Perguruan Tinggi: Akreditasi Prodi Kini Ditangani LAM-PT

10des14

10des14Proses akreditasi perguruan tinggi nantinya tak lagi dilakukan sepenuhnya oleh BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi). Untuk akreditasi program studi dilakukan oleh Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi (LAM-PT), sedangkan akreditasi lembaga oleh BAN-PT.

“Saat ini yang baru terbentuk LAM-PT Kesehatan (Kes). Mereka akan mengakreditasi prodi untuk 7 profesi kesehatan,” kata Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknollogi dan Pendidikan Tinggi, Illah Sahilah dalam Forum Evaluasi Implementasi Proyek HPEQ (Health Profesional Education Quality), di Jakarta, Selasa (9/12).

Acara dibuka Menristek Dikti, Muhammad Nasir.

Illah menyebutkan 7 profesi kesehatan itu adalah dokter, dokter gigi, farmasi, kebidanan, keperawatan, ners dan ahli kesehatan masyarakat. Proses akreditasi oleh LAM-PT Kes dibiayai oleh pemerintah. Pada 2014, dana untuk akreditasi 282 prodi.

“Untuk tahun 2015, dananya 500 prodi,” ujar Illah.

Selain LAM-PT, lanjut Illah, dikembangkan pula Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan (LPUK-Nakes). Lembaga tersebut diharapkan sudah mulai membangun sistem dan menyusun metodologi uji kompetensi untuk mahasiswa program profesi dokter, dokter gigi, ners, keperawatan (D-3) dan kebidanan (D-3)

Selain bidang kesehatan, LAM-PT juga dikembangkan untuk bidang2 lain yang memiliki peran besar dalam pembangunan nasional seperti teknik, pertanian, turisme, maritim dan lainnya yang memiliki peran sangat besar untuk pembangunan nasional. Keseluruhannya ada 8 bidang.

“Tidak semua dari delapan bidang itu LAM-PT-nya dipegang pemerintah. Nanti, dilihat juga bagaimana kesiapan bidang profesinya,” kata Illah. (TW)

{jcomments on}

Menteri Nasir Prioritaskan Peningkatan Kualitas Dikti Kesehatan

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menyelenggarakan forum evaluasi implementasi Health Professional Education Quality (HPEQ) Project.

Forum ini dihadiri oleh stakeholders utama HPEQ, yaitu masyarakat profesi kesehatan yang terdiri dari unsur organisasi profesi kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kesehatan, profesional kesehatan muda, dan perwakilan mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Kesehatan Indonesia.

Menristekdikti M Nasir menegaskan, peningkatan kualitas pendidikan tinggi kesehatan dalam mengadapi APEC 2015 merupakan tantangan awal dalam menghadapi ASEAN Community.

“Bidang kesehatan menjadi ujung tombak dalam komponen jasa di Asia Tenggara untuk didapatkan. Untuk itu, peningkatan kualitas pendidikan tinggi di bidang kesehatan sangat penting,” ujar M Nasir, dalam acara Forum Evaluasi Implementasi Proyek HPEQ, di Gedung Ditjen Dikti, Senayan, Jakarta, Selasa (9/12/2014).

Nasir melanjutkan, bagaimana pendidikan tinggi kesehatan dapat sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman yang mampu diadaptasi dan pendidikan kesehatan di Indonesia mulai dari dokter, dokter gigi, farmasi dan keperawatan, ilmu gizi, dan kesehatan masyarakat harus mendapatkan suatu perhatian dan menjaganya.

“Bagaimana masalah kualitas menjadi ujung tombak yang menjasi tantangan yang berat. Oleh karena itu, bagaimana kita mengkolaborasi proses dalam pendidikan tinggi kesehatan yang sedang marak di dunia ini,” ucapnya.

sumber: http://news.okezone.com/

Tingkatkan Standar Kesehatan, RI Harus Genjot Penerimaan Pajak

Untuk meningkatkan standar kesehatan masyarakat Indonesia, selain mengurangi subsidi BBM, pemerintahan Indonesia juga harus mendorong peningkatan penerimaan pajak.

Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia, Ndiame Diop mengatakan, pergantian pemerintahan ini menjadi momentum yang tepat untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Dengan demikian, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan penerimaan pajak dari negara lain.

“Indonesia memiliki kesempatan untuk mengejar ketertinggalan pendapat dari negara lain dengan adanya reformasi pemerintahan,” ujarnya dalam Laporan Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia oleh Bank Dunia, di Soehanna Hall, The Energy Building, SCBD, Jakarta, Senin (8/12/2014).

