Proses Revisi Kebijakan yang Memperhatikan Mereka yang di Pinggiran

  Pengantar

Mereka yang berada di pinggiran masih sering terabaikan dalam hal perumusan kebijakan, termasuk dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Berbagai tantangan yang harus dihadapi jika dibandingkan dengan wilayah perkotaan, misal akses pelayanan kesehatan, ketersediaan tenaga medis dan sarana prasarana, serta infrastruktur yang belum memadai dan masih banyak hal lain yang menjadi faktor penghambat tercapainya Universal Health Coverage. Berbagai regulasi telah dirumuskan di level nasional, diperlukan kajian yang mendalam terkait kesiapan berbagai daerah dalam implementasi kebijakan tersebut. Sehingga perlu perhatian lebih dari para policy maker dalam pembuatan kebijakan maupun dalam melakukan revisi kebijakan khususnya memperhatikan mereka yang di pinggiran.

 

  Tujuan

  1. Mendeskripsikan berbagai masalah yang dihadapi mereka yang dipinggiran pada era JKN
  2. Membahas revisi kebijakan untuk menyelesaikan masalah di pinggiran agar tepat sasaran

  Peserta

  1. Anggota Community of Practice JKN dan Kesehatan
  2. Peneliti, praktisi, dan akademisi

  Agenda

Diskusi ini akan diselenggarakan pada hari Rabu, 10 Mei 2017; pukul 13:00 – 15.00 WIB; bertempat di Ruang Leadership, Gedung IKM Lama lantai 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Bapak/ Ibu/ Sdr yang tidak dapat hadir secara tatap muka dapat tetap mengikuti diskusi webinar melalui link registrasi: https://attendee.gotowebinar.com/register/4571088033512374531
Webinar ID: 980-986-107

Arsip diskusi bersama Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN dapat diakses selengkapnya melalui website http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/  dan website http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 

 

 Pemateri

  1. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D
  2. P2JK Kemenkes (dalam konfirmasi)
  3. Rimawati, M. Hum (Dosen Fak. Hukum UGM) (dalam konfirmasi)

 Pembahas

  1. Stefanus Bria Seran, MPH (Bupati Malaka) (dalam konfirmasi)
  2. Women Research Institute (WRI) (dalam konfirmasi)

  Susunan Acara

Waktu

Materi

Pemateri/Pembahas

13.00-13.10

Pembuka

Moderator

13.10-13.30

Sesi 1 :

Membahas berbagai masalah yang dihadapi daerah pinggiran di era JKN

Dr. Dwi Handono, MKes

Materi

13.30-13.50

Sesi 2 :

Membahas kebijakan kesehatan yang membangun dari daerah pinggiran

P2JK – Kemenkes

Materi

13.50-14.10

Sesi 3 :

Membahas peluang adanya revisi kebijakan yang berpihak dalam mengatasi masalah di daerah pinggiran untuk mendukung penyelenggaraan program JKN

Rimawati, SH., M. Hum

14.10-14.30

Pembahasan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

14.30-15.00

Diskusi/ Tanya Jawab

Pemateri/ Pembahas

15.00

Penutup

Moderator

  Informasi dan Pendaftaran

Maria Lelyana (Lely)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting), 081329760006 (HP/WA)
Email: [email protected] 
Website:
http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/ , http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/

Hadir kembali mengenai topik Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pada Rabu (10/5/2017) Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (PKMK FK UGM) mengadakan seminar (yang juga berlangsung via webinar) dengan mengundang beberapa pemateri dan pembahas yang berkompeten di bidangnya. Topik utama dalam seminar ini mendiskusikan terkait peluang dalam upaya revisi kebijakan JKN yang memperhatikan dan mempertimbangkan kelompok masyarakat di wilayah pinggiran. Dalam seminar ini terdapat 3 (tiga) sesi bahasan, yang pada masing-masing sesi menjelaskan dan mendiskusikan sub topik terkait.

Seminar diawali dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. Topik seminar ini merupakan persiapan untuk mendukung kegiatan monitoring dan evaluasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Diskusi dalam topik ini dirasa menarik dan dapat menjadi salah satu contoh studi kasus di wilayah pinggiran Indonesia, yang dapat menggambarkan alasan mengapa perlu ada semacam revisi atau perbaikan kebijakan. Hasil diskusi ini juga diharapkan dapat menjadi pelengkap informasi untuk evaluasi kebijakan yang lebih komprehensif dan dapat memperoleh perhatian lebih dari pemerintah, khususnya pemerintah pusat.

Masuk ke dalam sesi pemaparan materi, sesi 1 dimulai dengan membahas tentang berbagai maslalah yang dihadapi daerah pinggiran di era JKN. Pemaparan ini disampaikan oleh Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, MKes. Dalam sesi ini, pembicara menyampaikan studi kasus di Kabupaten Malaka yang merupakan wilayah yang baru berkembang dan berdiri pada 2013. Kabupaten ini berada di ujung timur Indonesia dan lokasinya cukup jauh untuk dijangkau. Sebagai wilayah yang baru berkembang, permasalahan pemenuhan pelayanan kesehatan masih sangat kurang. Ditambah dengan kondisi infrastruktur untuk transportasi juga masih minim. Hal menarik yang dibahas dalam sesi ini adalah peran dan motivasi yang kuat dari Bupati Malaka, yang merupakan seorang dokter, dalam mengupayakan dan mengutamakan kemajuan pelayanan kesehatan di daerahnya. Kelengkapan untuk peningkatan upaya kesehatan yang paripurna dirasa masih lemah karena terbatasnya tenaga kesehatan spesialis di wilayah tersebut. Kondisi ini tentu akan menyulitkan jika harus dilakukan kerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Sebagai salah satu bentuk upaya bantuan akselerasi proses ini, Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, MKes menceritakan pengalamannya saat ini yang membantu akselerasi kesiapan layanan kesehatan di Kabupaten Malaka dengan upaya kerja sama melalui konsep “sisterhood”, utamanya untuk Dinas Kesehatan dan Puskesmas. Konsep “sisterhood” ini, membawa Kabupaten Kulon Progo untuk menjadi “pendamping/kakak/sister” untuk Kabupaten Malaka yang akan membantu dalam menstabilkan dan meningkatkan kapasitas dan sistem pelayanan kesehatan di Kabupaten Malaka. 1 (satu) Puskesmas di Kabupaten Kulon Progo akan mendampingi 2-3 Puskesmas di Kabupaten Malaka. Begitu pula dengan dinas kesehatannya. Konsep “sisterhood” ini juga sebenarnya diterapkan pada rumah sakit di Kabupaten Malaka. Namun, terdapat kendala dalam peraturan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dikatakan oleh pemateri bahwa akselerasi Kabupaten Malaka, untuk 2017 ini fokus pada upaya akreditasi, kemudian tahun depan mengarah pada status BLUD, hingga pada akhirnya peningkatan kapasitas dinas dan puskesmas tercapai.

