Menkes Minta DNPI Beranggotakan Orang Kesehatan

Perubahan iklim tidak hanya berdampak pada kekeringan, banjir, pencairan es di kutub, melainkan juga menyebabkan lonjakan epidemi sejumlah penyakit. Berbagai virus yang umumnya tidak dapat bertahan hidup di suhu dingin, namun dengan kenaikan suhu akibat perubahan iklim mampu berkembang biak dalam iklim tropis dan menyebar.

Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi mengatakan, untuk mengendalikan perubahan iklim perlu keterlibatan semua pihak, termasuk masyarakat. Oleh karena itu, ia meminta agar Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) beranggotan orang kesehatan. Sebab, menurutnya, ada kaitan erat antara dampak perubahan iklim dengan kesehatan manusia.

“Saya harapkan ada orang kesehatan yang duduk di dewan. Karena selain sampah, kemacetan dan polusi udara juga mengganggu kesehatan,” kata Menkes, di sela-sela perayaan HUT ke-5 DNPI dan peluncuran buku “Perubahan Iklim dan Tantangan Perdaban Bangsa”.

Acara ini turut dihadiri Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya dan Ketua Harian DNPI Rachmat Witoelar.

Menkes menjelaskan, dampak dari perubahan iklim itu sendiri menyebabkan daya tahan tubuh manusia semakin menurun, sehingga banyak penyakit dengan mudah menyerang. Terutama anak-anak kecil yang paling terdampak, misalnya terhadap penyakit influenza, paru, dan lainnya.

Untuk mengatasi hal ini, kata dia, perlu kesadaran dari semua pihak untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Kesadaran ini harus dibangun mulai dari anak-anak, yang berpotensi besar menjadi agen perubahan untuk mengajak teman-temannya tidak membuang sampah sembarangan dan suka menanam pohon.

Sejak dirikan pada 4 Juli 2008 lalu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, DNPI terlibat aktif dalam upaya menanggulangi tantangan perubahan iklim di Indonesia. Menginjak usianya yang ke-5 tahun ini, DNPI lebih menyerukan tentang stop membakar hutan dan menebang pohon secara ilegal.

Rachmat Witoelar mengatakan, kebakaran hutan dan penebangan hutan secara ilegal sudah dalam tingkat parah. Selain sampah dan polusi kendaraan, penebangan hutan juga memberikan kontribusi dalam pemanasan global.

“Jika kita masih anggap sepele Indonesia akan punah, dan prediksi dunia 30 tahun lagi air laut naik sampai ke Tanah Abang tidak diragukan lagi. Karena pemanasan bumi menyebabkan permukaan air laut naik mencapai 56 cm,” katanya.

DNPI merekomendasikan kepada pemerintah daerah (pemda) untuk serius menegakan peraturan larangan penebangan hutan secara liar. Masih banyak pemda yang mencari keuntungan melalui pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pemda yang demikian, kata dia, dikarenakan kesadaran dan pemahamannya tentang perubahan iklim masih minim.

Lebih jauh Rachmat mengungkapkan, keberadaan DNPI dalam lima tahun terakhir merupakan bukti nyata pentingnya keberadaan satu lembaga yang fokus pada pengendalian perubahan iklim. Selain meningkatkan kesadaran masyarakat, DNPI juga memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan internasional.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Abetnego Tarigan dalam prolog buku 5 tahun DNPI mengatakan, sebagai negara yang berperan penting dalam kancah negosiasi internasional perubahan iklim, Indonesia harus memiliki Undang-Undang tentang Perubahan Iklim. UU ini, kata dia, menjadi langkah maju karena ada proses politik di dalamnya, baik eksekutif maupun legislatif.

Tidak seperti sekarang, kata dia, semua masih setengah kamar. Artinya ganti presiden ganti menteri, maka tinggal menunggu digantinya kebijakan setengah kamar itu.

Anggota DPR Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menilai positif komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim, namun harus didukung oleh kebijakan anggaran dalam ABPN. Anggaran tidak cukup hanya dilihat di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), melainkan harus tampak pada seluruh unsur yang mempunyai kebijakan lingkungan.

