang fokus melakukan proses pengalihan. Misalnya, proses pengalihan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) TNI/POLRI dan peserta Jamsostek menjadi BPJS Kesehatan.

Mengingat beberapa peraturan pelaksana BPJS Kesehatan sudah diterbitkan, seperti Perpres Jaminan Kesehatan (Jamkes) dan PP Penerima Bantuan Iuran (PBI), Endang menyebut PT Askes sedang melakukan persiapan internal. Seperti organisasi, akuntansi, investasi, operasional, bisnis proses dan teknologi. Walau dikategorikan sebagai badan penyelenggara BPJS, PT Askes tak melulu mempersiapkan hal teknis. Menurut Endang, PT Askes aktif menyampaikan rancangan peraturan kepada lembaga pemerintahan terkait.

Tak ketinggalan, Endang juga mengatakan berjalannya BPJS Kesehatan sangat dipengaruhi oleh SDM. Dalam menyiapkan SDM untuk mampu memberikan pelayanan terhadap peserta BPJS Kesehatan, PT Askes mulai melakukan perekrutan. Tahun lalu jumlah orang yang berhasil dilatih dan direkrut untuk memberikan pelayanan kepada peserta BPJS Kesehatan mencapai 500 orang. Sedangkan awal tahun ini, PT Askes sudah merekrut lebih dari 1000 orang untuk memperkuat sektor SDM di BPJS Kesehatan. “Untuk kelancaran pelaksanaan BPJS Kesehatan,” ujarnya.

Sementara, Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Informasi PT Jamsostek, Agus Supriyadi, mengatakan yang penting dilakukan badan penyelengara BPJS, tak terkecuali PT Jamsostek, adalah menyiapkan aspek teknis. Tentu saja hal teknis itu diselenggarakan selaras untuk mengimplementasikan amanat UU SJSN dan BPJS. Misalnya, dalam BPJS Ketenagakerjaan, hal teknis itu harus menjawab persoalan apakah semua pekerja dapat tercakup, benefitnya memadai dan melakukan pelayanan dengan baik. “Itu kunci dari tugas pokok yang harus dilakukan badan penyelenggara BPJS,” katanya.

Untuk menghadapi perubahan PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan di tahun 2014 dan beroperasi 2015, Agus mengatakan PT Jamsostek sedang melakukan tiga langkah utama. Pertama, mengawal pembentukan dan pelaksanaan peraturan terkait. Bagi Agus, hal itu dilakukan agar penyelenggaraan pelayanan BPJS Ketenagakerjaan nanti tak dijumpai banyak masalah. Hal serupa juga dilakukan dalam teknis operasional. Dan melakukan sosialisasi masif, baik internal serta eksternal.

Kedua, PT Jamsostek sedang membangun landasan yang kokoh untuk penyelenggaraan BPJS Ketenagakerjaan. Seperti meningkatkan kepesertaan, pelayanan, teknologi, investasi, keuangan dan SDM PT Jamsostek. Lagi-lagi, Agus menekankan langkah tersebut dijalankan untuk menyiapkan penyelenggaraan BPJS Ketenagakerjaan.

Ketika kedua langkah itu sudah siap, berikutnya, PT Jamsostek akan mengharmonisasikan manfaat dan pelayanan prima. Misalnya, memberi pelayanan yang terbaik serta menggunakan sistem yang mengutamakan portabilitas seperti menggunakan mekanisme pendaftaran, pembayaran dan pengajuan klaim secara online. Untuk mendukung sistem portabilitas itu, Agus mengaku saat ini PT Jamsostek menjalin kerjasama dengan beberapa bank.

Kemudian, Agus menyoroti pentingnya masyarakat mendapat informasi yang cukup tentang BPJS Ketenagakerjaan. Oleh karenanya, mengacu pasal 16 UU SJSN, yang intinya menyebut setiap peserta berhak memperoleh informasi penyelenggaraan jaminan sosial, maka PT Jamsostek akan memperluas jaringannya sampai ke tiap wilayah di Indonesia. Sejalan dengan itu, PT Jamsostek akan membuka kantor cabang dan representasi di tiap provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Hal itu akan dilakukan sesuai mandat pasal 8 UU BPJS.