Masuk ke sesi 2, melalui webinar, drg. Doni Arianto, MKM dari Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes membahas tentang kebijakan kesehatan apa saja yang telah dikeluarkan oleh Kemenkes untuk membangun dari daerah pinggiran. Pada dasarnya, pemateri menyampaikan bahwa bukan hal yang mudah untuk memeratakan situasi pelayanan kesehatan di Indonesia karena banyaknya variasi daerah yang pada akhirnya tidak secara serentak seluruh daerah di Indonesia dapat mengalami kesiapan dalam upaya pelayanan kesehatan. Di sisi lain, ada peran dari pemerintah daerah yang sangat penting untuk dapat menentukan kebijakan lokal. Beberapa upaya kebijakan yang telah diupayakan dari berbagai sisi adalah dari sisi penguatan peran pemerintah pusat dan daerah, serta adanya petunjuk untuk perihal apa saja yang perlu disiapkan dalam membangun sistem pelayanan kesehatan di daerah. Beberapa hal yang disebutkan antara lain adalah sistem rujukan, akreditasi fasilitas pelayanan kesehatan, pengadaan obat dan alat kesehatan, pendanaan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), penguatan sharing pelayanan antara fasilitas kesehatan milik pemerintah dan swasta, serta upaya pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan untuk daerah. Pemerintah pusat, dalam hal ini Kemenkes pun saat ini semakin giat dalam mengajak kerjasama kementerian sektor lain untuk dapat melakukan pembangunan daerah guna mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan yang lebih optimal. Tidak ketinggalan, masalah insentif/ kompensasi pun menjadi isu yang masih terus diupayakan di Kemenkes, akan tetapi masih belum menemukan formula dan kerangka teknis yang tepat. Pemateri menyampaikan bahwa kemungkinan masih perlu ada best practice terlebih dahulu terkait kompensasi yang dapat membuka peluang gambaran konsep kompensasi seperti apa yang cocok diterapkan untuk tenaga kesehatan di daerah.

Selanjutnya di sesi 3, membahas peluang adanya revisi kebijakan yang berpihak dalam mengatasi masalah di daerah pinggiran untuk mendukung penyelenggaraan program JKN. Materi ini disampaikan oleh Rimawati, SH., M. Hum yang merupakan dosen dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Rimawati menyatakan bahwa dalam penyusunan peraturan tertentu, implementasi peraturan menjadi sebuah konsekuensi yang mengikuti. Idealnya, jika sudah diatur dalam peraturan maka harus dijalankan, jika tidak dapat terlaksana sebenarnya bisa ada sanksi tersendiri terkait hal tersebut. Namun, kembali lagi apakah konsep sanksi ini masuk ke dalam peraturan yang disusun. Kemudian terkait dengan masalah kompensasi, dalam hal ini untuk tenaga kesehatan, perlu dimulai dengan adanya konsep, definisi, dan aturan pelaksanaan yang disusun. Hal ini menunjukkan bahwa perlu ada kejelasan dalam peraturannya agar implementasi di daerah tidak “ambigu”. Jika sebuah peraturan/undang-undang ini tidak implementatif, maka dapat dikatakan bahwa ada bias dalam peraturan tersebut.

Konsep kebijakan perlu dituliskan dengan jelas dan dipastikan untuk dapat diimplementasikan dengan baik di daerah. Hal ini juga berlaku untuk mengembangkan peraturan tentang pelayanan kesehatan. Upaya kebijakan yang implementatif tentunya termasuk dalam kemudahan dan kemungkinan dapat diterapkan diseluruh wilayah Indonesia termasuk wilayah pinggiran. Dengan demikian, meskipun ada ketidakseragaman waktu implementasi, namun diharapkan kebijakan ini dapat diterima dengan baik di setiap daerah dan tidak menyebabkan ketimpangan antara satu daerah dengan daerah yang lain.

Reporter : Aulia Novelira, SKM, M.Kes

isu-isu Menarik terkait Peraturan BPJS Kesehatan tentang Pemerataan Peserta di Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer

  Pengantar

BPJS dalam melakukan upaya pemerataan akses bagi pesertanya di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) telah dituangkan dalam Peraturan BPJS Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemerataan Peserta di FKTP. BPJS Kesehatan dapat melakukan pemindahan dari FKTP satu ke FKTP yang lain guna mencapai pemerataan akses berdasarkan rasio jumlah peserta, dokter dan peserta, akses jarak fasilitas kesehatan dalam wilayah yang sama atau yang berdekatan, serta mendapatkan rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dalam aturan ini juga dijelaskan bahwa proses pemindahan dilakukan secara bertahap dan selektif berdasarkan skala prioritas hingga tercapainya rasio ideal = satu dokter : 5000 peserta.

Di kabupaten Jayawijaya, terdapat Puskesmas yang memiliki peserta JKN 80,000 dan ada juga yang memiliki peserta hanya 3,000. Demikian pula di Jakarta Timur di mana terdapat Puskesmas kelurahan dengan 45,000 peserta, sementara Puskesmas kelurahan lain hanya memiliki 2,000 peserta. Isu ketimpangan jumlah peserta JKN antar fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) selalu menjadi kontroversi. BPJS Kesehatan melalui peraturan terbarunya Nomor 1 Tahun 2017 telah mengatur pemerataan kepesertaan antar FKTP, untuk Puskesmas maupun FKTP Swasta. Apakah semua sudah siap?

