Maret 2014

underline

Maret 2014

Masalah ketidakseimbangan jumlah dokter spesialis merupakan hal yang mengancam keadilan JKN. Untuk itu, residen perlu dianggap sebagai tenaga medik yang membantu pelayanan di JKN. Pada bulan ini diselenggarakan Seminar Penggunaan Residen sebagai Tenaga Medik untuk Menyeimbangkan Tenaga kesehatan di Daerah Sulit dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional dan Workshop Pengembangan Dukungan untuk Tim Residen oleh “Unit Pengiriman Residen” di RS Pendidikan/Fakultas Kedokteran Kamis-Jumat, 6-7 Maret 2014 Ruang Senat Lt. 2, Gd. KPTU Fakultas Kedokteran UGM.

Kegiatan Seminar dan Workshop ini diselenggarakan dalam rangka Annual Scientific Meeting tahun 2014 di Fakultas Kedokteran UGM selama dua hari. Hari pertama diselenggarakan seminar. Kegiatan seminar ini merupakan bagian tak terpisahkan seminar lainnya yaitu: “Manajemen Residen dalam era BPJS: Apakah dapat menjadi Dokter Penanggung Jawab Pasien di Daerah Jauh?”. Hari kedua dilakukan Workshop untuk penguatan tim RS Pendidikan dan Fakultas Kedokteran. Workshop ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seminar hari pertama.

Kegiatan Selengkapnya


 

Kegiatan lain yang diselenggarakan bulan ini adalah Seminar dan Workshop Leadership Series Peran Kepala Dinas Kesehatan, Direktur Rumah Sakit Dan Ketua Komite Medik Dalam Mencegah Fraud Pada Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional Sabtu, 15 Maret 2014 Ruang Senat Gd. KPTU Lt.2 FK UGM. Kegiatan ini merupakan bagian dari Annual Scientific Meeting dalam rangka DIES NATALIES FK UGM Ke-68 dan Ulang Tahun RSUP DR. SARDJITO ke-32.

Secara umum, fraud dalam JKN merupakan hal yang harus diantisipasi keberadaannya di JKN. Seminar dan workshop ini mendiskusikan mengenai pelaksanaan pengendalian fraud dalam JKN sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam seminar ini, dibahas juga bagaimana peran para leader di sistem kesehatan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam implementasi JKN tersebut, serta bagaimana meningkatkan kinerja komite medis dalam implementasi clinical governance di RS.

kegiatan selengkapnya


 

Kegiatan lainnya dalam bulan ini adalah Workshop “Peningkatan Peran Perguruan Tinggi dalam Menurunkan Kematian Ibu dan Bayi” 29 Maret 2014 R. Senat Lt.2, Gd. KPTU FK UGM. Pada bulan Maret ini diselenggarakan pertemuan blended learning untuk membahas peranan Perguruan Tinggi dalam menurunkan kematian ibu dan bayi.

kegiatan selengkpanya

Ada enam regulasi yang disahkan pada bulan Maret 2014 . Silakan klik link berikut Lampiran

 

 

April 2014

underline

April 2014

Bulan April 2014 banyak even ilmiah yang diikuti dan diselenggarakan oleh PKMK. Pada bulan April ada Bedah Buku: Pola dan Akar Korupsi Menghancurkan Lingkaran Setan Dosa Publik 4 April 2014. Acara ini sempat didokumentasikan oleh tim PKMK FK UGM dalam bentuk reportase. Buku yang akan dibahas kali ini ialah buah karya Prof. drg. Etty Indriati, PhD (FK UGM) yang membahas isu pelik, yaitu korupsi. Prof. Etty berguru pada Prof. Susan Rose-Ackerman dari Universitas Yale. Bedah buku yang berfokus pada upaya anti korupsi tersebut telah terselenggara pada Jum’at (4/4/2014) di Auditorium Pertamina Tower, FEB UGM.

Penyelenggara acara ini ialah Gerakan Masyarakat Transparasi Akademis untuk Indonesia (Gemati) dan pengantar disampaikan oleh Dr. Eko Suwardi, PhD, Wadek Bidang Perencanaan dan Informasi, FEB UGM. Kegiatan atau gerakan anti korupsi, selaras dengan visi misi UGM yang menjulang tinggi dan mengakar pada local wisdom, harapannya hasil diskusi menjadi ilmu dan amalkan, jelas Dr. Eko Suwardi. Moderator acara kali ini ialah Dr. Rimawan Pradipto

kegiatan selengkapnya


Dalam bulan ini, ada kegiatan internasional yang berlangsung yaitu Pertemuan International Forum on Quality & Safety in Healthcare: Strive for Excellence, Seek Value, Spark a Revolution di Paris, 8-11 April 2014. British Medical Journal (BMJ) dan Institute for Healthcare Improvement (IHI) kembali mengadakan forum internasional untuk membahas berbagai perkembangan upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan. Forum ini diselenggarakan di The Le Palais des Congres, Paris, Perancis. Total jurnal yang disajikan sebanyak 85 sesi dalam waktu tiga hari baik sesi pleno maupun pararel.

kegiatan selengkapnya


Kegiatan PKMK yang diselenggarakan pada bulan ini adalah Serial Diskusi Kebijakan Kesehatan di Bulan April – Mei 2014. Pertemuan 1: 11 April 2014, Jum’at, di Yogyakarta, pukul 10.00-14.30 Wib dengan tema: Reformasi dalam kebijakan desentralisasi

Topik yang dibahas:

  1. Apa yang terjadi dalam desentralisasi di sector kesehatan selama 15 tahun terakhir ini?
  2. Apa yang kurang dan apa yang baik
  3. Bagaimana situasi saat ini: Apa saja yang akan diubah?
  4. Bagaimana masa depannya.

kegiatan selengkapnya


Kegiatan lainnya adalah Workshop Pembiayaan Kesehatan untuk Tindakan Preventif dan Promotif Dalam era Jaminan Kesehatan Nasional pada Kamis, 17 April 2014, Hotel Santika Jakarta. Tujuan acara tersebut ada beberapa, antara lain:

  1. Membahas reformasi pembiayaan kesehatan dalam beberapa decade terakhir
  2. Membahas berbagai perkembangan terbaru dalam pembiayaan kesehatan
  3. Membahas arah pembiayaan tindakan preventif dan promotif

kegiatan selengkapnya


Kegiatan lainnya adalah Diskusi mengenai Kebijakan Kesehatan Indonesia: Reformasi Dalam Pengorganisasian Rumah Sakit diFK UGM, pada 23 April 2014, pukul 08.00-14.30 WIB. Tujuan diskusi ini adalah untuk membahas mengenai:

  1. Bagaimanakah proses pengembangan otonomi RS? Sesuai dengan hasil studi dari PKMK (Health in Transition dan Asia Pacific Observatory)
  2. Bagaimana peran sistem pengawasan mutu pelayanan dan hukum?
  3. Bagaimanakah peran Dinas Kesehatan dalam pengawasan?
  4. Bagaimanakah Prospek Pengembangan DitJen BUK agar lebih fokus pada fungsi regulator?
  5. Mengapa terjadi surplus dalam era JKN. Apakah terjadi double financing?

kegiatan selengkapnya


Di bulan ini diselenggarakan pula kegiatan internasional yaitu Konferensi WHO-SEARO tentang Advancing Universal Health Coveragein South East Asia Paro, Bhutan (23 – 25 April 2014). WHO-SEARO mengadakan konferensi dengan tema: Advancing Universal Health Coverage in South East Asia, dengan tujuan untuk mengambarkan pencapaian UHC dan tantangan pada aspek konsep serta aspek praktis dalam penerapan UHC di kawasan ini. Konferensi diadakan di Paro, Bhutan, mulai 23 April 2014 sampai dengan 25 April 2014. Simak reportasenya di link berikut

klik disini


Selain itu, dalam bulan ini juga diselenggarakan Diskusi Kebijakan Kesehatan Reformasi Pengorganisasian Tenaga Kesehatan Selasa, 29 April 2014 Gedung Granadi Kuningan Jakarta. Diskusi ini diusahakan menjawab pertanyaan berikut:

  1. Apa hasil dari penataan tenaga kesehatan, khususnya dokter pasca desentralisasi?
  2. Bagaimana ideologi dalam proses pendidikan tinggi kedokteran berusaha diubah melalui UU Pendidikan Kedokteran?
  3. Bagaimana sistem pendidikan tenaga kedokteran dapat menjamin ketersediaan di daerah sulit dan juga di front internasional?

kegiatan selengkapnya

Ada tiga regulasi yang disahkan pada bulan April 2014. Silahkan klik link berikut Lampiran

 

 

 

Mei 2014

underline

Mei 2014

Pada bulan kelima ini diselenggarakan The 8th Postgraduate Forum on Health Systems and Policy Theme: Medical Doctors Migration and Health System Developmentin South East Asia: Implication for Medical Doctors and Specialists Education, di Yogyakarta pada 13-14 Mei 2014. Pertemuan diselenggarakan oleh: Center for Health Policy and Management Management and Graduate Program in Health Policy and Management, Gadjah Mada University, Indonesia and World Health Organization (WHO) In Collaboration with: Naresuan University Medical School, Thailand; UKM Medical Centre, National University of Malaysia, United Nation University International Institute for Global Health, Nossal Institute, and University of Melbourne.

