Pelatihan Strategi Komunikasi Untuk Advokasi Kebijakan Kesehatan

  Latar Belakang

Advokasi kebijakan merupakan kegiatan strategis yang perlu diperhatikan oleh para peneliti dan akademisi. Advokasi ini terkait dengan transfer pengetahuan dari satu pihak ke pihak lain khususnya yang mempunyai wewenang mengambil keputusan. Untuk mentransfer pengetahuan tersebut, maka dibutuhkan sumber daya yang mencukupi. Sumber daya dalam advokasi kebijakan tidak hanya berkaitan dengan keuangan, kekuasaan, dan kedudukan (jabatan). Akan tetapi, advokasi juga membutuhkan kemampuan berkomunikasi secara baik, jelas dan lugas.

Sejalan dengan hasil survei “Pengembangan Keterampilan” pada 8 dan 11 Oktober 2019 yang diisikan oleh peserta, maka PKMK akan menyelenggarakan pelatihan mengenai “Strategi Komunikasi Untuk Advokasi Kebijakan Kesehatan”. Pelatihan ini merupakan pendukung dari kegiatan sebelumnya yakni pelatihan policy brief, strategi advokasi kebijakan dan stakeholders mapping.

  Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Kegiatan pelatihan akan dilaksanakan pada:
Hari, Tanggal : Senin, 28 Oktober 2019
Waktu : 08.30 – 12.45 wib
Tempat : Sekber Lt. 2 PKMK UGM

Output

Hasil yang diharapkan: Peserta dapat memiliki komunikasi yang mampu mempengaruhi stakeholders atau pengambil keputusan.

Rencana Jadwal Kegiatan

Waktu Tema/Agenda Narasumber Materi Perlengkapan
08.30 – 09.00 Registrasi Peserta
09.00 – 09.30 Pembukaan Sealvy Kristianingsih , SE., MSc. Manfaat komunikasi dalam mengadvokasi kebijakan  
09.30 – 10.45

Strategi komunikasi untuk advokasi kebijakan

materi

Dr. Gabriel Lele, SIP., M.Si
  • Presentasi
  • Negosiasi
  • Lobi
Fasilitator:
Tri Muhartini
10.45 – 11.40

SIMULASI KOMUNIKASI UNTUK ADVOKASI KEBIJAKAN KESEHATAN
Didampingi oleh Dr. Gabriel Lele, SIP., M.Si

Presentasi PB
Topik: Equity
(5 menit)
10.45 – 10.50

Presentasi PB
Topik: Peran Pemda
(5 menit)
11.02 – 11.07

Presentasi PB 6
Topik: KBKP
(5 menit)
11.19 – 11.24

Diskusi
(8 menit)
10.50 – 10.58

Diskusi
(8 menit)
11.07 – 11.15

Diskusi
(8 menit)
11.24 – 11.32

Komentar
(4 menit)
10.58 – 11.02

Komentar
(4 menit)
11.15 – 11.19

Koemntar
(4 menit)
11.32 – 11.36

11.40 – 12.10 Penutup Reimbuss Biljers Fanda, MPH.
  • Rangkuman hasil pelatihan
  • Evaluasi dan Rencana pengembangan keterampilan
 

form lembar evaluasi

 

Konfirmasi Kehadiran

Sdri Lelyana
Email : [email protected] 
Phone/Fax : +62 274 549425 (hunting)
Phone : 0811 1019 077

 

 

Data Kesehatan Nasional dan Provinsi

Laman ini berisikan data yang terkait dengan Indikator-indikator pembangunan Kesehatan, beban penyakit, dan berbagai data lain termasuk penggunaan fasilitas kesehatan di sistem BPJS. Data divisualisasikan dalam bentuk Dash-board.

Tujuan dash-board ini untuk:

  • Mencermati perkembangan berbagai indikator dan data dalam konteks sistem kesehatan
  • Mengembangkan penelitian dan analisis kebijakan berbasis data untuk perbaikan kebijakan.
  • Menjadi forum diskusi virtual untuk pengembangan sistem kesehatan di pusat dan daerah.

Silahkan klik di sini untuk melihat data nasional.

t 1        t 1        t 1

 

        t 1        

 

 

 

 

Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ke IX (Fornas JKKI 2019)

Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ke IX 2019

“Advokasi untuk Kebijakan Kesehatan”

Yogyakarta dan Banda Aceh, dapat diikuti melalui Webinar

 

  Pengantar

Di dalam proses penetapan kebijakan publik termasuk di sektor kesehatan, ada satu hal yang sangat penting adalah bagaimana mentransfer (memindahkan) hasil-hasil penelitian ke proses pengambilan kebijakan. Hal ini merupakan tantangan bagi para peneliti di sektor kesehatan agar penelitiannya dapat berdampak pada status kesehatan masyarakat. Ada lima pertanyaan utama yang diperlukan dalam proses transfer pengetahuan ini yaitu:

  1. Pengetahuan apa yang harus ditransfer menjadi kebijakan publik?
  2. Kepada pengambil keputusan mana pengetahuan dari berbagai penelitian akan ditransfer?
  3. Oleh siapa pengetahuan penelitian ditransfer ke pengambail keputusan?
  4. Bagaimana cara pengetahuan dari penelitian dipindahkan ke proses pengambilan keputusan?
  5. Bagaimana cara mengukur efek keberhasilan transfer pengetahuan penelitian?

Di dalam konteks transfer ilmu pengetahuan ini, Forum Nasional JKKI ke IX pada tahun 2019 mengambil tema Advokasi Kebijakan yang merupakan hal yang belum banyak di bahas di dalam sektor kesehatan.

Berbeda dengan tahun lalu, format Forum Nasional ini menggunakan pendekatan pelatihan dan presentasi hasil. Oleh karena itu ada sebuah rangkaian kegiatan yang dapat diikuti oleh anggota Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Namun seperti tahun lalu, kegiatan-kegiatan dapat diikuti melalui jarak-jauh (berbasis web).

  Tujuan

Rangkaian kegiatan akan membahas mengenai berbagai perkembangan dalam analisis kebijakan dan metode advokasi kebijakan. Secara detil tujuannya adalah:

  1. Memahami fungsi dan tugas analis kebijakan yang menjadi profesi kunci dalam advokasi kebijakan;
  2. Memahami metode Analisis Kebijakan dengan menggunakan Modul dari LAN.
  3. Memahami teknik menulis Policy Brief
  4. Memahami teknik Advokasi Kebijakan

Berbagai metode ini akan dibahas dalam konteks topik kebijakan di:

  • Jaminan Kesehatan
  • Kesehatan Ibu dan Anak
  • Pangan dan Gizi khususnya Stunting.

  Kegiatan

Program yang akan dikerjakan adalah sebagai berikut:

  • Program 1:
    Pelatihan Blended Learning Analisis Kebijakan: Kasus kebijakan JKN, KIA dan Gizi
    1 Agustus – 7 September 2019
    Para peserta akan dilatih untuk menyusun Policy Brief yang akan dibahas pada Seminar di Banda Aceh
  • Program 2: 
    Pelatihan Policy Brief, Kamis, 19 September 2019 di Yogyakarta
  • Program 3:
    Seminar di Yogyakarta: Advokasi untuk Kebijakan JKN 8 Oktober 2019
  • Program 4:
    Seminar di Banda Aceh: Kebijakan KIA dan Kebijakan Gizi, 9 – 10 Oktober 2019
  • Program 5:
    Workshop tatap muka Metode Advokasi Kebijakan di Banda Aceh: 11 Oktober 2019

 

  Call For Policy Brief Abstract

Forum JKKI di tahun 2019 ini hanya berfokus pada Policy Brief yang akan dibahas di Seminar Banda Aceh. Fornas JKKI 2019 mengharapkan Call for Policy Brief Abstract yang berisikan penelitian yang terkait dengan:

  • Kesehatan Ibu dan Anak
  • Pangan dan Gizi, khususnya Stunting
  • Jaminan Kesehatan
  • Dan berbagai topic kesehatan lainnya

Call for Policy Brief Abstract ini merupakan hal baru yang diharapkan dapat mengembangkan kemampuan para peneliti untuk mempengaruhi kebijakan di level pemerintah pusat ataupun daerah. Hal ini sangat penting mengingat bahwa di masa mendatang diharapkan kebijakan kesehatan ditetapkan berdasarkan bukti yang tepat.

  Tanggal- tanggal Penting:

  • Batas akhir pengumpulan abstrak : 31 Agustus 2019
  • Pengumuman abstrak yang diterima : 9 September 2018

  Peserta

Peserta kegiatan ini adalah :

  1. Pengambil Kebijakan Kesehatan Indonesia : Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, DPR, Dinas Kesehatan, Inspektorat, dan lembaga pemerintah lainnya.
  2. Pengelola sarana pelayanan kesehatan: Pimpinan atau staf Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) milik Pemerintah maupun Swasta, Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL) milik Pemerintah maupun Swasta, Pimpinan Balai Kesehatan, dan Pimpinan sarana pelayanan kesehatan lainya.
  3. Mahasiswa : S1, S2 dan S3 dari berbagai lintas ilmu
  4. Pelaku Pelayanan Kesehatan yang terdiri atas: Organisasi Profesi (IDI, PPNI, IBI, dsb), Lembaga asuransi/Pembiayaan Kesehatan (BPJS Kesehatan, Jamkesda, Asuransi Kesehatan Swasta), Lembaga Sertifikasi/Akreditasi (KARS, KALK, ISO, MenPAN, Badan Mutu, dsb), LSM Bidang Kesehatan,
  5. Akademisi dan Konsultan: Dosen dan Peneliti di Perguruan Tinggi, Peneliti, Konsultan dan sebagainya.

  Informasi dan pendaftaran

Biaya Registrasi Peserta *)

  Jarak-jauh Onsite

Program 1:

Pelatihan Blended Learning Analisis Kebijakan: Agustus – 7 September 2019

Rp 1.500.000,- Rp 1.500.000,-

Program 2:

Pelatihan Policy Brief, Kamis, 19 September 2019 di Yogyakarta

Rp. 500.000,- Rp. 500.000,-

Program 3:

Seminar di Yogyakarta: Advokasi untuk Kebijakan JKN 8 Oktober 201

Rp. 500.000,- Rp. 500.000,-

Program 4:

Seminar di Banda Aceh: Kebijakan KIA dan Kebijakan Gizi, 9 – 10 Oktober 2019

Rp 1.000.000,-

(bisa berkelompok)

Sesuai dengan tarif dari Panitia di Banda Aceh

Program 5:

Workshop tatap muka Metode Advokasi Kebijakan di Banda Aceh: 11 Oktober 2019

Rp.   500.000 Rp.   500.000

Pembayaran peserta dapat dilakukan dengan melalui transfer ke rekening panitia:

No Rekening : 9888807174100003
Nama Pemilik : UGM FK PMPK Dana Penerimaan Hasil Produk/Jasa
Nama Bank : BNI
Alamat : Jalan Persatuan, Bulaksumur Yogyakarta 55281

Bukti transfer pembayaran tersebut di kirim melalui (pilih salah satu)dengan diberi nama lengkap peserta

  • Fax ke 0274-549425
  • Email ke [email protected]
  • Whatsapp Messenger ke No. 08111019077 / 082116161620

Pendaftaran peserta dapat dilakukan online melalui website Kebijakan Kesehatan Indonesia
https://kebijakankesehatanindonesia.net/fkki2019/

  Contact person:

Maria Lelyana (Kepesertaan)
Telp: 0274-549425 / 08111019077

 

 

Jadual Diskusi Webinar Reformasi Pelayanan Kesehatan

 

Hari. Tanggal Topik
Modul 1: Kerangka Konsep Sistem Kesehatan dan aplikasinya di berbagai masalah kesehatan

Sesi 1
Senin, 8 Juli 2019,
08.00 – 09.40

Sesi 1 Pengantar: Kerangka Sistem Kesehatan

Deskripsi:
Dalam menggambarkan sector kesehatan yang demikian besar dan kompleks, perlu pendekatan dengan menggunakan kerangka konsep yang jelas. Apa yang disebut sebagai Kerangka Konsep?

Di referensi disebutkan:
A theoretical structure of assumptions, principles, and rules that holds together the ideas comprising a broad concept

Kerangka konsep ini diperlukan oleh para pelaku di sector kesehatan agar batasan system kesehatan yang sangat besar ini dapat digambarkan dengan baik dan dilakukan analisis-analisis tajam untukperbaikan. Kerangka konsep diperlukan untuk kegiatan perencanaan, kegiatan evaluasi, sampai ke pegangan konsultan manajemen untuk bekerja.

Pertemuan 1 ini akan membahas Kerangka Konsep Sistem Kesehatan yang mendasari pemikiran berbagai pihak tentang sector kesehatan.

Tujuan:

Setelah mengikuti sesi ini para peserta mampu untuk:

  1. Mengidentifikasi berbagai Kerangka Konsep dalam Sistem Kesehatan
  2. Memahami Sistem Kesehatan dan Reformasi Kesehatan.
  3. Memahami kasus yang terjadi di program JKN saat ini, dan perbandingan dengan di berbagai negara Asia Tenggara.

Narasumber: Prof. dr. Laksono Trisnantoro

Materi Presentasi

materi 1   materi 2   materi 3

Sesi 2
Senin, 8 Juli 2019,
13.00-14.40

Sesi 2: Menggunakan pendekatan kerangka konsep Sistem Kesehatan untuk mendiagnosis berbagai Problem Kesehatan di Indonesia

Deskripsi:
Sesi ini membahas penggunaan Kerangka Konsep Sistem Kesehatan untuk membantu para pelaku disektor kesehatan seperti di: KIA, Kesehatan Jiwa, Kesehatan Jantung, TB, dan lain sebagainya untuk meningkatkan kinerja programnya. Bagaimana menurunkan angka kematian ibu misalnya, perlu untuk menggunakan kerangka konsep ini. Penggunaan kerangkan konsep ini juga sangat penting untuk melakukan diagnosis mengenai mengapa terjadi kinerja program yang kurang baik.

Tujuan:

Setelah mengikuti sesi ini diharapka para peserta:

  1. Memahami mengenai penggunaan kerangka kerja untuk melakukan diagnosis permasalah kesehatan
  2. Memahami penggunaan kerangka kerja untuk melakukan program-program yang bertujuan untuk mengatasi masalah
  3. Mampu menggunakan kerangka konsep yang ada untuk mengatasi permasalahan kesehatan khusus.

Materi

Sesi 3
Selasa, 9 Juli 2019,
08.00-09.40

Sesi 3: Latihan Diagnostik di berbagai Topik:

Sesi ini bertujuan untuk melatih para peserta menggunakan diagnostic tool untuk mengidentifikasi akar   permasalahan di berbagai bidang, antara lain:

  • KIA
  • Kesehatan Jiwa
  • Jantung
  • TB
  • ….

Para peserta diharapkan untuk melatih diri menggunakan proses diagnostic.

materi

Sesi 4
Selasa, 9 Juli 2019,
10.00-11.40

Sesi 4: Perlukah Kebijakan Kesehatan yang Reformis di sektor kesehatan dan di berbagai masalah khususnya?

Deskripsi:
Setelah melakukan diagnosis permasalahan, apakah mungkin melakukan sebuah reformasi dalam kebijakan kesehatan? Pertanyaan ini akan dibahas dalam Sesi ini yang menggunakan kerangka konsep   Reformasi Kesehatan sebagai sebuah konsep ideal. Pertanyaan selanjutnya, apakah mungkin berbagai topic seperti KIA. TB, Kesehatan Jiwa dan lain-lain dicari solusinya dengan menggunakan pendekatan reformasi?

Tujuan kegiatan:

  1. Memahami arti reformasi sector kesehatan
  2. Memahami hasil diagnostik menggunakan konsep sistemkesehatan di berbagai masalah kesehatan
  3. Membahas aplikasi reformasi dalam topic kebijakan khusus di sektor kesehatan

Kasus: Kebijakan KIA.

materi

Modul 2: Kerangka-kerangka Konsep berbagai komponen kebijakan

Sesi 5
Selasa, 9 Juli 2019,
13.00-14.40

Sesi 5: Kerangka Konsep kebijakan Pembiayaan

Deskripsi:
Sesi ini membahas kerangka konsep pembiayaan dengan menggunakan pendekatan Revenue Collection, Pooling, dan Purchasing. Selama 5 tahun ini perdebatan mengenai apakah mengandalkan sumber daya pajak atau harus banyak dari masyarakat akan dibahas. Juga konsep single pool menjadi isu kunci dalam system jaminan kesehatan. Di beberapa waktu ini konsep Strategic Purchasing menjadi isu baru yang banyak dibahas dalam usaha mengatasi masalah kesehatan. Pendekatan pembiayaan ini selain untuk dipakai oleh system kesehatan besar, juga untuk memahami komponen pembiayaan di topic-topik kesehatan seperti KIA, TB, Jantung, dan sebagainya. Di dalam konteks ini perlu dilihat bahwa tidak semua pembiayaan kesehatan berasal dari JKN.

Tujuan:

Setelah mengikuti kegiatan ini para peserta mampu memahami:

  • Kerangka Konsep Pembiayaan di sector kesehatan
  • Aplikasi kerangka konsep pembiayaan di berbagai masalah kesehatan.