Agus mengingatkan, dalam waktu dekat, JPK yang dikelola PT Jamsostek akan dialihkan ke BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, PT Jamsostek dan PT Askes sudah melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas pengalihan program pelayanan tersebut. Diharapkan, ketika BPJS Kesehatan berjalan di 2014, maka peserta JPK PT Jamsostek tak menemui kesulitan di lapangan. “Kami bekerjasama bagaimana agar program itu berpindah tanpa masalah,” urainya.

Keterlibatan Publik

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menekankan agar pembahasan rancangan peraturan pelaksana BPJS melibatkan pemangku kepentingan, terutama serikat pekerja. Timboel khawatir peraturan pelaksana itu akan diterbitkan tanpa memperhatikan banyak aspek, ujungnya, regulasi yang diterbitkan terkesan asal-asalan. Misalnya, dalam rancangan program Jaminan Hari Tua (JHT) dalam BPJS Ketenagakerjaan. Timboel melihat dalam ketentuan itu dimasukan syarat yang harus dipenuhi peserta jika ingin mengambil JHT.

Timboel mencatat sedikitnya ada empat syarat, yaitu peserta meninggal dunia, pensiun, pergi keluar negeri dan tak kembali serta cacat total. Baginya, berbagai persyaratan itu memberatkan pekerja. Karena, dalam situasi tertentu, pekerja sangat membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, pekerja diputus hubungan kerja (PHK). Kemudian, pekerja tersebut tak mendapat upah seperti biasa, sehingga dana yang tersimpan dalam program JHT akan diambil untuk digunakan.

Praktiknya, tindakan seperti itu kerap dilakukan pekerja dan peraturan yang berlaku saat ini dalam program JHT PT Jamsostek tergolong memberi kemudahan. Atas dasar itu, Timboel berharap agar persyaratan yang menguntungkan bagi peserta itu dimasukan dalam program serupa di BPJS Ketenagakerjaan. “Makanya, publik harus dilibatkan dalam membahas peraturan terkait BPJS,” tegasnya.

(sumber: www.hukumonline.com)

BNN Selidiki Peredaran Narkotika Jenis Baru

JAKARTA — Badan Narkotika Nasional (BNN) sedang menyelidiki peredaran narkotika yang dianggap jenis baru dan merupakan derivat atau turunan cathinone, alias katinona, suatu senyawa stimulan yang dapat menimbulkan daya rusak pada otak manusia. Narkotika tersebut ditemukan dalam penggerebekan dan penangkapan 17 orang di rumah aktor Raffi Ahmad Minggu (27/1).

Juru bicara BNN Komisaris Besar Polisi Sumirat Dwiyanto di Jakarta, Rabu (30/1) menjelaskan, narkotika jenis ini merupakan cathinone yang telah mengalami sintesa lebih lanjut dengan berbagai bentuk, salah satunya serbuk.

“Derivat cathinone ini memiliki kekuatan yang lebih kuat daripada senyawa asalnya dalam hal mempengaruhi susunan syaraf pusat. Sehingga bagi mereka yang menyalahgunakannya akan lebih terpengaruh susunan syaraf pusatnya. Yang lebih mengkhawatirkan, karena efeknya bersifat rekreasional dapat menimbulkan euforia yang berlebihan dan halusinasi. Dengan kekuatan yang lebih tinggi ini bisa membahayakan penggunanya,” ujar Sumirat.

Ia menambahkan bahwa cathinone ini belum diatur dalam undang-undang narkotika di Indonesia, namun di sejumlah negara lain seperti Amerika Serikat dan Inggris, cathinone dilarang beredar bebas karena merupakan zat stimulan yang digolongkan narkotika, seperti amfetamin dan metamfetamin.

“Kita khawatir, sementara di Amerika saja sudah dilarang peredarannya, masa di Indonesia tidak. Selain itu, ke depannya, kalau masyarakat tidak mengetahui bahayanya zat ini dengan alasan berbagai macam seperti untuk menambah stamina dan sebagainya, padahal zat ini sangat berbahaya. Untuk itu harus kita cegah,” ujar Sumirat.