Anggaran di KLH dan DNPI saat ini, kata dia, sangat kecil, sehingga niat pemerintah dalam memajukan Indonesia, misalnya untuk green economy, masih jauh. Keberpihakan anggaran yang kongkret akan mampu mewujudkan kebijakan perubahan iklim, misalnya upaya mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Isu perubahan iklim memang enak didengar dan diperbincangkan, tetapi begitu sampai di masalah anggaran sulit direalisasikan. Presiden tinggal memeriksa berapa anggaran yang sudah dikeluarkan oleh kementerian itu untuk implementasi program perubahan iklim,” ucapnya.[D-13]

sumber: www.suarapembaruan.com

 

Kenali Kemajuan Teknologi Kesehatan Buatan Indonesia di Indo Medica Expo 2013

Kebutuhan masyarakat akan informasi mengenai pelayanan rumah sakit, produk kesehatan terbaru, dan teknologi terkait kesehatan selama ini masih minim. Indo Medica Expo 2013 di Kemayoran, Jakarta, tahun ini dibuat untuk mengatasi kebutuhan tersebut.

Indo Medica Expo 2013-The 6th International Exhibition on Medical, Dental & Hospital Equipments, Medicine, Health Care, Supplies & Services, yang merupakan acara tahunan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan telah dilaksanakan sejak tahun 2008 ini diselenggarakan pada tanggal 26-29 Agustus 2013 di Hall C Jakarta International Expo (JI Expo) Kemayoran, Jakarta, memiliki tema ‘Mewujudkan Pelayanan Kesehatan yang Berkeadilan di Negeri Berdaulat’.

Dibuka dan diresmikan oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI, Dr HR. Agung Laksono, acara ini didukung oleh berbagai pihak seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Kemenkes RI, serta beberapa asosiasi terkait. Ditampilkan berbagai produk kesehatan, kecantikan, obat-obatan, serta industri peralatan rumah sakit.

“Saya menyambut baik atas diselenggarakannya acara ini. Saya harap acara ini bisa menjadi media komunikasi strategis di dunia kesehatan Indonesia,” papar Agung, saat membuka acara Indo Medica Expo 2013, Senin (26/8/2013).

Selain itu, pameran ini juga diselenggarakan bersamaan dengan Indo Beauty (The 5th International Exhibition on Cosmetics, Skincare, Fragrance, and Hair Products, Equipment, and Packaging Technology).

Penyelenggaraan Indo Medica Expo 2013 ini diharapkan dapat mendorong pelaku usaha di bidang industri kesehatan untuk menghasilkan peralatan kesehatan yang berkualitas, sehingga mampu bersaing dengan peralatan sejenis dari luar negeri.

Indo Medica Expo 2013 terbuka bagi para pelaku kesehatan dan masyarakat umum, mulai dari pukul 10.00 WIB hingga pukul 19.00 WIB. Para pengunjung dapat melakukan registrasi secara langsung di lokasi pameran dengan membawa 2 buah kartu nama, atau dengan membawa undangan jika memang telah dikirimkan.

“Malapetaka bagi suatu bangsa, terutama di bidang kesehatan, jika masyarakatnya lebih memilih produk kesehatan buatan luar negeri,” ujar Ketua Umum PB IDI, Dr Zaenal Abidin, MH, dalam kesempatan yang sama.

Dr Zaenal juga mengungkapkan bahwa pameran ini sangat penting, agar masyarakat Indonesia tahu bagaimana kemajuan teknologi di bidang kesehatan di negerinya sendiri. Ia menegaskan bahwa teknologi kesehatan dalam negeri tak kalah dari produk luar negeri, terutama negeri tetangga.

sumber: health.detik.com

 

World Health Organisation claims more than 300,000 affected by Sudan floods

More than 300,000 people across Sudan have been affected by floods which killed almost 50 people this month, the UN’s World Health Organisation said in a statement.

The data came as a new thunderstorm and strong winds on Thursday night rattled the Khartoum region, already suffering from what the UN said was the worst inundation in 25 years.

“Heavy rains and floods in Sudan have affected lives and properties of some 65,957 families or 320,000 people,” WHO said in a report.

As of Wednesday, 48 people had been killed and 70 injured, while property damage has been reported in 14 of the country’s 18 states, WHO said.

Interior Minister Ibrahim Mahmoud Hamed gave a higher death toll of 53 last week.

The WHO said one of the major health concerns was the collapse of almost 53,000 latrines.

In addition to damage from the flash floods which struck urban neighbourhoods earlier this month, the Blue Nile river in Khartoum has risen.

