Perubahan iklim kini menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat di Indonesia maupun dunia. Dampaknya tidak hanya meningkatkan risiko berbagai penyakit, melainkan juga menekan kapasitas sistem kesehatan nasional yang meliputi struktur pelayanan kesehatan, sumber daya manusia, hingga infrastruktur fasilitas kesehatan. Di sisi lain, sektor kesehatan juga berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca melalui konsumsi energi, limbah medis, serta rantai pasok farmasi dan alat kesehatan yang berjejak karbon tinggi.
Menjawab tantangan tersebut, topik “Kebijakan Climate-Resilient dan Low Carbon Health System” diangkat dalam hari ketiga Forum Nasional XV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) 2025 yang dilaksanakan pada 30 Oktober 2025 di Auditorium Gedung Tahir FK-KMK UGM. Kegiatan ini menjadi ruang dialog strategis untuk membahas arah transformasi sistem kesehatan menuju arah yang lebih tangguh terhadap iklim (climate-resilient) dan rendah karbon (low carbon).
Pembukaan
Acara pembukaan dipandu oleh Ubaid Hawari, S.IKom selaku Master of Ceremony (MC) dilanjutkan dengan sambutan dan pengantar kegiatan oleh dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes, Ph.D, selaku Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM dan Koordinator Topik Kebijakan Climate-Resilient dan Low Carbon Health System. Dalam sambutannya, Lutfan, PhD menegaskan pentingnya pembahasan isu climate resilience dan low carbon health system sebagai bagian dari agenda global sekaligus tanggung jawab nasional dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Lutfan menyampaikan bahwa perubahan iklim bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga menjadi tantangan besar bagi sektor kesehatan yang harus direspons secara komprehensif melalui kolaborasi lintas sektor. Pihaknya berharap kegiatan ini bisa menjadi wadah pembelajaran bersama untuk merespons isu dampak perubahan iklim bagi sistem kesehatan.
Pengantar
“Policy and Research to Advance Climate-Resilient and Low Carbon Health System in Indonesia”
Sesi pengantar dibuka oleh Prof. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc, Ph.D, FRSPH, Dekan FK-KMK UGM, yang menekankan pentingnya peran sektor kesehatan dalam menghadapi krisis iklim. Prof Yodi mengawali dengan kisah inspiratif dari Peru tentang seekor burung kecil. Saat hutan tempatnya tinggal dilanda kebakaran, burung kecil itu terus terbang bolak-balik dari sungai untuk membawa air dengan paruh mungilnya, berusaha memadamkan api. Saat hewan lain menghina karena usahanya dianggap sia-sia, burung tersebut menjawab, “I’m just trying to do the best I can.”
Prof. Yodi menyampaikan bahwa perubahan iklim telah menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan, termasuk meningkatnya kematian akibat gelombang panas, kekeringan yang berkepanjangan, dan meluasnya penyakit seperti demam berdarah. Data Lancet Countdown on Health and Climate Change 2025 menunjukkan bahwa ancaman ini kini nyata dan semakin kompleks. Pihaknya juga menyoroti keputusan World Health Assembly tahun 2024 yang menetapkan Global Action Plan on Climate Change and Health, menegaskan pentingnya sistem kesehatan yang tangguh terhadap iklim dan rendah karbon.
Prof Yodi menegaskan bahwa banyak peluang kontribusi dapat dilakukan, termasuk melalui riset, asesmen kerentanan fasilitas kesehatan, pengembangan rencana aksi nasional, inovasi pendidikan tenaga kesehatan, hingga pemetaan sumber emisi karbon dari rumah sakit dan puskesmas. Menurutnya, berbagai topik ini dapat diangkat dalam riset mahasiswa, termasuk di tingkat magister, untuk memperkuat basis pengetahuan nasional dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh terhadap iklim.
Prof. Yodi mengajak akademisi, peneliti, dan tenaga kesehatan untuk mengambil peran nyata melalui riset, advokasi kebijakan, dan inovasi layanan kesehatan berkelanjutan. Menutup sesinya, pihaknya menumbuhkan kembali semangat kolektif dengan mengutip Jane Goodall bahwa “real hope requires action and engagement.”
Sustainable Health System Benchmark from Australia’s Best Practice
Bertugas sebagai moderator pada sesi pertama adalah Annisa Ristya Rahmanti, S.Gz, Dietisien, MS., Ph.D dengan narasumber Dr. Anthony Sunjaya, Senior Lecturer di University of New South Wales (UNSW) Sydney, yang memaparkan topik “Building Sustainable Health Systems: Learnings from Australia and Other Settings.” Dr. Anthony menyoroti fakta bahwa sistem kesehatan dunia berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca, dengan 71% emisi berasal dari rantai pasok (scope 3), mencakup transportasi, produksi alat medis, hingga konsumsi energi rumah sakit. Dr. Anthony menjelaskan bahwa di Australia telah menerapkan strategi komprehensif yang berfokus pada empat area utama: resiliensi sistem kesehatan terhadap iklim, dekarbonisasi sistem kesehatan, kolaborasi internasional, serta penerapan pendekatan health in all policies. Strategi tersebut mendorong efisiensi energi di fasilitas kesehatan, penggunaan transportasi rendah emisi, pengurangan limbah medis, serta penerapan green procurement dalam rantai pasok.
Dr Anthony juga memaparkan contoh inovatif dari sektor kesehatan Australia yang berhasil menurunkan jejak karbon, seperti penggunaan AI-based diabetic eye screening yang terbukti menghasilkan emisi karbon lima kali lebih rendah dibandingkan pemeriksaan tatap muka konvensional. Meski demikian, Dr. Anthony mengingatkan bahwa teknologi seperti kecerdasan buatan juga memiliki carbon footprint yang perlu dikendalikan dengan penggunaan algoritma hemat energi dan infrastruktur berbasis energi terbarukan.
