Program JKN: Disayangkan, Petugas Kesehatan dan Peserta Tak Paham Layanan Rujuk Balik

Ketua Komisi Monitoring dan Evaluasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Zaenal Abidin menyayangkan masiah rendahnya pemahaman petugas kesehatan dan peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terhadap pelayanan rujuk balik yang dikembangkan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.

“Padahal layanan rujuk balik sangat penting untuk efisiensi, guna menjaga keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” kata Zaenal Abidin dalam acara pemaparan survey Indeks Kepuasan Program JKN 2015 oleh PT Swasembada Bisnis Media, di Jakarta, Rabu (30/12).

Zaenal mengungkapkan, layanan rujuk balik masih sulit dipahami tak hanya oleh petugas kesehatan, tetapi juga sebagian peserta BPJS Kesehatan sendiri. Sehingga banyak pasien yang merasa seperti di”ping-pong” karena harus kembali ke fasilitas kesehatan tahap pertama (FKTP).

“Petugas kesehatan juga menganggap kenapa pasien harus dikembalikan ke FKTP, jika bisa disembuhkan di rumah sakit. Padahal, pasien dikembalikan ke FKTP karena kondisi penyakitnya dianggap sudah bisa diatasi hanya di FKTP,” katanya.

Layanan rujuk balik yang dikembangkan BPJS Kesehatan saat ini untuk pasien dengan penyakit kronis, seperti diabetes mellitus dan hipertensi.

Zaenal juga mengaku kurang setuju dengan istilah rujuk balik, karena memberi kesan dokter spesialis merujuk pasiennya ke dokter umum di layanan primer. Istilah yang lebih tepat menurutnya adalah mengembalikan rujukan.

“Pelayanan rujuk balik ini juga sangat baik sebagai proses pembelajaran untuk dokter umum. Karena sebelum pasien dikembalikan ke layanan primer, dokter spesialis di rumah sakit akan memberi catatan khusus mengenai apa yang harus dilakukan dokter umum dalam merawat pasien tersebut,” ucapnya menegaskan.

Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia itu berharap, BPJS Kesehatan lebih menggiatkan lagi kegiatan sosialisasi rujuk balik ini agar peserta BPJS Kesehatan tidak merasa dipermainkan. Sosialisasi juga termasuk pada petugas kesehatannya.

Indeks Kepuasan

Terkait dengan hasil survey, Rohmat Purnadi, Kepala Riset PT Swasembada Media Bisnis menjelaskan, indeks kepuasan peserta program JKN 2015 masuk dalam kategori tinggi yaitu 78,9 persen. Survey dilakukan terhadap 20.163 responden peserta BPJS Kesehatan.

“Survey juga kami lakukan terhadap 1.759 responden penyedia layanan fasilitas kesehatan. Total responden sebanyak 21.922 responden, dengan margin error 5 persen,” tuturnya.

Rochmat menyebutkan, indeks kepuasan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) lebih tinggi dibandingkan peserta Non-PBI, yaitu sebesar 79,7 persen (PBI) dan 78,1 persen (Non-PBI).

Jika ditelisik lebih dalam, indeks kepuasan peserta Non-PBI untuk masing-masing jenisnya bernilai relatif sama, yaitu Pekerja Penerima Upah (PPU) sebesar 78.2 persen, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) sebesar 78.2 persen dan Bukan Pekerja sebesar 77.8 persen.

Sementara itu dari sisi kontak dengan titik pelayanan, secara umum indeks kepuasan peserta BPJS Kesehatan tidak jauh berbeda, yaitu antara 78-79,5 persen, dengan rata-rata indeks nasional sebesar 78,9 persen.

Adapun untuk masing-masing rinciannya adalah Puskesmas sebesar 78.6 persen, Dokter Praktek Perorangan (DPP) sebesar 79.5 persen, klinik sebesar 78.9 persen, Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) sebesar 79.1 persen, Kantor Cabang BPJS Kesehatan sebesar 78.5 persen, dan BPJS Kesehatan Center sebesar 79.0 persen.

“Khusus di FKRTL, indeks kepuasan peserta BPJS Kesehatan di RS swasta, RS pemerintah, dan RS TNI/Polri secara umum tidak jauh berbeda. Di RS swasta 79.7 persen, RS pemerintah 79.2 persen, dan RS TNI/Polri 78.5 persen,”ujarnya.