AFP reporters on Thursday saw the river had washed over about one kilometre (half a mile) of farmland in the east of the city, but a sand berm appeared to have been erected in an effort to block further intrusion.

“This is a huge disaster,” Mark Cutts, who heads the UN’s Office for the Coordination of Humanitarian Affairs in Sudan, said last week.

He said the UN is ready to support the government to help those affected by the floods, even though UN humanitarian operations in Sudan “have been severely underfunded” in 2013.

Aid workers were also assisting hundreds of thousands displaced this year by worsening fighting in the western Darfur region.

More than one million more have been uprooted or severely affected by war in South Kordofan and Blue Nile.

source: www.telegraph.co.uk

 

4 Bulan Lagi JKN Berlaku, Layanan Kesehatan Dibenahi!

Kementerian Kesehatan berupaya meningkatkan pelayanan kesehatan seperti kondisi rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya dalam menyambut diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional pada 1 Januari 2014.

“Betul bahwa pelayanan kesehatan harus terus ditingkatkan dan dipersiapkan, kita masih memiliki waktu empat bulan untuk melakukan penyempurnaan,” ujar Sekretaris Jenderal Kemenkes Supriyantoro di Jakarta, Jumat (23/8/2013).

Supriyantoro mengemukakan, pihaknya menyadari bahwa beberapa rumah sakit di daerah belum siap menghadapi diberlakukannya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berupa JKN pada Januari 2014.

“Untuk daerah-daerah yang belum siap, maka BPJS wajib memberikan kompensasi kepada daerah tersebut. Itu bagian dari proses. Kami memang harus memperbaiki pelayanan kesehatan,” katanya.

Menurut Supriyantoro, salah satu tantangan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan adalah soal komunikasi yang baik antara petugas kesehatan dengan para pasien, meskipun beberapa rumah sakit sudah diperbaiki.

“Kurangnya komunikasi yang baik di rumah sakit itu bisa menyebabkan pasien Indonesia memilih berobat ke luar negeri. Meskipun sebenarnya pengobatan di Indonesia tidak kalah baik,” ujarnya.

Untuk itu, lanjutnya, Kemenkes akan membentuk Badan Pengawas Rumah Sakit di daerah-daerah sebagai upaya untuk mengawasi dan meningkatkan pelayanan kesehatan.

Tidak hanya itu, Supriyantoro mengatakan agar masyarakat dapat melaporkan berbagai kasus di bidang kesehatan yang dianggap melanggar norma kepada Dinas Kesehatan setempat atau ke pihak Kemenkes dengan menghubungi 500567.

“Jadi, kalau terjadi kasus terkait pelayanan kesehatan yang mengecewakan itu bisa disampaikan, namun perlu ada bukti untuk mendukung laporan tersebut,” ujar Supriyantoro.

sumber: health.liputan6.com

 

Myanmar must act fast to curb drug resistant TB: Experts

Health officials called Thursday for urgent action to tackle “alarming” rates of drug-resistant tuberculosis in Myanmar where nearly 9,000 people catch the strain of the infectious disease each year.

Treatment programs in the impoverished nation — where the healthcare system was left woefully underfunded during decades of military rule — are expensive and ineffective leaving the deadly illness to spread unchecked, experts warned at a Yangon forum on the issue.

“Forms of TB that cannot be treated with standard drugs are presenting at an alarming rate in the country, with an estimated 8,900 people newly infected each year,” Doctors Without Borders (MSF) said in a statement.

The drug-resistant strain can still be treated, but analysis has shown that patients often have to take up to 20 pills a day and endure months of painful injections — although even up to two years of medication is not guaranteed to work.

“Yet only a fraction — 800 by the end of 2012 — receive treatment. Untreated, the airborne and infectious disease is fatal,” it said, adding care for the drug-resistant strain must “scale up country-wide to save lives and stem the unchecked crises.”

Myanmar, which is undergoing sweeping political and economic reforms, will publish results of a nationwide TB survey by the end of the year, a health ministry official said, adding currently there is enough medicine for just 500 patients with the drug-resistant strain.

They have been identified in just 38 townships across the vast country and there is so far no accurate measure of the disease’s spread.

Resistance to TB drugs develops when treatment fails to kill the bacteria that causes it — either because the patient fails to follow their prescribed dosages or the drug does not work.

“The gap is enormous,” said Thandar Lwin who manages the country’s TB program for the Ministry of Health.