BNN, menurut Sumirat, saat ini tengah bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan serta para ahli untuk mengetahui sejauh mana peredaran zat ini di Indonesia. Langkah cepat ini, menurut Sumirat, perlu dilakukan untuk mencegah semakin luasnya peredaran zat ini di masyarakat.

Undang-Undang No. 35/2009 tentang narkotika sendiri telah memasukkan chatinone sebagai narkotika golongan I, yang disebutkan dalam tambahan lembaran negara Republik Indonesia No. 5062 Lampiran 1.

Juru bicara BPOM Budi Djanu Purwanto menegaskan chatinone sangat berbahaya dan dilarang keras untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan.

“Kalau sampai zat ini ada atau beredar, berarti ilegal. Kecuali dalam jumlah terbatas digunakan untuk kepentingan laboratorium dan diagnostik. Itupun pemasukan dan penggunaannya harus mendapat izin dari menteri kesehatan,” ujarnya.

Cathinone berasal dari tanaman Catha edulis atau Khat yang tumbuh di Afrika dan sebagian wilayah Arab. Di daerah asalnya, tanaman ini dikonsumsi langsung dengan cara dikunyah dan bukan diekstrak kandungan aktifnya yakni cathinone.

Meski tidak termasuk golongan amfetamin, cathinone memiliki efek yang kurang lebih sama, yakni membangkitkan stamina.

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Didi Irawadi berharap BNN bisa lebih jeli dalam mengusut kasus ini. Dalam waktu dekat menurut Didi, Komisi III yang membidangi hukum ini, akan memanggil BNN untuk membahas masalah ini.

“Saya berharap BNN tidak terlalu pagi menyatakan tidak ada unsur itu sebelum memanggil seorang ahli yang sangat memahami persoalan ini, baru mengambil kesimpulan. Apalagi zat ini ternyata masuk dalam jenis narkotika golongan 1 di UU No. 35/2009. Kita akan panggil BNN untuk membahas masalah ini,” ujarnya.

Kasus penggunaan narkotika oleh artis Raffi Ahmad dan lainnya itu ternyata juga mendapat perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengatakan, Presiden meminta kepada pihak terkait agar terus diselidiki, apakah ada jaringan yang mengedarkan zat adiktif cathinone.

“Narkoba itu sangat berbahaya dan merugikan ya bagi kita khususnya masa depan generasi muda. Tentunya ini tidak boleh dibiarkan. Terus dicari apakah itu ada jaringan di sana. Hal ini menjadi keprihatinan Presiden,” ujarnya.

Sementara itu, dari 17 orang yang ditangkap di rumah Raffi pada Minggu(27/01), tujuh orang dibebaskan pada Selasa karena tidak terindikasi memakai narkotika. Lalu dari 10 orang yang masih diperiksa, lima orang dipastikan memakai narkotika jenis ganja, ekstasi dan cathinone, dua orang hanya memakai cathinone, lalu tiga orang lainnya belum terdeteksi menggunakan narkotika.

(sumber: www.voaindonesia.com)

Kemnakertrans Siapkan Lima Draf PP Pelaksana SJSN

JAKARTA – Sampai saat ini, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) tengah menyiapkan lima draf Peraturan Pemerintah (PP), tiga draf Peraturan Presiden (Perpres) dan satu draf Keputusan Presiden (Kepres) sebagai peraturan pelaksana UU 40 / 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU 24 / 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (SJSN).

“Tim kita sedang merumuskan semua itu,” kata Kepala Biro Hukum, Kemnakertrans, Soenarno, kepada SP, di kantornya, Selasa (29/1).

Menurut Soenarno, amanat UU 24 / 2011 tentang BPJS, PP yang harus dibuat sebagai pelaksana dua UU tersebut di atas, sebanyak 12 PP, enam Perpres dan satu Keppres.

“Walaupun UU memerintahkan seperti itu, tapi dalam rapat rapat tim kami yang dipimpin Menakertrans pada 21 Januari 2013 bersepakat kami hanya menyiapkan lima draf PP, tiga Perpres dan satu Keppres. Ya kita ringkas saja, dan itu tak menyalahi perintah UU tersebut,” kata Soenarno.