“Untuk membangun sistem kesehatan berkelanjutan, kita perlu menyeimbangkan antara inovasi digital dan tanggung jawab lingkungan,” ujarnya, sembari menegaskan bahwa prinsip keadilan kesehatan, One Health, dan planetary health harus menjadi dasar kebijakan kesehatan masa depan.
Sesi Diskusi
Pada sesi diskusi, peserta menyoroti bahwa kegiatan perjalanan ke fasilitas kesehatan juga menyumbang emisi gas. Beberapa peserta mengakui bahwa kesenjangan pengetahuan dan kesiapan di Indonesia masih menjadi tantangan utama. Topik lain yang menjadi perhatian adalah bagaimana pemerintah Australia memfasilitasi kolaborasi lintas disiplin dan lintas sektor dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh dan rendah karbon. Pendekatan tersebut dinilai dapat menjadi rujukan bagi Indonesia dalam memperkuat sinergi antara akademisi, pembuat kebijakan, tenaga kesehatan, dan masyarakat. Karena itu, penguatan kapasitas, peningkatan literasi iklim di sektor kesehatan, serta pengembangan kebijakan pendukung dinilai penting untuk mempercepat transformasi menuju sistem kesehatan yang berkelanjutan.
Arah Kebijakan Nasional Menuju Sistem Kesehatan Tangguh Iklim dan Rendah Karbon
Selanjutnya pada sesi kedua menghadirkan narasumber yaitu dr. Then Suyanti, MM (Direktur Kesehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan RI) dengan dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph.D. (Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM) sebagai pembahas. Dalam paparannya, dr. Then menekankan bahwa perubahan iklim telah memperburuk risiko kesehatan di Indonesia—termasuk peningkatan kasus penyakit menular seperti malaria, dengue, dan diare, hingga penyakit tidak menular seperti PPOK dan penyakit jantung iskemik. Berdasarkan kajian WHO tahun 2023, lebih dari 1.500 desa di Indonesia tergolong sangat rentan terhadap penyakit sensitif iklim. Menyikapi kondisi tersebut, Kementerian Kesehatan telah mengembangkan Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kesehatan (RAN MAPIK) 2025–2030 sebagai pedoman implementasi di tingkat pusat hingga daerah. Kebijakan ini memperkuat 10 komponen building blocks sistem kesehatan berketahanan iklim—mulai dari tata kelola, SDM, hingga sistem informasi kesehatan—serta mendukung pencapaian SDG 3 dan SDG 13 melalui penguatan program Desa Sehat Iklim (DESI) dan Fasilitas Kesehatan Tangguh Iklim.
Sementara itu, dr. Lutfan Lazuardi menyoroti pentingnya transformasi paradigma pelayanan kesehatan agar lebih adaptif dan berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon. Beliau memaparkan bahwa sektor kesehatan berkontribusi sekitar 1,9% terhadap total emisi gas rumah kaca nasional, menunjukkan urgensi inovasi berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang diangkat adalah penerapan telemedicine dan transformasi digital hijau, yang terbukti dapat menurunkan jejak karbon sebagaimana ditunjukkan dalam riset internasional yang turut melibatkan dirinya. Selain itu, ia menegaskan bahwa strategi keberlanjutan harus meliputi transformasi, kolaborasi, dan inovasi, di mana kolaborasi lintas sektor—antara akademisi, praktisi, pemerintah, dan masyarakat—menjadi kunci dalam memperkuat sistem kesehatan tangguh iklim. Mengutip seruan WHO (2023), Lutfan, PhD menutup dengan pesan kuat: “Kita tidak lagi memiliki kemewahan untuk menunggu. Perubahan iklim bukan ancaman masa depan, tetapi krisis hari ini yang membutuhkan aksi dari semua pihak.”
Sesi Diskusi

Pada sesi diskusi dan tanya jawab yang dimoderatori oleh dr. Ichlasul Amalia, MPH., peserta menyampaikan berbagai pandangan dan pertanyaan yang memperkaya pembahasan mengenai upaya penguatan sistem kesehatan yang tangguh terhadap perubahan iklim di Indonesia. Salah satu peserta berbagi pengalaman tentang proyek yang telah dijalankan selama lebih dari sepuluh tahun di pesisir Madura. Peserta menjelaskan bahwa kegiatan tersebut berawal dari penanganan abrasi pantai, kemudian berkembang menjadi program kesehatan lingkungan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap risiko perubahan iklim. Menanggapi hal tersebut, dr. Then menjelaskan bahwa Kemenkes saat ini tengah mengembangkan panduan Desa Sehat Iklim (DESI) sebagai inovasi nasional yang diharapkan menjadi model implementasi adaptasi kesehatan terhadap iklim di tingkat komunitas. Wilayah pesisir, katanya, termasuk dalam sasaran pengembangan program ini, sehingga diharapkan dapat segera diimplementasikan setelah panduannya selesai.
Selanjutnya, peserta lain menanyakan mengenai akses pendanaan dari Green Climate Fund (GCF) dan strategi khusus untuk puskesmas. dr. Then menjelaskan bahwa pengajuan GCF tahun ini diharapkan dapat terealisasi pada 2026, dan peluang pendampingan terbuka untuk dinas kesehatan, rumah sakit, maupun LSM yang fokus pada isu iklim dan kesehatan. Ia juga menekankan pentingnya percepatan status BLUD bagi puskesmas agar dapat menindaklanjuti program dengan lebih fleksibel. Selain itu, Kemenkes juga mulai melakukan asesmen emisi fasilitas pelayanan kesehatan sebagai langkah awal menuju sistem rendah karbon.
Dalam sesi lanjutan, peserta menyoroti meningkatnya kasus dengue pada 2024 dan menanyakan kebijakan penguatan respons terhadap penyakit vektor seperti dengue dan malaria. dr. Then menjawab bahwa kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) kini terintegrasi dalam program Desa Sehat Iklim. Menutup diskusi, dr. Then menegaskan pentingnya edukasi, webinar, dan peningkatan literasi masyarakat dan tenaga kesehatan sebagai fondasi kesadaran iklim di sektor kesehatan.