“We need laboratory facilities, human resources and funding,” she said, adding treatment is made more complex because up to 10 percent of people with the illness also suffer from HIV. TB was declared a global health emergency by the World Health Organization (WHO) 20 years ago, but remains a leading cause of death by an infectious disease.

On its website, the UN agency says at least $1.6 billion is needed annually to prevent the spread of the disease.

Estimates for 2011 put the prevalence of TB in Myanmar at 506 sufferers per 100,000 of the population, compared to a regional average of 271 and a global figure of 170.

Over 95 percent of TB deaths occur in low and middle-income countries. Global health experts warned in March of the looming risk of an entirely untreatable strain of TB emerging. — AFP

source: www.saudigazette.com.sa

 

SOHO Perkenalkan Produk Herbal yang Teruji Klinis

Jamu dan Obat Herbal Terstandar (OHT) adalah dua jenis obat – obatan herbal yang umum dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun sebagai alternatif pengobatan kimiawi.

Khasiatnya pun mulanya beredar dari testimoni mulut ke mulut orang yang sembuh dari suatu penyakit setelah rutin mengonsumsi obat herbal.

Hal ini diperkuat oleh data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 bahwa hampir 96 persen masyarakat Indonesia percaya dan menyatakan bahwa jamu bermanfaat bagi kesehatan.

Namun yang perlu diperhatikan, tanpa adanya uji klinis, para dokter memiliki kendala dalam meresepkan obat – obatan herbal ini, karena mereka diharuskan untuk menerapkan Evidence Based Medicine (EBM) pada setiap obat yang diresepkan.

Selain itu, menurut dr. Arijanto Jonosewojo, Sp.PD., obat herbal berisiko memunculkan penyakit lain jika tidak mengerti indikasi dan dosis yang seharusnya.

“Jus belimbing memang bisa untuk turunkan kadar kolesterol dan tekanan darah. Tapi, kalau si pasien juga mengidap penyakit ginjal, justru semakin bahaya,” kata Kepala Program Studi Obat Tradisional Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini.

Pada pasien penyakit ginjal, racun saraf yang terdapat dalam belimbing tidak dapat disaring dan dibuang sehingga dapat berisiko mengancam kerja otak.

Melihat fenomena obat – obatan herbal ini, perusahaan farmasi SOHO Group memperkenalkan produk fitofarmaka, yaitu obat herbal yang telah lulus uji klinis mumpuni lewat Seed To Patient.

“Seed To Patient adalah konsep dimana kami mengontrol secara ketat dan menyeluruh proses pembuatan obat herbal. Mulai dari proses penanaman benih, panen, ekstraksi, pembuatan dan pengepakan, uji klinis, hingga produk tersebut sampai di tangan konsumen,” ujar Nick Burgess, Professional Liaison and Education Manager SOHO Flordis International.

Pada grand launching Seed To Patient, Kamis (22/8), SOHO Group juga sekaligus menghadirkan dua produk obat herbal andalan, yaitu Prospan dan Ginsana yang sudah teruji klinis.

Prospan dibuat oleh perusahaan asal Jerman, Engelhard Arzneimittel, yang telah menjadi obat batuk herbal nomor satu di dunia (IMS, 2011). Prospan berbahan dasar ekstrak daun ivy kering yang memiliki tiga aksi teurapeutik (mengencerkan dahak, melegakan saluran pernafasan, dan meredakan batuk.)

Sedangkan Ginsana berfungsi sebagai anaktogen yang dapat meningkatkan dan mempercepat metabolisme tubuh. Diproduksi di Swiss, Ginsana terbuat dari ekstrak Panax Ginseng C.A Meyer yang juga berfungsi untuk meningkatkan fungsi paru – paru dan aktifitas pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (COPD).

“Permasalahan utama pada produksi obat herbal tradisional adalah sulitnya mengidentifikasi jenis tanaman dan proses produksi yang seting tidak konsisten. Ini tentu dapat mempengaruhi efektifitas hasil akhirnya,” ungkap Burgess.

Program Seed To Patient, jelas Burgess, telah bekerjasama dengan ilmuwan dan peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk menjamin konsistensi kualitas bahan obat – obatan herbal serta proses produksi.

sumber: www.beritasatu.com

 

Standarisasi Obat Herbal Jadi Tantangan Baru Dunia Kesehatan

OBAT herbal sudah diketahui dan digunakan meluas di Indonesia. Namun, rata-rata obat herbal di Indonesia belum terstandarisasi dengan baik.

