Banyak Penyakit Infeksi, Indonesia Unggul Dalam Riset

Surabaya – Indonesia negara tropis memilikii banyak penyakit infeksi yang berkembang. Penyakit infeksi bagi bidang riset, farmasi, dan kesehatan merupakan sebagai salah pendorong bagi peneliti untuk menemukan vaksin.

Walhasil, jika penyakit infeksi dikelola dengan baik, maka Indonesia bisa unggul di kancah internasional, khususnya di bidang riset, farmasi, dan kesehatan.

Khususnya bila semua pihak, khususnya pemerintah Indonesia meu mendukung upaya riset terhadap berbagai virus penyakit infeksi itu. Maka akan dapat diketahui penyebabnya, sehingga dapat ditemui obat penangkalnya.

“Ditambah lagi, kita memiliki kekayaan hayati yang sangat melimpah. Berbagai tanaman obat itu dapat kita olah, sehingga mendatangkan keuntungan besar bagi negara kita. Kekayaan hayati itu, banyak tidak dimiliki oleh negara-negara lain, termasuk negara maju. Dan itu dapat dimaksimalkan untuk keuntungan kita,” Ketua Lembaga Penyakit Tropis atau Institute of Tropical Disease (ITD), Universitas Airlangga, Prof. Nasronuddin, saat ditemui si Kantor ITD, Unair, Surabaya, Kamis (16/5/2013).

Prof. Nasron mengatakan, Lembaga Penyakit Tropis yang menjadi satu dari tiga pusat unggulan iptek di Indonesia ini ditetapkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi pada 2012, sebagai pusat unggulan iptek nasional di bidang kesehatan dan obat dengan tema riset biologi molekuler. Menurutnya, lembaga yang dipimpinnya itu memiliki 15 studi spesialis antara lain influenza, dengue, HIV/AIDS, hepatitis, malaria, stem cell, human genetics, naturak products, molecular oncology, bee health product development, proteomic, tuberculosis, leprosy, entomology dan intestinal infection.

Dan salah satu yang telah dihasilkan adalah enzim untuk menggemukan sapi. Hal ini untuk menjawab tantangan Indonesia teerkait ketersediaan daging sapi, yang faktanya masih mengalami kekurangan daging.

Selain itu, menurut dia, lembaganya juga sedang mengembangkan terapi ‘stem cell’ yang dapat digunakan untuk banyak hal, seperti untuk penderita ginjal sehingga tidak lagi memerlukan cuci darah seumur hidupnya. Penderita nantinya hanya perlu disuntik peremajaan dengan terapi stem cell. Juga sedang dilakukan pengembangan obat anti virus hepatitis c, obat anti-demam berdarah, terapi sengat lebah, dan penularan amoeba lewat air.

Sejak awal berdiri hingga saat ini Lembaga Penyakit Tropis memang bekerjasama dengan konsorsium nasional dan internasional seperti Jepang, Australia, Thailand dan Belanda. Tapi meskipun bekerja sama dengan pihak luar, dia menjamin hak paten dari hasil penelitian menjadi 100 persennya milik Indonesia. Karena pihak asing hanya membantu mentransfer teknologinya.

“Penelitian-penelitian yang lain dan tengah dilakukan di sini adalah penelitian untuk menghasilkan kit-diagnostik, standard Antigen dan antibody, vaccine seed, dan enzim. Itu semua sesuai dengan misi ITD Unair, yaitu membantu program pemerintah secara sinkron, sinergis, dan linear melalui penelitian dan riset,” ujarnya.

Dan sejauh ini, ITD Unair telah menjalin kerjasama baik secara nasional maupun internasional antara lain dengan University of Sydney dari Australia, CRC-ERID dari Kobe University, Jepang, Erasmus University dari Belanda, Mahidol University dari Thailand, Oita University dari Jepang, JICA-JST/SATREPS dari Jepang, Nagasaki University dari Jepang, University Putra Bangsa dari Malaysia, dan AusAID dari Australia.