  Tujuan

  1. Membahas konsep kebijakan pemerataan kepesertaan di FKTP
  2. Membahas latar belakang dan kemungkinan implikasinya (kajian akademik)
  3. Membahas peran pemerintah daerah dalam implementasi kebijakan

  Peserta

  1. Anggota Community of Practice JKN dan Kesehatan
  2. Peneliti, praktisi, dan akademisi

  Agenda

Diskusi ini akan diselenggarakan pada hari Jum’at, 5 Mei 2017; pukul 15:30 – 16.45 WIB; bertempat di Ruang Leadership, Gedung IKM Lama lantai 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Bapak/ Ibu/ Sdr yang tidak dapat hadir secara tatap muka dapat tetap mengikusi diskusi webinar melalui link registrasi berikut:

Registration URL: https://attendee.gotowebinar.com/register/6837315638759275267
Webinar ID: 534-743-899

Arsip diskusi bersama Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN dapat diakses selengkapnya melalui website http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/  dan website http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 

 Pemateri

  1. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D
  2. BPJS Kesehatan (dalam konfirmasi)

  Susunan Acara

Waktu Materi Pemateri/Pembahas
15.30 – 15.40 Pembukaan Moderator
15.40-16.00

Sesi 1:
Konsep Kebijakan Pemerataan Kepesertaan di FKTP

BPJS Kesehatan

pdf Materi

16.00-16.20

Sesi 2:
Isu-isu Menarik terkait Peraturan BPJS Kesehatan tentang Pemerataan Peserta di Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

pdf Materi

16.20-16.45 Diskusi/ Tanya-Jawab Pemateri
16.45 Penutup Moderator

 

  Informasi dan Pendaftaran

Maria Lelyana (Lely)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting), 081329760006 (HP/WA)
Email: [email protected] 
Website:
http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/ , http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 

 

IMG 3241

Menanggapi kebijakan terbaru yang terbit, yaitu Peraturan BPJS Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemerataan Kepesertaan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, PKMK menyelenggarakan seminar pada Jumat, 5 Mei 2017 pukul 15.30 – 17.00 WIB dengan menghadirkan pembicara yaitu Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D selaku akademisi dan I Gusti Ayu Mirah Sutrisni selaku Kepala Departemen UPMP4-BPJS Kesehatan Divre VI DIY-Jateng. Tema yang diangkat ialahtopik isu-isu kontroversial terkait peraturan BPJS Kesehatan tentang pemerataan peserta di FKTP. Sesi diskusidibagi atas 2 bagian dimana sesi pertama mengenai konsep kebijakan pemerataan kepesertaan di FKTP dan sesi kedua membahas tentang isu-isu menarik terkait aturan tersebut.

Sebagai pengantar, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D mengatakan bahwa JKN telah berjalan kurang lebih selama 3 tahun dan sistem pembayaran kapitasi yang diberlakukan di FKTP dirasa belum bermakna untuk meningkatkan kinerja puskesmas dalam tugas sebagai gatekeeper dalam upaya promotif dan preventif. Di berbagai daerah ditemukan bahwa distribusi peserta tidak merata, misal di Papua yang memiliki sekitar 370.000 peserta jika dibandingkan dengan jumlah FKTP yang sangat terbatas sehingga mengalami ketimpangan antara rasio tenaga kesehatan dan peserta. Menindaklanjuti hal tersebut, BPJS mengeluarkan sebuah aturan terkait pemerataan peserta di FKTP sehingga diharapkan dapat mendorong kepuasan peserta dan mutu layanan di FKTP yang tentunya akan menimbulkan banyak dilematis dari berbagai kalangan. Diskusi kali ini masih merupakan pembahasan awal, kedepannya akan dilaksanakan seminar-seminar secara bertahap untuk membahas aturan ini.

Selanjutnya pada sesi pertama, I Gusti Ayu Mirah Sutrisnih menjelaskan mengenai konsep kebijakan pemerataan peserta di FKTP. Perumusan kebijakan ini BPJS telah melakukan kordinasi dengan berbagai pihak diantaranya yaitu kementerian kesehatan, asosiasi faskes, dan asosiasi profesi. Peraturan badan ini merupakan tindak lanjut dari Permenkes Nomor 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Pasal 29 ayat 2A menyatakan bahwa untuk kepentingan pemerataan, BPJS Kesehatan dapat melakukan pemindahan peserta dari suatu FKTP ke FKTP lain yang masih dalam wilayah yang sama. Namun di ayat 2C dijelaskan lebih lanjut bahwa dalam hal peserta yang dipindahkan keberatan, maka peserta dapat meminta untuk dipindahkan ke FKTP yang diinginkannya. Sehingga kepuasan peserta masih menjadi pertimbangan dalam proses pemindahan, aturan ini juga sebagai solusi dalam mendorong mutu layanan di FKTP, misal dalam hal waktu tunggu peserta. Semakin banyak peserta di dalam suatu FKTP memungkinkan semakin lama waktu tunggu masing-masing pasien yang berkunjung dan tentunya tidak ada waktu lagi dalam upaya promotif dan preventif dikarenakan dokter lebih berfokus pada upaya kuratif.

Data menunjukkan bahwa secara nasional jumlah FKTP sudah mencukupi dengan rasio dokter dan jumlah peserta yaitu 1 : 4.746 namun jika ditinjau dari distribusi peserta belum merata di masing-masing FKTP, sehingga inilah mendasari dikeluarkannya  peraturan BPJS Kesehatan tentang pemerataan peserta di FKTP. Implementasi kebijakan ini harus memenuhi beberapa prinsip yaitu mempertimbangkan pilihan peserta, proses pemindahan dilakukan secara bertahap sesuai skala prioritas dan selektif, pemindahan peserta berbasis konsep wilayah yang berdekatan, melibatkan asosiasi faskes dan profesi, dan rekomendasi dari dinas kesehatan, serta melakukan sosialisasi sebelumnya. Saat ini BPJS sedang menyusun petunjuk teknis dalam implementasi kebijakan pemerataan peserta di FKTP.

