GenRe Bentengi Kaum Muda Dari Narkoba

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) akan menggiatkan kembali program Generasi Berencana (GenRe) guna jadi benteng kaum muda dari gempuran narkoba.

“Melalui progarm GenRe, kami ingin membangun kesadaran kaum muda betapa berbahaya narkoba sehingga tak mudah terbujuk rayuan bandar narkoba yang mengintai di luar rumah,” kata Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKBN Sudibyo Alimoeso kepada wartawan di Jakarta, Senin (26/1) petang.

Dijelaskan, fokus BKKBN adalah menjauhkan remaja dari seks bebas, narkoba dan HIV/AIDS.
Hal itu penting, karena saat ini banyak remaja yang terjebak dalam problematika seks bebas, narkoba dan HIV/AIDS.

“Kasus paling baru adalah kecelakaan fatal di Jalan Arteri Pondok Indah, Jakarta Selatan. Itu dampak negatif dari narkoba yang sangat membahayakan. Untuk itu, kita harus bertindak, bersama-sama mulai dari keluarga, masyarakat dan pemerintah,” ujarnya.

Kewaspadaan ini menjadi penting, karena menurut Sudibyo Alimoeso, jumlah remaja Indonesia ada sekitar 67 juta orang. Dan itu merupakan segmen terbesar untuk dijadikan sebagai pasar penjualan narkoba.

“Remaja ini merupakan sumber daya manusia yang memainkan di era bonus demografi beberapa tahun ke depan ini. Jika mereka terkena bujuk rayu narkoba, maka hancurlah Indonesia,” katanya.

Melalui program GenRe, Sudibyo menjelaskan, akan dibentuk pusat informasi konseling yang penyuluhnya merupakan teman-teman sebaya. Mereka diharapkan dapat lebih mudah menyampaikan pesan ke sesama remaja.

“Pusat informasi dan konseling akan berada di sekolah dan perguruan tinggi,” katanya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan, indonesia perang melawan narkoba. Mengingat saat ini ada sekitar 4,5 juta orang yang terkena narkoba, dan ada 1,2 juta orang yang sudah tidak bisa direhabilitasi, karena kondisi kecanduannya yang parah. (TW)

{jcomments on}

Ajari Anak Gaya Hidup Sehat Sejak Dini

27jan15

27jan15Kebiasaan hidup bersih dan sehat harus dilatih sejak dini. Untuk itu, Kementerian Kesehatan menggandeng Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memperkuat program Unit Kesehatan Sekolah (UKS) guna menanamkan kebiasaan baik tersebut.

“Kebiasaan baik bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti mencuci tangan sebelum makan atau sesudah berkemih. Atau menjaga kebersihan di lingkungan sekolah,” kata Menteri Kesehatan (Menkes) Prof Nila FA Moeloek usai bertemu dengan Mendikbud Anies Baswedan, di Senayan Jakarta, Selasa (27/1)

Menurut Prof Nila, anak di sekolah juga kurang bergerak dan kurang memiliki kesadaran untuk berolahraga. Ia berharap sekolah bisa lebih kreatif untuk membuat kegiatan atau permainan yang mendorong anak untuk bergerak.

“Di jam istirahat, buat permainan yang membuat anak bergerak dan riang gembira. Setelah itu anak bisa menyerap pelajaran dengan lebih baik, karena peredaran darah lebih lancar dan oksigen bisa lebih cepat ke otak,” tuturnya.

Dan yang tak kalah penting, lanjut Menkes, konsumsi makanan sehat. Jika sekolah tidak bisa menyediakan kantin sehat, anak harus membawa bekal sehatnya sendiri.

“Karena sekolah dimulai pukul 07.00-15.00 WIB, untuk itu siswa dianjurkan membawa bekal yang cukup karena setiap tiga jam sekali anak harus makan porsi kecil atau snack” ujarnya.

Ditambahkan, kebersihan sanitasi dan kamar mandi juga diperlukan. Karena tempat itu bida menjadi sarang penyakit jika tidak secara rutin dibersihkan.

“Kami berharap UKS ini benar-benar bisa diterapkan di semua sekolah, baik negeri maupun swasta. Dengan demikian, sekolah bisa menjadi tempat pembelajaran hidup sehat,” ucap Menkes menegaskan.

Hal senada dikemukakan Mendikbud Anies Baswedan. Ia berharap revolusi mental dalam bidang kesehatan juga terjadi di sekolah. Misalkan lewat program UKS.