Kasus: Pembiayaan TB

materi

Sesi 6
Rabu, 10 Juli 2019,
08.00-09.40

Sesi 6. Kerangka Konsep Mekanisme Pembayaran untuk Dokter dan Lembaga Pelayanan Kesehatan

Deskripsi:
Sesi ini membahas kerangka konsep yang digunakan untuk menggambarkan mekanisme pembayaran untuk tenaga dokter dan lembaga kesehatan. Akan dibahas secara teoritis konsep perilaku Ekonomi Tenaga Kesehatan dan Lembaga Kesehatan yang bersifat profit maupun non-profit. Pemahaman akan kerangka konsep ini dapat digunakan untuk melihat potensi problem seperti fraud di kalangan tenaga dokter dan manajer, korupsi, rujukan yang berlebihan, sampai ke in-efisiensi pelayanan kesehatan. Untuk berbagai kasus, seperti kekurangan tenaga tertentu berbagai konsep seperti Taskshifting, dan pendidikan residensi akan dibahas.

Tujuan

Setelah mengikuti sesi ini para peserta diharapkan mampu untuk:

  1. Memahami Kerangka Konsep Pembayaran tenaga Kesehatan dan Pembayaran lembaga Kesehatan
  2. Mengidentifikasi berbagai isu sistemik dalam perubahan mekanisme pembayaran kepada tenaga dan lembaga kesehatan.
  3. Memahami berbagai kebijakan di pembayaran ke SDM dan lembaga.

Kasus: JKN dan Vietnam

materi

Sesi 7
Kamis, 18 Juli 2019,
15.00-16.40

Sesi 7: Regulasi di sektor kesehatan

Deskripsi:
Sektor kesehatan merupakan bidang yang tidak boleh mempunyai kesalahan-kesalahan serta mutu pelayanan yang jelek. Pendekatan berbasis pada pasien (patient-centred) untuk pelayanan kesehatan menuntut kinerja prima pelayanan kesehatan. Sesi ini membahas berbagai hal dalam kebijakan Regulasi yang bersifat koersif untuk memaksa pelayanan kesehatan dan tenaganya untuk bersikap baik. Dalam proses regulasi yang memaksa ini diharapkan ada pelayanan yang standar di Indonesia.

Problem yang dihadapi adalah perkembangan kualitas pelayanan kesehatan yang jauh berbeda antar propinsi, missal antara DKI dengan Papua. Hal ini jelas menyulitkan kegiatan regulasi dalam bidang kesehatan. Kasus akreditasi yang memberikan beberapa level kelulusan menunjukkan bahwa proses untuk menstandarkan mutu melalui regulasi tidaklah mudah, dan membutuhkan program selama bertahun-tahun.

Proses Regulasi ini menjadi semakin rumit dengan adanya JKN. Kasus-kasus penghentian kontrak RS oleh BPJS merupakan tanda bahwa kerumitan semakin terjadi di sector kesehatan di Indonesia.

Di sisi regulasi kesehatan masyarakat, risiko terjadinya wabah penyakit menular ataupun pencemaran lingkungan juga semakin meningkat. Terbukanya bandara-bandara untuk penerbangan internasional, sampai semakin berkembangnya gaya hidup yang merusak lingkungan menjadi tuntutan besar untuk memperhatikan regulasi di bidang kesehatan masyarakat.

Tujuan:

Setelah mengikuti sesi ini diharapkan para peserta memahami mengenai:

  1. Konsep Regulasi dan peran Regulator serta Operator dalam pelayanan kesehatan.
  2. Regulasi Kesehatan Masyarakat yang saat ini terus dikembangkan secara nasional dan internasional
  3. Regulasi Rumah Sakit dalam berbagai bentuk termasuk perijinan dan akreditasi
  4. Regulasi Internasional

Link webinar

https://attendee.gotowebinar.com/register/8760601186721502978
Webinar ID: 598-946-595

Sesi 8
Rabu, 10 Juli 2019,
10.00-11.40

Sesi 8: Kerangka Konsep Pengorganisasian Pelayanan Kesehatan

Deskripsi:
Sesi ini membahas kerangka konsep yang digunakan untuk pengorganisasian sector kesehatan yang kompleks. Perngorgansiasi bida di level makro dan mikro. Contoh di level makro adalah keadaan yang kompleks tersebut semakin meningkat dengan adanya badan baru yang sangat kuat di system kesehatan yaitu BPJS di Indonesia. Di negara lain di Asia Tenggara juga terjadi peningkatan kompleksitas pengorganisasian karena adanya lembaga baru jaminan kesehatan yang sangat bertenaga karena memegang dana besar dan fungsi strategis.

Pembahasan dalam sesi ini akan melihat hubungan antara posisi Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan yang secara tradisional sangat kuat, menjadi “melemah” dengan adanya pemain baru dalam system kesehatan. “Pelemahan” ini dapat menjadi lebih berat ketika Dinas Kesehatan dan Kementerian Kesehatan tidak siap menjadi Regulator di era baru. Dalam konteks RS, Kementerian Kesehatan mempunyai dua posisi yang menjadi sulit dalam era JKN. Pertama menjadi regulator untuk seluruh RS di Indonesia, namun sekaligus menjadi Operator RS yang cukup signifikan. Di sisi lain ada BPJS yang mempunyai power besar dalam system pembayaran RS. Akibatnya proses pengambilan keputusan menjadi problematic.

Di sisi mikro ada kebijakan otonomi RS pemerintah yang diwujudkan secara terbatas melalui kebijakan BLUD. Kebijakan ini diharapkan meningkatkan motivasi kerja dokter. Di kebijakan RS Swasta, ada kebijakan yang memperbolehkan mempunyai dokter dari RS pemerintah. Dengan adanya pembayaran claim INA-CBG, pengorganisasi di level mikro menjadi lebih rumit.

Tujuan:

Setelah mengikuti sesi ini para peserta diharapkan mampu memahami:

  1. Konsep Governance dan hubungan antar pelaku di era JKN
  2. Desentralisasi dalam era JKN
  3. Konsep Hubungan antar Agensi.

Link webinar

https://attendee.gotowebinar.com/register/8760601186721502978
Webinar ID: 598-946-595

Sesi 9
Kamis, 11 Juli 2019,
15.00 – 16.40

Sesi 9. Kerangka Konsep Merubah Perilaku Masyarakat

Deskripsi:
Ketika kebijakan pembiayaan ditingkatkan secara besar-besaran, namun kebiasaan merokok dibiarkan bahkan dipacu, para ahli pembangunan bangsa sudah akan memprediksi kesulitan besar di masa depan. Sesi ini membahas kerangka konsep penting perubahan di masyarakat untuk merubah pola hidupnya agar sehat dan menghindari berbagai penyakit. Indonesia merupakan negara yang buruk dalam kebijakan merubah perilaku ini, sementara Thailand dengan dukungan politik sangat kuat dari pemerintah dan rajanya,mengembangan kebijakan anti merokok yang sangat kuat. Sesi ini tidak hanya membahas mengenai masalah merokok,tapai juga bagaimana kerangka konsep yang dibutuhkan untuk melakukan peningkatan kesehatan jiwa di masyarakat, menghindari dari obesitas dan kolesterol serta berbagai gangguan kesehatan yang katastropik.

Tujuan

Setelah mengikuti sesi ini diharapkan para peserta mampu:

  1. Memahami bahwa kebijakan merbah perilaku masyarakat menjadi hal yang sangat kunci dalam meningkatkan indikator sistem kesehatan.
  2. Memahami berbagai strategi promosi kesehatan, mulai dari yang bersifat kebijakan multi sektor sampai ke kebijakan promosi kesehatan di rumahsakit
  3. Memahami kemampuan merubah perilaku masyarakat di Indonesia dibandingkan dengan negara lain.

Link webinar

https://attendee.gotowebinar.com/register/2307256281739194626
Webinar ID: 913-636-707

Penutup: Apa yang diperlukan untuk mengaplikasi Konsep Reformasi Kesehatan di berbagai masalah kesehatan?

Akan ditentukan

Analisis Kebijakan

Apakah kebijakan kesehatan di Indonesia sudah bercirikan sebuah Reformasi atau bukan?

  • Reformasi KIA?
  • Reformasi Kesehatan Jiwa?
  • Reformasi Kesehatan Jantung?
  • Reformasi Kesehatan….
Akan ditentukan

Diskusi:

  • Kebijakan KIA
  • Kebijakan TB
  • Kebijakan JKN
  • Kebijakan Kesehatan Jiwa
  • ….

Apakah membutuhkan Konsultan?

Akan ditentukan Penutup / Review

pelthnkon

Kerangka Acuan Kegiatan Outlook 2019

Latar Belakang

Outlook 2019 untuk kebijakan kesehatan di Indonesia direncanakan berdasarkan diskusi Kaleidoskop sebelumnya yaitu  pada Desember 2018 dan berbagai hasil penelitian FK – KMK UGM. Dalam penyusunannya, Outlook 2019 kebijakan kesehatan menggunakan kerangka kerja Reformasi Sistem Kesehatan (Health System Reform). Kerangka kerja ini menyatakan bahwa kebijakan untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat, perlindungan terhadap bencana keuangan karena sakit, dan mutu pelayanan perlu dilakukan tidak hanya ke satu komponen sistem kesehatan. Terdapat berbagai topik kebijakan yang perlu dipertimbangkan dan diputuskan secara bersama, yaitu:

  • kebijakan pembiayaan kesehatan
  • kebijakan sumber daya manusia dan pendidikannya
  • kebijakan mutu pelayanan kesehatan
  • kebijakan obat dan teknologi kedokteran
  • kebijakan governance sistem kesehatan dan
  • kebijakan IT di sektor kesehatan
  • sampai ke kebijakan untuk merubah perilaku masyarakat menuju perilaku sehat.

Dengan pendekatan Health System Reform, Outlook 2019 akan dilaksanakan dalam beberapa hari pada Januari 2019 dengan pembahasan topik yang berbeda. Diskusi ini bertujuan untuk membuka kesempatan yang lebih intensif dalam melakukan pembahasan per topik kebijakan namun tetap terkait dengan kerangka berpikir Health System Reform. Dalam kerangka ini, memang masih ada satu kebijakan yang belum dibahas mendalam, yaitu kebijakan untuk berperilaku sehat. Kebijakan ini akan diatur tersendiri.

  Tujuan

Diskusi outlook 2019 ini bertujuan untuk:

  1. Memaparkan outlook 2019 untuk berbagai kebijakan kesehatan
  2. Melakukan analisis hubungan antar kebijakan dalam kerangka Health Care Reform
  3. Melakukan identifikasi topik – topik yang dianggap penting untuk penelitian, pengembangan intervensi serta advokasi kebijakan pada 2019.

  Manfaat

Hasil diskusi diharapkan menjadi awal kolaborasi bersama berbagai pihak yang terkait untuk pengembangan berbagai kebijakan di sistem kesehatan pada 2019 dengan menggunakan prinsip Health System Reform.

  Narasumber

  1. Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., PhD
  2. Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS
  3. Anis Fuad, S.Ked, DEA
  4. Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, M.Kes
  5. Dody Naftali, ST
  6. Dra. Erna Kristin, M.Si., Apt.
  7. M. Faozi Kurniawan, SE,Akt., MPH
  8. dr. Hanevi Djasri, MARS
  9. Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc, PhD
  10. dr. Jon Paat, M. Kes
  11. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD
  12. dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes, PhD
  13. drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE

  Rundown Acara

Tempat: Common Room Gedung Litbang FK KMK UGM

Topik Kegiatan


14 Januari 2019

Pembukaan: Kerangka Kerja Health System Reform

  MATERI   video

Outlook 2019 untuk Kebijakan Pembiayaan Kesehatan

  MATERI 

Reportase dan Ringkasan diskusi dapat diakses pada link berikut

  REPORTASE

 

Diskusi panel narasumber dan pembahas:

  • Analisis Anggaran Kemenkes 2019
  • Pendanaan untuk JKN
  • Peran Pemerintah Daerah dalam JKN

Narasumber:

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD

video

M. Faozi Kurniawan, SE, Akt., MPH

video

Pembahas:

dr. Donald pardede, MPPM (Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan)

video

Ir. Gatot Saptadi ( Sekretaris Daerah Provinsi DI Yogyakarta)

video


16 Januari 2019

Outlook 2019 Kebijakan Governance Sistem Kesehatan

  MATERI   video

Topik 1:

  • Hubungan Kemenkes, DJSN, BPJS dan berbagai lembaga pusat
  • Hubungan Pemerintah daerah dan BPJS pasca Perpres 82 Tahun 2018.

Topik 2:

Sinkronisasi RPJMN dan RPJMD Kesehatan

  MATERI   video

  REPORTASE

 

Narasumber Topik 1:

  • Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD

Pembahas Topik 1:

  • dr. Asih Eka Putri, MPPM (DJSN)
  • dr. Andi Afdal Abdullah, MBA, AAK (Deputi Direksi Bidang Riset dan Pengembangan

video

Narasumber Topik 2:

  • Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, M.Kes.

Pembahas Topik 2:

  • Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD (Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, BAPPENAS)

video

17 Januari 2019  

Outlook 2019 Kebijakan Sumber daya Manusia Kesehatan (Khusus Dokter)

Topik 1:
Masa depan dokter umum dalam era JKN: Bagaimana kesempatan bekerja untuk dokter umum?

  materi

Topik 2:
Penyebaran Spesialis pasca dibatalkannya WKDS: Menelaah Sistem Kontrak dan Task Shifting.

  MATERI

  reportase

Narasumber:

Topik 1: Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS

Topik 2:

  • Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, MKes
  • dr. Jon Paat, M. Kes (dari Papua)

Pembahas:

Topik 1:

  • Kepala Pusat Perencanaan & Pendayagunaan SDM, Kemenkes RI
  • Ikatan Dokter Indonesia

Topik 2:

  • Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM, Kemenkes RI

 

18 Januari 2019  |  08.00 – 10.00 Wib

Outlook 2019 Kebijakan IT di sektor kesehatan IT untuk mendukung Telemedicine dan sistem rujukan terpadu

  materi

Resume Medis Terintegrasi sebagai pendukung Sistem Rujukan

  materi

Sistem rujukan pelayanan kesehatan berbasis kompetensi

  materi

  reportase

 

Narasumber:

  • Dody Naftali, ST (RSUP Dr. Sardjito)
  • Anis Fuad, Sked., DEA (FKKMK UGM)

Pembahas:

  • dr. Lutfan Lazuardi, PhD.
  • dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHltInfo
  • Dr. dr. Yout Savitri, MARS

 

23 Januari 2019 

Outlook 2019 Kebijakan Mutu Pelayanan Kesehatan

Narasumber:

Kebijakan Mutu Pelayanan Kesehatan – Prof. dr. Adi Utarini, MSc, MPH, PhD

  materi

Mengukur Mutu Pelayanan Kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional: Pandangan dan Harapan di Tahun 2019 – dr. Hanevi Djasri, MARS

  materi

Sistem Anti Fraud Pelayanan Kesehatan di Tingkat Provinsi – drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE

  materi

  reportase

Diskusi panel:

  • Penerapan National Quality Policy and Strategy (NQPS) Indonesia untuk 2019-2023
  • Mengukur Mutu Pelayanan Kesehatan dalam JKN
  • Sistem Anti Fraud Pelayanan Kesehatan di tingkat Provinsi

Pembahas:

  • PERSI Provinsi DI Yogyakarta
  • Dinas Kesehatan DIY
  • BPJS Kesehatan Kedeputian Wilayah Jawa Tengah – DIY

23 Januari 2019  

Kebijakan Pendidikan: Teaching hospital

  materi

Bahan bacaan:


Narasumber:

  • Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

Pembahas:

  • dr. Widyandana, MHPE, Ph.D, Sp. M

4 Februari 2019  |  10.00 – 12.00 Wib

Outlook 2019 Kebijakan Obat dan Teknologi Kedokteran

Manajemen Kebijakan Obat

materi

Health Technology Assessment

materi

reportase


Narasumber:

  • Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc, PhD
  • Dra. Erna Kristin, M.Si., Apt

Pembahas:

  • Dr. dr. Fathema Djan Rachmat, Sp.B, Sp.BTKV (K) (Direktur Utama RS Pelni)

 

  Contact Person Kegiatan:

Maria Lelyana
Telp       0274-549425
HP/WA   08111019077
Email: [email protected] 

 

Reportase HSR 2018, Hari Kelima

Jum’at, 12 Oktober

{tab title=”Sesi 1″ class=”orange” align=”justify”}

Keterlibatan Sektor Swasta dan Pemerintah dari Berbagai Belahan Dunia

  Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi:

Sesi pagi ini membahas berbagai insiasi kemitraan pemerintah dengan swasta di berbagai wilayah dunia. Bahasan utamanya mengenai bagaimana program kemitraan tersebut didesain, dilaksanakan dan apa saja hasilnya.

Pertama, Alice Sabino membahas penggunaan voucher untuk layanan KIA di Yemen, yang bisa digunakan oleh masyarakat miskin baik di faskes pemerintah maupun faskes swasta. Pemerintah mengontrak beberapa faskes swasta untuk menyediakan layanan yang dibutuhkan tersebut, dan jasa mereka dibayar melalui voucher tersebut.