(sumber: www.poskotanews.com)

 

Call for papers: Health Policy and Systems in Emerging Economies

BMC International Health and Human Rights announces a call for submissions to a thematic series on health policy and systems in emerging economies. The “emerging economies” are fast growing and changing societies. They are the BRIC countries (Brazil, Russia, India, and China) that make up over 40 percent of the world’s population as well as other successful economies including Indonesia, Vietnam, Chile, Colombia, Mexico, Nigeria, South Africa, Turkey and South Korea. Such countries face important questions about how best to promote equitable and inclusive development – domestically, regionally and globally. The aim of this thematic series is to explore the challenges of creating policies for health in these settings.

We welcome submissions regarding all aspects of health policy and systems in emerging economies that illuminate relationships between economic development and health and human rights, including, but not limited to, the following topics:

• social protection floors, universal healthcare and social guarantees
• the ‘new middle classes’ and health policy
• finance capital and commercial activity in healthcare
• environment and health
• preventive health policy
• law and governance challenges
• trade in health services and other transnational mobilities
• health-related aid
• policy innovations offering lessons for health policy in poorer nations and regions

Literature reviews, comparative studies and single case studies are welcomed. We encourage you to submit your original articles by August 31, 2013. To submit your manuscript, please use our online submission system and indicate in your cover letter that you would like the manuscript to be considered for the ‘health policy and systems in emerging economies’ thematic series.

A special 20% discount off the Article Processing Charge (APC) will be granted to all accepted manuscripts submitted by July 31, 2013 (please mention waiver code IHHRTHEM). All manuscripts will undergo peer review according to the journal’s policy.

(source: blogs.biomedcentral.com)

Dokter Indonesia Gelar Aksi Damai 20 Mei

Jakarta – Kumpulan para dokter yang tergabung dalam wadah Dokter Indonesia Bersatu (DIB) akan melakukan aksi damai 20 Mei mendatang.

Para dokter yang bakal berdemo dengan menggunakan baju kebesaran lengkap dengan stetoskop ini, mengajak para dokter di seluruh Tanah Air untuk kembali kepada spirit perjuangan dokter Indonesia.

“DIB akan melakukan aksi damai hingga ke Istana Presiden. Dalam aksi ini kami mengajak seluruh dokter untuk berbaju putih lengkap dan stetoskop,” kata dr Agung Sapta Adi, Presidium DIB dalam konferensi pers, di Jakarta, Rabu (15/5) sore ini.

Anggota Presidium lainnya, dr Norman Zainal mengatakan, belum dipastikan berapa banyak dokter yang akan turun ke jalan untuk berdemo. Yang jelas, dalam aksi kali ini DIB menuntut reformasi kesehatan nasional yang berkeadilan dengan mengajukan petisi.

Menurutnya, aksi damai bertujuan untuk mengajak profesi dokter kembali kepada kemuliaan profesi dokter sesuai sumpah dokter.

Para dokter yang tergabung di DIB merasa wadah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai satu-satunya organisasi profesi belum bisa menampung segala keluh kesah dokter, termasuk adanya keterbatasan bersuara.

“Kami merasa dokter yang sudah mapan dan nyaman di IDI terkesan tidak ingin terkutak-katik dengan segala birokrasi yang sudah lazim ada di pelayanan kesehatan,” katanya.

Agung Sapta Adi menambahkan, kepada seluruh dokter yang akan mengambil bagian dalam aksi damai 20 Mei nanti, untuk mengedepankan persatuan sebagai bentuk kekuatan yang mendorong perubahan secara progresif.

Ia mengajak para dokter Indonesia bisa bersatu menjauhkan segala perbedaan dan menjadikan perbedaan pandangan sebagai awal diskusi perbaikan sistem kesehatan nasional.

Ia juga menegaskan, wadah DIB yang mulai dbentuk sejak Februari 2013 di dunia maya, pada perkembangannya terus diminati para dokter.

Saat ini, sudah sekitar 17.303 dokter dari seluruh Indonesia bahkan luar negeri yang bergabung. Mereka di forum dunia maya terbiasa mengungkapkan segala keluh kesah menyangkut pelayanan kesehatan di Indonesia. DIB murni gerakan moral tanpa ada intervensi politik maupun kepentingan meraih kekuasaan di pemerintah.

