Reportase Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal dalam Era JKN

giri

Sambutan dan Pembukaan

giriPusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM bekerjasama dengan Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) Komisariat Fakultas Kedokteran UGM, pada hari Sabtu, 13 Desember 2014 menyelenggarakan Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional. Seminar yang bertempat di Ruang Senat Fakultas Kedokteran UGM tersebut mengangkat tema “Bagaimana Mengurangi Kesenjangan Geografis yang Semakin Besar?”. Membuka acara seminar, Dekan Fakultas Kedokteran UGM Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, SpB (K)Onk memberikan apresiasi kepada tim PKMK FK UGM dengan salah satu program Sister Hospital-nya di beberapa daerah khususnya daerah tertinggal, terbukti mengangkat derajat kesehatan masyarakat di daerah tersebut. Sehingga harapannya program dan dukungan ini dapat diteruskan.

Sementara itu Penanggung Jawab kegiatan, dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD mengemukakan dalam sambutan pembukaannya, bahwa fakta menarik dan paling mencolok yang ada di Indonesia adalah masalah kesenjangan. Baik kesenjangan dari pembangunan infrastruktur, sosial, ekonomi, termasuk pembangunan sektor kesehatan. Dan yang paling memprihatinkan, fenomena yang terjadi adalah kecenderungan banyaknya warga negara Indonesia di perbatasan yang memilih pindah ke negara tetangga karena merasa kurang diperhatikan di Indonesia.Sulitnya berbagai akses menuju kesejahteraan, salah satunya pelayanan kesehatan menjadi alasan maraknya fenomena tersebut. Oleh karena itu seminar kali ini, diharapkan akanmenghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang dapat diaplikasikan ke tataran kebijakan, untuk kemudian dipraktekkan melalui aksi-aksi nyata jangan hanya sampai pada tataran teoritis saja.

Demikian pula disampaikan oleh Ketua Kagama, Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA bahwa memang ketersediaan SDM dan fasilitas kesehatan masih menjadi persoalan utama sektor kesehatan di daerah tertinggal. Oleh karena itu UGM yang menjadi pioneer pembangunan daerah tertinggal, tidak pernah berhenti untuk membantu perjuangan masyarakat di daerah tertinggal guna mendapatkan keadilan pembangunan, termasuk di bidang kesehatan.

 

SESI 1: Situasi terkini pelayanan kesehatan di daerah tertinggal

  Kementerian Kesehatan

bambang sMengawali sesi pertama kegiatan seminar, Staf ahli Kementrian Kesehatan RI Bidang Peningkatan Kelembagaan dan Desentralisasi, dr. Bambang Sardjono, MPH menjelaskan bahwa sesuai 9 agenda prioritas (nawa cita) Pemerintahan Jokowi-JK salah satunya ialah pembangunan Indonesia dimulai dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa-desa dalam NKRI. Namun fakta memprihatinkan yang terjadi di lapangan, masyarakat di perbatasan justru lebih senang mencari akses pelayanan kesehatan di negara tetangga karena dirasa lebih mudah. Bambang Sardjono juga membenarkan bahwa masalah kesenjangan masih merupakan persoalan utama yang terjadi antar daerah di Indonesia, termasuk dalam pelayanan kesehatan. Sehingga pendekatan yang perlu dibuat adalah, khusus untuk masyarakat di daerah tertinggal khususnya di pedalaman tidak hanya sekedar dibuatkan kartu sehat saja namun perlu ada sistem khusus yang diberlakukan untuk mereka.

Selain itu, kendala lain dalam upaya pembangunan di daerah tertinggal yakni masalah lokalitas. Banyaknya SDM yang kurang kompeten duduk di jajaran pembuat kebijakan daerah, lebih disebabkan oleh faktor lokalitas yang berkaitan dengan kondisi politik di daerah tersebut sehingga maksimalisasi program kebijakan sulit tercapai. Belum lagi masalah ketidaktersediaannya infrastruktur pendukung, seperti sumber daya listrik dan air menyebabkan sulitnya mencari tenaga kesehatan yang mau bertugas di daerah tertinggal.Sehingga perlunya menanamkan nilai pengabdian kepada calon-calon tenaga kesehatan Indonesia, untuk mau berkontribusi mendukung pemerataan pembangunan.

 

  Pembahasan materi (Kagama Kedokteran)

budiMenanggapi penjelasan dari Kementrian Kesehatan, dr. Budiono Santoso, PhD, SpF (K) dari Kagama mengemukakan agar pemerintah jangan hanya menggunakan parameter statistik dalam mengukur keberhasilan suatu program, karena banyak laporan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Budiono Santoso mencontohkan, seperti ketersediaan oksitosin di puskesmas di Indonesia, berdasarkan laporan statistiknya angkanya cukup merata antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, namun faktanya ada over stock di beberapa daerah, demikian pula ada under stock di beberapa daerah lain. Selain itu, dengan Rancangan Teknokratik yang masih sangat birokratis dan terpusat, menyulitkan bottom up planning dari daerah sebagai garis depan penerap kebijakan sehingga diperlukan desentralisasi perencanaan kebijakan, serta koordinasi vertikal dan horizontal antar lembaga. Budiono berpendapat, bila tidak kunjung diperbaiki, akan selalu ada kesenjangan antara outcome program dengan praktek di lapangan.

 

  SESI DISKUSI

Sementara itu dalam diskusi yang berlangsung cukup menarik, muncul beragam masukan, gambaran, serta pendapat dari para peserta seminar. Seperti dikemukakan oleh Sunarno selaku tenaga kesehatan yang pernah bekerja di Papua, tentang pentingnya pendekatan kultural untuk bisa menyentuh masyarakat di daerah tertinggal dalam penerapan program pemerintah, termasuk bidang kesehatan. Karena faktor budaya memainkan peran penting dalam keberhasilan program, bila mau memahami karakter dan kebiasaan masing-masing masyarakat di daerah tertinggal khususnya pedalaman.
Demikian pula disampaikan oleh salah satu peserta dr. Aisyah, bahwa perlunya membuat puskesmas percontohan di daerah tertinggal dan program residensi tenaga kesehatan, dimana tentunya hasil program tidak dapat diukur dalam waktu yang singkat, namun setidaknya membutuhkan waktu sekitar 10-15 tahun atau 3 periode kementrian untuk melihat efektifitas program.

Pengalaman Empirik: Berasal dari Riset dan Kegiatan Konsultasi PKMK FK UGM

  Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

hanibalMasih berkaitan dengan Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal, dr. Hanibal Hamidi, M.Kes dari Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengakui bahwa memang ada gap yang besar antara daerah maju dengan daerah tertinggal di Indonesia, termasuk gap dalam bidang pelayanan kesehatan.

Berdasarkan laporan yang masuk ke Kementrian Desa,Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Angka Kematian Ibu (AKI) di 28 kabupaten yang masuk kategori daerah tertinggal sebagian besar masih jauh dari target MDG’s 2015 sebanyak 102 kematian per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2012. Demikian pula dengan Angka Kematian Bayi (AKB) maupun Angka Kematian Balita (AKABA), meski telah mencapai target MDG’s 2015 namun faktanya masih menjadi persoalan. Sementara itu untuk ketersediaan air minum layak di daerah tertinggal masih jauh dari target MDG’s yang sebesar 68, 87%, yakni hanya sebesar 41, 67% pada tahun 2011, demikian pula untuk status sanitasi layak. Menyusul masalah gizi buruk dan gizi kurang yang masih diatas 20% untuk daerah tertinggal. Adapun untuk ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan, terdapat 303 kecamatan yang belum punya puskesmas, 11.910 desa belum punya poskesdes, kekurangan sebanyak 2.448 dokter puskesmas, dan kekurangan sebanyak 1.897 bidan di daerah tertinggal.

 

  PKMK FK UGM

LT13desSementara itu menurut Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM; pada tahun 2014 PKMK FK UGM bekerjasama dengan 10 Fakultas Kedokteran di Indonesia melakukan monitoring tahap awal pelaksanaan JKN. Monitoring ini merupakan tahap awal penelitian yang akan berlangsung hingga tahun 2019 mendatang, guna melihat efektifitas pelaksanaan JKN kaitannya dengan pencapaian Universal Health Coverage (UHC) 2019.

Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan di level provinsi pada bulan April 2014, provinsi-provinsi tersebut dikelompokkan dalam 2 bagian yakni : 1) Kelompok yang sudah maju dan 2) Kelompok yang belum maju. Pembagian ini berdasarkan pada ketersediaan tenaga dokter dan dokter spesialis sebagai tulang punggung., dan faktanya terdapat perbedaan yang ekstrim dalam ketersediaan tenaga kesehatan ini diantara kedua kelompok tersebut. Skenario optimis tercapainya UHC 2019 diberikan oleh peneliti di wilayah DKI, DIY, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, sebagian kota/kabupaten di Jawa Barat, sebagian kota di Jawa Tengah, dan sebagian Sulawesi Selatan. Sedangkan skenario pesimis ringan hingga berat diberikan oleh peneliti di NTT, Kalimantan Timur, sebagian Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, dan Sulawesi Tenggara.

Hasil dari skenario menunjukkan adanya potensi ketidakberhasilan pelaksanaan amanat UU SSJN, bahkan ada kecenderungan peningkatan kesenjangan dalam akses JKN antara daerah tertinggal dengan daerah maju. Karena akses JKN di daerah tertinggal lebih banyak didominasi oleh kalangan masyarakat mampu, sehingga manfaat JKN minim diperoleh oleh masyarakat di daerah tertinggal.Sehingga solusinya adalah pemberian Dana Kompensasi sebagaimana tertuang dalam UU SSJN tahun 2004. Menurut Laksono, pemberian Dana Kompensasi ini wajib hukumnya bagi daerah-daerah yang tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang memadai.Pengertian Dana Kompensasi diatur lebih lanjut dalam Permenkes No. 71 tahun 2013 yang isinya antara lain :

  1. Dalam hal di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi.
  2. Penentuan daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta ditetapkan oleh dinas kesehatan setempat atas pertimbangan BPJS Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan.
  3. Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk : penggantian uang tunai;pengiriman tenaga kesehatan; danpenyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu.
  4. Kompensasi dalam bentuk penggantian uang tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa penggantian atas biaya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
  5. Besaran penggantian atas biaya pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disetarakan dengan tarif Fasilitas Kesehatan di wilayah terdekat dengan memperhatikan tenaga kesehatan dan jenis pelayanan yang diberikan.
  6. Kompensasi dalam bentuk pengiriman tenaga kesehatan dan penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c dapat bekerja sama dengan dinas kesehatan, organisasi profesi kesehatan, dan/atau asosiasi fasilitas kesehatan.

 

  Pembahasan Materi (Kagama)

bondanMenanggapi materi seputar tema seminar, dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK dari Kagama Kedokteran lebih menyoroti tentang dilematis pemerintah terhadap risiko fiskal dari alokasi dana sektor kesehatan dengan kebutuhan utama pembangunan sektor kesehatan. Dimana berbagi permasalahan pembangunan kesehatan tidak dapat dilepaskan dari masalah politik dan ekonomi negara.

Pengembangan ke depan: Kebijakan untuk mendukung penyebaran SDM kesehatan

Sesi ini lebih banyak membahas “Pengembangan ke depan: Kebijakan untuk mendukung penyebaran SDM Kesehatan”. Sesi ini dimoderatori oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro dengan sharing experience dari dr. R. Arian D (RS Panti Rapih) dan Diah Saminarsih (staf Ahli Kemkes dan Co-Founder Pencerah Nusantara). Acara diawali dengan komunikasi langsung melalui webinar dengan RS Ende, dr. Surip Tintin mengungkapkan RS Ende masih kekurangan nakes hingga saat ini.

Kemudian, komunikasi berlanjut dengan RS Soe melalui sambungan telepon, dr. Karolina Ria Tahun menyampaikan, untuk dokter penyakit dalam tidak ada di Soe, hal ini menyebabkan banyak pasien yang dirujuk ke Kupang. Hal ini menjadi kekurangan RS Soe, karena pasiennya masih banyak yang dirujuk ke RS yang lebih tinggi. Beruntung, melalui program Sister Hospital (SH), saat ini RS Soe memiliki dokter kandungan, anak, anestesi, bedah, dan lain-lain. Sementara, untuk merujuk kasus bedah, Soe membutuhkan waktu sekitar 3 jam.

  Pengalaman Pencerah Nusantara

ari 13desPemaparan pertama disampaikan Diah Saminarsih, sebagai co-founder Pencerah Nusantara (PN), Diah menyampaikan bahwa awalnya PN merupakan gerakan sosial. Gerakan ini melibatkan pemerintah, masyarakat serta mass media. Jadi, sifatnya kolaboratif yaitu multi aktor dan lintas sektor. Beberapa hal yang diberikan PN pada masyarakat ialah penguatan layanan primer, infrastruktur dasar, info gaya hidup sehat dan sebagainya. PN bergerak di Sikakap (Mentawai), Pakis Jaya (Karawang), Lindu Obotua (Sulteng), Kelai (Kalbar), dan Tosari (Probolinggo).

Kegiatan PN merupakan bentuk penerjemahan framework ke real action. Informasi lebih jauh tentang PN dapat disimak di Youtube chanel Pencerah Nusantara. PN ini disponsori oleh funding atau hibah, gerakan semacam ini membutuhkan investasi skill dan financing, pesan utamanya ialah primary care ditangani sebagai sesuatu yang serius.

 

  Pengalaman RS Panti Rapih dalam SH NTT

ariandr. Arian langsung memaparkan pengalaman RS Panti Rapih selama mendampingi RS Ende (Pertengahan 2010-Maret 2015). RS Panti Rapih terlibat karena ada kontrak dengan SH NTT, kontrak ini yang mendorong RS Panti Rapih untuk pendampingan PONEK 24 jam RS Ende dan capacity building. Berkaca dari pengalaman tersebut, ada banyak catatan positif yang direkap Arian.

Pertama, dalam kolaborasi antar institusi dalam SH ini, RS swasta lain bisa bergabung jika bersedia. Kedua, pendampingan dalam SH NTT ini sejalan dengan misi RS Panti Rapih yaitu membantu yang berkekurangan dan masih tertinggal. Ketiga, RS Panti Rapih mampu bermitra dengan mitra baru, misalnya bersama dengan RS Panembahan Senopati RS Panti Rapih membantu menyusun Renstra RS Ende. Keempat, RS makin terkenal, hal ini tak dapat disangsikan lagi. Kelima, makin lama mengerjakan PONEK RS Ende, RS Panti Rapih makin baik. Mengapa hal ini terjadi? Mengejutkan, ketika RS Panti Rapih mengadakan Monev RS Ende per tiga bulan, RS Panti Rapih menemukan banyak kekurangan di internal RS-nya. Tantangan ke depan, RS Panti Rapih dan RS Ende akan mendorong Pemda NTT untuk mengalokasikan dana APBD dan BLUD untuk melanjutkan SH.

 

  Skema Pembiayaan

diah 13desSejauh ini, PN menjalankan skema pembiayaan yaitu budget payment system atau dibayarkan sebelum pelayanan kesehatan dilakukan. Dana ini berasal dari swasta atau sponsor dan hibah. Dari sisi pemerintah, terkait dana kompensasi, telah diatur melalui peraturan direktur BPJS. Jika tidak ada faskes- maka pembayaran via kompensasi atau bisa juga kirim tenaga. Hal ini disampaikan Ari, perwakilan dari BPJS.

Diah menegaskan, perlu verifikasi detail gerakan nasional ini, sehingga pembiayaannya sustainable. Harapannya, gerakan ini bisa diadopsi dengan catatan mana yang kurang dapat dibantu dan diperbaiki, jadi bisa direplikasi.

Prof. Laksono menggarisbawahi, Pencerah Nusantara/Panti Rapih/FK apakah bisa menjadi kontraktor untuk pengiriman tenaga kesehatan ke daerah sulit ini? Kemudian, Ari menegaskan, ketersediaan faskes merupakan tugas Pemda, termasuk nakes sesuai UU No 32 Tahun 2002 tentang pelayanan.

dr. Hanibal Hamidi, MKes (perwakilan Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi) mengajukan pendapat, BPJS memiliki beban tinggi atas kinerja, yaitu menjaga kualitas. Sejauh ini BPJS mengemban tugas sesuai amanat UU, yaitu promotif dan preventif yang sifatnya UKP.