Berikutnya, Anna Laterra membahas tentang pemanfaatan bidan desa di Bangladesh. Mereka menerima peralatan dan perlengkapan dari pemerintah, dan berhak atas reimbursement dari pemerintah atas layanan yang diberikan. Hasilnya, mereka berhasil menurunkan proporsi kelahiran yang dibantu dukun bayi.

Selanjutnya, Ann Levin bercerita mengenai kerja sama untuk layanan imunisasi di Georgia (yang seluruhnya diselenggarakan oleh swasta), Benin (layanan disediakan mayoritas di faskes for profit di wilayah perkotaan) dan Malawi (layanan disediakan di faskes nirlaba). Vaksin yang tersedia tidak hanya yang ada dalam daftar imunisasi rutin, tetapi juga vaksin-vaksin lain. Pemerintah menyediakan dukungan untuk penyediaan layanan imunisasi di sektor swasta ini dalam berbagai bentuk.

Terakhir, pengalaman di Indonesia dipaparkan oleh Agnes Pratiwi. Layanan yang dibahas adalah HIV tes dan konseling HIV di Tarakan. Ketiadaan panduan dari pemerintah mengenai bagaimana layanan ini bisa tersedia di sektor swasta menghasilkan banyak masalah dalam akses layanan ini di sektor swasta, misalnya rendahnya rujukan untuk tes dan konseling, rendahnya kepercayaan masyarakat untuk layanan tes dan konseling HIV di sektor swasta, dan penggunaan OOP untuk layanan ini di sektor swasta.

 

  Refleksi untuk Indonesia:

Kemitraan dengan pihak swasta merupakan salah satu alternatif yang dapat digali untuk membantu pemerintah mencapai cakupan kesehatan semesta. Kemitraan tersebut dapat mengambil beberapa bentuk, mulai dari model yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Pelajaran dari negara-negara lain menunjukkan potensi yang besar dalam berbagai mekanisme kemitraan degan swasta, masing-masing dengan tantangannya. Beberapa pelajaran berharga yang bisa ditarik untuk Indonesia adalah:

  1. Kita perlu mengadopsi perspektif total untuk mengidentifikasi berbagai jenis pihak swasta dan berbagai jenis model yang dapat dioptimalkan untuk masing-masing layanan
  2. Stewardship dari pemerintah mutlak dilakukan, harus ada kerangka pemantauan yang jelas dan dipahami dan disepakati.
  3. Kualitas harus dimasukkan kedalam prasyarat kemitraan. Kontrak tidak dibuat dalam jangka panjang, kecuali pemerintah memiliki mekanisme yang sangat kuat untuk memastikan kualitas tidak akan berkurang selama jangka waktu kontrak tersebut.
  4. Pendanaan tambahan khusus untuk mencapai kelompok masyarakat yang paling miskin atau sulit dijangkau

Reporter : Shita Dewi

 

{tab title=”sesi 2″ class=”blue”}

Strategic Purchasing untuk Memperluas Sistem Kesehatan (1)

  Pengantar

Pay for performance (P4P) adalah sebuah arti yang berpotensi untuk menguatkan sistem kesehatan untuk meningkatkan cakupan universal di negara berkembang. Sesi ini mengilustrasikan sebuah pendekatan realist pada studi P4P, menjelaskan tentang mekanisme P4P pada perubahan sistem dan bagaiaman membentuk konteks pada berbagai arah.

Narasumber:

  • Luke Boddam-Whetham, Marie Stopes International, UK
  • Rittika Brahmachari, Sahay, India
  • Jade Khalife, American University of Beirut, Lebanon
  • Inke Mathauer, World Health Organization, Switzerland
  • Edwine Barasa, KEMRI-Wellcome Trust, Nairobi

hsr5 4

Strategic purchasing melibatkan sebuah pendekatan yang ditentukan untuk menyeleksi provider, mengkhususkan layanan dan meluruskan cara pembayaran kepada provider. Sesi ini memberikan sebuah gambaran tentang variasi dalam penawaran berbagai bukti baru tentang bagaimana strategic purchasing dapat meningkatkan keadilan sosial, efisiensi dan kualitas layanan yang tersedia. 

Luke menjelaskan tentang studi perluasan pasar dalam sistem kesehatan bagi masyarakat dengan bekerja sama dengan penyedia layanan swasta dalam skema pembiayaan publik. Studi ini mempunyai latar belakang memvisualisakan tentang bagaimana seorang wanita miskin pemilik asuransi kesehatan mengakses layanan yang bermutu dari sektor swasta tanpa adanya barrier pembiayaan. Perluasan pasar bagi sektor swasta dalam skema asuransi sosial adalah pendaftaran untuk masyarakat miskin, cakupan layanan kesehatan, kontrak fasilitas, provider tingkat menengah dapat menyediakan layanan bermutu dan provider dengan bisnis yang kuat.

Rittika memaparkan studi tentang Universal Health Coverage melalui kerjasama dengan provider sektor informal dengan sektor swasta: analisis jaringan sosial di daerah tidak menguntungkan di India. Studi ini berlokasi di Sundarbans yang memiliki karakteristik geografi 40 persen merupakan wilayah India dan 60 persen merupakan wilayah Bangladesh. Daerah ini memiliki karakteristik demografi dengan mayoritas masyarakat miskin berpenghasilan rendah meskipun Sundarbans merupakan wilayah wisata. Hubungan sosial yang berlangsung dalam sistem kesehatan 65 persen dengan sektor swasta, namun hubungan sosial tidak cukup kuat membuat pemerintah dapat mengendalikan sektor swasta dan memerlukan hubungan yang dapat saling mendukung baik dari sisi finansial maupun motivasi.

Jade mempresentasikan studi tentang “kinerja berdasarkan kontrak pada rumah sakit: mengikutsertakan rumah sakit privat dan publik untuk meningkatkan dampak terhadap keadilan sosial dan efisiensi di Lebanon”. Skema asuransi kesehatan oleh kementerian kesehatan mencakup semua orang termasuk yang belum memiliki asuransi. Oleh karena itu, kementerian kesehatan telah meng-kontrak 146 rumah sakit. Beberapa catatan dari penelitian ini adalah peningkatan efisiensi dari casemix group, mengurangi administrasi sejumlah pendaftaran ulang, meningkatan mutu layanan, partisipasi dalam akreditasi, meningkatkan kapasitas ICU, dan melayani pasien lanjut usia.

Inke Mathauer memaparkan studi sistem pembayaran provider secara mix di Maroko: bagaimana efek terhadap perilaku sektor swasta dan implikasinya terhadap kesetaraan akses layanan kesehatan? Penerapan Mix Payment telah dilakukan di banyak negara, namun ketika pembayaran tersebut tidak harmonis maka sistem tersebut dapat menjadi sistem yang tidak memberikan insentif yang cukup baik sehingga perilaku provider yang tidak dinginkan dapat terjadi dan mempengaruhi tujuan sistem kesehatan itu sendiri. Studi ini menunjukkan bahwa terdapat pengabaian dari fee for service payment untuk sektor swasta sehingga perlu dialokasi dana untuk sistem tersebut dan juga pengurangan jumlah servis yang disediakan dari layanan kesehatan melalui mekanisme fee for service. Temuan lainnya yaitu perlu dilakukan penguatan pada sistem tata kelola yang berhubungan ke purchasing, sehingga rekomendasi yang ditawarkan adalah memperkuat pengontrolan dan pelaksanaan, dan sistem majemen informasi.


  Refleksi untuk Indonesia:

Skema pembayaran baik itu FFS maupun kapitasi yang diatur secara nasional juga harus memperhatikan kondisi daerah dari penyedia layanan kesehatan. Kebijakan seperti itu dapat memperkuat pelayanan kesehatan yang mengharapkan dimana ada keterelibatan sektor swasta. Pembatasan terhadap paket manfaat yang diterima oleh masyarakat dan sistem pelaporan yang terintegrasi diharapkan dapat meningkatkan minat dari penyedia layanan swasta.

Reporter: Relmbuss Biljers Fanda

 

{tab title=”sesi 3″ class=”green”}

Strategic Purchasing untuk Memperluas Sistem Kesehatan (2)

  Pengantar

Pay for performance (P4P) adalah sebuah arti yang berpotensi untuk menguatkan sistem kesehatan untuk meningkatkan cakupan universal di negara berkembang. Sesi ini mengilustrasikan sebuah pendekatan realist pada studi P4P, menjelaskan tentang mekanisme P4P pada perubahan sistem dan bagaiaman membentuk konteks pada berbagai arah.

Narasumber:

  • Linda Mureithi, Health Systems Research Unit, Health
  • Matthew Nviiri, Results-based Financing for Maternal Newborn Health Programme, Malawi
  • Melvin Obadha, KEMRI-Wellcome Trust Research Programme, Kenya
  • Shita Widodo, Center for Health Policy and Management, Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, Universitas Gadjah Mada, Indonesia
  • Edwine Barasa, KEMRI-Wellcome Trust, Nairobi

hsr5 4

Linda Mureithi menjelaskan studi tentang pengikutsertaan fasilitas kesehatan tingkat pertama swasta dalam kemajuan Universal Health Coverage: Model Kontrak Dokter dalam Sektor Publik Afrika Selatan. Afrika Selatan telah menjalankan komitmen untuk UHC dengan menawarkan layanan kesehatan yang akan dibayar secara mixed provider. Distribusi dokter di Afrika telah menunjukkan bahwa 68 persen dokter bekerja pada sektor swasta sehingga sektor publik kurang diminati, sehingga sebuah sistem dibuat untuk dapat mengontrak dokter swasta tersebut. Metode yang dijalankan oleh Afrika Selatan dapat dilihat pada gambar berikut:

hsr5 5

hsr5 6

hsr5 7

Temuan kunci dalam penelitian ini adalah model tersebut disinyalir merupakan perulangan dari model pembayaran nasional. Sistem pembayaran walaupun dilakukan terhadap manajemen setiap fasilitas kesehatan sama, namun perlu juga memperhatikan pemberian tunjangan berdasarkan konteks lokal dan kapasitas dari penyedia layanan tersebut.

Matthew menjelaskan studi “Dapatkah strategic purchasing untuk layanan kesehatan dari sektor swasta mendorong penghargaan terhadap uang? Bukti dari program result based financing di Malawi.” Agenda kebijakan kesehatan di Malawi adalah menciptakan peraturan desentralisasi terhadap kabupaten, sehingga memiliki otonomi sendiri. Dalam kebijakan pembiayaan kesehatan, Malawi menerapkan RBF/PBF sebagai metode pembiayaan kesehatan. Penerapan RBF tidak dapat atau sedikit mengungkit fasilitas kesehatan dengan kapasitas atau modal yang tidak memadai, sehingga perlu diperhatikan konteks dan jumlah tenaga kesehatan. Organisasi keagamaan berinvestasi yang cukup besar terhadap perhargaan terhadap mekanisme pembayaran untuk mempermudah kontrak pemerintah lokal dengan sektor swasta.

Melvin mempresentasikan hasil studi tentang pengalaman penyedia layanan kesehatan dengan mekanisme pembayaran di Kenya: fokus kepada kapitasi dan fee for service. Studi ini menemukan bahwa skema pembayaran kapitasi perorang yang terdaftar memunculkan isu ketidakadilan karena setiap orang memiliki penyakit yang berbeda, apalagi sering kali pembayaran dana kapitasi terlambat. Penyedia layanan cenderung lebih menyukai skema FFS dibandingkan kapitasi karena jumlah dananya dapat diprediksi, tidak harus memperhatikan jumlah peserta terdaftar dan mudah dalam proses perencanaan keuangan fasilitas kesehatan. Studi ini juga menunjukkan bahwa penyedia layanan kesehatan publik tidak memiliki otonomi dalam akses dan pengunaan dana apabila skema pembanyaran tersebut datang dari National Health Insurance. Kondisi tersebut diperparah dengan laporan yang kompleks yang mengakibatkan banyak data yang tidak dapat dimasukan.

Shita Widodo memaparkan studi tentang pemanfaatan kontrak tim untuk mendukung layanan preventif promotif pada puskesmas di Jakarta Timur. Pada 2017, secara nasional, pemerintah tidak mengizinkan adanya perekrutran tenaga kesehatan, sehingga gubernur Jakarta menginisiasi program KPLDH. Program KPLDH memiliki tugas untuk melakukan sensus kesehatan kepada warga Jakarta. Program tersebut berhasil meningkatkan akses kesehatan untuk masyarakat baik dalam rujukan ke puskesmas maupun skrining kesehatan sebagai langkah preventif.

  Refleksi untuk Indonesia:

Skema pembiayaan kesehatan yang jelas dan terbuka berpotensi meningkatkan kepercayaan aktor kesehatan yang terlibat dalam sistem kesehatan Indonesia. Kebijakan yang memperhitungkan ketersediaan jumlah tenaga kesehatan disuatu daerah dinilai lebih adil dan menarik untuk dapat melibatkan sektor swasta. Otonomi daerah tanpa didukung oleh perhatian yang cukup dari pemerintah nasional dapat memperbesar kesenjangan dalam pelayanan kesehatan .

Reporter: Relmbuss Biljers Fanda

 

{/tabs}

 

Link Terkait:

{jcomments on}

 

Reportase HSR 2018, Hari Keempat

Kamis 11 Oktober

{tab title=”Sesi 1″ class=”orange” align=”justify”}

Peluruncuran Buku Rangkuman Analisis Kebijakan Kesehatan (Health Policy Analysis: Reader)

Lucy Gilson, University of Cape Town


  
Pokok-pokok bahasan/paparan/diskusi:

hsr4 1Buku Analisis Kebijakan Kesehatan (WHO, 2018) terbaru diluncurkan pagi ini. Buku ini merupakan pengembangan dari buku sebelumnya, Health Policy and System Analysis: A Methodological Reader (WHO, 2012). Lucy Gilson, sang penulis utama dan editor, menyampaikan bahwa terbitnya buku baru ini penting untuk lebih menempatkan kebijakan kesehatan pada posisi yang penting. Analisis kebijakan kesehatan merupakan bagian yang memiliki interface dengan perubahan kebijakan dan pengembangan sistem kesehatan. Pemahaman atas proses dan implementasi kebijakan memiliki potensi yang besar untuk memberi daya dorong untuk perubahan kebijakan kesehatan dan perbaikan dalam sistem kesehatan.

Peneliti, pembuat kebijakan dan pemerhati kebijakan kesehatanmembutuhkan kerangka yang lebih, agar dapat menangkap situasi yang kompleks termasuk berbagai faktor sosial ekonomi dan politik yang terlibat dalam proses kebijakan untuk mencapai cakupan kesehatan semesta. Buku ini disusun khusus dengan konteks negara berkembang, dan dimaksudkan sebagai referensi yang dapat digunakan untuk mencari bahan – bahan terkini dalam Analis Kebijakan Kesehatan.

 

hsr4 2Buku ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama semacam Overview terhadap topik Analisis Kebijakan Kesehatan, yang mencakup konsep dasar, arti pentingnya serta konteks politik ekonomi yang terkait di dalamnya.

Bagian kedua membahas faktor – faktor yang sangat mempengaruhi proses kebijakan di negara berkembang, yaitu kekuasaan, konteks nasional serta peran aktor global dan pengambil kebijakan nasional.

Bagian ketiga membahas berbagai isu dalam metodologi analisis kebijakan.

Bagian keempat merupakan kumpulan dari artikel – artikel seminar yang menjelaskan lebih lanjut mengenai tiap sub topik yang dibahas di dalam bagian satu hingga tiga.

Sayangnya buku ini baru tersedia dalam bentuk hardcopy (tersedia di perpustakaan PKMK), namun akan segera tersedia secara online di laman WHO.

Bagi pembaca yang memerlukan Reader and Methodology Reader lain, silakan unduh di:
http://www.who.int/alliance-hpsr/resources/publications/methodsreaders/en/

 


  Refleksi untuk Indonesia:

Buku Health Policy Analysis: Reader (WHO, 2018) ini akan sangat bermanfaat bagi peneliti dan analis kebijakan, maupun tenaga pengajar dan mahasiswa. Terlihat dari daftar artikel seminar yang dimasukkan ke dalam Reader ini bahwa mayoritas lokasi berada di Afrika atau Asia Selatan. Miskinnya referensi yang tersedia untuk Indonesia mengenai kebijakan kesehatan Indonesia menyisakan pekerjaan rumah bagi para peneliti kebijakan dan analis kebijakan di Indonesia untuk semakin aktif melakukan penelitian dan menulis mengenai berbagai isu yang relevan untuk Indonesia.

Pekerjaan rumah kedua, adalah tersedia potensi besar bagi Indonesia untuk mengembangkan Reader khusus untuk Analisis Kebijakan Kesehatan Indonesia. Hal ini tentunya membutuhkan kerja sama dari berbagai bidang ilmu dan para pakar dengan berbagai perspektif yang relevan dengan area kebijakan kesehatan.

Reporter : Shita Dewi

{tab title=”Sesi 2″ class=”green”}

Sektor Swasta di Kesehatan: Polemik dan Pragmatisme


  Pengantar

Visi Alma Ata disusun dengan suatu ide sistem yang didanai oleh pemerintah untuk memberi palayanan ke semua orang. Sedikit sekali perhatian untuk pelayanan kesehatan swasta for profit dan non-profit. Setelah 40 tahun kemudian, miliaran masyarakat tetap menggunakan pelayanan kesehatan swasta yang sangat heterogen. Pelayanan ini sering lemah regulasinya dan tidak terhubung banyak dengan sistem pelayanan kesehatan.