“Kami harap sekolah tidak terbebani oleh program UKS yang nanti kita kembangkan lagi materinya seperti apa. Yang pasti mengajari anak bergaya hidup sehat,”ucap Anies.

Ditambahkan, Kemendikbud pada 2011 lalu memiliki program yang disebut “Program Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah” (PMTAS). Program tersebut kemungkinan akan diterapkan lagi.

“Sebanyak 40 persen anak, terutama di daerah yang berangkat sekolah tanpa sarapan. Melalui PMTAS, kami berharap kendala ini bisa diatasi sehingga anak dapat asupan gizi yang cukup saat belajar di sekolah,” ujarnya.

Anies menyadari untuk mencapai hal itu, pihaknya tidak bisa bekerja sendiri. Ia akan bekerjasama lintas kementerian seperti dengan Kemenkes, Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (TW)

 

Penyakit Kusta: Menkes Canangkan ‘Resolusi Jakarta’

26jan15-2

26jan15-2Guna mencapai target eliminasi kusta pada 2020, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membuat program kerja yang disebut “Resolusi Jakarta”. Resolusi tersebut memuat tiga pendekatan, yang lebih banyak melibatkan masyarakat.

“Resolusi jakarta ini diharapkan bisa menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta,” kata Menkes Prof Nila FA Moeloek saat pencanangan ‘Resolusi Jakarta Guna Hilangkan Stigma dan Diskriminasi Kusta’, pada peringatan Hari Kusta sedunia di gedung Kemenkes, Senin (26/1).

Hadir dalam acara itu WHO Representative to Indonesia, Dr Kanchit Limpakarnjanarat, The President of International Federation of Anti-Leprosy Associations (ILEP), Jan Van Berkel, dan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes, dr HM Subuh.

Prof Nila memaparkan, resolusi pertama meminta masyarakat agar berani bergaul dengan Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK). Kedua, meminta keluarga dan masyarakat untuk peduli dengan mengajak penderita kusta ke puskesmas.
Yang ketiga, ditambahkan, meminta tenaga kesehatan untuk melayani semua pasien dengan penuh kasih sayang dan tidak diskriminatif. “Resolusi ini telah disepakati para ahli, akademisi, dan perwakilan lembaga sosial masyarakat (LSM) baik nasional dan internasional,” ucapnya.

Dikemukakan, Indonesia hingga saat ini merupakan salah satu negara dengan beban penyakit kusta yang tinggi. Pada tahun 2013, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia setelah India dan Brazil, dengan jumlah kasus baru sebanyak 16.856 kasus.

“Dari jumlah itu, jumlah kecacatan tingkat 2 ada sebanyak 9,86 persen,” ujarnya.

Penyakit kusta merupakan salah satu dari delapan penyakit terabaikan atau Neglected Tropical Disease (NTD) yang masih ada di Indonesia, yaitu Filaria, Kusta, Frambusia, Dengue, Helminthiasis, Schistosomiasis, Rabies dan Taeniasis.

“Indonesia sudah mengalami kemajuan yang pesat dalam pembangunan di segala bidang termasuk kesehatan. Namun kusta sebagai penyakit kuno masih ditemukan. Hingga kini, kusta seringkali terabaikan,” kata Menkes.

Meski kusta tidak secara langsung masuk dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), namun hal itu terkait erat dengan lingkungan yaitu sanitasi. Penggunaan air bersih dan sanitasi akan sangat membantu penurunan angka kejadian penyakit NTD.
“Beban akibat penyakit kusta bukan hanya karena masih tingginya jumlah kasus yang ditemukan tetapi juga kecacatan yang diakibatkannya,” katanya menegaskan.

Menkes menambahkan, pada 2000, Indonesia sudah mencapai eliminasi di tingkat nasional. Namun saat ini, masih ada 14 propinsi yang mempunyai beban tinggi yaitu Banten, Sulteng, Aceh, Sultra, Jatim, Sulsel, Sulbar, Sulut, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat dan Kalimantan Utara.

“Sesuai dengan peta jalan penanggulangan kusta, ditargetkan ke 14 propinsi tersebut akan eliminasi pada 2019,” ujarnya.