Dalam hal tipe perawatan, kepuasan peserta BPJS Kesehatan rawat jalan adalah 79.2 persen, sedangkan untuk peserta BPJS Kesehatan rawat inap adalah 78.9 persen.

Secara umum, indeks kepuasan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) cenderung lebih tinggi daripada FKRTL. Masing-masing indeks kepuasan berdasarkan jenis FKTP yaitu Puskesmas sebesar 76.2 persen, DPP 78.0 persen dan klinik 77.5 persen.

Sementara untuk FKRTL, indeks kepuasan terhadap kinerja BPJS Kesehatan adalah sebesar 71.9 persen. Sementara itu, jika dilihat dari segi wilayah kerja, Divisi Regional IX memiliki indeks kepuasan peserta lebih tinggi (85.6) dibandingkan Divisi Regional lainnya, yang berkisar antara 75.0- 85.6 persen.

Adapun untuk indeks kepuasan fasilitas kesehatan terhadap BPJS Kesehatan yang tertinggi berhasil dicapai oleh Divisi Regional X (84.5%), sementara pencapaian Divisi Regional lainnya berkisar antara 68.1- 84.5 persen.

“Dari hasil survey ini, bisa kita tarik kesimpulan bahwa ada sejumlah aspek yang harus dipertahankan dan ada yang perlu ditingkatkan,” kata Rochmat.

Dari sisi peserta, yang harus dipertahankan antara lain ketersediaan loket pelayanan, kesesuaian proses pelayanan dengan alur yang ditetapkan, kecepatan pelayanan di loket pendaftaran, kesamaan perlakuan terhadap pasien BPJS Kesehatan dan pasien umum, kenyamanan ruang tunggu, serta kecukupan jumlah tenaga medis, obat, dan loket pendaftaran di FKTP,” tuturnya.

Dari sisi fasilitas kesehatan, menurut Rochmat, kecepatan merespon pengajuan fasilitas kesehatan menjadi mitra BPJS Kesehatan, ketepatan pembayaran jumlah klaim atau kapitasi, dan penyelenggaraan program pertemuan kemitraan adalah beberapa hal yang harus dipertahankan oleh BPJS Kesehatan.

Sejumlah hal yang perlu ditingkatkan, disebutkan, antara lain ketepatan jam kedatangan dokter sesuai jadwal di poliklinik, kecepatan petugas BPJS Kesehatan Center menangani masalah, serta kemudahan proses rujuk balik dari rumah sakit. (TW)

 

Program JKN: Kemkes akan Terapkan Sistem Kapitasi dengan Pembobotan

Kementerian Kesehatan (Kemkes) akan menerapkan sistem kapitasi dengan pembobotan dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dengan demikian, tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan (faskes) di wilayah minim penduduk mendapat penghasilan yang sepadan.

“Perbaikan sistem kapitasi dilakukan semata demi keadilan,” kata Sekjen Kemkes Untung Suseno Sutarjo dalam diskusi bertajuk “Dua Tahun Pelaksanaan Program JKN,” di Jakarta, Selasa (29/12).

Dijelaskan, sistem kapitasi adalah model pembayaran untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang dihitung berdasarkan jumlah orang yang ditanggung. Dalam wilayah yang padat penduduk, maka dana kapitasi yang diterima FKTP di wilayah itu menjadi besar.

“Yang jadi masalah, jika FKTP berada di wilayah sepi penduduk. Dana kapitasi dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjadi kecil, karena dananya dihitung per kepala,” tuturnya.

Ditambahkan, kondisi ini menimbulkan kecemburuan di kalangan dokter dan tenaga kesehatan. Mereka merasa ada ketidakadilan dalam sistem, yang mana upah di tiap daerah dipukul rata, meski beban pekerjaannya berbeda.

“Untuk itu, kami tengah melakukan evaluasi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 59 terkait tarif pelayanan kesehatan,” ujarnya.

Nantinya, lanjut Untung, sistem kapitasi akan dibuat dengan pembobotan untuk FKTP di tiap-tiap daerah. Artinya, meski dua faskes memiliki jumlah peserta yang sama, namun tarif kapitasi yang diterima mungkin berbeda,” katanya.

Sebelumnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga mengeluhkan hal senada. Ketua IDI, Ilham Oetama Marsis melihat adanya ketidakadilan dalam sistem kapitasi menjadi salah satu pendorong terjadinya ketimpangan distribusi dokter di Indonesia.