Climate Action in Green Hospital:
Mengurangi Jejak Karbon dalam Pelayanan Kesehatan
Pada sesi ketiga yang sekaligus menjadi sesi terakhir di Forum Nasional XV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) 2025, disampaikan oleh Dr. dr. Lia Gardenia Partakusuma, Sp.PK(K), MM, MARS, FAMM (Direktur Medis PT Pertamina Bina Medika IHC) dan Dr. dr. Darwito, S.H., Sp.B., Subsp.Onk.(K) (Direktur Utama RSA UGM), dengan moderator yaitu dr. Srimurni Rarasati, MPH. Dalam paparannya, Dr. Lia menjelaskan bahwa sektor kesehatan berperan penting dalam krisis iklim global, karena rumah sakit menyumbang sekitar 4,4% dari total emisi karbon dunia (Health Care Without Harm, 2021). Pihaknya menjelaskan bahwa transformasi menuju green hospital bukan hanya tren, melainkan tanggung jawab moral untuk melindungi kesehatan manusia dan bumi. Mengacu pada kerangka global seperti Geneva Sustainability Centre (GSC) – IHF dan Global Green and Healthy Hospitals (GGHH), Dr. Lia memaparkan strategi menuju Net Zero Healthcare melalui efisiensi energi, pengelolaan limbah berkelanjutan, penggunaan energi terbarukan, dan penerapan green procurement. Pihaknya juga menekankan pentingnya digitalisasi, edukasi staf, dan perubahan budaya organisasi menuju perilaku hijau yang berkelanjutan.
Melengkapi sesi tersebut, dr. Darwito membagikan praktik nyata penerapan konsep green hospital di Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM, yang telah mengintegrasikan berbagai inovasi ramah lingkungan dalam operasionalnya. Beberapa langkah konkret meliputi pemanfaatan energi terbarukan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), sistem panen air hujan (Gama Rain) hasil kolaborasi dengan Sekolah Vokasi UGM, serta pengelolaan limbah organik dengan larva Black Soldier Fly (BSF) untuk produksi pupuk dan pakan ikan. RSA UGM juga menerapkan prinsip Reduce, Reuse, Recycle (3R), efisiensi penggunaan air dan energi, serta pengembangan healing garden yang mendukung proses penyembuhan pasien dan meningkatkan kualitas udara. Inovasi ini tidak hanya menurunkan jejak karbon rumah sakit, tetapi juga memberdayakan masyarakat sekitar melalui program pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular. “Green hospital adalah kebutuhan mendesak di era perubahan iklim. Rumah sakit harus menyembuhkan manusia sekaligus menjaga bumi,” tegas dr. Darwito. Kedua pembicara sepakat bahwa aksi nyata dan kolaborasi lintas sektor merupakan kunci menuju sistem kesehatan yang berketahanan iklim, rendah karbon, dan berkelanjutan.
Sesi Diskusi
Sesi diskusi berlangsung dinamis dengan fokus pada penerapan konsep green hospital dan peluang memperluasnya ke berbagai lini pelayanan kesehatan. Salah satu peserta membuka sesi dengan pertanyaan menarik mengenai cara menurunkan emisi dari instrumentasi medis, yang selama ini menjadi salah satu sumber utama jejak karbon di fasilitas kesehatan. Diskusi kemudian berkembang ke konsep green hospital yang dipaparkan oleh Dr. Lia, yang mencakup beragam pilar seperti green leadership, green infrastructure, green energy, dan green procurement. dr. Darwito juga menyoroti pentingnya penerapan prinsip reduce, reuse, dan recycle dalam pengelolaan limbah medis maupun administrasi, termasuk penggunaan teknologi informasi untuk meminimalkan konsumsi kertas.
Selanjutnya, terdapat pertanyaan mengenai potensi green hospital sebagai sarana healing environment yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga mendukung pemulihan pasien secara psikologis. Kemudian, penanya juga mendiskusikan terkait kemungkinan penerapan konsep serupa di fasilitas kesehatan lain seperti puskesmas dan klinik.
Menanggapi hal tersebut, Dr. Lia menegaskan bahwa keberlanjutan di sektor kesehatan tidak terbatas pada konsep green hospital semata, melainkan mencakup pendekatan yang lebih luas yakni sustainability in healthcare — mencakup efisiensi energi, pengelolaan limbah, pola kerja yang berkelanjutan, hingga pemberdayaan masyarakat sekitar. Hal ini tentunya juga mencakup lingkup klinik dan puskesmas.
Sementara itu, dr. Darwito membagikan pengalaman penerapan green hospital di RSA UGM, yang telah mengembangkan konsep green village melalui kolaborasi dengan tiga desa binaan. Inisiatif ini tidak hanya berfokus pada efisiensi energi dan pengelolaan limbah, tetapi juga pada pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan lingkungan sehat dan berketahanan iklim.
Diskusi pun berakhir dengan semangat kolaboratif untuk memperluas praktik hijau di seluruh sistem kesehatan Indonesia.
Penutup
Melalui forum ini, para akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan tantangan besar bagi kesehatan global yang menuntut aksi nyata dan kolaborasi lintas sektor. Forum ini menyoroti pentingnya transformasi sistem kesehatan menuju ketangguhan iklim dan rendah karbon melalui kebijakan adaptif, riset berbasis bukti, inovasi teknologi hijau, serta penerapan green hospital yang efisien dan berkelanjutan. Upaya ini tidak hanya melindungi kesehatan manusia dari dampak krisis iklim, tetapi juga memperkuat peran sektor kesehatan sebagai penggerak utama.