Poin penting yang masih menjadi pekerjaan rumah ialah bagaimana mengajak dokter-dokter agar mau mengabdi di daerah. Kesimpulannya, seluruh perubahan diawali dari gerakan sosial dengan motivasi tinggi untuk mengabdi di seluruh pelosok Indonesia (wid).

Gagasan ke depan:  Pengembangan pengiriman tenaga medik ke daerah sulit.

rukmono 13desSesi 4 membahas mengenai Gagasan Ke Depan: Pengembangan pengiriman tenaga kesehatan ke daerah sulit. dr. Rukmono Siswishanto, M. Kes, SpOG (K) mewakili RS Sardjito, dan dr. Andreasta Meliala, DPH, MKes, MARS yang aktif terlibat di PPSDM Kemenkes RS.

Pengembangan residen ke daerah sulit ini menjadi poin penting karena tenaga kesehatan masih sangat terbatas di sejumlah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepualuan (DTPK). Perlu assessment, apa saja yang diibutuhkan di lokasi, misalnya sharing penganggaran. Melalui SH NTT ini, kami mendorong agar RS mampu menjadi lokomotif perbaikan klinis dan modern, ungkap dr. Rukmono. Hal yang menjadi catatan, pertama, program perbaikan mutu dan pemenuhan nakes ini masih ada yang kurang tepat. Misalnya, tugas belajar atau tubel kurang sustainable, karena tidak menjamin ketersediaan tenaga pasca program. Penilaian Mutu sebaiknya dilakukan oleh yang diberi pelayanan. Poin yang ingin disampaikan SH, ialah pemberdayaan melalui people and education. Para residen yang dikirim, umumnya diterjunkan dalam tim. Mengapa tim? Karena mereka lebih terorganisir dan lebih terarah jika bekerja secara tim.

andre 13desdr. Andreasta Meliala, DPH, MKes, MARS menyampaikan di Indonesia ada dua pembagian daerah, yaitu daerah masalah kesehatan dan non kesehatan serta daerah diminati dan kurang diminati. Problem yang dihadapi Indonesia ialah masih banyak daerah konflik, tidak diminati, terpencil, yang belum terjangkau akses pelayanan kesehatan. Maka, perlu kolaborasi antara health system dan health outcome untuk menyelesaikan hal ini.

DTPK dan Daerah Kurang Diminati (DKM) atau sering disebut dengan “daerah airmata” menjadi tantangan pemerintah dan masyarakat untuk pemerataan layanan kesehatan. Pemda harus dominan untuk daerah fiskal tinggi seperti Kaltim dan Kepri, masalah pokok mereka ialah tidak ada SDM-nya karena visi kesehatannya tidak ada. Pemerintah Pusat harus mendorong daerah, apa saja yang harus dibangun? BPJS dan Kementrian Daerah Tertinggal harus bertemu dan duduk bersama menemukan solusinya, karena regulasi yang ada belum menyatukan lintas sektor.

Isu Penting: Sustainability

Bagaimana operasionalnya? Sistem perekrutan melalui PNS hanya bisa diterapkan di daerah normal. CPNS di DTPK, hasilnya nol karena banyak nakes yang tidak mau ditempatkan di DTPK. Permasalahan kekurangan nakes di DTPK dapat diatasi dengan beragam pendekatan, antara lain: flying doctors (pengalaman Australia), mobile grounting (praktek di Afrika Tengah), dan pelayanan antar pulau atau RS terapung (namun logistik masih menjadi masalah).

Maka, solusi yang ditawarkan ialah kontrak/privatisasi, bisa berdasarkan team, umum atau institusi (seperti program SH NTT). Kemudian, catatannya, apakah PTT yang ditempatkan mempunyai hak dan kewajiban seperti pegawai normal? Sayangnya, insurance di PPSDM tidak dibahas karena hal ini tidak diatur Permenkes.

Linda ( perwakilan dari Kemenkes) memaparkan, mobile doctors ini sudah dilaksanakan di tahun 2008 melalui program P2KTP (mobile klinik via pesawat dan speedboat). Tim yang terlibat dalam mobile ini antara lain, dokter, bidan, dan ahli gizi. Support dana banyak dari Bansos. Lalu, Bansos harus dikelola Kementrian Sosial, jadi terputus. Kemudian, program ini dilanjutkan di daerah Kepri, Aceh, Papua, Maluku dan NTT melalui dana dekonsentrasi. PTT membagi ilmu dengan dokter umum di daerah dan Pemda mendukung finansial untuk operasional mereka. Sustainability service, yang berarti pusat harus mendorong finansialnya. Maka, pengorganisasian yang harus diatur kembali.

Diskusi:

Pertanyaan pertama, Rudi (pegawai Puskesmas/Jatim) menanyakan di era JKN, BPJS telah melakukan tindakan promotif dan preventif namun masih sebatas obat. Hal lain tidak ter-cover BPJS. Lebih banyak ke UKP atau tergantung pimpinannya. Jadi, Puskesmas bisa maju bagaimana bisa terus berkembang?

Pertanyaan kedua, dari audiens yang berasal dari Kutai Timur, sustainability program mobile ini tidak ada, karena terkait dana. Mobile clinic sudah lebih dulu dilakukan Kutai Timur.

dr. Rukmono: jika ada kontrak, maka pembagian tugasnya jelas. Tenaga Puskesmas mirip di RS, namun dalam skala kecil. Namun sayangnya, saat ini, Puskesmas terpisah dengan RS.

dr. Andre, Jakarta sudah melakukan pemisahan, karena terjadi kelebihan nakes. Satu catatan terpenting yaitu inovasi daerah sering dilakukan, namun dokumen dan sharing experience sering terlewat untuk dilakukan. Jika keduanya teraasip dengan baik, maka inovasi tersebut akan mudah diikuti daerah lain.

Permasalahan daerah tertinggal atau yang berpotensi maju, jika tidak hati-hati maka akan semakin tertinggal, maka harus siap. Apa poin penting dalam hal ini? DTPK penting sekali, hal mendasar yang diperbaiki ialah masalah manajemen, termasuk kontrak yang jelas dan tidak dikorupsi. Lalu, PTT kontrak perorangan tidak bermanfaat untuk daerah terpencil. PTT yang diterjukan dalam tim akan bermanfaat di lapangan. Jadi, dana Kemkes bisa pindah ke program tim ini tidak? Atau melalui kontrak?, ungkap Prof. Laksono. Biaya investasi kesehatan (BIK) dapat berupa SDM, pelatihan dan lain-lain. Lalu, Siapa kontraktornya?

How and why are communities of practice established in the healthcare sector? A systematic review of the literature?

Jurnal ini disusun oleh Geetha Ranmuthugala, Jennifer J Plumb, Frances C Cunningham, Andrew Georgion, Johanna I Westbrook dan Jeffrey Braithwaite. Tema yang diangkat ialah Communities of Practice (CoPs), CoPs dipromosikan di sektor kesehatan sebagai sarana untuk menghasilkan dan berbagi pengetahuan antar peneliti atau ilmuwan. Tujuan lain ialah CoPs mampu mendorong peningkatan kinerja organisasi. Meskipun CoPs ini memiliki beragam bentuk, namun mereka terstruktur dan beroperasi di sektor tertentu. Jika CoPs bisa berkembang, maka ini menjadi keuntungan bagi organisasi pemberi pelayanan kesehatan. Kemudian, systematic review literature pada CoPs dipandang perlu dilakukan untuk menguji bagaimana dan mengapa CoPs terbentuk dan meningkatkan sektor pelayanan kesehatan.

Penelitian ini dilakukan dengan mengakses (pencarian) data base elektronik. Informasi terkait tujuan pendirian CoPs, komposisi mereka, metode dimana anggota CoPs berkomunikasi dan bertukar informasi atau pengetahuan, dan metode riset tertentu dipilih untuk menguji keefektifan yang diekstrak dan di-review. Lalu perlu dibuktikan, apakah CoPs menyebabkan perubahan dalam praktek kesehatan atau tidak.

Fokus awal CoPs ialah pembelajaran dan pertukaran informasi atau pengetahuan, dimana banyak publikasi baru terbit. CoPs lebih banyak digunakan sebagai alat untuk meningkatkan paraktek klinis dan untuk memfasilitasi implementasi berdasarkan pengalaman evidence based. Para peneliti sedang meningkatkan upaya mereka untuk menilai efektivitas polisi dalam perawatan kesehatan, namun intervensi telah kompleks dan beragam, sehingga sulit untuk CoPs memiliki atribut perubahan.

Kesimpulan

Sesuai dengan deskripsi dari Wenger dan kolega, CoPs di sektor kesehatan bervariasi dalam bentuk dan tujuan. Sementara para peneliti meningkatkan upaya mereka untuk menguji dampak dari CoPs dalam perawatan kesehatan, pengembangan CoPs mutlak diperlukan untuk meningkatkan kinerja kesehatan memerlukan pemahaman yang lebih besar tentang bagaimana membangun dan dukungan CoPs untuk memaksimalkan potensi mereka untuk meningkatkan pelayanan kesehatan.

Informasi lebih jauh, silakan simak melalui: http://www.biomedcentral.com/1472-6963/11/273 

 

Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal

13desbanner

13desbanner  LATAR BELAKANG

Pembangunan kesehatan daerah tertinggal merupakan tantangan nyata bagi pemerintah dan mitra terkait di Indonesia, terutama jika dikaitkan dengan tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Tantangan pembangunan kesehatan daerah tertinggal berkaitan dengan berbagai faktor, yang antara lain meliputi kondisi geografis dimana fasilitas pelayanan kesehatan tidak bisa diakses dengan mudah oleh penduduk di saat mereka memerlukannya, kondisi kemiskinan dan kekurangan sumber daya untuk membiayai pelayanan kesehatan, kondisi kelangkaan sumber daya manusia yang menjalankan pelayanan kesehatan, dan kondisi sosio kultural masyarakat yang menghambat mereka memanfaatkan pelayan kesehatan yang tersedia.

Dalam program Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, daerah tertinggal dimasukkan dalam satu kelompok, yakni Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). Beberapa program khusus yang telah dikembangkan di lingkungan Kementerian Kesehatan dalam mendukung pelayanan kesehatan di DTPK meliputi:

  1. Pendayagunan Tenaga Kesehatan di DTPK berupa peningkatan ketersediaan, pemerataan dan kualitas sumberdaya manusia (SDM),
  2. Peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan di DTPK misal : Rumah Sakit Bergerak, pelayanan dokter terbang, pelayanan perairan,
  3. Dukungan Pembiayaan Kesehatan seperti BPJS, BOK, dana alokasi khusus ( DAK ), TP dan Bantuan Sosial
  4. Dukungan Peningkatan Akses Pelayanan berupa pengadaan perbekalan, obat dan alat kesehatan
  5. Pemberdayaan masyarakat di DTPK melalui kegiatan Posyandu, Desa Siaga, Tanaman Obat Keluarga serta kegiatan PHBS.
  6. Kerjasama antar Kementerian Kesehatan dengan Kementerian Lainnya
  7. dan berbagai program lainnya.

Menurut Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal, saat ini masih terdapat 183 kabupaten yang masuk kategori Daerah Tertinggal. RPJMN 2010-2014 mengamanatkan, minimal 50 kabupaten tertinggal terentaskan pada akhir 2014 . Ke depan, sebagian dari kabupaten yang akan terentaskan tersebut akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Pusat pertumbuhan ekonomi baru ini dihela oleh aktivitas ekonomi komoditas unggulan kabupaten melalui program utama yaitu Program (PRUKAB) PRUKAB Produk Unggulan Kabupaten dan Bedah Desa. Program Prukab dijalankan melalui pola kemitraan antara masyarakat, swasta, dan pemerintah (Public, Private, People Partnership /P4).

Selama dua tahun terakhir ini, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal telah mengupayakan percepatan lima (5) pilar kesehatan perdesaan, yakni ,

  1. ketersediaan dan berfungsinya dokter Puskesmas,
  2. ketersediaan dan berfungsinya bidan desa,
  3. ketersediaan air bersih bagi setiap rumah tangga,
  4. sanitasi bagi setiap rumah tangga,
  5. ketersediaan gizi seimbang bagi ibu hamil, menyusui dan balita.

Tenaga-tenaga relawan telah dilatih untuk melakukan promosi kesehatan di pedesaan.
Pada kabinet JokowI, Kementerian yang mengurusi daerah tertinggal disebut sebagai Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Adanya Kementerian ini perlu dicermati dan diharapkan berbagai program, termasuk kesehatan dapat dipaparkan.

Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia dimulai sejak 1 Januari tahun 2014. JKN mempunyai tujuan yang terkait keadilan kesehatan. UU SJSN No. 40 Tahun (2014) Pasal 2 menyatakan bahwa kebijakan ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Dengan sistem pembayaran klaim untuk pelayanan kesehatan rujukan dalam JKN, maka ada berbagai isu penting yang akan mengakibatkan terjadinya kegagalan penyeimbangan fasilitas dan SDM kesehatan. Dikhawatirkan tujuan JKN untuk pemberian pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia akan gagal tercapai.

Pada tahun 2014, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM melakukan penelitian untuk monitoring awal pelaksanaan JKN. Penelitian ini merupakan awal dari penelitian monitoring yang akan berjalan dari tahun 2014 sampai dengan 2019. Ada beberapa pertanyaan kritis yang terkait dengan kebijakan JKN adalah:

  1. apakah masyarakat di daerah dengan ketersediaan fasilitas kesehatan dan SDM dokter dan dokter spesialis yang belum memadai akan mendapatkan manfaat JKN seperti daerah lain yang lebih baik?;
  2. dalam kondisi Indonesia yang sangat bervariasi apakah JKN yang mempunyai ciri sentralistis dengan peraturan yang relatif seragam dapat mencapai tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?;
  3. apakah dana pemerintah yang dianggarkan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) dapat mencapai sasarannya.

Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan di level propinsi pada bulan April 2014, propinsi-propinsi ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: (1) kelompok yang sudah maju dan (2) kelompok yang belum maju. Pembagian ini terutama pada masalah ketersediaan tenaga dokter dan dokter spesialis sebagai tulang punggung. Terjadi perbedaan yang ekstrim antara kedua kelompok tersebut. Secara ringkas, skenario optimis untuk pencapaian Universal Coverage di tahun 2019 dinyatakan oleh para peneliti di DKI, DIY,Sumatera Selatan, Sumatera Barat, sebagian Kabupaten/Kota di Jawa Barat, sebagian kabupaten/kota di Jawa Tengah dan sebagian di Sulawesi Selatan. Sementara itu, skenario pesimis ringan dan berat untuk tercapainya UHC melalui JKN pada tahun 2019 dinyatakan oleh peneliti di NTT, Kalimatan Timur, sebagian Kab/Kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, dan Sulawesi Tenggara.

Hasil dari skenario yang ditulis pada awal berjalannya BPJS di atas menunjukkan bahwa kebijakan sistem pembiayaan (adanya UU SJSN dan UU BPJS, JKN) ini mempunyai kemungkinan tidak berhasil mencapai tujuan dalam kriteria keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan ada kemungkinan terjadi peningkatan kesenjangan. Masyarakat di daerah tertinggal/buruk tidak mempunyai manfaat yang sama, walaupun menjadi anggota BPJS. Portabilitas dapat memperburuk pemerataan, karena masyarakat daerah buruk yang dapat memperoleh manfaat di daerah lain cenderung adalah orang mampu.

