- Topik Reportase
- Pilih Field
- Innovative Health Financing for Marginalized Populations
- Evaluation of Mental Health Programs / Outcomes
- Global Perspectives on Innovative Models for Health Care Delivery, Payment, and Cost-Sharing
- Establishing the Impact of Climate Change on Health Systems: Empirical Application Across High and Low Income Countries
- Demand & utilization of health services
- Economic evaluation of health and related care interventions
- Evaluation of policy, programs and health system performance
- Health beyond the health system
- Health care financing & expenditures
- Health, its valuation, distribution and economic consequences
- Supply and regulation of health services and products
22 Juli 2025
Innovative Health Financing for Marginalised Populations
Econometric Analysis of Synergistic Demand-Side Health Financing Programs: Harnessing the Power of Integration
Taufik menyampaikan, di Indonesia, skema pembiayaan kesehatan lebih mengarah pada sisi permintaan, seperti pada konteks Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk jaminan kesehatan dan Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai bantuan tunai bersyarat. Dua model ini merupakan pilar utama dalam strategi perlindungan sosial bagi masyarakat rentan. Dampak kedua intervensi ini dapat diukur namun memang ada tantangan tersendiri. Variasi intervensi yang diterima oleh rumah tangga berisiko melanggar asumsi fundamental dalam evaluasi dampak dalam konsep Stable Unit Treatment Value Assumption (SUTVA). Penelitian ini mencoba mengungkap secara spesifik dalam mengatasi gap tersebut dan mengimplementasikan pendekatan perlakuan multivalue. Ini merupakan kerangka kerja untuk melakukan analisis dengan memperhitungkan variasi perlakuan beberapa nilai sampai melakukan estimasi dampak agar lebih valid dan dapat diandalkan.
Data panel tiga gelombang digunakan yang bersumber dari survei PKH. Studi ini membandingkan empat kelompok rumah tangga yang berbeda yaitu penerima PBI saja, PKH saja, kombinasi keduanya, dan kelompok kontrol. Keseimbangan karakteristik antar-kelompok dicapai melalui penggunaan generalized propensity scores (GPS). GPS merupakan sebuah teknik statistik lanjutan dengan serangkaian uji diagnostik. Penelitian ini membandingkan sembilan model ekonometrik yang berbeda, mencakup inverse probability treatment weighting (IPTW), matching, generalized estimating equations (GEE), hingga model Difference-in-Differences (DiD). Perbandingan ini dilakukan dengan tujuan untuk menemukan model yang paling sesuai berdasarkan kriteria seleksi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Hasil penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa kelompok rumah tangga yang menerima kombinasi intervensi PBI dan PKH mengalami perbaikan paling signifikan dalam perilaku pencarian pelayanan kesehatan ibu dan perlindungan finansial. Hasil ini menegaskan bahwa terdapat efek sinergis yang saling menguatkan antara kedua program tersebut yatu PKH dan PBI JKN. Analisis ini juga menggarisbawahi pemilihan metode evaluasi yang tepat karena menggunakan model yang berbeda-beda akan menghasilkan magnitudo dampak yang bervariasi. Studi ini juga menekankan bahwa dalam konteks penelitian dan upaya untuk mengontrol faktor pengganggu, baik yang teramati maupun tidak teramati, peneliti memegang peranan sentral. Studi ini memberikan bukti kuat bahwa penggabungan program perlindungan sosial merupakan strategi yang efektif untuk meningkatkan output kesehatan ibu.
Economic Evaluation of Multiple Demand-side Health Financing Subsidies in Indonesia
Susan Grifin menyatakan bahwa telah dilakukan evaluasi terhadap kebijakan sosial berskala besar di Indonesia, seperti Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Evaluasi ini secara umum berhasil dan menunjukkan dampaknya terhadap akses kesehatan. Namun demikian, analisis tersebut sering kali berhenti pada kesimpulan apakah sebuah program berhasil atau tidak, tanpa melangkah lebih jauh untuk menjawab pertanyaan yang lebih krusial bagi pengambil kebijakan. Pertanyaan yang sering dimunculkan adalah apakah program tersebut efisien dalam konteks penyerapan anggaran negara?. Kesenjangan terjadi karena minimnya pengetahuan tentang perbandingan nilai ekonomis dan intervensi sosial yang dilakukan seperti halnya PKH dan iuran PBI. Hal ini bisa saja menghambat alokasi sumber daya yang optimal.