Pada sesi kedua yang disampaikan langsung oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D dalam diskusinya membahas isu-isu kontroversial yang kemungkinan muncul dalam pemberlakuan aturan ini diantaranya yaitu performance based payment, pembayaran berbasis kinerja masih jarang dilaksanakan di Indonesia, walaupun beberapa dianataranya telah menerapkan dan masih secara bertahap. Jika ditinjau 5000 peserta, di daerah kota dalam pelaksanaannya mungkin agak lebih mudah tapi jika dibandingkan di daerah terpencil jarak antara rumah sangat jauh, apakah nantinya sistem pembayaran juga akan berbeda di setiap daerah disesuaikan dengan kondisi geografis atau lainnya.

Potensi lain yaitu masih terdapatnya puskesmas yang belum BLUD, tentunya anggarannya tercatat di pemerintah daerah. Hal ini menjadi dilematis bagi dinas kesehatan dalam memberikan rekomendasi antara pemerataan peserta ataukah pendapatan daerah, peran dari dinas kesehatan perlu dipertanyakan. Di sisi lain yang perlu perhatian lebih adalah peluang bagi praktek mandiri dan praktek korporasi. Tentunya dari sisi memperoleh modal, praktek korporasi lebih diuntungkan dan ini harus menjadi perhatian lebih dari pihak BPJS. Jika dilihat dari tren bahwa praktek korporasi akan jauh lebih berkembang dan menjamur di masyarakat dibandingkan dengan praktek mandiri.

Dari hasil diskusi pun ditemukan berbagai isu kontroversi yang muncul di antaranya yaitu pengendalian sektor swasta. Beberapa korporasi memiliki faskes di tingkat lanjutan, dan ada kemungkinan juga membuka usaha di bidang layanan primer. Dari pihak BPJS yang perlu diantisipasi adalah dalam sistem rujukan agar menghindari sistem rujukan internal yang berada di dalam suatu praktek korporasi. Ketersediaan dan peran swasta juga harus dilibatkan karena misal di papua jumlah sektor swasta sangat minim, selanjutnya Dr. drg. Yulita Hendrartini, MKes, AAK memberikan saran agar aturan ini tidak berlaku secara general karena kesiapan masing-masing daerah berbeda, sehingga batasan minimum rasio peserta dan dokter mesti ditetapkan serta rasio ketersediaan ruang perawatan, peralatan, dan tenaga kesehatan (SF).

Kerjasama Pusat dan Daerah dalam Jaminan Kesehatan dalam Perspektif Keadilan Sosial

Webinar Monev JKN

Kondisi missmatch anggaran JKN mengundang konsekuensi bahwa pengelolaan dana JKN bukan hanya peran pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah. Bahkan ada wacana agar penyelenggaraan JKN diberikan seluruhnya ke pemerintah daerah, sehingga pemerintah pusat hanya berwenang dalam hal manajemen pengawasan. Banyak faktor yang patut dipertimbangkan dalam menemukan formulasi yang tepat mengenai pembagian tugas antara pemerintah daerah dengan pusat. Sistem desentralisasi sekarang membuat daerah diharapkan turut mengawal pembiayaan kesehatan di daerahnya bersama-sama dengan BPJS Kesehatan. Tentunya diharapkan ada keselarasan peran dengan hasil yang optimal bagi upaya penyelenggaraan kesehatan masyarakat, termasuk dalam perspektif keadilan sosial.

Semangat gotong royong antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal pembagian peran dan tanggung jawab penyelenggaraan JKN merupakan isu yang perlu diperhatikan saat ini. Beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pemerintah daerah cukup merespon positif bahkan turut mengambil peran dalam penyelenggaraan JKN di daerah. Contoh nyata peran pemerintah daerah adalah penyusunan regulasi terkait penyelenggaraan JKN di tingkat daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota sebagai bentuk turunan dari peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, sehingga peraturan di tingkat pusat dapat diimplementasikan di daerah. Meskipun demikian, beberapa isu penting belum mendapatkan perhatian para pemerintah daerah, sebagai contoh adalah regulasi mengenai sisa dana kapitasi. Padahal, tidak sedikit daerah yang memiliki sisa dana kapitasi yang besar.

Studi tentang monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM juga menyimpulkan bahwa organisasi perangkat daerah belum banyak mengambil peran dalam penyelenggaraan program JKN. Pembinaan dan pengawasan belum dilakukan secara optimal, padahal pembinaan dan pengawasan merupakan hal yang cukup penting dalam penyelenggaraan JKN, terutama bagi puskesmas dan rumah sakit. Hal ini dibuktikan dengan hasil studi yang menunjukkan bahwa organisasi perangkat daerah belum banyak menyinggung mengenai landasan kebijakan penyelenggaraan JKN di tingkat daerah. Padahal sekali lagi, regulasi merupakan komponen yang sangat penting dalam implementasi JKN. Selain itu, beberapa komponen anggaran kesehatan bersumber dari pemerintah baik pusat maupun daerah serta swasta belum dimanfaatkan secara optimal. Peluang ini seharusnya dapat dimanfaatkan oleh daerah untuk mengatasi masalah infrastruktur dan SDM yang turut mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Dana tersebut harapannya juga dapat dimanfaatkan untuk peningkatan program preventif-promotif.