“Jika dibayar rendah bagaimana dokter memberi makan keluarganya,” ucap Marsis menegaskan.

Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moeloek dalam pidato pembukaannya menyebutkan, sejumlah regulasi dalam program JKN yang akan diperbaiki, seperti status kepesertaan bayi baru lahir, besaran iuran peserta, penanganan defisit JKN, kasus penipuan (fraud) oleh faskes.

“Meski banyak masalah, tak berarti program JKN gagal. Pelaksaannya belum sempurna saja,” tutur Nila.

Menkes berharap program JKN pada 2016 tak lagi mengalami defisit anggaran. Perlu dicarikan solusi agar defisit anggaran bisa ditekan seminimal mungkin.

“Bisa saja pemerintah menutup kerugian BPJS Kesehatan, tetapi harus dicarikan solusinya agar tak rugi terus,” ucap Nila. (TW)

 

99,61 Persen Masyarakat Aceh Didaftarkan Program JKN

Pemerintah Aceh kembali memperkuat komitmennya dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal itu terbukti dengan didaftarkannya 99,61 persen atau sekitar 5 juta warganya sebagai peserta BPJS Kesehatan.

“Kami berharap provinsi Aceh bisa menjadi role model bagi provinsi lain dalam mendukung program JKN,” kata Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris usai penandatanganan kerja sama dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) 2016, di Jakarta, Selasa (29/12).

Hadir dalam kesempatan itu, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah.

Fachmi Idris menjelaskan, program JKRA sudah digagas sejak 2010 lalu saat BPJS Kesehatan masih berstatus sebagai PT Askes (Persero). Saat itu, jumlah penduduk Aceh yang dijamin kesehatannya sebanyak 1,7 juta orang.

“Setelah itu, jumlah peserta ditingkatkan menjadi sekitar 5 juta orang atau hampir 100 persen penduduknya,” tutur Fachmi.

Melalui penguatan komitmen kerja sama itu, lanjut Fachmi, diharapkan pelayanan jaminan kesehatan bisa terus ditingkatkan sehingga tingkat keluhan peserta JKRA pun menurun.

“Ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan JKRA sama seperti ketentuan jumlah kepesertaan (by name by address), perjanjian kerjasama, ketentuan masa berlaku kepesertaan, ketentuan jaminan pelayanan di fasilitas kesehatan (baik di tingkat FKTP maupun di tingkat FKRTL), serta ketentuan pembayaran iuran.

“Kami berharap semoga integrasi JKRA ke JKN-BPJS Kesehatan dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah provinsi lainnya. Sehingga terwujud universal coverage bagi seluruh rakyat Indonesia pada 1 Januari 2019 seperti diamanatkan UU Nomor 40/2004 dan UU Nomor 24/2011,” kata Fachmi menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Defisit Anggaran JKN Bisa Ditutup dari Dana Cukai Rokok

29des15

29des15Tim Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Universitas Indonesia (UI) mengusulkan, defisit anggaran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mencapai Rp6 triliun, bisa diselesaikan cepat dengan mengambil dari penerimaan cukai rokok.

“Defisit anggaran program JKN bisa ditutup dari cukai rokok. Hal itu, sebagai kompensasi karena rokok telah merusak kesehatan masyarakat,” kata Tim PKEKK UI, Hasbullah Thabrany dalam diskusi seputar program JKN, di Jakarta, Jumat (25/12).

Hasbullah menilai program JKN saat ini telah menjadi tumpuan masyarakat dalam jaminan kesehatannya. Program JKN telah berhasil melindungi lebih dari 155 juta penduduk Indonesia atau sekitar 60 persen penduduk.

Secara nominal, Hasbullah menambahkan, program JKN mampu memobilisasi dana untuk program kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan. Dananya diperkirakan mencapai Rp60 triliun.

“Namun, kenyataannya tak seperti. Jumlah pengguna kartu JKN melebihi dari yang diperkirakan. Sehingga terjadi defisit anggaran di tubuh BPJS Kesehatan,” tuturnya.

Selain itu, target cakupan PPU (peserta penerima upah) pada 2015 tidak naik secara signifikan. Jumlahnya hanya 25 persen dari target peserta sebanyak 155 juta peserta JKN.