Untuk menjembatani kesenjangan ini, studi ini mendemonstrasikan bagaimana evaluasi konvensional secara luas berdampak dan menjadi sebuah kerangka evaluasi ekonomi yang komprehensif. Peneliti mengusulkan pendekatan yang tidak hanya melihat efektivitas program, tetapi juga secara eksplisit mengintegrasikan suatu analisis biaya-efektivitas, dampak multi-sektoral, dan pertimbangan ekuitas. Peneliti menggunakan metodologi untuk menunjukkan cara mentransformasi output proksimal yang umum diukur dalam evaluasi dampak. Gambaran contoh seperti jumlah kunjungan antenatal atau cakupan imunisasi. Contoh tersebut menjadi indikator luaran akhir yang lebih bernilai. Indikator yang dimaksud adalah output Disability-Adjusted Life Year (DALYs) dan angka partisipasi sekolah.
Kontribusi utama dari studi ini yaitu penyediaan sebuah model analitis yang lebih holistik. Hasil studi tidak hanya menginformasikan tentang efektivitas program, namun juga menawarkan bukti mengenai siapa yang paling diuntungkan dan berapa nilai investasi publik yang sesungguhnya. Pemangku kepentingan dapat memperoleh gambaran dalam konteks percepatan pencapian UHC di Indonesia dalam alokasi sumber daya yang lebih efisien dan adil terutama untuk kelompok rentan.
Reporter:
M. Faozi (PKMK UGM)
Evaluation of Mental Health Program / Outcomes
Multisectoral Suicide Prevention Program
Abiona (Macquarie University)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjadikan pencegahan bunuh diri sebagai komitmen global sejak tahun 2014, dan merekomendasikan strategi pencegahan bunuh diri berpendekatan multisektoral yang komprehensif. Beberapa pemerintah Eropa telah menerapkan jenis strategi ini, meskipun evaluasi efektivitasnya terhambat oleh ukuran sampel yang kecil, factor pengaruh yang membingungkan, dan kualitas data yang rendah.
Studi ini, sebaliknya, memperkirakan dampak intervensi pencegahan bunuh diri multisektoral berbasis komunitas dengan basis sampel data yang besar di Australia, sehingga dapat menunjukkan dampaknya terhadap penggunaan sumber daya dan biaya perawatan kesehatan di Australia.
Pengumpulan data dilakukan antara 2017 dan 2020 dan menggunakan kumpulan data administrasi pemerintah negara bagian terkait dengan jutaan pengamatan di unit gawat darurat, perawatan rumah sakit rawat inap, perawatan primer, dan pasokan obat-obatan.
Metode yang digunakan adalah difference-in-difference (DiD) multi kelompok, serta analisis efek kausal Intention to Treat (ITT) dari intervensi pada penggunaan sumber daya dan biaya perawatan kesehatan. Efeknya dipisahkan bergantung pada waktu dan pada setiap jaringan kesehatan lokal, termasuk unit gawat darurat, perawatan rumah sakit rawat inap, perawatan kesehatan yang diberikan di luar rumah sakit dan pasokan farmasi.
Menyajikan bukti dan wawasan berharga tentang dampak potensial dari intervensi pencegahan bunuh diri multisektoral berbasis komunitas dengan populasi besar pada sistem perawatan kesehatan, untuk lebih memahami mekanisme dampak yang terkait dengan jenis strategi ini. Ini dapat membantu negara-negara lain merancang, menerapkan, dan meningkatkan strategi pencegahan bunuh diri multisektoral yang komprehensif dengan lebih baik.
Talking Through our Mental Health Problem: The Impact of Talk Therapy on Healthcare Utilization
Roger Prudon (Lancaster)
Menurut OECD, setengah dari semua orang akan menderita masalah kesehatan mental di beberapa titik dalam hidup mereka. Masalah kesehatan mental ini seringkali memiliki dampak negatif yang besar pada kehidupan individu. Meskipun pengobatan bisa efektif dalam mengurangi dampak negatif ini, tingkat pengobatan dan kepatuhan terbatas, sehingga mengakibatkan banyak orang dengan masalah kesehatan mental tidak menerima perawatan yang memadai. Untuk meningkatkan penyerapan pengobatan, pemerintah di seluruh dunia telah memperkenalkan program berskala besar yang bertujuan untuk menyediakan bentuk perawatan kesehatan mental yang mudah diakses. Contoh program ini adalah Program Terapi Berbicara (Talk Therapy) yang dilakukan oleh NHS di Inggris, Better Access Initiative di Australia dan Project Teach di New York. Namun, bukti yang ada mengenai dampaknya belum banyak dibahas.
