Reportase Topik #3 Kebijakan Climate-Resilient dan Low Carbon Health System

Perubahan iklim kini menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat di Indonesia maupun dunia. Dampaknya tidak hanya meningkatkan risiko berbagai penyakit, melainkan juga menekan kapasitas sistem kesehatan nasional yang meliputi struktur pelayanan kesehatan, sumber daya manusia, hingga infrastruktur fasilitas kesehatan. Di sisi lain, sektor kesehatan juga berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca melalui konsumsi energi, limbah medis, serta rantai pasok farmasi dan alat kesehatan yang berjejak karbon tinggi.

Menjawab tantangan tersebut, topik “Kebijakan Climate-Resilient dan Low Carbon Health System” diangkat dalam hari ketiga Forum Nasional XV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) 2025 yang dilaksanakan pada 30 Oktober 2025 di Auditorium Gedung Tahir FK-KMK UGM. Kegiatan ini menjadi ruang dialog strategis untuk membahas arah transformasi sistem kesehatan menuju arah yang lebih tangguh terhadap iklim (climate-resilient) dan rendah karbon (low carbon).

Pembukaan 

Acara pembukaan dipandu oleh Ubaid Hawari, S.IKom selaku Master of Ceremony (MC) dilanjutkan dengan sambutan dan pengantar kegiatan oleh dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes, Ph.D, selaku Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM dan Koordinator Topik Kebijakan Climate-Resilient dan Low Carbon Health System. Dalam sambutannya, Lutfan, PhD menegaskan pentingnya pembahasan isu climate resilience dan low carbon health system sebagai bagian dari agenda global sekaligus tanggung jawab nasional dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Lutfan menyampaikan bahwa perubahan iklim bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga menjadi tantangan besar bagi sektor kesehatan yang harus direspons secara komprehensif melalui kolaborasi lintas sektor. Pihaknya berharap kegiatan ini bisa menjadi wadah pembelajaran bersama untuk merespons isu dampak perubahan iklim bagi sistem kesehatan.

Pengantar
Policy and Research to Advance Climate-Resilient and Low Carbon Health System in Indonesia”

Sesi pengantar dibuka oleh Prof. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc, Ph.D, FRSPH, Dekan FK-KMK UGM, yang menekankan pentingnya peran sektor kesehatan dalam menghadapi krisis iklim. Prof Yodi mengawali dengan kisah inspiratif dari Peru tentang seekor burung kecil. Saat hutan tempatnya tinggal dilanda kebakaran, burung kecil itu terus terbang bolak-balik dari sungai untuk membawa air dengan paruh mungilnya, berusaha memadamkan api. Saat hewan lain menghina karena usahanya dianggap sia-sia, burung tersebut menjawab, “I’m just trying to do the best I can.”

Prof. Yodi menyampaikan bahwa perubahan iklim telah menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan, termasuk meningkatnya kematian akibat gelombang panas, kekeringan yang berkepanjangan, dan meluasnya penyakit seperti demam berdarah. Data Lancet Countdown on Health and Climate Change 2025 menunjukkan bahwa ancaman ini kini nyata dan semakin kompleks. Pihaknya juga menyoroti keputusan World Health Assembly tahun 2024 yang menetapkan Global Action Plan on Climate Change and Health, menegaskan pentingnya sistem kesehatan yang tangguh terhadap iklim dan rendah karbon.

Prof Yodi menegaskan bahwa banyak peluang kontribusi dapat dilakukan, termasuk melalui riset, asesmen kerentanan fasilitas kesehatan, pengembangan rencana aksi nasional, inovasi pendidikan tenaga kesehatan, hingga pemetaan sumber emisi karbon dari rumah sakit dan puskesmas. Menurutnya, berbagai topik ini dapat diangkat dalam riset mahasiswa, termasuk di tingkat magister, untuk memperkuat basis pengetahuan nasional dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh terhadap iklim.

Prof. Yodi mengajak akademisi, peneliti, dan tenaga kesehatan untuk mengambil peran nyata melalui riset, advokasi kebijakan, dan inovasi layanan kesehatan berkelanjutan. Menutup sesinya, pihaknya menumbuhkan kembali semangat kolektif dengan mengutip Jane Goodall bahwa “real hope requires action and engagement.”

Sustainable Health System Benchmark from Australia’s Best Practice

Bertugas sebagai moderator pada sesi pertama adalah Annisa Ristya Rahmanti, S.Gz, Dietisien, MS., Ph.D dengan narasumber Dr. Anthony Sunjaya, Senior Lecturer di University of New South Wales (UNSW) Sydney, yang memaparkan topik “Building Sustainable Health Systems: Learnings from Australia and Other Settings. Dr. Anthony menyoroti fakta bahwa sistem kesehatan dunia berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca, dengan 71% emisi berasal dari rantai pasok (scope 3), mencakup transportasi, produksi alat medis, hingga konsumsi energi rumah sakit. Dr. Anthony menjelaskan bahwa di Australia telah menerapkan strategi komprehensif yang berfokus pada empat area utama: resiliensi sistem kesehatan terhadap iklim, dekarbonisasi sistem kesehatan, kolaborasi internasional, serta penerapan pendekatan health in all policies. Strategi tersebut mendorong efisiensi energi di fasilitas kesehatan, penggunaan transportasi rendah emisi, pengurangan limbah medis, serta penerapan green procurement dalam rantai pasok.

Dr Anthony juga memaparkan contoh inovatif dari sektor kesehatan Australia yang berhasil menurunkan jejak karbon, seperti penggunaan AI-based diabetic eye screening yang terbukti menghasilkan emisi karbon lima kali lebih rendah dibandingkan pemeriksaan tatap muka konvensional. Meski demikian, Dr. Anthony mengingatkan bahwa teknologi seperti kecerdasan buatan juga memiliki carbon footprint yang perlu dikendalikan dengan penggunaan algoritma hemat energi dan infrastruktur berbasis energi terbarukan.

“Untuk membangun sistem kesehatan berkelanjutan, kita perlu menyeimbangkan antara inovasi digital dan tanggung jawab lingkungan,” ujarnya, sembari menegaskan bahwa prinsip keadilan kesehatan, One Health, dan planetary health harus menjadi dasar kebijakan kesehatan masa depan.

Sesi Diskusi

Pada sesi diskusi, peserta menyoroti bahwa kegiatan perjalanan ke fasilitas kesehatan juga menyumbang emisi gas. Beberapa peserta mengakui bahwa kesenjangan pengetahuan dan kesiapan di Indonesia masih menjadi tantangan utama. Topik lain yang menjadi perhatian adalah bagaimana pemerintah Australia memfasilitasi kolaborasi lintas disiplin dan lintas sektor dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh dan rendah karbon. Pendekatan tersebut dinilai dapat menjadi rujukan bagi Indonesia dalam memperkuat sinergi antara akademisi, pembuat kebijakan, tenaga kesehatan, dan masyarakat. Karena itu, penguatan kapasitas, peningkatan literasi iklim di sektor kesehatan, serta pengembangan kebijakan pendukung dinilai penting untuk mempercepat transformasi menuju sistem kesehatan yang berkelanjutan.

Arah Kebijakan Nasional Menuju Sistem Kesehatan Tangguh Iklim dan Rendah Karbon

Selanjutnya pada sesi kedua menghadirkan narasumber yaitu dr. Then Suyanti, MM (Direktur Kesehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan RI) dengan dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph.D. (Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM) sebagai pembahas. Dalam paparannya, dr. Then menekankan bahwa perubahan iklim telah memperburuk risiko kesehatan di Indonesia—termasuk peningkatan kasus penyakit menular seperti malaria, dengue, dan diare, hingga penyakit tidak menular seperti PPOK dan penyakit jantung iskemik. Berdasarkan kajian WHO tahun 2023, lebih dari 1.500 desa di Indonesia tergolong sangat rentan terhadap penyakit sensitif iklim. Menyikapi kondisi tersebut, Kementerian Kesehatan telah mengembangkan Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kesehatan (RAN MAPIK) 2025–2030 sebagai pedoman implementasi di tingkat pusat hingga daerah. Kebijakan ini memperkuat 10 komponen building blocks sistem kesehatan berketahanan iklim—mulai dari tata kelola, SDM, hingga sistem informasi kesehatan—serta mendukung pencapaian SDG 3 dan SDG 13 melalui penguatan program Desa Sehat Iklim (DESI) dan Fasilitas Kesehatan Tangguh Iklim.

Sementara itu, dr. Lutfan Lazuardi menyoroti pentingnya transformasi paradigma pelayanan kesehatan agar lebih adaptif dan berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon. Beliau memaparkan bahwa sektor kesehatan berkontribusi sekitar 1,9% terhadap total emisi gas rumah kaca nasional, menunjukkan urgensi inovasi berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang diangkat adalah penerapan telemedicine dan transformasi digital hijau, yang terbukti dapat menurunkan jejak karbon sebagaimana ditunjukkan dalam riset internasional yang turut melibatkan dirinya. Selain itu, ia menegaskan bahwa strategi keberlanjutan harus meliputi transformasi, kolaborasi, dan inovasi, di mana kolaborasi lintas sektor—antara akademisi, praktisi, pemerintah, dan masyarakat—menjadi kunci dalam memperkuat sistem kesehatan tangguh iklim. Mengutip seruan WHO (2023),  Lutfan, PhD menutup dengan pesan kuat: “Kita tidak lagi memiliki kemewahan untuk menunggu. Perubahan iklim bukan ancaman masa depan, tetapi krisis hari ini yang membutuhkan aksi dari semua pihak.”

Sesi Diskusi

Pada sesi diskusi dan tanya jawab yang dimoderatori oleh dr. Ichlasul Amalia, MPH., peserta menyampaikan berbagai pandangan dan pertanyaan yang memperkaya pembahasan mengenai upaya penguatan sistem kesehatan yang tangguh terhadap perubahan iklim di Indonesia. Salah satu peserta berbagi pengalaman tentang proyek yang telah dijalankan selama lebih dari sepuluh tahun di pesisir Madura. Peserta menjelaskan bahwa kegiatan tersebut berawal dari penanganan abrasi pantai, kemudian berkembang menjadi program kesehatan lingkungan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap risiko perubahan iklim. Menanggapi hal tersebut, dr. Then menjelaskan bahwa Kemenkes saat ini tengah mengembangkan panduan Desa Sehat Iklim (DESI) sebagai inovasi nasional yang diharapkan menjadi model implementasi adaptasi kesehatan terhadap iklim di tingkat komunitas. Wilayah pesisir, katanya, termasuk dalam sasaran pengembangan program ini, sehingga diharapkan dapat segera diimplementasikan setelah panduannya selesai.

Selanjutnya, peserta lain menanyakan mengenai akses pendanaan dari Green Climate Fund (GCF) dan strategi khusus untuk puskesmas. dr. Then menjelaskan bahwa pengajuan GCF tahun ini diharapkan dapat terealisasi pada 2026, dan peluang pendampingan terbuka untuk dinas kesehatan, rumah sakit, maupun LSM yang fokus pada isu iklim dan kesehatan. Ia juga menekankan pentingnya percepatan status BLUD bagi puskesmas agar dapat menindaklanjuti program dengan lebih fleksibel. Selain itu, Kemenkes juga mulai melakukan asesmen emisi fasilitas pelayanan kesehatan sebagai langkah awal menuju sistem rendah karbon.

Dalam sesi lanjutan, peserta menyoroti meningkatnya kasus dengue pada 2024 dan menanyakan kebijakan penguatan respons terhadap penyakit vektor seperti dengue dan malaria. dr. Then menjawab bahwa kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) kini terintegrasi dalam program Desa Sehat Iklim. Menutup diskusi, dr. Then menegaskan pentingnya edukasi, webinar, dan peningkatan literasi masyarakat dan tenaga kesehatan sebagai fondasi kesadaran iklim di sektor kesehatan.