Untuk mendorong peningkatan penerimaan pajak, pemerintah harus melakukan beberapa seperti memperluas basis penerimaan pajak, merasionalisasi jenis pajak, meningkatkan kepatuhan secara sukerala dan lain-lain.

Dengan penerimaan pajak yang lebih besar, lanjut Ndiame, belanja pemerintah untuk sektor kesehatan bisa lebih besar. Selama ini belanja kesehatan hanya sebesar 1,2 persen dari PDB. Padahal negara lain mengalokasikan anggarannya 2-3 kali lebih besar dari Indonesia.

“Jika bukan pemerintah (yang belanja untuk kesehatan) maka belanja rumah tangga masyarakat akan lebih besar lagi. Pemerintah selama ini hanya menanggung sebesar 40 persen hingga 60 persen. Ini jadi beban bagi rumah tangga. Makanya penting pembelanjaan kesehatan untuk perbaikan sdm dan sebagai landasan inklusif,” tandasnya. (Dny/Gdn)

sumber: http://bisnis.liputan6.com/

Pencegahan Osteoporosis Sejak Dini

8des14

8des14Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moelek mengusulkan agar edukasi tentang gaya hidup sehat, termasuk pencegahan osteoporosis mulai diperkenalkan sejak dini di sekolah. Modul pembelajaran seputar kesehatan tulang bisa disampaikan lewat kegiatan dalam Unit Kesehatan Sekolah (UKS).

“Edukasi tentang gaya hidup sehat, termasuk upaya pencegahan osteoporosis harus diperkenalkan sejak dini. Karena saat ini ada kecenderungan anak sekolah kita mulai malas bergerak. Sukanya duduk berjam-jam main game atau ngobrol,” kata Menkes Nila F Moeloek dalam perayaan Hari Osteoporosis Nasional di Lapangan Monas, Jakarta, Minggu (7/12).

Acara yang dibuka istri Wakil Presiden Mufidah Jusuf Kalla itu dihadiri Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, Ketua Umum Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (Perosi) Nicolas Budiparama, Ketua Umum Perkumpulan Warga Tulang Sehat Indonesia (Perwatusi) Anita Hutagalung dan Paul Richard dari Fonterra Brands.

Kesehatan tulang, lanjut Menkes, upaya pencegahannya harus dilakukan sejak dini. Karena pertumbuhan kepadatan tulang makin melambat diatas usia 35 tahun.

“Mumpung masih anak-anak, mari menabung tulang. Karena pengeroposan tulang sering kali tidak menunjukkan gejala. Tiba-tiba saja tulang seseorang patah hanya karena terkena benturan kecil atau badan semakin pendek karena tubuh semakin bungkuk,” ujarnya.

Anak sekolah dasar, lanjut dokter spesialis mata itu, juga dibiasakan untuk berjemur dibawah matahari untuk memenuhi kebutuhan akan vitamin D-nya. Terutama sinar matahari pada pukul 07.00 hingga 09.00.

“Anak pada jam-jam itu beri waktu untuk melakukan aktivitas fisik seperti melakukan permainan di lapangan sekolah. Tak perlu lama-lama, cukup 30 menit tapi dilakukan rutin secara rutin setiap hari. Lewat aktivitas fisik, proses penyerapan jadi lebih baik,” ujarnya.

Hal lain yang perlu diperhatikan, kata Nila F Moeloek, asupan makanannya. Kalsium bisa diperoleh lewat makanan rumahan yang tak terlalu mahal, seperti ikan teri, kacang-kacangan, sayuran hijau dan susu.

“Bagi para orangtua, penting untuk memberi makanan pada anak-anaknya buah, sayuran, ikan, kacang-kacangan dan susu. Jangan asal makan. Jangan mentang-mentang anak sukanya mie instan dikasih setiap hari. Pentingnya gizi seimbang,”kata Menkes menegaskan.

Hal senada dikemukakan Ketua Perwatusi) Anita Hutagalung. Anak muda di perkotaan rentan terhadap osteoporosis karena gaya hidup yang tidak sehat. Anak muda di perkotaan sukanya nongkrong, ngopi, merokok, namun jarang berolahraga. Gaya hidup semacam itu rentan terhadap osteoporosis.

Anita mengutip hasil riset yang dilakukan Fonterra Brands pada 2013 yang menunjukkan gaya hidup anak muda di perkotaan yang mulai tak aktif seperti suka duduk terus menerus yakni tujuh jam per hari pada hari kerja dan lima jam per hari pada akhir pekan.

“Apalagi sekarang muncul gerai-gerai minimarket yang menyediakan kursi dan meja. Tradisi anak kota yang duduk-
duduk sambil ngobrol semakin marak saja. Jika kondisi ini dibiarkan, bukan mustahil angka penderita osteoporosis di Indonesia akan meningkat pada 2050,” ujarnya.