“Sedangkan peserta dari penerima biaya iuran (PBI) yang dananya dibayarkan pemerintah masih mendominasi kepesertaan hingga 55 persen. Dan jumlah Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang relatif berisiko tinggi mencapai 10 persen,” ujarnya.

Karena itu, lanjut Hasbullah, dengan mengotong biaya berobat PBPU yang mahal, maka dananya tidak cukup memadai jika porsi PPU masih rendah. Jika kondisi itu dibenahi, maka anggaran JKN akan tetap defisit pada 2016.

“Porsi biaya kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan untuk melindungi 60 persen penduduk pada 2015 diperkirakan sebesar 20 persen dari total belanja kesehatan penduduk Indonesia. Artinya, tingkat perlindungan hanya 1/3 dari yang seharusnya,” katanya.

Ditambahkan, belanja biaya kesehatan di Indonesia secara internasional masih rendah, yakni sekitar Rp30.000 hingga Rp35.000. Sementara belanja kesehatan seluruh rakyat Indonesia pada 2015 diperkirakan mencapai Rp120.000 hingga Rp130.000.

“Belanja itu jauh lebih rendah dari belanja kesehatan penduduk Thailand dan Malaysia, yang diperkirakan mencapai Rp450.000 hingga Rp700.000 per kapita pada 2015. Karena itu, tak heran jika kualitas layanan kesehatan di Indonesia masih jelek,” ucap Hasbullah menegaskan.

Untuk itu, menurut Hasbullah, solusi yang bisa dilakukan untuk mobilisasi dana lebih besar untuk menutup defisit anggaran JKN, bisa diambil dari penerimaan pemerintah dari cukai rokok. (TW)

{jcomments on}

Program JKN: Pencetakan dan Distribusi KIS bagi PBI Tuntas 100 Persen

29des-1

29des-1Kartu Indonesia Sehat (KIS) bagi sekitar 5.543.276 penerima bantuan iuran (PBI) untuk wilayah Jawa Barat telah selesai dicetak dan siap didistribusikan. Dengan demikian, total pencetakan untuk segmen PBI tahun ini sebanyak 87.006.370 kartu.

“Jumlah itu melebihi target peserta PBI yang ditetapkan oleh pemerintah, sebanyak 86.400.000 kartu,” kata Dirut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fachmi Idris saat melihat proses pencetakan dan distribusi kartu KIS dibawah PT Sandipala Arthapura, Bekasi, Jawa Barat, Senin (28/12).

Sejumlah daerah di Jawa Barat yang menerima KIS, disebutkan, antara lain Kabupaten Bandung Barat (394.949 jiwa), Kabupaten Sukabumi (928.486 jiwa), Kabupaten Cianjur (957.641 jiwa), Kabupaten Purwakarta (179.199 jiwa) dan Kabupaten Majalengka (364.821 jiwa).

Selain itu ada Kabupaten Sumedang (247.714 jiwa), Kabupaten Kuningan (24.337 jiwa), Kabupaten Indramayu (649.500 jiwa), Kabupaten Garut (903.301 jiwa), Kabupaten Tasikmalaya (560.727 jiwa) dan Kabupaten Ciamis (332.601 jiwa).

Sebelumnya, peluncuran perdana KIS untuk peserta PBI sebanyak 4.426.010 jiwa telah dilakukan Presiden Jokowi bersamaan dengan peluncuran perdana Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), pada 3 November 2014.

Sebagai informasi, KIS yang diterbitkan BPJS Kesehatan terbagi dua jenis kepesertaan. Pertama, kelompok masyarakat yang wajib mendaftar dan membayar iuran, baik membayar sendiri (mandiri), ataupun berkontribusi bersama pemberi kerjanya (segmen buruh atau pekerja).

Kedua, kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu yang didaftarkan oleh pemerintah dan iurannya dibayarkan pemerintah (segmen PBI). (TW)

{jcomments on}

BADAN POM: Tahun Depan Formalin diberi Tambahan Zat Denatonium Saccharide

Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) akan membuat regulasi terkait peredaran formalin di pasaran. Formalin tersebut harus mengandung denatonium saccharide, yang terasa lebih pahit di lidah.

“Dengan demikian, masyarakat bisa mendeteksi penggunaan bahan berbahaya formalin, karena makanan jadi terasa agak pahit,” kata Kepala Badan POM, Roy Sparingga dalam diskusi media, di Jakarta, Rabu (24/12) petang.