Tujuannya adalah:

  1. To describe global trend in health care services
  2. To identify market potential from epidemiological and socio economic point of view in ASEAN
  3. To identify the concept and vision of the 3 countries on medical doctor migration within ASEAN region.
  4. To identify the health system development in the 3 countries to accommodate migration of medical doctor in ASEAN

kegiatan selengkapnya


Di bulan Mei ini diselenggarakan 1st Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) di Jakarta, 29 – 31 Mei 2014 “Tobacco Control-Saves Lives and Saves Money“. Sejumlah 392 delegasi dari 28 provinsi yang terdiri dari pemerintah, perwakilan 25 universitas, perwakilan 7 organisasi professional, LSM, pegiat hak asasi manusia, pelajar dan media berkumpul pada acara the 1st Indonesian Conference on Tobacco or Health di Jakarta untuk membicarakan upaya pencegahan dan pengendalian penggunaan tembakau di Indonesia.

kegiatan selengkapnya

 

Ada enam regulasi terkait kesehatan yang disahkan pada bulan Mei 2014 . Silahkan klik link berikut lampiran

 

 

 

Juni 2014

underline

Juni 2014

Banyak regulasi yang disahkan pada bulan Juni 2014. Dalam aturan ini masih banyak yang terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional, antara lain:

  1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2014
    Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGS) Ditetapkan pada tanggal 2 Juni 2014 dan diundangkan pada tanggal 16 Juni 2014
  2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014
    Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, Ditetapkan pada tanggal 3 Juni 2014 dan diundangkan pada tanggal 25 Juni 2014

Regulasi selengkapnya silakan klik ink berikut Lampiran

 

 

 

 

 

Juli 2014

underline

Juli 2014

Ada dua regulasi penting yang disahkan bulan ini,

  1. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
    Sejatinya, PP ini mengatur Kesehatan Reproduksi secara komprehensif tetapi yang banyak disorot adalah Bagian IV Pasal 31-39 terkait aborsi.Banyak pro dan kontra yang berkembang di masyarakat terkait isu legalisasi aborsi. Situasi ini mendorong Kementerian Kesehatan untuk mensosialisasi dan mengklarifikasi isu-isu yang muncul secara intensif.
  2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun 2014
    Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan

Regulasi selengkapnya yang disahkan bulan ini, silakan klik link berikut lampiran

 

 

 

 

 

 

Pertemuan Pakar: Memperkuat kapasitas Peneliti dan Pengambil Kebijakan dalam Health Policy and System Research (HPSR)

lucy

Reporter: Prof. Laksono Trisnantoro

Bagian 1: Laporan Kegiatan

Sesi 1: Moderator Irene Agyepong

Pemetaan Pendidikan dan Pelatihan untuk HPSR.

Pembicara 1: Pengajaran dan pelatihan untuk HPSR. Presentasi Mapping Studies oleh Tara Tancred.
Pembicara 2: Pemetaan institusi-institusi dan jaringan kerja oleh Michelle Jiminez
Pembicara 3: Adnan Hyder, Pertemuan Baltimore dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health

Sesi 2: Round Table Discussion

Sesi ini membahas berbagai laporan dari negara-negara yang melakukan pengembangan Riset Kebijakan dan Sistem Kesehatan.

Sesi 3: Brainstorming Pengembangan Kapasitas

lucy

Setelah makan siang, dilakukan sesi 3 yaitu brainstorming mengenai arah pengembangan kapasitas HPSR dan peran Aliance. Brainstorming dipimpin oleh Prof Lucy Gilson dari University of Cape Town. Hasil brainstorming ada tiga yaitu:

A. Isu-isu pengembangan HPSR ke depan? Dalam brainstorming ini ada berbagai hal yanG masuk sebagai isu pengembangan untuk HPSR.

  • Apakah penting untuk membedakan fokus Health Policy and Health System? Hal ini menjadi kunci, karena metode penelitian berbeda. Dalam hal ini memang perlu dilihat ada riset kebijakan, ada riset sistem kesehatan, dan kombinasi keduanya.
  • Kelompok-kelompok mana yang perlu dilibatkan: dosen, peneliti, pengambil keputusan, civil society. Kemampuan perlu dikembangkan di dalam konteks perorangan, kelembagaan, serta jaringan.
  • Pengembangan harus dilakukan di level organisasi, National Level, Regional-Cross Regions.
  • Perlu perhatian mengenai politics and policy.
  • Apa gap dalam inisiasi saat ini?
  • Perlu Monitoring and Evaluation.
  • Perlu ada komunikasi yang lebih baik.
  • Tujuan HSPR bukan hanya untuk penelitian saja, melainkan juga untuk mengubah sistem.

Pihak yang terlibat antara lain perorangan, organisasi (PH, university, LSM, funders), kemudian two global bodies yaitu Alliance, dan Health System Global.

B. Beberapa pandangan ke depan:

  • Support the Young researchers
  • South-South partnership
  • Pub Health and Social-Scientist
  • Karir yang baik untuk mereka yang meneliti di kebijakan dan manajemen
  • Pengembangan Modul pendidikan dan pelatihan
  • Kemampuan mentoring perlu dikembangkan
  • Mutu Penelitian
  • Masalah kesulitan bahasa perlu diperhatikan termasuk bagaimana mind-set
  • Domestic Funding perlu dicari
  • Monev perlu diperhatikan termasuk efektifitas kebijakan
  • Perlunya pembahasan Value and Ethics dalam penelitian kebijakan dan sistem kesehatan.

C. Peranan HPSR:

Dalam konteks global, Alliance mempunyai berbagai peran sebagai berikut:

  • Tenaga untuk mengumpulkan berbagai pihak (Convening Power) yang terkait.
  • Global Position for influencing many persons
  • Enabler what others are doing
  • Direct Support untuk pengembangan kapasitas.
  • Knowledge Management
  • Innovation
  • Act as a broker and entrepreneur.

Setelah brainstorming, kemudian dilakukan diskusi kelompok ke tiga unit

Hari ke-2 banyak membahas mengenai peran Alliance. Peran-peran ini masih akan terus dikembangkan dan dibahas dengan Dewan Alliance. Dalam pertemuan hari-2, para kontributor menyebutkan berbagai peran, antara lain:

  1. Repository (pelatihan, produk riset, ilmu pengetahuan dan lain-lain)
  2. Convening (mengumpulkan) orang-orang dan berbagai pihak
  3. Mengembangkan kapasitas Health System di daerah yang rentan (fragile), misal pada kasus Ebola.
  4. Mengembangkan sumber daya domestikuntuk penguatan kapasitas HSPR.
  5. Sebagai contoh untuk role Model, Procedures and Progress
  6. Networking with champions and existing institution

 

 

Bagian 2. Refleksi, Relevansi untuk Indonesia

 PENGANTAR

whobuildingPekerjaan sebagai tenaga ahli yang memberikan masukan-masukan bagi WHO tentunya tidak hanya terbatas memberikan. Selama pertemuan, sebagai tenaga ahli, dapat belajar dari berbagai negara dan juga dari pakar-pakar lainnya. Oleh karena itu, kesempatan selama dua hari di Geneva tidak hanya dalam konteks memberi masukan namun juga mengambil makna atau refleksi sebagai hasil observasi dan pembelajaran. Dalam hal ini, refleksi dilakukan dalam konteks Indonesia yang juga sedang mengembangkan kapasitas dalam penelitian kebijakan dan sistem kesehatan.

Sebagaimana yang (sekarang ini) sedang dikembangkan dalam web www.kebijakankesehatanindonesia.net Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia aktif mengembangkan kemampuan para dosen dan peneliti untuk melakukan penelitian Kebijakan dan Sistem Kesehatan. Dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia, ada lebih dari 150 FKM, 70 FK, dan banyak Poltekkes yang membutuhkan kemampuan penelitian kebijakan dan sistem kesehatan. Setiap tahun, JKKI menyelenggarakan program pengembangan kapasitas penelitian.