Pembicara:

hsr4 6

Catharine Goodman dari LSHTM, seorang health economist dan policy analist mempresentasikan pandangan yang mengakui peran swasta yang penting. Pada awal pertemuan memang ada pertanyaan : Apakah sektor swasta merupakan jawaban untuk sistem kesehatan? Ada yang menyatakan private sector dinilai buruk. Namun ada yang menyatakan baik. Apa buktinya? Ini yang sulit karena sektor swasta sangat luas. Ada yang for profit dan non profit. Juga ada berbagai kegiatan yang di luar kedua pelayanan kesehatan formal tadi. Pertanyaan lain adalah sektor kesehatan yang mana? Rawat jalan atau rawat inap?

Pelayanan untuk anak – anakkah? Atau kehamilan? Sebagai catatan swasta juga dipakai lebih banyak oleh orang kaya. Secara keseluruhan memang terlihat lebih baik pada responsiveness, walaupun bervariasi pada Clinical Quality indicator.

Kerangka kerja yang sebaiknya digunakan dalam mengelola swasta sebagai berikut:

hsr4 7

hsr4 8

Abhay Sukhla, SATHI, People Health Movement India

Pembicara ini menyatakan sebuah pandangan kritis tentang Private Sector. UHC dirancang dengan logika publik dengan dasar public accountability.
Sebaliknya di private sector, terdapat profit maximization. Jadi sulit untuk menghubungkan sektor swasta dengan logika publik tentang pelayanan kesehatan yang harus baik namun murah, dan mudah diakses. Walaupun sektor swasta banyak yang negative namun ada berbagai hal yang bisa dikerjakan. Hal yang sangat penting adalah menurunkan korupsi dan pelayanan yang tidak rasional di pelayanan kesehatan.

Anita Wei, Beccton Dickinson China, dan Akaki Zoidze, Georgia

Sebagai moderator, Kara Hanson membuka diskusi dengan menyatakan apakah ada pluralisme di sektor kesehatan dibandingkan dengan Alma Ata yang cenderung publik?. Dalam diskusi ini dibahas oleh politisi dari Georgia yang menyatakan bahwa sektor kesehatan tidak dapat dipisahkan dari kebijakan politik. Ekonomi pasar sudah berjalan 14 tahun di Georgia. Di sektor kesehatan mempunyai akibat menarik antara lain ada investasi banyak sampai tidak terkendali, karena banyak sekali penyedia dana, terjadi supply induced demand. Terjadi over prescribtion yang membutuhkan solusi. Hal ini tidak mudah karena sebagian besar penyedia pelayanan kesehatan adalah dari pihak swasta.

Di India juga terjadi pelayanan swasta yang dominan. Dalam konteks ini kemampuan regulatory pemerintah sangat rendah. Perlu ekspansi kemampuan dalam regulasi, harus ada pihak yang mau masuk ke sini termasuk ada inspektur – inspektur sosial. Seorang panelis yang ahli IT menyatakan bahwa India memerlukan teknologi digital untuk melayani pelayanan kesehatan yang berada di tempat jauh. Tanpa terjadi perubahan mindset akan sulit dan inovasi ini banyak dilakukan oleh swasta. Harry mengajak untuk menggunakan teknologi digital dalam mengembangkan pelayanan kesehatan, terutama di tempat – tempat jauh.

Wakil dari lembaga swasta non profit AMRA menyatakan bahwa pelayanan swasta sebaiknya didukung pemerintah. Swasta harus berjalan dan sektor ini sangat penting. Hal yang sangat penting adalah bagaimana menangani keburukan swasta dengan aturan pemerintah yang baik. Hal ini disetujui oleh wakil dari Melinda and Bill Gates Foundation yang menyatakan bahwa sebaiknya swasta tetap berkembang tapi dengan memperkuat peran pemerintah. Diharapkan juga kebijakan tetap pro poor, namun memberi tempat pada pada consumer choice.

Ringkasan:

Ada pertentangan yang bermakna tentang peran swasta dalam pelayanan kesehatan karena terdapat kekawatiran tentang mutu, akses, dan efisiensi. Namun swasta tetap menjadi bagian penting dari inovasi, sumber daya tambahan dan pelayanan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Keterlibatan peran swasta ini membutuhkan: pola kemitraan yang baru, akuntabilitas dan governance. Dalam hal ini, dibutuhkan kemampuan pemerintah yang kuat untuk mengatur, mengawasi dan juga melakukan kontrak ke pelayanan swasta dengan baik.

Bahan-bahan lebih lanjut:

Kegiatan-kegiatan terkait dengan sektor swasta dalam konferensi ini dapat klik di sini:
http://www.healthsystemsglobal.org/upload/resource/Summary_PSIH_TWG_Activities_revised_website.pdf

Kelompok yang membahas mengenai peran swasta dalam kesehatan mempunyai website yang dapat diakses di sini:
http://www.healthsystemsglobal.org/twg-group/3/The-Private-Sector-in-Health/

  Refleksi Indonesia:

Di Indonesia, peran serta swasta sangat besar, sejak dari zaman kolonial. Saat ini yang menjadi pertanyaan besar adalah BPJS yang juga meng-kontrak pihak swasta. Apakah sebagai lembaga swasta atau pemerintah?. Andaikata sebagai lembaga pemerintah, situasi saat ini dimana Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah seolah sulit berhubungan dengan BPJS. Situasi ini menunjukkan adanya masalah dengan konsep pemerintah sebagai regulator termasuk untuk mengatur sektor swasta. Oleh karena itu, pengalaman pelaksanaan JKN dalam waktu 5 tahun ini menunjukkan adanya situasi yang cukup berat. Aturan atau regulatory  kalah cepat dengan timbulnya berbagai masalah. Governance, termasuk bagaimana proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh BPJS dan Kementerian Kesehatan masih belum baik. Hal ini yang harus diperbaiki pada masa mendatang. Tantangannya adalah bagaimana agar aturan permainan sudah terlebih dulu jadi atau siap sebelum proses kegiatan antara pemerintah dan swasta berlangsung.

Reporter: Laksono Trisnantoro

 

{tab title=”Sesi 3″ class=”blue”}

Tata Kelola Politis dan Administratif untuk Mencapai UHC

  Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi:

Pembicara pertama, Elodie Allabi, menyajikan pengalaman di Benin. Keterlibatan pemangku kepentingan (dalam hal ini pemerintah daerah) dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: mempersiapkan dokumen advokasi untuk kepala daerah, membuat steering committee multi sektor di tingkat kabupaten, dan membuat liaisons pada tingkat kecamatan untuk membuat perencanaan multi sektor. Hal ini dinilai positif oleh para pihak yang terlibat, sebagai contoh, setelah aktivitas ini dilakukan, walikota berinisiatif untuk mengangkat 32 tenaga baru untuk kesehatan.

Pembicara berikutnya, Juliana Aribo-Abede menyajikan pengalaman di Nigeria. Kali ini pengalamannya adalah melibatkan pihak legislatif. Motivasi untuk melibatkan pihak legislatif adalah karena posisi mereka dianggap penting untuk memastikan tersedianya anggaran yang dimandatkan oleh UU bahwa mereka harus menyediakan sejumlah proporsi dari anggaran mereka untuk kesehatan (khususnya untuk program kesehatan ibu dan anak). Pihak yang dilibatkan adalah kepala komite kesehatan (di dalam lembaga legislatif), anggota komite kesehatan dan beberapa pihak lain dalam lembaga legislatif (total sekitar 150 orang, baik legislatif di tingkat nasional mau pun tingkat daerah). Interaksi mendalam (pertemuan bulanan) dengan mereka dilakukan selama 1 tahun (walau tidak selalu semuanya hadir dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan tersebut), dan hasilnya adalah anggaran senilai USD 150 juta dan 15 peraturan daerah untuk program asuransi kesehatan disetujui. Hal lain yang juga menarik yaitu mereka berhasil menyelenggarakan event Legislative Summit untuk topik kesehatan, misalnya tahun lalu mereka membuat summit bertopik nutrisi, dan tahun ini mereka akan diselenggarakan dengan topik UHC.

hsr4 3 

Pembicara berikutnya, Sathyasree Goswami, menyajikan pengalaman melibatkan legislatif di India, yang dilakukan di dua provinsi yang relatif ‘tertinggal’. Hal ini dilakukan karena isu kesehatan seringkali tidak menjadi bahan diskusi di legislasi, dan persepsi para anggota legislatif mengenai hal ini adalah karena mereka merasa tidak ada data yang mereka butuhkan yang cukup menjelaskan isu – isu yang perlu dibicarakan. Untuk mengatasi hal tersebut, mereka membuat konstruksi khusus untuk memastikan bahwa isu kesehatan menjadi prioritas politis, dengan melibatkan banyak pihak, yang memungkinkan anggota legislatif mengakses data yang mereka butuhkan.

hsr4 4

Beberapa tantangan yang mereka hadapi dalam melakukan hal ini adalah karena data yang disaggregated jarang tersedia (mayoritas data berupa data nasional, yang belum tentu relevan dengan kebutuhan di provinsi tersebut). Selain itu, mereka harus fleksible karena anggota legislatif seringkali bekerja (melakukan rapat-rapat) yang berlangsung hingga tengah malam.


  
Laporan kegiatan:

Sesi ini membuka wawasan kita untuk berpikir lebih luas dari sekedar peran kementerian kesehatan dalam sektor kesehatan. Dalam era desentralisasi, upaya untuk mencapai cakupan kesehatan semesta perlu memobilisasi komitmen politik dari lembaga – lembaga lain di pemerintah, misalnya DPRD dan pemerintah daerah. Hal ini mutlak diperlukan untuk mendesak agenda – agenda perbaikan dalam sistem kesehatan menjadi prioritas pemerintah di setiap level, tidak hanya di tingkat pemerintah pusat. Hasil – hasil baik yang bisa dicapai adalah adanya dialog yang lebih baik dari berbagai pihak untuk mengatasi masalah yang mungkin terjadi di dalam sektor kesehatan di daerah. Namun hal ini mungkin tidak terjadi dalam waktu singkat dan membutuhkan upaya untuk mendorong dialog yang terbuka antar berbagai pihak di pemerintah daerah dan pihak legislatif. Dalam jangka panjang, upaya ini memiliki potensi untuk mengangkat isu – isu kesehatan dalam ranah politik demi kepentingan pencapaian cakupan kesehatan semesta mau pun kebjakan-kebijakan lain untuk program prioritas kesehatan.

Namun untuk memungkinkan hal ini, peneliti kesehatan dan peneliti kebijakan harus pula mampu memainkan perannya dan berkontribusi terhadap tersedianya data yang dibutuhkan untuk membuat kebijakan yang baik. Peneliti perlu pula berinisiatif untuk membuat data yang mereka miliki tersedia secara cepat, real-time, dan mudah dipahami oleh para stakeholders.

Reporter : Shita Dewi

 

{tab title=”Sesi 4″ class=”red”}

It’s not just about money: why work on UHC requires a multidisciplinary approach to establish national legal and institutional frameworks

Pembicara :

  1. David Clarke, World Health Organization; Beverly Ho, Philippines Department of Health;
  2. Inke Mathauer, World Health Organization; Health systems Governance and Financing, WHO Geneva
  3. Françoise Navez, University of Liège, Belgium;
  4. Mohamed Mokdad, MoH Tunisia
  5. Elisabeth Paul, University of Liège, Belgium;

 
  Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi: 

  • Law and UHC
  • How Public Financial management systems and procurement rules can contribute to facilitate progress towards UHC.
  • Strategic Purchasing for UHC: Why does it matter?
  • Governance Imperative of Ministry of Health
  • Complementary discipline for strategic purchasing


  Laporan kegiatan:

hsr4 9

“Universal Health Coverage” atau cakupan kesehatan semesta biasanya hanya dianalisis dari kacamata pembiayaan kesehatan, walaupun sebenarnya desain dan implementasi dari UHC itu sendiri menuntut peningkatan dalam kepemimpinan, kelembagaan dan sistem itu sendiri yang memiliki kontribusi terhadap disiplin ilmu lain. Peran hukum dalam UHC dan juga pembiayaan kesehatan yang setara menuntut sebuah sistem yang memiliki cakupan legalitas. Sistem UHC dituntut untuk dapat mengatur pengumpulan dana/ keuangan melalui subsidi pemerintah maupun lewat keharusan membayar dari peserta UHC tersebut. Sistem tersebut juga harus dapat memperluas paket manfaat, sehingga pengambilan keputusan adil dan benar. Strategic Purchasing dapat diatur melalui sebuah mekanisme dengan indikator utama efektif dan efisien. Hukum dalam UHC memerlukan suatu mekanisme pertanggungjawaban melalui reformasi institusi.

Public financial management (PFM) for health diharapkan dapat menghubungkan pembiayaan untuk tenaga kesehatan dan prioritas kesehatan (efisiensi alokasi pembiayaan). PFM juga dapat mempertimbangkan penekanan pengeluaran yang terlalu kecil untuk operasional. Lebih jauh, PFM diharapkan dapat meningkatkan kinerja pengelolaan dana UHC (efektif dan penggunaan yang setara dengan sumber daya). Masalah PFM yang umum dihadapi adalah kekurangan penguasaan prosedur dari kementerian kesehatan, menyalahgunakan prosedur negosiasi dengan dalih urgensi, ketidaksesuaian antara prosedur dan pengelolaan keuangan, dan prosedur dan peraturan yang kompleks dan kaku. Selengkapnya:

apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/254680/9789241512039-eng.pdf?sequence=1

Pembiayaan adalah bagaimana menerjemahkan dana yang dikeluarkan ke manfaat yang diterima. Strategic purchasing memiliki beberapa aspek yaitu spesifikasi manfaat, sistem dan kontrak pembayaran, sistem manajemen informasi yang terintegrasi, dan pengaturan tata kelola yang efektif. Aspek tersebut dapat menyasar tujuan intermediate dari UHC itu sendiri antara lain penyebaran sumber daya yang setara, efisiensi, akuntabel dan tranparansi. Strategic purchasing diharapkan dapat bertemu dengan tujuan akhir dari UHC yaitu utilisasi yang sejalan dengan kebutuhan, mutu layanan kesehatan, dan pembiayaan yang adil dan perlindungan finansial bagi perserta. Hal ini berhadapan dengan beberapa isu dimana pandangan tentang bagaimana meningkatkan kesehatan dengan dana/uang, pemerintah nasional tidak dapat menyederhanakan tata kelola daalam UHC, dan tidak ada perkembangan UHC tanpa memikirakan pengeluaran yang efisien (aliran dana dan mekanisme pembayaran).


  
Refleksi untuk Indonesia:

Indonesia telah menjalankan skema Jaminan Kesehatan Nasional sejak 2014, dan memiliki banyak permasalahan dalam pengaturan masalah dalam pembiayaan kesehatan. Implementasi JKN harusnya bersifat terbuka baik dalam pertanggungjawaban maupun kolaborasi multi sektor. Penilaian terhadap efektif dan efiensi terhadap paket manfaat harusnya dapat melibatkan ahli ekonomi, kesehatan, dan manajemen sehingga prosedur dan sistem yang mendukung paket manfaat tersebut dapat diterima oleh masyarakat.

Reporter : Relmbuss Biljers Fanda

 

{tab title=”Sesi 5″ class=”grey”}

Membangun Teori Program pada Pay for Performance di Negara berkembang

  Pengantar

Pay for performance (P4P) adalah sebuah arti yang berpotensi untuk menguatkan sistem kesehatan untuk meningkatkan cakupan universal di negara berkembang. Sesi ini menggambarkan sebuah pendekatan realist pada studi P4P, menjelaskan tentag mekanisme P4P pada perubahan sistem dan bagaiaman membentuk konteks pada berbagai arah.

Narasumber:

  • Josephine Borghi, London School of Hygiene & Tropical Medicine, UK;
  • Gwati Gwati, Ministry of Health and ChildWelfare, Zimbabwe; Neha Singh, London School of Hygiene & Tropical Medicine, UK;
  • Artwell Kadungure,Training and Research Support Centre, Zimbabwe;
  • Amilcar Magaco, National Institute of Health, Mozambique;
  • Sophie Witter, Queen Margaret University, Garrett Brown, University of Leeds, UK

Penelitian P4P di Mozambik menunjukkan beberapa temuan dengan menggunakan pendekatan evalusi realist. Penelitian ini menemukan bahwa outcomes berupa utilasasi layanan kesehatan dan kepuasan pelanggaan dipengaruhi oleh penjangkauan dan mengikutsertakan masyarakat mempengaruhi kepuasan pasien dan utilisasi terhadap layanan kesehatan. Konteks yang muncul dalam penelitian ini adalah layanan penjangkauan dan karakteristik sosio demografi pasien. Mekanisme lain yang muncul adalah kemungkinan out of pocket mempengaruhi kepuasan pasien yang didasari oleh konteks ketersediaan obat dan pengeluaran pasien. Outcomes lain yang muncul adalah produktivitas dari tenaga kesehatan, rujukan yang sesuai, dan memiliki mekanisme bahwa insentif finansial memotivasi kinerja dari tenaga kesehatan, serta meningkatkan interaksi di berbagai tingkatan layanan. Outcomes tersebut muncul dari konteks berupa sistem pengelolaan keuangan, ketersediaan dana, tingkat dan distribusi insentif.