Adanya wadah DIB, kata dia, bukan untuk menandingi IDI, tetapi sebaliknya mendukung gerakan IDI. Gerakan moral DIB sekadar untuk memperbaiki sistem pelayanan kesehatan Indonesia yang berkeadilan terhadap masyarakat maupun pemberi pelayanan kesehatan.

“Kami tidak ingin melebarkan jurang antara satu dokter dengan dokter lainnya. Justru kami ingin para dokter khususnya di wilayah terpencil juga mendapat hak yang sama dengan dokter yang saat ini mapan”, kata Agung.[D-13]

(sumber: www.suarapembaruan.com)

Pembahasan RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran Terhenti

Jakarta, PKMK. Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pendidikan Tinggi Kedokteran di Komisi X DPR RI saat ini terhenti. Sebab, tim dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Nasional ingin memperbarui daftar isian masalah (DIM) RUU tersebut. Seperti diketahui, sebelumnya Panitia Kerja (Panja )RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran Komisi X DPR RI sudah menyetujui DIM RUU itu, ungkap Raihan Iskandar, Anggota Komisi X DPR RI di Jakarta (16/5/2013). Apa poin di DIM RUU yang membuat tim Kementerian Pendidikan belum sepakat? Ada adu argumen tentang DIM RUU dalam rapat pembahasan terakhir dan ditemukan adanya sejumlah DIM RUU yang tidak tepat. Kemudian, tim Kementerian Pendidikan mengakui bahwa belum ada kesiapan untuk pembahasan lebih lanjut serta mereka menyatakan ingin memperbarui DIM RUU itu.

Saat ini, tim Kementerian Pendidikan tengah menyusun DIM RUU lagi. Menjadi tugas tim itu untuk menyusun sebab merekalah yang menarik DIM RUU itu, sementara Panja sudah setuju. “Untuk pembahasan RUU itu berikutnya, ya kami menunggu DIM baru tersebut,” ucap Raihan. Seberapa lama waktu yang diperlukan untuk DIM RUU baru? Raihan mengatakan, pihaknya tidak bisa memastikan hal tersebut. Hal yang pasti, sudah menjadi tugas Panja untuk mengingatkan agar proses tersebut tidak berlarut-larut. “Awalnya, Kementerian Pendidikan juga sudah menyetujui DIM RUU itu. Tapi lalu mau mengkaji ulang. Okelah, kami setuju,” ucap Raihan. Sebaiknya, penyebab terhentinya pembahasan RUU tersebut tidak ditujukan ke Panja sebab DIM RUU lama itu disetujui Panja, kata Raihan. Pembahasan beasiswa dan ikatan dinas untuk mahasiswa fakultas kedokteran, termasuk dalam salah satu DIM RUU yang sudah disetujui Panja. Rapat pembahasan DIM RUU tersebut bisa dijadwalkan lagi jika Kementerian Pendidikan sudah menyerahkan DIM RUU baru. Kementerian Pendidikan telah membentuk tim baru untuk membuat DIM RUU versi baru.

 

Mantan Menpera Sarankan Sosialisasi Rumah Honai Lebih Mengena

Jakarta, PKMK. Siswono Yudhohusodo, Mantan menteri perumahan rakyat RI, menyarankan agar sosialisasi rumah honai sehat ke masyarakat Papua berlangsung lebih mengena. Untuk itu, sosialisasi perlu lebih dulu dilakukan melalui pendekatan sosiologis ke tokoh adat. Setelah itu, barulah sosialisasi berlangsung ke masyarakat sasaran rumah tersebut. “Kalau sosialisasi langsung dilakukan ke masyarakat, ya sulit. Sebab masyarakat tradisional cenderung sulit berubah daripada masyarakat modern,” kata Siswono di Jakarta (16/5/2013).