Pertemuan di Geneva, ini menjadi sangat relevan dalam usaha ini. Ada berbagai pembelajaran yang dapat ditarik dari diskusi untuk keperluan Indonesia. Setelah mengikuti Workshop selama dua hari ini, di bawah ini refleksinya.

  Kebaruan isu dan masalah serta jenis penelitian

  • Penelitian Sistem dan Kebijakan Kesehatan merupakan hal yang baru di Indonesia. Dalam hal ini, ternyata di tingkat global juga masih dalam tahap pengembangan. Dengan demikian, pengembangan di Indonesia tidak terlalu tertinggal dibanding dengan pengembangan di global.
  • Salah satu isu yang menjadi perdebatan adalah: Apakah perlu memisahkan antara Health System dan Health Policy Research. Hal ini memang menarik, ada pragmatism dimana ada tiga kelompok yang tidak hitam putih.
    1. Kelompok Penelitian Kebijakan Kesehatan (Health Policy Research), yang muatannya banyak pada kebijakan.
    2. Kelompok Penelitian Sistem Kesehatan (Health System Research), yang banyak membahas sistem kesehatan, dan
    3. Kelompok Penelitian Sistem dan Kebijakan Kesehatan. Dalam hal ini, memang peneliti di Indonesia juga menggunakan pendekatan ketiga jenis ini yang tentunya saling terkait.

      gen18
  • Siapa yang perlu aktif? Dalam hal ini, tidak hanya dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat atau FK, namun juga dosen dari FISIPOL (Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik). Dalam konteks Riset Kebijakan, berbagai metode penelitian yang dipergunakan di FISIPOL perlu dipergunakan dalam konteks kebijakan kesehatan (Health Policy Research).


  Apa makna Alliance untuk Indonesia?

  • Apakah penguatan HPSR untuk tujuan internasional atau nasional? Jawabannya adalah penguatan ini untuk kebijakan internasional dan domestik dalam sektor kesehatan atau saling melengkapi.Dalam hal ini, peranan network domestik seperti Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) dapat saling menguntungkan dala hubungannya dengan AHSPR.
  • Tujuan JKKI bekerja adalah men-support penyusunan kebijakan, termasuk penelitian-penelitian kebijakan dan sistem kesehatan. JKKI telah ditetapkan untuk sementara menggunakan model dimana kegiatan-kegiatan Jaringan dilakukan oleh anggota. Untuk sementara ada sistem koordinasi dari UGM sampai ada kemampuan untuk berjalannya Yayasan.
  • Apa peranan JKKI? Apakah mirip dengan Alliance?
    1. Repository yang merupakan tempat untuk menyimpan dan menyebarkan berbagai materi pelatihan, produk riset, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Saat ini kegiatan semacam ini dilakukan oleh UGM dengan berbagai web kebijakan dan manajemen.
    2. Fungsi mengumpulkan orang-orang dan pihak terkait, dilakukan secara besar dalam Forum Tahunan yang dikerjakan secara bergantian. Pada tahun 2015, akan diselenggarakan di Padang dengan penyelenggara Universitas Andalas. Kegiatan-kegiatan pertemuan ilmiah lain dapat dilakukan oleh tiap-tiap anggota.
    3. Mengembangkan kapasitas Health System di daerah terpencil, misal Papua dan NTT.
    4. Mengembangkan sumber dana untuk Riset Kebijakan dan Sistem Kesehatan. Kegiatan ini akan dilakukan oleh cikal bakal Yayasan Kebijakan Kesehatan.
    5. Melakukan kerjasama dengan jaringan serupa di negara lain.


  Bagaimana masalah sumber dana untuk Penelitian Sistem Kesehatan dan Penelitian Kebijakan Kesehatan?

  • Sumber dana berasal dari mana? Di level internasional, memang tergantung dari donor. Hal serupa juga terjadi di Indonesia.
  • Sebaiknya dari mana dana pengembangan dan pelaksanaan penelitian kebijakan? Dalam hal ini, perlu dipikirkan untuk mencari dana dalam negeri, yang diatur dengan peraturan. Misalnya untuk setiap program dan kebijakan kesehatan perlu ada anggaran 1% (sebagai gambaran) untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi kebijakan dan program-programnya. Dana ini bisa berasal dari pemerintah pusat ataupun daerah.

  Bagaimana Etika dalam Riset Kebijakan di Indonesia

Di Indonesia pasti akan mengalami berbagai masalah etika penelitian, misalnya:

  • Masalah Informed-consent
  • Melaporkan hasil buruk
  • Adanya sensor atau embargo hasil

  Bagaimana cara menyebarkan Metode Penelitian dan Modul?

Di Indonesia perlu dilakukan identifikasi lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian yang tertarik mengembangkan Riset Kebijakan dan Riset Sistem Keseahtan. Hal ini penting untuk mendukung kebijakan desentralisasi di sektor kesehatan, serta pelaksanaan kebijakan-kebijakan besar nasional seperti Jaminan Kesehatan Nasional, AIDS, TB, Malaria, KIA dan berbagai hal lainnya.

Perlu mengembangkan teknologi penyebaran dan diseminasi yang tepat guna dan efisien. Dalam hal ini pilihan Blended Learning merupakan hal yang penting. Ada beberapa program pengembangan di tahun 2015 dengan menggunakan Blended Learning.

  • Mengembangkan materi untuk policy influence ke Pemerintahan yang baru di setiap Kelompok Kerja. Kegiatan ini akan dilakukan dalam tahun 2015.
    1. Pelatihan mengenai Stakeholders analysis
    2. Pelatihan proses policy Influence
    3. Pelatihan mengenai bagaimana mengarahkan hasil ke pengambil keputusan.
    4. Pelatihan teknik berdebat dan argumentasi.
  • Mengembangkan Modul-modul pelatihan dalam tahun 2015.

Dimulai di bulan Desember 2014. Akan diluncurkan pada bulan April 2015
Sebagai follow-up partisipasi ini, akan diteruskan dengan rapat kerja JKKI dan rencana kegiatan di tahun 2015. Agenda yang akan dilakukan di tahun 2015 antara lain:

  • Penelitian-penelitian
  • Pelatihan dan Workshop
  • Penyebaran ilmu
  • Penulisan Policy Brief
  • Seminar-seminar
  • Forum Nasional

Demikian refleksi kegiatan di Geneva.

 

{jcomments on} 

Reportase Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal dalam Era JKN

giri

Sambutan dan Pembukaan

giriPusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM bekerjasama dengan Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) Komisariat Fakultas Kedokteran UGM, pada hari Sabtu, 13 Desember 2014 menyelenggarakan Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional. Seminar yang bertempat di Ruang Senat Fakultas Kedokteran UGM tersebut mengangkat tema “Bagaimana Mengurangi Kesenjangan Geografis yang Semakin Besar?”. Membuka acara seminar, Dekan Fakultas Kedokteran UGM Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, SpB (K)Onk memberikan apresiasi kepada tim PKMK FK UGM dengan salah satu program Sister Hospital-nya di beberapa daerah khususnya daerah tertinggal, terbukti mengangkat derajat kesehatan masyarakat di daerah tersebut. Sehingga harapannya program dan dukungan ini dapat diteruskan.

Sementara itu Penanggung Jawab kegiatan, dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD mengemukakan dalam sambutan pembukaannya, bahwa fakta menarik dan paling mencolok yang ada di Indonesia adalah masalah kesenjangan. Baik kesenjangan dari pembangunan infrastruktur, sosial, ekonomi, termasuk pembangunan sektor kesehatan. Dan yang paling memprihatinkan, fenomena yang terjadi adalah kecenderungan banyaknya warga negara Indonesia di perbatasan yang memilih pindah ke negara tetangga karena merasa kurang diperhatikan di Indonesia.Sulitnya berbagai akses menuju kesejahteraan, salah satunya pelayanan kesehatan menjadi alasan maraknya fenomena tersebut. Oleh karena itu seminar kali ini, diharapkan akanmenghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang dapat diaplikasikan ke tataran kebijakan, untuk kemudian dipraktekkan melalui aksi-aksi nyata jangan hanya sampai pada tataran teoritis saja.