Dalam studi ini juga dikembangkan “Theory of Change” dengan melihat komponen dari Teori Result Based Financing (RBF) yaitu komponen kontak dan pembayaran, manajemen dan capacity building dan monitor dan dokumentasi. Untuk informasi sebagai berikut :

hsr4 10
Studi ini juga membangun teori tentang Performance Based Financing Mechanism for Health systems strengthening in Africa (PEMBA). Temuan lebih lanjut menjelaskan bahwa kuantitas PEMBA mempengaruhi peningkatan jumlah dalam ART ibu hamil, kunjungan ANC, dan kunjungan untuk program KB. Namun, ada beberapa hal yang masih dalam belum dapat dipengaruhi adalah inisasi dan retensi dan Pasien HIV, ART pediatric dan hubungan antara harga dan tanggung jawab. Gambar berikut menunjukkan teori yang dipakai:

hsr4 11


  Refleksi Indonesia:

Studi ini menunjukkan bahwa penting untuk menganalisis konteks (soSio demografi dalam sebuah intervensi, misalnya intervensi kebijakan). Sebuah intervensi kebijakan mungkin hanya berlaku untuk daerah dengan karakteristik seperti memiliki kemampuan fisKal yang memadai dan sistem pengelolaan insentif ke tenaga kesehatan. Isu pengurangan OOP diperkirakan dapat mempengaruhi kualitas layanan yang diberikan.

Reporter: Relmbuss Biljers Fanda

 

{/tabs}

Link Terkait:

 

 {jcomments on}

 

 

Reportase HSR 2018, Hari Ketiga

Rabu, 10 Oktober 2018

{tab title=”Sesi 1″ class=”orange” align=”justify”}

Placing Community health systems at the heart of service delivery

Pembicara :

  1. Kumanan Rasanathan, Health Systems Global Board, Cambodia
  2. Soumya Swaminthan, World Health Organization, Switzerland
  3. Amuda Baba Dieu-Merci, Panafrican Institute of Community Health, Democratic Republic of Congo
  4. Ariel Frisancho, Catholic Medical Mission Board, Peru
  5. Manmeet Kaur, City Health Works, USA
  6. Stefan Swartling Peterson, UNICEF, USA
  7. Helen Schneider, University of the Western Cape, South Africa

  Pokok-pokok bahasan/paparan/diskusi:

Placing Community health systems at the heart of service delivery

  Laporan Kegiatan

Kumanan Rasanathan, Health Systems Global Board, Cambodia, membuka plenary dengan menampilkan video tentang “we are free”. Video tersebut menunjukkan bahwa terdapat keterbatasan dari penderita HIV yang ingin mengakses layanan kesehatan, karena masalah akses, Deklarasi Alma Atta menekankan pada kepentingan layanan kesehatan yang dekat ke kehidupan dan partisipasi masyarakat. Diperkirakan dalam 40 tahun mendatang sistem kesehatan akan berjuang dengan perubahan penyediaan layanan disebabkan oleh demografi, epidemiologi, budaya dan transformasi teknologi termasuk urbanisasi. Namun, upaya penguatan sistem kesehatan sering mengabaikan peran komunitas/masyarakat. Para narasumber mempertimbangkan bagaimana kebutuhan sistem kesehatan harus sejalan dengan komunitas yang heterogen baik untuk manusia dan lingkungannya, serta pengalaman masyarakat tersebut.

hsr3 15

Soumya Swaminthan, World Health Organization, Switzerland, memberikan keynote speech  yang memaparkan tentang fasilitas kesehatan primer tidak hanya bagaimana ketersediaan gedung, dan obat, namun bagaimana melibatkan masyarakat untuk diberdayakan sehingga dapat berpartisapasi dalam masalah kesehatannya. Penelitian diharapkan dapat memberikan dampak tidak hanya kepada berapa banyak jumlah publikasi, namun lebih penting adalah bagaimana penelitian kita dapat berdampak langsung politik dan sistem kesehatan yang berguna kepada masyarakat. WHO menekankan dan mendorong pelaksnaan penelitian yang berlangsung interdisiplin sehingga luarannya dapat mencakup berbagai cakupan. WHO mendukung peningkatan penelitian dengan peningkatan kapasitas tim multi displin sehingga memiliki tools yang lebih sesuai dengan konteks penelitian tersebut.

Selanjutnya, plenary dilangsungkan dalam diskusi. Community Health Worker (CHW) dapat menyuarakan tentang masalah sebenarnya yang sedang dihadapi oleh masyarakat. CHW memberikan diharapkan dapat memberikan ruang untuk menghargai setiap ide – ide berdasarkan fakta yang berguna dalam pengambilan kebijakan kesehatan. Di sisi lain, banyak negara memiliki konflik kepentingan dan rapuh terhadap masalah politik dan keamanan. Leaving nobody behind masih terasa jauh, karena pelayanan kesehatan primer di pedesaan Bahakan masih berjuang dalam kekurangan tenaga kesehatan dan kualitas layanan yang diterima. CHW merupakan kunci dalam meningkatkan layanan kesehatan yang berbasis pada masyakarat, sehingga suara masyarakat dapat didengar. Lebih jauh, CHW dapat menjadi pedoman dalam memperbaiki berbagai keterbasan sistem kesehatan. CHW memerlukan dan dapat mendorong performans lintas sektor dalam memepercepat SDGs, sehingga yang masih menjadi persoalan adalah bagaimana kita membawa CHW sebagai social connector. CHW dapat memberikan gambaran konteks/gambaran sehingga dapat menyatukan masyarakat kedalam sistem kesehatan.

  Refleksi untuk Indonesia:

Indonesia telah memiliki banyak CHW diantara kader JKN, Kader STBM dan kader lainnya yang telah diorganisasi oleh puskesmas. Namun, kader – kader tersebut masih bekerja untuk sektor kesehatan dan pemerintah perlu melibatkan mereka dalam kolaborasi lintas sektor. Pengambilan keputusan secara terpisah memperlambat penyelesaian masalah kesehatan dan juga pembangunan kesehatan.

Reporter : Relmbuss Biljers Fanda

 

{tab title=”Sesi 2″ class=”blue”}

Memberikan Perlindungan Finansial Kepada Mereka yang Masih Tertinggal

  Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi:

Sesi presentasi oral ini terdiri dari beberapa pembicara. Masing – masing partisispan menceritakan hasil penelitian di negara mereka masing-masing dalam waktu 10 menit.

hsr3 3

Pembicara pertama, Edmund Kaniki, menceritakan bagaimana sistem asuransi yang ada di Ghana masih menyisakan masalah, yaitu masih banyaknya masyarakat yang berhak atas perlindungan ternyata tidak memiliki kartu, atau tidak menyadari bahwa mereka berhak atas perlindungan tersebut.

hsr3 5

Pembicara kedua, Quynh Lee, menceritakan bagaimana sistem asuransi di Vietnam bertransformasi dari sistem multi pool ke sistem single pool, namun mereka menghadapi tantangan untuk mencakup seluruh target populasi. Prioritas mereka pada saat ini adalah meningkatkan cakupan layanan yang ditanggung.

Pembicara ketiga, Sherhin Mahmoud, menceritakan bagaimana di Bangladesh terdapat pembiayaan microhealth, dimana tersedia perlindungan untuk inpatient dan out patient dengan premi sangat rendah. Satu kartu berlaku untuk satu keluarga, maksimum 6 orang. Terlihat bahwa kartu ini sangat laris di antara keluarga yang memiliki riwayat penyakit kronis, namun tidak berhubungan dengan tingkat sosioekonomi mereka. Ini menunjukkan bahwa disain layanan dan paket manfaat yang bersifat demand driven sangat diminati.

Pembicara keempat, Manase Mishra, menceritakan isu keseteraan dalam program UHC di India. Penelitian ini melihat inequity within household, across households dan distribusi spasialnya diantara masyarakat di kuintil IV (terendah). Terlihat bahwa ada penggunaan kartu asuransi untuk rawat inap lebih tinggi untuk mereka yang memiliki anggota keluarga yang difabel, namun tidak ada perbedaan antara peserta dari berbagai agama maupun kasta. Penggunaan kartu juga lebih tinggi di wilayah perkotaan.

hsr3 4

Pembicara keenam, Dahai Yue, menceritakan bagaimana perluasan cakupan Medicaid di AS pun mengalami inequity, karena masih meninggalkan mereka yang berasal dari kelompok masyarakat dengan latar belakang etnik tertentu. Akses untuk kelompok dengan latar belakang non Kaukasian harus diupayakan secara khusus apabila AS bermaksud untuk memperluas kepesertaan masyarakat non Kaukasian dan lebih penting lagi untuk mengurangi inequity dalam akses dan status kesehatan.

  Refleksi untuk Indonesia:

Cakupan kesehatan semesta merupakan aspirasi negara sejak 2014 dan pemerintah bertekad untuk mencapainya melalui Jaminan Kesehatan Nasional. Beberapa permasalahan yang disoroti oleh para pembicara di berbagai negara ini menunjukkan bahwa permasalahan mencapai cakupan kesehatan semesta dihadapi oleh semua negara.

Pelajaran pertama dari para peneliti ini adalah bahwa ada banyak penelitian yang menyoroti pentingnya perlindungan yang adil dan relevan dengan kebutuhan tersedia untuk semua. Penelitian semacam ini harus didorong untuk mengidentifikasi beberapa permasalahan di lapangan dan menawarkan solusi yang praktis dan strategis. Penelitian tersebut perlu sejak awal melibatkan stakeholder utama, yaitu badan penyedia perlindungan, BPJS, untuk memastikan bahwa hasil penelitian tersebut langsung di ketahui oleh BPJS untuk memberi masukan perbaikan kebijakan operasional BPJS dalam penyediaan perlindungan. Kesulitan adopsi rekomendasi hasil penelitian menjadi kebijakan seringkali bersumber pada posisi penelitian yang berada di “luar” sistem dan pihak stakeholder tidak dilibatkan sejak awal dalam proses pendefinisian masalah dan tujuan penelitian.

Pelajaran kedua adalah bahwa JKN memilki potensi untuk mengurangi inequity di Indonesia. Namun, inequity sistemik yang tidak segera diatasi akan berarti bahwa risiko inequity selalu terjadi, di berbagai tingkat, dan antar berbagai wilayah ataupun kelompok masyarakat. Terlebih lagi jika sumber inequity tersebut berasal dari faktor yang inheren di dalam sistemnya.

Pengalaman di negara – negara ini menunjukkan bahwa kita pun perlu memberikan perhatian khusus bagi kelompok masyarakat rentan tertentu, entah karena lokasi geografis mereka, riwayat kesehatan mereka, atau hal-hal terkait latar belakang mereka, untuk memastikan bahwa mereka memahami hak perlindungan yang mereka miliki dan bagaimana akses terhadap layanan yang mereka butuhkan bisa tersedia sesuai kebutuhan. Hal ini mungkin memerlukan kebijakan khusus, atau bahkan desain ulang dari caranya layanan diberikan dan dimana layanan tersebut tersedia.

Salah satu contoh pembelajaran bagaimana framework untuk cakupan kesehatan semesta diupayakan untuk kelompok masyarakat dengan kebutuhan khusus tersedia di bahan bacaan berikut:

Leave no one behind Strengthening health systems for UHC and the SDGs in Africa

Reporter : Shita Dewi

 

{tab title=”Sesi 3″ class=”red”}

Menggali Potensi Sektor Swasta dalam Penyediaan Layanan dan Pembiayaan

  Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi

Sesi ini berisi presentasi oral dari berbagai hasil penelitian dari seluruh dunia. Sesi ini mengidentifikasi berbagai kontribusi sektor swasta baik for profit maupun nirlaba terhadap sistem kesehatan. Kontribusi ini tidak terbatas pada ketersediaan layanan, tetapi juga pembiayaan, platform digital dan berbagai model kemitraan.

hsr3 6 

Pembicara pertama, Priya Balasubramanam, menyajikan tiga model yang dilakukan di India. Pertama, jaringan layanan “dokter keluarga” yang didirikan dalam bentuk franchise. Tenaga (klinisi atau pun non klinisi) yang bekerja di sini memiliki ‘saham’ di dalam franchise ini. Mereka didanai oleh swasta dan sedikit donasi. Sasarannya yaitu populasi perkotaan.

Inovasi lain adalah ‘contracting out’ yang dilakukan oleh pemerintah untuk penyediaan layanan primer ke 1. 200 puskesmas yang dimiliki oleh yayasan, semuanya berada di wilayan pedesaan atau sangat terpencil. Pembiayaannya 50% berasal dari swasta, dan 50% lagi dari pemerintah. Mereka biasanya dikepalai oleh dokter yang telah tua, pensiun, dan ingin tinggal di pedesaan. Model lain adalah layanan rawat jalan yang disediakan oleh digital platform yang didirikan oleh seorang anak muda yang memulai bisnis startup telemedicine. Kekuatan sektor swasta dalam hal ini adalah karena mereka mampu menyediakan layanan yang terintegrasi dan mudah diakses, sesuatu yang gagal dipenuhi oleh sektor pemerintah.

Pembaca yang tertarik dapat melihat bagaimana franchise dokter keluarga di India pada tautan ini:
http://www.thefamilydoctor.co.in/

Pembicara kedua, Sarah Dominis berbicara mengenai perspektif total market, yaitu melihat potensi tenaga penyedia kesehatan di sektor swasta yang sangat beragam, bukan hanya tenaga klinisi. Di India, terdapat beberapa potensi tenaga kesehatan non pemerintah yang digali, yaitu task sharing, short term contract, tenaga kesehatan berbasis komunitas.

 hsr3 7

Pembicara berikutnya, Shaikh Hasan, menyajikan pemetaan terhadap layanan yang tersedia di kota – kota kecil di Bangladesh. Shaikh menemukan bahwa layanan di kota – kota kecil ternyata didominasi oleh penyedia swasta yang ukurannya kecil yang biasanya terkonsentrasi di dekat sebuah RS publik yang besar di daerah tersebut, biasanya berbentuk toko obat dan praktek swasta, sehingga mengakibatkan gap dalam layanan. Namun, praktek dokter swasta memainkan peran penting dalam penyediaan layanan kepada masyarakat setelah jam kerja RS publik berakhir (setelah jam 5 sore). Jadi penting untuk menggali potensi mereka lebih jauh untuk menyediakan layanan yang berkualitas.

hsr3 8

Pembicara berikutnya, Maureen Lewis, menyajikan inovasi sektor swasta di Brasil yang berdampak pada semakin besarnya peran mereka dalam pembiayaan dan memperkuat posisi mereka di pasar. Di Brasil terdapat 12 penyedia asuransi swasta yang besar dan memiliki cakupan kepersertaan yang cukup besar. Bahkan 2 diantaranya memiliki peningkatan kepesertaan lebih dari 30%, dan yang lebih menarik mereka adalah asuransi yang berbasis HMO. Inovasi yang dilakukan oleh dua perusahaan asuransi ini yaitu menawarkan perlindungan yang lebih dalam untuk layanan di level primer untuk kelompok lansia. Inovasi yang lain adalah perusahaan asuransi ini memantau kualitas secara lebih aktif dengan menggunakan rekam medis elektronik, sehingga bisa menekan biaya, dan memastikan bahwa dokter yang tergabung di dalam HMO itu harus mencapai standar tertentu untuk tetap dapat menerima pembayaran.

Pembaca yang tertarik dapat membaca lebih lanjut mengenai pertumbuhan sektor swasta di Brasil di artikel berikut ini

download document

 

Pembicara berikutnya, Katelyn Long, menyajikan tentang potensi dari rumah sakit berbasis keagamaan di India, khususnya jaringan RS Kristen dan Katolik. Hal ini dimungkinkan ketika pemerintah secara progresif membuat berbagai kebijakan strategic purchasing dari penyedia layanan swasta. Khususnya ini sangat penting bagi India karena mayoritas RS Kristen dan Katolik ini tersedia di daerah pedesaan dan daerah terpencil. Kepastian pembiayaan pemerintah melalui strategic purchasing ini memungkinkan RS Kristen dan Katolik di daerah – daerah tersebut tetap dapat menyediakan layanan.

Pembicara terakhir, Rashid Zaman, menyajikan situasi di Somalia dimana mayoritas tenaga pemerintah juga bekerja di sektor swasta, dan pendapatan mereka jauh lebih besar di sektor swasta dibandingkan di sektor pemerintah.

 

  Refleksi untuk Indonesia:

Sektor swasta memainkan peran penting dalam sistem kesehatan di Indonesia. Namun kemitraan dengan mereka biasanya terbatas. Pemerintah biasanya “hanya” melihat potensi dari kontribusi kegiatan corporate social responsibility dan belum mengoptimalkan potensi lain secara lebih strategis. Hal ini terkadang dibatasi oleh tidak tersedianya regulasi atau panduan yang mengatur kemitraan yang lebih strategis. Bahkan adanya panduan dan aturan mengenai kemitraan pemerintah dengan badan usaha belum dapat dimanfaatkan secara maksimal karena tantangan – tantangan teknis di lapangan.