Climate Action in Green Hospital:
Mengurangi Jejak Karbon dalam Pelayanan Kesehatan

Pada sesi ketiga yang sekaligus menjadi sesi terakhir di Forum Nasional XV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) 2025, disampaikan oleh Dr. dr. Lia Gardenia Partakusuma, Sp.PK(K), MM, MARS, FAMM (Direktur Medis PT Pertamina Bina Medika IHC) dan Dr. dr. Darwito, S.H., Sp.B., Subsp.Onk.(K) (Direktur Utama RSA UGM), dengan moderator yaitu dr. Srimurni Rarasati, MPH. Dalam paparannya, Dr. Lia menjelaskan bahwa sektor kesehatan berperan penting dalam krisis iklim global, karena rumah sakit menyumbang sekitar 4,4% dari total emisi karbon dunia (Health Care Without Harm, 2021). Pihaknya menjelaskan bahwa transformasi menuju green hospital bukan hanya tren, melainkan tanggung jawab moral untuk melindungi kesehatan manusia dan bumi. Mengacu pada kerangka global seperti Geneva Sustainability Centre (GSC) – IHF dan Global Green and Healthy Hospitals (GGHH), Dr. Lia memaparkan strategi menuju Net Zero Healthcare melalui efisiensi energi, pengelolaan limbah berkelanjutan, penggunaan energi terbarukan, dan penerapan green procurement. Pihaknya juga menekankan pentingnya digitalisasi, edukasi staf, dan perubahan budaya organisasi menuju perilaku hijau yang berkelanjutan.

Melengkapi sesi tersebut, dr. Darwito membagikan praktik nyata penerapan konsep green hospital di Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM, yang telah mengintegrasikan berbagai inovasi ramah lingkungan dalam operasionalnya. Beberapa langkah konkret meliputi pemanfaatan energi terbarukan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), sistem panen air hujan (Gama Rain) hasil kolaborasi dengan Sekolah Vokasi UGM, serta pengelolaan limbah organik dengan larva Black Soldier Fly (BSF) untuk produksi pupuk dan pakan ikan. RSA UGM juga menerapkan prinsip Reduce, Reuse, Recycle (3R), efisiensi penggunaan air dan energi, serta pengembangan healing garden yang mendukung proses penyembuhan pasien dan meningkatkan kualitas udara. Inovasi ini tidak hanya menurunkan jejak karbon rumah sakit, tetapi juga memberdayakan masyarakat sekitar melalui program pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular. “Green hospital adalah kebutuhan mendesak di era perubahan iklim. Rumah sakit harus menyembuhkan manusia sekaligus menjaga bumi,” tegas dr. Darwito. Kedua pembicara sepakat bahwa aksi nyata dan kolaborasi lintas sektor merupakan kunci menuju sistem kesehatan yang berketahanan iklim, rendah karbon, dan berkelanjutan.

Sesi Diskusi

Sesi diskusi berlangsung dinamis dengan fokus pada penerapan konsep green hospital dan peluang memperluasnya ke berbagai lini pelayanan kesehatan. Salah satu peserta membuka sesi dengan pertanyaan menarik mengenai cara menurunkan emisi dari instrumentasi medis, yang selama ini menjadi salah satu sumber utama jejak karbon di fasilitas kesehatan. Diskusi kemudian berkembang ke konsep green hospital yang dipaparkan oleh Dr. Lia, yang mencakup beragam pilar seperti green leadership, green infrastructure, green energy, dan green procurement. dr. Darwito juga menyoroti pentingnya penerapan prinsip reduce, reuse, dan recycle dalam pengelolaan limbah medis maupun administrasi, termasuk penggunaan teknologi informasi untuk meminimalkan konsumsi kertas.

Selanjutnya, terdapat pertanyaan mengenai potensi green hospital sebagai sarana healing environment yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga mendukung pemulihan pasien secara psikologis. Kemudian, penanya juga mendiskusikan terkait kemungkinan penerapan konsep serupa di fasilitas kesehatan lain seperti puskesmas dan klinik.

Menanggapi hal tersebut, Dr. Lia menegaskan bahwa keberlanjutan di sektor kesehatan tidak terbatas pada konsep green hospital semata, melainkan mencakup pendekatan yang lebih luas yakni sustainability in healthcare — mencakup efisiensi energi, pengelolaan limbah, pola kerja yang berkelanjutan, hingga pemberdayaan masyarakat sekitar. Hal ini tentunya juga mencakup lingkup klinik dan puskesmas.

Sementara itu, dr. Darwito membagikan pengalaman penerapan green hospital di RSA UGM, yang telah mengembangkan konsep green village melalui kolaborasi dengan tiga desa binaan. Inisiatif ini tidak hanya berfokus pada efisiensi energi dan pengelolaan limbah, tetapi juga pada pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan lingkungan sehat dan berketahanan iklim.

Diskusi pun berakhir dengan semangat kolaboratif untuk memperluas praktik hijau di seluruh sistem kesehatan Indonesia.

Penutup

Melalui forum ini, para akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan tantangan besar bagi kesehatan global yang menuntut aksi nyata dan kolaborasi lintas sektor. Forum ini menyoroti pentingnya transformasi sistem kesehatan menuju ketangguhan iklim dan rendah karbon melalui kebijakan adaptif, riset berbasis bukti, inovasi teknologi hijau, serta penerapan green hospital yang efisien dan berkelanjutan. Upaya ini tidak hanya melindungi kesehatan manusia dari dampak krisis iklim, tetapi juga memperkuat peran sektor kesehatan sebagai penggerak utama.

Reporter:

  • dr. Tania Prima Auladina, Fadliana Hidayatu Rizky Uswatun Hasanah, S.Tr.Keb, Bdn. MPHM
  • Nasyfa Amelia A.Md.M

 


   Reportase Terkait:

Reportase Paralel 1 Sesi 2. Kebijakan Pendanaan Kesehatan

Kebijakan pendanaan Kesehatan menjadi salah satu topik pembahasan dalam sesi paralel Forum Nasional (Fornas) XV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) yang diselenggarakan di Yogyakarta pada Selasa (28/10/2025). Dalam sesi ini  membahas mengenai aspek pendanaan dalam transformasi sistem kesehatan, khususnya penguatan sistem JKN di Indonesia.

Tren Pembiayaan JKN Pasca Pandemi COVID-19

Muhamad Faozi Kurniawan, SE, Ak., MPH memaparkan Tren Pembiayaan Kesehatan dan JKN Pasca Pandemi COVID-19. Faozi menyampaikan adanya tren peningkatan belanja kesehatan di Indonesia, dengan sumber pendanaan pemerintah lebih dari 50% yang masih lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara lain. Dari segi APBN, anggaran kesehatan mengalami peningkatan setiap tahun namun proporsinya tetap dan target prioritas tidak banyak berubah yaitu untuk KIA, stunting, dan cek kesehatan gratis. Di sisi lain, anggaran Kementerian Kesehatan dari Pemerintah Pusat paling banyak digunakan untuk JKN. Di tingkat daerah, pemerintah daerah masih mengandalkan dana-dana dari pusat untuk pembangunan kesehatan. Pasca COVID-19, terdapat peningkatan belanja kesehatan di tingkat daerah yang menggambarkan adanya komitmen pemerintah daerah untuk sektor kesehatan. Klaim rasio peserta JKN pasca COVID-19 juga mengami tren peningkatan. Dengan kondisi JKN yang terus mengalami pertumbuhan perlu untuk dipikirkan alternatif pendanaan JKN dari sektor asuransi swasta dan masyarakat, sehingga dana APBN tidak hanya untuk iuran PBI dan JKN.

Transformasi Pembiayaan Kesehatan Nasional dalam Implementasi UU Kesehatan 2023

Selanjutnya, Febriansyah Budi Pratama dari Pusat Pembiayaan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI sebagai pembahas menyampaikan implementasi kebijakan pendanaan dalam konteks transformasi sektor kesehatan dan upaya mencapai Universal Health Coverage (UHC) yang dimaknai sebagai kemampuan seluruh masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan. Kemenkes merencanakan Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) untuk mensinkronkan dan efisiensi belanja lintas kementerian dan daerah. RIBK ini harapannya berdampak besar pada masyarakat termasuk bagaimana swasta akan berkontribusi. Di sisi lain,  terdapat  skema belanja pemerintah dan JKN. Tercatat, hampir 60% ke atas pembiayaan peserta dari PBPU dan PBI yang diberikan pemerintah dan pemda. Selain itu, dampak ketidakpatuhan membayar iuran JKN mempengaruhi aset JKN. Maka, diperlukan langkah-langkah kebijakan untuk memperbaiki mutu dan pemerataan akses pelayanan kesehatan, serta peningkatan reveneu dari iuran program JKN. Harapannya dapat mendorong penurunan Out Of Pocket (OOP) dan peningkatan perlindungan finansial masyarakat menuju sistem pembiayaan yang tangguh dan adaptif.

materiKajian Dampak Kenaikan Iuran JKN terhadap Peserta dan Sistem Layanan

Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt, M.Kes., MBA., AAK selaku Direktur Pusat Pembiayaan Kesehatan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) FK-KMK UGM  menyampaikan adanya tantangan serius dalam keberlanjutan pembiayaan JKN yang dipicu oleh kenaikan utilisasi serta inflasi baiya medis yang tinggi. Salah satu isu yang muncul yakni kenaikan premi untuk menjaga keseimbangan antara keberlanjutan finansial (sustainability) dan keadilan sosial (equity). Namun, kenaikan iuran dinilai memiliki dampak paling berat pada peserta mandiri (PBPU) yang berpenghasilan tidak rutin, sehingga berisiko memicu tunggakan, dan membuat masyarakat miskin tiga kali lebih mungkin menunda akses layanan Kesehatan. Sedangkan dampak terhadap pelayanan kesehatan terkait dengan likuiditas, kapasitas mutu, serta makro-fiskal dan tata kelola. Dr. Diah menekankan bahwa kenaikan premi perlu diimbangi dengan mekanisme yang fleksibel tanpa menurunkan kepesertaan aktif serta perlu bagi provider untuk meningkatan mutu, sehingga kenaikan premi iuran bukan hanya sekadar untuk menutup defisit klaim. Selain itu, peran aktif dari pemerintah sangat diperlukan untuk mengkomunikasikan manfaat nyata dari kenaikan iuran serta diperlukan earmarking tambahan untuk dana kesehatan untuk mendukung subsidi yang berkelanjutan.

Sesi Diskusi

Selanjutnya, muncul pertanyaan mengenai strategi dalam membagun ekosistem pendanaan kesehatan yang berkelanjutan, termasuk optimalisasi dan inovasi sumber pendanaan. Dari kemenkes berfokus pada perbaikan kepatihan JKN dan inovasi pembiayaan yang sudah berjalan, termasuk RIBK sebagai blueprint untuk sinkronisasi pendanaan kesehatan antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, sehingga belanja menjadi efektif, efisien, dan terarah. Earmarking cukai rokok sudah dilakukan sejak 2018 dengan mengalokasikan sebagain pendapatan pajak rokok untuk membayar iuran peserta PBI. Kemenkes akan mendorong perbaikan ketepatsasaran data penerima PBI/PBPU Pemda dan menegakkan kepatuhan bagi peserta yang mampu. Sedangkan Dr. Diah menegaskan pentingnya political willingness bagi Pemerintah untuk mengalokasikan dana kesehatan, karena anggaran pada bidang kesehatan bukan merupakan cost melainkan merupakan investasi.

Peserta juga menyoroti bahwa sumber pembiayaan kesehatan di Indonesia masih terfokus pada APBN, bagaimana potensi health tourism (wisata kesehatan) dapat diintegrasikan dengan sistem pembiayaan nasional? Menanggapi hal tersebut, Faozi menjelaskan bahwa pengembangan health tourism merupakan gagasan yang baik dan relevan untuk daerah seperti Yogyakarta. Menurutnya, pemerintah daerah dapat mengalokasikan sebagian dana Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk sektor kesehatan, terutama yang berkaitan dengan pengembangan health tourism. Selain itu diperlukan kebijakan yang mampu memayungi inisiatif health tourism hingga ke tingkat paling bawah. Salah satu bentuknya dapat berupa mekanisme penghimpunan dana dari berbagai sumber Corporate Social Responsibility (CSR) untuk mendukung program-program kesehatan yang belum dapat didanai oleh pemerintah. Ia juga menekankan pentingnya pemetaan kebutuhan di masyarakat agar arah kebijakan lebih tepat sasaran. Sementara itu, Diah menambahkan bahwa Yogyakarta memiliki potensi besar untuk mengembangkan wisata yang sehat dan inklusif. Ia mencontohkan ketersediaan fasilitas publik yang mendukung sanitasi layak, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, serta upaya untuk meminimalkan risiko kecelakaan di kawasan wisata. Selain itu, pengembangan wellness tourism juga diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Sesi ini menegaskan pentingnya transformasi pendanaan kesehatan yang tidak hanya bergantung pada APBN, tetapi juga mendorong inovasi pembiayaan melalui sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Integrasi kebijakan melalui Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK), optimalisasi JKN, serta pengembangan inisiatif seperti health tourism menjadi langkah strategis menuju sistem pembiayaan kesehatan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan adaptif. Diharapkan, penguatan komitmen politik (political willingness) pemerintah dalam investasi kesehatan dapat mempercepat tercapainya Universal Health Coverage dan meningkatkan ketahanan sistem kesehatan nasional.