Lima jenis PP yang dimaksud adalah, pertama, PP Penyelenggara Program Jaminan Kesehatan, Kecelakaan Kerja, Kematian dan Hari Tua. Kedua, PP Program Penyelenggaraan Jaminan Pensiun. Ketiga, PP Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Hubungan Antar Lembaga. Keempat, PP Tata Cara Pengelolaan dan Pengembangan Jaminan Sosial BPJS Ketenagakerjaan. Kelima, PP tentang Tata Cara Transformasi Program dari PT Asabri, PT Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan.

Sedangkan tiga draf Perpres yang disiapkan yakni, pertama, Perpres tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial. Kedua, Perpres tentang Tata Cara Pemilihan dan Penetapan Dewan Pengawas dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan. Ketiga, Perpres tentang Laporan Pengelolaan Program dan Keuangan Tahunan BPJS Ketenagakerjaan.

Sedangkan draf Keppres yang dimaksud adalah Keppres tentang Pembentukan Panitia Seleksi dan Dewan Pengawas BPJS. Soenarno mengatakan, amanat Pasal 63 UU 24 / 2011 UU BPJS adalah direksi dan komisaris PT Jamsostek sekarang akan menjabat secara langsung sebagai direksi dan komisaris BPJS Ketenagakerjaan sejak 1 Juli 2015 sampai dua tahun ke depan yakni sampai 2017.

Ia melanjutkan, tim di Kemnakertrans merumus peraturan pelaksana dua UU tersebut tidak terlepas masukkan dari banyak pihak. “Ada banyak masukkan seperti dari PT Jamsostek,” kata dia. Sebelumnya, PT Jamsostek menyerahkan 10 rancangan PP dan rancangan Perpres terkait pelaksanaan SJSN dan pembentukan BPJS kepada Kemnakertrans.

Kepala Biro Humas PT Jamsostek, Kuswahyudi, mengatakan, usulan itu merupakan bentuk komitmen penuh PT Jamsostek atas implementasi SJSN yang akan dimulai pada Januari 2014 untuk BPJS Kesehatan dan 1 Juli 2015 untuk BPJS Ketenagakerjaan.

PT Jamsostek berinisiatif menyusun draft PP terkait dengan Badan Penyelenggara (BP) Jamsostek. Dirut PT Jamsostek Elvyn G Masassya mengusulkan nama BP Jamsostek untuk menjaga image baik dan kesinambungan program pada BPJS Ketenagakerjaan.

Pengalaman BUMN itu selama 35 tahun merupakan salah satu rujukan utama dalam penyusunan draft seluruh peraturan pelaksana tersebut.

Data kepesertaan dan pelayanan yang ada di PT Jamsostek (Persero) selama 35 tahun penyelenggaraan program jaminan sosial menjadi salah satu modal yang sangat berharga, di luar data-data makro yang telah dikeluarkan oleh institusi lain seperti BPS dan demografi, untuk melakukan kajian perhitungan aktuaria yang komprehensif dan berkelanjutan.

Selain itu, PT Jamsostek juga memperkaya studinya dengan melakukan benchmarking praktik terbaik implementasi jaminan sosial yang ada di luar negeri.

Beberapa acuan utama, antara lain pengalaman Social Security System Filipina untuk penyelenggaraan Jaminan Pensiun dan bisnis proses jaminan sosial mengingat lanskap industri jaminan sosialnya memiliki karakteristik yang hampir sama dengan skema SJSN.

PT Jamsostek juga mempelajari bisnis proses dan skema sistem pengawasan jaminan sosial yang dikembangkan oleh Employee Provident Fund Malaysia sebagai masukan dalam administrasi kepesertaan dan pelayanan jaminan sosial di Malaysia.