Reporter:
- dr. Tania Prima Auladina, Fadliana Hidayatu Rizky Uswatun Hasanah, S.Tr.Keb, Bdn. MPHM
- Nasyfa Amelia A.Md.M
Reportase Terkait:
- Topik 1 Kebijakan membangun sistem kesehatan
- Sesi Pleno I Omnibus Law Kesehatan: Antara Simplifikasi Regulasi dan Potensi Masalah Hukum
- Paralel sesi 1 Kebijakan Pelayanan Primer
- Paralel sesi 2 Kebijakan Pendanaan
- Paralel sesi 3 Kebijakan Obat
- Paralel sesi 4 Kebijakan Pelayanan Rujukan
- Paralel sesi 5 Kebijakan Pelayanan Uji Kebijakan Rencana Kesiapsiagaan Krisis Kesehatan
- Paralel sesi 6 Filantropi Kesehatan
- Paralel sesi 5 Kebijakan RIBK
- Sesi Pleno II Mengamankan Investasi Kesehatan: Strategi Pemeliharaan Alkes KJSU di Daerah dengan Akses Terbatas
- Topik 2 Kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis dalam UU Kesehatan 2023
- Topik 3
Muhamad Faozi Kurniawan, SE, Ak., MPH memaparkan Tren Pembiayaan Kesehatan dan JKN Pasca Pandemi COVID-19. Faozi menyampaikan adanya tren peningkatan belanja kesehatan di Indonesia, dengan sumber pendanaan pemerintah lebih dari 50% yang masih lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara lain. Dari segi APBN, anggaran kesehatan mengalami peningkatan setiap tahun namun proporsinya tetap dan target prioritas tidak banyak berubah yaitu untuk KIA, stunting, dan cek kesehatan gratis. Di sisi lain, anggaran Kementerian Kesehatan dari Pemerintah Pusat paling banyak digunakan untuk JKN. Di tingkat daerah, pemerintah daerah masih mengandalkan dana-dana dari pusat untuk pembangunan kesehatan. Pasca COVID-19, terdapat peningkatan belanja kesehatan di tingkat daerah yang menggambarkan adanya komitmen pemerintah daerah untuk sektor kesehatan. Klaim rasio peserta JKN pasca COVID-19 juga mengami tren peningkatan. Dengan kondisi JKN yang terus mengalami pertumbuhan perlu untuk dipikirkan alternatif pendanaan JKN dari sektor asuransi swasta dan masyarakat, sehingga dana APBN tidak hanya untuk iuran PBI dan JKN.
Selanjutnya, Febriansyah Budi Pratama dari Pusat Pembiayaan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI sebagai pembahas menyampaikan implementasi kebijakan pendanaan dalam konteks transformasi sektor kesehatan dan upaya mencapai Universal Health Coverage (UHC) yang dimaknai sebagai kemampuan seluruh masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan. Kemenkes merencanakan Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) untuk mensinkronkan dan efisiensi belanja lintas kementerian dan daerah. RIBK ini harapannya berdampak besar pada masyarakat termasuk bagaimana swasta akan berkontribusi. Di sisi lain, terdapat skema belanja pemerintah dan JKN. Tercatat, hampir 60% ke atas pembiayaan peserta dari PBPU dan PBI yang diberikan pemerintah dan pemda. Selain itu, dampak ketidakpatuhan membayar iuran JKN mempengaruhi aset JKN. Maka, diperlukan langkah-langkah kebijakan untuk memperbaiki mutu dan pemerataan akses pelayanan kesehatan, serta peningkatan reveneu dari iuran program JKN. Harapannya dapat mendorong penurunan Out Of Pocket (OOP) dan peningkatan perlindungan finansial masyarakat menuju sistem pembiayaan yang tangguh dan adaptif.
Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt, M.Kes., MBA., AAK selaku Direktur Pusat Pembiayaan Kesehatan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) FK-KMK UGM menyampaikan adanya tantangan serius dalam keberlanjutan pembiayaan JKN yang dipicu oleh kenaikan utilisasi serta inflasi baiya medis yang tinggi. Salah satu isu yang muncul yakni kenaikan premi untuk menjaga keseimbangan antara keberlanjutan finansial (sustainability) dan keadilan sosial (equity). Namun, kenaikan iuran dinilai memiliki dampak paling berat pada peserta mandiri (PBPU) yang berpenghasilan tidak rutin, sehingga berisiko memicu tunggakan, dan membuat masyarakat miskin tiga kali lebih mungkin menunda akses layanan Kesehatan. Sedangkan dampak terhadap pelayanan kesehatan terkait dengan likuiditas, kapasitas mutu, serta makro-fiskal dan tata kelola. Dr. Diah menekankan bahwa kenaikan premi perlu diimbangi dengan mekanisme yang fleksibel tanpa menurunkan kepesertaan aktif serta perlu bagi provider untuk meningkatan mutu, sehingga kenaikan premi iuran bukan hanya sekadar untuk menutup defisit klaim. Selain itu, peran aktif dari pemerintah sangat diperlukan untuk mengkomunikasikan manfaat nyata dari kenaikan iuran serta diperlukan earmarking tambahan untuk dana kesehatan untuk mendukung subsidi yang berkelanjutan.
Prof. Dr. Cita Rosita Sigit Prakoeswa, dr. Sp.DVE., Subsp.DAI., FINSDV., FAADV., MARS membahas tentang penerapan KRIS dengan sudut pandang di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Jika mengacu pada kebijakan pemerintah, setiap rumah sakit wajib memenuhi 60% tempat tidur sesuai standar KRIS termasuk dengan adanya ventilasi yang memadai, partisi antar tempat tidur, kamar mandi dalam, hingga outlet oksigen. Standar tersebut membawa konsekuensi besar terhadap kebutuhan SDM, beban kerja, dan tata ruang rumah sakit. Berdasarkan perhitungan terakhir, RSUD Dr. Soetomo memiliki 403 tempat tidur yang sesuai atau mendekati KRIS, sementara masih kekurangan 75 hingga 163 tempat tidur agar mencapai target.