Ditambahkan, selama ini formalin yang beredar di pasar Tanah Air masih berbentuk murni, yang terasa hambar. Sehingga jika dicampur ke bahan makanan seperti bakso sulit dideteksi. Dengan penambahan zat denatonium saccharide akan lebih mudah dikenali.

Direktur Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya, Badan POM Mustofa menjelaskan, zat denatonium saccharide mulai 2016 akan menjadi salah satu instrumen masyarakat untuk menilai suatu makanan apakah mengandung formalin atau tidak. Dengan demikian, masyarakat bisa secara langsung mengetahui apakah produk makanan tersebut mengandung bahan berbahaya.

“Penerapan regulasi ini nantinya akan dilakukan mulai dari proses hulu, yaitu semua produsen formalin harus menambahkan denatonium saccharide dalam produknya,” ucap Mustofa menegaskan.

Dengan kata lain, jika peraturan itu diterapkan menyeluruh di Indonesia, maka semua produk formalin akan mudah dideteksi masyarakat. Karena mengandung zat tambahan yang akan terasa pahit jika dikecap oleh lidah.

“Formalin, sejatinya bukan untuk campuran makanan karena dapat membahayakan kesehatan. Sesuai fungsinya, bahan ini seharusnya dipakai untuk mengawetkan mayat atau menjadi bahan campuran untuk produk-produk industri nonpangan,” kata Mustofa.

Penggunaan denatonium saccharide ini, lanjut Mustofa, akan diujicobakan di dua propinsi. Salah satunya provinsi Jawa Barat. Sementara satu daerah lainnya masih dipertimbangkan.

“Jawa Barat dipilih karena di provinsi itu penyalahgunaan formalin sebagai campuran bahan makanan terbilangtinggi,” tutur Mustofa seraya menambahkan masyarakat yang biasa menggunakan formalin sesuai fungsinya tidak perlu khawatir dengan ketentuan baru tersebut.

Ditambahkan, dengan penambahan denatonium Saccharide nantinya hanya akan menambah ongkos beli formalin ekitar Rp80 per liter. Harga formalin yang ada di pasaran sekarang ini sekitar Rp7-9 ribu per liter.

Artinya, masyarakat yang biasa membeli formalin dan menggunakan sesuai fungsinya tidak perlu khawatir dengan selisih harga.

“Ini demi keamanan pangan. Jadi penambahan harga Rp80 itu tidak begitu berat, jika dibandingkan dengan risiko kesehatan masyarakat jika formalin digunakan untuk makanan,” kata Mustofa menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Perbaiki Kesejahteraan Dokter, Agar Mau Praktik di Daerah Terpencil

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) periode 2015-2018, Profesor dr Ilham Oetama Marsis, SpOG mengatakan, pemerintah harus memperbaiki kesejahteraan dokter, jika ingin mereka bersedia praktik di daerah terpencil.

“Dokter kan manusia juga, mereka ingin hidup dengan layak. Jika masalah kesejahteraan tak terpenuhi, bagaimana kita bisa mendorong para dokter untuk bekerja di daerah terpencil,” kata pria yang akrab dipanggil Prof IOM usai pelantikannya, di Jakarta, Minggu (20/12).

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (FK-UKI) itu mengemukakan, banyak keluhan dokter terkait sistem kapitasi yang diterapkan dalam program Jaminan Kesehatan nasional (JKN).

“Hanya 10 persen dokter yang menyatakan puas atas bayaran yang diterima dalam sistem kapitasi. Sisanya, 90 persen dokter mengeluh,” ujar Prof Marsis yang didampingi Sekjen Mohamad Adib Khumaidi.

Ditambahkan, dokter yang mengaku sejahtera dari sistem kapitasi umumnya berasal dari wilayah padat penduduk. Sistem kapitasi lebih memberi keuntungan, ketimbang sistem fee for service, yang mana upah diberikan berdasarkan jumlah kunjungan pasien.

“Untuk daerah terpencil, biasanya penduduknya sedikit. Sistem kapitasi jelas merugikan dokter. Sudah minim fasilitas, minim pula kesejahteraannya. Bagaimana mereka senang hati ditempatkan di daerah terpencil,” ujarnya.