Prof Nila menuturkan, masalah kusta di Indonesia masih sarat dengan stigma, sehingga menyulitkan dalam pencarian kasus kusta dan tatalaksana yang tepat. Padahal sebenarnya penyakit kusta dapat disembuhkan tuntas tanpa penampilan yang menakutkan dan kecacatan.

Kusta yang ditemukan sedini mungkin dengan pengobatan yang cepat dan tepat dapat disembuhkan dengan meminimalisasi kecacatan. Namun, bila terlambat ditemukan dan diobati dapat menimbulkan kecacatan permanen.

“Kecacatan yang terlihat pada penderita kusta seringkali tampak menyeramkan sehingga menyebabkan perasaan ketakutan yang berlebihan terhadap penderita itu sendiri atau lepraphobia”, kata Menkes.

Meski penderita kusta telah menyelesaikan rangkaian terapi dengan minum obat atau release from treatment (RFT), status predikat kusta tetap melekat pada dirinya seumur hidup.

“Status predikat inilah yang menjadi dasar permasalahan psikologis pada penderita. Penderita merasa kecewa, takut, dan duka yang mendalam terhadap keadaan dirinya, sehingga menimbulkan perasaan tidak percaya diri, malu, merasa diri tidak berharga dan berguna dan kekhawatiran akan dikucilkan (self stigma),” ujarnya.

Selain itu, opini masyarakat juga menyebabkan penderita kusta dan keluarganya dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat.

Stigma dan diskriminasi dapat dialami oleh penderita dan OYPMK dalam bentuk penolakan di sekolah, di tempat kerja, dan dalam kesempatan mendapatkan pekerjaan. OYPMK dengan kecacatan menjadi bergantung baik secara fisik maupun finansial kepada orang lain.

“Pada akhirnya kondisi itu berujung pada kemiskinan,” ucap Menkes menandaskan. (TW)

 

Dibutuhkan Standardisasi Pelayanan KB

26jan15

26jan15Program Keluarga Berencana (KB) di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) belum berjalan optimal. Salah satu kendala adalah belum adanya standar klinis pelayanan KB yang harus diselesaikan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau apakah harus dirujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).

“Tindakan tubektomi interval, contohnya, apakah hal itu harus diselesaikan di FKTP atau bisa dirujuk ke FKRTL,” kata Fasli Jalal, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam acara “Diseminasi Kajian Program KB di Era Jaminan Kesehatan Nasional 2014” di Jakarta, Kamis (22/1).

Hadir dalam kesempatan itu, Kepala Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Prof Laksono Trisnantoro.

Kendala lainnya, lanjut Fasli, belum terintegrasinya sistem informasi fasilitas kesehatan antara BPJS Kesehatan dengan Sistem Informasi Manajemen (SIM) BKKBN. Sistem informasi semacam itu penting untuk memastikan setiap fasilitas kesehatan terdata dalam subsistem distribusi alat kontrasepsi dan pencatatan dan pelaporan pelayanan kontrasepsi.

Selain itu, Fasli menambahkan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan harus lebih gencar lagi mensosialisasikan mekanisme klaim pelayanan KB yang dilakukan oleh jejaring FKTP, seperti bidan praktik mandiri. Dengan demikian, masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan layanan KB mandiri.

Fasli menjelaskan, temuan masalah tersebut diperoleh dari hasil kajian yang dilakukan bersama BKKBN dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2014 dan badan kependudukan dunia, UNFPA.

Kajian Program KB di Era JKN 2014. Itu dilakukan di 5 provinsi, yaitu Sumatera Utara (Sumut), Daerah Istimewa (DI) Yoyakarta, Sulawesi Selatan (Sulsel), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua.

Kendati demikian, Fasli mengaku senang pihaknya dilibatkan dalam pembahasan perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, khususnya Pasal 21 terkait langsung dengan penyelenggaraan pelayanan KB.

“Saya berharap agar ketentuan mengenai standardisasi pelayanan KB serta pemenuhan kebutuhan alat dan obat kontrasepsi bagi peserta JKN di fasilitas kesehatan, dapat diatur secara jelas. Termasuk keterlibatan BKKBN sebagai salah satu anggota Komite Nasional dalam penetapan daftar dan harga obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai,” tuturnya.

Untuk itu, kata Fasli, BKKBN bersama Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan telah menerbitkan Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Keluarga Berencana dalam Jaminan Kesehatan Nasional melalui Peraturan Kepala BKKBN Nomor 185/PER/E1/2014.