Reporter: Ardhina N (PKMK UGM)
Editor: Latifah Alifiana (PKMK UGM)

 


   Reportase Terkait:

Reportase Paralel 1 Sesi 4 Implementasi Kebijakan Pilar Pelayanan Rujukan : Kebijakam KRIS dari Perspektif RS

Rumah Sakit saat ini ditekan dari berbagai kondisi, meliputi kompetisi, perubahan regulasi, pemenuhan kebutuhan pasien, kepuasan internal dan masyarakat, serta peningkatan mutu layanan kesehatan. Perubahan regulasi yang cukup banyak menjadi keresahan bagi RS ini adalah pemenuhan terhadap kelas standar atau KRIS yang berfungsi sebagai pemerataan layanan kesehatan yang layak bagi seluruh masyarakat. Pada kegiatan ini, FORNAS JKKI membahas topik kebijakan pelayanan rujukan dari persepktif KRIS yang dipandu oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, SKM., M.Kes akan meninjau lebih lanjut bagaimana gap antara standar nasional dan bagaimana realitas dilapangan dari KRIS, pembiayaan dan efisiensi yang dilakukan oleh rumah sakit dengan adanya penerapan KRIS, implikasi kebijakan KRIS terhadap kebutuhan sumber daya manusia dan beban kerja dengan melihat studi kasus di rumah sakit pemerintah dan pendidikan. Selanjutnya, akan dibahas bagaimana penerapan KRIS di masa krisis seperti ketika pandemi dan strategi promosi yang dilakukan untuk membangun persepsi positif di masyarakat, serta praktik baik yang dilakukan di masing-masing rumah sakit dalam melaksanakan KRIS.

Sesi Paparan

Prof. Dr. Cita Rosita Sigit Prakoeswa, dr. Sp.DVE., Subsp.DAI., FINSDV., FAADV., MARS membahas tentang penerapan KRIS dengan sudut pandang di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Jika mengacu pada kebijakan pemerintah, setiap rumah sakit wajib memenuhi 60% tempat tidur sesuai standar KRIS termasuk dengan adanya ventilasi yang memadai, partisi antar tempat tidur, kamar mandi dalam, hingga outlet oksigen. Standar tersebut membawa konsekuensi besar terhadap kebutuhan SDM, beban kerja, dan tata ruang rumah sakit. Berdasarkan perhitungan terakhir, RSUD Dr. Soetomo memiliki 403 tempat tidur yang sesuai atau mendekati KRIS, sementara masih kekurangan 75 hingga 163 tempat tidur agar mencapai target.

Dampak implementasi KRIS terasa pada penurunan kapasitas rawat inap di sejumlah rumah sakit perujuk, yang menyebabkan meningkatnya rujukan ke RSUD Dr. Soetomo sebagai rumah sakit tersier. Hal ini mengakibatkan perlu adanya penyesuaian komposisi tenaga keperawatan, memanfaatkan fleksibilitas rotasi SDM berbasis BOR (Bed Occupancy Rate), dan memastikan perawat memiliki kompetensi setara sebelum rotasi antar unit. Namun, dibalik kesuksesan penerapan tersebut ternyata juga masih terdapat tantangan administratif akibat penerapan KRIS, dimana beban kerja menjadi meningkat baik secara teknis maupun administratif.

Pembicara kedua adalah Dr. dr. Darwito, S.H., Sp.B.Subsp.Onk(K) yang membahas mengenai Pilihan Strategi dalam Menjalankan Kris Dimasa Krisis dengan menyoroti pentingnya membangun sistem tangguh di tengah kondisi pandemi, keterbatasan logistik, dan ketimpangan layanan antar kelas rawat. Selain itu, rumah sakit bukan hanya sebagai padat karya, melainkan juga padat modal dan padat teknologi. Disisi lain masih terjadi disparitas pelayanan antara kelas VIP dan kelas III, serta kesenjangan fasilitas antar rumah sakit daerah. Untuk itu, optimalisasi aset dan pengembangan sumber daya manusia menjadi kunci, dimana human capital, social capital, dan structural capital adalah tiga pilar yang membuat rumah sakit bisa berdaya saing sekaligus berkeadilan. RSA UGM melakukan strategi dengan menekankan pembentukan Hospital Incident Command System (HICS), peningkatan kapasitas SDM, serta pemulihan layanan rutin melalui evaluasi dampak dan revisi kebijakan. Di sisi infrastruktur, rumah sakit akademik ini menargetkan pemenuhan minimal 60% standar KRIS dengan tambahan fasilitas seperti kamar mandi dalam tiap ruang rawat dan outlet gas medis di gedung Sadewa dan Srikandi. Namun, terdapat problem berkepanjangan berupa biaya investasi awal, penyesuaian sistem tarif INA-CBG’s, dan perubahan budaya organisasi. Situasi ini digambarkan sebagai “segitiga Bermuda” yang perlu dihadapi dengan kreativitas dan kepemimpinan berintegritas.

Paparan terakhir dari dr. Yayu Sri Rahayu, MM membahas mengenai Praktik Baik RS yang Sudah Melaksanakan KRIS ditinjau dari Rumah Sakit Santosa Bandung Kencana (SHBK) yang telah menerapkan KRIS secara menyeluruh sesuai ketentuan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024. Dari total 487 tempat tidur yang tersedia, sebanyak 318 tempat tidur telah memenuhi 12 kriteria KRIS, melampaui batas minimal 40 persen yang ditetapkan bagi rumah sakit swasta.

Penerapan KRIS di Rumah Sakit Santosa meliputi pemenuhan aspek infrastruktur dan pelayanan, diantaranya pertukaran udara 6–13 kali per jam dan pencahayaan ruang 250–300 lux, pemberian jarak antar tempat tidur minimal 1,5 meter dengan maksimal empat tempat tidur per ruang, layout kamar mandi dalam ruang rawat yang ramah disabilitas dengan dilengkapi handrail dan emergency bell, serta setiap tempat tidur yang dilengkapi stop kontak ganda, bel perawat, dan outlet oksigen. Untuk meningkatkan efisiensi pelayanan, juga telah diterapkan sistem digitalisasi layanan melalui bed management, monitoring terintegrasi, serta aplikasi penjadwalan operasi menggunakan Santosa Validasi. Penerapan KRIS menjadi komitmen Rumah Sakit Santosa untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman, layak, dan bermartabat bagi seluruh peserta JKN.

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi, para peserta menyoroti fenomena munculnya berbagai kebijakan baru di rumah sakit yang menuntut ketegasan dalam pelaksanaan program. Beberapa rumah sakit memilih untuk berpartisipasi apabila mampu memenuhi ketentuan program, sementara sebagian lainnya memilih mundur dari kerja sama, termasuk dalam kemitraan dengan BPJS Kesehatan.

Menanggapi hal tersebut, perwakilan RSUD Dr. Soetomo menegaskan bahwa rumah sakit tetap berkomitmen menjadi mitra BPJS Kesehatan dengan mengedepankan efisiensi operasional. Salah satu langkah yang dilakukan ialah efisiensi farmasi, melalui penerapan batas minimum dan maximum stock level untuk pengendalian ketersediaan obat. Meski demikian, tantangan di lapangan masih muncul, terutama terkait kekurangan obat akibat perencanaan yang belum optimal. Oleh karena itu, dibutuhkan konsolidasi antarunit, kepemimpinan yang aktif turun ke lapangan, dan kekompakan dalam pengambilan keputusan.

Isu lain yang dibahas adalah penyesuaian Bed Occupancy Rate (BOR). Tempat tidur yang tidak digunakan tetap dapat diaktifkan kembali dalam kondisi khusus, seperti saat terjadi pandemi atau lonjakan pasien. Terkait pelaporan dan manajemen komunikasi, dibahas pentingnya membangun budaya komunikasi yang fleksibel agar mampu mengatasi sekat birokrasi, terutama pada masa krisis. RS Santosa Bandung mencontohkan inovasi pada masa pandemi dengan sistem pendaftaran pasien yang dibedakan antara pasien COVID-19 dan non-COVID-19.

Diskusi ini juga menyoroti digitalisasi sebagai kunci efisiensi, di mana para direktur rumah sakit menekankan pentingnya penetapan skala prioritas digitalisasi dan koordinasi lintas tim agar inovasi teknologi dapat berjalan efektif dan berkelanjutan.

Sesi Penutup :

Seminar diakhiri dengan pesan untuk seluruh RS di Indonesia bahwa keberhasilan transformasi layanan kesehatan bergantung pada kolaborasi, efisiensi, dan inovasi digital. Penerapan KRIS menuntut manajemen yang adaptif serta kepemimpinan yang responsif terhadap tantangan lapangan. Efisiensi farmasi, konsolidasi lintas unit, dan digitalisasi layanan menjadi strategi utama untuk menjaga mutu dan keberlanjutan pelayanan. Harapannya, RS dapat terus memperkuat koordinasi dan budaya komunikasi agar transformasi sistem kesehatan berjalan efektif dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat.

Reporter :
Karlina Dewi Soekarno (Divisi Public Health, PKMK FK-KMK UGM)


 

   Reportase Terkait:

Reportase Paralel 1 Sesi 3 Kemampuan Sistem Kefarmasian Daerah dalam Menyediakan Akses terhadap Obat-Obatan Esensial

Obat esensial merupakan salah satu pilar utama dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang efektif dan berkeadilan. Tanpa ketersediaan obat yang memadai, sulit bagi fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama untuk memberikan layanan yang optimal kepada masyarakat. Indonesia, dengan karakteristik geografisnya sebagai negara kepulauan yang luas dan beragam, menghadapi tantangan kompleks dalam hal pengadaan, distribusi, dan pemantauan obat, terutama di wilayah terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, transformasi sektor kesehatan menekankan pentingnya kemandirian farmasi nasional serta jaminan ketersediaan obat esensial di seluruh lapisan masyarakat. Sesi ini akan membahas berbagai strategi kebijakan untuk memastikan ketersediaan obat esensial secara berkelanjutan, termasuk sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan tenaga kefarmasian. Penguatan sistem informasi farmasi, digitalisasi rantai pasok, serta peningkatan kapasitas tenaga kesehatan di daerah juga menjadi sorotan penting. Melalui kolaborasi lintas sektor, diharapkan Indonesia dapat mewujudkan sistem farmasi nasional yang mandiri dan berorientasi pada pemerataan layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat. Sesi dipandu oleh Monita Destiwi, MA (Researcher Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM) sebagai moderator. Pembicara adalah Reimbuss Blijers Fanda, MPH, Ph.D (Cand) (Konsultan dan Researcher Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM), serta Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, apt., MARS (Direktur Pengelolaan dan Pelayanan Farmasi Kementerian Kesehatan RI) dan Dr. apt. Niken Nur Widyakusuma, M.Sc. (Dosen, Konsultan, dan Reasearcher Fakultas Farmasi UGM) sebagai pembahas.

Pemaparan materi pertama berjudul “Pemenuhan Obat Esensial di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dalam Konteks Negara Kepulauan” oleh Reimbuss. Beliau membahas tantangan ketersediaan obat esensial di Indonesia. Secara global, lebih dari 2 miliar orang kesulitan mengakses obat esensial, dengan ketersediaan di sektor publik hanya sekitar 40 persen. Dampaknya mencakup biaya kesehatan katastrofik, mutu layanan rendah, serta paparan obat dengan kualitas yang kurang baik. Analisis nasional menggunakan data Podes, Sismonev JKN, dan Rifaskes 2019 menunjukkan bahwa 17 obat indikator hampir selalu tersedia (93 persen), namun dari 60 obat esensial, hanya sebagian tersedia di puskesmas. Variasi ketersediaan dipengaruhi oleh wilayah, jenis layanan, serta faktor sistemik seperti pengadaan, distribusi, dan kapasitas farmasi daerah. Daerah timur Indonesia paling terdampak karena akses terbatas dan ketergantungan tinggi pada puskesmas. Penelitian yang dilakukan oleh Reimbuss dan tim menemukan bahwa desentralisasi menciptakan kesenjangan antara kebijakan nasional dan praktik lokal. Faktor penyebab utama kekosongan obat mencakup lemahnya koordinasi, kurangnya tenaga farmasi, dan aturan pengadaan yang membingungkan. Rekomendasi kebijakan meliputi transformasi dinas kesehatan daerah, penyesuaian daftar obat esensial berbasis provinsi, peningkatan kompetensi apoteker, sistem pool procurement untuk wilayah timur, dan penguatan manajemen pengetahuan farmasi publik.