Dengan kecenderungan tertutup itu, bisa dipahami bahwa desain rumah honai sehat masih sukar diterima masyarakat. Dalam upaya mengatasi hal tersebut, sosialisasi pun perlu lebih bersifat lintas instansi Pemerintah Indonesia. Sosialisasi sebuah program Pemerintah Indonesia bukan sekadar tanggung jawab sektoral. Kata Siswono, “Sudah tentu, Pemerintah Daerah perlu terlibat intensif. Demikian pula tokoh agama dan adat. Pertama kali, manfaat program tersebut harus dijelaskan.”

Saat ini, kebiasaan bermukim di rumah honai biasa menyebabkan sejumlah gangguan kesehatan, salah satunya penyakit tuberkulosis lebih mudah menular. Lebih dari 70 persen masyarakat di Lembah Baliem terkena tuberkulosis karena desain rumah honai yang tertutup. Desain tertutup itu karena iklim pegunungan yang dingin. Sekeluarga tidur satu lantai dengan mengelilingi api sehingga hangat, ternak pun di situ. “Dengan ilmu kesehatan, kita mengetahui bahwa hal itu tidak sehat dan Pemerintah Indonesia memiliki prakarsa baik untuk mengubahnya,” jelas Siswono. Wujud prakarsa itu adalah bentuk rumah honai yang lebih sehat, yaitu sirkulasi udara dimungkinkan lebih baik dan berlantai dua. “Sekali lagi bisa dimengerti kalau desain itu belum bisa diterima, perlu sosialisasi yang lebih mengena dan intensif,” papar Siswono.

 

JAMINAN KESEHATAN: Pemberlakuan BPJS Bakal Meningkatkan Jumlah Kepesertaan Jaminan Kesehatan

SEMARANG – Kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang akan di berlakukan 1 Januari 2014 diperkirakan bakal mempengaruhi penggelembungan peserta jaminan kesehatan di wilayah Jateng dan DIY hingga mencapai 15 juta dari saat ini hanya 2 juta.

Operasionalisasi BPJS Kesehatan itu diberlakukan untuk menggantikan model pelayanan kesehatan melalui Perseroan, di mana Badan baru itu menggabungkan peserta asuransi kesehatan, Jamkesmas, eks-Jamsostek dan anggota TNI/Polri dalam satu wadah layanan.

General Manager PT Askes (Persero) Divisi Regional VI Jateng – DIY, Andayani Budi Lestari mengatakan secara nasional peserta Askes saat ini sebanyak 16,5 juta orang dan tercatat 2 juta di antaranya berasal dari di Jateng dan DIY, bahkan dipastikan jumlah peserta di dua provinsi itu akan meningkat berlipat menjadi sekitar 15 juta jiwa karena penggabungan dari beberapa lembaga penjamin kesehatan.

Pelaksanaan BPJS Kesehatan di Jateng-DIY itu, lanjutnya, sedang dipersiapka dengan peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan peguatan sistem informasi layanan sehingga data yang didapatkan atau dipublikasikan bersifat realtime.

Perseroan di wilayahnya juga akan menambah sekitar 250 pegawai dari 500 pegawai yang saat ini aktif, sehingga pelayanan ke depan bisa dijangkau sesuai dengan kapasitas kepesertaan. (41/rsj)

(sumber: www isnis-jateng.com)

 

 

 

India announces low-cost rotavirus vaccine

NEW DELHI — The Indian government announced Tuesday the development of a new low-cost vaccine proven effective against a diarrhea-causing virus that is one of the leading causes of childhood deaths across the developing world.

The Indian manufacturer of the new rotavirus vaccine pledged to sell it for $1 a dose, a significant discount from the cost of the current vaccines on the market. That reduced price would make it far easier for poor countries to vaccinate their children against the deadly virus, health experts said.

Rotavirus, spread through contaminated hands and surfaces, kills about half a million children across the world each year, 100,000 of them in India.

At a conference Tuesday, the government announced that Phase III trials of Rotavac proved that it was safe as well as effective. The clinical trial of 6,799 infants at three sites in India showed the vaccine reduced severe cases of diarrhea caused by rotavirus by 56 percent during the first year of life.

”The clinical results indicate that the vaccine, if licensed, could save the lives of thousands of children each year in India,” said Dr. K. Vijay Raghavan, the secretary of the Department of Biotechnology.