“Sosialisasi Pedoman ini telah dilakukan pada 26-28 November 2014 di Kota Surakarta. Kami berharap Pedoman ini dapat menjadi acuan bagi Pemerintah Pusat termasuk BPJS Kesehatan tentang bagaimana dapat memastikan pelayanan dan pembiayaan pelayanan KB dapat diberikan di fasilitas kesehatan,” katanya menegaskan.

Ditambahkan, selama ini cakupan pelayanan KB diatur secara teknis dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres ini menetapkan bahwa jenis pelayanan KB yang dijamin dalam JKN adalah konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi KB.

“Definisi operasional kontrasepsi dasar yang digunakan adalah pelayanan kontrasepsi yang meliputi pelayanan KB pil, suntik, pemasangan/pencabutan IUD, dan pemasangan atau pencabutan implan,” ujarnya.

Fasli menilai, pembiayaan pelayanan KB yang terintegrasi dalam JKN merupakan peluang untuk mengatasi hambatan ekonomi masyarakat (pasangan usia subur/PUS) guna mendapatkan pelayanan KB sesuai tujuan reproduksinya.

“Beberapa penelitian menunjukkan akses masyarakat menuju fasilitas kesehatan tak hanya terkendala dari sisi pembiayaan pelayanan kesehatan. Biaya perjalanan ke fasilitas kesehatan dan opportunity cost yang hilang pascapenggunaan metode kontrasepsi, khususnya vasektomi, juga perlu menjadi perhatian,” katanya.

Pembiayaan pelayanan KB di FKTP dan FKRTL telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI (Permenkes) Nomor 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

Permenkes ini menyebutkan, pembiayaan pelayanan KB dapat diklaim melalui dana nonkapitasi di FKTP, yaitu pelayanan KB suntik Rp15 ribu, pemasangan atau pencabutan IUD Rp100 ribu, pemasangan atau pencabutan implan Rp100 ribu, vasektomi Rp 350 ribu, komplikasi pascapenggunaan kontrasepsi Rp125 ribu.

Sementara pelayanan KB di FKRTL yang bersifat operatif atau berdasarkan indikasi medis rujukan dari FKTP diklaim dari paket INA CBG.

“Tentunya penyesuaian pola pembiayaan pelayanan KB, yang sebelumnya diatur melalui pembiayaan kapitasi, berdasarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK/MENKES/31/2014 tentang Pelaksanaan Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada FKTP dan TL dalam program JKN menunjukkan keberpihakan Pemerintah dalam penyelenggaraan program KB nasional,” katanya.

Fasli yakin pemikiran bahwa pelayanan KB adalah pelayanan yang bersifat promotif dan preventif untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak bisa ikut mengendalikan biaya pelayanan kesehatan secara keseluruhan. (TW)

{jcomments on}

Menkes Tingkatkan Pelayanan Kesehatan Jamaah Haji Indonesia

Indonesia memiliki jamaah haji dalam jumlah terbesar. Permasalahan kesehatan yang dialami jemaah haji Indonesia, bukan hanya karena penyakit melainkan juga karena masalah usia lanjut. Itu sebabnya, Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek menyampaikan keinginannya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi jamaah haji Indonesia.

Hal itu diungkapkan saat bertemu dengan Direktur Jenderal Urusan Kese hatan Wilayah Makkah Khalid Obaid Zafar, baru-baru ini. Beberapa hal yang dibicarakan diantaranya, terkait pelayanan kesehatan bagi jamaah Indonesia selama perjalanan haji dan umrah, guna mendapatkan kemudahan akses dan jaminan kesehatan.

“Kami perlu meyakinkan bahwa masyarakat Indonesia akan mendapatkan layanan kesehatan yang memadai”, ungkap Menkes. Dalam dialog tersebut, Khalid menerangkan bahwa Pemerintah Saudi bertanggungjawab sepenuhnya atas seluruh pelayanan kesehatan jemaah haji dan umrah.
Tidak ada pungutan biaya untuk pelayanan medis jemaah, selama berada dalam layanan rumah sakit pemerintah. Pelayanan kesehatan oleh negara pengirim haji dimungkinkan untuk diselenggarakan sebagai tambahan dan wajib mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Pemerin tah Saudi. Melalui pertemuan tersebut, diperoleh kesepahaman prinsip untuk menjalin komunikasi dan kerjasama dalam pelayanan kesehatan bagi jemaah haji pada tahun 1436 H.