Prof IOM menyebutkan, rata-rata penghasilan dokter di daerah minim sekitar Rp4 juta hingga Rp7 juta per bulan. Sedangkan di daerah padat, dokter bisa mendapat penghasilan hingga Rp15 juta per bulan.

“Perbedaan upah dari sistem kapitasi itulah yang jadi salah satu pendorong terjadinya ketimpangan distribusi dokter di wilayah Indonesia. Kami berharap pemerintah bisa membuat kebijakan yang lebih memperhatikan kesejahteraan dokter dan tenaga kesehatan lainnya,” kata Prof IOM menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Minim, Minat Dokter Muda Praktik di Daerah Terpencil

Menteri Kesehatan mengungkapkan, minimnya minat dokter muda praktik di daerah terpencil. Untuk itu, diharapkan peran organisasi profesi guna mengadvokasi para dokter muda untuk mau praktik di seluruh wilayah Indonesia.

“Program Nusantara Sehat untuk mengisi kebutuhan dokter di daerah terpencil, ternyata minim peminat. Dari 7 ribu tenaga kesehatan yang mendaftar, hanya 10 orang yang berprofesi dokter,” kata Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek disela pelantikan pengurus baru Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2015-2018, di Jakarta, Minggu (20/12).

Menkes mengemukakan, jumlah dokter di Indonesia sebenarnya sudah mencapai angka ideal, yaitu 125 ribu orang untuk penduduk berjumlah 250 juta. Namun, kendalanya penyebaran dokter tidak merata.

“Dokter banyak menumpuk di kota-kota besar. Perlu upaya yang lebih keras lagi dari pemerintah dan organisasi profesi untuk mendorong dokter agar mau bekerja di daerah terpencil,” kata Nila menegaskan.

Hal senada dikemukakan Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia ( BPPSDM) Kementerian Kesehatan, Usman Sumantri. Katanya, dokter enggan praktik di daerah terpencil, lantaran minimnya fasilitas kesehatan di daerah tersebut.

“Kami sudah ingatkan pada daerah-daerah yang minim dokter, untuk memperbaiki fasilitas kesehatannya, agar dokter merasa nyaman saat bekerja di daerahnya. Karena anggaran sekarang sudah transfer daerah,” ucapnya.

Usman mengakui ada sekitar 10 persen atau 970 Puskesmas di Tanah Air yang jarang ada dokternya. Dokter enggan praktik di Puskesmas itu, lantaran minim fasilitas. Mereka lebih banyak praktik di Puskesmas Induk.

“Susah juga memberi sanksi pada dokter yang hanya datang satu kali seminggu di tempat pengabdiannya, jika tidak ada fasilitas standar di sana,” tuturnya.

Ia berharap program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dapat membuat pengaturan dokter menjadi lebih baik. Karena program tersebut menitikberatkan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), termasuk ketersediaan tenaga kesehatannya.

“Saat ini dokter masih menumpuk di Jawa-Bali, angkanya mencapai 49 persen. Sisanya tersebar di kota-kota di luar itu. Dan sedikit sekali di daerah terpencil,” katanya.

Solusi atas masalah itu, menurut Usman Sumantri, adalah pemberian kesejahteraan yang memadai. Agar beban kerjanya yang tinggi bisa setara dengan penghasilannya.

“Soal kesejahteran dokter di daerah, tidak bisa diputuskan Kemkes sendiri. Perlu izin prinsip dari presiden. Kami berharap masalah ini bisa diselesaikan dalam waktu segera,” kata Usman Sumantri menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Iuran BPJS Kesehatan Kini Bisa Dibayar melalui Kantor Pos

21des15

21des15Guna memudahkan masyarakat membayar iuran, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjalin kerja sama dengan Kantor Pos. Mengingat jaringan kantor pos tersebar hingga seluruh Indonesia, yakni ada 4.126 kantor pos kecamatan dan 19.202 agen pos di desa.

“Penambahan jumlah outlet PPOB (payment point online bank) melalui Kantor Pos diharapkan memudahkan masyarakat membayar iuran, terutama di kecamatan yang tak ada minimarketnya,” kata Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris saat melihat dari dekat outlet PPOB di Kantor Pos Kecamatan Conggeang, Sumedang, Jawa Barat, Senin (21/12).

Hadir dalam kesempatan itu, Direktur Keuangan Pos Indonesia, Poernomo dan Direktur Funding dan Distribution BTN, Sis Apik Wijayanto.