 

  TUJUAN SEMINAR

Seminar ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi berbagai inisiatif dalam mengurangi kesenjangan antara daerah yang tertinggal dengan yang baik, khususnya dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Secara umum seminar bertujuan untuk meningkatkan upaya pembangunan kesehatan DTPK di era JKN. Secara khusus tujuannya mencakup:

  1. Memahami Situasi pembangunan kesehatan dan kebijakan di daerah tertinggal
    1. Membahas situasi pelayanan kesehatan di daerah sulit dalam kabinet Presiden Jokowi;
    2. Membahas situasi pelaksanaan kebijakan JKN dalam perspektif pemerataan pelayanan kesehatan dan pemerataan dokter di daerah tertinggal;
    3. Membahas skenario pelaksanaan JKN di daerah tertinggal;
  2. Mencari kebijakan yang tepat
    1. Kebijakan jangka menengah dan panjang: Mencari solusi untuk mempercepat pembangunan sektor kesehatan di daerah tertinggal dalam era JKN
    2. Kebijakan jangka pendek: Membahas penggunaan dana Kompensasi BPJS dalam JKN untuk mengatasi masalah kesenjangan secara sementara.
    3. Membahas prospek gerakan sosial untuk memeratakan SDM Kesehatan

LUARAN

  1. Rekomendasi jangka pendek untuk pemerintahan baru;
  2. Rekomendasi jangka panjang untuk pemerintah pusat dan daerah.

Mitra yang diundang

  • Kemenkes
  • Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
  • BPJS
  • Dewan SJSN
  • Kemendagri
  • Fakultas Kedokteran/Ikatan Alumni FK
  • Propinsi/Kabupaten DKTP.
  • Lembaga lembaga donor seperti Ausaid, Bank Dunia, USAID, WHO, dll
  • CSO (civil society organization dan faith based organizations 

Biaya Seminar

  1. Tatap muka/ hadir langsung: Rp 300.000,00
  2. Webinar: Gratis (Terbatas)
  3. Video Streaming: Gratis

  AGENDA

Yogyakarta, Sabtu 13 Desember 2014
Gedung KPTU FK UGM, Lt 2, Ruang Senat
Pukul 08.00 – 15.30

Pukul

Sesi

Pembicara

 08.30 – 08.45 Wib

Sambutan Penanggung jawab kegiatan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Msc, PhD

 08.45 – 09.00 Wib

Sambutan ketua KAGAMA

Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA

 

 09.00 – 09.15 Wib

Sambutan Dekan FK

Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, SpB(K) Onk 

 

08.45 – 10.30 Wib

Sesi 1:

Situasi terkini pelayanan kesehatan di daerah tertinggal

Deskripsi:

Para pembicara diharapkan memberikan gambaran mengenai kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah baru (kabinet Presiden Jokowi) dalam pembangunan kesehatan di daerah tertinggal. Diharapkan ada gambaran mengenai program kerja terbaru dan hubungan antara dua Kementerian.

Dalam hal ini, pelaksanaan misi pemerintahan Presiden Jokowi diharapkan dapat disajikan oleh kedua pembicara. Bagaimana hubungan kerja dua  Kementerian ini akan menjadi pokok bahasan dan bagaimana kebijakan jangka panjang dan pendek diharapkan dapat disajikan.

Pembicara:

Dr. R. Bambang Sardjono, MPH (staf ahli bidang peningkatan kelembagaan & desentralisasi)

materi presentasi

Pembahas:

dr. Budiono Santoso. PhD, SpF(K) Kagama Kedokteran: Kebijakan jangka pendek dan jangka panjang.

materi presentasi

 

11.00 – 12.15 Wib

Sesi 2:

Pengalaman Empirik: Berasal dari Riset dan Kegiatan Konsultasi PKMK FK UGM
Pembicara: Tim Peneliti PKMK FK UGM

Pelaksanaan JKN dan Potensi Melebarnya kesenjangan Geografis.

Deskripsi:

Sesi ini membahas hasil penelitian empirik mengenai enam bulan Pelaksanaan JKN dan Skenario Pelaksanaan di Daerah Tertinggal. Dalam agenda kegiatan ini, akan dibahas Situasi Distribusi SDM Spesialis dan Program Sister Hospital untuk mendistribusikan sumber daya manusia serta Pengembangan Rumah sakit di Indonesia dalam waktu tiga tahun terakhir dan prospeknya. Sesi ini akan membahas skenario masa depan Program JKN di daerah tertinggal dan bagaimana harapan ke depannya.

Pembicara:

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Msc, PhD

materi presentasi

Pembahas:

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
dr. Hanibal Hamidi, M.Kes

materi presentasi

Kagama Kedokteran
dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK

materi presentasi

 

12.15-13.00 Wib

ISHOMA

 

13.00 – 14.00 Wib

Pengembangan ke depan:

Kebijakan untuk mendukung penyebaran SDM kesehatan

 

 

Diah Saminarsih (staf ahli kemenkes dan Co-Founder Pencerah Nusantara)

materi presentasi

dr. Robertus Arian (RS Pantirapih)

materi presentasi

Pembicara: Direktur Operasional BPJS. Dana Kompensasi BPJS untuk mendanai pengiriman tenaga ke daerah tertinggal

dr. Ari Dwi Aryani

materi presentasi

 

14.00 – 15.00 Wib.

Diskusi Panel:

Gagasan ke depan:  Pengembangan pengiriman tenaga medik ke daerah sulit.

  • Lesson-learnt dari Program Sister Hospital NTT.
  • Pencerah nusantara sebagai sebagai sebuah Social movement

Diskusi:

  • Kebijakan Jangka Pendek: Apakah dapat mengandalkan Gerakan Sosial dalam memeratakan sumber daya manusia?
  • Kebijakan Jangka Panjang: Apakah akan menggunakan kekuatan memaksa oleh pemerintah untuk memeratakan sumber daya manusia kesehatan?

Pembicara: 

dr. Rukmono Siswishanto, M.Kes, SpOG(K). (RSUP Sardjito)

materi presentasi

dr. Andreasta meiliala, DPH, M.Kes, MAS

Materi presentasi

Pembicara:

Direktur RS Soe NTT dan teleconference direktur RS Soe dan Ende NTT

 

15.00 Wib

Penutupan

 

 

   INFORMASI DAN PENDAFTARAN

Wisnu Firmansyah
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM
Telp/Fax: 0274-549425 (hunting)
Hp : 081215182789
Email: [email protected] / [email protected]

 

 

How has the flu virus infected the Web? 2010 influenza and vaccine information available on the Internet

nandy

nandy

Knowledge Management merupakan upaya dalam mengelola pengetahuan untuk pembuatan keputusan. Misalnya terkait search engine yaitu yahoo dan google yang me-manage pengetahuan yang dikonsumsi masyarakat awam. Namun, keduanya tidak mengolah data tersebut, sehingga ada yang kredibel dan tidak, ungkap dr. Rossi Sanusi, MPA, PhD moderator dalam diskusi bulanan kali ini (23/10/2014).

dr. Nandy Wilasto, salah seorang konsultan PKMK memaparkan hubungan antara penyebaran informasi virus influenza yang ada di internet dan resepsi (penerimaan) yang diterima masyarakat. Jurnal Biomed yang dipublikasikan pada 29 Januari 2013 dan ditulis oleh Loredana Covolo, Silvia Mascaretti, Anna Caruana, Grazia Orizio, Luigi Caimi dan Umberto Gelatti. Mereka bekkerjasama dengan IT lokal di Italia untuk meneliti konten dan akses media dalam penyebaran informasi terkait flu. Metodenya bisa direplikasi untuk isu terkini, jadi bagaimana situs ini menyediakan info yang tepat guna dan tidak.

Latar belakang penelitian, pandemic flu 2009-2010, resiko vaksinasi tidak optimal, internet sebagai sumber info kesehatan. Investigasi karakteristik situs yang menyediakan info dan kualitasnya, Seleksi yang dilakukan delapan kata kunci yang dipergunakan-seputar vaksin dan flu. Eksklusi yang digunakkan dalam penelitian ini ialah website yang tidak berbahasa Inggris, yang membutuhkan login, website yang hanya berisi tautan, web yang kontennya tidak dapat diteliti dalam tiga kali klik dan yang berisi bukan tentang manusia, serta web yang ditujukan untuk professional kesehatan. Kemudian, web yang tidak diteliti ialah web 2.0 (blog, media social dan forum), web yang menayangkan artikel popular, web dengan file tunggal (pdf, ppt).

Untuk Indonesia, penelitian ini masih sulit dilakukan karena rata-rata masyarakat belum menguasai bahasa Inggris. Namun, gerakan untuk vaksin ini sudah terlihat seperti misalnya muncul akun Facebook Gerakan Sadar imunisasi. Gerakan pro imunisasi atau vaksin ini juga dilakukan di Nigeria, ialah Kalimah Usman (38th) yang melakukan kampanye di tahun 2003, yaitu mari polio karena terjadi penentangan terhadap vaksin. Jadi Nigeria terpecah menjadi dua, yaitu utara (Muslim) dan Selatan (Kristen), boikotnya di Utara, vaksin polio oral ditolak karena: tidak percaya ada manfaatnya, dianggap tidak penting, tidak nyaman dan penentangan merupakan protes terhadap dunia barat. Ada isu juga jika vaksin diberikan yang bukan muhrim maka dianggap haram.

Namun, ada pula anti vaksinis Indonesia, diantaranya, Henny Zainal (pro asi dan kekebalan alami) dan Siti Fadilah S (tidak sepakat dengan virus flu burung yang diteliti di luar dan vaksinnya dijual mahal di Indonesia), serta grup Facebook Ummu Salamah Al Hajam (pengobatan alamiah-Thibbun Nabawi).

Nandy sebagai pembahas jurnal ini menyampaikan bahwa Youtube dapat diteliti oleh ilmuwan Indonesia karena menayangkan pro dan kontra terhadap vaksin, misalnya video akibat tidak vaksin maka terjadi komplikasi campak jangka panjang.

dr. Rossi Sanusi menyatakan Google dan Yahoo dipilih yang rangkingnya tinggi karena ada protocol/algoritma yang bekerja ketika kita mengetik melalui keyword tertentu dan bisa jadi sering dikunjungi juga. Judul jurnal ini cukup catchy, sedikit popular dan dijelaskan secara ilmiah, sehingga menarik banyak pihak. dr. Tiara Marthias, MPH menyampaikan bahwa facebook (FB) lebih viral dibandingkan dengan web status. Viral merupakan penyebaran info yang cepat dan luas melalui web 2.0. Dhini Rahayu Ningrum menutup diskusi dengan pernyataan, jika penelitian ini dilakukan di Indonesia, makaharus ada kolaborasi antara Depkes-antropolog, Kementrian Informasi dan Komunikasi. Jurnal tersebut dapat disimak di sini http://www.biomedcentral.com/1471-2458/13/83 (wd).

  Materi Presentasi

Diskusi Bulanan Kesembilan PKMK FK UGM

dikusibulanansept

dikusibulananseptDiskusi bulan ini mengangkat tema evidence informed decision making dan disampaikan oleh dr. Yodi Mahendradata, M. Sc., PhD. Moderator diskusi ini ialah dr. Rossi Sanusi, MPA, PhD. Kegiatan tersebut telah berlangsung pada Selasa (30/9/2014) di Laboratorium Leadership, IKM, FK UGM. Paper yang dibahas berasal dari Canada, dengan judul asli Building capacity for evidence informed decision making (EIDM) in public health: a case study of organizational change. Paper ini mengajak kita terbang ke Kanada, EIDM ini menjadi prioritas di Kanada. Hampir seluruh instansi disana menggunakan EIDM. Asumsi umum yang berkembangan yaitu ada satu evidence based yang menganggap bahwa riset merupakan hal yang paling utama, namun ternyata di Kanada mereka mengharapkan tidak mendewa-dewakan riset, sehingga pemerintahnya mengarah ke EIDM, misalnya dalam menentukan dasar program.

Namun, ada salah satu hambatan dalam pelaksanaan EIDM ini, yaitu staf terlalu sibuk mengerjakan hal-hal lain, sehingga mereka harus melakukan hibah waktu untuk khusus mengerjakan EIDM. Studi EIDM ini dilakukan dalam jangka panjang, yaitu sepuluh tahun atau Kanada mempunyai renstra dari tahun 2009-2019. Rentra mereka untuk pengembangan kapasitas EIDM. Dokumentasi mereka banyak sekali menghasilkan materi khusus untuk EIDM, misalnya kerjasama dengan pihak luar dengan mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk EIDM.
Hasil studi kasus menunjukkan kata kunci utama antara lain: leadership, struktur organisasi, dan human resources. Melalui paper ini, perubahan manajemen bermanfaat dan meng-handle berbagai reaksi, dan mereka harus bekerjasama. EIDM banyak sekali menuai kritik, banyak pula yang menuntut agar EIDM ini dievaluasi dan ditinjau ulang,

Untuk menyimak presentasi dr. Yodi, silakan klik Materi

Sesi Diskusi

Budi Eko menanyakan faktor utama mana yang perlu terlebih dahulu dioptimalkan sehingga memicu factor lain agar bisa meningkatkan produktivitas? dr. Yodi menjawab faktor leadership yang perlu ditingkatkan, kemudian, yang dapat memacu adalah pucuk pimpinan, sehingga dapat mendorong / memotivasi staf / bawahannya, dan harus all out, tidak cukup hanya leader saja, semua faktor pelu ditinggkatkan. dr. Rossi menyatakan, apakah perlu, kepala dinas dilatih, contohnya di Bantul dengan angka kematian ibu meningkat, Hal ini perlu menjadi pertimbangan. Yodi menjawab, ada satu kasus yang dipelajari untuk public health, yaitu banyak kritikan dalam EIDM, contohnya bagaimana capacity building dilakukan. Dini mempertanyakan kekuatan transparannya seperti apa? dr. Yodi menjawab, jika jelas terlihat diskursus maka secara eksplisit menjadi basis penelitian. Kemudian, di Inggris misalnya parlemen yang mengharuskan evidence based policy untuk menyikapi policy advice. Jadi, jika ada kebijakan yang tidak berbasis bukti namun memiliki alasan kuat, tinggal merujuk konsiderasi.

Kemudian, tema untuk diskusi bulan depan ialah Health Research Profile (Oktober 2014).

 

Pra Simposium 1, 29 September 2014

30sept-1

Transforming Health Workforce Education for Health Equity: Practical Tools and Approaches

30sept-1Kebutuhan tenaga kesehatan yang terlatih ternyata tidak hanya dialami oleh Indonesia. Hal ini juga dialami beberapa negara di dunia. Kekurangan tenaga kesehatan juga menyebabkan ketidakadilan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Sebagai contoh di Sub Sahara Africa, ketidakadilan pelayanan kesehatan disebabkan; 1) lebih dari 50% kasus kelahiran tidak ditangani tenaga kesehatan terlatih, 2) lebih dari 10 penduduk hidup dengan HIV yang tidak dapat mengakses ART, 3) dan perkiraaan kurang dari 25% yang mengakses KB. Sehingga hal ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi tenaga kesehatan, dimana; 1) secara global masih kekurangan 7,2 juta dokter, perawat, dan bidan, 2) ketidak merataan distribusi tenaga kesehatan baik daerah pedesaan maupun perkotaan, 3) keahlian campuran antara jenis dan spesialisasi yang tidak dimiliki tenaga kesehatan yang dibutuhkan.

Hal-hal tersebut didukung oleh beberapa laporan yang menandai bukti-bukti dalam hal tantangan untuk tenaga kesehatan seperti; 1) laporan WHO dan rekomendasi (2006), rekomendasi peningkatan akses pendidikan bagi tenaga kesehatan didaerah pedesaan dan daerah terpencil (2010), transforming dan meningkatkan pendidikan profesional kesehatan dan pelatihan (2013), 2) Laporan di Jurnal Lancet (2010) mengenai komisi global untuk pendidikan profesional kesehatan, dimana merekomendasikan agar mereformasi instruksional dan institusional untuk menghasilkan tim tenaga kesehatan yang mampu menemukan kebutuhan kesehatan masyarakat dan merata dan efisien, 3) Konferensi Mahidol Awards di Thailand 2014, yang menjelaskan transformasi pembelajaran untuk pemerataan kesehatan, dan bagaimana reformasi bagi pendidikan pemimpin tenaga kesehatan.

Pengalaman di berbagai negara menunjukkan pendidikan tenaga kesehatan memiliki tantangan tersendiri. Kebutuhan di lapangan dan proses pendidikan di tingkatan lembaga pendidikan tidak sama. Bahkan lulusan yang sudah dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang banyak ditemui tidak dapat menyesuaikan kebutuhan daerah.