Dalam hal pengembangan program, PT Jamsostek mengadopsi standar internasional dari Konvensi ILO Nomor 102 dan panduan internasional yang telah dikeluarkan International Social Security Association (ISSA) kepada seluruh anggotanya untuk penyelenggaraan program jaminan sosial. [SP/Edi Hardum]

(sumber: www.suarapembaruan.com)

Indonesia Peringkat III Penderita Hepatitis B di Dunia

Medan (Analisa). Indonesia peringkat ketiga penderita Hepatitis B di dunia. Penyebabnya masih rendahnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan individu dan kurangnya sosialisasi tentang hepatitis B.

Demikian diungkapkan ahli penyakit dalam dr Ilhamd Sp.PD dihadapan Keluarga Besar Institut Teknologi Medan (ITM), belumlama di ruang rapat Kampus ITM.

Seminar Awam tentang Pencernaan Sehat, Organ Hati Terjaga itu dilaksanakan ITM dihadiri Rektor ITM Prof Dr Ilmi Abdullah, Kepala Humas ITM M Vivahmi Manafsyah SH MSi, Pembantu Rektor (PR I) Supriatno ST MT, PR II M Munajat SE M.Si, para dosen di lingkungan ITM.

Lebih lanjjut, dr Ilhamd Sp.PD mengatakan hepatitis B tanpa gejala dan paling sulit disembuhkan sebab hepatitis yang menahun sebagian besar tanpa gejala.

Untuk pasien hepatitis B ini diajurkan untuk melakukan konsultasi ke dokter ahli. Biasanya penderita hepatitis B parah kerap mengalami seperti muntah darah, buang air besar darah dan perut buncit.

Penularan

Penularan horisontal katanya, dapat ditularkan kepada anggota dari keluarga, teman dan kolega kerja, dan hepatitis B dan A bisa divaksinasi, seperti bayi yang baru lahir, tenaga kesehatan, semua orang yang belum divaksin, anggota keluarga penderita Hepatitis B, anggota angkatan bersenjata dan kaum homoseks.

“Vaksin yang direkomendasikan adalah vaksin dengan rekayasa genetik dari virus hepatitis B dan vaksin yang tidak menimbulkan efek samping, katanya seraya menyarankan usia diatas 40 tahun disarankan untuk memulai menjaga kesehatan.

Rektor ITM Prof Dr Ilmi Abdullah mengatakan, Seminar Awam ini akan rutin dilakukan. Seminar yang diikuti dengan pemeriksaan gula darah, kolesterol, dan asam urat, katanya bertujuan untuk menjaga kesehatan.

“Bila kesehatan kita baik, secara otomatis semua kegiatan yang kita lakukan akan berjalan dengan baik dan lancar,”kata Prof Ilmi

Disebutkannya kesehatan reproduksi dan organ manusia saat ini menjadi bagian penting dari pengetahuan kesehatan khususnya orang awam. Oleh karenanya, pengetahuan berbasis akademik ini setidaknya bisa menularkan ilmu dalam menjaga kesehatan diri dan kelompok terutama di keluarga, tetangga, masyarakat, bangsa dan negara.

“Civitas akademika ITM dan keluarga besarnya terus menggalakkan program kesehatan dan peningkatan kualitas kesehatan baik dosen, mahasiswa dan pegawai,” jelas Prof Ilmi.(twh/rel)

(sumber: www.analisadaily.com)

INDUSTRI FARMASI: SJSN 2014 Tidak Jelas, Pertumbuhan Melambat

JAKARTA—Ketidakjelasan persiapan pemerintah terkait implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 2014 membuat pergerakan bisnis farmasi sedikit mengendur. Terget pertumbuhan yang semula 14% direvisi menjadi hanya 12%.

Ketua International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Luthfi Mardiansyah mengatakan ketidakpastian pelaksanaan jaminan kesehatan untuk seluruh masyarakat Indonesia ini membuat pengusaha tiarap terlebih dahulu.

“Saat ini kan belum jelas berapa kisaran harga obat yang akan dibeli oleh pemerintah. Jika benar dapat diimplementasikan dan mempunyai prospek cukup bagus pada 2019, maka kami akan meningkatkan kapasitas produksi,” kata Luthfi, Kamis (24/1).

Industri farmasi, tambahnya, akan mempersiapkan modal untuk peningkatan kapasitas produksinya menjadi dua kali lipat. Saat ini, kapasitas produksi obat nasional mencapai 100 juta unit obat. Akan tetapi, untuk saat ini industri farmasi masih belum berani memproduksi obat dalam jumlah yang besar.