Presentasi selanjutnya oleh Agusdini mengenai “Strategi Pemenuhan Ketersediaan Obat Esensial di Pemerintah Pusat” menyoroti langkah strategis pemerintah dalam menjamin ketersediaan obat esensial secara nasional. Berlandaskan RPJMN 2025-2029 dan UU No. 17 Tahun 2023, strategi ini sejalan dengan transformasi sistem kesehatan melalui enam pilar utama, terutama ketahanan farmasi dan alat kesehatan. Kebijakan ini menekankan pentingnya perlindungan masyarakat melalui praktik kefarmasian yang aman, serta penguatan tata kelola rantai pasok dari hulu ke hilir dengan prioritas pada produk dalam negeri. Pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab atas ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan dengan sistem informasi logistik terintegrasi berbasis SATUSEHAT Logistik (Digital Inventory Nasional). Perencanaan kebutuhan obat dilakukan menggunakan pendekatan demand dan supply, memanfaatkan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) untuk menjaga keseimbangan permintaan dan penyediaan. Sistem E-Fornas dan e-Monev SatuSehat digunakan sebagai acuan pemilihan dan pemantauan stok obat. Selain itu, indikator ketersediaan obat dalam Renstra Kemenkes 2025–2029 menargetkan 95 persen fasilitas kesehatan memiliki obat esensial sesuai standar, didukung oleh peningkatan mutu pelayanan kefarmasian dan penerapan prinsip penggunaan obat rasional.

Pemaparan ketiga oleh Niken membahas “Manajemen Distribusi Obat Esensial: Perspektif Keilmuan”. Obat esensial didefinisikan sebagai obat yang paling dibutuhkan masyarakat, serta harus tersedia setiap saat dalam bentuk dan dosis yang tepat. Pemilihannya didasarkan pada prevalensi penyakit, efektivitas, keamanan, dan efisiensi biaya. Hal ini dilakukan untuk menjamin pelayanan kesehatan yang merata dan berkualitas. Ketersediaan obat esensial masih terhambat oleh rantai pasok yang tidak efisien, ketergantungan impor, lemahnya regulasi, serta ketimpangan akses antara wilayah urban dan rural. Siklus manajemen obat mencakup perencanaan, pengadaan, distribusi, dan penggunaan. Proses ini menjadi dasar pemenuhan obat yang efektif dengan dukungan kebijakan, SDM farmasi, pendanaan, dan sistem informasi logistik yang kuat. Niken juga mengatakan bahwa UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 memberikan landasan hukum baru untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial, mengatur desentralisasi tata kelola farmasi, serta memperkuat kemandirian industri nasional. Namun, implementasinya menghadapi tantangan berupa transisi regulasi, kapasitas SDM, dan kesiapan digitalisasi sistem logistik obat.

Sesi diskusi dibuka dengan pengalaman kasus dan pertanyaan oleh peserta yang hadir secara luring maupun daring. Isu utama yang diangkat adalah ketimpangan ketersediaan obat antara wilayah Jawa dan luar Jawa akibat sentralisasi industri farmasi. Peserta menyoroti perlunya pemerataan distribusi, regulasi yang mendukung kolaborasi antar-kementerian, serta percepatan digitalisasi sistem kefarmasian. Selain itu, masalah SDM kefarmasian menjadi perhatian besar. Di beberapa daerah, banyak petugas non-apoteker yang menangani penyusunan RKO yang menyebabkan ketidaksesuaian antara pengadaan dan kebutuhan riil. Fenomena ini berujung pada penumpukan atau kedaluwarsa obat, khususnya obat kesehatan jiwa. Dalam tanggapan, Agusdini menjelaskan bahwa sesuai dengan undang-undang, pengadaan obat kini menjadi tanggung jawab bersama pusat dan daerah, dengan dana DAK yang harus dikelola sesuai kebutuhan lokal. Beliau juga menegaskan bahwa obat esensial ditetapkan berdasarkan Survey Kesehatan Indonesia (SKI) dan konteks daerah. Kemenkes tidak dapat mengintervensi industri, melainkan mengatur keberadaan PBF cabang dan skema harga regional. Penyediaan buffer nasional juga merupakan langkah penting dalam mengatasi kekosongan stok obat di daerah. Dalam kesempatan ini, Agusdini juga menginfokan adanya kemungkinan pengambilalihan pengadaan obat kesehatan jiwa oleh pusat untuk memastikan kesesuaian kebutuhan. Prof. Dr. Chairun Wiedyaningsih, M.Kes, M.App.Sc, Apt. (Guru Besar Fakultas Farmasi UGM) juga turut hadir dalam diskusi dan memaparkan adanya fenomena ketidaksesuaian linimasa penyusunan RKO di daerah dengan jadwal pengumpulan oleh Kemenkes, sehingga memperburuk masalah perencanaan pengadaan obat. Dalam hal ini, Niken menyoroti pentingnya validasi data dan sinkronisasi waktu penyusunan RKO agar kebutuhan daerah tergambar dengan akurat. Reimbuss menekankan bahwa pemerintah diharapkan memperkuat koordinasi antarlevel (puskesmas–kabupaten–provinsi–nasional) dan mendorong kemandirian daerah melalui pemahaman bahwa pengelolaan obat adalah tanggung jawab bersama. Diskusi ditutup dengan penegasan bahwa digitalisasi terintegrasi (SATUSEHAT, SMILE) dan penguatan sistem kesehatan daerah yang adaptif merupakan kunci dalam mewujudkan transformasi ketahanan farmasi nasional.

Sebagai penutup, sesi ini mengglorifikasi pentingnya komitmen bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, dan tenaga kefarmasian dalam menjamin ketersediaan obat esensial yang merata di seluruh wilayah Indonesia. Tantangan besar seperti kesenjangan distribusi dan keterbatasan SDM harus diatasi melalui penguatan tata kelola, peningkatan kompetensi, serta pemanfaatan sistem informasi yang terpadu. Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci dalam mewujudkan sistem farmasi nasional yang mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Melalui langkah strategis dan komitmen berkelanjutan, Indonesia diharapkan mampu mencapai ketahanan kefarmasian yang adil dan berkeadilan bagi seluruh rakyat.

Reporter:
dr. Garin Frige Janitra (PKMK UGM)


 

   Reportase Terkait:

Reportase Paralel 2 Sesi 7 Kebijakan Metode Perencanaan Kesehatan RIBK

Moderator: Muhamad Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH

Forum Nasional (Fornas) Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) XV yang diselenggarakan di Yogyakarta pada Selasa, 28 Oktober 2025 menghadirkan diskusi yang mendalam terkait arah dan implementasi Rencana Induk Bidang Kesehatan di Indonesia. Pada sesi paralel ini, hadir Candra dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM sebagai narasumber utama yang memaparkan dinamika penyusunan dan penerapan rencana induk kesehatan sebagai instrumen penguatan sistem kesehatan nasional dan daerah. Diskusi semakin kaya dengan kehadiran tiga pembahas, yaitu Asty Radiktya Sari, S.KM., M.Kes dari Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Madiun; Moh. Bisri, SKM., M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau; serta Galih Putri, SKM., MPA dari Biro Perencanaan dan Anggaran Setjen Kementerian Kesehatan RI. Ketiganya memberikan perspektif beragam dari level daerah hingga nasional, membahas tantangan harmonisasi perencanaan dan implementasi kebijakan kesehatan lintas wilayah. Sesi ini dimoderatori oleh Muh Faozi Kurniawan dari PKMK FK-KMK UGM yang memandu jalannya diskusi secara interaktif.

Sesi Pemaparan

Kesempatan pertama diberikan kepada Candra, MPH sebagai narasumber untuk memaparkan isu “Tantangan Sinkronisasi RPJMD dan Renstra Dinas Kesehatan di Daerah” dalam konteks RIBK. Ia menyoroti adanya timing mismatch, di mana RIBK belum memiliki dasar hukum saat RPJMD dan Renstra sudah disahkan. Faktanya, RIBK nantinya akan menjadi acuan wajib bagi daerah serta menjelaskan arah rencana pembangunan kesehatan nasional. Candra juga menyinggung kesenjangan anggaran antara perencanaan dan penganggaran di tingkat nasional yang mencapai sekitar Rp73 Triliun, terutama di sektor layanan kesehatan. Kondisi ini menunjukkan masih adanya ruang perbaikan agar alokasi anggaran lebih proporsional dengan kebutuhan riil di lapangan.

Hasil pemetaan menunjukkan keselarasan indikator antara RIBK dan dokumen perencanaan daerah telah mencapai rata-rata 90%. Meskipun substansi sudah cukup sinkron, tantangan masih muncul pada koordinasi teknis, kesesuaian formal dokumen, dan penentuan prioritas anggaran yang dapat memengaruhi efektivitas program kesehatan di daerah. Sebagai solusi, Candra mengusulkan dua strategi. Jangka pendek: menerapkan sinkronisasi adaptif, menjadikan RIBK sebagai referensi informal, dan menyesuaikan nomenklatur serta indikator pusat-daerah. Jangka menengah: melakukan revisi dokumen perencanaan bila diperlukan dan memperkuat kolaborasi lintas sektor agar perencanaan dan penganggaran kesehatan lebih terintegrasi dan selaras dengan arah kebijakan nasional.

Sesi Pembahas 1

Asty Radiktya Sari, S.KM., M.Kes., dari Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk, dan KB Kota Madiun, membawakan materi berjudul “Penerjemahan RIBK ke dalam Dokumen Perencanaan Daerah di Kabupaten/Kota.” Asty menyoroti berbagai tantangan implementasi indikator RIBK, seperti revisi berulang, perbedaan versi indikator, munculnya indikator baru tanpa dasar data, serta ketidaksinkronan antar-OPD. Selain itu, koordinasi lintas sektor masih lemah, beberapa indikator belum sesuai dengan kondisi demografis dan geografis daerah, dan belum adanya legal letter RIBK membuat penerapannya sulit di daerah.

Asty juga menekankan pentingnya sistem penilaian dan pengelolaan data yang baik. Kendala aplikasi dan bridging system sering menghambat agregasi data, menyebabkan hasil kerja daerah tidak sepenuhnya tercermin. Tantangan utama lainnya adalah perbedaan timeline antara pusat dan daerah, membuat RIBK belum dapat dijadikan acuan legal saat penyusunan Renstra berlangsung. Sebagai solusi, ia merekomendasikan percepatan pengesahan RIBK, penyusunan juknis indikator dan penganggaran, serta pendampingan teknis bagi Dinas Kesehatan dan Bappeda. Sinkronisasi sistem data, optimalisasi sumber pembiayaan (DAK, DBHCHT, BPJS, CSR), dan penguatan forum lintas sektor juga penting agar RIBK benar-benar terintegrasi dalam Musrenbang dan perencanaan OPD di daerah.

Sesi Pembahas 2

Moh. Bisri, SKM., M.Kes., selaku Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau, menyampaikan pandangannya terkait Penerjemahan RIBK ke dalam Dokumen Perencanaan Daerah. Bisri menyoroti adanya perbedaan kondisi sosial ekonomi antara pusat dan daerah yang sering menimbulkan inefisiensi. Menurutnya, keselarasan implementasi RIBK harus bersifat adaptif agar mampu menjembatani kesenjangan pembangunan kesehatan antarwilayah.

Bisri menilai permasalahan utama terletak pada kekosongan regulasi turunan dan fragmentasi tata kelola. Walaupun RIBK telah disebut dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024, namun  Peraturan Presiden atau Permenkes teknis yang mengatur mekanisme sinkronisasi RIBK dengan RPJMN, RPJMD, dan Renstra OPD belum ada. Akibatnya, RIBK belum diakui sebagai dokumen strategis formal, sehingga indikator dan targetnya belum sepenuhnya terintegrasi dalam dokumen perencanaan Bappeda maupun Dinas Kesehatan. Selain itu, lemahnya mandat antar-kementerian menyebabkan koordinasi lintas sektor belum optimal, diperparah oleh fragmentasi APBN–APBD berbasis outcome yang memicu duplikasi program dan menyulitkan pengawasan capaian indikator. Untuk itu, Bisri merekomendasikan penerbitan Peraturan Presiden tentang RIBK, penyusunan pedoman sinkronisasi antar dokumen perencanaan, dan integrasi RIBK dalam sistem e-Planning nasional agar menjadi acuan harmonisasi kebijakan dan penganggaran lintas sektor.