Diharapkan layanan kesehatan dapat meningkat melalui pembukaan akses layanan kesehatan. Pemerintah Saudi akan berupaya untuk melayani seluruh kebutuhan medis jemaah. Pemerintah Saudi meminta agar ada penanda bagi setiap jemaah yang memiliki masalah kesehatan tertentu, agar mudah dalam penanganannya.

Penggunaan International Statis tical Classification of Diseases and Related Health Problems, 10th Revision atau disingkat menjadi ICD-10 adalah klasifikasi diagnostik standar internasional akan memudahkan komunikasi pelayanan medis bagi jemaah haji. Di harapkan, jemaah umrah juga dibekali informasi medis tersebut.

“Kami akan mengatur dengan sebaik-baiknya, agar seluruh jemaah haji memperoleh layanan sesuai kebutuhannya,” janji Khalid. (rko)

sumber: http://www.indopos.co.id/

 

Pemerintah Luncurkan Gerakan “Bude Jamu”

23jan15

23jan15Guna mengajak masyarakat minum jamu untuk menjaga kebugaran tubuh, Kementerian Kesehatan meluncurkan Gerakan “Bugar Dengan (Bude) Jamu”. Upaya ini sekaligus ikut melestarikan warisan leluhur.

“Mari mulai kebiasaan baik minum jamu untuk kebugaran dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan,” kata Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani usai peluncuran “Bude Jamu” di kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat (23/1).

Hadir dalam kesempatan itu, Menteri Koperasi dan UKM, Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembisa, Menteri Pariwisata, Arief Yahya, Menteri Perindusian, Saleh Husin, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Roy Sparingga dan Kepala Badan Nasional Narkoba (BNN), Anang Iskandar.

Gerakan Bude Jamu ini, lanjut Puan Maharani, akan disosialisasikan di pemerintahan dengan cara menyediakan jamu pada rapat-rapat di kantor, membuka pojok jamu di tempat-tempat umum hingga penyediaan minuman jamu di hotel-hotel.

Menurut Puan Maharani, saat ini jamu telah mengalami revolusi baik dari segi rasa, bentuk sediaan hingga manfaatnya. Dengan demikian,jamu tidak lagi dianggap sebagai minuman masyarakat kelas menengah ke bawah, tetapi semua kalangan.

“Jamu juga tidak lagi memiliki stigma negatif karena diproduksi secara sederhana dan pahit rasanya. Kini jamu dapat dinikmati semua kalangan dalam bentuk sediaan yang sangat praktis, enak, berkhasiat dan menjadi bagian dari gaya hidup,” kata Puan menandaskan.

Sementara itu, Menkes Prof Nila FA Moeloek mengemukakan, nantinya pelayanan kesehatan di masa depan tak hanya menyelenggarakan pelayanan konvensional, tetapi juga pelayanan kesehatan tradisional seperti tertuang pada Peraturan Pemerintah No 103/2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional.

“Upaya ini memang butuh waktu. Karena spektrum jamu sangat luas mulai dari minuman jamu seperti beras kencur dan sinom, sampai dengan sediaan jamu untuk pengobatan,” tutur Menkes.

Dikatakan, jamu yang berkhasiat meningkatkan kebugaran akan terus dikampanyekan pemanfaatannya untuk meningkatkan kesehatan. Sementara jamu yang diklaim dapat mengobati penyakit, tentunya harus melalui uji klinik yang benar.

“Saat ini ada sekitar 400 saintifikasi jamu, yaitu penyediaan data ilmiah mulai dari keamanan, khasiat, dan mutunya. Ini yang nantinya kita tindaklanjuti lewat uji klinis sehingga jamu bisa menjadi bagian dari pengobatan modern. Jamu dipakai kalangan dokter,” ucap Prof Nila FA Moeloek.

Acara ditutup dengan minum jamu beras kencur dan kunyit asam bersama dengan seluruh tamu dan undangan. (TW)

{jcomments on}

Menkes RI Bertemu Direktur Jenderal Urusan Kesehatan Wilayah Makkah

Makkah, 14 Januari 2015

Indonesia memiliki jemaah haji dalam jumlah terbesar. Permasalahan kesehatan yang dialami jemaah haji Indonesia, bukan hanya karena penyakit melainkan juga karena masalah usia lanjut.