Demikian pula disampaikan oleh Ketua Kagama, Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA bahwa memang ketersediaan SDM dan fasilitas kesehatan masih menjadi persoalan utama sektor kesehatan di daerah tertinggal. Oleh karena itu UGM yang menjadi pioneer pembangunan daerah tertinggal, tidak pernah berhenti untuk membantu perjuangan masyarakat di daerah tertinggal guna mendapatkan keadilan pembangunan, termasuk di bidang kesehatan.

 

SESI 1: Situasi terkini pelayanan kesehatan di daerah tertinggal

  Kementerian Kesehatan

bambang sMengawali sesi pertama kegiatan seminar, Staf ahli Kementrian Kesehatan RI Bidang Peningkatan Kelembagaan dan Desentralisasi, dr. Bambang Sardjono, MPH menjelaskan bahwa sesuai 9 agenda prioritas (nawa cita) Pemerintahan Jokowi-JK salah satunya ialah pembangunan Indonesia dimulai dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa-desa dalam NKRI. Namun fakta memprihatinkan yang terjadi di lapangan, masyarakat di perbatasan justru lebih senang mencari akses pelayanan kesehatan di negara tetangga karena dirasa lebih mudah. Bambang Sardjono juga membenarkan bahwa masalah kesenjangan masih merupakan persoalan utama yang terjadi antar daerah di Indonesia, termasuk dalam pelayanan kesehatan. Sehingga pendekatan yang perlu dibuat adalah, khusus untuk masyarakat di daerah tertinggal khususnya di pedalaman tidak hanya sekedar dibuatkan kartu sehat saja namun perlu ada sistem khusus yang diberlakukan untuk mereka.

Selain itu, kendala lain dalam upaya pembangunan di daerah tertinggal yakni masalah lokalitas. Banyaknya SDM yang kurang kompeten duduk di jajaran pembuat kebijakan daerah, lebih disebabkan oleh faktor lokalitas yang berkaitan dengan kondisi politik di daerah tersebut sehingga maksimalisasi program kebijakan sulit tercapai. Belum lagi masalah ketidaktersediaannya infrastruktur pendukung, seperti sumber daya listrik dan air menyebabkan sulitnya mencari tenaga kesehatan yang mau bertugas di daerah tertinggal.Sehingga perlunya menanamkan nilai pengabdian kepada calon-calon tenaga kesehatan Indonesia, untuk mau berkontribusi mendukung pemerataan pembangunan.

 

  Pembahasan materi (Kagama Kedokteran)

budiMenanggapi penjelasan dari Kementrian Kesehatan, dr. Budiono Santoso, PhD, SpF (K) dari Kagama mengemukakan agar pemerintah jangan hanya menggunakan parameter statistik dalam mengukur keberhasilan suatu program, karena banyak laporan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Budiono Santoso mencontohkan, seperti ketersediaan oksitosin di puskesmas di Indonesia, berdasarkan laporan statistiknya angkanya cukup merata antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, namun faktanya ada over stock di beberapa daerah, demikian pula ada under stock di beberapa daerah lain. Selain itu, dengan Rancangan Teknokratik yang masih sangat birokratis dan terpusat, menyulitkan bottom up planning dari daerah sebagai garis depan penerap kebijakan sehingga diperlukan desentralisasi perencanaan kebijakan, serta koordinasi vertikal dan horizontal antar lembaga. Budiono berpendapat, bila tidak kunjung diperbaiki, akan selalu ada kesenjangan antara outcome program dengan praktek di lapangan.

 

  SESI DISKUSI

Sementara itu dalam diskusi yang berlangsung cukup menarik, muncul beragam masukan, gambaran, serta pendapat dari para peserta seminar. Seperti dikemukakan oleh Sunarno selaku tenaga kesehatan yang pernah bekerja di Papua, tentang pentingnya pendekatan kultural untuk bisa menyentuh masyarakat di daerah tertinggal dalam penerapan program pemerintah, termasuk bidang kesehatan. Karena faktor budaya memainkan peran penting dalam keberhasilan program, bila mau memahami karakter dan kebiasaan masing-masing masyarakat di daerah tertinggal khususnya pedalaman.
Demikian pula disampaikan oleh salah satu peserta dr. Aisyah, bahwa perlunya membuat puskesmas percontohan di daerah tertinggal dan program residensi tenaga kesehatan, dimana tentunya hasil program tidak dapat diukur dalam waktu yang singkat, namun setidaknya membutuhkan waktu sekitar 10-15 tahun atau 3 periode kementrian untuk melihat efektifitas program.

Pengalaman Empirik: Berasal dari Riset dan Kegiatan Konsultasi PKMK FK UGM

  Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

hanibalMasih berkaitan dengan Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal, dr. Hanibal Hamidi, M.Kes dari Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengakui bahwa memang ada gap yang besar antara daerah maju dengan daerah tertinggal di Indonesia, termasuk gap dalam bidang pelayanan kesehatan.

Berdasarkan laporan yang masuk ke Kementrian Desa,Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Angka Kematian Ibu (AKI) di 28 kabupaten yang masuk kategori daerah tertinggal sebagian besar masih jauh dari target MDG’s 2015 sebanyak 102 kematian per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2012. Demikian pula dengan Angka Kematian Bayi (AKB) maupun Angka Kematian Balita (AKABA), meski telah mencapai target MDG’s 2015 namun faktanya masih menjadi persoalan. Sementara itu untuk ketersediaan air minum layak di daerah tertinggal masih jauh dari target MDG’s yang sebesar 68, 87%, yakni hanya sebesar 41, 67% pada tahun 2011, demikian pula untuk status sanitasi layak. Menyusul masalah gizi buruk dan gizi kurang yang masih diatas 20% untuk daerah tertinggal. Adapun untuk ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan, terdapat 303 kecamatan yang belum punya puskesmas, 11.910 desa belum punya poskesdes, kekurangan sebanyak 2.448 dokter puskesmas, dan kekurangan sebanyak 1.897 bidan di daerah tertinggal.

 

  PKMK FK UGM

LT13desSementara itu menurut Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM; pada tahun 2014 PKMK FK UGM bekerjasama dengan 10 Fakultas Kedokteran di Indonesia melakukan monitoring tahap awal pelaksanaan JKN. Monitoring ini merupakan tahap awal penelitian yang akan berlangsung hingga tahun 2019 mendatang, guna melihat efektifitas pelaksanaan JKN kaitannya dengan pencapaian Universal Health Coverage (UHC) 2019.

Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan di level provinsi pada bulan April 2014, provinsi-provinsi tersebut dikelompokkan dalam 2 bagian yakni : 1) Kelompok yang sudah maju dan 2) Kelompok yang belum maju. Pembagian ini berdasarkan pada ketersediaan tenaga dokter dan dokter spesialis sebagai tulang punggung., dan faktanya terdapat perbedaan yang ekstrim dalam ketersediaan tenaga kesehatan ini diantara kedua kelompok tersebut. Skenario optimis tercapainya UHC 2019 diberikan oleh peneliti di wilayah DKI, DIY, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, sebagian kota/kabupaten di Jawa Barat, sebagian kota di Jawa Tengah, dan sebagian Sulawesi Selatan. Sedangkan skenario pesimis ringan hingga berat diberikan oleh peneliti di NTT, Kalimantan Timur, sebagian Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, dan Sulawesi Tenggara.

Hasil dari skenario menunjukkan adanya potensi ketidakberhasilan pelaksanaan amanat UU SSJN, bahkan ada kecenderungan peningkatan kesenjangan dalam akses JKN antara daerah tertinggal dengan daerah maju. Karena akses JKN di daerah tertinggal lebih banyak didominasi oleh kalangan masyarakat mampu, sehingga manfaat JKN minim diperoleh oleh masyarakat di daerah tertinggal.Sehingga solusinya adalah pemberian Dana Kompensasi sebagaimana tertuang dalam UU SSJN tahun 2004. Menurut Laksono, pemberian Dana Kompensasi ini wajib hukumnya bagi daerah-daerah yang tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang memadai.Pengertian Dana Kompensasi diatur lebih lanjut dalam Permenkes No. 71 tahun 2013 yang isinya antara lain :

  1. Dalam hal di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi.
  2. Penentuan daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta ditetapkan oleh dinas kesehatan setempat atas pertimbangan BPJS Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan.
  3. Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk : penggantian uang tunai;pengiriman tenaga kesehatan; danpenyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu.
  4. Kompensasi dalam bentuk penggantian uang tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa penggantian atas biaya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
  5. Besaran penggantian atas biaya pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disetarakan dengan tarif Fasilitas Kesehatan di wilayah terdekat dengan memperhatikan tenaga kesehatan dan jenis pelayanan yang diberikan.
  6. Kompensasi dalam bentuk pengiriman tenaga kesehatan dan penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c dapat bekerja sama dengan dinas kesehatan, organisasi profesi kesehatan, dan/atau asosiasi fasilitas kesehatan.