Isu lain yang perlu mendapatkan perhatian dalam penyelenggaraan JKN adalah isu keadilan sosial. Isu keadilan sosial dalam penyelenggaraan JKN pada kenyataannya masih terjadi di beberapa daerah di Indonesia, sebagai contoh terjadi di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan penuturan dr. Stefanus Bria Seran, M.Kes. (Bupati Malaka), masyarakat yang seharusnya tercakup dalam JKN (PBI) di Kabupaten Malaka sapai saat ini belum semuanya ter-cover. Hal ini disebabkan karena lemahnya sistem pendataan siapa yang berhak dan tidak berhak mendapatkan bantuan iuran. Pada akhirnya, isu ketidakadilan muncul dan harus segera diatasi. Pemerintah Kabupaten Malaka mengambil kebijakan total coverage, dalam artian masyarakat yang tidak memiliki kartu asuransi namun berstatus sebagai penduduk Kabupaten Malaka, maka seluruh biaya pelayanan kesehatannya ditanggung oleh Pemkab Malaka melalui sistem klaim. Meskipun demikian, bukan berarti masalah serta merta selesai begitu saja. Pemkab Malaka dihadapkan pada masalah finansial, yaitu dana APBD yang dialokasikan tidak mencukupi untuk program tersebut. Selain itu, meskipun 2019 ditargetkan universal health coverage, pemerataan fasilitas dan SDM kesehatan merupakan isu yang masih akan muncul pasca-2019 terutama di DTPK. Oleh sebab itu, Bupati Malaka merekomendasikan beberapa hal, antara lain: adanya regulasi terkait keseimbangan alokasi dana untuk jaminan kesehatan di daerah termasuk pemerataan fasilitas dan SDM kesehatan di daerah, pembagian beban biaya kesehatan antara individu dengan pemda, adanya subsidi silang, sistem pendidikan kedokteran/kesehatan yang mencetak SDM kesehatan yang mau mengabdikan diri ke daerah, kolaborasi fasilitas kesehatan yang kecil dan besar, serta menggalakkan penelitian dalam rangka perbaikan sistem kesehatan.

Sementara itu, Asih E.P. Martabat (DJSN) berpendapat bahwa isu ketidakadilan merupakan isu klasik dalam penyelenggaraan JKN. Masalah lemahnya sistem pencatatan penduduk, pemerataan fasilitas dan SDM kesehatan, dan isu kepesertaan idealnya harus selesai sebelum JKN secara resmi diimplementasikan. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan bersama-sama dengan sektor lain. Sebagai contoh masalah pencatatan penduduk harusnya diselesaikan oleh sektor kependudukan sehingga tidak menghambat penyelenggaraan JKN. Selain itu, isu ketidakadilan dalam penyelenggaraan JKN juga disebabkan karena program JKN belum sepenuhnya menyentuh pasar, padahal JKN bekerja menggunakan sistem pasar. Lantas, di mana mekanisme pasar bekerja? JKN memberikan akses yang sama kepada fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dengan sistem kontrak. Dari sisi peserta, JKN memberikan kebebasan peserta untuk memilih fasilitas kesehatan berdasarkan koridor yang telah ditetapkan. Namun, mekanisme penyelenggaraan layanan untuk daerah terpencil (DTPK) rupanya masih menuai polemik. Oleh sebab itu, perlu beberapa solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Terkait dengan masalah akses layanan kesehatan, pemeritah dapat mengalokasikan dana kompensasi, sehingga mampu meningkatkan akses bagi masyarakat di daerah terpencil. Selain itu, sistem pembayaran kapitasi hendaknya tidak hanya mempertimbangkan faktor jumlah peserta saja, melainkan juga harus mempertimbangkan aspek geografis, kepadatan penduduk, jangkauan layanan kesehatan, dan sebagainya.

Pada kesempatan ini, Agus Priyanto (Bapel Jamkesos DIY) juga menyampaikan bahwa terkait dengan kerja sama pusat dan daerah dalam penyelenggaraan JKN, pemerintah daerah tidak hanya berperan dalam upaya penanggulangan isu miss match dana JKN saja, akan tetapi juga berupaya untuk meng-cover masyarakat yang belum terjamin dalam skema JKN. Hal ini disebabkan karena kenyataannya, masih banyak masyarakat yang seharusnya ter-cover dalam skema PBI JKN belum menjadi peserta sebagaimana terjadi di DI Yogyakarta. Oleh sebab itu, system buffer (penyangga) perlu dilakukan, misalnya seperti yang telah dilakukan oleh Bupati Malaka yang mengalokasikan sisa dana kapitasi untuk menjamin masyarakat yang belum terjamin. Sejalan dengan yang dilakukan oleh Pemda DIY yang masih mempertahankan Jamkesda untuk menjamin kelompok penduduk miskin yang belum ter­-cover dalam skema JKN.

Sebagai penutup, Prof. Laksono Trisnantoro menyampaikan bahwa isu yang juga harus diperhatikan dalam penyelenggaraab JKN terakit dengan keadilan social adalah fenomena adverse selection. Fenomena subsidi terbalik ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di Vietnam. Vietnam juga mengalami fenomena subsidi terbalik antara daerah miskin dengan daerah kaya atau lebih dikenal dengan isu regional inequity. Oleh sebab itu, penggunaan kubus sistem pembiayaan kesehatan WHO saat ini harus hati-hati. Asumsi yang digunakan oleh Indonesia selama ini adalah sama rata (single pool). Padahal, pada kenyataannya Indonesia masih dihadapkan pada isu regional inequity. Jika hal ini tidak dipetakan, maka akan terjadi situasi yang menyesatkan. Dana PBI dikhawatirkan tidak akan terserap untuk penduduk yang berhak memanfaatkannya, misalnya dimanfaatkan oleh peserta dari regional 1 yang memilik akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih baik dibandingkan regional lain. Lebih lanjut mengenai isu regional inequity, asas portabilitas tidak serta merta mampu menyelesaikan kondisi ini. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah biaya untuk mengakses layanan kesehatan secara borderless tidak sedikit. Justru pasien yang mampu mengakses layanan ke luar daerah adalah mereka yang memiliki dana yang besar. Menghadapi hal ini, isu pemerataan harus menjadi bahan evaluasi. Pemerintah harus memastikan bahwa masyarakat miskin harus terlindungi. Pajak negara harus dialokasikan secara tepat.