Berbagai pengalaman yang disajikan di sesi ini semoga dapat menginspirasi kita untuk melihat kemitraan secara lebih luas dan lebih strategis. Model – model kemitraan ini seringkali bukan inovasi tetapi sebenarnya mengambil sumbernya dari model – model lain yang sudah ada di dunia bisnis. Pemerintah perlu lebih fleksibel dalam bermitra dengan sektor swasta, misalnya dengan membuat kontrak jangka pendek untuk SDM non pemerintah dengan paket fringe benefit yang menarik, dan terbuka terhadap pola penyediaan layanan faskes swasta yang mungkin berbeda dengan yang biasanya tersedia (atau model layanan yang familar bagi pemerintah), dan pemerintah lebih fokus pada ‘membeli kualitas’.

Reporter : Shita Dewi

 

{tab title=”Sesi 4″ class=”grey”}

Memahami Sisi Politik dari Kebijakan: Proses dan Kekuasaan

  Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi

Augustina Kaduah menyoroti kontestasi dan negosiasi yang terlibat dalam penetapan Panduan Layanan Standar dan Daftar Obat Esensial di Ghana. Proses penetapan PLS dan DOE melibatkan Kementrian Kesehatan dan komite obat nasional, asuransi, akademia, dan organisasi profesional. Augustina memetakan pihak mana yang mengkontestasi dan menegosiasi usulan untuk hal-hal yang diatur di dalam PLS dan DOE tersebut, karena terjadi begitu banyak tensi dari berbagai organisasi profesi mengenai hal ini. Bahkan, terdapat pihak yang belum dilibatkan di dalam proses ini, karena posisinya dianggap kurang strategis, yaitu asisten dokter. Namun, setelah adanya pertemuan khusus dengan mereka, terdapat beberapa perubahan mengenai wewenang asisten dokter yang diatur di dalam PLS tersebut. Hal ini khususnya perlu diakomodasi karena di banyak wilayah terpencil di Ghana tidak terdapat dokter, hanya tersedia asisten dokter.

hsr3 9

Chinyere Okeke membahas bagaimana karekteristik aktor kebijakan serta konteks mempengaruhi proses agenda setting, formulasi dan implementasi kebijakan untuk program layanan KIA di Nigeria. Layanan KIA gratis tersedia di NIgeria pada 2009 – 2015 dengan didanai oleh adanya debt relief demi pencapaian MDG, tetapi setelah 2015 program tersebut berakhir. Chinyere menggunakan framework yang digunakan oleh Grindle dan Thomas (1991) untuk memetakan karakteristik aktor kebijakan yang mencoba merevitalisasi program tersebut.

hsr3 10

Pembaca yang berminat untuk mempelajari berbagai framework proses kebijakan termasuk Grindle dan Thomas dapat mengunduhnya di sini:

download document

 

Sophie Witter mendalami studi kasus dari 8 negara berpenghasilan menengah dan rendah dan menyajikan beberapa kesimpulannya. Pertanyaan yang Sophie ajukan adalah bagaimana para pengambil kebijakan mencari dan mengakses bukti yang mereka butuhkan untuk membuat kebijakan tertentu, serta apa yang mereka anggap cukup adekuat untuk disebut sebagai “bukti”.

hsr3 11

Observasi Sophie menyimpulkan bahwa reformasi atau perubahan kebijakan biasanya bersumber pada salah satu dari model ini:

  1. Adopsi inisiasi asing
  2. Masukan dan ide dari badan internasional
  3. Kemitraan dengan badan internasional (co-production)
  4. Disusun sendiri berdasarkan ide dari beberapa contoh regional
  5. Disusun sendiri berdasarkan ide dari beberapa contoh dari domestik

Beberapa mekanisme yang dipakai untuk proses pembelajaran adalah:

  1. Kunjungan ke negara lain
  2. Hubungan pribadi dengan badan internasional
  3. Pertemuan internasional
  4. Technical assistance
  5. Kelompok kerja domestik
  6. Jaringan profesi regional
  7. Jaringan pelatihan regional
  8. Konsultan domestik yang berpengaruh
  9. Masyarakat praktisi
  10. Laporan
  11. Pilot/uji coba

Namun yang paling penting reformasi kebijakan tersebut biasanya diadaptasi dengan konteks lokal. Oleh karena itu, pembuat kebijakan selalu membutuhkan “bukti” untuk menjustifikasinya. Namun “bukti” biasanya hanya digunakan apabila tersedia dalam format yang mudah dipahami dan tepat waktu.

Pembaca yang berminat dapat melihat ke tautan berikut ini untuk menyimak ebih lanjut mengenai hasil penelitian ini:

https://www.opml.co.uk/projects/learning-action-health-systems

 

  Refleksi untuk Indonesia:

Perubahan kebijakan merupakan suatu hal yang sering kali diharapkan sebagai solusi untuk mengatasi beberapa permasalahan dalam sektor kesehatan. Namun, seringkali kita berada di luar sistem pengambilan kebijakan sehingga tidak menyadari kompleksnya politik di balik penetapan dan perubahan kebijakan. Politik dapat terjadi bukan hanya antar lembaga pemerintah, tetapi juga diantara pihak non pemerintah. Oleh karena itu, kita harus sangat memahami isu kebijakan yang kita perjuangkan untuk memastikan bahwa kita memetakan semua kepentingan yang terlibat dan melibatkan seluruh stakeholder. Mengelola kepentingan dan kekuasaan yang masing – masing stakeholder merupakan kunci dari mendapat dukungan atas perubahan yang kita usulkan.

Selain itu, pembuat kebijakan di Indonesia juga telah semakin terbuka terhadap masukan dan bukti – bukti yang mendukung argumentasi terhadap suatu perubahan kebijakan. Artinya, peneliti harus meningkatkan kapasitas, bukan hanya kapasitas dalam menyediakan ‘bukti’ yang meyakinkan dan dikumpulkan dan dianalisis dengan cara yang robust, tetapi lebih penting lagi adalah kapasitas untuk menyajikan bukti tersebut dalam bentuk yang relevan dan mudah dipahami oleh pengambil kebijakan.

Kita diingatkan pula, bahwa masyarakat pun memiliki ‘kekuasaan’. Kekuatan demand sebenarnya dalam banyak hal membentuk bagaimana kebijakan perlu disusun. Tugas peneliti untuk bersikap membela kepentingan dari end user dan stakeholder utama sektor kesehatan, yaitu kepentingan masyarakat.

Reporter : Shita Dewi

 

{tab title=”Sesi 5″ class=”green”}

Attracting, retaining and sustaining the health workforce

Pembicara :

  1. Prudence Ditlopo, Center for Health Policy, Unida;laversity of the Witwatersrand, South Africa
  2. Borwornsom Leerapan, Mahidol University, Thailand
  3. Mary Nyikuri, Strathmore University, Kenya
  4. Kuimeng Song, Shandong Academy of Medical


  
Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi

  • The resilient nurse – what motivates professional nurses to stay in their jobs and in underserved areas? Findings from a longitudinal study in South Africa.
  • Strategic planning of human resources for health to address the challenges of Thailand’s Universal Health Coverage under the epidemiological transition: a system dynamics approach.
  • “I train and mentor, they take them”: nurses’ perspectives on quality of inpatient care for sick newborns across sectors in Nairobi, Kenya.
  • Attracting health workers to rural community health organizations in Shandong Province, China: insights from a discrete choice experiment


  
Laporan Kegiatan

Afrika Selatan memiliki tantangan dalam merekrut dan mempertahankan perawat di daerah pedesaan dan kurang terlayani. Tantangan tersebut diterjemahkan lebih rinci seperti kekurangan staf, kelebihan beban kerja dan lingkungan kerja yang kurang menguntungkan. Penelitian menunjukkan masih terdapat kebutuhan yang signifikan terhadap sejumlah tenaga kesehatan di daerah yang kurang menguntungkan/ terlayani. Jumlah perawat yang terbatas dalam jumlah di wilayah tersebut diragukan, karena alasan bertahan adalah amal dan komitmen untuk berbuat baik.

hsr3 12

Thailand telah mencapai universal health coverage dan berfokus dalam isu epidemiological transition dan aging population. Dalam 20 tahun mendatang, Thailand mencoba untuk mencapai kuantitas dan kualitas tenaga kerja yang cukup, dengan mengoptimalkan layanan tenaga kesehatan terhadap masyarakat, meminimalkan angka kebutuhan tenaga kesehatan yang tidak terpenuhi, memaksimalkan status kesehatan dan kualitas hidup dari masyarakat, dan meminimalkan angka pembelanjaan kesehatan. Sistem kesehatan perlu memperhatikan konsep dan instrumen untuk menangani masalah kompleksitas sistem.

Kenya memiliki layanan rawat inap untuk Kesehatan Ibu dan Anak yang fokus kepada bayi lahir dengan ukuran lebih kecil dan sakit, dan meluas tidak hanya sektor pemerintahan, namun juga kepada layanan keagamaan, dan swasta. Penelitian ini menjelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi persepsi perawat tentang mutu layanan. Kemampuan perawat dalam layanan rawat inap tersebut dipengaruhi oleh proses penerimaan dan masa persiapan kerja, dukungan – dukungan yang diterima melalui orientasi dan pembelajaran secara terus kontinyu, penghargaan terhadap pengalaman mereka.

Cina memiliki masalah kekurangan jumlah dan rendahnya kompentensi dari tenaga kesehatan masyarakat “Community health organization (CHOs)” di pedesaan. Reformasi sistem kesehatan menekankan pada penguatan fasilitas kesehatan dasar. Community health organization (CHOs) harus dapat mengambil tanggung jawab dalam layanan kesehatan dasar, sehingga perlu dipastikan bahwa sistem kesehatan di China dapat menarik CHOs yang berkualitas. Alternatif kebijakan harus diatur berdasarkan kebutuhan dasar dari CHOs seperti gaji yang memadai dan keuntungan yang didapat, dan pengembangan karir yang lebih baik.

hsr3 13


  Refleksi untuk Indonesia:

Indonesia memiliki masalah keterbatasan tenaga kesehatan di daerah pedesaan. Kekurangan tenaga tersebut menimbulkan masalah dalam beratnya beban kerja yang dapat menurunkan motivasi kerja. Peran pemangku kepentingan dalam menarik tenaga kesehatan di pedesaan memiliki kontribusi yang cukup besar. Sistem kesehatan yang direncanakan mulai dari perekrutan sampai pada kesejahteraan berkontribusi terhadap ketersediaan tenaga kesehatan.

Reporter : Relmbuss Biljers Fanda

 

{tab title=”Sesi 6″ class=”blue”}

Institutions for accountability and trust

Pembicara :

  1. Jean-Paul Dossou, Centre de Recherche en Reproduction Humaine et en Démographie, Cotonou, Benin and Institute of Tropical Medicine Antwerp, Belgium
  2. André Janse van Rensburg, Stellenbosch University,South Africa
  3. Napaphat Satchanawakul, King’s College London, UK
  4. Sara Van Belle, Institute of Tropical Medicine, Antwerp, Belgium


  Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi:

  • Trust me if you can! Realist insights on how mistrust undermines effective public-private engagement and strategies to address it in West Africa
  • The significance of power dynamics in shaping government and private sector mental health care engagement in constrained resource settings: lessons from South Africa
  • Policy feedback effects of Thailand’s Universal Health Coverage towards the role and power of private hospitals in the health system
  • Public accountability of INGOs working in sexual and reproductive health in Ghana: a realist inquiry

  Laporan Kegiatan

Sektor swasta memiliki pengalaman yang kurang baik dalam bekerjasama dengan pemerintah terkait birokrasi, prosedur pembayaran yang panjang dan ketidakpastian. Sektor swasta menerima biaya kesehatan dari pasien lebih dari 30 Euro. Sistem kesehatan perlu inovasi terhadap pengurangan risiko dari sektor swata sehingga tidak terjadi kerugian dalam sumber daya dan khususnya perlu mengatur prosedur administrasi yang sederhana, terpercaya dan transparan. Lebih lanjut, sistem kesehatan juga perlu menciptakan komitmen yang akuntabel sehingga kepercayaan sektor swasta dapat meningkat.

hsr3 14

Masalah kesehatan di Afrika Selatan memiliki kaitan dengan konsep kekuasaan sendiri baik dalam sumber daya maupun apa yang telah dilakukan melalui kekuatan dalam kesehatan jiwa tersebut. Temuan dalam studi ini menunjukkan bawa adanya pembingkaian dari layanan sosial yang diberikan, lebih fokus kepada masalah pendonoran, posisi dari NGO pendukung, dan ketidakjelasan dari makna kondisi kejiwaan itu sendiri. Masalah tersebut dijelaskan lebih lanjut pada isu hierarki pada struktur, kewenangan pemerintah dan swasta, ketersediaan tenaga profesional, perbedaan ideologi, framing, dan kompetensi.

Studi ini bertujuan untuk menguji skema UHC di Thailand pada 2002 yang telah mendapatkan umpan balik berupa peran, kekuatan, dan akuntabilitas dari rumah sakit swasta. Sistem UHC di Thailand terbagi atas tiga kelompok yaitu kelompok pegawai negeri, kelompok pekerja dan kelompok lainnya. Dampak positif dari UHC terhadap rumah sakit swasta adalah mengurangi “out-of-pocket”, menjadi pilihan untuk warga kota yang dapat mengakses layanan, mengurangi beban rumah sakit pemerintah, tidak adanya kesalahan dalam kompensasi, platform dalam pengembangan Public Private Partnership dan akreditasi dalam layanan gawat darurat dalam skema UHC. Namun dampak lain yang juga mengikuti adalah peran dari RS swasta sangat kecil, menjadi RS terlalu khusus untuk kelompok masyarakat tertentu, kekuatan dan suara RS swasta menjadi tidak masuk akal jika diwakilkan oleh asosiasi rumah sakit swasta.

International Non Government Organizations (INGO) meningkat secara jumlah pada 1990-an dan perlu diperhatikan pengawasan terkait akuntabilitas finansial dari NGO itu sendiri. Akuntabilas tersebut bisa berdasarkan pemetaan terkait kategori INGO berdasarkan layanan yang diberikan, komunitas mana yang terlayani, siapa yang menjadi ahli dalam INGO tersebut. Temuan tentang “accountability chain” di tingkat kabupaten menjelaskan komunitas yang terlayani mencakup cara – cara bagaimana melibatkan komunitas dan lokal NGO dari permulaan, transparansi dana donor. Kategori layanan yang diberikan NGO menjelaskan terdapat beberapa bentuk umpan balik dan bagaimana mekanismenya, baik melalui telpon, penangung jawab dan untuk beberapa kasus perlu adanya MoU. Data menunjukkan lemah akuntabiltas yang bersifat horizontal kepada pemerintah lokal.


  
Refleksi untuk Indonesia:

Sistem kesehatan di Indonesia memiliki kesamaan dalam hal aktor dan sistem kesehatan tersebut yaitu pemerintah baik pusat maupun daerah, fasilitas kesehatan baik umum maupun khusus (kejiwaan), NGO internasional dan sebagainya. Data yang dipaparkan dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan bagaimana aktor tersebut memandang sistem kesehatan tersebut shingga kerja sama lintas sektor dapat terjalin dengan baik. Isu akuntabiltas terkait sektor lain perlu diatur lebih lanjut sehingga sistem kesehatan di Indonesia dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Reporter : Relmbuss Biljers Fanda

 

{/tabs}

Link Terkait:

{jcomments on}

Reportase HSR 2018, Hari Kedua

Selasa, 9 Oktober

{tab title=”Sesi 1″ class=”red” align=”justify”}

Welcoming Plenary
Sustainable Development Goals yang Terintegrasi dan Tidak Dapat Dipisahkan: Memastikan Pendekatan Multi Sektor 

  Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi:

Plenary pembukaan diisi oleh Kabir Sheikh dari Alliance for Health Policy and System Research yang menyatakan bahwa penelitian di bidang kesehatan perlu memperhatikan perspektif ilmu sosial untuk memastikan adanya pendekatan yang inklusif untuk kesehatan dan kesetaraan dalam kesehatan.

Ada berbagai faktor yang membuat berbagai kelompok masyarakat menjadi rawan, yaitu ketidaksetaraan pendapatan, perubahan iklim, pola epidemi dan wabah, kekerasan terhadap perempuan dan anak, perang dan konflik, dan banyak hal lain. Oleh karena itu, salah satu tema utama dalam simposium ini adalah memastikan sistem kesehatan yang tidak mengabaikan satu orang pun.

hsr2 1

Sejalan dengan itu, Menteri Pembangunan Internasional Inggris, Rt.Hon. Alistair Burt, MP menyatakan bahwa pemerintah Inggris menempatkan prioritas yang tinggi terhadap penelitian. Hal ini diindikasikan oleh fakta bahwa 3% dari anggaran DFID digunakan untuk penelitian dan sebagian besar untuk sektor kesehatan. Pada simposium ini, terdapat 40 penelitian yang didanai DFID yang akan dipresentasikan. Komitmen pribadi Alistair untuk mendukung sistem kesehatan Inggris dibuktikan dengan kesaksian bahwa Alistair sekeluarga bahkan semua cucunya berada di dalam sistem NHS dan tidak memiliki asuransi pribadi. Alistair menyatakan tiga posisi strategis dari penelitian. Pertama, penelitian dibutuhkan untuk mendukung pemerintah membuat keputusan mengenai cara apa yang efektif dan berhasil. Kedua, peneliti diperlukan untuk inovasi dalam pelayanan, tetapi lebih penting lagi bagaimana memastikan bahwa inovasi tersebut dapat dinikmati oleh mereka yang paling membutuhkan. Ketiga, hasil penelitian dapat dimanfaatkan bukan hanya pemerintah dan pengambil kebijakan, melainkan juga oleh mereka yang berada di garda depan pelayanan.

hsr2 2

Selanjutnya dilangsungkan diskusi panel yang mengangkat isu mengenai pendekatan multi sektor untuk mencapai SDGs yang dimoderatori oleh Anthony Costello. Panelis pertama, Maureen Samms-Vaughn, mengangkat isu pentingnya tata kelola untuk memastikan pendekatan multisektor bisa berjalan dengan baik. Maureen menyatakan bahwa pendidikan profesi kesehatan (dokter, perawat, bidan, ahli kesehatan masyarakat, sanitasi, nutrisi, dst) saat ini berada di silo masing-masing, padahal nantinya di dunia nyata harus bekerjasama untuk mengatasi permasalahan yang sama.