Menurut data dari Riset kesehatan Dasar (RisKesDas) 2010, sebanyak 55, 3 persen masyarakat Indonesia menggunakan jamu untuk menjaga kesehatan. Pada mulanya, eksistensi obat herbal berasal dari testimoni orang yang sudah sembuh dari suatu penyakit, tapi saat obat herbal yang dikonsumsi belum teruji klinis pada akhirnya akan sulit menggeneralisir khasiat dari obat herbal tersebut.

Di Indonesia obat herbal terbagi menjadi tiga jenis, yakni jamu, obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka. Di mana pada jamu belum dilakukan uji klinis apa pun dan khasiatnya untuk menyembuhkan penyakit hanya berdasarkan informasi yang diwariskan turun menurun. Sedangkan untuk OHT, sudah dilakukan standarisasi bahan baku produk seperti dari ekstrak tumbuhan serta telah dilakukan uji praklinik dengan hewan dan terbuki berkhasiat dan aman diuji pada hewan. Terakhir pada fitofarmaka, sudah dilakukan standarisasi bahan produk serta telah dilakukan uji klinis (uji pada manusia, setelah pada uji hewan berkhasiat dan aman), yang membuktikan keamanan dan khasiatnya.

Menanggapi hal itu, Dr. Arijanto Jonosewojo, Sp. PD selaku Kepala Poliklinik Komplementer Alternatif RSU Dr. Soetomo-Surabaya menjelaskan bahwa dengan banyak obat herbal yang belum terstandarisasi, nantinya obat herbal menjadi tantangan tersendiri di dunia kesehatan.

“Obat herbal pada akhirnya akan menjadi kendala ketika masuk ke dalam layanan kesehatan formal. Pasalnya, dokter dituntut untuk menerapkan Evidance Based Medicine (EBM) pada setiap obat yang diresepkan. Tetapi, sayangnya kebanyakan obat herbal yang beredar di Indonesia berada pada kategori jamu dan OHT,”katanya dalam acara yang bertema Peluncuran Seed to Patient, di Le Meridien, ruang Puri Asri 1, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2013).

Tak hanya itu, tambah dia, banyak masyarakat yang menganggap bahwa obat herbal itu aman 100 persen, padahal obat herbal tertentu itu harus dievaluasi dengan baik atau diobservasi secara mendalam. Menurutnya, opini yang menyatakan bahwa obat herbal lebih aman dari obat kimiawi mungkin benar, tapi mereka tak bisa mengobati secara optimal suatu penyakit karena belum terstandarisasi.

Melihat fakta tersebut, Soho Group yang merupakan perusahaan farmasi menawarkan produk herbal Ginsana & Prospan yang sudah teruji klinis dan mungkin bisa dijadikan referensi pengobatan untuk masyarakat, serta dokter guna meresepkan obat herbal kepada pasien.

“Ginsana mengandung ekstrak panax ginseng G115 (100 mg) yang berguna untuk meningkatkan performa fisik dan waktu pemulihan, menigkatkan fungsi paru-paru dan aktivitas pada pasien dengan penyakit paru obstruktif (COPD). Ginsana menggunakan bahan dasar ginseng yang diperoleh dari Korea dan cina dan diproduksi di Swiss. Hinggi kini, Ginsana sudah ada 40 negara di dunia. Sedangkan untuk Prospan, merupakan obat batuk yang berbahan dasar ekstrak daun ivy kering yang berasal dari Jerman. Prospan memiliki tiga aksi dalam mengatasi batuk, yaitu mengencerkan dahak ( sekretolitik), melegakan saluran pernafasan ( bronkospasmolitik) dan meredakan batuk itu sendiri (cough-relieving). Menurut data dari IMS tahun 2011, Prospan adalah obat yang nomor satu di dunia,”kata Nick Burgess, selaku Profressional Liaisom and Education Manager SOHO Flordis Internasional.

Ditambahkannya bahwa pembuatan dari kedua obat itu sudah melalui serangkaian uji klinis, dimulai dari proses penanaman benih hingga produk di tangan konsumen. (ind)

sumber: health.okezone.com

 

Belum Teken FCTC, Indonesia Rugi Empat Hal

Sampai saat ini hanya Indonesia dari seluruh negara di Asia yang belum menandatangani dan mengakses Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau.