Second Annual Universal Health Coverage Financing Forum: Efficiency and Value for Money

20 – 21 April 2017 / The Mayflower Hotel, Washington, DC

Laporan yang ditulis oleh Prof. Laksono Trisnantoro ini mempunyai berbagai bab yang dapat dibaca. Pendahuluan merupakan Ringkasan dari Concept Note yang merupakan terjemahan paper yang disiapkan penyelenggara pertemuan ini. Paper Concept Note sedang diproses penerjemahannya. Selanjutnya Sesi Penutupan, Highlights dan Penutupan (ditulis oleh Pandu Harimurti) merupakan catatan saat mengikuti sesi. Di sini terdapat materi (power point) yang dapat diklik untuk dibaca lebih lanjut. Bagian-bagian terakhir; Refleksi untuk Indonesia dan Rekomendasi merupakan pendapat dan analisis subyektif Prof. Laksono Trisnantoro pasca mengikuti pertemuan ini. Sebagai muatan yang subyektif, pandangan terhadap isi Forum menjadi hal yang dapat diperdebatkan.

Bagi yang berminat untuk membaca web resmi Forum di tahun 2017, dapat klik disini, Sedangkan untuk Forum 1 di tahun 2016, silahkan klik disini

lore mipsum asd asdasdasdas asd asd asdasd

lore mipsum asd asdasdasdas asd asd asdasd lore mipsum asd asdasdasdas asd asd asdasd lore mipsum asd asdasdasdas asd asd asdasd lore mipsum asd asdasdasdas asd asd asdasd lore mipsum asd asdasdasdas asd asd asdasd lore mipsum asd asdasdasdas asd asd asdasd lore mipsum asd asdasdasdas asd asd asdasd lore mipsum asd asdasdasdas asd asd asdasd lore mipsum asd asdasdasdas asd asd asdasd lore mipsum asd asdasdasdas asd asd asdasd 

lore mipsum asd asdasdasdas asd asd asdasd lore mipsum asd asdasdasdas asd asd asdasd 

lore mipsum asd asdasdasdas asd asd asdasd

Reportase Forum Kebijakan Kesehatan Indonesia ke VI di Padang

Telah terselenggara kegiatan Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia yang ke VI di kota Padang. kegiatan ini diselenggarakan selama tiga hari mulai dari tanggal 24 hingga 26 Agustus 2015 di Hotel Bumi Minang Padang. dalam acara tersebut hadir pula Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Prof. dr. Nila Moeloek. dalam Keynote Speech yang disampaikannya, Stunting menjadi salah satu pekerjaan rumah besar yang harus dicari solusinya. Selain stunting, masih banyak ditemukan fakta menarik terkait situasi kesehatan di Indonesia saat ini. materi presentasi selengkapnya dapat di simak pada link berikut

materi presentasi

Dalam kegiatan ini ada sekitar 450 peserta yang mengikuti Forum KKI ke VI ini, dengan 90 hasil penelitian mengenai kebijakan kesehatan yang dipaparkan selama 2 hari seminar. Ada banyak topik menarik yang dibahas dalam forum ini, untuk itu silahkan klik link dibawah untuk menyimak reportase kegiatan, materi presentasi, dan video pada setiap sesinya.

 

 
 
   

Reportase Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia 2017

Forum nasional VII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia telah diselenggarakan pada 25-26 Oktober 2017 di Fakultas Kedokteran UGM dengan tema “Monitoring Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional“ dan “Pengalaman Empirik dalam Penyusunan Kebijakan Kesehatan di Level Pemerintah Pusat atau Daerah”. Salah satu catatan penting yang dihasilkan ialah pihak Kementerian Kesehatan menantikan rekomendasi dari Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia untuk menjawab permasalahan kesehatan yang masih ada. Selain itu, terdapat pula kemungkinan penelitian yang akan didukung Kementrian Kesehatan terkait sektor kesehatan, terutama untuk isu yang jarang diteliti.

Pada Forum Nasional kali ini terdapat 10 Co-Host yang menyiarkan kegiatan ini secara langsung di lokasi mereka masing-masing diantaranya Universitas Trisakti, Universitas Sumatera Utara, Universitas Andalas, Universitas Padjajaran, Universitas Mulawarman, Universitas Jember, Universitas, Hasanuddin, Universitas Samratulangi, Rumahsakit Bali Royal, dan RSUD DOK II Papua. Materi dan reportase kegiatan selengkapanya dapat dilihat pada link berikut dan akan terdapat Post Test untuk mendapatkan sertifikat dari kegiatan ini.

dan 0274-549425 (hunting/Fax): 0274-549425. Keterangan lebih jauh, silakan klik link berikut

Website FKKI 2017   Bahan Diskusi

 
 
refleksi
refl2

Reportase Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia VIII

Tahun ini, Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia kembali menyelenggarakan Forum Nasional (Fornas) Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) yang Kedelapan. Tema yang diangkat yaitu “Apakah Kebijakan JKN akan mencapai sasaran di peta jalan?”. Fornas JKKI 2018 diselenggarakan pada 7-8 November 2018 di Yogyakarta. Sementara post forum pada 9 November 2018 dengan sejumlah sesi yang dapat dipilih dan diikuti peserta, diantaranya: Desain Analisis Kebijakan, Penyusunan Policy Brief dan Dokumen Saran Kebijakan, Desain Agenda Advokasi, Stakeholder Mapping, Menggali dana – dana Filantropisme untuk meningkatkan keadilan sosial. Reportase serta materi kegiatan selama tiga hari tersebut dapat diakses pada link berikut


Peran Analis Kebijakan dan Keterampilan yang Dibutuhkan: Penggunaan Data Sekunder Kesehatan dan Teknik Advokasi

PENGANTAR

Pembangunan kesehatan tidak dapat terlepas dari penggunaan data dan informasi kesehatan. Data kesehatan merupakan angka dan fakta kejadian berupa keterangan dan tanda – tanda, yang secara relatif belum bermakna bagi pembangunan kesehatan. Sedangkan informasi kesehatan merupakan data kesehatan yang sudah diolah dan diproses menjadi bentuk yang bermakna serta bernilai bagi pengetahuan dan pembangunan kesehatan.