 

  Pembahasan Materi (Kagama)

bondanMenanggapi materi seputar tema seminar, dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK dari Kagama Kedokteran lebih menyoroti tentang dilematis pemerintah terhadap risiko fiskal dari alokasi dana sektor kesehatan dengan kebutuhan utama pembangunan sektor kesehatan. Dimana berbagi permasalahan pembangunan kesehatan tidak dapat dilepaskan dari masalah politik dan ekonomi negara.

Pengembangan ke depan: Kebijakan untuk mendukung penyebaran SDM kesehatan

Sesi ini lebih banyak membahas “Pengembangan ke depan: Kebijakan untuk mendukung penyebaran SDM Kesehatan”. Sesi ini dimoderatori oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro dengan sharing experience dari dr. R. Arian D (RS Panti Rapih) dan Diah Saminarsih (staf Ahli Kemkes dan Co-Founder Pencerah Nusantara). Acara diawali dengan komunikasi langsung melalui webinar dengan RS Ende, dr. Surip Tintin mengungkapkan RS Ende masih kekurangan nakes hingga saat ini.

Kemudian, komunikasi berlanjut dengan RS Soe melalui sambungan telepon, dr. Karolina Ria Tahun menyampaikan, untuk dokter penyakit dalam tidak ada di Soe, hal ini menyebabkan banyak pasien yang dirujuk ke Kupang. Hal ini menjadi kekurangan RS Soe, karena pasiennya masih banyak yang dirujuk ke RS yang lebih tinggi. Beruntung, melalui program Sister Hospital (SH), saat ini RS Soe memiliki dokter kandungan, anak, anestesi, bedah, dan lain-lain. Sementara, untuk merujuk kasus bedah, Soe membutuhkan waktu sekitar 3 jam.

  Pengalaman Pencerah Nusantara

ari 13desPemaparan pertama disampaikan Diah Saminarsih, sebagai co-founder Pencerah Nusantara (PN), Diah menyampaikan bahwa awalnya PN merupakan gerakan sosial. Gerakan ini melibatkan pemerintah, masyarakat serta mass media. Jadi, sifatnya kolaboratif yaitu multi aktor dan lintas sektor. Beberapa hal yang diberikan PN pada masyarakat ialah penguatan layanan primer, infrastruktur dasar, info gaya hidup sehat dan sebagainya. PN bergerak di Sikakap (Mentawai), Pakis Jaya (Karawang), Lindu Obotua (Sulteng), Kelai (Kalbar), dan Tosari (Probolinggo).

Kegiatan PN merupakan bentuk penerjemahan framework ke real action. Informasi lebih jauh tentang PN dapat disimak di Youtube chanel Pencerah Nusantara. PN ini disponsori oleh funding atau hibah, gerakan semacam ini membutuhkan investasi skill dan financing, pesan utamanya ialah primary care ditangani sebagai sesuatu yang serius.

 

  Pengalaman RS Panti Rapih dalam SH NTT

ariandr. Arian langsung memaparkan pengalaman RS Panti Rapih selama mendampingi RS Ende (Pertengahan 2010-Maret 2015). RS Panti Rapih terlibat karena ada kontrak dengan SH NTT, kontrak ini yang mendorong RS Panti Rapih untuk pendampingan PONEK 24 jam RS Ende dan capacity building. Berkaca dari pengalaman tersebut, ada banyak catatan positif yang direkap Arian.

Pertama, dalam kolaborasi antar institusi dalam SH ini, RS swasta lain bisa bergabung jika bersedia. Kedua, pendampingan dalam SH NTT ini sejalan dengan misi RS Panti Rapih yaitu membantu yang berkekurangan dan masih tertinggal. Ketiga, RS Panti Rapih mampu bermitra dengan mitra baru, misalnya bersama dengan RS Panembahan Senopati RS Panti Rapih membantu menyusun Renstra RS Ende. Keempat, RS makin terkenal, hal ini tak dapat disangsikan lagi. Kelima, makin lama mengerjakan PONEK RS Ende, RS Panti Rapih makin baik. Mengapa hal ini terjadi? Mengejutkan, ketika RS Panti Rapih mengadakan Monev RS Ende per tiga bulan, RS Panti Rapih menemukan banyak kekurangan di internal RS-nya. Tantangan ke depan, RS Panti Rapih dan RS Ende akan mendorong Pemda NTT untuk mengalokasikan dana APBD dan BLUD untuk melanjutkan SH.

 

  Skema Pembiayaan

diah 13desSejauh ini, PN menjalankan skema pembiayaan yaitu budget payment system atau dibayarkan sebelum pelayanan kesehatan dilakukan. Dana ini berasal dari swasta atau sponsor dan hibah. Dari sisi pemerintah, terkait dana kompensasi, telah diatur melalui peraturan direktur BPJS. Jika tidak ada faskes- maka pembayaran via kompensasi atau bisa juga kirim tenaga. Hal ini disampaikan Ari, perwakilan dari BPJS.

Diah menegaskan, perlu verifikasi detail gerakan nasional ini, sehingga pembiayaannya sustainable. Harapannya, gerakan ini bisa diadopsi dengan catatan mana yang kurang dapat dibantu dan diperbaiki, jadi bisa direplikasi.

Prof. Laksono menggarisbawahi, Pencerah Nusantara/Panti Rapih/FK apakah bisa menjadi kontraktor untuk pengiriman tenaga kesehatan ke daerah sulit ini? Kemudian, Ari menegaskan, ketersediaan faskes merupakan tugas Pemda, termasuk nakes sesuai UU No 32 Tahun 2002 tentang pelayanan.

dr. Hanibal Hamidi, MKes (perwakilan Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi) mengajukan pendapat, BPJS memiliki beban tinggi atas kinerja, yaitu menjaga kualitas. Sejauh ini BPJS mengemban tugas sesuai amanat UU, yaitu promotif dan preventif yang sifatnya UKP.

Poin penting yang masih menjadi pekerjaan rumah ialah bagaimana mengajak dokter-dokter agar mau mengabdi di daerah. Kesimpulannya, seluruh perubahan diawali dari gerakan sosial dengan motivasi tinggi untuk mengabdi di seluruh pelosok Indonesia (wid).

Gagasan ke depan:  Pengembangan pengiriman tenaga medik ke daerah sulit.

rukmono 13desSesi 4 membahas mengenai Gagasan Ke Depan: Pengembangan pengiriman tenaga kesehatan ke daerah sulit. dr. Rukmono Siswishanto, M. Kes, SpOG (K) mewakili RS Sardjito, dan dr. Andreasta Meliala, DPH, MKes, MARS yang aktif terlibat di PPSDM Kemenkes RS.

Pengembangan residen ke daerah sulit ini menjadi poin penting karena tenaga kesehatan masih sangat terbatas di sejumlah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepualuan (DTPK). Perlu assessment, apa saja yang diibutuhkan di lokasi, misalnya sharing penganggaran. Melalui SH NTT ini, kami mendorong agar RS mampu menjadi lokomotif perbaikan klinis dan modern, ungkap dr. Rukmono. Hal yang menjadi catatan, pertama, program perbaikan mutu dan pemenuhan nakes ini masih ada yang kurang tepat. Misalnya, tugas belajar atau tubel kurang sustainable, karena tidak menjamin ketersediaan tenaga pasca program. Penilaian Mutu sebaiknya dilakukan oleh yang diberi pelayanan. Poin yang ingin disampaikan SH, ialah pemberdayaan melalui people and education. Para residen yang dikirim, umumnya diterjunkan dalam tim. Mengapa tim? Karena mereka lebih terorganisir dan lebih terarah jika bekerja secara tim.

andre 13desdr. Andreasta Meliala, DPH, MKes, MARS menyampaikan di Indonesia ada dua pembagian daerah, yaitu daerah masalah kesehatan dan non kesehatan serta daerah diminati dan kurang diminati. Problem yang dihadapi Indonesia ialah masih banyak daerah konflik, tidak diminati, terpencil, yang belum terjangkau akses pelayanan kesehatan. Maka, perlu kolaborasi antara health system dan health outcome untuk menyelesaikan hal ini.