Seperti diberitakan sebelumnya, BPJS Kesehatan sejak Agustus 2015 lalu melakukan perluasan channel PPOB dengan 4 mitra bank yaitu Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN dan dua jaringan minimarket Indomaret dan Alfa Mart.

Sistem pembayaran dengan mekanisme PPOB terbilang efektif dan diminati banyak masyarakat. Terbukti sejak diluncurkan, pada minggu ke-3 Desember 2015 ini, jumlah transaksi pembayaran iuran peserta BPJS Kesehatan mencapai hampit 2,4 juta transaksi pembayaran di 113 ribu outlet PPOB baik modern maupun tradisional.

Dijelaskan, pembayaran PPOB di outlet tradisional dilakukan pada ‘agen’ perorangan.di rumah-rumah, sebagaimana lazimnya pembayaran listrik atau pembayaran telepon. Dan pembayaran PPOB menggunakan saluran modern melalui bank dan jaringan minimarket.

Dalam melakukan pembayaran iuran, Fachmi menambahkan, calon peserta atau peserta BPJS Kesehatan cukup menunjukkan nomor virtual account (VA) kepada kasir minimarket.

“Target kami hingga akhir 2015 ada 100 ribu outlet. Saat ini sudah melampaui target,” ucapnya.

Transaksi di outlet tradisional maupun modern channel, kata Fachmi, akan dikenakan biaya surcharge sebesar Rp2.500 per transaksi. Namun ke depannya, tagihan satu keluarga dapat digabung menjadi satu. Sehingga masyarakat cukup mengeluarkan biaya satu kali transaksi pembayaran.

Fachmi menambahkan, pihaknya juga akan menggandeng beberapa jaringan minimarket besar lain sebagai gerai pembayaran PPOB modern channel, yang meliputi 183 gerai 7-Eleven, 600 Circle-K, 310 gerai Bright, serta 200 gerai Super Indo.

Tak hanya itu, tahun ini channel pembayaran iuran BPJS Kesehatan juga diharapkan dapat merambah ke 350 agen/cabang jasa pengiriman barang JNE yang tersebar di seluruh Indonesia.

Adapun saat ini total terdapat 15.374 kantor bank dan 53.763 ATM bank mitra BPJS Kesehatan, dengan rincian Bank Mandiri 2.334 kantor dan 17.032 ATM. Untuk BNI ada 1.813 kantor dan 14.025 ATM. Sedangkan di BRI ada 10.410 kantor dan 20.876 ATM, di BTN 817 kantor dan 1.830 ATM. (TW)

 

Menkes: Baru 20 Persen Masyarakat Indonesia Sadar Kesehatan

Upaya promosi kesehatan adalah strategi pemerintah saat ini untuk mengurangi jumlah angka masyarakat yang sakit. Dengan demikian diharapkan akan makin sedikit orang yang berobat dan beban negara dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) juga berkurang.

Terkait hal tersebut Menteri Kesehatan Profesor Dr dr Nila Moeloek, SpM(K), berpesan kepada para Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) yang baru-baru ini selesai dilantik, Minggu (20/12/2015) untuk membantu pemerintah melakukan promosi kesehatan. Saat ini menurut Nila masih banyak hal yang harus ditingkatkan karena data menunjukkan hanya sekitar 20 persen populasi di Indonesia yang paham kesehatan.

“Angka sekunder dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 kami mencoba menilai, ternyata hanya baru 20 persen masyarakat Indonesia yang sadar akan kesehatan. Ini tugas utama kita,” kata Nila ketika memberikan sambutan di acara pelantikan pengurus besar IDI, Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta,.

Masyarakat Indonesia yang homogen dari berbagai suku dan budaya adalah tantangan utama saat melakukan sosialisasi-sosialisasi kesehatan. Nila beberapa kali menyaksikannya sendiri saat mengunjungi fasilitas-fasilitas kesehatan di daerah.

“Saya baru dari NTB (Nusa Tenggara Barat -red), Lombok Barat, pada waktu itu rumah sakitnya dibuat sungguh baik sekali. Tetapi yang tak enak saya mendengarkan pasien kelas tiga dengan begitu baiknya WC, tidak mengerti bagaimana buang air besar (pakai toilet -red),” kata Nila.

“Ini fakta yang harus kita hadapi. Masih ada masyarakat seperti ini,” pungkasnya.

sumber: http://health.detik.com/