Obat esensial merupakan salah satu pilar utama dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang efektif dan berkeadilan. Tanpa ketersediaan obat yang memadai, sulit bagi fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama untuk memberikan layanan yang optimal kepada masyarakat. Indonesia, dengan karakteristik geografisnya sebagai negara kepulauan yang luas dan beragam, menghadapi tantangan kompleks dalam hal pengadaan, distribusi, dan pemantauan obat, terutama di wilayah terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, transformasi sektor kesehatan menekankan pentingnya kemandirian farmasi nasional serta jaminan ketersediaan obat esensial di seluruh lapisan masyarakat. Sesi ini akan membahas berbagai strategi kebijakan untuk memastikan ketersediaan obat esensial secara berkelanjutan, termasuk sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan tenaga kefarmasian. Penguatan sistem informasi farmasi, digitalisasi rantai pasok, serta peningkatan kapasitas tenaga kesehatan di daerah juga menjadi sorotan penting. Melalui kolaborasi lintas sektor, diharapkan Indonesia dapat mewujudkan sistem farmasi nasional yang mandiri dan berorientasi pada pemerataan layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat. Sesi dipandu oleh Monita Destiwi, MA (Researcher Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM) sebagai moderator. Pembicara adalah Reimbuss Blijers Fanda, MPH, Ph.D (Cand) (Konsultan dan Researcher Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM), serta Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, apt., MARS (Direktur Pengelolaan dan Pelayanan Farmasi Kementerian Kesehatan RI) dan Dr. apt. Niken Nur Widyakusuma, M.Sc. (Dosen, Konsultan, dan Reasearcher Fakultas Farmasi UGM) sebagai pembahas.
Pemaparan materi pertama berjudul “Pemenuhan Obat Esensial di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dalam Konteks Negara Kepulauan” oleh Reimbuss. Beliau membahas tantangan ketersediaan obat esensial di Indonesia. Secara global, lebih dari 2 miliar orang kesulitan mengakses obat esensial, dengan ketersediaan di sektor publik hanya sekitar 40 persen. Dampaknya mencakup biaya kesehatan katastrofik, mutu layanan rendah, serta paparan obat dengan kualitas yang kurang baik. Analisis nasional menggunakan data Podes, Sismonev JKN, dan Rifaskes 2019 menunjukkan bahwa 17 obat indikator hampir selalu tersedia (93 persen), namun dari 60 obat esensial, hanya sebagian tersedia di puskesmas. Variasi ketersediaan dipengaruhi oleh wilayah, jenis layanan, serta faktor sistemik seperti pengadaan, distribusi, dan kapasitas farmasi daerah. Daerah timur Indonesia paling terdampak karena akses terbatas dan ketergantungan tinggi pada puskesmas. Penelitian yang dilakukan oleh Reimbuss dan tim menemukan bahwa desentralisasi menciptakan kesenjangan antara kebijakan nasional dan praktik lokal. Faktor penyebab utama kekosongan obat mencakup lemahnya koordinasi, kurangnya tenaga farmasi, dan aturan pengadaan yang membingungkan. Rekomendasi kebijakan meliputi transformasi dinas kesehatan daerah, penyesuaian daftar obat esensial berbasis provinsi, peningkatan kompetensi apoteker, sistem pool procurement untuk wilayah timur, dan penguatan manajemen pengetahuan farmasi publik.
Presentasi selanjutnya oleh Agusdini mengenai “Strategi Pemenuhan Ketersediaan Obat Esensial di Pemerintah Pusat” menyoroti langkah strategis pemerintah dalam menjamin ketersediaan obat esensial secara nasional. Berlandaskan RPJMN 2025-2029 dan UU No. 17 Tahun 2023, strategi ini sejalan dengan transformasi sistem kesehatan melalui enam pilar utama, terutama ketahanan farmasi dan alat kesehatan. Kebijakan ini menekankan pentingnya perlindungan masyarakat melalui praktik kefarmasian yang aman, serta penguatan tata kelola rantai pasok dari hulu ke hilir dengan prioritas pada produk dalam negeri. Pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab atas ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan dengan sistem informasi logistik terintegrasi berbasis SATUSEHAT Logistik (Digital Inventory Nasional). Perencanaan kebutuhan obat dilakukan menggunakan pendekatan demand dan supply, memanfaatkan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) untuk menjaga keseimbangan permintaan dan penyediaan. Sistem E-Fornas dan e-Monev SatuSehat digunakan sebagai acuan pemilihan dan pemantauan stok obat. Selain itu, indikator ketersediaan obat dalam Renstra Kemenkes 2025–2029 menargetkan 95 persen fasilitas kesehatan memiliki obat esensial sesuai standar, didukung oleh peningkatan mutu pelayanan kefarmasian dan penerapan prinsip penggunaan obat rasional.
Pemaparan ketiga oleh Niken membahas “Manajemen Distribusi Obat Esensial: Perspektif Keilmuan”. Obat esensial didefinisikan sebagai obat yang paling dibutuhkan masyarakat, serta harus tersedia setiap saat dalam bentuk dan dosis yang tepat. Pemilihannya didasarkan pada prevalensi penyakit, efektivitas, keamanan, dan efisiensi biaya. Hal ini dilakukan untuk menjamin pelayanan kesehatan yang merata dan berkualitas. Ketersediaan obat esensial masih terhambat oleh rantai pasok yang tidak efisien, ketergantungan impor, lemahnya regulasi, serta ketimpangan akses antara wilayah urban dan rural. Siklus manajemen obat mencakup perencanaan, pengadaan, distribusi, dan penggunaan. Proses ini menjadi dasar pemenuhan obat yang efektif dengan dukungan kebijakan, SDM farmasi, pendanaan, dan sistem informasi logistik yang kuat. Niken juga mengatakan bahwa UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 memberikan landasan hukum baru untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial, mengatur desentralisasi tata kelola farmasi, serta memperkuat kemandirian industri nasional. Namun, implementasinya menghadapi tantangan berupa transisi regulasi, kapasitas SDM, dan kesiapan digitalisasi sistem logistik obat.