Panelis kedua, Evelyn Kandakai, menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat dan khususnya perempuan adalah kunci yang masih jarang digunakan. Padahal masyarakat memiliki kekuatan untuk menggerakkan pemerintah, dan pada gilirannya pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengubah arah dari pembangunan. Panelis ketiga, David Stuckler, menyatakan bahwa sudah terlalu banyak penelitian membuktikan pendekatan yang efektif untuk meningkatkan berbagai indikator pencapaian SDG namun ternyata belum diadopsi. Ada penghalang besar yang membuat berbagai sektor sulit bekerjasama. Contoh yang diangkat adalah bagaimana berbagai kebijakan yang gagal karena lobby para produsen makanan. Hal ini disamakan dengan perjuangan yang lama untuk dapat ‘mengalahkan’ lobby perusahaan rokok/tembakau. Namun, panelis juga mengingatkan akan adanya kekhawatiran bahwa kemampuan fiskal suatu negara akan sangat mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang efektif. Misalnya, ketika negara berkomitmen untuk mencapai SDG tetapi dibatasi oleh budget yang terbatas dan cenderung rendah khususnya untuk sektor kesehatan dan pendidikan serta ketersediaan infrastruktur sanitasi dasar.

hsr2 3

  Refleksi untuk Indonesia:

Pendekatan multi sektor untuk isu kesehatan dan isu sistem kesehatan, adalah pendekatan yang tidak dapat diabaikan mengingat berbagai faktor eksternal mempengaruhi status kesehatan secara luas. Walaupun sektor kesehatan seringkali terlihat didominasi oleh inovasi dalam teknologi perawatan maupun investasi untuk pelayanan kuratif, sistem kesehatan harus terus memperhatikan pendekatan kesehatan masyarakat, karena pendekatan kesehatan masyarakat merupakan garda depan untuk membangun masyarakat yang tangguh menghadapi berbagai faktor eksternal tersebut.

Pendekatan multi sektor hanya dapat dimungkinkan apabila semua pihak merasa bahwa pencapaian SDGs merupakan tanggung jawab bersama. Untuk itu, ada berbagai gap yang harus diatasi, misalnya gap tata kelola, perspektif gender, dalam kemampuan mengatasi ego sektoral. Selain itu, pemerintah perlu bekerjasama dengan sejumlah kementerian terkait untuk memastikan anggaran yang cukup untuk mendukung upaya pencapaian SDGs. Perlu pula bantuan dari pihak di luar pemerintah untuk mendesak agenda pencapaian SDGs di semua sektor. Peneliti memiliki posisi strategis untuk mendorong bukti – bukti yang telah dianalisis untuk menunjukkan apa pendekatan yang efektif. Lebih jauh lagi, rekomendasi peneliti juga harus mendorong dan mendesak adanya kerjasama multi sektor.

Reporter : Shita Dewi

 

{tab title=”Sesi 2″ class=”orange”}

Metode Inovatif untuk Penguatan Sistem Kesehatan

Pembicara : Panel dari The George Institute for Global Health, UNSW

  Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi:

hsr2 4Sesi ini merupakan sesi yang termasuk dalam kelompok “membangun ketrampilan”. Pada sesi semacam ini, peserta diperkenalkan pada beberapa konsep baru dalam metodologi tertentu dan diajak berdiskusi dengan menggunakan beberapa contoh nyata dari penerapan metodologi tersebut dalam suatu intervensi atau program. Pertama, dipaparkan beberapa metodologi dalam penelitian dan bagaimana aplikasi atau contohnya dalam beberapa penelitian yang sejenis dan banyak dikutip dalam penelitian kesehatan atau penelitian kebijakan kesehatan.

Ada beberapa metodologi baru (atau, masih jarang dipakai) yang diperkenalkan di sesi ini. Pertama khusus terkait dengan pengembangan dari teori perubahan perilaku dan bersumber pada implementation science. Pendekatan ini melihat bahwa perubahan perilaku individu merupakan level yang paling rendah yang harus dirubah, namun untuk memastikan perubahan tersebut dapat menggerakkan sebuah system. Selanjutnya yang harus disasar adalah pendekatan perubahan perilaku secara kolektif. Kerangka teori yang digunakan menunjukkan variabel – variabel yang menjadi enablers dari suatu perubahan perilaku. Dalam kerangka inilah banyak upaya intervensi kesehatan dapat dianalisis secara kualitatif.

Pembaca yang berminat dapat mengunduh panduan untuk riset implementasi di sini:
http://www.who.int/alliance-hpsr/alliancehpsr_irpguide.pdf

Atau khusus mengenai riset implementasi dalam penanganan penyakit tidak menular, dapat diunduh di sini:
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/252626/9789241511803-eng.pdf

Metodologi berikutnya yang dibahas adalah pendekatan mengenai hukum kesehatan publik. Dibahas secara sederhana bagaimana beberapa metode dalam hukum kesehatan publik dapat digunakan tergantung pada tujuan yang ingin dicapai dan bagaimana aplikasinya. Salah satu contoh yang diangkat adaah analisis empirical legal, yaitu pendekatan content analysis dalam kasus hukum (biasanya umum ditemui di negara-negara dengan prinsip common law). Kasus yang diangkat adalah kasus hukum untuk mengatur alkohol dan tembakau.

hsr2 5 

Metodologi terakhir yang dibahas adalah analisis equity, khususnya menggunakan metode benefit incidence analysis. Kasus yang dibahas adalah sebuah studi kasus pengukuran inequality di Indonesia. Penulis menggunakan HEAT (Health Equity Assessment Toolkit) menggunakan peranti lunak HEAT Plus yang tersedia secara open source.

hsr2 6

Pembaca yang berminat mempelajari tentang monitoring inequality dapat mengunduh referensinya di tautan ini:
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/85345/9789241548632_eng.pdf

Pembaca yang berminat dapat melihat mengenai HEAT pada tautan ini:
http://www.who.int/gho/health_equity/assessment_toolkit/en/

Tautan di atas termasuk tautan untuk mengunduh piranti lunaknya baik untuk sistem berbasis Windows maupun Mac.


  Refleksi untuk Indonesia: 

Bagi peneliti dalam sistem kesehatan dan peneliti kebijakan kesehatan, ada banyak metodologi yang tersedia yang dapat digunakan. Para peneliti sebaiknya mencoba berbagai metodologi yang baru dan inovatif yang memang telah berkembang dan diadaptasi seiring berjalannya waktu untuk memastikan bahwa metode yang dipakai untuk memenuhi tujuan penelitian dan membantu dalam analisis situasi yang kompleks. Metode yang inovatif, bila sungguh-sungguh dikuasai dan diterapkan dengan benar, dapat mendorong analisis yang lebih tajam dan lebih mendalam dan terlihat berbeda dengan penelitian-penelitian sejenis.
Pekerjaan rumah berikutnya bagi kita adalah mendorong berubahnya penelitian menjadi kebijakan. Untuk dapat melakukan hal ini, penelitian kita seharusnya relevan, penting dan tepat waktu serta mempertimbangkan konteks yang tepat dan menunjukkan sesuatu yang baru atau berbeda dengan penelitian – penelitian lain.

Di sinilah salah satu peran penting menggunakan metode yang inovatif, khususnya apabila metode tersebut diterapkan secara robust, dilakukan oleh peneliti yang memiliki kredibilitas, dan menghasilkan rekomendasi yang actionable. Idealnya, agar hasil penelitian dipakai untuk pengambilan kebijakan, penelitian sebaiknya bersifat demand driven atau setidaknya co – produced bersama para pemangku kepentingan, namun ini jarang terjadi. Sehingga kuncinya adalah memastikan bahwa hasil penelitian kita actionable.

Reporter : Shita Dewi

 

{tab title=”Sesi 3″ class=”green”}

Undertaking a qualitative evidence synthesis: what, why and how

Pembicara :

  1. Dr Etiene V Langlois, Alliance for Health Policy and Systems Research, WHO.
  2. Natalie Leon, South African Medical Research Council, South Africa
  3. Simon Lewin, Norwegian Knowledge Centre for Health Service, Norway
  4. Christopher Colvin, School of Public Health and Family Medicine, South Africa
  5. Karen Daniels, South African Medical Research Council, South Africa

Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi

Qualitative Evidence synthesis: a critical component of health policy ad systems decision-making


  Laporan Kegiatan:

hsr2 7Suatu layanan kesehatan dengan kualitas yang rendah mencerminkan tingginya angka mortality jika dibandingkan dengan jumlah yang tidak mendapatkan layanan kesehatan. Suatu sistem kesehatan dengan kualitas yang baik dinilai berharga dan terpercaya untuk semua orang sehingga dapat merespon perubahan kebutuhan suatu populasi. Universal Health Coverage dan Sustainable Developmnet Goals memiliki misi untuk meningkatkan ketersediaan pada bukti yang relevan dan sensitif terhadap penguatan kebijakan dan sisrem secara global. Pengambil keputusan menuntut sebuah review yang bertujuan untuk meng-cover isu tentang: efektivitas dari suatu kebijakan dan intervensi sistem kesehatan. Seting yang bagaimana dan seperti apa intervensi tersebut berkerja, persepsi dan pandangan stakeholders tentang tantangan sistem kesehatan dan pilihan kebijakan. Evidence synthesis for health policy and systems merupakan komponen yang fundamental dari pendekatan informatif berbasis bukti terhadap pengambilan keputusan.

Qualitative evidence synthesis (QES) adalah sebuah systematic review dari sebuah studi kualitatif primer dalam sebuah topik tertentu. QES bertujuan untuk mengeksplorasi persepsi dan pengalaman dari partisipan, termasuk kesehatan dan penyakit, kesehatan dan layanan sosial, institusi, lingkungan yang terbentuk dan aspek lain ada di dalam masyarakat. Tujuan QES yang kedua untuk membangun dan mengembangkan teori serta model yang dapat membantu untuk menjelaskan lingkungan sosial. Metode QES ini masih dikembangkan dan teah mencapai 1.316 publikasi pada 2017. Penelitian kualitatif dapat membantu mengidentifikasi populasi dan intervensi yang paling relevan.

Reviewer penelitian kebijakan dan sistem kesehatan (HSPR) harus menyimpulkan dan mengkomunikasikan temuannya dengan cara yang mudah dimengerti oleh pembuat keputusan. Pemangku kebijakan sering menyoroti temuan dari systematic review harus jelas, sederhana dan singkat. Sebuah pendekatan yang dapat membantu untuk menjelaskan “confidence” dari sebuah QES adalah Grade-CERQual (Grading of Recommendations Assessment, Development and Evaluation – Confidence in the Evidence from Reviews of Qualitative Research). GRADE- CERQual merupakan sebuah pendekatan yang transparan untuk membuat sebuah penilaian secara menyeluruh terhadap “confidence” dari setiap temuan yang dikelompokan dalam 4 kompenen dasar “confidence” yaitu metode, keterbatasan, kohenrensi, kecukupan data, dan relevansi. Grade-CERQual tidak dipakai untuk menilai seberapa bagus sebuah studi kualitatif dilakukan, seberapa bagus systematic review dari penelitian kualitatif dilakukan dan penelitian kuantitatif pada kualiatas layanan kesehatan

hsr2 8


  Refleksi untuk Indonesia:

Grade-CERQual merupakan suatu pendekatan yang secara kuat dapat diterapkan di dunia akademik. Grade-CERQual dapat menjadi panduan dalam proses pengembangan kebijakan di Indonesia. Grade-CERQual dalam QES memberikan cakupan yang cukup luas karena dapat melihat hingga konteks seperti temuan dan suatu artikel dapat mendukung pengambilan keputusan. Kondisi Indonesia yang memiliki keberagaman dalam konteks sesuai jika metode ini dilakukan yaitu penilaian terhadap suatu pengambilan keputusan dengan menggunakan Grade-CERQual.

Reporter : Relmbuss Biljers Fanda


{/tabs}

Link Terkait:

 {jcomments on}

Reportase HSR 2018, Hari Pertama

Senin, 8 Oktober 2018

{tab title=”Sesi 1″ class=”green”}

Health financing Toward UHC: Practical lessons learned from priority setting and strategic purchasing in low and middle – income countries


  Pengantar

Problem di UHC tetap masih pada akses dan sumber dana. Out of pocket spending masih mendominasi di daerah – daerah miskin. Sementara itu penggunaan dalam bentuk Benefit Packages juga harus dikritisi. Apa yang harus diberikan dalam bentuk apa, dan untuk siapa pelayanan diberikan. Tantangan yang ada antara lain data tidak cukup untuk dapat dipakai dalam pengambilan keputusan. Kurang ada keterlibatan civil society. Tantangan berikutnya adalah situasi supply side, misalnya quality improvement, ketersediaan, problem bernegosiasi dengan pihak swasta merupakan contoh. Juga mengenai alokasi sumber dana: kegiatan apa yang harus dibayari dan untuk siapa.

hsr3 1Sesi ini diawali dengan paparan Professor Anthony Culyer dari University of York yang saat ini menjabat sebagai Ketua International Decision Support Initiative (IDSI). Pada intinya disebutkan bahwa dalam situasi saat ini untuk sektor kesehatan, Cost-Effectiveness Analysis (CEA) bukan satu – satunya solusi. Terdapat ideologi tentang kesehatan yang berguna bagi semua. Apa value  dan impact yang harus memiliki bukti. Hal ini bukan sebuah kegiatan politis namun teknis. Di Inggris dikembangkan oleh NICE dan didukung oleh pemerintah dan kelompok oposisi.

Apa yang bisa di – share dari pengalaman di Inggris? NICE dibentuk karena terdapat skandal – skandal medik. Dibutuhkan lebih banyak perencanaan yang bisa memilah – milah impact pelayanan kesehatan, mana yang logis dan mana yang tidak. Untuk itu capacity building mengenai isu ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi situasi terkait nilai dan dampak dari pelayanan kesehatan.

hsr3 2Prof Calypso dari Imperial College Inggris membahas lebih banyak mengenai rationing plan. Tergantung pada situasi di berbagai negara. Perlu independensi negara yang mengembangkan perencanaan pelayanan kesehatan yang masuk ke UHC atau yang tidak. Menentukan Benefit Package dan obat apa yang harus masuk. Untuk itu capacity development penting sekali dalam kegiatan ini. Namun konteks yang ada perlu diperhitungkan. Setiap negara mempunyai regulasi masing – masing. Terdapat perbedaan transparasi dan perbedaan perilaku politikus.

 

 

Bagi para pembaca yang ingin lebih mendalami mengenai diskusi ini lebih lanjut, silahkan membaca buku yang berjudul menarik ini.

BOOKS
What’s In, What’s Out: Designing Benefits for Universal Health Coverage

read more

 

 

 

 

  Refleksi untuk Indonesia

Dalam situasi defisit di BPJS, pertanyaan mengenai apa yang masuk dan apa yang harus keluar dari list pelayanan kesehatan dan serta obat – obatan yang dibutuhkan. Apakah BPJS perlu membayar untuk sebuah obat yang sangat mahal dengan manfaat yang sangat kecil? Apakah BPJS harus membayar teknologi yang tidak cocok lagi? Hal-hal ini menjadi kunci yang perlu dipelajari oleh kita para peneliti kebijakan kesehatan, termasuk para klinisi yang sehari hari berhadapan dengan pasien. Pertanyaan mengenai Apa yang akan didanai oleh BPJS dan untuk siapa, akan menjadi pertanyaan klasik sepanjang masa. Untuk itu perlu sekali membaca buku yang dapat di klik di atas.

Reporter : Laksono Trisnantoro (PKMK UGM)

{tab title=”sesi 2″ class=”red”}

Sesi Workshop: How to write a good paper and get it published: Publishing, peer review and innovation

Pembicara :
Liz Hoffman (Journal Development Manager) dari Maria Zalm (Editor) dari Health Services Research Journal – BioMed Central.

hsr1 1

   Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi:

  1. Publishing
  2. Peer review
  3. Innovation

  Laporan Kegiatan

Materi pertama yang disampaikan adalah apa yang perlu diperhatikan dan pertimbangkan sebelum mengirim manuskrip jurnal. Langkah – langkah yang perlu diperhatikan antara lain: rencanakan waktu publikasi, gunakan bahasa Inggris yang akademis, tampilan jurnal, dan menulis efektif. Sebuah artikel yang baik memuat metode yang cukup mumpuni untuk ukuran sampel dan desain penelitian. Para penulis juga harus memperhatikan apa yang dibutuhkan dalam jurnal tersebut oleh penerbit, seperti struktur manuskrip, metode dan desain, strandar laporan, etikal dan konsen, serta trial registration (jika ada).