The vaccine still needs to be licensed before it can be distributed in India and would require further approval by the World Health Organization before it could be distributed globally.

Two other vaccines have proven effective against rotavirus, but they are significantly more expensive.

The GAVI Alliance, which works to deliver vaccines to the world’s poor, negotiated a significant discount last year with GlaxoSmithKline and Merck, obtaining the rotavirus vaccines from those pharmaceutical companies for $2.50 a dose. The alliance has programs for delivering those vaccines in 14 countries and plans to expand them to 30 countries.

Dr. Seth Berkley, the GAVI Alliance’s CEO, said the announcement Tuesday was ”a big deal.”

”The cheaper the price the more children you can immunize,” he said, adding that it will still take some time before the vaccine is approved for use.

In addition, having a third manufacturer for the vaccines would ease supply shortages and could drive down the costs charged by the other manufacturers, he said.

”That would make a big difference in terms of changing the marketplace,” he said.

Diarrhea is the second leading cause of death among young children in the world after pneumonia. A study of 22,568 children at sites in seven African and south Asian countries that was published Monday in the medical journal The Lancet showed that rotavirus was the leading cause of moderate to severe diarrhea in children under the age of two.

The new vaccine was developed from a weakened strain of the virus taken from a child hospitalized in New Delhi more than a quarter century ago. It was the result of a broad global partnership that included the government, the Indian company Bharat Biotech, the Bill and Melinda Gates Foundation and the U.S. Centers for Disease Control and Prevention, among many others.

Those involved said the broad cooperation reduced research costs for the manufacturer and helped keep the vaccine inexpensive.

”This public-private partnership is an exemplary model of how to develop affordable technologies to save lives,” Bill Gates, co-chair of the Gates Foundation, said in a statement.

(source: www.macon.com)

Warning on Indonesia bird flu risk

I Wayan Teguh Wibawan, a researcher at the Bogor Institute of Agriculture (IPB), said at a seminar on Saturday that Indonesian farmers sometimes kept chickens and ducks in close quarters, a practice also carried out by their Chinese equivalents.

The Jakarta Globe reported that allowing animals to sleep, eat and defecate in the same space is a key factor in the spread of bird flu.

“This tends to facilitate the spread of the H7N9 virus,” the researcher said, calling on farmers to take action to separate farm animals and limit the number kept in any one place, to avoid overcrowding.

“The government should also work to increase farmers’ awareness and tighten monitoring,” he added.

Although the Indonesian government has confirmed some cases of H7N9 infection in poultry, there have been no reports of human infections from the new strain in the country.

The H7N9 virus was first reported to have spread from chickens to humans in late March, with most cases confined to eastern China.

The World Health Organisation says there is no evidence to suggest that the new strain is easily transmitted between humans.

However, 40% of the 130 people infected did not appear to have had contact with poultry, so the WHO is investigating the possibility of human-to-human transmission.

The head of the US Centers for Disease Control and Prevention said the current strain of bird flu could not spark a pandemic in its current form, though there is the chance that it could mutate.

Earlier this month, immunologists expressed concern about the “dangerous” work of scientists in China who have created a hybrid bird flu virus by mixing genes from H5N1 “bird flu” and H1N1 “swine flu”. The new virus, which can spread in the air between guinea pigs, is being kept in a lab freezer.

Jeremy Farrar, director of the Oxford University Clinical Research Unit in Vietnam, told Nature News that H5N1 continued to pose a very real threat but that research into the virus should be better regulated.

“I do believe such research is critical to our understanding of influenza. But such work, anywhere in the world, needs to be tightly regulated and conducted in the most secure facilities, which are registered and certified to a common international standard,” he said.

 

RS Siloam Manado Kurangi Pasien Berobat ke Malaysia

15mei

15meiJakarta, PKMK. Keberadaan Rumah Sakit (RS) Siloam di Manado, Sulawesi Utara, bisa mengurangi jumlah pasien kelas menengah ke atas yang berobat ke Malaysia. Sebab, fasilitas berobat yang ditawarkan RS Siloam di Manado sama dengan di Malaysia bahkan lebih baik, ungkap Cixo Sianipar, PR Corporate Siloam Hospitals, di Jakarta (15/5/2013).