Demikian pernyataan Menteri Kesehatan RI, Prof. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M(K), saat bertemu dengan Direktur Jenderal Urusan Kesehatan Wilayah Makkah, Dr. Khalid Obaid Zafar, mengawali rangkaian kunjungan kerja ke Saudi Arabia, pada Selasa siang (13/1) pukul 14.30 WAS (Waktu Arab Saudi). Beberapa hal yang dibicarakan diantaranya terkait pelayanan kesehatan bagi jemaah Indonesia selama perjalanan haji dan umrah, guna mendapatkan kemudahan akses dan jaminan kesehatan.

“Kami perlu meyakinkan bahwa masyarakat Indonesia akan mendapatkan layanan kesehatan yang memadai”, ungkap Menkes RI, dalam pertemuan tersebut.
Dalam dialog tersebut, Dr. Khalid menerangkan bahwa Pemerintah Saudi bertanggungjawab sepenuhnya atas seluruh pelayanan kesehatan jemaah haji dan umrah. Tidak ada pungutan biaya untuk pelayanan medis jemaah, selama berada dalam layanan rumah sakit pemerintah. Pelayanan kesehatan oleh negara pengirim haji dimungkinkan untuk diselenggarakan sebagai tambahan dan wajib mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Saudi.

Melalui pertemuan tersebut, diperoleh kesepahaman prinsip untuk menjalin komunikasi dan kerjasama dalam pelayanan kesehatan bagi jemaah haji pada tahun 1436 H. Diharapkan layanan kesehatan dapat meningkat melalui pembukaan akses layanan kesehatan. Pemerintah Saudi akan berupaya untuk melayani seluruh kebutuhan medis jemaah. Pemerintah Saudi meminta agar ada penanda bagi setiap jemaah yang memiliki masalah kesehatan tertentu, agar mudah dalam penanganannya.

Penggunaan International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems, 10th Revision atau disingkat menjadi ICD-10 adalah klasifikasi diagnostik standar internasional akan memudahkan komunikasi pelayanan medis bagi jemaah haji. Diharapkan, jemaah umrah juga dibekali informasi medis tersebut. Pemerintah Saudi juga menyatakan bahwa dengan senang hati akan menerima data kebutuhan layanan medis yang diperlukan jemaah haji Indonesia, diantaranya kebutuhan layanan hemodilsa.

“Kami akan mengaturdengan sebaik-baiknya, agar seluruh jemaah haji memperoleh layanan sesuai kebutuhannya,” ungkap Dirjen Urusan Kesehatan Wilayah Makkah.

Pertemuan Menkes RI dan Dirjen Urusan Kesehatan di Makkah menjadi langkah awal sekaligus pintu masuk koordinasi teknis layanan kesehatan yang lebih baik untuk tahun ini dan tahun-tahun mendatang, baik diperuntukkan bagi jemaah haji, maupun jemaah umrah.
“Negara harus hadir bagi rakyatnya. Karena di balik kewajiban untuk memelihara kesehatan pribadi, rakyat memiliki hak atas layanan kesehatan, baik selama di Tanah Air maupun di luar negeri”, tandas Menkes.

Berita ini disiarkan kembali oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, dan alamat email [email protected]

 

Yayasan Gates: Kesehatan dan Pembangunan Global Membaik

Yayasan Bill & Melinda Gates memperkirakan angka kematian anak di dunia akan berkurang hingga setengah dalam 15 tahun, sementara penyakit cacing dan kebutaan akibat air sungai akan hilang dan hanya akan ada satu dosis obat untuk penyakit malaria.

Perkiraan ini dirilis pada Kamis (22/1) dan disertai serangkaian terobosan dalam kesehatan dan pembangunan global yang akan dicapai pada 2030, seperti satu tonggak pencapaian yang hingga kini suit dicapai yaitu Afrika akan swasembada pangan dan tidak lagi menggantungkan diri pada makanan impor.

Akan tetapi, pencapaian ini tidak akan dengan mudah dicapai tulis laporan yayasan ini.

“Kita harus membuat sejumlah terobosan,” ujar Melinda Gates, yang bersama dengan suaminya Bill, memimpin yayasan tersebut.

Yayasan terkaya di dunia ini berhasil membantu sejumlah pencapaian, seperti vaksin untuk penyakit mematikan anak-anak rotavirus dan pneumonia. Menurut Bill Gates membuat vaksin merupakan “kesuksesan terbesar kami.”