Luthfi memperkirakan belum akan ada rencana pengembangan yang signifikan dari perusahaan lokal maupun internasional. Industri farmasi masih akan memantau implementasi perihal kebijakan pemerintah ini.

Secara bisnis, lanjutnya, pengusaha industri farmasi belum bisa menghitung captive market. Setelah memproduksi obat dalam jumlah besar, biaya distribusi obat ke daerah juga harus mulai dipikirkan.

Dia berpendapat industri farmasi, yang terdiri dari 200 perusahaan lokal dan 25 perusahaan multinasional, belum tentu akan ikut seluruhnya dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

“Jika harga obat yang dibeli oleh pemerintah rendah, mereka masih bisa bekerja sama dengan asuransi komersial. Tentu saja dengan harga yang lebih baik,” pungkasnya. (faa)

(sumber: www.bisnis.com)

Kemkes Dorong BUMN Terapkan Efisiensi Kesehatan

Semarang – Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, pihaknya mendorong badan usaha milik negara (BUMN) menerapkan efisiensi biaya kesehatan, tanpa mengurangi mutu layanan.

“BUMN merupakan lembaga yang strategis yang diharapkan bisa melakukan perubahan dan perbaikan dalam kesehatan karyawan dengan prinsip efisien, efektif, berkelanjutan, dan adil,” katanya, di Semarang, Senin malam (21/1), sebagaimana dilapokan Antara.

Hal itu diungkapkannya, saat konferensi pers workshop “Peran Serta BUMN Dalam Revitalisasi Dokter Primer Untuk Memperkuat Sistem Kesehatan Nasional” yang diprakarsai PT Pertamina di Hotel Patra Jasa Semarang.

Ali mengatakan, PT Pertamina sudah menerapkan sistem “manage care”, tetapi upaya menegakkan kebijakan pengendalian biaya kesehatan, termasuk obat akan lebih efektif apabila dikerjakan bersama-sama kalangan BUMN.

Ia mencontohkan, kebijakan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang melakukan reformasi sistem pelayanan jaminan kesehatan, sebab aspek kesehatan sangat berpengaruh terhadap produktivitas pekerja.

Di AS, kata dia, untuk produksi satu unit mobil setidaknya membutuhkan biaya sekitar 1.200 dollar AS untuk kelengkapan komponen kesehatannya, sementara di Jepang berkisar 600 dollar AS untuk setiap unit mobil.

“Indonesia masih kalah. Untuk itu, diperlukan pengendalian biaya kesehatan, agar lebih holistik, efisien, efektif, dan adil. Program efisiensi kesehatan di BUMN ini sejalan dengan program Kemkes,” kata Ali.

Senada dengan itu, Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Menteri BUMN Bidang Jasa Gatot Trihargo mengakui peran vital BUMN untuk melakukan efisiensi biaya kesehatan karyawannya, seperti yang dilakukan PT Pertamina.

“Untuk mendorong ini, kami sinergikan seluruh potensi BUMN, termasuk tranformasi PT Askes menjadi badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) kesehatan, sementara PT Jamsostek menjadi BPJS ketenagakerjaan,” katanya.

Dalam proses tranformasi dua BUMN itu, kata dia, tentunya ada beberapa penyediaan jaminan kesehatan yang sebelumnya ditangani PT Jamsostek dialihkan ke PT Askes sehingga layanan yang diberikan semakin prima.

Berkaitan dengan efisiensi biaya kesehatan, ia menjelaskan BUMN memiliki banyak potensi kesehatan yang bisa layanannya bisa diintegrasikan, dikonsolidasikan, dan disinergikan agar lebih efektif dan efisien.

“BUMN memiliki dua fungsi dalam jaminan kesehatan, baik sebagai peserta maupun penyedia. Kita (pemerintah) punya apotek, mulai PT Kimia Farma, PT Bio Farma, dan sebagainya. Rumah sakit kita juga punya,” kata Gatot. (TMA)

(sumber: www.gatra.com)