“Padahal FCTC bertujuan untuk melindungi generasi masa kini dan masa mendatang dari dampak konsumsi tembakau dan paparan asap rokok terhadap kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi,” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan Murti Utami dalam rilisnya yang dikirim ke ROL.

Akibat belum menandatangani dan mengakses FCTC ada empat kerugian yang dialami Indonesia. Pertama, saat ini Indonesia merupakan target pasar atau tujuan utama pemasaran industri rokok multi nasional yang berisiko merusak kesehatan generasi bangsa dan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.

Kedua, konsumsi rokok di Indonesia akan semakin meningkat tajam terutama di kalangan kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil dan penduduk miskin. Hal ini akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian terkait penyakit akibat konsumsi rokok.

Ketiga, Indonesia tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti Conference of Party, yaitu konferensi negara-negara yang telah meratifikasi FCTC untuk memperjuangkan kepentingannya dan terlibat dalam negosiasi penerapan panduan dan protokol FCTC.

Keempat, Indonesia kehilangan harkat dan martabat sebagai negara yang melindungi dan bertanggung jawab meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Lebih lanjut Murti mengungkapkan Indonesia adalah negara urutan kedelapan produsen tembakau di dunia. Tiga negara penghasil tembakau terbesar di dunia yaitu China, Brasil dan India justru telah menandatangani serta meratifikasi FCTC.

Produksi tembakau di Indonesia sebesar 1,91 persen dari total produksi dunia. Sedangkan produksi tembakau di Cina, Brasil dan India menghasilkan 64 persen dari total produksi dunia.

sumber: www.republika.co.id

 

Pelayanan Kesehatan Indonesia Tertinggal

Pela­yanan kesehatan di Indonesia masih jauh di bawah standar, dibanding pelayanan kese­hatan yang ada di sejumlah negara berkembang lainnya.

Pernyataan itu menge­mu­ka pada Seminar Internasional bertajuk Interprofesional Relationship Education for Improving Health, yang digelar Sekolah Tinggi Ilmu Kese­hatan (STIKes) Fort de Kock Bukitinggi, di Hotel The Hills Bukittinggi kemarin.

Seminar Internasional ini dimaksudkan guna mem­per­siapkan diri bagi STIKes Fort de Kock Bukitinggi untuk mem­­­­buka kelas Internasional. Se­jum­lah professor dan doktor dari Internasional dihadirkan seba­gai keynote speaker.

Seperti Prof. Dave Holmes R.N.Ph.D (Assiate Dean Ottawa University Kanada), Dr. Surasak Soonthorn (Boro­marajonani Nursing Collage Saraburi Thailand), serta Prof. Siswanto Wilopo (Ketua Prodi S2 IKM FK Universitas Gadjah Mada Yogyakarta).

Menurut Surasak Soon­thorn, pelayanan kesehatan harus adil dan tidak boleh membedakan pasien dari segi agama, suku, ras, golongan dan jumlah penghasilan.

Sementara di Indonesia sen­diri, pelayanan kesehatan ma­sih membeda-bedakan pa­sien antara yang berpeng­hasilan dengan pasien yang kurang berpenghasilan, yang dapat dibuktikan dengan pem­bukaan kelas bagi pasien.

Untuk pasien di kelas VIP akan dilayani istimewa, se­mentara yang di kelas bawah kurang diperhatikan.

Dia menilai, untuk me­ning­katkan kulitas pelayanan pada pasien, dibutuhkan tem­pat yang nyaman, sehingga ikut membantu percepatan kesembuhan pasien.

Dicontohkan, di beberapa negara berkembang, pem­ba­ngunan villa tidak hanya dipe­runtukan sebagai tempat rek­reasi saja, tapi juga sebagai tem­pat pelayanan kesehatan, se­hingga selama menjalani pe­ngobatan pasien merasa betah seperti berada di rumah sen­diri.

Sementara itu, Profesor Siswanto Wilopo, yang lebih fokus membahas masalah ke­se­hatan ibu dan bayi meng­ungkapkan bahwa kon­disi kesehatan ibu dan bayi di Indo­nesia mengalami penu­ru­nan semenjak 10 tahun ter­akhir.