DTPK dan Daerah Kurang Diminati (DKM) atau sering disebut dengan “daerah airmata” menjadi tantangan pemerintah dan masyarakat untuk pemerataan layanan kesehatan. Pemda harus dominan untuk daerah fiskal tinggi seperti Kaltim dan Kepri, masalah pokok mereka ialah tidak ada SDM-nya karena visi kesehatannya tidak ada. Pemerintah Pusat harus mendorong daerah, apa saja yang harus dibangun? BPJS dan Kementrian Daerah Tertinggal harus bertemu dan duduk bersama menemukan solusinya, karena regulasi yang ada belum menyatukan lintas sektor.

Isu Penting: Sustainability

Bagaimana operasionalnya? Sistem perekrutan melalui PNS hanya bisa diterapkan di daerah normal. CPNS di DTPK, hasilnya nol karena banyak nakes yang tidak mau ditempatkan di DTPK. Permasalahan kekurangan nakes di DTPK dapat diatasi dengan beragam pendekatan, antara lain: flying doctors (pengalaman Australia), mobile grounting (praktek di Afrika Tengah), dan pelayanan antar pulau atau RS terapung (namun logistik masih menjadi masalah).

Maka, solusi yang ditawarkan ialah kontrak/privatisasi, bisa berdasarkan team, umum atau institusi (seperti program SH NTT). Kemudian, catatannya, apakah PTT yang ditempatkan mempunyai hak dan kewajiban seperti pegawai normal? Sayangnya, insurance di PPSDM tidak dibahas karena hal ini tidak diatur Permenkes.

Linda ( perwakilan dari Kemenkes) memaparkan, mobile doctors ini sudah dilaksanakan di tahun 2008 melalui program P2KTP (mobile klinik via pesawat dan speedboat). Tim yang terlibat dalam mobile ini antara lain, dokter, bidan, dan ahli gizi. Support dana banyak dari Bansos. Lalu, Bansos harus dikelola Kementrian Sosial, jadi terputus. Kemudian, program ini dilanjutkan di daerah Kepri, Aceh, Papua, Maluku dan NTT melalui dana dekonsentrasi. PTT membagi ilmu dengan dokter umum di daerah dan Pemda mendukung finansial untuk operasional mereka. Sustainability service, yang berarti pusat harus mendorong finansialnya. Maka, pengorganisasian yang harus diatur kembali.

Diskusi:

Pertanyaan pertama, Rudi (pegawai Puskesmas/Jatim) menanyakan di era JKN, BPJS telah melakukan tindakan promotif dan preventif namun masih sebatas obat. Hal lain tidak ter-cover BPJS. Lebih banyak ke UKP atau tergantung pimpinannya. Jadi, Puskesmas bisa maju bagaimana bisa terus berkembang?

Pertanyaan kedua, dari audiens yang berasal dari Kutai Timur, sustainability program mobile ini tidak ada, karena terkait dana. Mobile clinic sudah lebih dulu dilakukan Kutai Timur.

dr. Rukmono: jika ada kontrak, maka pembagian tugasnya jelas. Tenaga Puskesmas mirip di RS, namun dalam skala kecil. Namun sayangnya, saat ini, Puskesmas terpisah dengan RS.

dr. Andre, Jakarta sudah melakukan pemisahan, karena terjadi kelebihan nakes. Satu catatan terpenting yaitu inovasi daerah sering dilakukan, namun dokumen dan sharing experience sering terlewat untuk dilakukan. Jika keduanya teraasip dengan baik, maka inovasi tersebut akan mudah diikuti daerah lain.

Permasalahan daerah tertinggal atau yang berpotensi maju, jika tidak hati-hati maka akan semakin tertinggal, maka harus siap. Apa poin penting dalam hal ini? DTPK penting sekali, hal mendasar yang diperbaiki ialah masalah manajemen, termasuk kontrak yang jelas dan tidak dikorupsi. Lalu, PTT kontrak perorangan tidak bermanfaat untuk daerah terpencil. PTT yang diterjukan dalam tim akan bermanfaat di lapangan. Jadi, dana Kemkes bisa pindah ke program tim ini tidak? Atau melalui kontrak?, ungkap Prof. Laksono. Biaya investasi kesehatan (BIK) dapat berupa SDM, pelatihan dan lain-lain. Lalu, Siapa kontraktornya?

Simposium 2, 2 Oktober 2014

breakf

Breakfast Launches

breakfPada rangkaian acara Global Symposium, terdapat beberapa acara breakfast launches. Acara biasanya dilakukan pada pagi hari, satu jam sebelum acara plenary atau symposium dimulai, dan untuk yang hadir disediakan makan pagi . Program ini biasanya berupa launching suatu suplemen jurnal, proyek penelitian baru, atau organisasi atau kelompok kerja baru. Peserta diminta mendengar dan berdiskusi tentang apa yang sudah mereka lakukan.

Pada breakfast launches tanggal 2 Oktober, terdapat lima kelompok yang berbagi pengalamannya. Pertama mengumumkan supplement journal untuk Health Policy and Planning untuk “Science and Practice on people-center health system,”. Kedua untuk seri penelitian baru tentang “Universal Health Coverage (UHC)” dari UNICEF, dan ketiga tentang joint group WHO dan World Bank untuk pengukuran kemajuan UHC dalam konteks post MDG 2015. Selanjutnya adalah book launching untuk “African Health Leaders: making change and claiming the future“, dan yang terakhir adalah launching dari Chatam House report terkait health financing.

Reporter mengikuti launching dari supplement journal untuk “Health policy and planning” untuk tema Global Symposium tahun ini aitu, “Science and Practice on People-center Health System.” Beberapa penulis publikasi dan chief editor mempresentasikan proses penerbitan dan isi dari supplement tersebut. Semua peserta mendapatkan satu eksemplar jurnal yang sudah terbit tersebut.

Dalam pengantarnya, Sarah Bennet, editor in chief dan Kabir Sheikh (Public Health Foundation of India) mengatakan bahwa sistem kesehatan harus mencari cara untuk melayani orang dan masyarakat. Sistem kesehatan harus membawa nilai-nilai dalam kehidupan manusia, bukan hanya dengan merawat dan melayani mereka, melainkan juga secara lebih luas menawarkan janji untuk keamanan ekonomi dari waktu ke waktu dan keluar dari kerentanan yang berat.

Upaya tersebut dilakukan dengan, pertama, mengedepankan suara dan kebutuhan masyarakat, karena seharusnya keinginan dan kebutuhan masyarakatlah yang membentuk “health system.” Nandi dan Scheneider dalam jurnal ini mencontohkan keikutsertaan Mitanin (pekerja kesehatan di masyarakat) dalam mempengaruhi “social determinant of health di India. Demikian juga Abimbola yang hadir dalam launching tersebut mencontohkan bahwa sumber daya masyarakat dapat mengatasi kegagalan pemerintah dalam penyediaan layanan kesehatan.

Kedua adalah “people-centredness in service delivery,” yaitu pelayanan hendaknya dirancang dan diberikan berdasarkan kebutuhan masyarakat, bukan klinisi atau penyedia layanan. Prinsip yang dianut adalah quality, safety, longitudinality, closeness to community dan responsiveness terhadap perubahan. Manu dalam publikasinya dalam jurnal suplemen ini mengemukakan bahwa petugas surveilan masyarakat yang bekerja secara sukarela dalam suatu intervensi dapat mempromosikan perawatan esensial bagi bayi baru lahir dan mengidentifikasi tanda-tanda vital bayi dan kemudian merujuk ke fasilitas kesehatan.

Ketiga, kita harus menyadari bahwa sistem kesehatan adalah insititusi sosial, dimana semua aktor di dalamnya seharusnya bertindak sesuai dengan tanggungjawabnya. Penelitian Aberese-Ako dkk. di Ghana menggarisbawahi kerjasama yang baik antara administrator kesehatan dan petugas kesehatan serta masyarakat atau pasien, namun hubungan antara pengetahuan dan kebijakan orang-orang dalam health system sangat jarang untuk diteliti.

Kemudian yang keempat adalah prinsip bahwa nilai-nilai akan mengarahkan sistem kesehatan yang bersumber pada masyarakat dan pada akhirnya reformasi sistem dapat berdampak pada nilai-nilai dalam sistem itu sendiri. Menghormati dan mencapai ” equal treatment” bagi mereka yang berlainan gender, agama, kelompok sosial dan ekonomi adalah prinsip yang penting untuk mempertimbangkan bagaimana pelayanan harus dirancang dan diberikan kepada masyarakat.

Suplemen jurnal ini pada akhirnya menunjukkan cara-cara yang berbeda dalam melakukan riset dalam sistem kesehatan yang berfokus pada masyarakat dan bagaimana memahami mereka. Selain itu, jurnal ini juga mencoba melihat tantangan para peneliti sendiri dalam melihat perannya dalam sistem itu senndiri.