Pembicara kali ini, Roger Prudon, mengevaluasi program serupa yang menyediakan bentuk terapi wicara di Belanda. Terapi bicara ini, yang disediakan oleh asisten praktik kesehatan mental (MH-PA) di praktek dokter umum (GP), diperkenalkan pada 2012 untuk mengurangi tekanan dari sistem perawatan kesehatan spesialis mental, dan meningkatkan tingkat pengobatan. Dampak yang dibahas yaitu dampak langsung terhadap seberapa besar program tersebut berhasil mengurangi beban perawatan Kesehatan spesialis mental.
Hasilnya menunjukkan bahwa program terapi bicara di kantor dokter umum secara signifikan meningkatkan penyerapan/adopsi pengobatan. Bagi kebanyakan individu, terapi bicara melengkapi pilihan pengobatan yang sudah ada, karena sebelumnya orang-orang ini tidak akan menerima perawatan sebelum dirawat oleh tenaga perawat jiwa (nurse practitioner mental health/NPMH). Artinya pemanfaatan asisten praktek Kesehatan mental (MH-PA) cukup potensial untuk mendorong pasien untuk memulai pengobatan.
Namun bentuk pengobatan baru sebagian besar digunakan oleh subpopulasi dengan pemanfaatan perawatan kesehatan mental pra-pengenalan yang relatif tinggi, yang berpotensi meningkatkan kesenjangan yang ada dalam pemanfaatan pelayanan Kesehatan.
Treatment Preference and Their Determinants among Adults with Depression of Anxiety in Outpatient Mental Healthcare (a systematic review)
Lara Leinz (University of Medical Center, Hamburg Eppendorf)
Meningkatnya prevalensi gangguan depresi dan kecemasan diasumsikan akan meningkatnya permintaan akan perawatan kesehatan mental. Namun, kesenjangan pengobatan, waktu tunggu yang lama untuk psikoterapi dan tingginya tingkat putus pengobatan menunjukkan bahwa sistem pelayanan tersebut ternyata kewalahan dan alokasi sumber daya yang lebih baik diperlukan untuk mengamankan perawatan kesehatan mental yang tepat waktu dan efektif. Penelitian ini dilakukan untuk meninjau secara sistematis apa preferensi pengobatan untuk perawatan kesehatan mental (khusus rawat jalan) dan apa faktor penentunya di kelompok usia dewasa dengan gangguan depresi atau kecemasan.
Studi ini terdaftar di PROSPERO dan mengikuti pedoman PRISMA. Studi diambil secara sistematis dari empat database (Web of Science, PubMed, CINAHL, PsycInfo) sejak Januari hingga Mei 2024. Data yang diekstraksi tentang preferensi dan determinan dirangkum, dan preferensi dikategorikan ke dalam: (1) pendekatan yang digunakan (pengobatan atau psikoterapi), (2) pilihan layanan psikoterapi (disediakan dengan cara apa), dan (3) parameter psikoterapi. Faktor determinan dikelompokkan ke dalam faktor sosio demografis dan terkait kesehatan. Kualitas penelitian dinilai dengan Mixed-Methods Appraisal Tool (MMAT).
Tiga temuan utama diidentifikasi: 1) psikoterapi lebih disukai daripada pengobatan, 2) perawatan tatap muka lebih disukai daripada pengobatan digital, dan 3) terapi individu lebih disukai daripada terapi kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan, pedoman dan para penyedia layanan harus menyadari bahwa preferensi pasien dapat beragam, sehingga penting untuk memastikan adanya fleksibilitas pilihan. Selain itu, kita perlu menghormati dan mengintegrasi preferensi pengobatan ke dalam perencanaan perawatan untuk dapat memberikan perawatan kesehatan mental yang berorientasi pada individual (person-centered) dan meningkatkan potensi penerimaan pasien atas terapi dan kontinuitasnya.