Yayasan yang didirikan pada 2000, mendistribusikan dana bantuan sebesar US$3,6 miliar pada 2013 untuk sektor kesehatan dan pembangunan global, dan pada akhir 2014 asetnya tercatat sebesar US$42,3 miliar.

“Kami menggandakan tujuan yang kami canangkan 15 tahun lalu, membuat tujuan-tujuan ambisius terkait apa yang mungkin dicapai dalam 15 tahun dari sekarang,” tulis keduanya dalam rilis ini.

“Kehidupan orang di negara-negara miskin akan membaik dengan cepat dalam 15 tahun mendatang.”

Pada 1990, 10 persen anak-anak di dunia meninggal sebelum usia lima tahun. Sekarang hanya tinggal lima persen, dan pada 2030 hanya satu dari 40 anak yang meninggal akibat praktek-praktek perawatan anak seperti pemberian asi, sanitasi yang lebih baik dan vaksin.

Dalam 15 tahun, yayasan ini yakin para petani di Afrika akan memiliki akses dalam mendapatkan pupuk yang lebih baik dan bibit yang lebih tahan musim kemarau dan hama sehingga produksi pertanian akan berlipat ganda.

Dan sumbangan obat-obatan, seperti obat yang dibagikan kepada 800 juta orang secara gratis tahun lalu, bisa mengatasi penyakit polio, kaki gajah dan penyakit lain.

Yayasan ini juga merupakan donor terbesar pada Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, yang dikritik karena terlambat bereaksi terhadap wabah Ebola di Afrika Barat tahun lalu.

“Kami bisa membuat wabah serupa ini lebih kecil,” ujar Bill Gates. Kelompok bantuan Dokter Tanpa Batas “hanyalah satu-satunya yang mendapat nilai A dalam kejadian ini”.

Akan tetapi, dia mengatakan WHO bersikap bagus karena mengkritik diri sendiri dalam kasus wabah Ebola itu.

“Saya berharap kita akan mempergunakan pengalaman dari wabah ini dalam mengatasi wabah lain, karena pasti akan ada wabah penyakit lain,” kata Gates.

sumber: http://www.cnnindonesia.com/

Gangguan Irama Jantung, Kenali Gejala dan Pencegahannya

21jan15

21jan15Gangguan irama jantung memang tak sepopuler penyakit jantung koroner. Namun, gangguan irama jantung juga tak kalah berbahaya. Bila tidak ditangani dengan tepat, bisa menimbulkan kematian.

“Jika jantung koroner disebabkan plak dalam pembuluh darah, untuk gangguan irama jantung terjadi akibat gangguan pada “listrik” di jantung,” kata dr Beny Hartono, SpJP dalam diskusi media bertajuk “Ritmiskan Irama Jantung Anda” di Jakarta, Rabu (21/1).

Dokter spesialis jantung dari Rumah Sakit Premier Bintaro itu menjelaskan, organ jantung memiliki listrik untuk bekerja. Sel listrik jantung dikatakan normal jika jantung berdenyut 60-100 kali per menit. Jika dibawah itu disebut denyut jantung lemah (bradikardia).

“Jika denyut jantung dibawah 40 kali per menit sangat berbahaya. Karena orang tersebut bisa tiba-tiba pingsan, lemah dan keringat dingin. Kondisi ini jika dibiarkan, bisa menimbulkan kematian. Karena supply darah dan oksigen ke organ lain tidak cukup,” tuturnya.

Berkat teknologi maju, lanjut dr Beny, masalah denyut jantung lemah bisa diatasi dengan penanaman alat pacu jantung di dada. Alat tersebut mengeluarkan listrik agar denyut jantung menjadi normal. Baterai alat tersebut mampu bertahan hingga 5-10 tahun. Setelah ganti baterai baru lagi.

Gangguan irama jantung lain adalah denyut jantung cepat (takikardia), dengan kondisi denyut jantung 100-150 kali per menit. Gejalanya jantung sering berdebar-debar, nyeri dada, sesak nafas, keringat dingin dan perasaan ingin pingsan. Bila dibiarkan, kondisi ini juga bisa menyebabkan kematian.

“Denyut jantung terlalu cepat menandakan jantung tidak memompa dengan baik, tapi hanya bergetar. Itu artinya peredaran darah dari jantung ke seluruh tubuh tak berjalan dengan baik. Itu kenapa orang bisa tiba-tiba tak sadarkan diri,” tutur dokter yang juga praktek di RS Jantung Binawaluya Jakarta itu.