Terkait dengan pentingnya olahraga, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengatakan, pihaknya berencana membangun taman terpadu di berbagai lokasi di Jakarta.

“Maret 2015, akan ada 6 taman percontohan, bukan cuma ada pendidikan anak usia dini (PAUD) dan Posyandu, tapi perpustakaan dan alat olahraga,” kata Ahok.

Pihak Fonterra pun ikut membantu Pemda DKI dalam penyediaan fasilitas olahraga yang berlokasi di Taman Waduk Pluit, Jakarta Utara. Peresmian fasilitas olahraga itu dilakukan secara simbolik di Monas oleh Ahok bersama Paul Richard. (TW)

{jcomments on}

Jangan Remehkan Kesehatan Jiwa

Setiap orang pasti pernah mengalami kondisi kejiwaan seperti depresi, stres, cemas, atau bahkan takut. Sebagian besar, perasaan tersebut dapat berlalu seiring berjalannya waktu. Tapi terkadang perasaan tersebut berkembang menjadi masalah yang lebih serius dan berujung mengganggu kesehatan jiwa. Mengapa demikian?

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menyebutkan, gangguan mental emosional dialami oleh sekitar 6 persen populasi usia d iatas 15 tahun. Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur. Sedangkan sebanyak 1 sampai 2 orang dari 1.000 orang populasi di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat. Bahkan, prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil.

Pakar Kesehatan Jiwa yang juga menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Dr Danardi Sosrosumihardjo SpKJ(K) menyatakan, manusia dikategorikan sehat jiwanya apabila yang bersangkutan merasa sehat, bahagia, bisa menerima diri sendiri seperti apa adanya, bisa menerima orang lain dan situasi kondisi di sekitarnya apa adanya dan juga bersikap optimis, serta senantiasa berupaya untuk hari esok yang lebih baik.

“Namun apabila manusia sudah mulai sering mengeluh, merasa tertekan, sering protes dan mengalami penurunan fungsi kognitif atau emosi, bisa dikatakan individu tersebut sakit secara kejiwaannya,” ungkap Dr Danardi di sela acara Pfizer Press Circle (PPC) dengan topik Kesehatan Jiwa: Bagaimana Menghadapi Stres?, di Jakarta, baru-baru ini.

Hal tersebut terjadi saat manusia menjalani kehidupan yang terus bertumbuh, berubah-ubah atau berpindah, berinteraksi dan berkompetisi dengan pihak lain, sukses-gagal, senang-sedih, puas-kecewa, marah-tenang, dan sebagainya.

Dalam menghadapi keadaan yang dinamis, kehidupan itulah muncul mekanisme defens atau menyikapi suatu kejadian dari tiap manusia. Ada manusia yang memilih menggunakan mekanisme defens positif. Namun ada juga yang menyikapi masalah dengan cara yang negatif. Hal tersebut sangat berbeda antara satu dengan individu lainnya. Sebab, tiap manusia punya karakter dan memiliki berbagai mekanisme defens dan akan membentuk pola yang bersangkutan dalam menghadapi stres yang dialami.

Menurut Dr Danardi, jika karakter yang dimiliki positif dan mekanisme defens yang digunakan tepat, individu tersebut bisa menghadapi stres dengan baik. Sebab, kesadaran akan stres dan pembentukan karakter menghadapi stres atau mekanisme defens dengan benar, memegang peranan penting dalam menjaga kesehatan jiwa.

“Untuk itu, setiap individu perlu mengenali cara dalam menyikapi suatu masalah dan mekanisme defens yang sering dipergunakan. Semua itu bisa dipelajari dan diarahkan kepada karakter positif agar terhindar dari gangguan kesehatan jiwa,” jelas dia.

Mekanisme Defens

Dr Danardi menyebutkan, mekanisme defens sebenarnya terbentuk sejak balita, seperti denial atau penyangkalan, distorsi (membayangkan secara tidak riil), dis-asosiasi (dilupakan atau diganti dengan yang lain), proyeksi (menyalahkan orang/pihak lain), displacement (mengalihkan ke objek lain). Ketika sudah menginjak usia yang lebih dewasa, manusia mulai mengunakan mekanisme defens seperti intelektualisasi (berusaha me-rasionalisasi), somatisasi (mengalihkan masalah ke fisiknya), dan represi (‘menekan’ — memasukkannya ke alam nirsadar).