Sesi Pembahas 3

Pembahas terakhir, Galih Putri, SKM., MPA., selaku Ketua Tim Kerja Perencanaan I Biro Perencanaan dan Anggaran Setjen Kemenkes, menjelaskan bahwa RIBK berfungsi sebagai penghubung antara RPJMN dan RPJMD di sektor kesehatan. Dokumen ini memastikan keselarasan vertikal antara pusat dan daerah, serta keselarasan horizontal antarprogram dan sektor, sehingga kebijakan, perencanaan, dan penganggaran kesehatan dapat berjalan terpadu untuk mencapai target pembangunan kesehatan nasional.

Galih menegaskan bahwa RIBK merupakan acuan penting bagi pemerintah daerah sesuai amanat UU Nomor 17 Tahun 2023. Penyusunan RIBK dilakukan bersamaan dengan RPJMD dan Renstra Perangkat Daerah, dengan panduan substansi dari Kementerian Kesehatan agar sinkron dengan arah kebijakan nasional. Di dalamnya, terdapat indikasi kebutuhan pendanaan berbasis data daerah yang menjadi acuan penyusunan anggaran kesehatan. Pendanaan tidak hanya bersumber dari APBN dan APBD, tetapi juga melalui kemitraan dan innovative financing seperti pinjaman berbunga rendah, kerja sama BUMD, public-private partnership, CSR, serta dana filantropi lokal. Galih menekankan pentingnya penyelarasan indikator RIBK agar konsisten dengan prioritas daerah, di mana tanggung jawab pelaksanaannya tidak hanya pada Dinas Kesehatan, tetapi juga OPD lain yang relevan dengan substansi indikator.

Sesi Diskusi

Cornelis, mahasiswa peminatan Kebijakan Manajemen dan Pelayanan Kesehatan (KMPK), mengajukan pertanyaan kritis mengenai posisi Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) dalam sistem perencanaan nasional. Narasumber menyoroti bahwa RPJMN telah terbit dan mencakup aspek kesehatan, sementara di daerah berbagai dokumen seperti RPJMD, Renstra, dan indikator lintas sektor juga telah disusun dan disinkronkan. Cornelis mempertanyakan bagaimana posisi RIBK dalam struktur tersebut serta berapa jumlah total indikator yang dimiliki Kementerian Kesehatan, mengingat adanya tumpang tindih dengan indikator dari kementerian lain yang juga terkait bidang kesehatan.

Menanggapi hal tersebut, Galih Putri dari Biro Perencanaan dan Anggaran Setjen Kemenkes menjelaskan bahwa RIBK merupakan turunan langsung dari RPJMN untuk sektor kesehatan. Bagian kesehatan dalam RPJMN diambil dan dikembangkan dalam RIBK dengan menambahkan isu-isu strategis terkini sesuai kebutuhan nasional dan daerah. Ia menegaskan bahwa indikator dalam RIBK tidak banyak berubah karena telah dirancang agar selaras dengan kerangka nasional. Selain itu, kerangka pendanaan dalam RIBK menggunakan prinsip money follow function, di mana anggaran mengikuti fungsi dan target kinerja yang telah ditetapkan. Pendekatan ini memastikan keterkaitan antara strategi, indikator, dan program secara terukur sehingga RIBK dapat berfungsi sebagai pedoman yang sinkron, realistis, dan efektif dalam mengarahkan pembangunan kesehatan nasional hingga ke tingkat daerah.

Sebagai penutup, forum menegaskan kembali pentingnya membangun persepsi dan komitmen bersama terhadap posisi Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) dalam sistem perencanaan nasional. Bisri menekankan bahwa apabila RIBK dimaksudkan sebagai acuan utama pembangunan kesehatan, maka perlu ditetapkan secara formal sebagai panduan nasional atau bahkan RPJMN sektor kesehatan, agar memiliki kekuatan dan arah kebijakan yang seragam di seluruh tingkatan pemerintahan. Pandangan ini disepakati oleh Asty, yang menambahkan bahwa kesepahaman lintas sektor merupakan langkah krusial untuk memastikan efektivitas dan keberlanjutan implementasi RIBK di daerah. Dengan demikian, forum ini diharapkan menjadi awal penguatan koordinasi antara pusat dan daerah menuju sistem perencanaan kesehatan yang lebih sinkron, terukur, dan berorientasi hasil.

Reporter
Faisal Mansur – Divisi PH PKMK UGM


 

   Reportase Terkait:

Reportase Paralel 2 Sesi 5 Uji Kebijakan Rencana Kesiapsiagaan Krisis Kesehatan untuk Bencana Non-Alam dalam Bentuk Simulasi Ruangan atau Lapangan

Sesi “Implementasi Kebijakan Transformasi Sektor Kesehatan dalam UU Kesehatan 2023: Uji Kebijakan Rencana Kesiapsiagaan Krisis Kesehatan untuk Bencana Non-Alam dalam Bentuk Simulasi Ruangan atau Lapangan” yang dimoderatori oleh Happy R. Pangaribuan, MPH (Divisi Manajemen Bencana PKMK FK-KMK UGM) merupakan bagian dari rangkaian Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (Fornas JKKI) ke-XV Tahun 2025. Forum ini menjadi ruang kolaboratif strategis untuk menyelaraskan arah kebijakan transformasi sektor kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan, yakni membangun sistem kesehatan yang tangguh, responsif, dan terintegrasi. Kegiatan ini digelar secara hybrid (10 peserta luring dan 33 peserta daring) dan diarahkan untuk menguji efektivitas dokumen rencana kontijensi kesiapsiagaan kesehatan. Uji kebijakan ini menjadi mekanisme pembelajaran nyata bagi daerah untuk memperkuat sistem komando, koordinasi, komunikasi, dan respon terhadap potensi krisis kesehatan non-alam.

Sesi Pemaparan

Narasumber utama, dr. Akhmad menegaskan bahwa transformasi kesehatan harus menyentuh aspek kesiapsiagaan terhadap ancaman krisis non alam. DIY sebagai wilayah dengan intensitas mobilitas internasional tinggi, berpotensi menjadi pintu masuk penyakit emerging seperti Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus. dr Akhmad memaparkan bahwa uji kebijakan tidak sekadar formalitas, tetapi merupakan proses pembelajaran kolektif untuk memperkuat sistem kesiapsiagaan.

dr Akhmad menekankan pentingnya validasi mekanisme pelaporan cepat, koordinasi lintas sektor, serta integrasi ke dalam sistem informasi daerah (SKDR). Dalam paparannya, pihaknya menegaskan keberhasilan transformasi sektor kesehatan sangat ditentukan oleh kemampuan daerah untuk merespon ancaman secara sistemik dan terukur. “Transformasi kesehatan bukan hanya soal pelayanan di masa normal, tetapi ketangguhan di masa krisis,” tegasnya.

Sesi Pembahas 1

Pembahas pertama, dr. Susiyo dari Pusat Krisis Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, menekankan pentingnya menyelaraskan kebijakan daerah dengan kerangka nasional. Uji kebijakan menurutnya harus menjadi stress-test terhadap efektivitas rencana kontijensi, bukan sekadar simulasi administratif.

dr Susiyo menyampaikan bahwa kebijakan harus memiliki indikator keberhasilan yang jelas yaitu respon cepat, koordinasi lintas sektor yang solid, dan mekanisme pelaporan yang terintegrasi. Narasumber juga mendorong pemerintah daerah agar hasil uji kebijakan tidak berhenti di laporan kegiatan, tetapi ditindaklanjuti dalam bentuk revisi SOP dan penguatan jejaring operasional. Latihan kesiapsiagaan harus menjadi budaya organisasi, bukan sekedar event.

Sesi Pembahas 2

Pembahas kedua, dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD, dari Pokja Bencana FK-KMK UGM, mengangkat pentingnya pendekatan realistis dalam simulasi kesiapsiagaan. Dengan pengalaman panjang dalam manajemen bencana kesehatan, dr Hendro menegaskan bahwa simulasi ruangan dan lapangan harus benar-benar menguji tekanan waktu, komunikasi lintas sektor, dan efektivitas logistik. dr Hendro menekankan keterlibatan aktif rumah sakit rujukan dan puskesmas sebagai garda depan respon krisis kesehatan. Kesiapsiagaan krisis kesehatan hanya akan efektif jika semua komponen bergerak dalam satu komando. Pihaknya juga mendorong agar simulasi diintegrasikan ke dalam agenda pelatihan rutin lintas sektor sehingga kesiapan tidak hanya muncul saat ada krisis besar, tetap menjadi budaya kerja kesehatan daerah.

Diskusi

Salah satu pemantik diskusi awal dari peserta adalah mekanisme aktivasi Health Emergency Operation Center (HEOC) akan melibatkan fasilitas primer. Hal ini dijelaskan bahwa fasilitas primer menjadi simpul deteksi dini, sehingga mekanisme HEOC harus memungkinkan pelaporan cepat dan koordinasi langsung tanpa hambatan birokrasi.

Pertanyaan lainnya menyoroti tentang integrasi antara struktur komando kesehatan dan komando darurat daerah. Hal ini merujuk pada integrasi adalah hal yang krusial agar respon lintas sektor tidak tumpang tindih. Pertanyaan lainnya tentang keterbatasan sumber daya seperti dana hingga manusia dalam latihan kesiapsiagaan. Dalam forum ini, ditekankan pentingnya skenario latihan yang adaptif dan realistis. Berikutnya perlu menjadi perhatian pula terkait dengan evaluasi pasca uji kebijakan. Perlunya identifikasi dalam perbaikan/penyesuaian dokumen kontijensi, SOP operasional, dan jejaring koordinasi. Terdapat empat (4) poin penting dalam diskusi: (1) penguatan koordinasi lintas sektor, (2) realisme skenario uji kebijakan, (3) keberlanjutan Latihan, dan (4) integrasi hasil uji dalam kebijakan daerah.

Penutup

Kegiatan ini menjadi bagian penting dari proses implementasi transformasi sektor kesehatan yang menempatkan kesiapsiagaan krisis sebagai fondasi utama sistem kesehatan. Melalui paparan narasumber dan pembahas, serta diskusi dengan peserta, dapat disimpulkan bahwa uji kebijakan, simulasi dan kegiatan lapangan bukan hanya menguji prosedur, tetapi membangun culture of readiness lintas sektor. Komitmen bersama untuk memperkuat jejaring, memperbaiki SOP, dan melatih secara berkelanjutan menjadi modal penting menuju sistem kesehatan daerah yang Tangguh terhadap krisis.

Reporter:
Vina Yulia Anhar (PKMK UGM)


 

   Reportase Terkait:

Reportase Sesi Pleno II Mengamankan Investasi Kesehatan: Strategi Pemeliharaan Alkes KJSU di Daerah dengan Akses Terbatas

Moderator: Hartanto S. Wiryodiharjo (CEO PT. Inspiry Indonesia)

Dalam momentum Hari Sumpah Pemuda, sesi ini mengajak peserta untuk merenungkan kembali makna “satu nusa, satu bangsa, satu negara” dalam konteks pembangunan kesehatan. Bukan sekadar slogan, tetapi komitmen untuk memastikan setiap warga negara memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang aman dan bermutu. Alat kesehatan atau yang kerap disingkat Alkes, menjadi simbol dari semangat itu. Alkes bukan sekadar instrumen teknis, melainkan jantung dari sistem layanan rujukan yang menentukan keselamatan pasien dan keberlangsungan pelayanan di seluruh pelosok negeri.

Sesi ini menyoroti bagaimana pemeliharaan, kalibrasi, dan kebijakan pengelolaan alat kesehatan menjadi bagian penting dari transformasi sistem kesehatan nasional. Dari ruang kalibrasi hingga ruang rapat kebijakan, dari kepemimpinan teknis hingga strategi digitalisasi, semua saling terhubung dan menentukan masa depan layanan kesehatan Indonesia. Melalui berbagai perspektif, baik dari pemerintah, rumah sakit, industri, dan akademisi, diskusi ini menggambarkan satu pesan utama, yaitu investasi kesehatan tidak hanya berbicara soal anggaran, tetapi juga tentang menjaga keberfungsian alat kesehatan.

Panel 1 – Alat Kesehatan sebagai Elemen Penting dalam Pilar Transformasi Pelayanan Kesehatan Rujukan

Subadri, ST, M.Si selaku Kepala Balai Pengamanan Alat dan Fasilitas Kesehatan (BPAFK) Jakarta mengatakan bahwa alat kesehatan bukan hanya urusan teknologi, melainkan urusan akurasi yang menyelamatkan nyawa. Namun, akurasi tanpa kepemimpinan yang kuat tak akan bermakna. Dalam konteks transformasi sistem kesehatan, kepemimpinan menjadi kunci agar setiap kebijakan benar-benar terlaksana di lapangan.