“Upaya yang dilakukan setelah terapi obat tak kunjung sembuh adalah dengab kateter ablasi untuk memperbaiki listrik dalam tubuh yang mengalami ‘konsleting’. Setelah tindakan medis itu denyut jantung pasti bisa kembali normal,” katanya.

Gangguan irama jantung lain yang cukup banyak diidap masyarakat adalah denyut jantung yang tidak teratur (fibrilasi atrium). Bila diabaikan akan menyebabkan stroke dan gagal jantung.

Penyakit ini banyak menyerang orang usia diatas 40 tahun dengan masalah pada hipertensi, diabetes, jantung koroner dan penyakit tiroid. “Jika menemukan gejala semacam ini, segera berobat ke dokter agar kondisinya tidak semakin parah,” ujar dokter lulusan Universitas Indonesia tersebut.

Untuk gangguan jantung tak teratur ini, menurut dr Beny bisa ditangani dengan tindakan kateter ablasi. Selain pasien diminta untuk mulai menjalani gaya hidup sehat.

Disinggung soal biaya operasi untuk tiga gejala gangguan irama jantung, dr Benny mengatakan, angkanya bervariasi tergantung tingkat kerumitan operasinya. Untuk tindakan operasi dengan teknologi “sederhana” biayanya sekitar Rp 70 juta dan dengan teknologi terbaru sekitar Rp 130 juta.

“Sebenarnya soal harga ini bukan urusan dokter. Harga itu saya dapat infonya dari marketing,” ucapnya.

Ditanya soal tips bagaimana menangani pasien jantung yang mengalami serangan di rumah, dr Beny mengatakan, pasien bisa diberikan tablet aspirin 500 mg dan secepatnya dibawa ke rumah sakit yang diketahui memiliki fasilitas jantung.

“Karena masa emas serangan jantung ada 12 jam. Jika ditangani dibawah 12 jam, pasien akan tertolong tanpa mengalami kecacatan,” katanya menandaskan.

{jcomments on}

Pemerintah Akan Perkuat Layanan di Puskesmas

20jan-7

20jan-7Jumlah dokter praktik di Puskesmas akan ditambah menjadi 5 orang dan satu ahli kesehatan lingkungan. Hal itu dilakukan untuk meningkat kualitas layanan di Puskesmas agar tak hanya bersifat kuratif (pengobatan), tetapi juga promotif dan preventif.

“Saat ini masih banyak Puskesmas di daerah yang hanya punya satu dokter. Kami sadari ini tidak cukup, karena tenaga dokter habis untuk hal-hal yang bersifat kuratif atau pengobatan,” kata Usman Sumatri, Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) Kementerian Kesehatan saat peluncuran Kanal Khusus Dokter “FDI Channel” di Jakarta, Selasa (20/1).

Usman menjelaskan, kebutuhan dokter tersebut akan diambil melalui program internship (magang). Dokter lulusan baru bisa mengasah ilmunya di daerah lewat magang yang dananya ditanggung pemerintah.

“Program internship ini cukup menarik dokter lulusan baru untuk magang di Puskesmas atau rumah sakit di daerah. Mereka inilah yang akan dilibatkan dalam program penguatan Puskesmas di daerah,” ujarnya.

Hal lain yang akan dilakukan, tambah Usman Sumantri adalah memangkas regulasi pendidikan dokter. Dokter yang ingin mengambil spesialisasi tidak akan dipersulit. Mengingat Indonesia kekurangan banyak sekali dokter spesialis.

Hal itu terkait pula rencana pemerintah menambah persyaratan pendirian rumah sakit tipe C yang mewajibkan minimal 7 dokter spesialis dengan tambahan untuk dokter spesialis patollogi klinis, anastesi dan radiologi.

“Dengan makin beragamnya penyakit yang ada di masyarakat, rumah sakit tipe C harus menambah lagi dokter spesialisnya minimal 3 orang yaitu patologi klinis, anastesi dan radiologi. Ini juga sebagai antisipasi penerapan program JKN universal coverage,” kata Usman menandaskan.

Ia menyambut baik pendirian kanal khusus FDI Channel di K-Vision. Ia berharap kanal tersebut bisa membangun komunikasi yang solid antar dokter di seluruh Indonesia. (TW)

{jcomments on}