Namun, lanjut Dr Danardi, mekanisme defens dikatakan tidak sehat apabila menggunakan intorjeksi (menyalahkan diri sendiri), undoing (mogok, ngambek, reaksi formasi (bertindak sebaliknya), isolasi (memisahkan tindakan dengan emosinya), regresi (kembali berperilaku seperti masa lalu atau ketika kecil). Bahkan, tak jarang mekanisme defens ini bisa menyebabkan gangguan kesehatan secara fisik. Hal tersebut karena kebanyakan individu tersebut mengalihkannya kepada sakit fisik.

“Contohnya saja apabila seseorang mengungkapkan pusing menghadapi pekerjaan yang menumpuk. Hal tersebut akan benar-benar terjadi dan membuat dia pusing saat menghadapi pekerjaan tersebut,” ujar dia.

Sedangkan mekanisme defens yang sehat adalah alturism (bertindak dengan kasih sayang, beribadah), antisipasi (merancang, menyusun alternatif), humor (menyikapi masalah sebagai anekdot), sublimasi (mengganti dengan objek lain), dan supresi (menahan diri, menyembunyikan). Misalnya saja, apabila seseorang dituduh sebagai pelaku dari hilangnya sebuah laptop, padahal bukan pelakunya.

Dia memilih untuk mengumpulkan bukti-bukti melalui CCTV atau sebagainya untuk membuktikan kebenarnnya. Hal itu bisa dikatakan mekanisme defens yang digunakan adalah antisipasi. “Itu semua bisa dipelajari dan bisa diarahkan ke arah karakter positif,” pungkas dia.

Public Affairs & Communication Director PT Pfizer Indonesia Widyaretna Buenastuti mengatakan, menjaga kesehatan jiwa tak kalah pentingnya dengan kesehatan fisik.

Menurut dia, Pfizer ikut mendukung pendekatan preventif dan promotif dalam meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat dengan menggelar Pfizer Press Circle (PPC), menghadirkan pakar kesehatan jiwa dan berdiskusi cara menghadapi stres.

“Pfizer mempunyai visi untuk memimpin melalui inovasi untuk Indonesia yang lebih sehat. Atas visi tersebutlah, Pfizer berkomitmen menjalankan segala kegiatan dan operasionalnya demi masyarakat Indonesia yang lebih sehat,” ujar dia.

sumber: http://www.beritasatu.com/

 

Tiada Henti Lawan Epidemi AIDS

Menanggulangi epidemi HIV ibarat berkejaran dalam lingkaran yang tak kunjung putus. Intervensi di satu populasi kunci mungkin akan memberikan hasil positif. Akan tetapi, kemudian pola infeksi meningkat di populasi kunci yang lain. Begitu seterusnya. Ibarat sepak bola, diperlukan upaya yang total football dalam menanggulangi epidemi virus tersebut.

Menurut Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Asia Tenggara Poonam Khetrapal Singh, epidemi human immunodeficiency virus (HIV) di kawasan Asia Tenggara terkonsentrasi pada populasi paling rentan terhadap penularan HIV, yaitu lelaki suka lelaki (LSL), transjender, pengguna narkoba suntik (penasun), penjual seks, orang yang di penjara, dan kelompok lain. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan pada populasi rentan, lebih kurang separuh dari mereka tetap belum mengetahui status HIV mereka.

Hampir 5 juta orang hidup dengan HIV di Asia Pasifik pada 2013 atau seperenam beban global. Beban itu merupakan yang terbesar setelah kawasan sub-Sahara Afrika dengan jumlah kasus infeksi baru pada 2013 mencapai 350.000 orang.

Di Indonesia, sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 hingga September 2014, HIV/AIDS tersebar di 386 dari total 498 kabupaten/kota di semua provinsi di Indonesia. HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Bali dan yang terakhir melaporkan adalah Sulawesi Barat pada 2011.

Bagi Indonesia, ke depan, ancaman penularan virus HIV pada ibu hamil dan bayi masih tinggi seiring pertambahan jumlah laki-laki berisiko tinggi yang membeli seks, LSL, dan penasun. Karena itu, perlu terobosan intervensi untuk menekan laju penularan HIV.

Dulu, ketika infeksi HIV umumnya berasal dari penggunaan jarum suntik tak steril di kalangan pengguna narkoba, intervensi dilakukan dengan menyediakan alat suntik steril dan terapi rumatan metadon. Prevalensi HIV di kalangan penasun berkurang atau setidaknya tertahan.
Perilaku seksual

Namun, perilaku seksual berisiko tetap menjadi cara infeksi virus yang berpotensi menyebabkan bertambahnya jumlah orang yang terinfeksi. Perilaku seksual jadi faktor risiko terbesar dalam penyebaran HIV (57 persen), di atas penasun (15 persen), LSL (4 persen), dan ibu terhadap anaknya (3 persen).