Reporter: Retna Siwi P

Recognising Research Paradigm, Methods And Impact For People-Centered Health System

barbaraPlenary 2 yang berlangsung pukul 9.30-11.00 waktu setempat dibuka dan dimoderatori oleh Barbara McPake, Direktur Nossal Institute for Global Health, University of Melbourne, Australia. Sesi ini mendiskusikan kontribusi berbagai tradisi system riset untuk menguatkan system kesehatan yang people-centered (berfokus pada orang). Dalam sesi ini, dua orang narasumber memberikan opening statement dan kemudian bersama tiga narasumber lainnya melakukan diskusi panel dipimpin oleh moderator.

Opening statement pertama disajikan oleh James Macinko, PhD, seorang associate professor dari Public Health and Health Policy, New York University. James menekankan pada kontribusi apa yang diberikan oleh penelitian kuantitatif, pendekatan apa saja dalam menggunakan data dan bagaimana kita bias menguatkan riset kuantitatif serta instrumen-instrumennya untuk mempromosikan program dan kebijakan yang lebih baik dalam mencapai dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang people-centered. Menurutnya, penelitian dengan metode random mengalami kebangkitan, dimana metode ini banyak menawarkan solusi untuk mendesain evaluasi dari dampak suatu program atau kebijakan. Masalahnya adalah metode ini memiliki banyak kelemahan dan berbagai konsekuensi yang tidak relevan. Agar data kuantitatif lebih powerful, maka perlu ada interaksi yang lebih produktif antara penghasil dan pengguna data di berbagai tingkatan. Terakhir, James memaparkan hal-hal yang perlu dilakukan untuk membuat pendekatan kuantitatif lebih relevan bagi system kesehatan yang people-centered, antara lain mengintegrasikan ilmu-ilmu terapan dari efikasi ke efektvitas dan kemudian ke pemberdayaan.

reneRene Loewenso, Direktur di Training and Research Support Center, Zimbabwe, pada opening statement berikutnya banyak menjelaskan mengenai participatory action research (PAR). Rene bahkan sudah menulis buku mengenai hal tersebut bersama beberapa koleganya. Dalam simulasi di suatu sesi training, dimana peserta berperan sebagai pasien, petugas kesehatan, stakeholders lain bahkan lembaga donor, tampak bahwa setting pelayanan dan system kesehatan secara keseluruhan belum secara langsung member perhatian yang cukup pada pasien. Apa yang dikerjakan oleh seorang petugas administrasi di sebuah RS, bahkan yang dilakukan oleh lembaga donor, belum berpusat pada pasien sebagai tujuan pelayanan kesehatan. Ini membuat banyaknya complain masyaakat terhadap pelayanan dan system kesehatan. PAR akan membantu dengan cara tidak saja memahami bukti-bukti atau realitas melainkan juga mentransformasikannya, karena peneliti bias menjadi terlibat lebih aktif dan karena peneliti adalah bagian dari komunitas yang akan terkena dampak dari suatu program, atau fasilitator dari suatu proses. Namun tentu saja tetap ada tantangan dalam melakukan riset dengan metode PAR ini, mulai dari reliabilitasnya hingga external validity-nya.

Pada sesi diskusi, salah satu panelis, Clara Mbwili-Muleya, dari District Medical Officer, Ministry of Health, Zambia menyampaikan pendapatnya sebagai praktisi pembuat program dan kebijakan, serta sebagai pengguna hasil-hasil penelitian. Menurutnya, selama ini banyak data yang tidak dapat ia dan timnya gunakan karena tidak sesuai dengan kebutuhannya, atau sulit untuk dipahami. Ini menunjukkan bahwa interaksi antara peneliti dengan pengguna hasil penelitian belum aktif dan baik. Ia sendiri sebenarnya sangat tertarik untuk terlibat dalam penelitian-penelitian tersebut, agar bias menjawab berbagai tantangan yang dihadapi sehari-hari dalam melakukan tugasnya sebagai Kepala Kantor Medis Kabupaten.

clareMenurut Clara, data yang berguna adalah yang bias ditranslasikan ke perubahan, bias menyesuaikan dengan cara kerja para pengambil keputusan dan penentu kebijakan, data yang memiliki dampak ke masyarakat. Berdasarkan pengalamannya, data yang baik belum tentu dapat digunakan. Ia dan timnya bahkan sering mengunakan data yang buruk, hanya karena data tersebut lebih mudah dipahami sebagai dasar pengambilan keputusan. Pertanyaan pentingnya adalah siapa sebenarnya yang seharusnya menyusun agenda data: pengguna data atau peneliti.

Senior Health Specialist dari UNICEF New York, Kumanan Rasanathan mengakui bahwa memang ada konflik antara penghasil dan pengguna data. Untuk itu peneliti perlu menggunakan sistem yang bias menghasilkan data yang bermanfaat, namun di sisi lain pengguna data juga memahami besarnya biaya yang diperlukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Dalam hal ini, Rene dan James berpendapat bahwa desain penelitian untuk menghasilkan data dan informasi harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang akan dipengaruhi oleh hasil penelitian tersebut. Dalam system kesehatan, masyarakat dengan berbagai masalah kesehatannya seharusnya menjadi pusat perhatian semua pihak di berbagai level.

 

KumananKumanan memberikan contoh kerjasama UNICEF dengan berbagai kelompok peneliti di Indonesia. Menurutnya, kapasitas dan kapabilitas parapeneliti di Indonesia sangat baik dan jumlahnya cukup banyak. Namun masihbanyak hal yang harus dilakukan untuk menyambungkan antara hasil-hasil penelitian dengan pengambil kebijakan di level local maupun nasional. Di Afrika menurut Clara masih terjadi banyak kekosongan untuk sumber daya seperti inis ehingga PAR belum bias membantu pemerintah dalam pengambilan keputusan. Jadi yang diperlukan adalah membangun kapasitas SDM, khususnya para frontliners pelayanan agar bias memanfaatkan knowledge dan mentranslasikannya ke aksi.

Assistant Professor dari Department of Public Health, Institute of Tropical Medicine, Belgium, Bruno Marchal berpendapat bahwa semua harus belajar dari tindakan-tindakan yang sudah dilakukan dan bagaimana dampaknya. Para stakeholders sector kesehatan harus membuka berbagai potensi yang agar bias dimanfaatkan dalam memecahkan masalah. Menurutnya, pengambil keputusan perlu mengidentifikasi sumber daya apa lalu untuk siapa. Rene sependapat, bahwa riset-riset perlu disegmentasi kembali. Jika perlu, sediakan ruang tambahan agar masyarakat bias terlibat lebih banyak, konsistensiperlu dijaga dan yang terpenting adalah menjadikan riset sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.(pea)

Reporter: Putu Eka Andayani

 

Tab Content

Process, Methods And Stakeholders in Knowledge Translation and Participatory Decision-Making

colinSesi ini menyajikan beberapa hasil penelitian yang menjadi contoh penerapan dari participatory decision making. Penelitian pertama disampaikan oleh Colin Baynes, seorang manajer program dari Ifakara Health Institute, Columbia University, Tanzania. Penelitiannya mencoba menjelaskan mengenai bagaimana task shifting pada tenaga kesehatan dalam program KB injeksi mempengaruhi pembelajaran masyarakat, proses partisipasi dan transfer pengetahuan untuk memperkuat sistem kesehatan.

Total ada 101 desa yang terlibat, 50 diantaranya dengan tenaga kesehatan dan 51 tanpa tenaga kesehatan yang dievaluasi dengan menggunakan indikator mencapaian layanan ibu dan anak melalui survey demografis. Dengan menerapkan Participatory Action Research (PAR), ia dan timnya antara lain memberdayakan populasi kunci untuk membangun strategi organisasi dan mencari solusi, mengembangkan milestone yang didorong oleh kapasitas lokal dalam menemukan solusi dan learning by doing. Hasilnya, terjadi perubahan sikap dan perilaku masyarakat dari yang tadinya tidak percaya atau bahkan menolak, menjadi menerima dan siap menggunakan alat kontrasepsi injeksi. Namun masih ada tantangan berupa kesinambungan sumber daya hingga pengaruh budaya dan kepercayaan terhadap alat pengatur kehamilan.

