Skip to content

Reportase Paralel 2 Sesi 7 Kebijakan Metode Perencanaan Kesehatan RIBK

Moderator: Muhamad Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH

Forum Nasional (Fornas) Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) XV yang diselenggarakan di Yogyakarta pada Selasa, 28 Oktober 2025 menghadirkan diskusi yang mendalam terkait arah dan implementasi Rencana Induk Bidang Kesehatan di Indonesia. Pada sesi paralel ini, hadir Candra dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM sebagai narasumber utama yang memaparkan dinamika penyusunan dan penerapan rencana induk kesehatan sebagai instrumen penguatan sistem kesehatan nasional dan daerah. Diskusi semakin kaya dengan kehadiran tiga pembahas, yaitu Asty Radiktya Sari, S.KM., M.Kes dari Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Madiun; Moh. Bisri, SKM., M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau; serta Galih Putri, SKM., MPA dari Biro Perencanaan dan Anggaran Setjen Kementerian Kesehatan RI. Ketiganya memberikan perspektif beragam dari level daerah hingga nasional, membahas tantangan harmonisasi perencanaan dan implementasi kebijakan kesehatan lintas wilayah. Sesi ini dimoderatori oleh Muh Faozi Kurniawan dari PKMK FK-KMK UGM yang memandu jalannya diskusi secara interaktif.

Sesi Pemaparan

Kesempatan pertama diberikan kepada Candra, MPH sebagai narasumber untuk memaparkan isu “Tantangan Sinkronisasi RPJMD dan Renstra Dinas Kesehatan di Daerah” dalam konteks RIBK. Ia menyoroti adanya timing mismatch, di mana RIBK belum memiliki dasar hukum saat RPJMD dan Renstra sudah disahkan. Faktanya, RIBK nantinya akan menjadi acuan wajib bagi daerah serta menjelaskan arah rencana pembangunan kesehatan nasional. Candra juga menyinggung kesenjangan anggaran antara perencanaan dan penganggaran di tingkat nasional yang mencapai sekitar Rp73 Triliun, terutama di sektor layanan kesehatan. Kondisi ini menunjukkan masih adanya ruang perbaikan agar alokasi anggaran lebih proporsional dengan kebutuhan riil di lapangan.

Hasil pemetaan menunjukkan keselarasan indikator antara RIBK dan dokumen perencanaan daerah telah mencapai rata-rata 90%. Meskipun substansi sudah cukup sinkron, tantangan masih muncul pada koordinasi teknis, kesesuaian formal dokumen, dan penentuan prioritas anggaran yang dapat memengaruhi efektivitas program kesehatan di daerah. Sebagai solusi, Candra mengusulkan dua strategi. Jangka pendek: menerapkan sinkronisasi adaptif, menjadikan RIBK sebagai referensi informal, dan menyesuaikan nomenklatur serta indikator pusat-daerah. Jangka menengah: melakukan revisi dokumen perencanaan bila diperlukan dan memperkuat kolaborasi lintas sektor agar perencanaan dan penganggaran kesehatan lebih terintegrasi dan selaras dengan arah kebijakan nasional.

Sesi Pembahas 1

Asty Radiktya Sari, S.KM., M.Kes., dari Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk, dan KB Kota Madiun, membawakan materi berjudul “Penerjemahan RIBK ke dalam Dokumen Perencanaan Daerah di Kabupaten/Kota.” Asty menyoroti berbagai tantangan implementasi indikator RIBK, seperti revisi berulang, perbedaan versi indikator, munculnya indikator baru tanpa dasar data, serta ketidaksinkronan antar-OPD. Selain itu, koordinasi lintas sektor masih lemah, beberapa indikator belum sesuai dengan kondisi demografis dan geografis daerah, dan belum adanya legal letter RIBK membuat penerapannya sulit di daerah.

Asty juga menekankan pentingnya sistem penilaian dan pengelolaan data yang baik. Kendala aplikasi dan bridging system sering menghambat agregasi data, menyebabkan hasil kerja daerah tidak sepenuhnya tercermin. Tantangan utama lainnya adalah perbedaan timeline antara pusat dan daerah, membuat RIBK belum dapat dijadikan acuan legal saat penyusunan Renstra berlangsung. Sebagai solusi, ia merekomendasikan percepatan pengesahan RIBK, penyusunan juknis indikator dan penganggaran, serta pendampingan teknis bagi Dinas Kesehatan dan Bappeda. Sinkronisasi sistem data, optimalisasi sumber pembiayaan (DAK, DBHCHT, BPJS, CSR), dan penguatan forum lintas sektor juga penting agar RIBK benar-benar terintegrasi dalam Musrenbang dan perencanaan OPD di daerah.

Sesi Pembahas 2

Moh. Bisri, SKM., M.Kes., selaku Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau, menyampaikan pandangannya terkait Penerjemahan RIBK ke dalam Dokumen Perencanaan Daerah. Bisri menyoroti adanya perbedaan kondisi sosial ekonomi antara pusat dan daerah yang sering menimbulkan inefisiensi. Menurutnya, keselarasan implementasi RIBK harus bersifat adaptif agar mampu menjembatani kesenjangan pembangunan kesehatan antarwilayah.