Kesempatan pertama diberikan kepada Candra, MPH sebagai narasumber untuk memaparkan isu “Tantangan Sinkronisasi RPJMD dan Renstra Dinas Kesehatan di Daerah” dalam konteks RIBK. Ia menyoroti adanya timing mismatch, di mana RIBK belum memiliki dasar hukum saat RPJMD dan Renstra sudah disahkan. Faktanya, RIBK nantinya akan menjadi acuan wajib bagi daerah serta menjelaskan arah rencana pembangunan kesehatan nasional. Candra juga menyinggung kesenjangan anggaran antara perencanaan dan penganggaran di tingkat nasional yang mencapai sekitar Rp73 Triliun, terutama di sektor layanan kesehatan. Kondisi ini menunjukkan masih adanya ruang perbaikan agar alokasi anggaran lebih proporsional dengan kebutuhan riil di lapangan.
Asty Radiktya Sari, S.KM., M.Kes., dari Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk, dan KB Kota Madiun, membawakan materi berjudul “Penerjemahan RIBK ke dalam Dokumen Perencanaan Daerah di Kabupaten/Kota.” Asty menyoroti berbagai tantangan implementasi indikator RIBK, seperti revisi berulang, perbedaan versi indikator, munculnya indikator baru tanpa dasar data, serta ketidaksinkronan antar-OPD. Selain itu, koordinasi lintas sektor masih lemah, beberapa indikator belum sesuai dengan kondisi demografis dan geografis daerah, dan belum adanya legal letter RIBK membuat penerapannya sulit di daerah.
Moh. Bisri, SKM., M.Kes., selaku Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau, menyampaikan pandangannya terkait Penerjemahan RIBK ke dalam Dokumen Perencanaan Daerah. Bisri menyoroti adanya perbedaan kondisi sosial ekonomi antara pusat dan daerah yang sering menimbulkan inefisiensi. Menurutnya, keselarasan implementasi RIBK harus bersifat adaptif agar mampu menjembatani kesenjangan pembangunan kesehatan antarwilayah.
Narasumber utama, dr. Akhmad menegaskan bahwa transformasi kesehatan harus menyentuh aspek kesiapsiagaan terhadap ancaman krisis non alam. DIY sebagai wilayah dengan intensitas mobilitas internasional tinggi, berpotensi menjadi pintu masuk penyakit emerging seperti Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus. dr Akhmad memaparkan bahwa uji kebijakan tidak sekadar formalitas, tetapi merupakan proses pembelajaran kolektif untuk memperkuat sistem kesiapsiagaan.


Subadri, ST, M.Si selaku Kepala Balai Pengamanan Alat dan Fasilitas Kesehatan (BPAFK) Jakarta mengatakan bahwa alat kesehatan bukan hanya urusan teknologi, melainkan urusan akurasi yang menyelamatkan nyawa. Namun, akurasi tanpa kepemimpinan yang kuat tak akan bermakna. Dalam konteks transformasi sistem kesehatan, kepemimpinan menjadi kunci agar setiap kebijakan benar-benar terlaksana di lapangan.
Dr. dr. Andreasta Meliala, MKes, DPH, MAS selaku Ketua PKMK FK-KMK UGM menyoroti bahwa transformasi alat kesehatan hanya bisa berjalan jika ada sinergi antara sistem pembiayaan dan kepemimpinan yang visioner.
Oktelin Kaswadie, MARS, FISQua selaku Direktur RSUPP Betun Malaka NTT membawa perspektif dari wilayah perbatasan yang menghadapi keterbatasan sumber daya. Dengan anggaran terbatas, rumah sakitnya berupaya memaksimalkan setiap bantuan alat kesehatan dari pusat, termasuk CT scan dan mammografi. Namun, Oktelin menyoroti pentingnya sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah. Pengadaan alat tidak akan bermakna tanpa kesiapan infrastruktur dan SDM pendukung, seperti radiografer dan fisikawan medis.
Erwin Hermanto selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (ASPAKI) menyoroti kondisi industri alat kesehatan nasional yang masih tertinggal dalam riset dan pengembangan. Menurutnya, sebagian besar produsen masih berada pada tahap perakitan (assembling), belum menyentuh riset mendalam dan inovasi mandiri. Karena itu, transfer teknologi menjadi kunci untuk memperkuat daya saing industri dalam negeri. Berbagai bentuk kerja sama, mulai dari riset bersama, investasi asing langsung, hingga franchising, perlu diarahkan agar sesuai kebutuhan pasar dan tujuan jangka panjang. Erwin menekankan pentingnya konsistensi regulasi TKDN untuk menjamin pasar bagi produk lokal dan memastikan keberlanjutan kolaborasi jangka panjang.
Dari perspektif perusahaan global, Nugroho Madukusumo selaku Technical Support Manager APAC Philips menegaskan bahwa SDM merupakan pilar utama dalam pemanfaatan alat kesehatan. Menurutnya, kemampuan teknis tenaga Indonesia sudah memadai, hanya perlu diberdayakan melalui kebijakan dan prosedur yang berorientasi pada pencegahan melalui pemeliharaan alat, bukan perbaikan. Nugroho menekankan peran teknologi digital dan IoT yang memungkinkan prediksi kerusakan lebih dini serta pemeliharaan jarak jauh, terutama untuk daerah terpencil. Nugroho mengingatkan bahwa investasi terbaik bukan pada alat berteknologi tinggi, melainkan pada infrastruktur pendukung yang menjamin alat dapat berfungsi optimal di semua wilayah.