Untuk mengatasi hambatan pendidik tenaga kesehatan, muncul beberapa inovasi untuk membangun kapasitas institusi dalam sistem yang terhubung antara sistem kesehatan dan sistem pendidikan. Inovasi ini dijalankan dengan beberapa tools atau pendekatan yang telah dijalankan beberapa negara seperti di Kenya yaitu BBB (Bottleneck and Best Buys). BBB tools ini merupakan suatu alat untuk mengkaji atau menilai sekolah kedokteran pda sembilan bagian seperti yang telah diidentifikasi oelh WHO dan WFME. Pada bagian ini proses sistemtik menggunakan cross sectional survey untuk pengambilan datanya dan informasi yang didapatkan akan digunakan untuk menemukan bottleneck dan mengembangkan keputusan investasi berbasis bukti. BBB ini telah direview dari berbagai tingkatan dan cocok digunakan di Kenya dan inovasinya juga diadopsi atau dipergunakan.

Beberapa inovasi berhasil menemukan bottleneck gap yang berhubungan antara misi institusi dan perencanaan dan pengawasan untuk keuangannya. Kemudian menemukan gap pada penyusunan kebijakan yang dibutuhkan dan implementasinya seperti isu gender, isu tentang petunjuk teknis klinis. Ditemukan juga gap pada pengembangan fakultas, gap pada instruktur klinis, investasi pada infrastruktur dan peralatan, gap pada pendukung akademik, kemahasiswaan, dan keuangan.

Akhirnya aksi prioritas yang harus dijalankan untuk inovasi dalam mengatasi bottleneck adalah;

  1. Melakukan pengembangan kebijakan, mendiseminasikan kebijakan tersebut, dan melakukan advokasi,
  2. Pembangunan kapasitas manajemen dengan perencanaan stratejik, bisnis, dan investasi, serta juga memobilisasi sumber daya,
  3. Penguatan pada kurikulum pemerintah di tingkat nasional, sub nasional, dan institusi,
  4. Membangun kompetisi fakultas dan mengembangkannya, termasuk didalamnya yaitu instruksi klinis dan pengawasan khusus,
  5. Penguatan pendekatan OdeL,
  6. Pendekatan pada penguatan inovasi dan mobilisasi berbagai macam sumber daya dan manajemen yang ditransformasi ke sektor bisnis dan kerjasama
  7. Hubungan strategis dengan tingkat nasional dan sub-nasional.

Sebagai implementasi aksi untuk transformasi pendidikan kesehatan menuju keadilan kesehatan perlu dilakukan;

  1. mengaplikasikan pendekatan BBB,
  2. Meningkatkan program pendidikan bagi bidan,
  3. Mengadopsi pendidikan berbasis masyarakat,
  4. Melakukan penelusuran terhadap kelulusan mahasiswa atau alumni,
  5. Melakukan estimasi besarnya biaya untuk pendidikan kesehatan atau unit cost,
  6. Penguatan sekola melalui pembuatan keputusan berdasarkan data informasi.

Reporter: M. Faozi Kurniawan

Primary Health Care Performace Inisiative: Measurement,Learning and Improvement

30sept-2

PKMK – Primary Health Care (PHC) yang dikenal sebagai Puskesmas di Indonesia menjadi topik yang menarik pada sesi ini sebagai bentuk kerjasama Bill & Melinda Gates Foundation dan World Bank Group serta bekerja sama dengan Ariadne Labs dan Development Institute. Inisiatif Penilaian Kinerja PHC menghasilkan informasi untuk membantu pengambil keputusan di negara yang berpebghasilan rendah dan menengah sebagai bagian untuk meningkatkan PHC dan mancapai tujuan masyarakat yang sehat.

Inisiatif kinerja ini berfungsi mengumpulkan informasi yang sistematik tentang batasan atas kinerja bagi sistem PHC, mengeksplorasi sistem dari perspektif indovidu dengan melihat apa yang terjadi dengan fasilitas kesehatan dan progam kesehatan masyarakatnya, bagaimana pengalama di berbagai negara dan apa yang bisa diberikan kepada pembuat keputusan dan manajer sistem kesehatan dapat mencapai cakupan secara efektif dan meningkatkan hasil pelayanan kesehatan.
Komponen Inisiatif Kinerja PHC yaitu:

Pengukuran (Measurement)

Inisiatif menjadi bagian penting dari berbgai negara dengan melihat adanya data yang diperoleh sebagai bagian dari penilaian atas kinerja PHC. Insiatif ini mengukur dan mengembangkan proses secara metrik melalui literatur dan mencontoh keberhasilan yang sudah ada untuk menghasilkan pemahaman tentang sistem kinerja yang tinggi, dimana bertujuan memperbaiki sistem kinerja bagi PHC. Dicontohkan pengukuran metrik dengan alat ukur Metrik versi 1.0 dan versi yang terakhir Metrik 2.0. Alat ini menjelaskan variasi yang ada untuk kinerja dan memberikan pemahaman yang komprehensif tentang investasi, kebijakan, dan praktik di lapangan untuk menghasilkan sistem kinerja yang baik.

Pembelajaran (Learning)

Komponent pembelajaran merupakan usaha yang memfokuskan pada hasil/bukti yang ada di sistem kinerja PHC dan melakukan analisis variasi pada kinerja Metrik PHC untuk memahami faktor penentu kinerja. Inisiatif ini juga menelusur pengalaman beberapa negara pada implementasi kebijakan PHC, praktik, dan pelaksanaan progam dengan tujuan mengembangkan intervensi-intervensi yang dapat diukur dan di evaluasi.

Perbaikan (Improvement)

Hal yang terakhir, inisiatif perbaikan ini bertujuan untuk mendukung PHC meningkatkan usaha atau upayanya untuk mendiagnosa proses yang telah dilakukan. Gambarannya adalah tentang pengetahuan yang dimiliki, mengevalasi dan menilai praktek dan intervensi baru dengan menggunakan tes, evaluasi, dan adaptasi baru. Inisiatif ini juga bertujuan meningkatkan kerjasama di beberapa negara dan mengembangkan hubungkan kerjasama ini.

New Measurement Domains

Kompetensi Provider

Melihat kualitas klinis, kompetensi, produktivitas dan fasilitas, serta masyarakat berbasis provider.

Motivasi Provider

Berbasis karakteristik yang instrinsik dan berbasis lingkungan yang melihat dampak lingkungan dan kinerja fasilitas dan masyarakat berbasis provider

Keberlanjutan dan Koordinasi

Menggunakan sumber daya yang ada dan mengubungkan program-program dan kegiatan pelayanan kesehatan diantara berbagai provider.

Responsif

Persepsi masyarakat pada kualitas personal dan berbagai dimensi pelayanan yang mempengaruhi penggunaan layanan.

Penguatan di Masyarakat

Pengetahuan masyarakat tentang preventif dan promotif dan dukungan terhadap PHC dari tokoh masyarakat.

Sebagai bagian terakhir, pada kesempatan ini Indonesia yang di wakili oleh Pak Pungkas dari Bappenas menceritakan gambaran PHC (Puskesmas) di Indonesia. Sistem kesehatan untuk Puskesmas telah di bangun di Indonesia meskipun memang banyak tantangan di mana jumlah Puskesmas yang semakin bertambah dan adanya sistem kesehatan baru dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dukungan pemerintah dan pemerintah daerah serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk membangun Puskesmas menjadi provider yang dibutuhkan masyarakat tidak hanya dari sisi klinis tetapi juga penguatan pda sisi promotif dan preventif.

Reporter: M. Faozi Kurniawan

Improving Recommendation for Policies and Practices to Strengthen People-Centered Health System: Is The State of Evidence Sufficient?

Sesi ini bertujuan untuk me-review standar bukti dalam program keluarga berencana dan bagaimana bukti serta pengetahuan disintesa untuk menginformasikan rekomendasi bagi perubahan kebijakan dan implementasi yang terpusat pada kebutuhan pengguna. Sesi yang dimoderatori oleh Laura Reichenbach dari Population Council ini didesain untuk menjadi sesi yang interaktif, dengan menyediakan waktu yang cukup untuk terjadinya diskusi antara peserta dengan para narasumber maupun antar-peserta. Diharapkan peserta dapat

  1. memilih dan mengkampanyekan adopsi kebijakan dan prakteknya yang berbasis pada bukti,
  2. mempertemukan antara peneliti dengan pelaksana kebijakan untuk mengidentifikasi hambatan pelaksanaan kebijakan secara lebih baik,
  3. menentukan seberapa banyak bukti yang diperlukan untuk menyusun kebijakan yang berdampak luas dan
  4. memproduksi bukti yang dibentuk untuk mengkampanyekan perubahan kebijakan dan implementasinya.

askewPara pembicara berasal dari Population Council, USAID, WHO dan Ghana Health Service. Sementara, para peserta berasal dari berbagai institusi penelitian maupun pembuat kebijakan, dari Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. Ian Askew dari Population Council sebagai pembicara pertama memaparkan tentang berbagai metode review yang dapat digunakan untuk mensintesa hasil-hasil penelitian, yaitu systematic review, realist review dan rigorous review. Ada beberapa referensi yang digunakan oleh pembicara untuk mendefinisikan systematic review, antara lain dari Cochrane, Institute of Medicine US National Academic of Sciences dan UK National Institute for Health and Clinical Excellence. Jika systematic review harus dimulai dengan pertanyaan yang jelas, menelusuri literatur hingga memperkirakan adanya risiko, maka rigorous review dimulai dari diskusi umum dan tidak selalu disertai dengan literatur. Realist review merupakan upaya untuk mengidentifikasi kausal utama yang kompleks dan menjelaskan bagaimana review ini bekerja dalam konteks spesifik untuk menghasilkan outcome tertentu.

 

3 nhan tranSalah satu contoh yang diangkat oleh Shawn Malarcher (USAID) sebagai pembicara selanjutnya adalah program HIP. Bedanya program HIP dengan program-program lain diantaranya adalah bukti-bukti direview, disintesa dan dikemas khusus untuk program manager, bukti-bukti yang digunakan rigorous namun realistis, serta dampak terhadap penggunaan kontrasepsi lebih luas, dapat direplikasi, jangka panjang hingga biayanya dapat ditekan.

Salah satu hal yang mendapat penekanan pada sesi ini adalah peran peneliti dan bagaimana menyatukan para peneliti dan pengambil kebijakan dalam satu proses pembelajaran. Menurut Nhan Tran (WHO) lesson learnt yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana mendukung proses peningkatan kapasitas pengguna hasil penelitian dan penelitiitu sendiri terhadap suatu program, bukan sekedar bagaimana mengaplikasikan hasil riset ke tahap implementasi. Isu-isu kedepan menurut Tran antara lain:

 

  • Bagaimana meningkatkan kapasitas dari sebuah program,,
  • Bagaimana meningkatkan kualiats data yang sudah ada untuk mendukung implementasi,
  • Bagaimana memberikan insentif untuk program-program yang lebih berorientasi pada praktek,
  • dan menyelaraskan berbagai pendanaan program penelitian untuk proses pembelajaran yang lebih melekat dan lebih intensif,

Contoh yang sudah pernah dilakukan oleh WHO dalam Alliance adalah bagaimana menggunakan data untuk pembuatan kebijakan, meningkatkan kualitas data, meningkatkan kemampuan analisis data, konsultasikan hambatan penggunaan data dan sebagainya. Kegiatan lain contohnya adalah bagaimana memfasiliitasi pengguna implementation research untuk mendukung pengambilan keputusan. Ada penelitian-penelitian dalam topik ini yang kemudian didanai oleh WHO. Monitoring dan evaluasi harus bisa menghasilkan bukti yang berkelanjutan. Hanya peneliti yang peduli dengan istilah “Monev” atau M&E, para pengambil kebijakan tidak peduli dengan istilah-istilah seperti itu. Hal yang dipentingkan adalah konten dan konteksnya. Jadi jangan memaksakan istilah-istilah dalam penelitian kepada para pengambil kebijakan.

karenJenis-jenis bukti yang bisa digunakan tidak selalu harus dalam bentuk publikasi atau literatur, melainkan bisa juga dalam bentuk pengetahuan, informasi, ide dan ketertarikan, politik bahkan ekonomi. Hal tersebut dipaparkan oleh Karen Hardee (Population Council). Ia mengangkat contoh pemberian penyuluhan dan terapi bagi para penderita HIV di India. Dokter bekerja dalam suatu sistem yang berbeda dengan para peneliti dan pelaksana progam HIV. Ini ynag menyebabkan banyak hal kurang selaras dalam menjalankan program HIV tersebut. Oleh karenanya, program manager HIV harus paham dengan lingkungan dimana program tersebut akan diimplementasikan agar lebih optimal.

Patrick Kuma Aboagye (Ghana Health Service) sebagai pengambil kebijakan di level district dan pelaksana kebijakan yang dibuat di level nasional. Ia memberi contoh kasus hasil penelitiannya mengenai pelaksanaan program KB khususnya pemasangan implan yang dilakukan oleh para kader kesehatan. Selain itu juga dapat meningkatkan efektivitas dan keselamatan pasien, karena beban bidan menjadi lebih ringan dengan adanya bantuan dari para kader. Hal ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya kebutuhan akan pengendalian kelahiran. Dengan meningkatkan kemampuan dan peran kader, cakupan KB lebih tinggi, kesadaran masyarakat meningkat untuk mengendalikan kelahiran, tidak ada komplikasi dan angka drop out (removal) menurun. Namun para pengambil kebijakan tidak setuju dengan hal tersebut, karena dianggap bukti yang mendukung masih kurang.

Sesi ini dilanjutkan dengan diskusi yang menarik dan hangat, dimana interaksi antara pembicara dengan peserta dan antar-peserta cukup intensif. Banyak poin penting dan pembelajaran yang dapat disimpulkan dari sesi ini, antara lain bahwa peneliti tidak bertugas untuk mengubah pembuat kebijakan menjadi peneliti juga, melainkan bagaimana menghasilkan feedback dari hasil penelitian pada para pembuat kebijakan tersebut.

Komponen penting dari pengambilan keputusan adalah:

  • value dari keputusan
  • karakter partisipatori dari pengambilan keputusan, yaitu ada fairness dan engagement di dalamnya.

Peneliti perlu terlibat dalam pengambilan keputusan dan sebaliknya pembuat kebijakan harus memiliki akses terhadap data yang baik.

Berbagai pertanyaan kunci perlu dilihat lagi, antara lain: pendekatan mana yang akan digunakan, konteks mana yang tepat dari sebuah bukti, bagaimana melibatkan para pelaksana kebijakan dalam agenda penelitian, bagaimana meng-handle ideologi, siapa mendengar siapa dan kebijakan apa untuk siapa. (pea)

Reporter: Putu Eka Andayani

Implementation Research and Delivery Science Challenges for HIV/AIDS

Sesi ini diselenggarakan oleh UCSF dengan WHO. Sesi satelit ini dipimpin oleh Nancy Padian dari University of California San Fransisco, USA. Sesi ini dimulai dengan overview tentang apa yang telah dilakukan Alliance Health Services (AHS)- WHO dan bagaimana integrasi “implementation research” dalam HIV/AIDS program. Tantangan utama kesehatan masyarakat secara global adalah bagaimana mengambil “research evidences” untuk intervensi dan mengimplementasikannya dalam situasi nyata (bukan penelitian). Dalam presentasinya yang mengawali satellite meeting pada 29 September, Nhan Tran menyebutkan bahwa biasanya setelah mendapatkan research evidence dan kemudian akan diterapkan dalam suatu implementasi yang berskala luas, maka implementasi tersebut kacau. Skenario yang sempurna untuk implementasi program sudah dirancang tetapi hal tersebut hampir tidak pernah terjadi, karena desain dan proses yang terjadi berbeda dengan yang diharapkan.

Implementation research mensyaratkan bahwa penelitian sebaiknya menjadi bagian dari implementasi program, serta menggunakan desain dan pendekatan yang fleksibel dan “embedded” dalam program yang ada. Dengan demikian, dibutuhkan “enggangement” yang luas dengan seluruh stakeholders dan melibatkan semua disiplin untuk menjawab tantangan implementasi yang kompleks. Oleh karena implementation research merupakan usaha kolektif dan kolaboratif. Maka, sangat penting bahwa orang-orang yang bekerja di garis depan; baik yang sedang menjalankan suatu program yang spesifik maupun yang berada dalam sistem kesehatan harus memahami pentingnya kolaborasi dalam upaya “implementation research” (lihat http://www.who.int/alliance-hpsr/alliancehpsr_irpguide.pdf ).