Reporter:
Shita Dewi (PKMK FK-KMK UGM)
Global Perspectives on Innovative Models for Health Care Delivery, Payment, and Cost-Sharing
Episode-Based Cost-Sharing for Childbirth in the Privately Insured Population in the United States: Quantifying the Out-of-Pocket Cost Redistribution
Michal Horný menjelaskan, Amerika Serikat memiliki ketidakpastian dalam biaya pelayanan kesehatan karena pelayanan lanjutan yang dilakukan, seperti contoh persalinan. Hal ini menyebabkan potensi biaya yang tinggi bagi pasien. Sebagai solusi, sebuah model pembagian biaya berbasis episode diusulkan. Model ini akan menampilkan data statistik untuk menggambarkan jumlah yang dibayarkan oleh pasien. Tujuan khusus studi ini yaitu untuk menyelidiki dan mengukur bagaimana mendistribusikan beban biaya antara pasien yang memiliki asuransi swasta dan episode medis yang berkelanjutan.
Studi ini membandingkan biaya riil yang merupakan tanggung jawab pasien dengan estimasi biaya.Studi ini menganalisis data klaim dari 98.635 kasus persalinan pada 2021. Pasien membayarkan rata-rata biaya sebesar $2.783. Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa model berbasis episode akan memberikan penalti pada sebagian kecil pasien (22,4% atau 22.136 kasus) yang mengalami komplikasi tak terduga, dengan peningkatan biaya rata-rata sekitar $793. Dan sebaliknya, mayoritas pasien (64,6%, atau 63.683 kasus) mengikuti skema pembiayaan normal dan membayar harga lebih tinggi, dengan kenaikan rata-rata sekitar $754.
Dari segi desain, model ini berfungsi seperti pedang bermata dua, satu sisi memberikan bantuan keuangan kepada pasien yang belum siap, namun juga menyediakan bantuan keuangan kepada sebagian besar pasien dengan prosedur klinis normal. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan model tersebut menciptakan mekanisme untuk mendistribusikan sumber daya baru dalam kelompok.
Reduced Mortality and Admissions Through Integrated Care: Evidence from Taiwan’s Family Doctor Program
Li-Lin Liang menjelaskan bahwa terdapat fragmentasi dalam sistem kesehatan dan menjadi tantangan global. Kondisi ini akan diatasi melalui pendekatan perawatan yang terintegrasi (integrated care). Tujuannya adalah meningkatkan luaran kesehatan, menekan biaya, dan memperkaya pengalaman pasien. Meskipun efektivitas model ini telah memberikan bukti pada manajemen penyakit tunggal, terdapat dampak terhadap pasien dengan multimorbiditas. Pada fasilitas kesehatan primer kondisi ini terjadi karena sistem layanan primer tidak terintegrasi kuat. Di Amerika Utara dan Eropa banyak terjadi kesenjangan antara pelayanan primer dan lanjutan. Untuk itu di Taiwan, kami mencoba melakukan studi dengan melakukan evaluasi kuantitatif terhadap Family Doctor Program (FDP). Studi ini merupakan sebuah inisiatif berskala nasional yang dirancang untuk memperkuat koordinasi perawatan bagi pasien kronis komplikasi/ multi morbid yang berbiaya tinggi.
Studi ini menggunakan data dari Taiwan National Health Insurance Research Database dari tahun 2013 hingga 2020. Kami melakukan analisis survivabilitas untuk mengukur efek program terhadap angka rawat inap yang dapat dicegah dan mortalitas karena berbagai penyebab penyakit. Kami menerapkan metode matching one by one untuk membuat kelompok FDP dan non-FDP sebagai pembanding dengan berdasarkan demografi, status kesehatan, dan pola pemanfaatan layanan. Dengan total sampel akhir mencapai 484.644 individu yang dipergunakan untuk analisis rawat inap dan 826.996 untuk analisis mortalitas. Kami menggunakan model Cox proportional hazards yang telah dimodifikasi untuk menghasilkan estimasi risiko yang akurat dengan melakukan penyesuaian multivariabel.
Hasil analisis menunjukkan terdapat manfaat signifikan dari intervensi FDP. Partisipan program menunjukkan adanya risiko rawat inap 3% yang lebih rendah dan risiko kematian sebesar 13% lebih rendah dibandingkan non-partisipan. Penurunan risiko ini teramati konsisten di hampir seluruh subkelompok pasien. Temuan ini menyoroti bahwa dengan pendekatan multifaset FD yang mencakup manajemen kasus, alur perawatan klinik-rumah sakit, dan insentif finansial unik telah mendorong kolaborasi dan berhasil meningkatkan output kesehatan. Dengan studi ini Taiwan mencoba berbagi pengalaman dalam mengimplementasikan perawatan terintegrasi dalam layanan primer.