Bisri menilai permasalahan utama terletak pada kekosongan regulasi turunan dan fragmentasi tata kelola. Walaupun RIBK telah disebut dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024, namun  Peraturan Presiden atau Permenkes teknis yang mengatur mekanisme sinkronisasi RIBK dengan RPJMN, RPJMD, dan Renstra OPD belum ada. Akibatnya, RIBK belum diakui sebagai dokumen strategis formal, sehingga indikator dan targetnya belum sepenuhnya terintegrasi dalam dokumen perencanaan Bappeda maupun Dinas Kesehatan. Selain itu, lemahnya mandat antar-kementerian menyebabkan koordinasi lintas sektor belum optimal, diperparah oleh fragmentasi APBN–APBD berbasis outcome yang memicu duplikasi program dan menyulitkan pengawasan capaian indikator. Untuk itu, Bisri merekomendasikan penerbitan Peraturan Presiden tentang RIBK, penyusunan pedoman sinkronisasi antar dokumen perencanaan, dan integrasi RIBK dalam sistem e-Planning nasional agar menjadi acuan harmonisasi kebijakan dan penganggaran lintas sektor.

Sesi Pembahas 3

Pembahas terakhir, Galih Putri, SKM., MPA., selaku Ketua Tim Kerja Perencanaan I Biro Perencanaan dan Anggaran Setjen Kemenkes, menjelaskan bahwa RIBK berfungsi sebagai penghubung antara RPJMN dan RPJMD di sektor kesehatan. Dokumen ini memastikan keselarasan vertikal antara pusat dan daerah, serta keselarasan horizontal antarprogram dan sektor, sehingga kebijakan, perencanaan, dan penganggaran kesehatan dapat berjalan terpadu untuk mencapai target pembangunan kesehatan nasional.

Galih menegaskan bahwa RIBK merupakan acuan penting bagi pemerintah daerah sesuai amanat UU Nomor 17 Tahun 2023. Penyusunan RIBK dilakukan bersamaan dengan RPJMD dan Renstra Perangkat Daerah, dengan panduan substansi dari Kementerian Kesehatan agar sinkron dengan arah kebijakan nasional. Di dalamnya, terdapat indikasi kebutuhan pendanaan berbasis data daerah yang menjadi acuan penyusunan anggaran kesehatan. Pendanaan tidak hanya bersumber dari APBN dan APBD, tetapi juga melalui kemitraan dan innovative financing seperti pinjaman berbunga rendah, kerja sama BUMD, public-private partnership, CSR, serta dana filantropi lokal. Galih menekankan pentingnya penyelarasan indikator RIBK agar konsisten dengan prioritas daerah, di mana tanggung jawab pelaksanaannya tidak hanya pada Dinas Kesehatan, tetapi juga OPD lain yang relevan dengan substansi indikator.

Sesi Diskusi

Cornelis, mahasiswa peminatan Kebijakan Manajemen dan Pelayanan Kesehatan (KMPK), mengajukan pertanyaan kritis mengenai posisi Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) dalam sistem perencanaan nasional. Narasumber menyoroti bahwa RPJMN telah terbit dan mencakup aspek kesehatan, sementara di daerah berbagai dokumen seperti RPJMD, Renstra, dan indikator lintas sektor juga telah disusun dan disinkronkan. Cornelis mempertanyakan bagaimana posisi RIBK dalam struktur tersebut serta berapa jumlah total indikator yang dimiliki Kementerian Kesehatan, mengingat adanya tumpang tindih dengan indikator dari kementerian lain yang juga terkait bidang kesehatan.

Menanggapi hal tersebut, Galih Putri dari Biro Perencanaan dan Anggaran Setjen Kemenkes menjelaskan bahwa RIBK merupakan turunan langsung dari RPJMN untuk sektor kesehatan. Bagian kesehatan dalam RPJMN diambil dan dikembangkan dalam RIBK dengan menambahkan isu-isu strategis terkini sesuai kebutuhan nasional dan daerah. Ia menegaskan bahwa indikator dalam RIBK tidak banyak berubah karena telah dirancang agar selaras dengan kerangka nasional. Selain itu, kerangka pendanaan dalam RIBK menggunakan prinsip money follow function, di mana anggaran mengikuti fungsi dan target kinerja yang telah ditetapkan. Pendekatan ini memastikan keterkaitan antara strategi, indikator, dan program secara terukur sehingga RIBK dapat berfungsi sebagai pedoman yang sinkron, realistis, dan efektif dalam mengarahkan pembangunan kesehatan nasional hingga ke tingkat daerah.

Sebagai penutup, forum menegaskan kembali pentingnya membangun persepsi dan komitmen bersama terhadap posisi Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) dalam sistem perencanaan nasional. Bisri menekankan bahwa apabila RIBK dimaksudkan sebagai acuan utama pembangunan kesehatan, maka perlu ditetapkan secara formal sebagai panduan nasional atau bahkan RPJMN sektor kesehatan, agar memiliki kekuatan dan arah kebijakan yang seragam di seluruh tingkatan pemerintahan. Pandangan ini disepakati oleh Asty, yang menambahkan bahwa kesepahaman lintas sektor merupakan langkah krusial untuk memastikan efektivitas dan keberlanjutan implementasi RIBK di daerah. Dengan demikian, forum ini diharapkan menjadi awal penguatan koordinasi antara pusat dan daerah menuju sistem perencanaan kesehatan yang lebih sinkron, terukur, dan berorientasi hasil.

Reporter
Faisal Mansur – Divisi PH PKMK UGM


 

   Reportase Terkait:

Mempelajari
UU No.17/2023 Tentang Kesehatan

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.