Sesi-sesi selanjutnya dalam “satellite meeting” ini kemudian mempresentasikan pengalaman implementation research yang telah dilakukan oleh beberapa institusi dalam HIV/AIDS di Afrika. Meg Doherty dari WHO menekankan pada implementation research yang “clinically relevant” tetapi pada saat yang bersamaan juga harus “operationally relevant”. Kemudian Charles Holmes dari CIDRZ menekankan pada “learning while we go” yang mengembangkan inovasi untuk “scaling up” program yang dikerjakan di Zambia. Dengan jumlah 500 ribu pasien yang terdaftar dan ditangani dalam kliniknya, pengumpulan data yang bagus (namun seringkali bermasalah) dapat dilakukan untuk melihat outcome pasien. Di sini para dokter yang memeriksa pasien merupakan stakeholder yang sangat penting untuk menghasilkan data dan pengetahuan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kaidah-kaidah dalam penelitian. Francois Venter, presenter berikutnya dari WITS mempresentasikan kondisi dalam memberikan pelayanan tetapi sekaligus melakukan penelitian, serta mengemukakan isu tentang bagaimana mengevaluasinya. Menurutnya, penelitian harus sangat fleksibel sehingga ketika ada hal-hal yang tidak dapat dilakukan harus segera dapat disesuaikan. Francois mencontohkan adanya keluhan beberapa pasien/responden yang harus mengambil sendiri setiap kali ARV diperlukan; kemudian mengusulkan setiap enam orang penerima obat, hanya salah satu dari mereka yang akan mengambil obat. Dengan cara seperti ini, pasien lebih banyak bisa dijangkau dan program dapat berjalan dengan baik.

Reporter: Retna Siwi Padmawati 

Pra Simposium 2 , 30 September 2014

30sept-41

Better Hospital, Better Health System, Better Health

A Proposal for a Global Hospital Collaborative for Emerging Economies

30sept-41

Sebuah tim kecil dari the Center for Gobal Development (CGD) – lembaga think tank yang berbasis di Washington DC – mengembangkan sebuah konsep kerjasama antar-RS di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, untuk memperkuat organisasi rumah sakit. Hal ini dilakukan atas dasar pemikiran bahwa RS di negara-negara tersebut terabaikan oleh para pembuat kebijakan dan masyarakat. Padahal RS memiliki peran penting dalam meningkatkan kesehatan masyarakat karena membuka akses terhadap pelayanan spesialistik dan menetapkan standar sistem kesehatan nasional. Para pembuat kebijakan di level nasional mengabaikan kebijakan dan kinerja RS dari agenda kesehatan global. Hanya beberapa RS swasta – yang melayani masyarakat kelas atas – yang memenuhi standar internasional. Selain itu, pemerintah bisa mengeluarkan anggaran kesehatan hingga 70% untuk mendukung RS-RS berkinerja rendah, untuk memenuhi kebutuhan sumber daya mereka.

RS yang berkinerja tinggi dan melayani masyarakat kelas menengah ke bawah jarang sekali ada di negara berkembang. RS merupakan simbol yang paling jelas terlihat mengenai baik atau buruknya sistem pelayanan kesehatan di suatu negara. Meskipun demikian, peran dan fungsi RS ternyata sangat berbeda antar negara, tergantung pada sejarah, model governance, kepemilikan dan klasifikasinya. Sebuah RS berkapasitas 10 tempat tidur tanpa adanya air mengalir di sebuah desa di Siberia, RS kabupaten di Kenya hingga RS tersier di Johannesburg, semuanya memenuhi kualifikasi untuk disebut sebagai RS.

Saat ini biaya pelayanan kesehatan sangat tinggi dan terus meningkat, padahal di sisi lain banyak RS yang tidak efisien. Menurut WHO (2007), pengeluaran RS seringkali memakan separuh dari total anggaran negara, bahkan di beberapa tempat bisa mencapai 70%.

Alokasi anggaran ynag tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan kinerja dan mutu pelayanan yang baik. Sampai hari ini, kita masih sering mendengar atau membaca berita keluhan terhadap output layanan RS. Di Hanoi, seorang dokter terpaksa mengoperasi ulang seorang anak yang mengalami gagal ginjal karena kesalahan pada operasi sebelumnya. Di Uganda, sebuah laporan menulis bahwa RS adalah jebakan kematian. Di Brazil, seorang dokter dikabarkan membunuhi pasiennya untuk mengosongkan TT RS (agar bisa digunakan pasien lain).

Di level akar rumput, masalahnya adalah tidak adanya pemikiran stratejik tingkat tinggi mengenai peran, stuktur, distribusi dan organisasi RS di sistem kesehatan di negara-negara berkembang. Sementara itu insentif untuk meningkatkan kualitas pelayanan sangat kurang. Sebagai contoh, kebijakan akreditasi sudah dimulai tahun 1999 di Brazil, namun hingga kini hanya 3% RS yang terakredikasi. Karena mahalnya biaya akreditasi, hanya RS swasta untuk masyarakat kelas atas yang mampu menempuhnya. Tentu saja pada akhirnya hal tersebut mempengaruhi tarif RS. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kelangsungan sistem kesehatan dan hambatan finansial bagi masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan. Semua hal tersebut menjadikan alasan mendasar mengapa perlu ada kolaborasi RS global yang perlu segera dibentuk.

GHC memiliki visi untuk menjadikan dunia dimana RS berkinerja tinggi yang melayani masyarakat kelas menengah ke bawah merupakan hal biasa an menjadi kkomponen kunci dalam upaya mencapai UHC, menguatkan sistem kesehatan, serta menghasilkan outcome kesehatan yang lebih baik dengan biaya yang lebih masuk akal bagi masyarakat. Misinya adalah menyediakan platform perubahan global yang akan menyediakan informasi dan dukungan teknis bagi pembuatan kebijakan yang berbasis bukti dalam rangka meningkatkan kinerja RS.

Dalam jangka pendek, rencana GHC adalah:

  1. Menyediakan overview teknis dan pengalaman-pengalaman berbagai RS di negara berkembang.
  2. Membandingkan kinerja, praktek manajemen dan penganturan tata kelola RS di sebuah bagian kecil dari negara-negara berkembang, dengan maksud untuk membantu stakeholders dalam menentukan path menuju peningkatan efisiensi, kualitas dan koordinasi dengan partner yang lain.
  3. Menciptakan pengetahuan berbasis web yang relevan dengan RS.
  4. Pilot project pendampingan teknis untuk beberapa negara terpilih.

Dalam jangka panjang, GHC akan melakukan:

  1. Layanan konsultasi practitioner-to-practitioner bagi RS atau kelompok RS
  2. Membangun sistem data yang terstandarisasi dengan aksesibiltas terhadap input, kualitas, outcome dan pengukuran kinerja lainnya
  3. Menerbitkan serial brief sintesis dan review inovasi
  4. Mengembangkan program riset operasional

Sesi ini berbeda dengan sesi-sesi lainnya dalam The Third Global Health Symposium, karena disini bukan memaparkan hasil riset melainkan mempromosikan inisiatif untuk membentuk GHC. Tujuannya adalah untuk menjaring respon dan inisiatif baru dari para peserta yang berlatarbelakang konsultan dan peneliti dalam bidang manajemen rumah sakit. Para panelis dalam sesi ini antara lain:

  1. Dr. Jonathan Blommberg, CEO Discovery Health di Discovery Limited. Ia merupakan ahli pelayanan kesehatan yang telah terkenal di Afrika dan menjadi konsultan pada berbagai projects manajemen pelayanan kesehatan nasional maupun internasional dalam bidang strategi, keuangan dan ekonomi.
  2. Amanda Glassman, Direktur Global Health Policy dan peneliti senior pada Center for Global Development. Ia banyak bekerja pada priority-setting, alokasi sumber daya dan value for money di global health, berpengalaman 20 tahun bekerja dalam program dan kebijakan kesehatan dan perlindungan sosial di Amerika Latin.
  3. Gerard La Forgia, Kepala Health Specialist di World Bank dan saat ini bekerja di Kantor Washington. Ia sudah berpengalaman bekerja dalam area kinerja RS dan reformasi sistem kesehatan serta menerbitkan buku mengenai asuransi kesehatan.
  4. Maureen Lewis, adalah profesor tamu di Global Human Development Program di School of Foreign Service kerjasama dengan Masters in Global Health Program. Dia sudah bekerja selama 22 tahun di World Bank dengan berbagai posisi.

Reporter: Putu Eka Andayani

The Case For Implementation Research and Delivery Science

Sesi ini merupakan sesi satelit dalam The Third Global Symposium on Health Systems Research di Capetown, 30 September-3 Oktober 2014. Tujuan dari sesi ini adala pertama. mendiskusikan definisi implementation research, apa masalah prioritas yang dapat diteliti dalam implementation research dan bagaimana implementasinya. Kedua, mensosialisasikan draft ‘Statement on Advancing Implementation Research and Delivery Science’ yang dibuat oleh Alliance of Health Policy and Research Systems. Pembicara adalah perwakilan Alliance of Health Policy and Research Systems, USAID dan World Bank.

Laporan ini perlu ditulis agar para peneliti kesehatan masyarakat mendapat pengetahuan baru tentang apa dan bagaimana implementation research serta peluangnya untuk diterapkan pada konteks Indonesia. Struktur/agenda kegiatan yang dilaporkan. Sesi dimulai dengan penjelasan dari perwakilan USAID dan World Bank tentang berbagai riset yang telah dilakukan. Menurut USAID, contoh-contoh topik implementation research adalah hal-hal yang terkait dengan MDGs dan post MDGs 2015 seperti Kesehatan Ibu dan Anak, family planning, HIV AIDS. Menurut World Bank, area yang perlu implementation research termasuk masalah-masalah kesehatan yang selama ini neglected diseases serta evaluasi impact maupun cost-effectiveness. Hal yang lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menghasilkan riset yang lebih cepat dan sustainable. Beberapa hal yang digaris bawahi dalam implementation research adalah:

  1. Implementation research harus fokus pada masalah penelitian yang menarik bagi pengambil kebijakan;
  2. Pelibatan pelaksana program dalam riset
  3. Penelitian dasar seperti penelitian biomedik harus selalu dikaitkan dengan implementasinya.

Pembicara berikutnya dari WHO menjelaskan tentang draft ‘Statement on Advancing Implementation Research and Delivery Science’ dimana ditekankan bahwa pelibatan pelaksanaan program dalam implementation research adalah keharusan. Riset perlu dikaitkan dengan kebijakan dan pengambilan keputusan. Hal tersebut menjadi dasar bahwa pelibatan pelaksana program (bahkan sebagai Principal Investigator) dianggap suatu hal yang harus dilakukan. Implementation research dengan menggunakan data-data lokal juga perlu dipromosikan.

Daftar abstrak atau power poin atau video yang terbuka untuk umum. Draft statement dapat dibuka di link berikut:
http://www.who.int/alliance-hpsr/news/CTStatement.pdf?ua=1 

Reporter: Ari Probandari

Simposium 1 , 1 Oktober 2014

irene

Reportase Third Global Symposium on Health System Research

Pembukaan
Reporter: Laksono Trisnantoro

ireneAcara pembukaan dibuka oleh moderator Irene Agyepong dengan pidato dari Margaret Chan,
Direktor Jendral WHO Geneva.

Sebagai pimpinan WHO, Margaret memulai pidatonya dengan mengemukakan masalah Ebola. Mengapa terjadi hal yang menyedihkan ini? Hal ini disebabkan sistem kesehatan yang tidak lengkap. Fasilitas yang kurang memadai, pendidikan yang kurang, lemahnya pemahaman mengenai surveilans dan berbagai hal lain termasuk tidak adanya vaksin. Namun, kita semua harus berjuang bersama untuk mengatasi masalah ini. Margaret menekankan mengenai perlunya Sistem Kesehatan yang harus people center. Sistem ini harus harus berfokus pada masyarakat, bukan hanya pada pemberi pelayanan. Selanjutnya dalam pidato pembukaan ditekankan agar sistem kesehatan memperhatikan kegagalan yang ada karena kita tidak mempunyai basis infrastruktur. Dalam hal ini, riset diperlukan untuk mengkaji infrastruktur. Selain itu, diperlukan evidence yang tepat. Di akhir pidatonya, Margaret Chan mengucapkan selamat mengikuti simposium.

 

Debora Bix, Ambassador at Large dan Koordinator US Global AIDS.

deboraDebora dalam sambutannya menekankan bahwa untuk AIDS, Amerika Serikat memberikan banyak dana untuk menangani fenomena ini. Kemudian, sebagian dana dipergunakan untuk sistem kesehatan horisontal. Kemudian, apa efeknya? Insiden dapat turun walaupun hal ini tidak terjadi di semua negara . Banyak negara di Afrika yang masih mengalami masalah. Dalam hal ini, SDM sangat berat juga infrastuktur, misal di Malawi dan Mozambique.

Tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat, mempunyai kemampuan yang terbatas. Untuk itu diperlukan pengembangan untuk mereka. Deborah menekankan perlunya control untuk epidemik dengan pendekatan: Right Things, Right Place, and Right Times. Di ujung pidatonya, Debora menegaskan, bahwa pekerjaan belum selesai. Setiap minggu ada 4600 bayi terinfeksi AIDS. 3600 anak mati , 25 ribu orang dewasa mati. Hal ini yang menjadi pemicu semangat.

 

Malebona Precious Matsoso, Dirjen Kesehatan Afrika Selatan.

malebonaTopik mengenai Ebola masih menjadi isu kunci. Ada banyak wabah di Afrika, infrastruktur yang kurang, konflik yang berkepanjangan menjadi masalah besar. Banyak bantuan dari luar negeri. Dari US, Jepang, dan lain-lain, di dalamnya termasuk dari perguruan tinggi besar. Dalam situasi seperti ini, Malebona menyatakan bahwa perlu ada evidence, yang dapat mendukung proses pengambil keputusan agar perencanaan dapat terinformasi dan dapat mencapai hasil yang baik. Oleh karena itu, perlu investasi dalam health system research.

Kita perlu champion, perlu budaya untuk melaksanakan riset. Kita harus mengembangkan kapasitas terutama untuk penelitian. Harapannya simposium ini dapat menginspirasi para peneliti, pengambil kebijakan dan memicu policy maker untuk melakukan investasi dalam riset. Tema people centre in health system sangat tepat, dan perlu ada penekanan masyarakat sebagai pusat pengembangan, juga untuk user dan provider.
Afrika Selatan ditunjang dengan konstitusi sehingga kesehatan adalah rights (hak), kemudian ada patient-charters. Afrika Selatan akan terus berkomitmen untuk mendukung young scientist untuk mengembangkan riset. Selamat bersimposium.

Performance Based Incentive Research

Incentivizing Quality in Maternal, Neonatal and Child Health Service

1oktStrategi performance-based incentive (PBI) termasuk result-based financing (RBF) telah diterapkan secara luas di low and middle-income countries (LMICs) untuk mencapai target dalam pelayanan kesehatan, outcome kesehatan dan cost containment. Saat ini, rata-rata strategi PBI dari sisi supply di LMICs lebih berfokus pada unit pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah sangat rendahnya utilisasi faskes dibandingkan dengan fokus pada pengukuran kualitas pelayanan. Hal yang harus disadari ialah kualitas pelayanan penting bagi kesinambungan program, sehingga kini mulai banyak negara dari LMICs yang mencari pengukuran-pengukuran kualitas pelayanan yang berhubungan dengan peningkatan outcome kesehatan, untuk dimasukkan dalam sistem PBI.

Hal tersebut menjadi dasar dikembangkannya materi dalam sesi ini. Sebastian Bauhoff, seorang leader dalam Tehnical PBI dari University Rresearch Co., USA bertindak sebagai moderator. Para pembicara antara lain Stephen Brenner (peneliti dari Heidelberg University, Jerman), Fannie Kachale (Direktur Reproductive Health, Kemenkes Malawi), Ronald Mutasa (Health Specialist dari World Bank Group, Washington DC) yang kali ini diwakili oleh salah satu anggota timnya dan Jurrien Toonen (Senior Advisor, Dutch Royal Tropical Institute Netherland).