Banyak data kesehatan diperoleh baik melalui survey, program surveilans, monitoring, maupun evaluasi yang secara rutin dilakukan oleh otoritas – otoritas kesehatan baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Analisis data kesehatan tersebut memegang peranan krusial dalam mendukung proses perencanaan, penganggaran, pengambilan keputusan, penyusunan kebijakan, maupun perbaikan sistem kesehatan dengan didasarkan pada bukti.

Data juga merupakan bagian dari evidence untuk menjadi suatu dasar bukti dalam menyusun dan menetapkan suatu kebijakan melalui analisis. Hasil analisis dapat berupa Knowledge Translation Product (Produk Penerjemahan Pengetahuan) yang memiliki fungsi untuk mengisi gap antara pengetahuan dan kebutuhan praktik yang ditujukan kepada pengambil keputusan dan pemangku kepentingan. Untuk dapat menyampaikan hasil tersebut dibutuhkan strategi advokasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh analis kebijakan. Teknik advokasi ini menjadi penting, karena menjadi jembatan bagi produk penerjemahan pengetahuan yang berisikan usulan rekomendasi untuk masuk ke dalam proses kebijakan pemerintah.

 

TUJUAN

Diskusi topik Fornas 2022 ini bertujuan untuk:

  1. Memahami bentuk dan manfaat dari data sekunder bagi analis kebijakan.
  2. Memahami teknik advokasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh analis kebijakan.

 

WAKTU PELAKSANAAN

Hari, tanggal               : Rabu, 19 Oktober 2022
Waktu                         : 10.00 – 12.30 WIB

 

AGENDA KEGIATAN

10.00 – 10.10 WIB Pembukaan oleh  Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Msc, PhD – Ketua jaringan kebijakan kesehatan indonesia

 

VIDEO

10.10 – 10.40 WIB
  1. Interpretasi Data Kualitatif dan Kuantitatif untuk Analis Kebijakan
    Dr. dra. Dumilah Ayuningtyas, MARS – Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

VIDEO   MATERI

  1. Metode Realist Evaluation untuk Analis Kebijakan
    dr. Likke Prawidya Putri, MPH, Ph.D (cand) – Dosen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK, UGM

VIDEO   MATERI

  1. Teknik Advokasi Kebijakan untuk Analis Kebijakan
    Gabriel Lele, M.Si, Dr.Phil – Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL, UGM

VIDEO   MATERI

10.40 – 11.20 WIB Sesi Diskusi dan Tanya Jawab

 

VIDEO

 

 

LAMPIRAN POLICY BRIEF

11.30 – 11.40 WIB Penayangan Video Policy Brief I

 

Integrasi Pelayanan Kesehatan Mental Berbasis Telehealth – Mandira Ajeng Rachmayanthy

VIDEO

11.40 – 11.50 WIB Penayangan Video Policy Brief II

 

Data Pelaporan dan Data Survei: Perlukah Dipertentangkan? – Luna Amalia, Meilinda, Melyana Lumbantoruan, Nirmala A. Ma’ruf, Novi Budianti, Nurul Puspasari, Syachroni

VIDEO

11.50 – 12.10 WIB Pembahasan Policy Brief

 

  1. Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan
  2. Direktorat Tata Kelola Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan

VIDEO

 

 

REPORTASE

Forum Nasional (Fornas) Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) XII pada hari ketiga (19/10/2022) mengangkat topik “Peran Analis Kebijakan dan Keterampilan yang Dibutuhkan: Penggunaan Data Sekunder Kesehatan dan Teknik Advokasi”. Acara yang dipandu oleh Mashita Inayah, S.Gz selaku master of ceremony (MC) ini dimulai dengan pembukaan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., sebagai Ketua JKKI. Laksono membuka acara dengan menekankan pentingnya basis bukti atau evidence dan keterampilan advokasi untuk mendukung proses penyusunan kebijakan. Sesi pembukaan diakhiri dengan pertanyaan,”Apakah diperlukan pemisahan profesi/peran sebagai advokator kebijakan dan analis kebijakan?”

VIDEO

Sesi Pemaparan

Acara dilanjutkan dengan paparan dari tiga narasumber. Sesi ini dimoderasi oleh Shita Listyadewi, MM, MPA selaku Kepala Divisi Kesehatan Masyarakat PKMK. Narasumber pertama untuk sesi ini adalah Dr. dra. Dumilah Ayuningtyas, MARS, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Dumilah membawakan materi yang bertajuk “Interpretasi Data Kualitatif dan Kuantitatif untuk Analis Kebijakan”. Dumilah berargumen sebuah kebijakan membutuhkan basis bukti berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Lebih jauh lagi, evidence-based policy membutuhkan kompetensi teknis untuk mengintegrasikan pengalaman, pertimbangan, dan ekspertis dengan data yang tersedia untuk memastikan penyusunan kebijakan dilakukan secara objektif dan bukan sekadar berbasis opini.

Mengambil contoh kejadian di Stadion Kanjuruhan, Dumilah menunjukkan bahwa evidence diperlukan secara cepat dari berbagai sumber untuk memungkinkan respon kebijakan yang lebih cepat. Dumilah juga menggunakan contoh dinamika data vaksinasi, mobilitas, dan pertambahan jumlah kasus yang mempengaruhi rekomendasi-rekomendasi terkait kebijakan pencegahan dan respon COVID-19, seperti screening, testing, dan pembatasan perjalanan. Menutup pemaparannya, Dumilah menekankan bahwa profesi advokator sebaiknya tidak dipisahkan dari profesi analis kebijakan. Analisis menghasilkan luaran berupa rekomendasi. Supaya rekomendasi dapat termanfaatkan, diperlukan upaya persuasi atau dorongan atas perubahan. Oleh karena itu, seorang analis kebijakan memerlukan keterampilan untuk juga menjadi advokator kebijakan.

VIDEO   MATERI

Narasumber kedua adalah dr. Likke Prawidya Putri, MPH, Ph.D (cand), Dosen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK), Universitas Gadjah Mada (UGM). Likke memberikan pemaparan yang berjudul “Metode Realist Evaluation untuk Analis Kebijakan”. Likke menyampaikan bahwa realist evaluation (RE) merupakan pendekatan yang berbasis pada realisme, yakni penerimaan akan kenyataan yang terjadi di lapangan sebagaimana adanya dan merespon temuan-temuan tersebut.