Selanjutnya, kelak kehadiran RS Siloam di kawasan lain Indonesia Timur seperti Ambon (Maluku) dan Papua Barat, juga bisa mengurangi jumlah warga yang berobat ke luar negeri. “Memang, selama ini RS swasta di Indonesia Timur masih sedikit, khususnya yang menyediakan layanan spesialis. Maka kami melakukan ekspansi ke kawasan yang belum dijamah pemain RS swasta yang lain,” kata Cixo. Peralatan medis canggih yang dihadirkan di RS Siloam di Jakarta, juga dihadirkan di Indonesia Timur. Semaksimal mungkin, kualifikasi peralatan medis di Indonesia Timur setara dengan di Jakarta. Kata Cixo, “Hanya saja, kuantitasnya mungkin tidak sama. Misalnya, kalau di Jakarta ada dua atau tiga catch lab, di Kupang cukup satu.”

Di Makassar, Sulawesi Selatan, manajemen RS Siloam bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin untuk pengadaan ataupun pelatihan dokter. Di kota lain di Indonesia Timur, tidak tertutup kemungkinan bahwa pola serupa digunakan. “Kami pun akan mengutamakan tenaga medis putra daerah, porsi mereka sampai 98 persen dan didampingi tenaga ahli dari Jakarta,” Cixo mengatakan.

Dapat dikatakan bahwa segmen pasien yang dibidik RS Siloam di Indonesia Timur, campuran, yaitu segmen menengah ke bawah ataupun atas. Cixo menampik anggapan bahwa RS Siloam identik dengan layanan pengobatan yang mahal. “Dengan membidik segmen pasar bervariasi, kami membuat subsidi silang. Pasien kaya menyubsidi yang tidak mampu,” ujar Cixo. Siloam Hospitals menargetkan mempunyai 77 buah rumah sakit di tahun 2017. Saat ini, RS yang sedang dibangun ada di Padang (Sumatera Barat), Medan (Sumatera Utara), dan Kupang (Nusa Tenggara Timur).

 

2.4 Billion People Will Lack Sanitation In 2015: WHO Report

The objective is part of the United Nations Millennium Development Goals (MDG), an initiative ratified in 2000 by all 193 United Nations member states and at least 23 international organizations.

“There is an urgent need to ensure all the necessary pieces are in place – political commitment, funding, leadership – so the world can accelerate progress and reach the Millennium Development Goal sanitation target” said Dr Maria Neira, WHO Director for Public Health and Environment, in a press release.

From 1990 to 2011, access to improved sanitation – using bathrooms rather than open defecation – expanded dramatically. Almost 1.9 billion people have developed sanitation facilities over this 21-year span. The most progress was witnessed in Eastern Asia, where 626 million now relieve themselves indoors.

Despite these gains, there were nearly one billion people – mostly in rural areas – who still practiced open defecation by the end of 2011, according to the WHO report. Another 1.5 billion lived with insufficient sanitation facilities, and this level will remain in place without stronger efforts by participating states.

The root problem is a lack of a suitable water source. Regions with the worst sanitation, like sub-Saharan Africa, Afghanistan, and Papua New Guinea, also have the lowest drinking water coverage. Some nations, like India, have developed water technology for urban regions, but their rural areas are still living without both clean water and sanitation. As we reported last week, a group of scientists in India has created one innovative solution for its water crisis.

Piped drinking water supplies on premises are associated with the best health outcomes. Nearly 800 million people in 2011 lived without a modern outlet for drinking water, a quarter of which relied on surface water, such as rivers, lakes, and ponds, for nourishment.

“This is an emergency no less horrifying than a massive earthquake or tsunami,” said Sanjay Wijesekera, global head of UNICEF’s Water, Sanitation and Hygiene (WASH) programme, in a press release. “Every day hundreds of children are dying; every day thousands of parents mourn their sons and daughters. We can and must act in the face of this colossal daily human tragedy.”

(sourec; www.medicaldaily.com)