 

pragatiPenelitian kedua terkait dengan pengendalian tembakau yang dilakukan atas kerjasama antar sektor di India. Penelitian yang dilakukan oleh Pragati Hebbar (Advocacy Officer, di Institute of Public Health Bangalore, India) dan timnya ini melibatkan kepolisian, pemerintah kota, sektor transportasi, informasi, pendidikan, serta sektor kesehatan itu sendiri. Intervensi yang dilakukan antara lain pemasangan signage dan berbagai petunjuk terkait larangan merokok di area publik dan bus umum oleh polisi dan mengedukasi masyarakat. Pembelajaran yang didapat adalah pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan isu-isu implementasi. Peran yang jelas dalam menginstitusionalisasi implementasi dan meningkatkan motivasi dan kemampuan, serta review secara terus menerus merupakan komponen penting untuk mentransformasi kebijakan ke pelaksanaannya. Diperlukan kepemimpinan dalam sektor pemerintah maupun swasta. Selain itu, pekerjaan yang melibatkan antar-sektor seperti ini membutuhkan perlu selalu didorong secara aktif, perlu jaringan kerja yang nyata serta kerangka kerja kebijakan sebagai pendukung.

 

nasrenPenelitian ketiga yang dipresentasikan oleh Nasreen Jessani, seorang calon PhD di John Hopkins Bloomberg School of Public Health, USA. Penelitian ini sedikit berbeda dengan riset-riset lainnya karena meneliti dari aspek penghasil pengetahuan, yaitu universitas, untuk mencari jawaban apakah ada “broker” pegetahuan akademik di Kenya. Ada enam perguruan tinggi di Kenya yang menjadi tempat penelitian, dimana sebuah eksplorasi terhadap jaringan riset-ke-kebijakan di berbagai fakultas dilakukan. Dari rantai riset ke kebijakan, ternyata pihak-pihak yang terlibat dapat digolongkan kedalam tiga kelompok, yaitu knowledge producers, knowledge brokers dan knowledge users. Di Kenya, yang tergolong penghasil pengetahuan antara lain institusi akademik, Think Tanks, unit penelitian milik pemerintah dan NGOs. Yang tergolong knowledge brokers antara lain media, organisasi advokasi, KT Platforms dan bahkan juga ada institusi akademik. Knowledge users antara lain masyarakat, praktisioner, pengambil keputusan dan pembuat kebijakan serta stakeholder lain (sektor privat dan kelompok lain yang berkepentingan). Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa academic knowledge brokers (AKB) memang benar ada yang berperan menghubungkan antara academic researcher dengan pembuat kebijakan. AKB seringkail bersifat invisible, memiliki posisi yang unik di lingkungan akademis, berkemampuan tinggi serta kredibel. (pea)

Reporter: Putu Eka Andayani

The Role of Non-Traditional Health-Care Providers

Sesi ini mempresentasikan penelitian pada logistik ketersediaan pemberi layanan kesehatan non-tradisional namun bukan dokter yang telah berpraktek di banyak negara. Mereka adalah kader (dalam istilah international), asisten apoteker, bidan (dengan pendidikan minimal) atau provider tingkat menengah dan melihat peran mereka dalam meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan yang harus disediakan oleh sistem kesehatan “utama” dan apa saja tantangan-tantangan yang mereka hadapi.

Berbeda dengan istilah kader di Indonesia yang biasanya adalah penduduk setempat yang bekerja secara sukarela, kader di sini adalah mereka yang berpendidikan SMA tetapi dilatih menjadi pekerja sosial selama 3-6 bulan pelatihan. Pelatihan kader seperti ini telah dilakukan di banyak negara seperti India, Malawi, Nepal, dan Afrika. Dalam keadaan pasokan pekerja pelayanan kesehatan yang terbatas, mereka dapat menjadi tumpuan pelayanan kesehatan jika diatur dengan baik.

Brown dkk, dari People that Deliver (PtD) Denmark melakukan evaluasi “supply-chain management (SNM)” di Burkina Faso, the Dominican Republic, Ethiopia, Indonesia, Liberia, Mozambique, dan Namibia namun hanya lima yang dapat dilaporkan. Di negara-negara ini telah dilatih petugas kesehatan yang akan membantu mengatasi askes. Penyelenggara kegiatan kemudian diwawancarai tentang penyelenggaraan dan pelaksanaan penempatan mereka dalam mengatasi masalah supply. Secara umum, penyediaan pemberi kesehatan dari masyarakat ini memerlukan waktu lama karena harus melihat penerapan dan evaluasinya di lapangan. Selain itu, diperlukan reformasi persepsi, kebijakan dan praktek, karena sudah terbiasa dengan health provider yang standar; perlu mengkonversi pengeluaran sekarang menjadi investasi, dan melihat pada keuntungan secara akumulatif, dan terakhir harus country-driven. Jika hal tersebut tudak dilakukan, maka pengadaan tenaga kesehatan yang dikembangkan akan sulit diterima.

Selanjutnya adalah presentasi Crawford tentang meningkatkan akses dan penggunaan obat yang rasional di Malawi melalui pelatihan asisten apoteker. Dia memulai presentasinya dengan keterbatasan staf farmasi akan menghasilkan pencatatan data dan management obat yang buruk. Kualitas data yang buruk akan mengakibatkan seringnya kekurangan obat. Banyak juga terjadi adanya personel yang tidak memiliki kualifikasi di bidang obat tetapi memberikan obat kepada pasien, sehingga klinisi akan menghabiskan waktu di logistik dan pemberian obat. Program ini merupakan program 3 tahun kerjasama kementrian kesehatan Malawi dengan University of Washington dengan mendidik 150 siswa menjadi asisten apoteker selama 2 tahun. Tujuan pemerintah adalah mendidik 650 siswa sampai tahun 2020. Materi pelatihan lebih banyak praktek daripada di kelas. Sebelum pelatihan, sebanyak 65% dokter mengatakan menghabiskan waktu untuk urusan logistikobat, setelah pelatihan dan penerapan, hanya kurang dari 10% yang menghabiskan waktu mengurusi obat. Mereka juga mengatakan senang karena telah mampu fokus kepada pelayanan pasien daripada mengurusi masalah obat.

Pengalaman di Malawi hampir sama dengan yang terjadi di India di Provinsi Chhattisgarh. Mereka telah mendidik Rural Medical Assistant (MHA) dan Rural Health Practitioners (RHP) selama tiga tahun dan mereka berperan membantu dokter untuk melayani pasien. Dalam perkembangannya, banyak yang tidak tertarik dan pelatihan ini harus ditutup di tahun 2008. Namun demikian, kurang lebih 1000 RHP sudah dididik di provinsi tersebut. Pada tahun 2006, di Assam, pelatihan yang sama sudah dilakukan. Pada tahun 2013, telah ditempatkan 370 RMA di pusat kesehatan masyarakatnya, sehingga mereka maksimal dalam berperan secara kuratif, promotif, dan preventif. Keberhasilan ini telah membentuk persepsi pembuat kebijakan di India untuk bisa menerima mereka sebagai tenaga kesehatan tingkat menengah. Tantangannya adalah, karena banyaknya “quack” di India, banyak dari mereka yang kemudian menyebut dirinya dokter dan melakukan praktek pengobatan di luar pengawasan dokter yang sesungguhnya.

Di Nepal, hal yang sama diterapkan untuk kesehatan ibu. Nepal telah mendidik dan menempatkan sekitar 4000 wanita “skilled birth attendants (SGAs)” yang dapat dipanggil sewaktu-waktu selama 24 jam. Namun penelitian oleh Alison Morgan dari Nossal Institute for Global Health, University of Melbourne ini hanya mewancara 22 orang wanita SGA. Para informan ini mengakui ada beberapa factor yang dibutuhkan agar lingkungan dapat menerima mereka, termasuk adanya dukungan yang terus-menerus terhadap mereka, infrastruktur yang memadai, supply dan obat yang adequate, serta jalur rujukan yang tepat dari sisi waktu maupun tempat. Mereka juga mengatakan bahwa lebih baik bekerja berpasangan daripada sendirian. Dengan adanya informasi dari penelitian ini, peneliti mengatakan bahwa pedoman kesehatan ibu harus diubah dan memasukkan di dalamnya semua temuan yang ada dalam penelitian ini.

Di Indonesia, pelatihan dan pendidikan seperti ini sudah banyak dilakukan. Namun, penelitian untuk mengevaluasi keberadaan mereka jarang dilakukan. Pelatihan setahun atau dua tahun kepada bidan desa adalah hal yang sama seperti di Nepal, namun banyak hal harus dievaluasi dari program tersebut dan hasilnya perlu untuk disebarluaskan.