RE memperhatikan aspek-aspek sosial yang berinteraksi dengan program atau kebijakan. Likke menutup paparannya dengan menekankan bahwa RE tidak berhenti pada kesimpulan “Ya” atau “Tidak”, melainkan juga menjelaskan konteks-konteks pada mana program atau kebijakan dianggap efektif atau tidak efektif.

VIDEO   MATERI

Narasumber ketiga yaitu Gabriel Lele, M.Si, Dr.Phil, Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), UGM. Gabriel memberikan pemaparan “Teknik Advokasi Kebijakan untuk Analis Kebijakan”. Senada dengan paparan Dumilah, Gabriel menyampaikan bahwa peran advokator kebijakan tidak bisa dipisahkan dengan peran analis kebijakan. Gabriel mengatakan bahwa analis kebijakan perlu memposisikan dirinya sebagai “policy entrepreneur” supaya hasil-hasil kajian dapat ditindaklanjuti oleh pembuat kebijakan. Titik-titik advokasi dapat bervariasi, misalnya di fase agenda-setting, formulasi alternatif solusi, implementasi, dan evaluasi.

Gabriel menutup paparannya dengan menjelaskan langkah-langkah kunci advokasi yang terdiri atas penentuan masalah kebijakan, memahami lingkungan kebijakan, menentukan target audiens, menentukan target substantif, dan memilih strategi untuk mengatasi masalah. Selain itu, Gabriel juga menekankan bahwa strategi advokasi perlu mempertimbangkan pendekatan akademik-saintifik dan sosial-politik.

VIDEO   MATERI

Setelah pemaparan dari ketiga narasumber, acara dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab. Sesi ini memunculkan wacana-wacana tentang pentingnya keberpihakan pada publik dalam penyusunan dan analisis kebijakan publik, sensitifitas atas ekologi kebijakan dalam pelaksanaan advokasi atau translasi hasil penelitian untuk penyusunan kebijakan, objektivitas dan independensi analis kebijakan, menginterpretasi hasil secara berimbang, serta penggunaan data yang akurat dan reliabel supaya rekomendasi dapat termanfaatkan, alih-alih terjadi garbage-in-garbage-out.

Presentasi Policy Brief

Setelah sesi pemaparan dan diskusi, acara dilanjutkan dengan presentasi policy brief yang dipandu oleh Tri Muhartini, MPA. Presentasi pertama dibawakan oleh Mandira Ajeng Rachmayanthy dengan topik “Integrasi Pelayanan Kesehatan Mental Berbasis Telehealth”. Penggunaan fasilitas Telehealth diharapkan dapat menjembatani masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan mental. Telehealth yang berkembang pesat dapat menjangkau wilayah secara luas sehingga menjadi rekomendasi layanan kesehatan dengan mempertimbangkan aspek tata kelola, keuangan, pelayanan dan potensi bahayanya. Oleh karena itu diperlukan regulasi terkait sistem pelayanan kesehatan mental melalui Telehealth yang terintegrasi dengan sistem pemerintah pusat.

Presentasi kedua berjudul “Data Pelaporan dan Data Survei: Perlukah Dipertentangkan?”. Presentasi ini dibawakan oleh Luna Amalia, Meilinda, Melyana Lumbantoruan, Nirmala A. Ma’ruf, Novi Budianti, Nurul Puspasari, dan Syachroni. Data berperan penting sebagai penyusun informasi, baik di skala mikro hingga makro seperti dokumen evaluasi capaian pembangunan kesehatan. Data dari berbagai sumber seringkali dipertentangkan sebagai dualisme data dan informasi seperti pada data rutin dan data survei. Pada dasarnya, data pelaporan rutin dan data survei memiliki karakteristik yang berbeda dan memang tidak untuk dipertentangkan. Oleh karena itu, data pelaporan rutin sebaiknya dipergunakan sebagai bahan perencanaan dan penentuan prioritas program intervensi kesehatan. Sedangkan data survei sebagai bahan evaluasi dampak kinerja pembangunan kesehatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari persepsi adanya dualisme data.

VIDEO

Setelah pemaparan policy brief, acara selanjutnya adalah pembahasan oleh Farida Sibuea, SKM, M.Sc.PH. selaku Ketua Tim Kerja Analisis Data, Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan dan dr. Monika Saraswati Sitepu, M.Sc selaku Ketua Tim Kerja Integrasi Pelayanan Primer Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan. Farida menyatakan bahwa ada hal penting dalam Telehealth yaitu perlindungan data. Data kesehatan harus disimpan di dalam negeri dan bukan luar negeri karena hal ini telah diatur dalam undang-undang PP Nomor 71 Tahun 2019. Sedangkan terkait pelaporan data rutin, diperlukan penguatan data rutin karena akan mewakili apa yang ada di lapangan sehingga data rutin dapat mewakili data survei. Namun, beberapa indikator kesehatan tetap perlu dilakukan survei sebagai kontrol. Monika menambahkan bahwa layanan kesehatan mental masuk ke dalam pelayanan kesehatan minimal. Namun, dalam policy brief tersebut perlu ditambahkan pendeteksian masalah jiwa di layanan primer dan untuk mengoptimalkan Telehealth perlu didukung infrastruktur yang memadai. Sementara itu, untuk meningkatkan kualitas data rutin perlu dukungan pemerintah daerah yang dapat mendorong pemanfaatan data rutin dengan lebih baik.

VIDEO

Selanjutnya, Tri Muhartini, MPA menyimpulkan hasil diskusi pada kegiatan ini bahwa data rutin yang selalu diperbaharui dan data survei yang tersedia akan mendukung transformasi sistem kesehatan dan membantu dalam penyusunan analisis kebijakan. Materi dan detail kegiatan Fornas XII dapat diakses di https://fornas.kebijakankesehatanindonesia.net. Salam Sehat!

Reporter:
Monita Destiwi, MPA dan Mentari Widiastuti, MPH (Divisi Public Health, PKMK)