Salah satu poin menarik dari diskusi pada sesi ini adalah penggunaan balanced scorecard bukan hanya untuk mengukur kinerja dan mutu outcome kesehatan pada program pemberian insentif untuk peningkatan mutu layanan ibu dan anak, melainkan dimulai dari prosesnya. Ada beberapa keuntungan menggunakan BSC, antara lain adanya feedback yang dapat digunakan untuk menyusun strategi selanjutnya dalam implementasi program. Namun pembicara juga mengungkapkan beberapa kelemahannya antara lain tidak terlihat apakah prosesnya sudah baik, bagian mana dari proses yang sudah lengkap atau tidak lengkap, serta bagaimana caranya mengetahui bagian mana yang perlu diperbaiki dan dimodifikasi.

Pada konsep Result-Based Financing, ada tiga hal yang perlu menjadi fokus, yaitu cost-effectiveness, kejujuran dan equity. Cost effectiveness misalnya apakah alokasi anggaran untuk pengadaan komputer memang betul meningkatkan kinerja pelayanan atau justru pemborosan. Konsep kejujuran dalam pengukuran kinerja hanya dapat diterapkan jika ada check and balance terkait dengan mutu pelayanan. Equity terkait dengan situasi dimana terkadang sulit mengeluarkan staf atau anggota tim meskipun yang bersangkutan under performance. Untuk itu, organisasi perlu mengembangkan sistem pay for performance untuk memastikan terjadinya keadilan diantara saf dan anggota tim.

Menurut para panelis, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan untuk lebih memahami dan memudahkan implementasi konsep PBI dan RBF yaitu:

  1. adanya rasa kepemilikan terhadap program dari dinas kesehatan setempat (kasus Malawi),
  2. memahami mengapa sistem tersebut bisa bekerja dengan baik dan bagaimana cara kerjanya dan nyang tidak kalah pentingnya memahami bagaimana mendefinisikan kualitas pelayanan dalam konteks penelitia,n
  3. dokumentasi untuk melakukan perbaikan-perbaikan di masa depan, misalnya bagaimana memberi insentif bagi supervisor dan manajer untuk memastikan adanya feedback untuk menjaga kualitas pelayanan,
  4. kemampuan dalam melihat intervensi potensial yang dapat dilakukan.

Reporter: Putu Eka Andayani

Realist Evaluation and Other Theory Driven Inquiry Approaches in Health Policy and Systems Research: A Hands-on Troubleshooting Workshop

 

Mengapa ada kegiatan ini?

Tujuan dari sesi ini adalah:

  • Mendiskusikan konsep dasar metodologi realist evaluation
  • Mendiskusikan aplikasi metodologi realist evaluation dalam penelitian sistem kesehatan

Pembicara dari Indonesia?

Sesi ini dimoderatori oleh Bruno Marchal (Department of Public Health, Institute of Tropical Medicine, Belgium)

Terdapat 4 panelis:

  • Sara Van Belle (Institute of Tropical Medicine, Belgium)
  • Barend Gorretsen (KIT Royal Tropical Institute, Netherlands)
  • Isabel Goicolea (Umea University, Sweden)
  • NS Prashanth (Institute of Public Health, Bangalore, India)

Mengapa ada laporan ini?

Para peneliti di Indonesia perlu mengetahui adanya metodologi baru yang dapat digunakan dalam penelitian sistem kesehatan.

Struktur/agenda kegiatan yang dilaporkan

Pada awal, Bruno Marchal menerangkan bahwa realist evaluation (RE) adalah pendekatan metodologi yang biasanya dipakai dalam evaluasi program, terutama untuk memperdalam tentang sejauh mana tingkat outcome suatu program, bagaimana context dari program tersebut dan mengapa outcomenya bisa demikian dengan menggali mekanisme sampai pada hasil. Pertanyaan utama penelitian yang menggunakan pendekatan RE adalah: mengapa hasilnya demikian, bagaimana konteks programnya sehingga hasilnya demikian, bagaimana mekanisme bisa mencapai outcome dari program. Pada RE, penelitian diarahkan oleh suatu teori sementara (hipotesis) yang didapatkan dari analisis dari ‘context‘ program, kemudian digali keterkaitannya dengan outcome program. RE cocok dipakai untuk evaluasi program terutama jika pengambil kebijakan ingin melakukan peningkatan skala (scaling up) program. Perlu diketahui RE adalah pendekatan metodologi, sedangkan metode penelitian dapat menggunakan apapun metode penelitian yang sesuai.

Selanjutnya, didiskusikan contoh-contoh penelitian menggunakan pendekatan RE seperti misalnya penelitian studi kasus tentang bagaimana supervisi dapat meningkatkan kinerja Perawat di Guatemala (lihat http://www.biomedcentral.com/1472-6963/14/112 ).

Setelah itu, para panelis saling memberikan pengalaman masing-masing tentang pendekatan RE. Meskipun potensinya untuk memberikan bukti-bukti pada pengambil kebijakan sangat besar, namun terdapat tantangan-tantangan yang dihadapi yakni:

  • Penelitian dengan pendekatan RE biasanya membutuhkan waktu cukup lama.
  • Masih belum ada standard untuk menjamin kualitas aplikasi pendekatan RE yang dijalankan.
  • Bagaimana menyampaikan hasil dengan mudah pada pembuat kebijakan karena biasanya hasilnya cukup kompleks.

Daftar abstrak atau power poin atau video yang terbuka untuk umum

  • Tidak ada power poin yang dibagikan
  • Panelis tidak membuat power point dan hanya mendiskusikan pengalaman mereka

 

Reporter : Ari Probandari

Performance Based Incentive Research

Incentivizing Quality in Maternal, Neonatal and Child Health Service

Strategi performance-based incentive (PBI) termasuk result-based financing (RBF) telah diterapkan secara luas di low- and middle-income countries (LMICs) untuk mencapai target dalam pelayanan kesehatan, outcome kesehatan dan cost containment. Saat ini, rata-rata strategi PBI dari sisi supply di LMICs lebih berfokus pada unit pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah sangat rendahnya utilisasi faskes dibandingkan dengan fokus pada pengukuran kualitas pelayanan. Hal yang harus disadari ialah kualitas pelayanan penting bagi kesinambungan program, sehingga kini mulai banyak negara dari LMICs yang mencari pengukuran-pengukuran kualitas pelayanan yang berhubungan dengan peningkatan outcome kesehatan, untuk dimasukkan dalam sistem PBI.

Hal tersebut menjadi dasar dikembangkannya materi dalam sesi ini. Sebastian Bauhoff, seorang leader dalam Tehnical PBI dari University Rresearch Co., USA bertindak sebagai moderator. Para pembicara antara lain Stephen Brenner (peneliti dari Heidelberg University, Jerman), Fannie Kachale (Direktur Reproductive Health, Kemenkes Malawi), Ronald Mutasa (Health Specialist dari World Bank Group, Washington DC) yang kali ini diwakili oleh salah satu anggota timnya dan Jurrien Toonen (Senior Advisor, Dutch Royal Tropical Institute Netherland).

Salah satu poin menarik dari diskusi pada sesi ini adalah penggunaan balanced scorecard bukan hanya untuk mengukur kinerja dan mutu outcome kesehatan pada program pemberian insentif untuk peningkatan mutu layanan ibu dan anak, melainkan dimulai dari prosesnya. Ada beberapa keuntungan menggunakan BSC, antara lain adanya feedback yang dapat digunakan untuk menyusun strategi selanjutnya dalam implementasi program. Namun pembicara juga mengungkapkan beberapa kelemahannya antara lain tidak terlihat apakah prosesnya sudah baik, bagian mana dari proses yang sudah lengkap atau tidak lengkap, serta bagaimana caranya mengetahui bagian mana yang perlu diperbaiki dan dimodifikasi.

Pada konsep Result-Based Financing, ada tiga hal yang perlu menjadi fokus, yaitu cost-effectiveness, kejujuran dan equity. Cost effectiveness misalnya apakah alokasi anggaran untuk pengadaan komputer memang betul meningkatkan kinerja pelayanan atau justru pemborosan. Konsep kejujuran dalam pengukuran kinerja hanya dapat diterapkan jika ada check and balance terkait dengan mutu pelayanan. Equity terkait dengan situasi dimana terkadang sulit mengeluarkan staf atau anggota tim meskipun yang bersangkutan under performance. Untuk itu, organisasi perlu mengembangkan sistem pay for performance untuk memastikan terjadinya keadilan diantara saf dan anggota tim.

Menurut para panelis, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan untuk lebih memahami dan memudahkan implementasi konsep PBI dan RBF yaitu:

  1. adanya rasa kepemilikan terhadap program dari dinas kesehatan setempat (kasus Malawi),
  2. memahami mengapa sistem tersebut bisa bekerja dengan baik dan bagaimana cara kerjanya dan nyang tidak kalah pentingnya memahami bagaimana mendefinisikan kualitas pelayanan dalam konteks penelitia,n
  3. dokumentasi untuk melakukan perbaikan-perbaikan di masa depan, misalnya bagaimana memberi insentif bagi supervisor dan manajer untuk memastikan adanya feedback untuk menjaga kualitas pelayanan,
  4. kemampuan dalam melihat intervensi potensial yang dapat dilakukan.

Reporter: Putu Eka Andayani

 

Experiences Using Photo Voice in Health Systems Research: Transforming Evidence and Methods to Share Knowledge, Engage, Empower and Act

Sesi ini bertujuan untuk menjelaskan konsep dan aplikasi metode photo voice dalam penelitian sistem kesehatan dan menjelaskan keunggulan dan keterbatasan metode photo voice sebagai cara pengumpulan data dalam penelitian sistem kesehatan. Sesi ini dimoderatori oleh Asha George (Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, USA). Kemudian, terdapat empat pembicara yakni:

  • Shibaji Bose (Institute of Health Management Research, India)
  • Amuda Baba Dies Merci (Institut panafricain de sante communautaire, Democratic Republic of the Congo)
  • Caroline Jones (KEMRI-Wellcome Trust Research Program, Kenya)
  • Idah Zulu-Lishandu (Lusaka District Community Health Office, Zambia)
  • David Musoke (Makarere University School of Public Health, Kenya)

4oktSesi ini memuat inovasi metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian sistem kesehatan, dimana di Indonesia belum banyak digunakan. Dengan mengikuti reportase ini diharapkan para peneliti dapat mempertimbangkan photovoice sebagai salah satu metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian sistem kesehatan. Sesi ini diawali dengan diskusi kelompok kecil dari para partisipan tentang apa itu photo voice. Diskusi kelompok kecil ini menarik karena terjadi interaksi antara partisipan yang sudah mengetahui tentang apa photovoice dengan yang belum.

Secara umum, dirumuskan bahwa photo voice itu adalah metode pengumpulan data dalam participatory action research dimana subjek penelitian diberikan kamera foto untuk kemudian diminta mendokumentasi peristiwa-peristiwa yang terkait dengan tujuan penelitian. Setelah beberapa waktu, foto-foto tersebut dikumpulkan dan didiskusi dengan seluruh subjek yang dilibatkan tentang apa realitas yang mereka tangkap dari foto-foto yang dikumpulkan.

Setelah itu, disampaikan presentasi dari masing-masing pembicara tentang penelitian-penelitian yang menggunakan photo voice dan dilanjutkan dengan diskusi. Dalam diskusi muncul beberapa hal yang terkait dengan kekuatan dan kelemahan metode photo voice sebagai berikut:

Kekuatan:

  • Photo voice mudah dipakai pada subjek penelitian yang buta huruf
  • Photo voice dapat menyuarakan hal-hal yang mungkin sulit didiskusika
  • Photo voice meningkatkan aspek partisipasi dalam suatu action research dan bahkan pasca penelitian.

Namun tantangan dari metode ini adalah adanya persoalan etika, misalnya dalam mengambil foto perlu persetujuan dari subjek yang difoto dan penggunaan foto tersebut. Namun sayang, sesi ini tidak ada materi presentasi yang dapat diakses peserta.

Reporter : Ari Probandari

Social Exclusion and Health System: How do vulnerable groups experience health system?

Sesi ini mempresentasikan pengalaman-pengalaman riset pada kelompok rentan yang biasanya terpinggirkan/marginal. Mereka yang termasuk dalam kelompok rentan antara lain masyarakat migran, orang asli/aborigin, orang yang dikucilkan atau tidak mendapat pelayanan dari program karena jarak sosial dan jarak fisik yang jauh, usia tua, pengungsi, dan kelompok disable. Sesi ini mempresentasikan enam hasil penelitian dari beberapa negara yaitu Ethiopia, Australia, India, Afrika Barat, dan Afrika Selatan.

Penelitian oleh Befirdu Jimu di Ethiopia tentang “Persepsi tentang seks yang tidak aman dan penggunaan kontrasepsi oleh para perempuan migran” menunjukkan bahwa mereka sering mendapat perlakuan tidak baik secara seksual dari para perantara yang menguruskan visa dan pekerjaannya di Arab Saudi. Mereka juga dipaksa untuk menjual seks secara komersial. Pengetahuan mereka tentang seks yang tidak aman serta penggunaan kontrasepsi sangat rendah. Mereka berpendidikan sangat rendah dan kjetika akan berangkat, mereka tidak dibekali dengan pelatihan dalam bahasa yang mereka mengerti. Mereka beresiko terhadap seks yang tidak aman dan meningkatkan kesadaran untuk menggunakan kontrasepsi adalah hal yang sangat kritis, karena hal ini merupakan hak kesehatan reproduksi bagi mereka.

Dari Australia, penelitian oleh Kelaher dkk, tentang keterlibatan masyarakat Aborigin dalam “health regional governance” atau tata kesehatan daerah sangat berhubungan dengan perbaikan outcome kesehatan mereka dan bagi reformasi kesehatan Australia. Penelitian diadakan pada Juli 2008-Desember 2012 dan pengukuran dilakukan sebelum terbentuknya “Indigenous Health National Partnership Agreement (IHNPA)” dimana serapan kesehatan masyarakat dan “preventable hospitalization” dinilai. Setelah adanya IHNPA, terjadi serapan yang lebih tinggi dalam penilaian kesehatan dan terjadi penurunan drastic angka hospitalisasi dari beberapa tindakan yang seharusnya dapat dicegah. Utamanya, masyarakat Aborigin mempunyai suara yang lebih kencang di pemerintahan.

Namun, lain halnya dengan penelitian Peterson dkk, dalam penelitian tentang bagaimana pengalaman hidup sebagai pengungsi dialami, dan bagaimana informasi tentang kesehatan diberikan. Penelitian ini unik karena merekrut pengungsi sendiri untuk mengakses/mencapai masyarakat yang sulit dijangkau yaitu pengungsi itu sendiri. Lima orang peneliti pengungsi menceritakan bagaimana kehidupan sesama pengungsi di Brisbane, Australia. Mereka bingung terhadap komplesitas sistem kesehatan. Lalu, tentang masalah budaya mengancam konsultasi kesehatan, trust/kepercayaan antara pengungsi dan health providers, rasisme, bahasa yang tidak dipahami, dan sebagainya juga teridentifikasi. Strategi yang diusulkan untuk memperbaiki kesehatan mereka adalah memperbanyak penelitian bersama dengan pengungsi agar tercapai peningkatan keterlibatan dengan health provider dan juga memperbesar kapasitas masyarakat, untuk memperbaiki “health literacy,” tentu saja dengan fokus untuk memperbaiki outcome kesehatan.