Data Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) 2007 menunjukkan, prevalensi laki-laki berisiko tinggi pembeli seks 0,1 persen. Angka itu naik menjadi 0,7 persen pada 2011. Prevalensi LSL juga naik dari 5,3 persen (2007) jadi 12,4 persen (2011).

Bahkan, di beberapa daerah baru yang sebelumnya tak dihitung dalam STBP, prevalensi LSL naik dari 7 persen (2009) menjadi 12,8 persen (2013).

Direktur Eksekutif Asia Pacific Coalition on Male Sexual Health (APCOM) Midnight Poonkasewattana mengatakan, sembilan dari 10 kasus HIV baru di Manila terkait LSL. Satu dari tiga LSL di Bangkok positif HIV. Mayoritas kasus baru HIV di Tiongkok adalah LSL.

Situasi itu menempatkan anak muda sebagai kelompok yang rentan tertular HIV. Hal ini terjadi di banyak tempat. Namun, tak banyak investasi yang dilakukan negara untuk menanggulangi hal itu. LSL terus saja mendapat stigma.

APCOM selama ini mengalokasikan sumber daya serta melakukan penelitian dan pendekatan berbasis hak dalam penanggulangan HIV, terutama pada LSL.

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Kemal N Siregar menyebutkan, melalui pemodelan yang menjadi strategi rencana aksi nasional, laju epidemi HIV pada 2010-2014 dapat ditekan, terutama pada penasun, lelaki berisiko rendah, serta penjual dan pembeli seks.

Ibu rumah tangga

Namun, laju epidemi kelompok ibu rumah tangga dan LSL justru tetap tinggi. Ibu rumah tangga umumnya terinfeksi dari suami atau pasangannya. Namun, banyak istri tak berani menginformasikan status HIV kepada suaminya. Padahal, suami yang menularkannya.

Laki-laki pembeli seks dengan HIV positif hampir pasti menularkannya pada istri ataupun pasangan. Jika perempuan itu hamil, janin yang dikandungnya amat berisiko terinfeksi HIV. Penularan akan meluas jika laki-laki tersebut juga termasuk kelompok LSL.

Ancaman penularan itu tergambar dari kenyataan bahwa pada 2012 jumlah kasus HIV pada perempuan mencapai 10.016 kasus. Jumlah itu meningkat jadi 12.334 kasus pada 2013. Pada triwulan I-2014 tercatat 1.779 kasus HIV positif pada perempuan.

Jumlah kasus HIV positif pada bayi dari tahun 2012 ke 2013 juga naik dari 86 kasus menjadi 106 kasus. Kasus pada anak di bawah usia empat tahun naik dari 563 (2012) menjadi 653 kasus (2013).

Manajer Program Nasional AIDS Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia mengatakan, tantangan Indonesia ke depan dalam penanggulangan HIV ialah menemukan kian banyak lagi orang dengan HIV. Sebab, dari estimasi jumlah orang dengan HIV 591.000 orang, baru 30 persen yang ditemukan.

Kemenkes menargetkan menemukan 60-70 persen orang dengan HIV. Target yang tak mudah dicapai di tengah stigma membelenggu.

Salah satu terobosan yang akan diambil Kemenkes adalah mengintegrasikan pemeriksaan status HIV dalam upaya penapisan yang merupakan manfaat program Indonesia Sehat. Sasaran pemeriksaan status HIV di antaranya ibu hamil, pasien tuberkulosis, pasien infeksi menular seksual, pasien hepatitis, dan pasangan orang dengan HIV.

Harapannya, dengan mengetahui status HIV sejak awal pengobatan, bisa segera dilakukan upaya untuk menurunkan jumlah virus dalam darah. “Di DKI Jakarta, ibu hamil bisa melakukan tes HIV di puskesmas. Puskesmas juga menyediakan obat HIV,” kata Nadia.

Upaya lain adalah memanfaatkan media sosial untuk menyosialisasikan pentingnya pemeriksaan status HIV dan pengobatannya. Sulit mengubah perilaku meski sudah diketahui perilaku itu memiliki risiko kesehatan. Meski demikian, hal itu harus terus dilakukan demi menekan prevalensi HIV.

sumber: http://health.kompas.com

 

Hari AIDS Sedunia

Situasi HIV/AIDS di Indonesia sejak pertama kali ditemukan pada 1987 hingga September 2014 semakin memprihatinkan. Hal itu terlihat dari penyebaran penyakitnya yang sudah merebak di 386 kabupaten/kota atau 78 persen dari 498 kabupaten/kota yang ada di seluruh Indonesia.

Demikian siaran pers yang dikirimkan Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan di Jakarta, Selasa (2/1).