Dari data yang ada, angka kematian ibu dan bayi di Indonesia, menurut Siswanto Wilo­po, cenderung meningkat pada akhir 2012. “Kesehatan ibu dan bayi sangat menggam­bar­kan derajat kesehatan seca­ra keseluruhan,” kata Siswan­to.

Di Sumbar sendiri, menu­rut Sis­wanto, angka kematian ibu dan bayi juga masih tinggi. Selain kesalahan pemerintah, kesada­ran masyarakat untuk hidup sehat juga masih ku­rang, sehing­ga perhatiannya perlu diting­katkan lagi.

Menurut Siswanto Wilo­po, si­kap masyarakat lebih cen­de­rung mengobati dari­pada men­­­jaga kesehatan. Ia men­con­­tohkan, di beberapa rumah sakit banyak pasien yang men­de­rita diare. Padahal untuk lang­kah awalnya bisa dilak­sanakan di rumah, dan baru di­bawa ke rumah sakit jika me­mang kondisinya sa­ngat parah.

Hal itu membuktikan bah­wa pendidikan kesehatan bagi ma­syarakat sangat minim. Padahal tindakan pencegahan lebih baik daripada mengobati. “Banyak masalah kesehatan yang harus ditangani bersama, dan banyak kebijakan peme­rintah yang harus dievaluasi untuk mening­katkan pela­yanan kesehatan di Indone­sia,”ujar Siswanto.

Juga ikut sebagai pem­bicara dalam seminar Inter­nasional ini, Ketua STIKes Fort de Kock Bukitinggi NS Hj. Evi Hasnita S.Pd M.Kes dan Indra Lesmana dari Universitas Esa Unggul Jakarta. (*)

sumber: padangekspres.co.id

 

WHO Report Focuses On Mental Health

A new World Health Organization’s (WHO) report has noted that humanitarian agencies work hard to help people with their mental health and psychosocial needs in the aftermath of emergencies.

It however, said too often opportunities are missed to strengthen mental health systems for the long-term.

The report provides guidance for strengthening mental health systems after emergencies and examples from Afghanistan, Burundi, Indonesia (Aceh Province), Iraq, Jordan, Kosovo, Somalia, Sri Lanka, Timor-Leste, and West Bank and Gaza Strip.

The report, “Building back better: Sustainable mental health care after emergencies,” released to mark World Humanitarian Day (August 19), was made available to the Ghana News Agency on Monday by Tarik Jasarevic, WHO Communications Officer.

Contributors from each area reported not only their major achievements, but also their most difficult challenges and how they were overcome.

“In spite of their tragic nature, emergency situations are opportunities to improve the lives of large numbers of people through improving mental health services,” says Dr Bruce Aylward, WHO’s Assistant Director-General overseeing the Organization’s work in humanitarian emergencies. “We can do better for emergency-affected populations by working with the government on sustainable mental health care from the outset.”

It provides guidance for strengthening mental health systems after emergencies, and focuses on 10 cases, where countries have taken advantage of this opportunity.

It said Aceh like many provinces in Indonesia, had only institution-based care before the tsunami of 2004, however, today, most districts have primary mental health services supported by secondary care at district general hospitals.

The report noted that in Iraq since 2004, significant progress has been made toward the creation of a comprehensive mental health system, with more than 50 per cent of general practitioners having received mental health training.

It said in Sri Lanka, since the 2004 tsunami, a new national mental health policy has guided reform, which now extends to most parts of the country. Several new cadres of community-based mental health workers have been developed.

It held that the possibilities presented by emergency situations are significant because major gaps remain worldwide in the realization of comprehensive, community-based mental health care.

“The current situation is alarming,” says Dr Shekhar Saxena, WHO Director for Mental Health. “Health systems have not yet adequately responded to the burden of mental disorders. We know that the vast majority of people with severe mental disorders receive no treatment whatsoever in low-income and middle-income countries.”

Transforming the mental health care systems in turn would improve the well-being, functioning, and resilience of individuals, societies, and countries recovering from emergencies, the report notes.

By releasing this report, WHO aims to help guide policymakers to reform their mental health systems, especially those which may be susceptible to future emergencies.

Already in 2013, the world has witnessed numerous emergency situations, from the crisis in Syria and neighbouring countries to heavy fighting in Mali and the Central African Republic, major flooding in parts of the Americas, Africa, and Asia, and others.

source: www.ghana.gov.gh