Di Gujarat, India, penelitian Nanjappan dkk, tentang suatu kelompok masyarakat yang disebut “Dalit” dilakukan untuk mengetahui konsekuensi politik dan sosial ekonomi karena menjadi “Dalit.” Dalit adalah kasta terendah di India dan umumnya dikenal di Gujarat. Penelitian ini mewawancarai wanita “Dalit” yang rata-rata tidak mempunyai tanah dan ternak, serta dipaksa untuk mencari pekerjaan keluar desanya sebagai pekerja bangunan dan pekerja tambang. Mereka dianggap kotor dan hina, bahkan orang melecehkan mereka. Wanita “Dalit” ini mengatakan mereka tidak pernah bergaul dengan masyarakat di sekitarnya. Hubungan dengan masyarakat selalu ditandai dengan penghinaan dan caci maki. Mereka juga tidak diikutkan di dalam program suplementasi gizi yang ada di Gujarat. Walaupun kesehatan dan pelayanan kesehatan adalah hak dan dilindungi oleh undang-undang yang ada, “Dalit” mempunyai kondisi yang kritis karena tidak tersentuh oleh proteksi negara. Politisi dan pengambil keputusan di bidang kesehatan serta penyedia layanan kesehatan harus memikirkan hal ini dan menyamakan hak mereka dengan warga masyarakat yang lain.

Dua paper lain adalah tentang keikutsertaan lansia dalam program asuransi yang disebut “Social Health Protection (SHP)” di Afrika Barat.; serta keikutsertaan warga yang mempunyai masalah kesehatan mental di Cape Town. Mayoritas lansia di Afrika Barat tidak terdaftar dalam skema perlindungan SHP karena mereka justru tidak diharuskan membayar premi. Akibat tidak membayar premi, mereka (seperti) tidak diberi informasi sehingga mereka tidak mendaftarkan diri. Hal lain juga ditemukan bahwa walaupun premi tidak membayar, tetapi untuk mendapatkan kartu mereka harus membayar registrasi. Solusinya, agar para lansia mendaftar, mereka harus diberi informasi, tidak perlu membayar registrasi, dan perlunya pengurusan kartu dibuat di mayarakat terpencil Senegal. Kasus yang hampir sama juga terjadi di Afrika Selatan. Di Cape Town, orang dengan penyakit mental dieksklusikan karena mereka dianggap “defaulter” atau orang yang lalai. Mereka tidak mendapatkan informasi, akses pelayanan, dan sebagainya karena sering lupa bahwa mereka punya janji kepada health provider. Mereka dianggap sebagai orang yang lalai atau tidak peduli, dan mempunyai interaksi negatif dengan pemberi layanan. Penelitian ini telah mengungkapkan mekanisme bagaimana kelompok masyarakat tersebut diekslusi dari pelayanan kesehatan dan menunjukkan poin-poin yang secara sistematis harus dilihat pemerintah untuk memasukkan mereka secara sistematis dalam sistem layanan kesehatan.

Kasus dalam presentasi pelitian-penelitian di atas juga banyak terdapat di Indonesia secara keseluruhan. Keadaan dan kesehatan orang-orang yang rentan seperti TKW/TKI, masyarakat terpencil dan asli, pelayanan pada lansia, masyarakat miskin, dan lain-lain banyak yang belum diteliti. Informasi tentang kelompok ini belum banyak digali dan diteliti.

Reporter: Retna Siwi P

 

Simposium 2, 2 Oktober 2014

breakf

Breakfast Launches

breakfPada rangkaian acara Global Symposium, terdapat beberapa acara breakfast launches. Acara biasanya dilakukan pada pagi hari, satu jam sebelum acara plenary atau symposium dimulai, dan untuk yang hadir disediakan makan pagi . Program ini biasanya berupa launching suatu suplemen jurnal, proyek penelitian baru, atau organisasi atau kelompok kerja baru. Peserta diminta mendengar dan berdiskusi tentang apa yang sudah mereka lakukan.

Pada breakfast launches tanggal 2 Oktober, terdapat lima kelompok yang berbagi pengalamannya. Pertama mengumumkan supplement journal untuk Health Policy and Planning untuk “Science and Practice on people-center health system,”. Kedua untuk seri penelitian baru tentang “Universal Health Coverage (UHC)” dari UNICEF, dan ketiga tentang joint group WHO dan World Bank untuk pengukuran kemajuan UHC dalam konteks post MDG 2015. Selanjutnya adalah book launching untuk “African Health Leaders: making change and claiming the future“, dan yang terakhir adalah launching dari Chatam House report terkait health financing.

Reporter mengikuti launching dari supplement journal untuk “Health policy and planning” untuk tema Global Symposium tahun ini aitu, “Science and Practice on People-center Health System.” Beberapa penulis publikasi dan chief editor mempresentasikan proses penerbitan dan isi dari supplement tersebut. Semua peserta mendapatkan satu eksemplar jurnal yang sudah terbit tersebut.

Dalam pengantarnya, Sarah Bennet, editor in chief dan Kabir Sheikh (Public Health Foundation of India) mengatakan bahwa sistem kesehatan harus mencari cara untuk melayani orang dan masyarakat. Sistem kesehatan harus membawa nilai-nilai dalam kehidupan manusia, bukan hanya dengan merawat dan melayani mereka, melainkan juga secara lebih luas menawarkan janji untuk keamanan ekonomi dari waktu ke waktu dan keluar dari kerentanan yang berat.

Upaya tersebut dilakukan dengan, pertama, mengedepankan suara dan kebutuhan masyarakat, karena seharusnya keinginan dan kebutuhan masyarakatlah yang membentuk “health system.” Nandi dan Scheneider dalam jurnal ini mencontohkan keikutsertaan Mitanin (pekerja kesehatan di masyarakat) dalam mempengaruhi “social determinant of health di India. Demikian juga Abimbola yang hadir dalam launching tersebut mencontohkan bahwa sumber daya masyarakat dapat mengatasi kegagalan pemerintah dalam penyediaan layanan kesehatan.

Kedua adalah “people-centredness in service delivery,” yaitu pelayanan hendaknya dirancang dan diberikan berdasarkan kebutuhan masyarakat, bukan klinisi atau penyedia layanan. Prinsip yang dianut adalah quality, safety, longitudinality, closeness to community dan responsiveness terhadap perubahan. Manu dalam publikasinya dalam jurnal suplemen ini mengemukakan bahwa petugas surveilan masyarakat yang bekerja secara sukarela dalam suatu intervensi dapat mempromosikan perawatan esensial bagi bayi baru lahir dan mengidentifikasi tanda-tanda vital bayi dan kemudian merujuk ke fasilitas kesehatan.

Ketiga, kita harus menyadari bahwa sistem kesehatan adalah insititusi sosial, dimana semua aktor di dalamnya seharusnya bertindak sesuai dengan tanggungjawabnya. Penelitian Aberese-Ako dkk. di Ghana menggarisbawahi kerjasama yang baik antara administrator kesehatan dan petugas kesehatan serta masyarakat atau pasien, namun hubungan antara pengetahuan dan kebijakan orang-orang dalam health system sangat jarang untuk diteliti.

Kemudian yang keempat adalah prinsip bahwa nilai-nilai akan mengarahkan sistem kesehatan yang bersumber pada masyarakat dan pada akhirnya reformasi sistem dapat berdampak pada nilai-nilai dalam sistem itu sendiri. Menghormati dan mencapai ” equal treatment” bagi mereka yang berlainan gender, agama, kelompok sosial dan ekonomi adalah prinsip yang penting untuk mempertimbangkan bagaimana pelayanan harus dirancang dan diberikan kepada masyarakat.

Suplemen jurnal ini pada akhirnya menunjukkan cara-cara yang berbeda dalam melakukan riset dalam sistem kesehatan yang berfokus pada masyarakat dan bagaimana memahami mereka. Selain itu, jurnal ini juga mencoba melihat tantangan para peneliti sendiri dalam melihat perannya dalam sistem itu senndiri.

Reporter: Retna Siwi P

Recognising Research Paradigm, Methods And Impact For People-Centered Health System

barbaraPlenary 2 yang berlangsung pukul 9.30-11.00 waktu setempat dibuka dan dimoderatori oleh Barbara McPake, Direktur Nossal Institute for Global Health, University of Melbourne, Australia. Sesi ini mendiskusikan kontribusi berbagai tradisi system riset untuk menguatkan system kesehatan yang people-centered (berfokus pada orang). Dalam sesi ini, dua orang narasumber memberikan opening statement dan kemudian bersama tiga narasumber lainnya melakukan diskusi panel dipimpin oleh moderator.

Opening statement pertama disajikan oleh James Macinko, PhD, seorang associate professor dari Public Health and Health Policy, New York University. James menekankan pada kontribusi apa yang diberikan oleh penelitian kuantitatif, pendekatan apa saja dalam menggunakan data dan bagaimana kita bias menguatkan riset kuantitatif serta instrumen-instrumennya untuk mempromosikan program dan kebijakan yang lebih baik dalam mencapai dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang people-centered. Menurutnya, penelitian dengan metode random mengalami kebangkitan, dimana metode ini banyak menawarkan solusi untuk mendesain evaluasi dari dampak suatu program atau kebijakan. Masalahnya adalah metode ini memiliki banyak kelemahan dan berbagai konsekuensi yang tidak relevan. Agar data kuantitatif lebih powerful, maka perlu ada interaksi yang lebih produktif antara penghasil dan pengguna data di berbagai tingkatan. Terakhir, James memaparkan hal-hal yang perlu dilakukan untuk membuat pendekatan kuantitatif lebih relevan bagi system kesehatan yang people-centered, antara lain mengintegrasikan ilmu-ilmu terapan dari efikasi ke efektvitas dan kemudian ke pemberdayaan.

reneRene Loewenso, Direktur di Training and Research Support Center, Zimbabwe, pada opening statement berikutnya banyak menjelaskan mengenai participatory action research (PAR). Rene bahkan sudah menulis buku mengenai hal tersebut bersama beberapa koleganya. Dalam simulasi di suatu sesi training, dimana peserta berperan sebagai pasien, petugas kesehatan, stakeholders lain bahkan lembaga donor, tampak bahwa setting pelayanan dan system kesehatan secara keseluruhan belum secara langsung member perhatian yang cukup pada pasien. Apa yang dikerjakan oleh seorang petugas administrasi di sebuah RS, bahkan yang dilakukan oleh lembaga donor, belum berpusat pada pasien sebagai tujuan pelayanan kesehatan. Ini membuat banyaknya complain masyaakat terhadap pelayanan dan system kesehatan. PAR akan membantu dengan cara tidak saja memahami bukti-bukti atau realitas melainkan juga mentransformasikannya, karena peneliti bias menjadi terlibat lebih aktif dan karena peneliti adalah bagian dari komunitas yang akan terkena dampak dari suatu program, atau fasilitator dari suatu proses. Namun tentu saja tetap ada tantangan dalam melakukan riset dengan metode PAR ini, mulai dari reliabilitasnya hingga external validity-nya.

Pada sesi diskusi, salah satu panelis, Clara Mbwili-Muleya, dari District Medical Officer, Ministry of Health, Zambia menyampaikan pendapatnya sebagai praktisi pembuat program dan kebijakan, serta sebagai pengguna hasil-hasil penelitian. Menurutnya, selama ini banyak data yang tidak dapat ia dan timnya gunakan karena tidak sesuai dengan kebutuhannya, atau sulit untuk dipahami. Ini menunjukkan bahwa interaksi antara peneliti dengan pengguna hasil penelitian belum aktif dan baik. Ia sendiri sebenarnya sangat tertarik untuk terlibat dalam penelitian-penelitian tersebut, agar bias menjawab berbagai tantangan yang dihadapi sehari-hari dalam melakukan tugasnya sebagai Kepala Kantor Medis Kabupaten.

clareMenurut Clara, data yang berguna adalah yang bias ditranslasikan ke perubahan, bias menyesuaikan dengan cara kerja para pengambil keputusan dan penentu kebijakan, data yang memiliki dampak ke masyarakat. Berdasarkan pengalamannya, data yang baik belum tentu dapat digunakan. Ia dan timnya bahkan sering mengunakan data yang buruk, hanya karena data tersebut lebih mudah dipahami sebagai dasar pengambilan keputusan. Pertanyaan pentingnya adalah siapa sebenarnya yang seharusnya menyusun agenda data: pengguna data atau peneliti.

Senior Health Specialist dari UNICEF New York, Kumanan Rasanathan mengakui bahwa memang ada konflik antara penghasil dan pengguna data. Untuk itu peneliti perlu menggunakan sistem yang bias menghasilkan data yang bermanfaat, namun di sisi lain pengguna data juga memahami besarnya biaya yang diperlukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Dalam hal ini, Rene dan James berpendapat bahwa desain penelitian untuk menghasilkan data dan informasi harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang akan dipengaruhi oleh hasil penelitian tersebut. Dalam system kesehatan, masyarakat dengan berbagai masalah kesehatannya seharusnya menjadi pusat perhatian semua pihak di berbagai level.

 

KumananKumanan memberikan contoh kerjasama UNICEF dengan berbagai kelompok peneliti di Indonesia. Menurutnya, kapasitas dan kapabilitas parapeneliti di Indonesia sangat baik dan jumlahnya cukup banyak. Namun masihbanyak hal yang harus dilakukan untuk menyambungkan antara hasil-hasil penelitian dengan pengambil kebijakan di level local maupun nasional. Di Afrika menurut Clara masih terjadi banyak kekosongan untuk sumber daya seperti inis ehingga PAR belum bias membantu pemerintah dalam pengambilan keputusan. Jadi yang diperlukan adalah membangun kapasitas SDM, khususnya para frontliners pelayanan agar bias memanfaatkan knowledge dan mentranslasikannya ke aksi.

Assistant Professor dari Department of Public Health, Institute of Tropical Medicine, Belgium, Bruno Marchal berpendapat bahwa semua harus belajar dari tindakan-tindakan yang sudah dilakukan dan bagaimana dampaknya. Para stakeholders sector kesehatan harus membuka berbagai potensi yang agar bias dimanfaatkan dalam memecahkan masalah. Menurutnya, pengambil keputusan perlu mengidentifikasi sumber daya apa lalu untuk siapa. Rene sependapat, bahwa riset-riset perlu disegmentasi kembali. Jika perlu, sediakan ruang tambahan agar masyarakat bias terlibat lebih banyak, konsistensiperlu dijaga dan yang terpenting adalah menjadikan riset sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.(pea)

Reporter: Putu Eka Andayani

 

Tab Content

Process, Methods And Stakeholders in Knowledge Translation and Participatory Decision-Making

colinSesi ini menyajikan beberapa hasil penelitian yang menjadi contoh penerapan dari participatory decision making. Penelitian pertama disampaikan oleh Colin Baynes, seorang manajer program dari Ifakara Health Institute, Columbia University, Tanzania. Penelitiannya mencoba menjelaskan mengenai bagaimana task shifting pada tenaga kesehatan dalam program KB injeksi mempengaruhi pembelajaran masyarakat, proses partisipasi dan transfer pengetahuan untuk memperkuat sistem kesehatan.

Total ada 101 desa yang terlibat, 50 diantaranya dengan tenaga kesehatan dan 51 tanpa tenaga kesehatan yang dievaluasi dengan menggunakan indikator mencapaian layanan ibu dan anak melalui survey demografis. Dengan menerapkan Participatory Action Research (PAR), ia dan timnya antara lain memberdayakan populasi kunci untuk membangun strategi organisasi dan mencari solusi, mengembangkan milestone yang didorong oleh kapasitas lokal dalam menemukan solusi dan learning by doing. Hasilnya, terjadi perubahan sikap dan perilaku masyarakat dari yang tadinya tidak percaya atau bahkan menolak, menjadi menerima dan siap menggunakan alat kontrasepsi injeksi. Namun masih ada tantangan berupa kesinambungan sumber daya hingga pengaruh budaya dan kepercayaan terhadap alat pengatur kehamilan.

 

pragatiPenelitian kedua terkait dengan pengendalian tembakau yang dilakukan atas kerjasama antar sektor di India. Penelitian yang dilakukan oleh Pragati Hebbar (Advocacy Officer, di Institute of Public Health Bangalore, India) dan timnya ini melibatkan kepolisian, pemerintah kota, sektor transportasi, informasi, pendidikan, serta sektor kesehatan itu sendiri. Intervensi yang dilakukan antara lain pemasangan signage dan berbagai petunjuk terkait larangan merokok di area publik dan bus umum oleh polisi dan mengedukasi masyarakat. Pembelajaran yang didapat adalah pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan isu-isu implementasi. Peran yang jelas dalam menginstitusionalisasi implementasi dan meningkatkan motivasi dan kemampuan, serta review secara terus menerus merupakan komponen penting untuk mentransformasi kebijakan ke pelaksanaannya. Diperlukan kepemimpinan dalam sektor pemerintah maupun swasta. Selain itu, pekerjaan yang melibatkan antar-sektor seperti ini membutuhkan perlu selalu didorong secara aktif, perlu jaringan kerja yang nyata serta kerangka kerja kebijakan sebagai pendukung.