Subadri menjelaskan bahwa tantangan terbesar bukan hanya pada ketersediaan alat, tetapi pada bagaimana alat tersebut dipelihara dan dimanfaatkan secara optimal. Banyak daerah masih menghadapi keterbatasan dalam pemeliharaan rutin, padahal inilah aspek yang menjamin umur pakai alat tetap sesuai standar. Kemenkes, melalui jaringan Unit Pelaksana Teknis (UPT), terus berupaya memperluas akses kalibrasi dan pemeliharaan hingga ke wilayah-wilayah terpencil.

Subadri menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, baik dengan pemerintah daerah maupun pihak swasta. Melalui Permenkes 54, rumah sakit daerah kini dapat berfungsi sebagai unit pemeliharaan. Dengan dukungan kebijakan dan kolaborasi yang tepat, daerah-daerah dengan akses terbatas pun dapat memastikan alat kesehatan berfungsi aman dan efektif.

Panel 2 – Leadership Execution: Kebijakan KJSU dan KRIS sebagai Enabling Factors

Dr. dr. Andreasta Meliala, MKes, DPH, MAS selaku Ketua PKMK FK-KMK UGM menyoroti bahwa transformasi alat kesehatan hanya bisa berjalan jika ada sinergi antara sistem pembiayaan dan kepemimpinan yang visioner.

Menurut Andreasta, Indonesia kini memasuki era machine medicine, di mana kualitas layanan sangat ditentukan oleh sejauh mana SDM mampu mengoptimalkan alat yang tersedia. Tantangan utama bukan lagi ketersediaan alat, melainkan bagaimana alat tersebut dapat dioperasikan dan dirawat di daerah dengan sumber daya terbatas, terutama di wilayah 3T.

Andreasta menegaskan bahwa tanpa kepemimpinan yang memahami siklus hidup alat kesehatan, dari pengadaan hingga pemeliharaan, investasi akan sia-sia. Seorang pemimpin kesehatan harus melihat alat sebagai aset strategis, bukan sekadar pelengkap operasional. Kepemimpinan yang kuat menjadi penentu keberlanjutan layanan, efisiensi anggaran, dan keselamatan pasien.

Panel 3 – Model Pembiayaan Pemeliharaan Alkes pada BLU/BLUD

Oktelin Kaswadie, MARS, FISQua selaku Direktur RSUPP Betun Malaka NTT membawa perspektif dari wilayah perbatasan yang menghadapi keterbatasan sumber daya. Dengan anggaran terbatas, rumah sakitnya berupaya memaksimalkan setiap bantuan alat kesehatan dari pusat, termasuk CT scan dan mammografi. Namun, Oktelin menyoroti pentingnya sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah. Pengadaan alat tidak akan bermakna tanpa kesiapan infrastruktur dan SDM pendukung, seperti radiografer dan fisikawan medis.

Oktelin berbagi pengalaman bahwa pemeliharaan dan kalibrasi masih menjadi tantangan besar di daerah terpencil. Biaya kalibrasi tinggi karena keterbatasan fasilitas lokal, sementara kehadiran BPAFK belum merata. Oktelin mendorong agar laboratorium kesehatan daerah dapat mengambil peran dalam kalibrasi alat sederhana, untuk menekan biaya dan mempercepat layanan.

Menurutnya, dukungan kepemimpinan daerah sangat krusial. Di wilayahnya, komitmen bupati terhadap kesehatan menjadi faktor penentu keberhasilan pengelolaan alat. Dengan sinergi kebijakan, pembiayaan yang fleksibel, dan dukungan kepemimpinan yang konsisten, rumah sakit di daerah tertinggal pun bisa menjaga keberfungsian alat secara berkelanjutan.

Panel 4 – Industri Alkes dan Transfer Teknologi

Erwin Hermanto selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (ASPAKI) menyoroti kondisi industri alat kesehatan nasional yang masih tertinggal dalam riset dan pengembangan. Menurutnya, sebagian besar produsen masih berada pada tahap perakitan (assembling), belum menyentuh riset mendalam dan inovasi mandiri. Karena itu, transfer teknologi menjadi kunci untuk memperkuat daya saing industri dalam negeri. Berbagai bentuk kerja sama, mulai dari riset bersama, investasi asing langsung, hingga franchising, perlu diarahkan agar sesuai kebutuhan pasar dan tujuan jangka panjang. Erwin menekankan pentingnya konsistensi regulasi TKDN untuk menjamin pasar bagi produk lokal dan memastikan keberlanjutan kolaborasi jangka panjang.

Dari perspektif perusahaan global, Nugroho Madukusumo selaku Technical Support Manager APAC Philips menegaskan bahwa SDM merupakan pilar utama dalam pemanfaatan alat kesehatan. Menurutnya, kemampuan teknis tenaga Indonesia sudah memadai, hanya perlu diberdayakan melalui kebijakan dan prosedur yang berorientasi pada pencegahan melalui pemeliharaan alat, bukan perbaikan. Nugroho menekankan peran teknologi digital dan IoT yang memungkinkan prediksi kerusakan lebih dini serta pemeliharaan jarak jauh, terutama untuk daerah terpencil. Nugroho mengingatkan bahwa investasi terbaik bukan pada alat berteknologi tinggi, melainkan pada infrastruktur pendukung yang menjamin alat dapat berfungsi optimal di semua wilayah.

Panel 5 – Digitalisasi dan Internet of Things (IoT) dalam Pemeliharaan Alkes

Dr. Ir. Hendrana Tjahjadi, ST., MSi selaku Ketua Kolegium Elektromedis, Konsil Kesehatan Indonesia menyoroti bahwa membeli alat kesehatan jauh lebih mudah daripada memeliharanya. Menurutnya, tantangan terbesar bukan pada pengadaan, tetapi pada bagaimana memastikan alat berfungsi optimal sepanjang umur pakainya. Banyak rumah sakit belum menghitung return of investment dari setiap alat, sehingga fase pemeliharaan sering terabaikan dan digantikan dengan perbaikan reaktif.

Hendrana menekankan pentingnya mengubah paradigma dari repair menjadi maintenance. Pemeliharaan harus menjadi indikator kinerja utama, bukan sekadar tanggapan terhadap kerusakan. Dengan dukungan digitalisasi dan IoT, kondisi alat dapat dipantau secara real-time, bahkan diprediksi sebelum terjadi kerusakan.

Hendrana mencontohkan penggunaan sensor dan teknologi RFID untuk melacak pergerakan alat serta memastikan kalibrasi tepat waktu. Hendrana menegaskan, pemanfaatan teknologi digital bukan hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga mengurangi kerugian akibat downtime dan memperpanjang usia pakai alat kesehatan.

Panel 6 – Best Practice RSUD dr. Iskak Tulungagung

Kabib Abdullah, Amd. TEM. SKM. M.Kes selaku Kepala Sarana Prasarana RSUD dr. Iskak Tulungagung memaparkan pengalaman RSUD dr. Iskak Tulungagung yang berhasil mengembangkan sistem pemeliharaan alat berbasis total productive maintenance. Pendekatan ini berfokus pada peningkatan efisiensi dan penurunan downtime alat melalui pelibatan aktif tim rumah sakit.

Kabib menjelaskan bahwa keberhasilan tidak datang dari investasi besar, tetapi dari perubahan mindset. Setiap alat dianggap sebagai aset yang harus dijaga agar tetap bernilai. Tim di RSUD dr. Iskak melatih staf untuk melakukan daily maintenance sederhana, menerapkan prinsip Kaizen, dan membangun budaya autonomous maintenance agar pemeliharaan menjadi bagian dari rutinitas kerja.

Hasilnya, terjadi penurunan kerusakan signifikan dan penghematan biaya hingga ratusan juta rupiah per tahun. Menurut Kabib, kunci keberhasilan terletak pada kepemimpinan yang mendorong inovasi dan memberikan ruang bagi tim untuk belajar serta beradaptasi.

Sesi Diskusi

Diskusi dibuka dengan pembahasan mengenai industri alat kesehatan nasional. Moderator menyoroti fakta bahwa nilai agregat industri alat kesehatan di Indonesia telah mencapai lebih dari Rp50 triliun, namun 90% bahan bakunya masih impor, dan sebagian besar produsen masih berada pada tahap semi knock-down. Menjawab hal ini, Erwin dari ASPAKI menjelaskan bahwa asosiasi terus mendorong business matching antara produsen lokal dengan mitra internasional, termasuk lembaga riset luar negeri. Langkah ini dilakukan untuk membuka peluang ekspor dan memperkuat proses manufaktur dalam negeri. Erwin menekankan bahwa keberlanjutan industri membutuhkan konsistensi regulasi TKDN agar produsen lokal tidak berhenti pada tahap perakitan, tetapi mampu melakukan inovasi dan pengembangan teknologi sendiri.

Andreasta menambahkan bahwa percepatan transfer teknologi perlu menjadi prioritas nasional, terutama untuk alat kesehatan berteknologi tinggi. Erwin menegaskan pentingnya peran pemerintah dalam mendefinisikan ulang konsep transfer teknologi yang sesungguhnya, tidak hanya sekadar membuka pabrik asing di Indonesia, tetapi memastikan ada kolaborasi riset dan pengembangan bersama. Menurutnya, investasi yang sinkron dan berpihak akan menjadi fondasi bagi kemandirian industri alat kesehatan Indonesia dalam satu dekade ke depan.

Diskusi menghangat ketika peserta membahas tantangan pemeliharaan alat di rumah sakit dengan sumber daya terbatas. Putu menanyakan kemungkinan pembentukan pusat pemeliharaan regional untuk mengatasi kekurangan SDM elektromedis. Kabib menjawab bahwa pendekatan daily maintenance dapat menjadi solusi awal, karena kedekatan antara pengguna dan alat mampu mencegah sebagian besar masalah.

Moderator menyoroti temuan bahwa hingga 30% alat kesehatan di fasilitas pelayanan masih tidak berfungsi optimal, sementara kalibrasi dan pemeliharaan sering dianggap beban. Subadri menekankan bahwa desentralisasi layanan kalibrasi melalui UPT daerah akan memangkas biaya dan memperluas akses. Hendrana menambahkan bahwa biaya terbesar sering kali berasal dari akomodasi, bukan operasional kalibrasi itu sendiri, karena itu Labkesda perlu diperkuat untuk melayani daerah sekitar. Nugroho menekankan perlunya uji keterimaan rutin agar masa berlaku kalibrasi bisa lebih panjang dan efisien. Oktelin mengangkat isu standar biaya perbaikan yang bervariasi antar rumah sakit. Nugroho menjawab bahwa e-Katalog versi baru akan mengatur penyeragaman harga layanan pemeliharaan. Andreasta menutup sesi diskusi dengan menyoroti pentingnya koordinasi lintas kementerian, karena keberfungsian alat bergantung pada infrastruktur seperti listrik dan utilitas dasar. Menurut Andreasta, leadership adalah fondasi untuk mengubah kesadaran menjadi kebijakan.

Penutup

Dari seluruh diskusi, satu pesan besar mengemuka: investasi kesehatan tidak berhenti pada pengadaan alat, tetapi pada kemampuan mengelolanya. Keberhasilan transformasi kesehatan bergantung pada kepemimpinan visioner, model pembiayaan berkelanjutan, serta dukungan industri dan teknologi yang adaptif. Pemeliharaan yang terencana, kalibrasi yang tepat, dan digitalisasi yang cerdas akan memastikan setiap alat bekerja sebagaimana mestinya, baik di kota besar maupun di daerah terpencil. Bila alat kesehatan dikelola dengan cermat, maka kesehatan masyarakat pun akan lebih terjaga.

Penutupan Hari Pertama FORNAS XV JKKI

Hari pertama Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia (FORNAS) 2025 ditutup dengan pesan reflektif dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, Ph.D., yang menekankan pentingnya memperkuat sistem kesehatan melalui riset kebijakan yang berkelanjutan. Laksono menggambarkan diskusi hari ini sebagai “talkshow yang rumit namun sangat bermakna,” karena memperlihatkan betapa rapuhnya sistem kesehatan ketika satu komponen saja seperti alat kesehatan tidak berfungsi.