Dr. Ir. Hendrana Tjahjadi, ST., MSi selaku Ketua Kolegium Elektromedis, Konsil Kesehatan Indonesia menyoroti bahwa membeli alat kesehatan jauh lebih mudah daripada memeliharanya. Menurutnya, tantangan terbesar bukan pada pengadaan, tetapi pada bagaimana memastikan alat berfungsi optimal sepanjang umur pakainya. Banyak rumah sakit belum menghitung return of investment dari setiap alat, sehingga fase pemeliharaan sering terabaikan dan digantikan dengan perbaikan reaktif.
Kabib Abdullah, Amd. TEM. SKM. M.Kes selaku Kepala Sarana Prasarana RSUD dr. Iskak Tulungagung memaparkan pengalaman RSUD dr. Iskak Tulungagung yang berhasil mengembangkan sistem pemeliharaan alat berbasis total productive maintenance. Pendekatan ini berfokus pada peningkatan efisiensi dan penurunan downtime alat melalui pelibatan aktif tim rumah sakit.
Hari pertama Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia (FORNAS) 2025 ditutup dengan pesan reflektif dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, Ph.D., yang menekankan pentingnya memperkuat sistem kesehatan melalui riset kebijakan yang berkelanjutan. Laksono menggambarkan diskusi hari ini sebagai “talkshow yang rumit namun sangat bermakna,” karena memperlihatkan betapa rapuhnya sistem kesehatan ketika satu komponen saja seperti alat kesehatan tidak berfungsi.
Pembicara pertama, dr. Yeni Purnamasari, MKM selaku General Manager Kesehatan Dompet Dhuafa, memaparkan kiprah lembaganya melalui pilar segitiga Dompet Dhuafa: pelayanan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan respon darurat. Hingga kini, Dompet Dhuafa mengelola 11 fasilitas kesehatan dan 7 rumah sakit yang fokus melayani masyarakat dhuafa tanpa jaminan kesehatan. Program unggulan seperti Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) dan “Kawasan Sehat” menekankan pemberdayaan komunitas, peningkatan kapasitas lokal, serta kolaborasi lintas sektor dalam pengelolaan penyakit menular maupun tidak menular. Dalam penanggulangan TBC, Dompet Dhuafa berperan aktif melalui pembentukan TB Community untuk penemuan kasus, pendampingan nutrisi, serta pemberdayaan ekonomi pasien. Seluruh upaya tersebut selaras dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) khususnya tujuan 2, 3, 5, 6, dan 17.
Pembicara kedua, Ir. Trihadi Saptoadi, MBA dari Yayasan Tahija, menyoroti peran strategis filantropi dalam memperkuat layanan rujukan dan sumber daya manusia kesehatan. Menurutnya, filantropi bukanlah pengganti pemerintah atau sektor bisnis, melainkan mitra yang melengkapi melalui investasi pada pengembangan kapasitas SDM, tata kelola, dan kepemimpinan. Filantropi juga berperan sebagai katalis inovasi, menguji model percontohan tanpa terikat birokrasi, seperti pada program Wolbachia yang berhasil di advokasikan hingga ke kebijakan nasional. Ir. Trihadi menekankan pentingnya riset operasional berbasis bukti, mekanisme blended financing, serta kolaborasi multi pihak. Tantangan yang dihadapi mencakup persepsi bahwa filantropi sekadar sumber pendanaan, kurangnya keselarasan prioritas antar lembaga, hingga absennya peta jalan nasional filantropi kesehatan yang dapat memandu arah kemitraan.
Pembicara ketiga, dr. Bella Donna, M.Kes dari Divisi Manajemen Bencana PKMK FK–KMK UGM, menguraikan peran filantropi dalam meningkatkan ketahanan dan respon terhadap bencana kesehatan. Berdasarkan data tahun 2024 terdapat lebih dari 3.400 bencana di Indonesia, menandakan perlunya sistem kesehatan yang tangguh menghadapi krisis. Filantropi, menurutnya, dapat berkontribusi dalam empat fase kebencanaan mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan jangka panjang melalui pendanaan cepat, dukungan logistik, riset, serta penguatan kapasitas tenaga kesehatan.
Sebagai pembahas, Prof. Dr. dr. Sukadiono, MM dari Kemenko PMK menekankan peran filantropi sebagai katalisator kebijakan dan mitra strategis dalam memperkuat sistem kesehatan nasional. Filantropi dapat mendukung promosi dan pencegahan penyakit melalui pendanaan proyek percontohan, kampanye perubahan perilaku, serta pelatihan tenaga kesehatan. Ia menyoroti lima tantangan utama yang perlu diatasi: fragmentasi program, akuntabilitas dan pengukuran dampak, ketiadaan regulasi khusus, pembiayaan berkelanjutan, serta keberlangsungan program pasca proyek. Pemerintah, akademisi, dan lembaga filantropi diharapkan dapat mengembangkan National Health Philanthropy Roadmap untuk memastikan arah kolaborasi yang lebih efektif dan berorientasi hasil.

Dalam paparannya,
Bahasan pertama dibawakan oleh Windy Oktavina, SKM, M.Kes dari Kementerian Kesehatan yang hadir secara daring. Windy menegaskan bahwa ILP merupakan pilar utama dalam transformasi pelayanan kesehatan primer di Indonesia. Fokus utamanya adalah memperkuat struktur layanan melalui empat inisiatif strategis; penguatan jejaring dan struktur, standardisasi layanan, edukasi kesehatan, serta digitalisasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 19 Tahun 2024, pengembangan ILP dilakukan dengan sistem klaster yang mencakup lima area utama, meliputi pelaksana klaster manajemen, Klaster Kesehatan Ibu dan Anak, Klaster Kesehatan Dewasa dan Lansia, Klaster Penanggulangan Penyakit Menular dan Kesehatan Lingkungan dan Pelaksana Lintas klister. Dengan ILP, layanan berbasis komunitas, satuan pendidikan, tempat kerja, rujukan berjenjang, serta kolaborasi lintas sektor diharapkan dapat terwujud. Windy menegaskan bahwa tujuan utama ILP adalah memastikan layanan kesehatan yang berkesinambungan bagi seluruh siklus hidup, mulai dari bayi, remaja, usia produktif, hingga lansia.