Materi berikutnya, keuntungan dari menggunakan peer review, editor dapat mengambil keputusan untuk dapat diterbitkan serta dimana tempatnya, bagi penulis untuk meningkatkan kualitas manuskrip, dan peer review sendiri untuk memperbaharuhi ilmu, dan kontribusi terhadap penulisan. Editor yang dimaksudkan adalah Academic Editor yang bekerja pada spesifik pada jurnal dan merupakan ahli dalam bidang tersebut, dan Professional Editor yang bekerja secara fulltime namun belum memiliki kualifikasi yang cukup. Di sisi lain, Reviewer bisa berasal dari akademisi (peers), orang yang diundang khusus untuk manuskrip spesifik, dapat berupa regular ataupun occasional, atau yang bersedia membantu tanpa paksaan. Sebaiknya sebuah manuskrip tidak di-review oleh: coauthor dari author (penulis) dengan masa kerja 3 – 5 tahun yang lalu), peneliti dari institusi yang sama, peneliti dengan kompetensi yang sama dengan penulis, reviewer yang dieklusi dan diinklusi oleh penulis.

Masalah lain yang sering muncul adalah penamaan penulis. Sekarang, penerbit beberapa kali menerima surat elektronik (e-mail) dari penulis akibat kesalahan dalam penulisan nama. Berikut merupakan alasan yang disebutkan oleh penulis dalam surat perbaikan nama tersebut: penulis biasanya memakai nama depan dan tengah, tidak melaporkan nama lengkap dalam publikasi, makna nama depan dapat berupa marga dan dapat berupa nama panggilan, menggunakan inisial atau nama panggilan, untuk sebagian negara yang harus menerjemahkan nama mereka ke dalam Bahasa inggris, nama yang ditulis tanpa penghubung, dan penempatan huruf besar kecil dalam nama.

Beberapa inovasi dan tips dalam menulis dijelaskan dalam sesi ini, antara lain: terus membaca artikel dan jurnal terkait, Jangan menulis dan memperbaiki di waktu yang bersamaan, perhatikan tabel dan gambar, objektif dalam penulisan, sabar menunggu keputusan, namun jangan ragu untuk mengirimkan sebuah surat “follow up”, baca dan membaca lagi surat keputusan, memperjelas respon ke editor dan reviewer, apabila mendapatkan surat penolakan pastikan apakah penerbit ingin ada pengajuan lagi di lain waktu, dan terakhir seringlah menjadi reviewer untuk penulis yang lain.

  Refleksi untuk Indonesia:

Secara umum, Indonesia masih berjuang untuk meningkatkan jumlah publikasi, dan khusus Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM untuk meningkatkan reputasi dalam hal publikasi tersebut. Kesalahan sebelum dan sesudah menyerahkan manuskrip juga dapat terjadi. Sebelum manuskrip diserahkan dapat berpotensi untuk ditolaknya artikel tersebut, dan sesudah manuskrip tersebut diserahkan dan terpublikasi, maka artikel tersebut akan sulit ataupun tidak dapat ditarik dan diubah nama penulis pada artikel tersebut. Sehingga tidak dapat diklaim sebagai penulis dalam artikel tersebut.

Reporter : Relmbuss Biljers Fanda

 

{tab title=”sesi 3″ class=”orange”}

Pencapaian UHC : Apakah Akuntabilitas Sektor Swasta Bisa Menjadi Salah Satu Solusinya?

Pembicara : WHO dan UHC2030

  Pokok-pokok bahasan/ paparan/ diskusi:

Sesi ini membahas tentang permasalahan yang terjadi pada umumnya di banyak negara yaitu: sistem yang mixed, dan masyakarat yang rata – rata mengakses layanan dari sektor swasta, tetapi hanya sebagian masyarakat terlindungi oleh asuransi; biaya kesehatan terus meningkat tetapi belanja pemerintah untuk kesehatan sangat rendah (kurang dari 5% dari anggaran total pemerintah), dan terdapat tendensi di mana pelayanan yang kompleks dan tidak perlu meningkat. WHO dan UHC2030 membuat sebuah framework sederhana untuk memberi saran kepada pemerintah bagaimana mekanisme akuntabilitas (mereka bergeser dari istilah “regulasi” menjadi “mekanisme akuntabilitas”) karena menyadari bahwa sektor swasta merupakan penyedia yang penting di banyak negara dan harus dilibatkan untuk dapat mencapai UHC, tetapi ada banyak masalah dalam mengoptimalkan potensi ini karena kurangnya pengetahuan atas framework yang dapat digunakan untuk mendorong akuntabilitas.

hsr1 2

Framework ini menunjukkan bahwa mekanisme akuntabilitas harus terjadi di antara pihak yang harus memiliki akuntabilitas dengan pihak yang menerima akuntabilitas. Ada berbagai mekanisme yang dapat digunakan untuk menegakkan standar tertentu yang diharapkan, sebagaimana ditunjukkan oleh gambar berikut ini.

hsr1 3

Buku laporan terkait akuntabilitas sektor swasta dapat dilihat pada link berikut: www.iapreport.org/2018 

 

  Laporan Kegiatan

Sesi ini merupakan sesi participatory, dimana seluruh peserta dikelompokkan ke dalam grup yang masing – masing berperan sebagai “pemerintah”, “sektor swasta”, “peneliti” dan “civil society”. Terlihat dari hasil diskusi di masing – masing kelompok, bahwa setiap aktor di dalam sistem kesehatan memiliki perspektif yang sangat berbeda, kepentingan yang berbeda, dan masing-masing pun memiliki pendapat yang berbeda terhadap solusi yang ditawarkan. Ini merupakan sesi yang menarik (role play) untuk diikuti karena setiap peserta belajar untuk merasakan apa yang dirasakan oleh pihak yang berbeda di dalam sistem.

hsr1 4

Diakui bahwa ada beberapa hal pokok yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi semua, yaitu:

  1. Kurangnya mutual respect dan trust antara pemerintah – swasta, pemerintah – CSO, pemerintah – peneliti, peneliti – CSO, CSO – swasta, swasta – peneliti, dan seterusnya. Kurangnya mutual respect dan trust inilah yang menjadi penghambat dalam mencapai konsensus yang diperlukan untuk menghasilkan solusi.
  2. Ada perbedaan besar antara “profit” dan “profiteering”. Pada dasarnya keinginan mendapatkan profit tidak salah, yang salah adalah profiteering. Baik pemerintah maupun swasta harus menyadari perbedaan ini, sebelum bisa membangun trust.
  3. “Regulasi” juga merupakan kata yang kurang disukai, karena regulasi mengandung unsur
    “aturan” dan “paksaan”. Hal yang dibutuhkan adalah kesadaran bahwa tujuan utama dari regulasi adalah membangun mekanisme akuntabilitas, sehingga yang harus dicari adalah kemampuan untuk membangun mekanisme siapa memiliki akuntabilitas mengenai apa kepada siapa.

  Refleksi untuk Indonesia:

Bagi Indonesia khususnya, penting untuk mulai menumbuhkan “mutual respect” dan “trust” antara pemerintah dan sektor swasta. Sektor swasta di Indonesia merupakan pemain yang penting dan strategis dan harus diajak bekerjasama, bukan hanya “diatur”. Selain itu, harus disadari pula bahwa bukan hanya swasta yang harus akuntabel terhadap pemerintah, tetapi pemerintah juga harus akuntabel terhadap rakyat. Salah satu prinsip dasar dari UHC adalah keadilan dan kesetaraan, dan inilah salah satu aspek yang harus dipenuhi oleh pemerintah terhadap rakyatnya.

Begitu pula, bagi peneliti ada potensi besar utuk terlibat lebih aktif dalam proses membangun mekanisme ini karena ada banyak research gap yang harus dijawab sebelum sebuah mekanisme akuntabilitas dibangun, misalnya data mengenai kualitas layanan yang tersedia, data mengenai ketersediaan layanan di berbagai daerah, data mengenai besarnya pembiayaan untuk setiap layanan yang harus tersedia, dan sebagainya.

Sebagaimana kita ketahui, mayoritas mekanisme akuntabilitas dibangun atas prinsip “stick and carrot”. Berkaitan dengan hal itu, yang juga menjadi pekerjaan rumah khusus bagi Indonesia adalah kita harus menyadari bahwa keberhasilan kerja sama antara pemerintah dan swasta untuk mencapai UHC akan sangat bergantung pada “how big is the stick” dan “how fat is the carrot”.

Reporter: Shita Dewi

 

{tab title=”sesi 4″ class=”green”}

Penggunaan Inovasi Digital untuk Meningkatkan Layanan Kesehatan Ibu Anak dan Keluarga Berencana di Masyarakat 

Pembicara : Panel dari Divisi Kesehatan Ibu dan Anak, Bangladesh

  Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi:

Paparan ini mengenai penggunaan Sistem Informasi Kesehatan berbasis aplikasi yang diujicobakan di 2 kabupaten di Bangladesh pada 2016, dan kini tengah dijalankan di 8 kabupaten lain (dengan pendanaan donor), serta akan diperluas ke 40 kabupaten berikutnya (oleh pendanaan pemerintah). Kader kesehatan merupakan ujung tombak dalam pelayanan kesehatan di Bangladesh karena mereka adalah pihak yang setiap hari berinteraksi langsung dari rumah ke rumah di desa, dan mengumpulkan data serta melakukan layanan edukasi serta promotif preventif kepada masyarakat. Dengan perluasan ini, sistem informasi kesehatan berbasis aplikasi ini akan dimiliki oleh kurang lebih3000 kader kesehatan di Bangladesh dari total 4000-an kader yang ada.

hsr1 5

Data yang dikumpulkan adalah data populasi (personal, nomor telepon, karakteristik rumah tangga, geografis, sosio ekonomi), data pelayanan (terkait kesehatan ibu dan anak, kesehatan remaja, kesehatan reproduktif (termasuk penggunaan/non penggunaan KB, imunisasi), data administratif (faskes yang biasa diakses, dan sebagainya). Semua orang yang terdata diberi kartu khusus dengan Unique Identifier. Data ini kemudian digunakan untuk keperluan monitoring kesehatan ibu dan anak, kematian dan kelahiran, unmet needs dalam KB. Selain itu, data juga dapat diolah untuk mengestimasti kebutuhan layanan yang harus tersedia di kabupaten tersebut (termasuk proyeksi sumber daya). Data ini sangat bermanfaat untuk melakukan perencanaan yang lebih baik terhadap kehamilan berisiko.
Aplikasi yang tersedia dimiliki oleh berbagai tingkat dalam sistem kesehatan:

  1. Di level paling bawah, aplikasi digunakan oleh kader kesehatan untuk melakukan input/entry data;
  2. Aplikasi menghasilkan dashboard yang tersedia di level pengawas/supervisi untuk melakukan pemantauan (baik pemantauan terhadap status kesehatan masyarakat mau pun pemantauan terhadap kinerja kader kesehatan) dan rencana kerja untuk pemantauan, maupun pelaporan
  3. Dashboard juga tersedia di level kabupaten, sehingga dapat melakukan pemantauan terhadap kebutuhan faskes di wilayah sub distrik tertentu dan khususnya kualitas layanan
  4. Dashboard juga tersedia di level nasional, sehingga pemantauan juga dapat dilakukan di level nasional dan pengambil kebijakan.

Link video eMIS bisa diakses pada link berikut

link video


  
Laporan Kegiatan

Sistem informasi yang berbasis elektronik/aplikasi ini dimungkinkan karena setiap kader kesehatan di kabupaten menggunakan tablet. Aplikasi ini juga tetap dapat digunakan walaupun di daerah tersebut tidak tersedia jaringan internet. Data tetap dapat di-entry secara offline dan secara otomatis akan terkirim ke server dan cloud ketika jaringan internet tersedia. Data secara otomatis akan disinkronisasi harian.

Isu yang muncul seperti biasa adalah isu keamanan data pribadi. Saat ini data pribadi ini hanya dapat diketahui oleh kader kesehatan yang memiliki catchment area tersebut, sementara data yang dapat diakses oleh supervisor dan provider (faskes) dan tingkat nasional hanya data yang diidentifikasi oleh nomor Identifier.
Isu lain yang mirip dengan Indonesia adalah sistem yang terfragmentasi berimplikasi pada kesulitan untuk melakukan tracking terhadap populasi target, data yang sering tidak sinkron, dan seterusnya. Selain itu, karena sistem bersifat elektronik/aplikasi, ini mengurangi risiko data yang hilang, terduplikasi, dan redundant, karena aplikasi ini secara progresif mengurangi berbagai form yang biasanya harus diisi oleh kader maupun bidan desa.

hsr1 7

Sistem ini juga memungkinkan informasi pada dashboard yang real-time, sehingga meningkatkan kemampuan supervisi dan respons cepat dari para penanggung jawab di faskes, dinas kesehatan, maupun bada keluarga berencana.

  Refleksi untuk Indonesia:

Seperti di Indonesia, Bangladesh juga memiliki dua ‘pemain’ dalam sektor kesehatan yaitu Kementerian Kesehatan dan badan khusus pelaksana Keluarga Berencana. Penggunaan sistem manajemen informasi kesehatan berbasis aplikasi ini memungkinkan kedua badan tersebut berkoordinasi karena database (yang disimpan dalam bentuk Cloud) dapat diakses oleh kedua badan tersebut. Integrasi data seperti ini perlu pula diinisiasi di Indonesia untuk menghindarikan duplikasi data atau tidak sinkronnya data. Ini adalah investasi yang layak dipertimbangkan. Selain itu, kita perlu pula berpikir tentang kerja sama yang dapat diinisiasi dengan pihak swasta dalam penyediaan tablet maupun software yang dibutuhkan karena teknologi ini sebenarnya telah tersedia di Indonesia dan dengan mudah dapat dibuat berbasis open source.

Reporter: Shita Dewi

 

{tab title=”sesi 5″ class=”grey”}

Diskusi Sesi Makan Siang

hsr1 8

Sebuah sesi dalam makan siang membahas peluncuran buku baru mengenai Evidence Synthesis for Health Policy and Systems: A Methods Guide. Buku ini diedit oleh Etienne V. Langlois, Karen Daniels, dan Elie A.Akl. Diterbitkan oleh WHO dan Alliance for Health Policy and Systems Researchs.

  Laporan Kegiatan

Diskusi dibuka oleh para penulis yang berasal dari berbagai negara. Ditekankan bahwa buku ini membahas evidence synthesis yang merupakan sebuah komponen fundamental dalam pendekatan “evidence-informed” dalam pengambilan keputusan. Sintesa bukti-bukti dalam kebijakan kesehatan yang dilakukan semakin disadari sebagai hal penting dalam proses pembuatan keputusan.

Tujuan dari penerbitan guideline ini untuk:

  1. Untuk menyoroti dan memberikan panduan tentang fitur utama dan pendekatan untuk sintesis HPSR;
  2. Untuk menampilkan contoh-contoh dari sintesis bukti HPSR yang dilakukan dengan baik dan inovatif yang mencakup berbagai pertanyaan dan metode;
  3. Untuk mendukung upaya penguatan kapasitas dalam sintesis bukti HPSR; dan
  4. Untuk mempromosikan integrasi.

Hal yang menarik dalam diskusi ini, disebutkan bahwa penggunaan evidence merupakan hal yang membutuhkan informasi mengenai konteks kebijakan setempat. Dalam diskusi dipaparkan oleh Prof. Fadi El-Jardali mengenai bagaimana dampak terkait kasus pengungsi Syria di Lebanon. Konteks kultur Arab dalam pengambilan keputusan dibahas dengan menarik.

Dibahas pula bahwa guideline seperti ini, walaupun masih baru sudah diterima oleh berbagai jurnal. Global Health sebagai contoh, adalah jurnal yang sudah menerima metode seperti ini.

Buku ini dapat di-download melalui laman WHO: http://apps.who.int/iris/handle/10665/275367 

atau langsung klik di sini:

http://apps.who.int/

 

 

  

  Refleksi untuk Indonesia

Pemahaman mengenai sintesa terhadap bukti-bukti menjadi hal baru untuk dipelajari dan digunakan di Indonesia. Saat ini ada kegamangan dalam menyikapi mengenai apa yang disebut sebagai Evidence Based Policy yang terlihat sangat dekat dengan Evidence Based Medicine. Panduan ini menyatakan dengan adanya pendekatan “Realist” menunjukkan bahwa metodenya tidak seperti systematic review yang sangat sulit. Memang ada pertanyaan baru, apakah panduan ini menyederhanakan proses review untuk kebijakan yang mungkin sangat kompleks. Hal ini yang akan menjadi pembahasan di Indonesia, salah satunya dengan pemaparan penggunaan metode Realist Evaluation di Forum nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia (7 hingga 9 November 2018 di Yogyakarta), yang akan me-review kebijakan JKN.

Reporter: Laksono Trisnantoro (PKMK UGM)

 

{/tabs}

Link Terkait:

 {jcomments on}