Saat ini Kementerian Kesehatan sedang berupaya untuk meningkatkan cakupan tes HIV, cakupan terapi ARV dan retensi ARV. Inisiatif ini sebagai tindak lanjut dari Kajian Cepat dan Konsultasi Nasional, yang diluncurkan Kementerian Kesehatan pada 2013 yang dikenal dengan sebutan Strategic Use of ARV (SUFA).

Dalam inisiatif ini, disebutkan, untuk meningkatkan cakupan tes HIV telah dilakukan penawaran rutin tes HIV kepada pasien infeksi menular seksual (IMS), ibu hamil, pasien tuberkulosis (TB), pasien hepatitis, pasangan ODHA (orang dengan HIV/AIDS), warga binaan masyarakat (WBP) dan populasi kunci (pekerja seks, penasun (pengguna jarum suntik), waria, transgender dan lelaki seks dengan lelaki).

Untuk meningkatkan cakupan terapi ARV, dikataklan, terapi ARV dapat segera diberikan– tanpa melihat jumlah CD4– kepada ibu hamil dengan HIV, pasien ko-infeksi TB-HIV, pasien ko-infeksi hepatitis-HIV, ODHA yang pasangannya HIV negatif dan populasi kunci (WPS, LSL, penasun dan waria/transgender).

Sementara, untuk meningkatkan retensi pengobatan ARV, Kementerian Kesehatan telah menyediakan obat ARV triple fixed dose combination (triple FDC), yaitu satu tablet obat yang berisi 3 rejimen ARV.

Obat ini mempunyai toksisitas dan efek samping yang lebih rendah dan jadual minum obat lebih mudah. Selain pelibatan ODHA, keluarganya serta komunitas dalam pengobatan ART juga dapat membantu meningkatkan retensi pengobatan.

Sampai dengan tahun 2005 jumlah kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 859, tahun 2006 (7.195), tahun 2007 (6.048), tahun 2008 (10.362), tahun 2009 (9.793), tahun 2010 (21.591), tahun 2011 (21.031), tahun 2012 (21.511), tahun 2013 (29.037), dan tahun 2014 (22.869).
Sampai dengan September 2014, jumlah kumulatif HIV yang dilaporkan sebanyak 150.296 orang dan AIDS sebanyak 55.799 orang.

Jumlah infeksi HIV tertinggi yaitu di DKI Jakarta (32.782), diikuti Jawa Timur (19.249), Papua (16.051), Jawa Barat (13.507), dan Bali (9.637)

Faktor resiko penularan HIV terutama adalah melalu jalur seksual (57 persen), penggun narkoba suntik (15 persen) Penularan LSL (4 persen),penularan dari Ibu ke anak sebesar 3 persen.

Estimasi Orang dengan HIV dan AIDS di Indonesia tahun 2012 adalah sebanyak 591.823 sedangkan saat ini ODHA yang sudah kita ketahui baru berjumlah 150.296. Data itu menunjukkan untuk membongkar fenomena gunung es baru sekitar 30 persen ODHA yang terdeteksi.

Dengan demikian, saat ini pemerintah masih harus mengintensifikasikan penemuan ODHA sehingga setidaknya cakupan sasaran kita mencapai 70 persen.

Dari data jumlah kasus yang dilaporkan setiap tahun terjadi peningkatan jumlah pengidap HIV sedangkan jumlah penderita AIDS semakin menurun. Ini bisa disimpulkan bahwa semakin banyak orang yang diketahui status HIV nya masih belum masuk kedalam stadium AIDS.

Jika dibandingkan dengan sekitar 10 tahun yang lalu, dimana jumlah kasus AIDS lebih banyak dilaporkan dibandingkan kasus HIV.

Deteksi dini ini semakin baik seiring dengan makin banyaknya jumlah fasyankes yang dapat memberikan layanan bagi ODHA baik tes HIV, pengobatan IMS, dan pengobatan ARV sehingga semakin banyak orang yangmengetahui status HIV nya lebih dini sebelum muncul gejala-gejala AIDS. (TW)

Fact Sheet hari AIDS Sedunia 2014

{jcomments on}

 

PBB: Harus Ada Revolusi untuk Pendidikan, Kesehatan, dan Akses Informasi di Indonesia

Menurut sensus 2010 bahwa terdapat 65 juta anak muda di Indonesia atau 28 persen dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Hal tersebut tentunya sering disebut-sebut sebagai bonus demografi bagi Indonesia.