Prof. Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, M.A meninjau ILP melalui lensa teori organisasi, dengan menekankan pentingnya sistem yang adaptif dan kolaboratif agar transformasi kesehatan primer dapat berkelanjutan. Beliau mempertanyakan: apakah ILP sudah benar-benar menyejahterakan masyarakat atau masih berfokus pada penyembuhan individu semata? Menurutnya, pendekatan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) harus terintegrasi tanpa sekat, karena kesehatan tidak cukup diintervensi di fasilitas layanan; rumah dan komunitas harus menjadi lingkungan sehat. Beliau memberikan contoh kasus TB di komunitas seharusnya menjadi tanggung jawab sosial bersama, di mana kepala desa dapat menetapkan aturan pencegahan penularan sebagaimana diterapkan pada masa pandemi. 
Forum Nasional XV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) tahun 2025 dibuka dengan suasana penuh semangat di Auditorium Tahir FK-KMK UGM. Kegiatan ini diselenggarakan oleh JKKI bekerja sama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM, dengan mengusung tema “Implementasi Kebijakan Transformasi Sektor Kesehatan dalam UU Kesehatan 2023”. Acara pembukaan dipandu oleh dr Maria Silvia Utomo selaku pembawa acara, yang membuka kegiatan dengan mengingatkan bahwa pembukaan Fornas kali ini bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda. Maria menyampaikan harapan agar Fornas XV menjadi wadah kolaborasi lintas sektor dalam memperkuat sistem kesehatan nasional.
Sesi sambutan dimulai dengan Prof. Yodi Mahendradhata selaku Dekan FKKMK UGM. Dalam sambutannya, Prof Yodi menekankan pentingnya transformasi kesehatan sebagai bagian dari misi membangun ketangguhan sistem kesehatan nasional. Program kolaborasi global seperti 100 Days Mission mengangkat komitmen memperkuat kesiapsiagaan menghadapi pandemi di masa depan. Prof Yodi juga menegaskan bahwa JKKI dapat berperan sebagai mitra independen dan kolaboratif dalam menghasilkan kebijakan berbasis bukti. Sebagai akhir, Yodi mengapresiasi pelaksanaan Fornas yang diharapkan dapat melahirkan pemikiran kritis dan rekomendasi tajam bagi penguatan sistem kesehatan Indonesia.
Sambutan berikutnya disampaikan oleh Dr. Lutfan Lazuardi selaku Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan. Lutfan menyoroti bahwa Fornas menjadi forum strategis yang selaras dengan tanggung jawab departemen dalam mencetak pembelajar dan pemimpin yang adaptif terhadap dinamika kebijakan kesehatan. Harapannya, setelah 15 tahun penyelenggaraan, Fornas semakin berkembang menjadi ruang kolaborasi lintas disiplin, dimana topik-topik yang dimunculkan sangat cocok dengan building blocks yang disajikan di departemen.
Selanjutnya, Dr. Andreasta Meliala, selaku Ketua PKMK FK-KMK UGM, menekankan pentingnya Fornas sebagai ruang berbagi kerangka berpikir dalam memahami dan mengevaluasi implementasi kebijakan. Dr Andreasta menyoroti bagaimana perubahan kecil dalam kebijakan di tingkat pusat dapat menimbulkan dampak besar di lapangan. Andreasta juga mengajak seluruh peserta untuk berpartisipasi aktif menyampaikan situasi di daerah masing-masing agar diskusi dalam Fornas benar-benar menggambarkan kondisi nyata. Di akhir sambutannya, beliau menyampaikan apresiasi kepada Prof. Laksono Trisnantoro sebagai motor penggerak utama JKKI yang telah menjaga keberlanjutan forum ini selama 15 tahun.
Sebagai puncak sesi sambutan, Prof. Laksono, selaku Ketua JKKI, membuka secara resmi Forum Nasional XV. Dalam pengantarnya, Laksono menegaskan bahwa kegiatan ini mendapat perhatian besar dari Kementerian Kesehatan yang hari ini diwakili oleh Wakil Menteri Kesehatan, Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono. Prof. Laksono juga menyoroti perjalanan panjang JKKI
Keynote speech disampaikan oleh Prof Dante Saksono Harbuwono Wakil Menteri Kesehatan RI, untuk membuka sesi pleno I. Prof Dante menekankan pentingnya membangun sistem kesehatan yang tangguh dan terintegrasi sebagai pelajaran dari pandemi. UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menjadi payung hukum bagi visi jangka panjang untuk menciptakan sistem yang kuat, adil, dan berkelanjutan melalui enam pilar transformasi kesehatan. Dante menegaskan bahwa keberhasilan transformasi hanya dapat terwujud melalui keselarasan pemahaman seluruh pihak. Sebagai penutup, Prof. Dante mengapresiasi peran JKKI, PKMK, dan komunitas akademik sebagai mitra strategis pemerintah dalam mengawal implementasi kebijakan menuju Indonesia Emas 2045.
Dalam paparannya, Dr. Rimawati menjelaskan bahwa Omnibus Law Kesehatan bertujuan menyatukan berbagai regulasi sektoral guna menciptakan efisiensi dan keselarasan hukum di bidang kesehatan. Namun, di balik upaya simplifikasi tersebut, terdapat sejumlah potensi masalah hukum, antara lain konflik norma, tumpang tindih kewenangan antar lembaga, ketidakjelasan posisi organisasi profesi dan konsil, hingga pelemahan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dan pasien.