The Performance Paradox: Longitudinal Payment Disparities for Safety-Net Providers in a U.S. Value-Based Payment Model
Meng-Yun Lin Perubahan dalam sistem pembayaran untuk Medicare di Amerika Serikat dari berbasis volume menjadi berbasis nilai, yang dimulai oleh Medicare Access and CHIP Reauthorization Act (MACRA) pada tahun 2015. Kondisi ini menciptakan sistem insentivisasi yang rumit yang disebut MIPS. Sistem ini dirancang untuk memberikan penghargaan finansial kepada klinisi yang mencapai tingkat kinerja yang tinggi. Namun, ada kekhawatiran yang mendalam bahwa model tersebut mengabaikan determinan sosial kesehatan bagi pasien. Dan praktiknya merugikan penyedia jaring keselamatan (SNP) yang terbebani dengan adanya perawatan populasi rentan. Hal ini memungkinkan adanya sanksi finansial yang terjadi dan dikhawatirkan akan mengancam keberlanjutan layanan untuk komunitas yang paling membutuhkan.
Studi longitudinal dilakukan dengan menganalisis data dari 329.657 klinisi selama periode empat tahun dari tahun 2018 hingga 2021. Studi ini berusaha untuk mengatasi kekhawatiran terhadap pelayanan kelompok rentan. Studi ini membuat grup kelompok penyedia SNP dan non-SNP dengan menggunakan analisis regresi multivariat yang disesuaikan untuk karakteristik klinisi dan pasien untuk melacak perbedaan kinerja. Hasil dari studi ini menunjukkan sebuah temuan yang berkaitan dengan hipotesis awal telah mengungkapkan dirinya. Dengan konsisten, SNPs jauh dari rekan-rekan identik non-SNP mereka dalam hal mencapai skor kinerja yang hanya sedikit lebih baik dan memiliki probabilitas 14,5% lebih tinggi untuk menerima penyesuaian pembayaran positif berkelanjutan dibandingkan rekan-rekan tersebut.
Namun, studi ini juga memunculkan paradoks yang jauh lebih dalam. Meskipun mencapai kinerja metrik yang lebih baik, akumulasi penyesuaian finansial dalam dolar diterima oleh SNPs secara signifikan lebih rendah, dengan selisih bersih $0,39 per pasien yang dilayani. Kesenjangan ini menandakan adanya bias sistemik dalam mekanisme distribusi imbalan MIPS yang secara tidak sengaja mengenakan beban finansial pada entitas populasi rentan. Implikasi kebijakan dari analisis ini sangat jelas yaitu tanpa reformasi, sistem yang telah berjalan ternyata pelayanan yang diberikan tidak berkualitas untuk kelompok masyarakat paling rentan.
Reporter:
M. Faozi (PKMK UGM)
Establishing the Impact of Climate Change on Health Systems: Empirical Application Across High and Low Income Countries
Perubahan iklim adalah ancaman terbesar bagi kesehatan manusia. Namun, dampaknya terhadap fungsi sistem kesehatan seperti layanan, pembiayaan, dan tenaga kesehatan masih jarang diteliti. Sesi ini menyajikan penelitian baru dari berbagai negara, yang menganalisis hubungan antara variabilitas iklim atau kejadian iklim ekstrim dan dampaknya terhadap berbagai aspek dalam pelayanan dan tenaga kesehatan.
Emergency Hospitalizations and Related Economic Burden of Heat Exposure: A Nationwide Time-Series Study in Germany
Presenter: Hedi Katre Kriit, Heidelberg University, Germany;
Sesi pertama membahas dampak gelombang panas ekstrem terhadap sistem kesehatan di Eropa, dengan studi kasus di Jerman. Meski efek suhu tinggi terhadap kematian sudah banyak diteliti, pengaruhnya terhadap pelayanan kesehatan—khususnya rawat inap darurat (emergency hospitalization/EH)—dan beban ekonomi belum banyak dikaji.