Kepala Perwakilan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) untuk Indonesia, Jose Ferraris, mengungkapkan, besar kecilnya bonus demografi bergantung pada bagaimana setiap negara melakukan investasi kepada pemuda, sehingga mereka dapat memaksimalkan seluruh potensi mereka. Karena bila tidak diinvestasikan dengan baik bisa berubah menjadi bencana demografi.

“Harus ada revolusi di sektor pendidikan, kesehatan, dan juga infrastruktur terkait akses informasi digital di Indonesia,” ujarnya pada acara peluncuran Laporan Situasi Kependudukan Dunia 2014 bertajuk “Kekuatan 1,8 Miliar: Remaja, Pemuda, dan Transformasi Masa Depan”, di Jakarta, Jumat (28/11).

Ia memaparkan, menurut data sensus 2010, hanya sekitar 40 persen anak yang yang memiliki pendidikan hingga ke tingkat SMA dan tidak sampai 20 persen yang melanjutkan ke pendidikan tersier. Dan terdapat 36,47 persen pemuda yang tidak pernah menyelesaikan pendidikan primernya. Papua, Gorontalo, dan Sulawesi Selatan adalah daerah yang memiliki proporsi paling tinggi untuk pemuda dengan pendidikan yang rendah.

“Tantangan besarnya adalah kualitas dari pendidikan itu sendiri. Otomatis isu pendidikan ini juga sangat terkait dengan isu lainnya. Di mana pendidikan atau informasi adalah kekuatan utama,” pungkas Ferraris.

Ia mengaitkan isu pendidikan ini dengan teknologi informasi dan kesehatan di mana dua hal tersebut merupakan jembatan untuk kesejahteraan hidup anak-anak muda di Indonesia.

“Infrastruktur terutama untuk mengakses informasi masih belum merata untuk di daerah terpencil. Padahal bila akses atau teknologi informasi bisa optimal, anak-anak muda bisa mencari tahu segala informasi mengenai kesehatan reproduksi yang masih menjadi masalah di negara ini,” katanya,

Diungkapkannya, bahwa setiap tahun 1,7 juta perempuan di bawah usia 24 tahun melahirkan seorang anak. Beberapa dari mereka juga meninggal karena komplikasi saat kehamilan atau pada saat melahirkan. Dengan begitu, perlu adanya edukasi pencegahan dan layanan yang mudah dijangkau untuk menekan angkanya.

“Pemberdayaan akses informasi dan layanan adalah kuncinya untuk bisa mengoptimalkan bonus demografi ini,” katanya.

sumber: http://www.beritasatu.com

Menkes: kesehatan adalah hulu kesejahteraan

Menteri Kesehatan Nila Moeloek menegaskan pentingnya kesehatan sebagai awal dari kesejahteraan dan mengimbau masyarakat untuk dapat menjaga kesehatan dengan mengutamakan perilaku promotif-preventif dibandingkan kuratif.

“Kita sendiri harusnya menjaga kesehatan kita, karena harus kita sadari dengan kita sehat, kita akan bisa berpendidikan karena otak kita berkembang. Dan kalau otak kita berpendidikan, kita akan sejahtera. Jadi kesehatan adalah hulunya,” ujar Menkes usai peringatan puncak Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-50 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Kamis.

Meski demikian, Menkes mengatakan pemerintah tetap memperkuat pelayanan kesehatan terutama fasilitas pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas sebagai tujuan awal pasien dalam sistem rujukan di BPJS Kesehatan.

“Jadi memang harus dimulai dari layanan primer. Yang memang harus dirujuk (ke fasilitas kesehatan sekunder) nanti akan dirujuk,” ujarnya.

Program BPJS Kesehatan saat ini telah diikuti oleh lebih dari 125 juta warga Indonesia dengan 86,4 juta orang diantaranya merupakan penerima bantuan iuran (PBI) yang preminya dibayarkan oleh pemerintah.

Presiden Joko Widodo kemudian memperluas program tersebut dengan memasukkan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) kedalam program Kartu Indonesia Sehat yang telah dibagikan kepada 400 ribu warga dari total 1,7 juta orang yang terdata.

Sedangkan cakupan universal BPJS Kesehatan terhadap seluruh warga Indonesia diharapkan terwujud pada tahun 2019.

“Semua rakyat Indonesia harusnya tercakup oleh JKN,” kata Menkes.

Sementara itu, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani menyebut pemerintah akan memperbarui data terkait pelayanan kartu-kartu tersebut dibawah BPJS Kesehatan.