Laksono menegaskan bahwa setiap sesi paralel hari ini membuka ruang bagi peneliti dan mahasiswa untuk menggali lebih dalam isu-isu strategis, mulai dari prosedur pengadaan alat, tata kelola, hingga pembiayaan dan kesiapan infrastruktur seperti kelistrikan. Banyak topik di antaranya dapat menjadi gudang inspirasi riset kebijakan yang aplikatif dan berdampak langsung.

Laksono berharap, pada triwulan awal tahun 2026 dapat muncul berbagai proposal riset yang menyoroti pelaksanaan kebijakan dan tantangannya di lapangan. Penelitian kebijakan, ujarnya, tidak harus mahal, yang penting relevan dan menjawab persoalan nyata. FORNAS 2026 diharapkan menjadi ajang untuk mendiseminasikan hasil-hasil riset tersebut, sebagai bukti bahwa kolaborasi riset dan kebijakan dapat memperkuat fondasi transformasi sistem kesehatan Indonesia.

Reporter:
Dhea Keyle Fortunandha, MHPM (Divisi Public Health, PKMK UGM)


 

   Reportase Terkait:

Reportase Paralel 1 Sesi 6 Filantropi dalam Membangun Sistem Kesehatan

Forum Nasional XV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) tahun 2025 yang diselenggarakan oleh Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia bekerja sama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK–KMK UGM dan Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM mengangkat tema besar “Implementasi Kebijakan Transformasi Sektor Kesehatan dalam UU Kesehatan 2023”. Forum ini dilaksanakan secara hybrid di FK-KMK UGM dan melalui Zoom Meeting dan live stream Youtube. Salah satu subtema yang diangkat pada hari pertama Fornas (28/10/2025) adalah “Filantropi dalam Membangun Sistem Kesehatan”.

Sesi 6 Filantropi diawali pengantar oleh Prof. Laksono Trisnantoro selaku ketua JKKI. Dalam pengantarnya, Prof. Laksono menegaskan bahwa filantropi memiliki peran strategis dalam sistem kesehatan Indonesia. Menurut Prof Laksono, filantropi dapat berkontribusi tidak hanya dalam promosi kesehatan di masyarakat, tetapi juga dalam transformasi layanan rujukan, penguatan ketahanan bencana, serta pengembangan penelitian dan riset yang mendukung sistem kesehatan nasional.

Sesi kemudian dilanjutkan dengan pemaparan yang menghadirkan tiga pembicara utama dan satu pembahas, serta dipandu oleh Dr. dr. Jodi Visnu, MPH (RS Panti Rapih Yogyakarta) sebagai moderator.

Pembicara pertama, dr. Yeni Purnamasari, MKM selaku General Manager Kesehatan Dompet Dhuafa, memaparkan kiprah lembaganya melalui pilar segitiga Dompet Dhuafa: pelayanan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan respon darurat. Hingga kini, Dompet Dhuafa mengelola 11 fasilitas kesehatan dan 7 rumah sakit yang fokus melayani masyarakat dhuafa tanpa jaminan kesehatan. Program unggulan seperti Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) dan “Kawasan Sehat” menekankan pemberdayaan komunitas, peningkatan kapasitas lokal, serta kolaborasi lintas sektor dalam pengelolaan penyakit menular maupun tidak menular. Dalam penanggulangan TBC, Dompet Dhuafa berperan aktif melalui pembentukan TB Community untuk penemuan kasus, pendampingan nutrisi, serta pemberdayaan ekonomi pasien. Seluruh upaya tersebut selaras dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) khususnya tujuan 2, 3, 5, 6, dan 17.

Pembicara kedua, Ir. Trihadi Saptoadi, MBA dari Yayasan Tahija, menyoroti peran strategis filantropi dalam memperkuat layanan rujukan dan sumber daya manusia kesehatan. Menurutnya, filantropi bukanlah pengganti pemerintah atau sektor bisnis, melainkan mitra yang melengkapi melalui investasi pada pengembangan kapasitas SDM, tata kelola, dan kepemimpinan. Filantropi juga berperan sebagai katalis inovasi, menguji model percontohan tanpa terikat birokrasi, seperti pada program Wolbachia yang berhasil di advokasikan hingga ke kebijakan nasional. Ir. Trihadi menekankan pentingnya riset operasional berbasis bukti, mekanisme blended financing, serta kolaborasi multi pihak. Tantangan yang dihadapi mencakup persepsi bahwa filantropi sekadar sumber pendanaan, kurangnya keselarasan prioritas antar lembaga, hingga absennya peta jalan nasional filantropi kesehatan yang dapat memandu arah kemitraan.

Pembicara ketiga, dr. Bella Donna, M.Kes dari Divisi Manajemen Bencana PKMK FK–KMK UGM, menguraikan peran filantropi dalam meningkatkan ketahanan dan respon terhadap bencana kesehatan. Berdasarkan data tahun 2024 terdapat lebih dari 3.400 bencana di Indonesia, menandakan perlunya sistem kesehatan yang tangguh menghadapi krisis. Filantropi, menurutnya, dapat berkontribusi dalam empat fase kebencanaan mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan jangka panjang melalui pendanaan cepat, dukungan logistik, riset, serta penguatan kapasitas tenaga kesehatan.

Contoh nyatanya terlihat pada penanganan COVID-19 dan gempa Palu, di mana lembaga filantropi turut menutup kesenjangan pendanaan, menggerakkan relawan, serta memperkuat solidaritas publik. Namun, ia mengingatkan pentingnya koordinasi dengan pemerintah, transparansi penggunaan dana, dan strategi keberlanjutan agar bantuan tidak berhenti pascabencana.

Sebagai pembahas, Prof. Dr. dr. Sukadiono, MM dari Kemenko PMK menekankan peran filantropi sebagai katalisator kebijakan dan mitra strategis dalam memperkuat sistem kesehatan nasional. Filantropi dapat mendukung promosi dan pencegahan penyakit melalui pendanaan proyek percontohan, kampanye perubahan perilaku, serta pelatihan tenaga kesehatan. Ia menyoroti lima tantangan utama yang perlu diatasi: fragmentasi program, akuntabilitas dan pengukuran dampak, ketiadaan regulasi khusus, pembiayaan berkelanjutan, serta keberlangsungan program pasca proyek. Pemerintah, akademisi, dan lembaga filantropi diharapkan dapat mengembangkan National Health Philanthropy Roadmap untuk memastikan arah kolaborasi yang lebih efektif dan berorientasi hasil.

Sesi tanya jawab berlangsung interaktif. Salah seorang peserta menyoroti insentif pajak bagi sektor kesehatan dibandingkan bidang lain, serta menanyakan contoh negara dengan tingkat kepatuhan filantropi tinggi meskipun tanpa amnesti pajak. Menanggapi hal tersebut, Ir. Trihadi menjelaskan bahwa kesehatan merupakan satu-satunya sektor besar yang belum memperoleh insentif pajak dan hal ini penting untuk dikaji ulang. Peserta lain turut aktif dalam diskusi dengan menanyakan bagaimana individu atau lembaga yang tidak memiliki dana bisa melakukan aktivitas filantropi. dr. Yeni menjawab bahwa filantropi tidak hanya berwujud dana, melainkan juga partisipasi relawan dan co-financing dengan pemerintah daerah untuk mendukung keberlanjutan program. dr. Bella menegaskan pentingnya koordinasi antar lembaga agar sistem relawan dan bantuan dapat bekerja sesuai standar WHO. Prof. Sukadiono menutup diskusi dengan menekankan nilai dasar filantropi sebagai bentuk gotong royong dan keikhlasan yang perlu terus dikuatkan dalam mendukung transformasi sistem kesehatan.

Sebagai penutup, kesimpulan sesi ini menunjukkan bahwa filantropi memiliki potensi besar dalam memperkuat sistem kesehatan nasional, bukan  hanya melalui pendanaan tetapi juga inovasi, riset, peningkatan kapasitas SDM, dan kolaborasi lintas sektor. Sinergi antara pemerintah, akademisi, dan lembaga filantropi akan menjadi kunci dalam mewujudkan transformasi kesehatan Indonesia yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.

Reporter: Mashita Inayah R (PKMK UGM)


 

   Reportase Terkait:

Reportase Paralel 1 Sesi 1 Kebijakan Pelayanan Primer

Forum Nasional (Fornas) XV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) tahun 2025 diselenggarakan oleh JKKI bekerja sama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK Universitas Gadjah Mada. Forum ini mengangkat tema besar “Implementasi Kebijakan Transformasi Sektor Kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan 2023: Kebijakan Membangun Sistem Kesehatan.” Reportase ini mendokumentasikan jalannya sesi kedua pada hari pertama dengan subtema “Kebijakan Pelayanan Primer.”

Sesi ini dimoderatori oleh Mentari Widiastuti, MPH, Apt, yang membuka diskusi dengan menyoroti persistensi beban penyakit menular dan peningkatan beban penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia. Kondisi tersebut mendorong lahirnya Integrasi Layanan Primer (ILP) sebagai bagian dari transformasi pelayanan primer sejak tahun 2022. Transformasi ini bertujuan mewujudkan layanan primer yang terintegrasi, komprehensif, dan berbasis siklus hidup.

Mentari juga menjelaskan bahwa implementasi ILP didukung oleh Konsorsium Primary Health Care (PHC) yang dikoordinasikan oleh Direktorat Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas Kementerian Kesehatan bersama lembaga ThinkWell. Konsorsium ini menjadi wadah kolaborasi antara universitas, termasuk UGM, lembaga non-pemerintah, dan mitra lainnya untuk memperkuat layanan kesehatan primer serta memastikan pemerataan implementasi ILP di seluruh wilayah Indonesia.

Peran Perguruan Tinggi dalam Penguatan dan Keberlanjutan Implementasi ILP

Dalam paparannya, Dr. Trihono menekankan bahwa perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam menjaga keberlanjutan ILP melalui pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam bidang pendidikan, universitas dapat membuka peminatan pelayanan kesehatan primer serta memanfaatkan laboratorium lapangan untuk mendampingi pengelolaan layanan primer.

Di bidang penelitian, kampus berperan dalam mengembangkan riset yang relevan dengan kebutuhan lapangan, seperti transformasi kelembagaan, sistem klaster layanan, hingga digitalisasi pemantauan wilayah. Hasil penelitian diharapkan menjadi dasar pengambilan kebijakan berbasis bukti dan inovasi layanan.

ILP sendiri merupakan respon atas lemahnya sistem kesehatan selama pandemi COVID-19. Hingga Oktober 2025, tercatat 8.188 puskesmas (79,7%) telah menerapkan ILP. Melalui pengabdian masyarakat, universitas berkontribusi dalam pendampingan puskesmas, pelatihan kader, dan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan agar implementasi ILP berjalan lebih merata dan berkelanjutan.

Pembahas 1: Perkembangan dan Arah Keberlanjutan ILP dalam Kerangka Transformasi Pelayanan Kesehatan Primer

Bahasan pertama dibawakan oleh Windy Oktavina, SKM, M.Kes dari Kementerian Kesehatan yang hadir secara daring. Windy menegaskan bahwa ILP merupakan pilar utama dalam transformasi pelayanan kesehatan primer di Indonesia. Fokus utamanya adalah memperkuat struktur layanan melalui empat inisiatif strategis; penguatan jejaring dan struktur, standardisasi layanan, edukasi kesehatan, serta digitalisasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 19 Tahun 2024, pengembangan ILP dilakukan dengan sistem klaster yang mencakup lima area utama, meliputi pelaksana klaster manajemen, Klaster Kesehatan Ibu dan Anak, Klaster Kesehatan Dewasa dan Lansia, Klaster Penanggulangan Penyakit Menular dan Kesehatan Lingkungan dan Pelaksana Lintas klister. Dengan ILP, layanan berbasis komunitas, satuan pendidikan, tempat kerja, rujukan berjenjang, serta kolaborasi lintas sektor diharapkan dapat terwujud. Windy menegaskan bahwa tujuan utama ILP adalah memastikan layanan kesehatan yang berkesinambungan bagi seluruh siklus hidup, mulai dari bayi, remaja, usia produktif, hingga lansia. 

Sesi ini menekankan bahwa ILP menjadi kunci transformasi pelayanan kesehatan di Indonesia. Pendekatan berbasis siklus hidup mendorong layanan yang komprehensif dan berkelanjutan dilakukan dengan penguatan skrining kesehatan dan faktor risiko sebagai upaya pencegahan penyakit. Puskesmas sebagai penanggung jawab wilayah, diperkuat dan didukung oleh jejaring pustu, posyandu, dan kader kesehatan di tingkat komunitas. Pemerintah daerah dan berbagai mitra lintas sektor memiliki peran penting dalam memastikan keberlanjutan ILP Kolaborasi lintas sektor dan partisipasi masyarakat menjadi kunci agar transformasi pelayanan kesehatan primer dapat berjalan efektif dan berdaya guna.