Penelitian ini menggunakan data asuransi kesehatan dari 4,3 juta individu di Jerman yang dikaitkan dengan data suhu harian selama musim panas tahun 2017–2022. Hasilnya menunjukkan bahwa risiko rawat inap darurat meningkat seiring naiknya suhu, terutama pada anak-anak, lansia, dan penderita penyakit metabolik. Sekitar 8,4% dari seluruh rawat inap darurat diperkirakan terjadi akibat panas, dengan beban biaya mencapai €35 juta. Jika diekstrapolasi ke seluruh populasi, panas ekstrem diperkirakan menyumbang 5–6% dari total pengeluaran kesehatan tahunan. Penelitian ini menegaskan pentingnya kesiapan sistem kesehatan dalam menghadapi meningkatnya kejadian panas ekstrem, serta perlunya kebijakan adaptasi yang efektif untuk melindungi kesehatan dan menekan dampak ekonomi.
Health and Economic Assessment of Extreme Temperature and Late Preterm Births in Germany – A Space-Time-Stratified Case-crossover Study
Presenter: Hannah Lintener, University of Heidelberg, Germany,
Sesi kedua menyoroti dampak panas ekstrem terhadap risiko kelahiran prematur (preterm birth/PTB) di Jerman. Hannah menjelaskan bahwa perempuan hamil diketahui lebih rentan terhadap paparan suhu tinggi, dan penelitian sebelumnya telah menunjukkan adanya peningkatan risiko PTB bahkan di wilayah beriklim sedang.
Penelitian ini menggunakan data asuransi kesehatan nasional (SHI) yang mewakili populasi secara luas, dikombinasikan dengan data suhu harian dari ERA-5 (ECMWF) selama periode Maret hingga September tahun 2017–2022. Para peneliti menemukan bahwa risiko PTB meningkat seiring kenaikan suhu, membentuk pola kurva U. Sementara, secara ekonomi, studi ini memperkirakan bahwa terdapat 144 kasus PTB yang dapat dikaitkan dengan suhu tinggi dalam rentang 15°C–29°C, dengan total beban biaya rawat inap langsung sebesar €2,7 juta. Namun, angka ini kemungkinan masih di bawah estimasi sebenarnya karena belum mencakup biaya jangka panjang, biaya tidak langsung, atau beban sosial yang lebih luas.
Temuan ini menunjukkan bahwa panas ekstrem berpotensi meningkatkan risiko kelahiran prematur dan menimbulkan beban ekonomi yang signifikan. Peneliti merekomendasikan agar strategi adaptasi terhadap panas, khususnya yang menyasar perempuan hamil, menjadi bagian penting dari kebijakan kesehatan ke depan.
The Effect of Extreme Weather Events on The Utilisation of Routine Maternal and Child Health Services in Zambia
Presenter: Chris Mweemba, University of Zambia
Pada sesi ketiga, Chris membahas bagaimana banjir dan gelombang panas yang dipicu oleh perubahan iklim memengaruhi akses layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) di Zambia. Dalam konteks negara berpenghasilan rendah, kejadian cuaca ekstrem seperti ini dapat mengganggu layanan rutin seperti pemeriksaan kehamilan, persalinan di fasilitas kesehatan, perawatan pasca persalinan, dan imunisasi anak yang berdampak langsung pada hasil kesehatan populasi.
Penelitian ini menganalisis data kunjungan bulanan layanan KIA dari 2014 hingga 2022, yang dikombinasikan dengan data paparan banjir dan gelombang panas berdasarkan citra satelit dan rekaman suhu dari lembaga internasional. Studi ini menelusuri pengaruh paparan suhu ekstrem dan intensitas banjir terhadap penurunan penggunaan layanan kesehatan, serta perbedaan dampaknya berdasarkan wilayah urban/rural, status sosial ekonomi, dan kepadatan fasilitas atau tenaga kesehatan.
Hasilnya menunjukkan bahwa banjir dan suhu ekstrem berdampak nyata terhadap penurunan layanan kesehatan rutin, terutama ketika intensitas paparan melewati ambang tertentu. Dampak ini bervariasi antar provinsi dan kelompok populasi. Kesimpulannya, untuk memastikan kemajuan menuju cakupan kesehatan semesta (UHC), penting bagi sistem kesehatan di negara rentan untuk memahami dan mengantisipasi dampak cuaca ekstrem terhadap layanan dasar. Sesi ini juga menekankan potensi penggunaan data rutin sebagai alat pemantauan dampak iklim terhadap layanan kesehatan ibu dan anak.
Reporter:
Ratri (PKMK UGM)