 

nasrenPenelitian ketiga yang dipresentasikan oleh Nasreen Jessani, seorang calon PhD di John Hopkins Bloomberg School of Public Health, USA. Penelitian ini sedikit berbeda dengan riset-riset lainnya karena meneliti dari aspek penghasil pengetahuan, yaitu universitas, untuk mencari jawaban apakah ada “broker” pegetahuan akademik di Kenya. Ada enam perguruan tinggi di Kenya yang menjadi tempat penelitian, dimana sebuah eksplorasi terhadap jaringan riset-ke-kebijakan di berbagai fakultas dilakukan. Dari rantai riset ke kebijakan, ternyata pihak-pihak yang terlibat dapat digolongkan kedalam tiga kelompok, yaitu knowledge producers, knowledge brokers dan knowledge users. Di Kenya, yang tergolong penghasil pengetahuan antara lain institusi akademik, Think Tanks, unit penelitian milik pemerintah dan NGOs. Yang tergolong knowledge brokers antara lain media, organisasi advokasi, KT Platforms dan bahkan juga ada institusi akademik. Knowledge users antara lain masyarakat, praktisioner, pengambil keputusan dan pembuat kebijakan serta stakeholder lain (sektor privat dan kelompok lain yang berkepentingan). Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa academic knowledge brokers (AKB) memang benar ada yang berperan menghubungkan antara academic researcher dengan pembuat kebijakan. AKB seringkail bersifat invisible, memiliki posisi yang unik di lingkungan akademis, berkemampuan tinggi serta kredibel. (pea)

Reporter: Putu Eka Andayani

The Role of Non-Traditional Health-Care Providers

Sesi ini mempresentasikan penelitian pada logistik ketersediaan pemberi layanan kesehatan non-tradisional namun bukan dokter yang telah berpraktek di banyak negara. Mereka adalah kader (dalam istilah international), asisten apoteker, bidan (dengan pendidikan minimal) atau provider tingkat menengah dan melihat peran mereka dalam meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan yang harus disediakan oleh sistem kesehatan “utama” dan apa saja tantangan-tantangan yang mereka hadapi.

Berbeda dengan istilah kader di Indonesia yang biasanya adalah penduduk setempat yang bekerja secara sukarela, kader di sini adalah mereka yang berpendidikan SMA tetapi dilatih menjadi pekerja sosial selama 3-6 bulan pelatihan. Pelatihan kader seperti ini telah dilakukan di banyak negara seperti India, Malawi, Nepal, dan Afrika. Dalam keadaan pasokan pekerja pelayanan kesehatan yang terbatas, mereka dapat menjadi tumpuan pelayanan kesehatan jika diatur dengan baik.

Brown dkk, dari People that Deliver (PtD) Denmark melakukan evaluasi “supply-chain management (SNM)” di Burkina Faso, the Dominican Republic, Ethiopia, Indonesia, Liberia, Mozambique, dan Namibia namun hanya lima yang dapat dilaporkan. Di negara-negara ini telah dilatih petugas kesehatan yang akan membantu mengatasi askes. Penyelenggara kegiatan kemudian diwawancarai tentang penyelenggaraan dan pelaksanaan penempatan mereka dalam mengatasi masalah supply. Secara umum, penyediaan pemberi kesehatan dari masyarakat ini memerlukan waktu lama karena harus melihat penerapan dan evaluasinya di lapangan. Selain itu, diperlukan reformasi persepsi, kebijakan dan praktek, karena sudah terbiasa dengan health provider yang standar; perlu mengkonversi pengeluaran sekarang menjadi investasi, dan melihat pada keuntungan secara akumulatif, dan terakhir harus country-driven. Jika hal tersebut tudak dilakukan, maka pengadaan tenaga kesehatan yang dikembangkan akan sulit diterima.

Selanjutnya adalah presentasi Crawford tentang meningkatkan akses dan penggunaan obat yang rasional di Malawi melalui pelatihan asisten apoteker. Dia memulai presentasinya dengan keterbatasan staf farmasi akan menghasilkan pencatatan data dan management obat yang buruk. Kualitas data yang buruk akan mengakibatkan seringnya kekurangan obat. Banyak juga terjadi adanya personel yang tidak memiliki kualifikasi di bidang obat tetapi memberikan obat kepada pasien, sehingga klinisi akan menghabiskan waktu di logistik dan pemberian obat. Program ini merupakan program 3 tahun kerjasama kementrian kesehatan Malawi dengan University of Washington dengan mendidik 150 siswa menjadi asisten apoteker selama 2 tahun. Tujuan pemerintah adalah mendidik 650 siswa sampai tahun 2020. Materi pelatihan lebih banyak praktek daripada di kelas. Sebelum pelatihan, sebanyak 65% dokter mengatakan menghabiskan waktu untuk urusan logistikobat, setelah pelatihan dan penerapan, hanya kurang dari 10% yang menghabiskan waktu mengurusi obat. Mereka juga mengatakan senang karena telah mampu fokus kepada pelayanan pasien daripada mengurusi masalah obat.

Pengalaman di Malawi hampir sama dengan yang terjadi di India di Provinsi Chhattisgarh. Mereka telah mendidik Rural Medical Assistant (MHA) dan Rural Health Practitioners (RHP) selama tiga tahun dan mereka berperan membantu dokter untuk melayani pasien. Dalam perkembangannya, banyak yang tidak tertarik dan pelatihan ini harus ditutup di tahun 2008. Namun demikian, kurang lebih 1000 RHP sudah dididik di provinsi tersebut. Pada tahun 2006, di Assam, pelatihan yang sama sudah dilakukan. Pada tahun 2013, telah ditempatkan 370 RMA di pusat kesehatan masyarakatnya, sehingga mereka maksimal dalam berperan secara kuratif, promotif, dan preventif. Keberhasilan ini telah membentuk persepsi pembuat kebijakan di India untuk bisa menerima mereka sebagai tenaga kesehatan tingkat menengah. Tantangannya adalah, karena banyaknya “quack” di India, banyak dari mereka yang kemudian menyebut dirinya dokter dan melakukan praktek pengobatan di luar pengawasan dokter yang sesungguhnya.

Di Nepal, hal yang sama diterapkan untuk kesehatan ibu. Nepal telah mendidik dan menempatkan sekitar 4000 wanita “skilled birth attendants (SGAs)” yang dapat dipanggil sewaktu-waktu selama 24 jam. Namun penelitian oleh Alison Morgan dari Nossal Institute for Global Health, University of Melbourne ini hanya mewancara 22 orang wanita SGA. Para informan ini mengakui ada beberapa factor yang dibutuhkan agar lingkungan dapat menerima mereka, termasuk adanya dukungan yang terus-menerus terhadap mereka, infrastruktur yang memadai, supply dan obat yang adequate, serta jalur rujukan yang tepat dari sisi waktu maupun tempat. Mereka juga mengatakan bahwa lebih baik bekerja berpasangan daripada sendirian. Dengan adanya informasi dari penelitian ini, peneliti mengatakan bahwa pedoman kesehatan ibu harus diubah dan memasukkan di dalamnya semua temuan yang ada dalam penelitian ini.

Di Indonesia, pelatihan dan pendidikan seperti ini sudah banyak dilakukan. Namun, penelitian untuk mengevaluasi keberadaan mereka jarang dilakukan. Pelatihan setahun atau dua tahun kepada bidan desa adalah hal yang sama seperti di Nepal, namun banyak hal harus dievaluasi dari program tersebut dan hasilnya perlu untuk disebarluaskan.

Simposium 3, 3 Oktober 2014

PA030411

Future scenarios: Health system development and research beyond the MdGs

Chair: Tim Evans, Member of the Board, Health Systems Global

PA030411Panelis dalam plenary ini antara lain, Sara Bennett, Associate Professor, Johns Hopkins School of Public Health, USA; Keith Cloete, Chief Director, Metro District Health Services, Western Cape Government, South Africa; Abdul Ghaffar, Executive Director, Alliance for Health Policy and Systems Research, WHO, Geneva; Sharmila Mhatre, Programme Leader, International Development Research Centre, Canada, dan Amit Sengupta, Associate Global Coordinator, People’s Health Movement, India. Anne Musava, a representative of the Emerging Voices

Sebagai sesi penutup dari simposium global ini, beberapa poin penting perlu digarisbawahi. Apa yang harus dilakukan setelah ini? Baik dalam menyambut berakhirnya era MDG dan juga dalam mengembangkan sistem kesehatan yang lebih berpusat pada masyarakat (“people centred health system”). Dalam sesi plenary ini, beberapa poin penting akan diangkat dan diharapkan dapat menjadi agenda utama para peneliti, pembuat kebijakan, dan praktisi kebijakan dalam peran masing-masing dalam meningkatkan kinerja sistem kesehatan global.

Sesi dimulai dengan pembukaan oleh Tim Evans selaku moderator. Tim Evans menggarisbawahi bahwa walaupun simposium ini akan segera ditutup, pekerjaan sebagai peneliti sistem kesehatan baru saja mulai dan menghasilkan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama. Apa yang harus dilakukan bersama dengan masyarakat, pelaku dan pengambil kebijakan, agar sistem kesehatan global yang ada menjadi lebih baik dan berpusat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Para panelis diminta untuk memberikan beberapa poin kunci yang didapatkan dari simposium ini dan dari berbagai diskusi yang harus dilanjutkan dengan praktek nyata di bidang masing-masing.

Poin penting yang dikemukakan antara lain pembuat kebijakan dan praktisi di level distrik adalah kunci penting dalam pengembangan sistem kesehatan. Lalu, membentuk people-centred health system. Pentingnya penguatan kapasitas riset baik di level peneliti maupun praktisi dan pembuat kebijakan dalam hal sistem kesehatan yang lebih berpihak pada masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai pusat sistem kesehatan. Peneliti seringkali merasa berada di luar sistem kesehatan, dan justru tidak menempatkan dirinya sebagai bagian dan juga mengalami dampak dari sistem kesehatan yang belum baik. Peneliti seharusnya tidak berada di luar sebagai pengamat, tapi serharusnya menjadi advokator yang membawa suara keadilan sosial melalui advokasi kesehatan dan masukan yang dapat memfasilitasi suara masyarakat dan pelaku kebijakan. Satu hal yang juga penting adalah people-centred health system tidak hanya sekedar menempatkan masyarakat di tengah, tapi dengan menjadikan masyarakat sebagai partner utama dan membantu menyuarakan kepentingan masyarakat dalam memperbaiki sistem kesehatan itu sendiri.

Peneliti cenderung terkotak dan menjadikan publikasi di jurnal internasional sebagai target penting dalam penelitian, termasuk dalam penelitian tentang sistem kesehatan. Namun, siapa sebenarnya yang mendapatkan manfaat dari publikasi-publikasi ini? Apakah publikasi ini dibaca oleh para pengambil kebijakan? Apakah publikasi tersebut memberikan perubahan terhadap implementasi kebijakan dan membantu perbaikan sistem kesehatan? Mungkin ini saatnya untuk mempertimbangkan cara-cara komunikasi lain yang lebih efektif, yang lebih mengarah pada solusi praktis yang dapat digunakan bersama dengan masyarakat, manajer kesehatan, dan pengambil kebijakan di level lokal serta nasional, dan bahkan global.

Dalam Sustainable Development Goals (SDGs), terdapat 17 target global. Namun, tidak seperti halnya MDGs, kesehatan hanya memiliki satu target, yaitu target nomor 3. Konsekuensi penting dari SDGs ini adalah kini saatnya kesehatan dilihat tidak hanya sebagai beberapa target penting, tetapi justru sebagai tujuan utama dari seluruh kegiatan kemanusiaan yang ada. Apabila kegiatan pendidikan dilakukan dengan baik, kegiatan di area gender dicapai dengan optimal, dan kegiatan di bidang sosial dapat diwujudkan dengan baik, maka kesehatan global pun akan tercapai secara optimal.

Tantangan dalam perbaikan sistem kesehatan yang sangat penting untuk diperhatikan adalah:

  • Bagaimana caranya kolaborasi dapat terbangun antara pembuat kebijakan, peneliti, dan praktisi di level daerah untuk dapat bersama-sama mengembangkan sistem kesehatan bersama? Salah satunya adalah melalui interkolaborasi yang dibangun terus-menerus, mulai dari pengembangan penelitian, pembuatan kebijakan, implementasi, dan evaluasi program kesehatan.
  • Kesinambungan penguatan kapasitas pengembangan sistem kesehatan antar stakeholder yang berbeda-beda
  • Menyamakan “bahasa” yang digunakan dalam interpretasi pengembangan sistem kesehatan dan saling berbagi pengalaman antar praktisi kesehatan, pembuat kebijakan dan peneliti sistem kesehatan

 Reporter : Tiara Marthias

Research and Film: What is The Value for Health Systems Research and Training

Sesi ini menarik karena memuat inovasi dalam proses menyampaikan hasil kegiatan/penelitian dengan suatu film dokumenter. Moderatornya adalah Jeff Knezovich (Policy influence and research uptake manager, Institute of Development Studies, UK), Natalie Leon (Health System Unit, Medical Research Council, South Africa), Sabine L can Esland (Stellenbosch University, South Africa).

Reportase sesi ini diharapkan dapat menginspirasi para peneliti sistem kesehatan di Indonesia untuk menggunakan cara-cara inovatif dalam menyampaikan hasil kegiatan/penelitian pada pengambil kebijakan seperti film dokumenter. Film-film yang diputar pada sesi ini meliputi:

  1. Changing Lives (Part 3) yang dibuat oleh Strengthening South Africa’s Response to HIV and Health (SARRAH). Film ini memuat pencapaian-pencapaian program pengendalian HIV/AIDS di Afrika Selatan dan kontribusi dari organisasi komunitas dalam melakukan advokasi pada pemerintah.


  2. Swithching the poles yang dibuat oleh Institute of Tropical Medicine, Belgium. Film ini menceritakan prinsip dan penerapan kolaborasi horisontal antara northern dan southern countries dalam peningkatan kapasitas penelitian sistem kesehatan dan program kesehatan masyarakat di India dan Africa Selatan.
  3. The gift of fatherhood, dibuat oleh Sonke Gender Justice South Africa. Film ini memuat tentang pentingnya pola asuh ayah sebagai salah satu determinan sosial yang penting dalam kesehatan.
  4. Implementation research toolkit to improve health systems, dibuat oleh TDR Special Programme for Research Training in Tropical Diseases, WHO, Geneva. Film ini menceritakan tentang proses merancang dan menguji coba WHO toolkit.
  5. Democratising mental health: an introduction to PRIME in Nepal, dibuat oleh Programme for Improcing Mental Health care (PRIME). Film ini menceritakan upaya yang dilaksanakan PRIME dalam integrasi pelayanan kesehatan mental di Nepal.

Setelah pemutaran film dilanjutkan diskusi antara produser dan para penonton. Hal-hal yang disimpulkan dari diskusi adalah pertama, film dokumenter merupakan cara strategi komunikasi yang sangat baik untuk dipakai dalam menyampaikan hasil suatu program kesehatan atau penelitian pada pengambil kebijakan. Kedua, agar efektif, maka film harus dibuat pendek dan jelas siapa audiens yang ditarget dari film yang dibuat. Namun demikian, tantanganya adalah soal etika, terutama dampak-dampak karena memuat gambar pasien/masyarakat dengan nama. Oleh karena itu, persetujuan dari para narasumber dan pasien/masyarakat yang dilibatkan harus ada. Selain itu, perlu adanya surat persetujuan etik (ethical clearance) atas film yang dibuat.

Sesi ini tidak menyajikan materi presentasi, namun seluruh daftar film akan dimuat di website conference setelah conference selesai.

Reporter : Ari Probandari