“Kita kerja sama dengan BPJS, kita memerlukan masa transisi untuk membuat seluruh kartu jadi satu kartu untuk kami integrasikan. Masih dalam proses untuk kemudian dikoordinasikan dengan seluruh pihak terkait,” ujarnya.

sumber: http://www.antaranews.com

Ketua IDI: Dokter Tak Boleh Tergoda Materi

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zainal Abidin mengingatkan para dokter agar tidak menulis resep berdasarkan pesanan perusahaan farmasi.
Dokter juga dilarang melakukan diagnosa abu-abu yang bisa menjadi dasar untuk menggiring pasien menebus obat sesuai pesanan perusahaan farmasi.

Menurut Zainal, dokter harus jujur dan melakukan diagnosa sesuai pertimbangan profesional. Ia juga minta para dokter senantiasa memilih obat yang paling murah untuk pasiennya.

“Kalau ada lebih dari satu pilihan obat dan dokter tahu semua obat itu khasiatnya sama, kasih yang lebih murah supaya tidak merugikan pasien,” kata Zainal kepada Tribun di kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Zainal menuturkan, para dokter juga harus independen dan berhati-hati dalam menuliskan resep. Para dokter tidak boleng terpengaruh iming-iming materi dari produsen-produsen obat.

Zainal menjelaskan, perusahaan obat boleh memfasilitasi dokter mengikuti kegiatan ilmiah yang bertujuan meningkatkan pengetahuan di bidang kedokteran.

Misalnya memberangkatkan dokter mengikuti seminar luar negeri. “Asalkan istri dan anak si dokter tidak ikut,” katanya.
Fasilitas tersebut tidak mengikat si dokter. Artinya, sepulang dari mengikuti seminar, dokter tidak wajib meresepkan obat buatan perusahaan yang telah memfasilitasinya. Dokter tetap independen dalam menulis resep.

Zainal juga mengatakan, memang ada perusahaan obat yang selalu mengutus staf pemasarannya untuk menemui para dokter dan menjelaskan produk-produk terbarunya.

Mereka biasanya juga memberikan brosur tentang obat baru tersebut.Namun, menurut Zainal, dokter tetap harus independen dalam menulis resep.
Menurut Zainal, bila ada produsen obat yang menyuap dokter, hal tersebut tetap akan ketahuan.

“Perusahaan obat itu sendiri pasti akan ngomong. Kalau terjadi masalah maka perusahaan obat itu pasti akan teriak, akan ngomong, saya sudah kasih ke dokter ini… ini… ini… Kalau begitu yang malu dokternya,” katanya.

Zainal menjelaskan bahwa antara IDI dan asosiasi perusahaan farmasi ada kerja sama. Isi kerja sama itu, IDI dan asosiasi perusahaan farmasi mengawasi anggota masing-masing.

Menurut Zainal, asosiasi perusahaan farmasi juga memiliki aturan yang melarang staf-staf pemasaran obat atau medical representative menawarkan hadiah kepada dokter.

“Bagi yang melanggar ada sanksi dari perusahaannya. Medrep menemui dokter untuk menjelaskan tentang produk barunya, bukan menawarkan uang atau yang lain. Kalau ada yang menawarkan hadiah, itu kampungan,” katanya.

Bagi dokter yang melanggar larangan menerima hadiah dari perusahaan obat juga bisa dituduh melanggar kode etik dan dikenai sanksi.
Zainal juga mengatakan, para medrep juga kerap meminta tanda tangan dokter. Namun hal itu bukanlah tanda tangan yang menunjukkan dokter telah menerima hadiah dari medrep.

Menurut Zainal tanda tangan itu menjadi bukti bahwa si medrep telah menemui dokter dan telah menjalankan tugasnya dalam memasarkan produk.

Zainal menerangkan, pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) bakal menutup peluang terjadinya kongkalikong antara perusahaan farmasi dan dokter.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sebagai pelaksana SJSN dan pengganti Askes, sudah menentukan obat-obat yang dapat diresepkan oleh dokter.

“Kalau dokter meresepkan obat di luar daftar itu, bisa-bisa dokter tersebut tidak dibayar oleh BPJS. Kan yang rugi dokternya. Karena itu bersamaan pengaktifan BPJS, sektor obat juga ditata. Para dokter diberi daftar obat yang ditanggung BPJS,” ujarnya.

Pada kasus lain, bisa saja pasien bersedia membeli sendiri obatnya. Karena itu, ia bisa meminta dokter menuliskan resep obat di luar daftar obat yang ditanggung BPJS.

BPJS akan melakukan pengawasan terhadap dokter. Zainal yakin mekanisme seperti itu akan mengikis kecurigaan para dokter kongkalikong dengan perusahaan obat.

Apalagi, setiap dokter akan diaudit. “Ada audit medik. BPJS bisa melihat, dokter mana yang menulis obat di luar daftar,” ia menegaskan.

sumber: http://www.tribunnews.com/