Pembahas 2: Meninjau ILP dari Perspektif Teori Organisasi: Kunci Keberlanjutan dan Transformasi Pelayanan Kesehatan Primer

Prof. Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, M.A meninjau ILP melalui lensa teori organisasi, dengan menekankan pentingnya sistem yang adaptif dan kolaboratif agar transformasi kesehatan primer dapat berkelanjutan. Beliau mempertanyakan: apakah ILP sudah benar-benar menyejahterakan masyarakat atau masih berfokus pada penyembuhan individu semata? Menurutnya, pendekatan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) harus terintegrasi tanpa sekat, karena kesehatan tidak cukup diintervensi di fasilitas layanan; rumah dan komunitas harus menjadi lingkungan sehat. Beliau memberikan contoh kasus TB di komunitas seharusnya menjadi tanggung jawab sosial bersama, di mana kepala desa dapat menetapkan aturan pencegahan penularan sebagaimana diterapkan pada masa pandemi. 

Prof. Mubasysyir menekankan bahwa tujuan ILP adalah menjaga populasi agar tetap sehat melalui sistem yang kolaboratif dan terintegrasi dengan melibatkan komunitas sehingga bisa menjamin pasien yang membutuhkan pengobatan rutin tidak “drop out” dari rantai pelayanan hingga sembuh. Ia juga mengingatkan bahwa kemitraan lintas sektor, termasuk peran desa, dinas sosial, dan lembaga Pendidikan merupakan kunci keberlanjutan ILP. Dari perspektif Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), keberhasilan ILP tercermin dari kemampuan sistem dalam menghilangkan sekat antara layanan dan masyarakat, serta memastikan pemerataan akses bagi semua kelompok. Pelayanan kesehatan diberikan kepada sasaran yang tepat dan berkeadilan, sehingga mampu mewujudkan “desa sehat” sebagai unit terkecil dari sistem kesehatan nasional.

Sesi Diskusi

Diskusi berlangsung interaktif dengan dua pertanyaan utama. Penanya pertama, Cornelis, mengangkat isu ketersediaan dua tenaga kesehatan per desa, mengingat keterbatasan fiskal daerah dan ketimpangan kapasitas antarwilayah. Ia juga menyinggung dilema prioritas antara UKM dan UKP di tengah pertumbuhan penduduk yang pesat. Menanggapi hal ini, Windy menjelaskan bahwa kebijakan dua nakes per desa dilakukan melalui skema P3K dengan mempertimbangkan kondisi infrastruktur, apakah terdapat polindes maupun pustu dan apakah masih berfungsi atau perlu perbaikan. Skrining dilakukan berbasis keluarga, bukan massal, dengan pendekatan kunjungan rumah untuk deteksi dini dan tindak lanjut pengobatan.  Dr. Trihono menambahkan bahwa penerapan satu pustu di setiap desa perlu mempertimbangkan konteks lokal. Model ini efektif di wilayah dengan jumlah penduduk besar, namun di daerah perkotaan atau desa berpenduduk kecil, pelayanan dapat dioptimalkan melalui posyandu dan dokter keluarga. Pendekatan fleksibel ini diharapkan menjaga efisiensi tanpa mengurangi akses masyarakat terhadap layanan kesehatan dasar.

Pertanyaan kedua dari Luxi menyoroti pentingnya sinergi lintas sektor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ia mengusulkan adanya Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan yang menyatukan isu sosial, pendidikan, dan lingkungan. Prof. Mubasysyir menanggapi bahwa penyelesaian masalah kesehatan harus dimulai dari hulu, dengan riset pohon penyakit guna mengidentifikasi akar penyebab. Misalnya, stunting yang disebabkan oleh sanitasi buruk memerlukan intervensi lintas sektor. Dr. Trihono menambahkan contoh dari puskesmas di Kalimantan yang berhasil memperbaiki kesehatan lingkungan dengan mengubah area pinggiran sungai yang tadinya dipenuhi jamban yang tidak sehat menjadi tempat wisata. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan multisektor dapat menciptakan perubahan berkelanjutan, baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi masyarakat.

Penutup

Sesi ini menegaskan bahwa keberhasilan ILP sebagai strategi transformasi layanan kesehatan primer tidak dapat dicapai hanya melalui kebijakan teknis, tetapi memerlukan kolaborasi lintas sektor dan dukungan perguruan tinggi. Pemahaman teoritis, riset terapan, serta pengabdian masyarakat menjadi pondasi penting dalam memastikan ILP berkelanjutan. Dengan keterlibatan semua pihak baik pemerintah, akademisi, dan Masyarakat maka transformasi menuju sistem kesehatan yang kuat, adil, dan berorientasi pada siklus hidup akan menjadi nyata.

Reporter: Leyna C (PKMK UGM)

Reportase Forum Nasional XV JKKI – Sesi Pleno 1

Selasa, 28 Oktober 2025

Forum Nasional XV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) tahun 2025 dibuka dengan suasana penuh semangat di Auditorium Tahir FK-KMK UGM. Kegiatan ini diselenggarakan oleh JKKI bekerja sama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM, dengan mengusung tema “Implementasi Kebijakan Transformasi Sektor Kesehatan dalam UU Kesehatan 2023”. Acara pembukaan dipandu oleh dr Maria Silvia Utomo selaku pembawa acara, yang membuka kegiatan dengan mengingatkan bahwa pembukaan Fornas kali ini bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda. Maria menyampaikan harapan agar Fornas XV menjadi wadah kolaborasi lintas sektor dalam memperkuat sistem kesehatan nasional.

Sesi sambutan dimulai dengan Prof. Yodi Mahendradhata selaku Dekan FKKMK UGM. Dalam sambutannya, Prof Yodi menekankan pentingnya transformasi kesehatan sebagai bagian dari misi membangun ketangguhan sistem kesehatan nasional. Program kolaborasi global seperti 100 Days Mission mengangkat komitmen memperkuat kesiapsiagaan menghadapi pandemi di masa depan. Prof Yodi juga menegaskan bahwa JKKI dapat berperan sebagai mitra independen dan kolaboratif dalam menghasilkan kebijakan berbasis bukti. Sebagai akhir, Yodi mengapresiasi pelaksanaan Fornas yang diharapkan dapat melahirkan pemikiran kritis dan rekomendasi tajam bagi penguatan sistem kesehatan Indonesia.

Sambutan berikutnya disampaikan oleh Dr. Lutfan Lazuardi selaku Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan. Lutfan menyoroti bahwa Fornas menjadi forum strategis yang selaras dengan tanggung jawab  departemen dalam mencetak pembelajar dan pemimpin yang adaptif terhadap dinamika kebijakan kesehatan. Harapannya, setelah 15 tahun penyelenggaraan, Fornas semakin berkembang menjadi ruang kolaborasi lintas disiplin, dimana topik-topik yang dimunculkan sangat cocok dengan building blocks yang disajikan di departemen.

Selanjutnya, Dr. Andreasta Meliala, selaku Ketua PKMK FK-KMK UGM, menekankan pentingnya Fornas sebagai ruang berbagi kerangka berpikir dalam memahami dan mengevaluasi implementasi kebijakan. Dr Andreasta menyoroti bagaimana perubahan kecil dalam kebijakan di tingkat pusat dapat menimbulkan dampak besar di lapangan. Andreasta juga mengajak seluruh peserta untuk berpartisipasi aktif menyampaikan situasi di daerah masing-masing agar diskusi dalam Fornas benar-benar menggambarkan kondisi nyata. Di akhir sambutannya, beliau menyampaikan apresiasi kepada Prof. Laksono Trisnantoro sebagai motor penggerak utama JKKI yang telah menjaga keberlanjutan forum ini selama 15 tahun.

Sebagai puncak sesi sambutan, Prof. Laksono, selaku Ketua JKKI, membuka secara resmi Forum Nasional XV. Dalam pengantarnya, Laksono menegaskan bahwa kegiatan ini mendapat perhatian besar dari Kementerian Kesehatan yang hari ini diwakili oleh Wakil Menteri Kesehatan, Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono. Prof. Laksono juga menyoroti perjalanan panjang JKKI

sejak awal berdiri, dengan dinamika topik yang berkembang dari isu pembiayaan hingga transformasi sistem kesehatan pasca pandemi. Prof Laksono juga menekankan pentingnya kolaborasi riset dan pembiayaan mandiri, termasuk peran aktif mahasiswa dalam kegiatan Fornas.

Keynote speech disampaikan oleh Prof Dante Saksono Harbuwono Wakil Menteri Kesehatan RI, untuk membuka sesi pleno I. Prof Dante menekankan pentingnya membangun sistem kesehatan yang tangguh dan terintegrasi sebagai pelajaran dari pandemi. UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menjadi payung hukum bagi visi jangka panjang untuk menciptakan sistem yang kuat, adil, dan berkelanjutan melalui enam pilar transformasi kesehatan. Dante menegaskan bahwa keberhasilan transformasi hanya dapat terwujud melalui keselarasan pemahaman seluruh pihak. Sebagai penutup, Prof. Dante mengapresiasi peran JKKI, PKMK, dan komunitas akademik sebagai mitra strategis pemerintah dalam mengawal implementasi kebijakan menuju Indonesia Emas 2045.

Sesi pleno pertama mengangkat topik “Omnibus Law Kesehatan: Antara Simplifikasi Regulasi dan Potensi Masalah Hukum” dengan narasumber Dr. Rimawati dari Fakultas Hukum UGM, dimoderatori oleh Likke Prawidya Putri, Ph.D, dan dibahas oleh Prof. Laksono Trisnantoro.

Dalam paparannya, Dr. Rimawati menjelaskan bahwa Omnibus Law Kesehatan bertujuan menyatukan berbagai regulasi sektoral guna menciptakan efisiensi dan keselarasan hukum di bidang kesehatan. Namun, di balik upaya simplifikasi tersebut, terdapat sejumlah potensi masalah hukum, antara lain konflik norma, tumpang tindih kewenangan antar lembaga, ketidakjelasan posisi organisasi profesi dan konsil, hingga pelemahan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dan pasien.

Dr Rimawati juga menyoroti dinamika uji materiil dan formil UU Nomor 17 Tahun 2023 di Mahkamah Konstitusi, dimana sebagian besar permohonan dari organisasi profesi ditolak karena tidak memenuhi legal standing atau tidak menunjukkan pertentangan konstitusional yang jelas. Rimawati menekankan pentingnya penyusunan peraturan turunan yang adil dan transparan, serta pengawasan hukum yang konsisten agar pelaksanaan undang-undang ini tidak menimbulkan kesenjangan perlindungan hukum.

Menanggapi paparan tersebut, Prof Laksono memberikan refleksi historis atas perjalanan reformasi

kebijakan kesehatan di Indonesia. Prof Laksono  menegaskan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan merupakan bagian dari proses panjang reformasi untuk memperkuat akses, kualitas, dan kepastian hukum. Menurutnya, fase implementasi dan evaluasi perlu dipisahkan agar efektivitas kebijakan dapat diukur secara objektif, sementara riset implementasi kebijakan menjadi instrumen penting bagi akademisi untuk memastikan kebijakan publik benar-benar berdampak.

Sesi diskusi diwarnai beragam pandangan dari peserta, baik terkait tantangan politik dalam pembentukan kebijakan, netralitas universitas dalam advokasi kebijakan publik, hingga masalah implementasi di lapangan. Dr Rimawati menegaskan pentingnya pemahaman lintas sektor terhadap regulasi agar kebijakan payung tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Dr Rimawati menekankan bahwa implementasi UU Kesehatan harus mempertimbangkan konteks lokal tanpa mengabaikan prinsip kesetaraan dan kepastian hukum. Diskusi juga menyinggung perlunya ruang kolaboratif berkelanjutan bagi para akademisi dan praktisi untuk berbagi temuan serta rekomendasi kebijakan. Prof Laksono menutup sesi dengan ajakan agar setelah Fornas kegiatan debat ilmiah yang produktif dapat difasilitasi dalam bentuk kelompok diskusi, bukan hanya forum seremonial. Acara pembukaan diakhiri dengan arahan dari dr Maria selaku MC, yang mengundang seluruh peserta untuk beristirahat sejenak dalam coffee break sebelum melanjutkan ke sesi paralel yang membahas empat topik utama hingga waktu ishoma.

Reporter:
Sensa Gudya Sauma Syahra (PKMK UGM)


 

   Reportase Terkait: