Pleno 1.2

pleno1-2

Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kesehatan Masyarakat

pleno1-2

Sulistiono (Ketua MTKI), memaparkan bahwa Surat Tanda Registrasi (STR) yang merupakan bukti tertulis dan dikeluarkan oleh MTKI dapat berlaku secara nasional maupun internasional. Saat ini hampir 34 ribu tenaga kesehatan masyarakat yang telah memiliki STR, dan terbanyak berasal dari Provinsi Sulsel (6000-an orang). Sulistiono menambahkan bahwa tenaga dengan jabatan fungsional atau dengan pengalaman tertentu yang ditetapkan oleh organisasi profesi sendiri, bisa mendaptakan sertifikasi meskipun secara pendidikan tidak melewati jenjang tertentu.

materi

Usman (Kepala Badan PPSDM Kementeran Kesehatan) mengatakan bahwa seharusnya kompetensi puskesmas diperkuat untuk mencegah semakin meningkatnya PTM. Data menunjukkan bahwa penanganan penyakit jantung telah menghabiskan anggaran JKN sebesar Rp 3,5T padahal kasus ini ada di urutan keempat terbanyak. 80% dana JKN digunakan untuk kuratif. IDI telah mengusulkan agar komposisinya diubah menjadi 50 : 50, untuk memperbesar kapitasi. Penyebaran tenaga kesehatan menunjukkan kecenderungan dimana kebanyakan nakes mengisi daerah-daerah barat dan kota besar. Hanya tenaga sanitarian yang menunjukkan pola sebaliknya, yaitu makin ketimur dan perifer makin banyak. Saat ini ribuan puskesmas masih kekurangan tenaga kesehatan. Diproyeksikan kebutuhan tenaga kesehatan untuk mengisi puskesmas-puskesmas tersebut adalah sebanyak hampir 63 ribu tenaga. Tahun 2019 ada lebih dari 56 ribu tenaga kesehatan sudah akan ditngkatkan kompetensinya.

materi

Anung Sugihantono (Dirjen Kesehatan Masyarakat) menggelitik peserta dengan pertanyaan siapa yang bertanggungjawab terhadap pengeluaran rumahtangga yang komposisinya lebih banyak untuk belanja makanan instan (26%) dan rokok (hampir 13%). Menurutnya, dengan perubahan generasi X dan Y menjadi generasi Z saat ini, para ahli kesehatan masyarakat harus pandai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda, dan bukan hanya membicarakan mengenai trend kesakitan maupun prevalensi melainkan sampai keukuran-ukuran ekonomi, misalnya berapa kerugian dari banyaknya pasien dialysis perbulan yang menyerap APBN maupun APBD.

materi

IAKMI – sebagaimana dipaparkan oleh Dedi Supratman (Ketua UKSKMI) – telah melakukan berbagai upaya strategis untuk mewujudkan profesi kesehatan masyarakat yang mutunya diakui, misalnya dengan mengebangkan instrument untuk uji kompetensi dan menjalin MoU dengan berbagai instansi yang terkait. Sayangnya, hasil uji kompetensi yang dipaparkan oleh Agustin Kusumayanti menunjukkan bahwa kurang dari 40% peserta uji yang lulus. Artinya, mutu sarjana kesehatan masyarakat masih rendah dan sangat bervariasi antar – perguruan tinggi. 

silahkan klik materi dedi supratman dan agustin kusumayanti  materi 1   materi 2

Reporter: Putu Eka Andayani

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

 

{jcomments on}

 

Presentasi Oral Hari 3

oral5

Ekonomi Kesehatan

oral5Dwi Handono dari PKMK FK UGM memaparkan hasil penelitiannya mengenai kendala penyerapan Jampersal di salah satu kabupaten di Kalimantan Barat. Pembiayaan melalui program Jampersal di tahun 2016 ini dimanfaatkan untuk operasional rumah tunggu, operasional pelayanan kesehatan di rumah tunggu serta biaya transportasi rujukan persalinan. Daerah-daerah dengan karakteristik perdesaan ataupun terpencil membutuhkan rumah tunggu untuk mengantisipasi komplikasi maternal, namun demikian dana Jampersal tersebut belum terserap karena kurang terperinci-nya juklak/juknis, belum adanya Perda yang mengatur besaran biaya perjalanan untuk jarak tertentu, serta belum ada standar biaya dan fasilitas rumah tunggu yang akan disewa.

Peneliti lain dari PKMK FK UGM mengangkat topik kesetaraan alokasi pembiayaan program kesehatan antar wilayah perkotaan dan perdesaan di 3 kabupaten di Papua. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa belum ada pedoman dalam perencanaan dan penganggaran yang spesifik mengarahkan perlunya alokasi secara khusus untuk wilayah perdesaan atau terpencil, guna memastikan bahwa dana dimanfaatkan dan dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat dalam satu kabupaten.

Beralih ke isu di pelayanan kesehatan tingkat rujukan, Ryman Napirah dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tadulalako, Palu memaparkan hasil penelitannya mengenai costing Rumah Sakit melalui metode ABC, Activity Based Costing. Penelitian yang mengambil RS Anutapura sebagai lokasi penelitian menggunakan metode penghitungan costperawatan di Rumah Sakit berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh 3 kelompok pos pembelanjaan, yakni: 1) Unit level activity meliputi: telepon, listrik, air, makan-minum, perawat; 2) batch level activity: biaya kebersihan, bahan habis pakai, dan administrasi, serta; 3) Facility level activity: meliputi biaya laundry, gedung dan fasilitas. Dari analisis tersebut, Ryman menemukan bahwa perhitungan cost dengan metode ABC menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan penghitungan cost model tradisional. Ryman menutup sesinya dengan merekomendasikan penggunaan metode ini ke depannya untuk meningkatkan transparansi dan akurasi penghitungan unit cost di Rumah Sakit.

Nurfardiansyah Bur dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia, Makassar mengangkat isu hubungan antara bauran pemasaran Rumah Sakit Umum Daerah di Gowa dengan loyalitas pelanggan. Dalam dunia pemasaran, dikenal istilah ‘bauran pemasaran’ yang dapat diartikan sebagai alat perusahaan untuk memperoleh respon yang diinginkan dari pasar. Penelitian Nurfardiansyah mengambil sampel 114 pasien rawat dinap di RSUD Gowa dan melihat berbagai aspek pelayanan, antara lain: promosi, tenaga kesehatan penyedia pelayanan kesehatan, proses pelayanan, dan fasilitas fisik. Hal yang menarik adalah bahwa fasilitas fisik, promosi serta penyedia pelayanan kesehatan yang baik menjadi faktor-faktor yang berpengaruh pada loyalitas pasien, sedangkan proses pelayanan tidak berpengaruh pada loyalitas pasien. Tidak berhubungannya antara proses pelayanan dengan loyalitas dapat saja disebabkan oleh status pasien yang sebagian besar anggota BPJS Kesehatan dan status RS sebagau milik pemerintah, sehingga cenderung memiliki loyalitas tinggi.

Reporter: Likke Prawidya Putri, MPH

Penyakit Epidemiologi 4

oral9Pada simposium penyakit epidemioogi bagian 4 yang merupakan sesi presentasi oral yang melibatkan 8 peserta Konas dari berbagai daerah di Indonesia. Topik yang dibahas sangat beragam, mulai dari diare, polio, hingga TB-HIV.

Presentan pertama adalah Retno Mardhiati yang memaparkan hasil penelitian dengan judul faktor yang paling berperan dalam upaya kader care. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kesembuhan mencapai 87%. Pasien yang sembuh adalah didominasi oleh responden berumur tua, jenis kelamin laki-laki, berpendidikan rendah serta rata-rata berpenghasilan rendah dengan waktu luang yang lebih banyak. Hipotesis utama menunjukkan bahwa PMO, dukungan keluarga dan kader berpengaruh terhadap kesembuhan pasien TB.

Presentan kedua yang tampil adalah Zulkifli yang mengupas tentang hubungan factor lingkungan dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare. Dalam penjelasannya, diare yang dimaksud dalam penelitian ini adalah diare akut dimana diare yang terjadi selama 14 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu hanya mengetahui saja tetapi belum bisa mengimplementasikan berbagai pendekatan kebersihan lingkungan. Faktor lingkungan dan pengetahuan ibu mempengaruhi kejadian diare, dimana pengetahuan adalah faktor yang paling besar pengaruhnya.

Ricky Hamdani dari Universitas Airlangga melakukan penyelidikan terhadap penyakit difteri, Untuk angka kasus penyakit difteri, Indonesia berada di peringkat kedua dunia. Di kabupaten Mojokerto sendiri, terdapat 22 kasus difteri pada tahun 2015. Metode penelitian menggunakan formulir penyelidikan KLB. Pasien yang merasa demam dan setelah diteliti lagi maka terdapat pseudo membrane maka pasien tersebut termasuk dalam sampel penelitian. Rekomendasi mengarah kepada penanganan pasien difteri adalah pemberian ADS dan pemeriksaan kontak

Rosa Hadisaputra menyampaikan materi tentang efektivitas vaksin polio. Pada saat ini penggunaan polio IVP tidak berisiko menurunkan virus polio dari vaksin sehingga penting untuk terus didorong Selain itu faktor penting pendukung efektivitas imunisasi polio adalah keterlibatan masyarakat dan pelaporan aktif, penggunaan formulir FP-PD dan PWS KLB, pengetahuan petugas, dan cakupan imunisasi.

Cicilya Windyaningsih memaparkan determinan ketahanan hidup ODHA di kota Jambi. Sampel terdiri dari 181 ODHA dengan kasus paling banyak meninggal adalah permasalahan yang kombinasi. Temuan penelitian ini bahwa pengobatan, umur, jumlah CD4 dan tingkat pendidikan adalah variabel yang dominan dimana semua faktor memiliki peran hingga 18% terhadap kondisi ketahanan hidup. Saran penelitian ini adalah diagnosis dan treament yang tepat sehingga pasien ODHA dapat lebih lama bertahan.

Syamsa Latif, seorang mahasiswa yang sedang menyusun disertasi dengan topik implementasi sistem skoring Indonesia dalam diagnosis tuberkulosis. Sistem skoring telah lama ada di Indonesia namun belum efektif. Sehingga perlu adanya modifikasi sistem skrining. Model yang dibentuk adalah model tambahan pada model sebelumnya (SSI). Kesimpulan implementasi disertai modifikasi dari SSI ternyata meningkatkan temuan penderita TB sampai 40%.

Thresya Febrianti menyebutkan bahwa faktor fisik rumah telah menyebabkan TB paru, kondisi rumah sehat tidak lebih dari 40 % kelembaban, pencahayaan, dan suhu, Selain itu, terdapat hubungan antara kondisi fisik terdiri dari pencahayaan, luas jendela, jenis dinding, dan jenis lantai rumah.

Reporter Faisal Mansyur

Presentasi Oral Jaminan Kesehatan Nasional 1

Presenter pertama adalah Budi Eko Siswoyo dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Budi mempresentasikan hasil penelitiannya yang berjudul “Cakupan Kepesertaan Sektor Informal dalam Program JKN dan Studi Kasus di Provinsi DIY”. Sekitar 20,41 % penduduk DIY termasuk pekerja sektor informal (DIY dalam angka, 2013) dan sekitar 33,60 % di antaranya adalah kelompok pekerja yang berusaha sendiri. Cakupan PBPU pada pekerja sektor informal di DIY masih sangat rendah dan peningkatannya kurang signifikan. Dari 200 responden pekerja sektor informal, mayoritas memiliki pendapatan 2x dari UMR Provinsi DIY, jadi tidak semuanya miskin. Pekerja kasar adalah kelompok yang paling rendah kesadarannya untuk ikut JKN, padahal paling rentan terhadap kecelakaan kerja.

Hasil studi menunjukkan bahwa responden memahami pentingnya JKN namun cenderung menunda kepesertaan karena menganggap manfaat dan prosedurnya rumit, serta pemahaman yang minim. Keluhan dari peserta menular ke masyarakat yang belum menjadi peserta dan menambah keengganan untuk menjadi peserta. Untuk meningkatkan kesadaran pekerja informasl, rekomendasinya adalah memperbaiki sarana dan konten prioritas sosialisasi, program layanan tambahan, penanganan keluhan masyarakat dan kajian dan monev JKN lebih lanjut.

Presenter kedua – Evindiyah PD, mahasiswa Prodi S3 FKM UI – membawakan makalah berjudul “Analisis Tingkat Penutupan Biaya Klinik Swasta “X” terhadap Pembayaran Kapitasi BPJS di Kota Depok Tahun 2015 “Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masih sangat kurangnya penilaian yang terkait dengan masalah penutupan biaya klinis. Tujuannya mendapatkan Angka Penutupan Biaya (Cost Recovery Rate/CRR) dari kapitasi yang dibayarkan BPJS terhadap seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Klinik Swasta “X” di Kota Depok Tahun 2015. Hasilnya, Klinik X mendapatkan penerimaan dari kapitasi yang dibayarkan oleh BPJS sebesar Rp.10.000,- per peserta per bulan selama 6 bulan (bulan Januari –Juni 2015). Total penerimaan kapitasinya adalah Rp.1.426.250.000,- Untuk Cost Recovery Rate (CRR) atau Angka Penutupan Biaya) selama 6 bulan adalah 119,1%, artinya penerimaan yang didapat bisa menutup seluruh biaya yang dikeluarkan untuk melayani peserta BPJS ditambah klinik mendapatkan surplus (keuntungan)

Presenter ketiga – Ghofur Hariyono, FK UGM – berjudul “Implementasi Prosedur Admisi Pasien Rawat Inap Peserta Jaminan Kesehatan Nasional di RSUD Dr. Soetomo Surabaya”. Sejak JKN, pasien rawat inap yang menjadi peserta JKN menunjukkan trend yang meningkat, padahal sistem rujukan berjenjang sudah diatur oleh pemerintah. Ternyata, pasien peserta JKN yang berobat langsung mengakses fasilitas kesehatan lanjutan ketika membutuhkan layanan kesehatan, seharusnya pasien mematuhi sistem rujukan secara terstruktur dan berjenjang. Manajemen rumah sakit kurang responsif terhadap kebutuhan sarana prasarana, seharusnya menyediakan kecukupan tempat tidur, ruang tunggu, dan sarana informasi yang cukup memadai sesuai dengan kebutuhan tempat tidur pasien yang naik kelas perawatan. Pengelolaan sistem informasi rujukan yang belum terpadu antara fasilitas kesehatan yang merujuk pasien dengan fasilitas kesehatan yang dituju.

“Program Prolanis dalam Penerapan Kebijakan Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Kota Bengkulu” yang dibawakan oleh Henni Febriawati adalah presentasi terakhir pada sesi paralel ini. Puskesmas dikatakan berhasil bila angka kontak tinggi, angka rujukan non spesialistik rawat jalan rendah dan pengelolaan prolanis yang efisien dan efektif. Harapan tehadap peran puskesmas mencakup bukan hanya melayani kunjungan pasien sakit melainkan juga melayani kunjungan masyarakat sehat.

Ada 20 puskesmas di kota Bengkulu, hanya 6 yang masuk ke zona prestasi (skor sama dengan atau lebih dari 99%) dan zona aman (skor sama dengan atau lebih dari 50%). Senam rutin dan edukasi dilakukan oleh puskesmas-puskesmas yang masuk zona aman dan prestasi. Puskemas yang tidak masuk dalam zona aman dan zona prestasi oleh presenter digolongkan ke dalam zona merah. Kelompok puskesmas ini memiliki sarpras pendukung yang masih terbatas, Masyarakat tidak mengikuti keg. Preventif dan Promotif serta tidak patuh prolanis dan masyarakat belum terdata sbg penderita DM tipe 2. Kesimpulan dari penelitian ini: 1) Pembayaran kapitasi puskesmas di Kota Bengkulu masih sangat jauh dari target, yaitu 75% puskesmas % pembayarannya dibawah 100% dan 2) besaran kapitasi rata-rata puskesmas kota Bengkulu Rp. 5.125,- dari maksimal Rp. 6.000,- . dana kapitasi (pea).

Reporter : Putu Eka Andayani, M. Kes

Presentasi Oral Jaminan Kesehatan Nasional 2

Juanita
Evaluasi klaim JKN di RSUD dan RS swasta di Sumatera Utara

Penelitian berfokus pada klaim JKN di RSUD dan RS Swasta, merupakan studi deskriptif dengan menggunakan data klaim JKN 6 RS di daerah Sumatera Utara tahun 2014 – 2016. Menarik, di RS Sibolga pembayaran dilakukan > dari yang diklaimkan. Di semua sample RS, terlihat trend peningkatan klaim. Klaim di RS swasta juga lebih besar daripada RSUD. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak RS di daerah Sumatera Utara yang kurang lengkap peralatannya cenderung merujuk pasiennya ke RS swasta. Data juga menunjukkan bahwa mayoritas adalah pasien JKN mandiri dengan penyakit kronis. Ini merupakan peluang penghematan karena PTM sebenarnya dapat dicegah dengan promotif preventif.

Kasman Makkasau
Kerugian Ekonomi vs Asuransi Kesehatan

Argumentasi yang diajukan adalah pentingnya melakukan advokasi khususnya kepada pimpinan daerah. Caranya dengan belajar dari sektor lain (dalam hal ini Pekerjaan Umum) yaitu menunjukkan kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan. Misalnya, disinyalir ada kerugian ekonomi di Kabupaten Polman pada tahun 2013 sebesar Rp.62 milyar. Artinya, pemerintah daerah harus bertindak untuk mencegah potensi kerugian ini. Hasilnya, program jaminan kesehatan Provinsi Sulbar diterapkan dengan bekerja sama dengan PT Askes untuk memastikan bahwa pesertanya tetap mendapat pelayanan walaupun tengah berada di provinsi lain.

Maxsi Irmanto
Implementasi JKN pada Puskesmas di Provinsi Papua Tahun 2016

Penelitian yang dilakukan di Jayapura (5 Puskesmas) dan Jayawijaya (8 Puskesmas) tahun 2016 ini menunjukkan beberapa masalah dalam pemanfaatan dana kapitasi yang dipersepsikan kurang fleksibel karena sudah ditentukan proporsinya, dan ada penambahan beban kerja pegawai Puskesmas yang tidak diikuti oleh penambahan staf. Di samping itu, pemanfaatan dana Non kapitasi juga dirasa belum optimal karena pengajuannya diberi persyaratan administrasi yang rumit. Selain itu, banyak penduduk yang belum memiliki kartu BPJS. UKM masih bertumpu pada dana BOK dan Otsus. Disarankan bahwa pelaksanaan JKN harus mempertimbangkan aspek kewilayahan khususnya mempertimbangkan faktor geografis dan indeks kemahalan.

M. Faozi Kurniawan
Supply Side Kesehatan dan Equity

Penelitian memperlihatkan bahwa jumlah spesialis dasar per provinsi menunjukkan pertumbuhan besar masih terpusat di DKI dan Jawa Barat diikuti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pola yang sama terulang di semua jenis profesi termasuk bidan dan perawat. Pertumbuhan Puskesmas juga masih tertinggi di Jawa, diikuti oleh Sumatera. Sementara untuk RS, walaupun pertumbuhannya tinggi tapi ternyata pertumbuhan yang paling pesat terjadi di sektor swasta. Begitu pula dalam hal tempat tidur (TT), walaupun TT sektor publik masih jauh lebih banyak, tetapi pertumbuhannya yang pesat tetap di sektor swata. Akibatnya dapat diperkirakan bahwa klaim JKN masih tertinggi di Jawa. Ditekankan bahwa selama pembangunan infrastruktur kesehatan belum menjadi prioritas di RPJMN dan RPJMD maka sisi supply masih akan mengalami kekurangan.

Endang Sutisna
Monitoring dan Evaluasi JKN di Karanganyar dan Kota Surakarta

Penelitian memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan nyata dengan pengetahuan tentang BPJS. Terdapat perbedaan yang sangat nyata mengenai persepsi pemberi pelayanan kesehatan terhadap dampak sistem kapitasi pada kualitas pelayanan menurut perdesaan dan perkotaan. Disinyalir ada pula persepsi bahwa sistem kapitasi memiliki hubungan yang negatif dengan kepuasan layanan.

Isniati
Analisis Tingkat Kepuasan Pasien Peserta JKN di Puskesmas Kota Padang tahun 2016

Penelitian cross-sectional dengan kerangka servqual menunjukkan bahwa beberapa atribut masih membutuhkan perhatian, yaitu atribut kenyamanan ruang tunggu pasien, jadwal ketepatan jadwal pelayanan, kecepatan tindakan nakes dalam menangani pasien, keramahan nakes dan perhatian nakes terhadap keluhan pasien.

Andi N. Amin
Kemampuan stakeholder dalam melaksanakan JKN di RSUD Yowari Kabupaten Papua

Terlihat dari hasil wawancara (pada tahun 2015) faskes masih belum mampu memberikan layanan yang komprehensif misalnya dari 145 TT hanya 121 yang bisa digunakan, ambulans ada 2 namun yang bisa beroperasi hanya 1. Selain itu, belum ada regulasi pelaksanaan JKN di Kabupaten Jayapura, terutama karena Kartu Papua Sehat masih menjadi prioritas dibanding JKN. Selain itu, dari sisi persediaan obat dan alkes, banyak masih kekosongan akibat perencanaan yang digunakan masih didasarkan pada tahun sebelumnya. Selain itu, mereka belum memahami cara mencari dan membeli obat dengan E-katalog. Dari sisi SDM, karena tidak ada dokter spesialis, pasien harus dirujuk. Tenaga bidan dan perawat sangat minim. Sosialisasi yang sudah dilakukan dinilai kurang karena pelaksanaan sosialisasi tidak berarti bahwa informasi sudah dipahami.

Gizi dan 1000 HPK-8

oral6Dalam sesi ini, dilaksanakan presentasi oral dari hasil studi peserta yang berkaitan dengan tema utama yaitu Gizi dan 1000 Hari Pertama Kehidupan-8. Pada presentasi pertama, ada judul yang agak berbeda dengan tema besar, namun presentasi tetap dapat dilanjutkan karena materinya sangat menarik, yaitu tentang Integrasi Manajemen dan Regulasi pada Program Pengobatan ARV dalam Sistem Kesehatan di Kota Makassar. Presentasi ini disampaikan oleh Shanti Riskiyani dari Universitas Hasanudin Makassar. Studi yang dilakukan merupakan hasil kerjasama juga antara DFAT Australia, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM, dan Universitas Hasanudin Makassar. Latar belakang dalam pengambilan studi ini adalah terkait dengan Sulawesi Selatan khususnya Kota Makassar sejak 2014 menjadi wilayah pelaksanaan inisiatif penggunaan ARV untuk pengobatan dan pencegahan yang dikenal dengan Strategic Use of ARV (SUFA). Tujuannya untuk menemukan mekanisme integrasi manajemen dan regulasi pada program pengobatan ARV ke dalam sistem kesehatan di Kota Makassar. Dikatakan bahwa dukungan kepatuhan dan ketersediaan ARV diperlukan dari pemerintah. Program Puskesmas LKB dan SUFA meningkatkan jumlah orang yang tes HIV, peran partisipasi masyarakat khususnya tenaga penjangkau mendorong kelompok resiko tinggi untuk tes HIV, dan pentingnya peningkatan integrasi antarlembaga dan kepentingan.

Presentasi kedua disampaikan oleh Nuryani dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Gorontalo. Presentasi yang disampaikan berjudul Hubungan Pola Pemberian ASI dan MP ASI dengan Status Gizi Balita di Desa Tinelo, Kabupaten Gorontalo. Penelitian ini menekankan di awal bahwa Asupan gizi yang baik dan cukup dapat mendorong pertumbuhan, perkembangan, dan status sehat balita. Fokusnya adalah pada pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dan dilanjutkan MP ASI yang aman dan cukup. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara pola pemberian ASI dan MP ASI dengan status gizi balita di desa Tinelo, Kabupaten Gorontalo. Dalam presentasi dikatakan bahwa ada pengaruh dari tingkat pengetahuan ibu mengenai usia optimal mendapatkan MP ASI dengan pemberian MP ASI dini. Selain itu, disarankan pula untuk sikap proaktif masyarakat dalam melakukan penimbangan dan pengukuran tinggi badan balita.

Terakhir, sebagai penutup sesi presentasi oral hari ini, presentasi ketiga disampaikan oleh Eka Prasetia dengan judul Hubungan Asupan Protein dengan Kadar Ureum dan Kreatinin pada Penderita Gagal Ginjal Kronik Sebelum Terapi Hemodialisis di Rumah Sakt Umum Daerah
(Rsud) Undata Palu. Penelitian ini merupakan kerjasama antara Bagian Kimia FKIP Universitas Tadulako Palu, Bagian Gizi RSUD Undata Palu, dan Bagian Gizi FKM Unismuh Palu. Dari studi yang disampaikan ditemukan bahwa asupan protein berhubungan dengan kadar ureum dan kreatinin pada pasien gagal ginjal kronik. Menindaklanjuti hal ini dikatakan perlu ada penyuluhan dan konseling gizi untuk pasien tentang terapi diet untuk mengendalikan kadar ureum dan kreatinin dalam darah.

Reporter : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes

Presentasi Oral – KB dan Kespro

Mengambil tema Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi, sesi ini diisi oleh 7 presenter dari berbagai daerah di Indonesia. Yang pertama adalah Dessy Ramayanti dari Dinas Kesehatan Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Di daerah ini, membicarakan kesehatan reproduksi diidentikkan dengan seks sehingga dianggap tabu. Agar program sosialisasi kepada remaja tetap dapat berjalan, Dinas Kesehatan mengambil tindakan inovatif, yaitu dengan menggunakan kesenian tradisional daerah madihin. Pesan-pesan kesehatan disampaikan melalui baris-baris puisi yang diiringi dengan musik Banjar. Informasi kesehatan yang disampaikan dengan cara ini terbukti efektif meningkatkan pengetahuan pelajar di sekolah mengenai kesehatan reproduksi.

Presenter kedua, dr. Leo Prawirohardjo, Sp.OG, Ph.D menyampaikan mengenai cara memotivasi ibu-ibu yang datang ke RSIA Siti Fatimah, Makassar untuk menggunakan kontrasepsi IUD dan implan. KB termasuk pelayanan kesehatan dasar yang penting untuk mengendalikan kuantitas penduduk agar menghasilkan generasi yang berkualitas. Kementerian Kesehatan juga memasukkan pelayanan KB sebagai salah satu benefit package dalam JKN. Saat ini, penggunaan metode kontrasepsi yang paling tinggi adalah suntik, sementara IUD dan implant sudah terbukti lebih efektif malah berkurang jumlah pengunanya. Untuk mendorong penggunaan alat kontrasepsi ini, RSIA Siti Fatimah membuat Poli Keluarga Berencana. Staf poli dilatih dengan materi effective communication untuk memberikan konseling sejak ibu datang untuk pemeriksaan ANC hingga saat ibu datang untuk imunisasi anaknya. Dengan konseling ini, diharapkan ibu wanita usia subur dapat memilih kontrasepsi yang efektif dan rasional. Di RSIA Siti Fatimah, penggunaan kontrasepsi IUD dan implant tebukti meningkat.

Selanjutnya, Ibu Masni memaparkan penelitiannya yang dilatarbelakangi oleh Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi di Sulawesi Tengah. Tingginya angka unmet need (persentase wanita kawin yang tidak ingin punya anak lagi atau ingin menjarangkan kelahiran berikutnya, tetapi tidak memakai alat/cara kontrasepsi) juga menyebabkan angka abortus sangat tinggi. Penelitian ini menunjukkan bahwa di RSUD Undata, Sulteng, ibu yang mengalami abortus rata-rata berusia 20-35 tahun (usia reproduski sehat) dan berpendidikan SMA ke atas. Sebagian besar dari mereka juga tidak bekerja di luar rumah, tidak menggunakan alat kontrasepsi dan tidak memiliki riwayat abortus.

Presenter keempat adalah Bapak Abe yang berasal dari NTB yang membuktikan bahwa pendekatan advokasi kepada pemerintah di tingkat kabupaten dan desa berhasil meningkatkan cakupan pengguna MKJP ( Metode Kontrasepsi Jangka Panjang). Dukungan kebijakan berupa Surat Edaran Bupati menghimbau pemerintah desa mengalokasikan 10 % dari Anggaran Dana Desa (ADD) untuk program KB dan Kesehatan. Hasilnya, tercatat 110 Perdes yang terbit dan terbentuk 10 tim KB desa dan 10 tim KB kecamatan. Selain itu, pendekatan budaya juga dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat untuk mengubah mindset masyarakat.

Presenter kelima, Bapak Asnawi Abdullah, melakukan penelitian di 3 kabupaten di NTT untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Tercatat di sepanjang tahun 2009-2014, AKI di ketiga kabupaten ini turun drastis secara konsisten. Sementara pada periode yang sama, daerah lain masih bergumul dengan sulitnya menurunkan AKI. Ternyata, pencapaian ini didukung oleh faktor kepemimpinan lokal yang kuat, inovasi dalam memecahkan masalah, kemampuan membangun kepercayaan stakeholders secara konsisten, mobilisasi masyarakat dan menumbuhkan rasa kepemilikan sehingga program penurunan AKI menjadi bagian dari tatanan dalam kehidupan bermasyarakat. Organisasi informal jejaring KIA, seperti Pekan Kesehatan Ibu dan Anak (PKIA) serta Paroki Siaga Lokal juga memainkan peran yang tidak kalah pentingnya. Dari temuan ini, tim peneliti menyimpulkan bahwa semua hal ini akan menjamin keberlanjutan gerakan program terpelaps dari ada atau tidaknya bantuan donor.

Presenter kedua terakhir adalah Ibu Emy Leonita dari Pekan Baru, yang mengidentifikasi perilaku suku Nias di Pekan Baru, dimana cakupan kelahiran dengan bantuan tenaga kesehatan masih rendah. Sebagian besar dari mereka bermata pencaharian sebagai buruh pembuat batu bata dengan rata-rata penghasilan Rp. 500,000 per keluarga per bulan. Faktor keterbatasan ekonomi membuat mereka enggan melakukan kunjungan ANC dan Posyandu, apalagi melahirkan di fasilitas kesehatan. Jaminan kesehatan juga tidak bisa diakses karena sebagian besar adalah pendatang dan tidak memiliki kartu identitas. Biasanya penolong persalinan adalah suami, ibu kandung atau ibu mertua. Sebelum melahirkan biasanya perut ibu hamil akan dipijat atau ditekan agar bayi cepat keluar. Mereka juga menggunakan pisau silet atau bambu untuk memotong tali pusar. Pasca melahirkan, ibu diberi minuman bersoda yang dipercaya dapat mengeluarkan darah kotor dengan cepat. Bila setelah beberapa hari pusar belum kering, maka pusar akan diolesi dengan bubuk kelopak pinang bakar.

Presenter ketujuh, sekaligus yang terakhir adalah mahasiwa FK Universitas Lambung Mangkurat yang mencoba mengidentifikasi apakah Angka Kematian Bayi (AKB) yang tinggi berhubungan dengan status ekonomi keluarga dan akses ke fasilitas kesehatan. Batasan status ekonomi yang dipakai adalah UMR Kabupaten Banjar, yakni Rp. 1,850,000 dan batasan untuk akses adalah jarak rumah ke fasilitas kesehatan sejauh 5 kilometer. Penelitian ini membuktikan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara AKB dengan status ekonomi maupun akses ke fasilitas kesehatan.

Presentasi Oral Hari 2

oral1

Kemitraan dalam Pembangunan Berkelanjutan

oral1Pembangunan berkelanjutan tentunya membutuhkan kerjasama lintas sektor. Peningkatan derajat kesehatan untuk masyarakat hidup sehat dan bahagia dalam mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan yang merupakan tajuk dari Konas IAKMI XIII Makassar, menyiratkan pentingnya kemitraan untuk mencapai visi Indonesia Sehat. Sesi presentasi oral pada hari Jum’at (05/11/2016) menghadirkan pemateri-pemateri yang telah terlibat dalam upaya inisiasi maupun eksekusi kemitraan lintas sektor.

Dari sektor KIA, Ketut Surmayaksa, Tuti Sumartinah, dan Deni Harbianto mengangkat berbagai pendekatan kemitraan yang berbeda dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Ketut menyasar pendampingan pada ibu hamil sebagai bagian dari program pengabdian mahasiswa untuk memastikan kunjungan antenatal diketahui dan dijalankan oleh ibu hamil. Tuti menggali potensi kemitraan yang dapat dilakukan Dinas Kesehatan dengan indung beurang (dukun bayi). Potensi indung beurang ke depan diharapkan dapat menjadi agen pemeliharaan kesehatan keluarga berbasis budaya dan agama untuk melengkapi fungsi bidan sebagai tenaga profesional. Deni, peneliti dari PKMK FK UGM, menggandeng SKPD Kesehatan dan SKPD terkait lainnya untuk melakukan Perencanaan Penganggaran Berbasis Bukti (PPBB) untuk mendukung perencanaan KIA berbasis permasalahan lokal.

Isu-isu menarik lainnya datang dariRisnah yang mengambil pendekatan Participatory Action Research (PAR) di Jeneponto dengan terlibat langsung untuk memberdayakan aset masyarakat bersama-sama warga setempat. Dengan upaya ini, Risnahingin membangun inklusi sosial yang dapat meningkatkan kemandirian individu. Ni Made Dian Kurniasari melakukan survey untuk melihat potensi pemberian informasi kesehatan pada wisatawan melalui pramuwisata di Bali. Dian menemukan bahwa pramuwisata memiliki efikasi dan keinginan untuk menjadi aktor kesehatan di sektor pariwisata.

Dito Anurogo melirik kerjasama keilmuan di sektor kesehatan dan melihat adanya potensi malconduct dan ketidaketisan yang terjadi saat ini dan akan terjadi di masa yang akan datang, terutama pada studi mengenai otak dengan teknologi yang semakin canggih. Dito mengungkapkan bahwa neuroetik (etika mengenai sistem syaraf) harus diturunkan, bukan lagi sebagai wacana tapi sudah merambah isu publik. Oedojo Soedirham menyoroti perubahan persepktif kesehatan masyarakat yang bukan lagi menyangkut sanitary tapi ke arah health setting. Persepektif ini adalah perspektif holistik lintas-sektor di mana kesehatan tidak hanya dilihat dari penyediaan infrastruktur tetapi juga dengan memodifikasi lingkungan dan budaya. Oedojo mencoba menjelaskan perspektif ini untuk melihat kemungkinan diterapkannya health promoting university, di mana pengelola universitas secara aktif membangun healthy setting di kampus.

Singkatnya waktu dan banyaknya pembicara membuat sesi ini terkesan terburu-buru dan alokasi untuk waktu tanya jawab dihilangkan. Meski demikian, peserta dapat melihat potensi berbagai jenis kemitraan baik yang dilakukan oleh universitas, dinas kesehatan, bahkan dinas pariwisata.. Sesi ini memberikan gambaran yang menarik bagaimana memanfaatkan kemitraan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan.

reporter : Insan Rekso Adiwibowo

Gizi dan 1000 Hari Pertama Kehidupan

oral7

Nasrul, SKM, MKes

Pembicara pertama mempresentasikan suatu hasil penelitian yang berjudul “Determinan stunting pada anak usia 6-23 bulan di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah”. Pembicara menyatakan bahwa determinan utama stunting pada bayi kelompok 6-23 bulan di Kota Palu berasal dari masalah gizi pada fase ibu hamil, rendahnya kecukupan ASI serta kurangnya pengetahuan masyarakat terutama ibu hamil dan ibu menyusui terkait dengan pentingnya gizi dalam rangka penurunan kejadian stunting. Bahkan sebagian besar masyarakat masih belum mengetahui kejadian stunting. Pola perbaikan gizi masyarakat menjadi kebijakan utama dinas kesehatan kota Palu dalam penurunan kejadian stunting pada bayi.

Saifuddin Sirajuddin,

Pembicara kedua menyajikan “Pengaruh pemberian bubur bekatul terhadap kadar glukosa HDL dan LDL anak obesitas”. Penelitian selama setahun terakhir menunjukkan bahwa dengan pemberian tambahan gizi dari penyajian bekatul yang diolah berupa makanan bubur akan berpengaruh kepada tingkat HDL dan LDL pada anak yang telah dinyatakan obesitas. Kadar kolesterol menurun sehingga akan memperbaiki struktur glukosa dalam darah pada anak obesitas.

Abdul Salam

Presentasi ketiga berjudul “Body Image kaitannya dengan kebiasaan makan, eating disorder, pengetahuan gizi dan aktifitas fisik remaja”. Hasil kajian menarik disajikan melalui penelitian ini, yang menyatakan bahwa remaja perempuan mempunyai kecenderungan untuk melakukan perubahan pola makan, diet dan bahkan sampai penurunan drastis berat badan tanpa alasan, hanya karenamerasa tubuhnya tidak proporsional (Body Image Negatif). Sehingga meningkatkan pola eating disorder, dan akan menyebabkan gejala gangguan gizi kepada remaja putri.

Andi Sani Silawah

Pengembangan Makanan Pendamping ASI berbasis ulat sagu di Sulawesi Selatan telah membawa hasil peningkatan status gizi yang lebih positif. Penelitian di Jeneponto menyatakan bahwa ulat sagu memiliki kandungan gizi dan lemak yang bagus untuk pembentukan protein pada bayi. Pengolahan ulat sagu menjadi bubur makanan pendamping ASI, bisa menjadi solusi di daerah yang menggunakan sagu sebagai bahan makanan pokok, untuk sarana menambah protein bagi bayi.

M. Ardan Wahyudin

Presenter terakhir menyajikan paparan “Hubungan antara Obesitas dengan kejadian Artritis di Puskesmas Marangkayu, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim” Hasil kajian menunjukan adanya korelasi positif antara obesitas dengan kejadian artritis. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang berat badan yang ideal dan sehat telah mendorong tingginya angka kejadian artritis pada kelompok sampel yang mengalami obesitas.

Workshop Halal Science and Research

oral2Dalam sesi ini, materi dalam simposium disampaikan oleh Prof.Dr. Winai Dahlan. Beliau adalah pendiri sekaligus direktur dari Halal Science Center Chulalongkorn University di Thailand. Di awal sesi, materi beliau difasilitasi penyampaiannya oleh Prof. Veni Hadju dari Universitas Hasanudin Makassar. Prof. Veni Hadju membuka sesi materi dengan menyampaikan hal-hal mendasar yang berkaitan dengan masalah halal yang sangat erat kaitannya dengan masalah akidah bagi seorang muslim. Halal itu sendiri sangat terkait dengan praktik-praktik sebagai seorang muslim, syariat dan ibadah, serta muamalah dalam kehidupan.

Status halal dan haram itu jelas dalam Islam. Namun, di antara keduanya ada perkara-perkara yang tidak jelas, dinamakan dengan perkara syubhat. Materi kali ini sangat erat sekali dengan masalah “ilmu tentang halal” atau halal science. Dasar sebenarnya adalah segala sesuatu itu harus jelas terlebih dahulu halal haramnya, tidak memiliki keraguan. Sebagai seorang muslim, hal ini juga harus dibarengi dengan keyakinan bahwa hal tersebut halal atau haram. Pemahaman, ilmu, dan praktik tentang halal tidaknya sesuatu, sebenarnya bukanlah hal yang sulit, hal ini sangat easy to practice.

Dalam Halal Science terdapat beberapa spektrum yang perlu dipahami, antara lain :

  1. Pengembangan standar halal/standarisasi sistem untuk produk dan pelayanan yang halal (Halal Product and Services/HPAS)
  2. Riset dan pengembangan alternatif untuk mengganti bahan baku mentah yang haram
  3. Pengembangan metodologi biokimiadalam laboratorium forensik halal untuk melakukan skrining halal pada produk/bahan dasar produk.
  4. Melakukan inovasi untuk pembersih yang halal dalam tingkatan proses ataupun bahan-bahan yang digunakan.
  5. Informasi Komunikasi dan Teknologi untuk menjamin integritas halal dan memfasilitasi perdagangan yang halal pula.
  6. Ilmu halal sebagai alat untuk membangun kepercayaan konsumen dan Consumer Brand Relationship (CBR)

Sebagai catatan khusus, sesuatu yang haram dapat digunakan/dimafaatkan hanya jika dalam keadaan terpaksa/darurat. Contohnya obat, makanan, dll yang memang tidak/belum ada pilihan lain tetapi hal tersebut sangat mendasar bagi kehidupan manusia. Jika kebiasaan halal ini diterapkan dalam semua aspek kehidupan, maka kebiasaan dan lingkungan yang mengacu pada “ke-halal-an” akan mudah tercipta di masyarakat. Tentunya hal ini juga akan membantu umat muslim untuk terhindar dari hal-hal yang haram ataupun menekan adanya keraguan-keraguan akibat hal-hal yang syubhat.

Spektrum halal dalam keilmuan ilmiah diperlukan untuk mengembangkan suatu sistem halal itu sendiri. Ada suatu riset ilmu yang dapat digunakan sebagai upaya mengganti gelatin pada kapsul dari rumput laut agar lebih halal atau mengembangkan inovasipembersih najis dari tanah atau dalam bentuk clay. Peran dari teknologi dan keilmuan ilmiah sangat besar untuk membentuk suatu sistem produksi yang halal dan konsumsi produk yang halal pula. Hal ini akan mudah untuk masuk ke dalam kehidupan yang sehat berdasar pada konsep dan cap halal pada suatu produk.

Di Thailand, Prof. Dr. Winai Dahlan tidak menjadikan alasan “halal” untuk mengembangkan suatu laboratorium penelitian dan Halal center. Satu hal yang beliau sadari adalah beliau ingin melindungi konsumen dan beliau bekerja sebagai seorang ilmuwan muslim. Maka, dapat disimpulkan bahwa beliau bekerja berdasakan landasan halal dalam Islam yang diterapkan untuk seluruh masyarakat.

Reporter : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes

Presentasi Oral Jaminan Kesehatan Nasional 1

Presenter pertama adalah Budi Eko Siswoyo dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Budi mempresentasikan hasil penelitiannya yang berjudul “Cakupan Kepesertaan Sektor Informal dalam Program JKN dan Studi Kasus di Provinsi DIY”. Sekitar 20,41 % penduduk DIY termasuk pekerja sektor informal (DIY dalam angka, 2013) dan sekitar 33,60 % di antaranya adalah kelompok pekerja yang berusaha sendiri. Cakupan PBPU pada pekerja sektor informal di DIY masih sangat rendah dan peningkatannya kurang signifikan. Dari 200 responden pekerja sektor informal, mayoritas memiliki pendapatan 2x dari UMR Provinsi DIY, jadi tidak semuanya miskin. Pekerja kasar adalah kelompok yang paling rendah kesadarannya untuk ikut JKN, padahal paling rentan terhadap kecelakaan kerja.

Hasil studi menunjukkan bahwa responden memahami pentingnya JKN namun cenderung menunda kepesertaan karena menganggap manfaat dan prosedurnya rumit, serta pemahaman yang minim. Keluhan dari peserta menular ke masyarakat yang belum menjadi peserta dan menambah keengganan untuk menjadi peserta. Untuk meningkatkan kesadaran pekerja informasl, rekomendasinya adalah memperbaiki sarana dan konten prioritas sosialisasi, program layanan tambahan, penanganan keluhan masyarakat dan kajian dan monev JKN lebih lanjut.

Presenter kedua – Evindiyah PD, mahasiswa Prodi S3 FKM UI – membawakan makalah berjudul “Analisis Tingkat Penutupan Biaya Klinik Swasta “X” terhadap Pembayaran Kapitasi BPJS di Kota Depok Tahun 2015 “Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masih sangat kurangnya penilaian yang terkait dengan masalah penutupan biaya klinis. Tujuannya mendapatkan Angka Penutupan Biaya (Cost Recovery Rate/CRR) dari kapitasi yang dibayarkan BPJS terhadap seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Klinik Swasta “X” di Kota Depok Tahun 2015. Hasilnya, Klinik X mendapatkan penerimaan dari kapitasi yang dibayarkan oleh BPJS sebesar Rp.10.000,- per peserta per bulan selama 6 bulan (bulan Januari –Juni 2015). Total penerimaan kapitasinya adalah Rp.1.426.250.000,- Untuk Cost Recovery Rate (CRR) atau Angka Penutupan Biaya) selama 6 bulan adalah 119,1%, artinya penerimaan yang didapat bisa menutup seluruh biaya yang dikeluarkan untuk melayani peserta BPJS ditambah klinik mendapatkan surplus (keuntungan)

Presenter ketiga – Ghofur Hariyono, FK UGM – berjudul “Implementasi Prosedur Admisi Pasien Rawat Inap Peserta Jaminan Kesehatan Nasional di RSUD Dr. Soetomo Surabaya”. Sejak JKN, pasien rawat inap yang menjadi peserta JKN menunjukkan trend yang meningkat, padahal sistem rujukan berjenjang sudah diatur oleh pemerintah. Ternyata, pasien peserta JKN yang berobat langsung mengakses fasilitas kesehatan lanjutan ketika membutuhkan layanan kesehatan, seharusnya pasien mematuhi sistem rujukan secara terstruktur dan berjenjang. Manajemen rumah sakit kurang responsif terhadap kebutuhan sarana prasarana, seharusnya menyediakan kecukupan tempat tidur, ruang tunggu, dan sarana informasi yang cukup memadai sesuai dengan kebutuhan tempat tidur pasien yang naik kelas perawatan. Pengelolaan sistem informasi rujukan yang belum terpadu antara fasilitas kesehatan yang merujuk pasien dengan fasilitas kesehatan yang dituju.

“Program Prolanis dalam Penerapan Kebijakan Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Kota Bengkulu” yang dibawakan oleh Henni Febriawati adalah presentasi terakhir pada sesi paralel ini. Puskesmas dikatakan berhasil bila angka kontak tinggi, angka rujukan non spesialistik rawat jalan rendah dan pengelolaan prolanis yang efisien dan efektif. Harapan tehadap peran puskesmas mencakup bukan hanya melayani kunjungan pasien sakit melainkan juga melayani kunjungan masyarakat sehat.

Ada 20 puskesmas di kota Bengkulu, hanya 6 yang masuk ke zona prestasi (skor sama dengan atau lebih dari 99%) dan zona aman (skor sama dengan atau lebih dari 50%). Senam rutin dan edukasi dilakukan oleh puskesmas-puskesmas yang masuk zona aman dan prestasi. Puskemas yang tidak masuk dalam zona aman dan zona prestasi oleh presenter digolongkan ke dalam zona merah. Kelompok puskesmas ini memiliki sarpras pendukung yang masih terbatas, Masyarakat tidak mengikuti keg. Preventif dan Promotif serta tidak patuh prolanis dan masyarakat belum terdata sbg penderita DM tipe 2. Kesimpulan dari penelitian ini: 1) Pembayaran kapitasi puskesmas di Kota Bengkulu masih sangat jauh dari target, yaitu 75% puskesmas % pembayarannya dibawah 100% dan 2) besaran kapitasi rata-rata puskesmas kota Bengkulu Rp. 5.125,- dari maksimal Rp. 6.000,- . dana kapitasi (pea).

Reporter : Putu Eka Andayani, M. Kes

Presentasi Oral Jaminan Kesehatan Nasional 2

Juanita
Evaluasi klaim JKN di RSUD dan RS swasta di Sumatera Utara

Penelitian berfokus pada klaim JKN di RSUD dan RS Swasta, merupakan studi deskriptif dengan menggunakan data klaim JKN 6 RS di daerah Sumatera Utara tahun 2014 – 2016. Menarik, di RS Sibolga pembayaran dilakukan > dari yang diklaimkan. Di semua sample RS, terlihat trend peningkatan klaim. Klaim di RS swasta juga lebih besar daripada RSUD. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak RS di daerah Sumatera Utara yang kurang lengkap peralatannya cenderung merujuk pasiennya ke RS swasta. Data juga menunjukkan bahwa mayoritas adalah pasien JKN mandiri dengan penyakit kronis. Ini merupakan peluang penghematan karena PTM sebenarnya dapat dicegah dengan promotif preventif.

Kasman Makkasau
Kerugian Ekonomi vs Asuransi Kesehatan

Argumentasi yang diajukan adalah pentingnya melakukan advokasi khususnya kepada pimpinan daerah. Caranya dengan belajar dari sektor lain (dalam hal ini Pekerjaan Umum) yaitu menunjukkan kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan. Misalnya, disinyalir ada kerugian ekonomi di Kabupaten Polman pada tahun 2013 sebesar Rp.62 milyar. Artinya, pemerintah daerah harus bertindak untuk mencegah potensi kerugian ini. Hasilnya, program jaminan kesehatan Provinsi Sulbar diterapkan dengan bekerja sama dengan PT Askes untuk memastikan bahwa pesertanya tetap mendapat pelayanan walaupun tengah berada di provinsi lain.

Maxsi Irmanto
Implementasi JKN pada Puskesmas di Provinsi Papua Tahun 2016

Penelitian yang dilakukan di Jayapura (5 Puskesmas) dan Jayawijaya (8 Puskesmas) tahun 2016 ini menunjukkan beberapa masalah dalam pemanfaatan dana kapitasi yang dipersepsikan kurang fleksibel karena sudah ditentukan proporsinya, dan ada penambahan beban kerja pegawai Puskesmas yang tidak diikuti oleh penambahan staf. Di samping itu, pemanfaatan dana Non kapitasi juga dirasa belum optimal karena pengajuannya diberi persyaratan administrasi yang rumit. Selain itu, banyak penduduk yang belum memiliki kartu BPJS. UKM masih bertumpu pada dana BOK dan Otsus. Disarankan bahwa pelaksanaan JKN harus mempertimbangkan aspek kewilayahan khususnya mempertimbangkan faktor geografis dan indeks kemahalan.

M. Faozi Kurniawan
Supply Side Kesehatan dan Equity

Penelitian memperlihatkan bahwa jumlah spesialis dasar per provinsi menunjukkan pertumbuhan besar masih terpusat di DKI dan Jawa Barat diikuti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pola yang sama terulang di semua jenis profesi termasuk bidan dan perawat. Pertumbuhan Puskesmas juga masih tertinggi di Jawa, diikuti oleh Sumatera. Sementara untuk RS, walaupun pertumbuhannya tinggi tapi ternyata pertumbuhan yang paling pesat terjadi di sektor swasta. Begitu pula dalam hal tempat tidur (TT), walaupun TT sektor publik masih jauh lebih banyak, tetapi pertumbuhannya yang pesat tetap di sektor swata. Akibatnya dapat diperkirakan bahwa klaim JKN masih tertinggi di Jawa. Ditekankan bahwa selama pembangunan infrastruktur kesehatan belum menjadi prioritas di RPJMN dan RPJMD maka sisi supply masih akan mengalami kekurangan.

Endang Sutisna
Monitoring dan Evaluasi JKN di Karanganyar dan Kota Surakarta

Penelitian memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan nyata dengan pengetahuan tentang BPJS. Terdapat perbedaan yang sangat nyata mengenai persepsi pemberi pelayanan kesehatan terhadap dampak sistem kapitasi pada kualitas pelayanan menurut perdesaan dan perkotaan. Disinyalir ada pula persepsi bahwa sistem kapitasi memiliki hubungan yang negatif dengan kepuasan layanan.

Isniati
Analisis Tingkat Kepuasan Pasien Peserta JKN di Puskesmas Kota Padang tahun 2016

Penelitian cross-sectional dengan kerangka servqual menunjukkan bahwa beberapa atribut masih membutuhkan perhatian, yaitu atribut kenyamanan ruang tunggu pasien, jadwal ketepatan jadwal pelayanan, kecepatan tindakan nakes dalam menangani pasien, keramahan nakes dan perhatian nakes terhadap keluhan pasien.

Andi N. Amin
Kemampuan stakeholder dalam melaksanakan JKN di RSUD Yowari Kabupaten Papua

Terlihat dari hasil wawancara (pada tahun 2015) faskes masih belum mampu memberikan layanan yang komprehensif misalnya dari 145 TT hanya 121 yang bisa digunakan, ambulans ada 2 namun yang bisa beroperasi hanya 1. Selain itu, belum ada regulasi pelaksanaan JKN di Kabupaten Jayapura, terutama karena Kartu Papua Sehat masih menjadi prioritas dibanding JKN. Selain itu, dari sisi persediaan obat dan alkes, banyak masih kekosongan akibat perencanaan yang digunakan masih didasarkan pada tahun sebelumnya. Selain itu, mereka belum memahami cara mencari dan membeli obat dengan E-katalog. Dari sisi SDM, karena tidak ada dokter spesialis, pasien harus dirujuk. Tenaga bidan dan perawat sangat minim. Sosialisasi yang sudah dilakukan dinilai kurang karena pelaksanaan sosialisasi tidak berarti bahwa informasi sudah dipahami.

Reportase Pleno 2

pleno2

Universal Health Coverage

pleno2

Sesi ini dibuka oleh Ketua Umum IAKMI terpilih, dr. Ridwan M. Thaha, MSc dan Direktur Utama BPJS, Prof. DR. dr. Fahmi Idris, MKes. Ridwan Thaha menyatakan bahwa masalah eskalasi biaya kesehatan merupakan masalah semua pihak. Fahmi Idris yang juga merupakan anggota IAKMI menyampaikan terima kasih atas MoU dan kesempatan dalam memaparkan berbagai hal yang terkait dengan BPJS Kesehatan.

Sesi plenary ini adalah sesi terakhir dari rangkaian Kongres Nasional IAKMI 2016. Sesi yang dimoderatori oleh Sumarjati Arjoso ini menghadirkan narasumber dari UNFA, Dirut BPJS, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Prof. Ascobat Ghani dan Kepala Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI, DR. Siswanto.

Fahmi Idris mengatakan bahwa progress yang tercapai saat ini on the right track. Mandat UU cukup berat, yaitu hanya sebagai pembeli pelayanan kesehatan. Namun karena kondisi sistem yang belum optimal (pelayanan kesehatan, kendali mutu, sistem pembayaran) sehingga mandat UU BPJS adalah mengembangkan ketiga hal tersebut. Data menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan lebih besar dari biaya yang diterima, karena tingginya kasus katastropik (menyerap 33% dari dana kesehatan). Satu-satunya jawaban untuk mengatasi ini adalah pencegahan. Jika struktur biaya iuran yang tidak sesuai dengan aktuaria tidak dibenahi akan menjadi masalah besar yang berkepanjangan.

materi

National Program Officer UNFPA, Melanie, berbicara tentang sexual and reproductive health and rights in the SDGs under UHC context. SDGs bersifat bottom up dan targetnya merata untuk seluruh negara anggota, ini merupakan pembeda utama dengan MGDs. Setelah indikator global dan nasional dipetakan, ada beberapa isu penting terkait target. Misalnya target terkait penurunan angka kematian ibu, definisi mengenai skill/competency of health personnel belum sama dengan yang di level global. Selain itu, indikator lain misalnya pemenuhan kebutuhan ber-KB, pengambilan keputusan oleh perempuan dan sebagainya. Paket KB (termasuk konseling), pemakaian alat kontrasepsi, pengelolaan side-effect adalah paket-paket pelayanan KB yang direkomendasikan oleh hasil studi yang memiliki efektivitas tinggi jika diintegrasikan ke program SDGs. Juga ada paket kesehatan ibu pencegahan malaria dan HIV pada ibu.

materi

Dra. Mirnawati, Apt, MKes (Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Dirjen Yankes Kementerian Kesehatan) mewakili Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan berbicara tentang upaya untuk memperkuat upaya promotif dan preventif oleh fasilitas kesehatan primer. Gerakan masyarakat sehat adalah gerakan yang dilakukan bersama-sama oleh semua kementerian: Perindustrian, PU, Badan POM dan Kesehatan, yang rencananya akan dicanangkan pada 12 Desember di 10 daerah. Isunya, akses pelayanan dasar dan rujukan yang berkualitas belum merata. Peningkatan akses dilakukan bersama dengan kementerian lain, peningkatan kuaitas dilakukan bersama dengan Pemda, yaitu untuk memenuhi standar sesai kelas pelayanan sebagaimana diatur pada Permenkes terkait. Kemenkes telah menyiapkan berbagai roadmap, antara lain puskesmas yang bekerjasama dengan dinkes dan RS, regionalisasi RS Rujukan. Perlu dukungan semua pihak termasuk IAKMI untuk mencapai seluruh tujuan pembangunan kesehatan tersebut.

materi

Prof. Ascobat Gani (Guru Besar FKM UI, Ketua Tim Kendali Mutu-Kendali Biaya BPJS) berbicara tentang Peran SKM di Era UU No. 23 dan SDGs memaparkan bahwa ada 9 tantangan bagi SKM yang saling terkait, antara lain disparitas, ketidakmerataan faskes, determinan penyakit, “hutang” MDGs, sistem kesehatan yang belum diperkuat, UU No. 23/1992 dan turunannya, JKN, yang harus dilihat secara menyeluruh. Peran SKM yaitu membina kesehatan wilayah secara komprehensif, menggerakkan mesin sosial dan mesin birokrasi, promosi kesehatan, pelayanan pencegahan, surveillance, menggerakkan sektor lain, serta memperkuat sistem kesehatan.

materi

Kepala Badan Litbang Kemenkes, DR. Siswanto, memaparkan bahwa peran Balitbangkes untuk mendukung pelaksanaan evidence based policy. Diperlukan inovasi program sebagai masukan bagi pembuat kebijakan. Untuk menguatkan sistem kesehatan, Balitbang melakukan banyak riset mulai dari aspek input, proses hingga output dan outcome. (pea)

materi

Reporter: Putu Eka Andayani

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

 

{jcomments on}

Reportase Simposium 1

simp1

Kebijakan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi dalam Agenda Pembangunan Nasional

simp1Upaya inovatif dalam pengendalian penduduk dan kesehatan reproduksi merupakan salah satu isu utama dalam agenda pembangunan nasional. Ini disebabkan karena saat ini laju pertumbuhan penduduk Indonesia masih tinggi, yaitu 1,49%. Tidak hanya itu, sebagaimana disampaikan Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN; Dr. Ir. Dwi Listyawardani, M.Sc., Dip.Com., total fertility rate Indonesia saat ini berada di angka 2,29. Hal ini berarti setiap wanita usia subur rata-rata memiliki 2-3 orang anak selama masa reproduksinya dan tergolong masih lebih tinggi dibandingkan dengan target 2019 sebesar 2,28. Disampaikan pula bahwa rendahnya pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang dan disparitas pencapaian program KB antar daerah juga merupakan salah satu isu strategis selain sorotan terhadap tingginya unmet need, drop out pemakaian kontrasepsi, meningkatnya jumlah kehamilan remaja, dan angka kematian ibu.

Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN juga menyampaikan bahwa pengarusutamaan KB dalam JKN juga merupakan isu strategis yang perlu mendapatkan perhatian. Beberapa tantangan pelayanan KB dalam JKN antara lain pelayanan KB di RS yang belum terkelola dengan baik, belum adanya standarisasi indikasi medis untuk pelayanan IUD dan implan yang dapat dirujuk ke rumah sakit tipe C dan D, masih banyaknya praktek dokter dan klinik swasta yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan (melayani KB) yang belum terdaftar dalam registrasi BKKBN, serta retensi ketrampilan dokter dan bidan pasca pelatihan metode kontrasepsi. Beberapa strategi yang akan dilakukan BKKBN antara lain melakukan upaya integrasi sistem pencatatan dan pelaporan pelayanan KB atara BKKBN dan BPJS Kesehatan, pemetaan fasilitas pelayanan kesehatan yang melayani KB, pemenuhan sarana dan pelatihan pelayanan KB, penurunan unmet need dan drop out melalui penguatan pelayanan peserta KB baru dan penambahan peserta KB aktif, penyediaan alat, obat, dan sarana penunjang pelayanan KB melalui e-katalog, mendorong penyediaan pembiayaan KB MOW interval, dan sebagainya.

Pada kesempatan yang sama, dr. Ashon Sa’adi, SpOG(K); Konsultan Endokrinologi RSU Dr. Soetomo Surabaya menyampaikan salah satu bentuk inovasi dalam program KB yaitu penggunaan Pil KB kombinasi modern yang mampu meningkatan efektivitas penggunaan kontrasepsi dengan efek samping minimal. Pil KB kombinasi modern tersebut adalah pil KB yang mengandung Drospirenone yakni progestogen yang mirip farmakologinya dengan progesteron alami. Drospirenone bersifat anti-androgen sehingga selain fungsinya sebagai kontrasepsi, juga dapat mengurangi jerawat, mengurangi rambut halus di wajah, dan tidak akan menyebabkan kenaikan berat badan karena memiliki efek diuretik yang fungsinya membuang penumpukan cairan tubuh. Dengan demikian, adanya perbaikan komposisi progesteron pada pil KB modern ini akan meningkatkan kepatuhan dan kenyamanan penggunanya, sehingga mampu memperluas cakupan pelayanan kontrasepsi di masyarakat.

Berbeda dengan dr. Ashon Sa’adi yang memberikan inovasi pengendalian penduduk dan masalah kesehatan reproduksi dari disiplin ilmu kedokteran kandungan, dr. Christina Manurung yang merupakan Kasubdit Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja, Direktorat Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan RI menyampaikan rekayasa pengendalian AKI dan AKB melalui pendekatan komunitas. Disampaikan bahwa Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) merupakan salah satu program yang diproyeksikan mampu mendorong percepatan penurunan AKI dan AKB. Tidak bisa dipungkiri bahwa usia perkawinan pertama penduduk Indonesia masih rendah. Selain disebabkan karena faktor sosial budaya, perilaku seksual pranikah merupakan faktor yang turut mempengaruhi rendahnya median usia perkawinan di Indonesia. Ironisnya, tingginya angka kematian ibu saat melahirkan dikontribusi oleh wanita usia di bawah 20 tahun. Ini artinya remaja merupakan populasi rentan yang harus mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, program percepatan penurunan AKI dan AKB diharapkan mulai menyasar kalangan remaja. Rasionalisasinya adalah karena sekitar 30% total penduduk Indonesia adalah usia remaja, dan sekitar 80% remaja adalah anak sekolah, sehingga apabila program diintervensikan di sekolah maka dampak yang diharapkan akan tercapai secara efektif dan efisien. Akhirnya, bonus demografi yang akan terjadi pada tahun 2020-2035 mampu dimanfaatkan sebagai jendela peluang karena berkualitasnya SDM yang telah disiapkan sejak dini.

Reporter : Dedik Sulistiawan

Perdesaan Sehat

Prof. dr. M. Safar FKM Universitas Hasanuddin dan Defriman dari Universitas Andalas memaparkan mengenai program yang telah mereka inisiasi untuk penguatan SDM kesehatan di wilayah perdesaan, serta bagaimana institusi pendidikan kesehatan masyarakat dapat berkontribusi. Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) No 1 Tahun 2013 tentang perdesaan sehat yang memiliki 5 pilar, yang salah satunya yaitu adanya dokter, bidan, sanitasi, gizi dan kesehatan lingkungan. Dalam konsep 5 pilar ini belum nampak peran dari sarjana kesehatan masyarakat untuk penguatan SDM kesehatan di wilayah perdesaan.

Dalam kegiatan yang dilakukan oleh tim dari FKM Unhas di 12 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, Barat dan Tengah ini, tim peneliti melakukan penelaahan awal untuk mengidentifikasi prioritas kebutuhan tenaga atau keterampilan khusus di desa-desa yang dijadikan tempat studi. Analisis awal menunjukkan bahwa masalah advokasi, komunikasi serta kolaborasi lintas sektor sebagai tantangan utama untuk masalah kesehatan di perdesaan. Berdasarkan hasil tersebut, direkrutlah tenaga-tenaga dengan latar belakang kesehatan masyarakat untuk kemudian dilatih dengan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan tersebut. Dengan adanya tenaga-tenaga kesehatan masyarakat yang ditempatkan di desa, memicu diskusi dan forum desa yang pada akhirnya melahirkan SK kepala desa untuk program reaksi desa.

Sementara itu tim peneliti di Universitas Andalas yang diketuai oleh Defriman menjalankan program serupa berjudul “Sarjana Pendamping Purna Waktu” atau SP2W. Dari pengalamannya, Defriman mengemukakan kurangnya kemampuan untuk adaptasi yang dimiliki oleh sarjana kesehatan masyarakat yang baru lulus. Saat ini sedang diluncurkan program “Satu SKM satu desa” dalam rangka meningkatkan kemampuan desa dalam mengelola kesehatan masyarakat. Di samping itu, tantangan dari sarjana kesehatan masyarakat saat ini yaitu kurikulumnya sendiri yang memfokuskan pada gizi, kesehatan lingkungan, asuransi kesehatan, dan sebagainya. Menurut Defriman, penting untuk memberikan keterampilan yang generalis dan lebih umum kepada sarjana kesehatan masyarakat supaya kemampuannya lebih baik dalam mengelola kesehatan masyarakat, khususnya di desa.

Hanibal Hamidi, Direktur Pelayanan Sosial Dasar, Ditjen Pembangungan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kementerian Desa dan PDT, memaparkan mengenai lahirnya Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014 yang memberi kedaulatan penuh pada desa untuk mengambil keputusan berdasarkan hasil musyawarah desa. Undang-undang tersebut tidak hanya memberikan otoritas dalam mengambil kebijakan, juga kekuatan finansial kepada desa. Amanah dari undang-undang itu yakni bagaimana pemanfaatan dari dana desa, sehingga setiap desa didampingi oleh ‘pendamping desa’ yang memfasilitasi proses pemanfaatan desa agar sesuai dengan prinsip musyawarah. Untuk mencapai tujuan undang-undang desa dilakukan pendekatan utama: 1) ‘Jaring komunitas wiradesa’ yakni peningkatan kapasitas masyarakat desa; 2) lumbung ekonomi yakni penguatan kemandirian ekonomi, kedaulatan pangan dan ketahanan energi di desa, dan; 3) Lingkar Budaya Desa yaitu upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.

Kesimpulan dari sesi ini yaitu untuk mempercepat pembangunan di desa, khususnya terkait kesehatan, perlu meningkatkan kontribusi dan peran aktif dari pemerhati dan tenaga kesehatan masyarakat. Peningkatan kontribusi ini dapat dilakukan dengan memberikan keterampilan-keterampilan tertentu (soft skills) supaya lulusan kesehatan masyarakat dapat menjadi pembina dan pendamping pembangunan kesehatan di perdesaan.

Reportase Likke Prawidya Putri, MPH

Pendayagunaan SDM Kesehatan

Simposium 3Pada sesi simposium 3 ini membahas mengenai upaya pendayagunaan sumber daya manusia di bidang kesehatan. Tenaga kesehatan dari berbagai profesi diharapkan saling berkolaborasi dalam melayani masyarakat. Menurut Dr. dr. Armin Nurdin, MSc, melalui Interprofessional Education(IPE) para bidan, perawat, dokter, kesehatan masyarakat, apoteker, ahli gizi semestinya berkolaborasi dalam melayani masyarakat. Selama ini masih terdapat pengkotak-kotakan antara tenaga kesehatan. Melalui IPE seharusnya ada saling interaksi antar profesional untuk pembagian keputusan dan tanggung jawab serta tidak lebih dominan antar profesi. Dalam hal ini tenaga kesehatan masyarakat diarahkan untuk berpartisipasi pada pencegahan primer di masyarakat sehingga kasus – kasus di BPJS dapat diminimalkan. Namun sampai saat ini BPJS belum menyediakan pembiayaan yang memadai untuk tenaga kesmas yang dalam hal ini belum mendukung konsep IPE.

Melanjutkan bahasan sebelumnya, Aprilia Ekawati Utami dari perwakilan Indonesian Young Health Professionals’ Society (IYHPS) menggambarkan bahwa generasi muda dibangun dari filosofi bibit. IYHPS mewadahi kolaborasi antar profesi sesuai dengan visinya yaitu menguatkan kolaborasi interprofesi dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat yang lebih baik. Kolaborasi antar profesi semakin dibutuhkan karena pelayanan kesehatan semakin kompleks dan pembiayaan kesehatan juga semakin tinggi. Meningkatkan kualitas kesehatan dapat melalui IPE and Collaborative Practice yang akan mempersiapkan tenaga kesehatan untuk bersaing pula menghadapi MEA.

Menegaskan arah pembangunan kesehatan, drg. Saraswati, MPH menjelaskan bahwa kegiatan promotif preventif dilakukan mulai dari layanan primer. Pelayanan kesehatan primer akan meningkatkan akses dan mutu pelayanan, mendukung pelaksanaan JKN sebagai gate keeper, dan mendukung pencapaian indikator kesehatan. Sebagai sarana layanan primer, puskesmas memiliki 2 sayap yaitu sebagai UKM dan UKP. Menurut Permenkes 75 / 2014 puskesmas mempunyai pertanggungjawaban wilayah kerja. Selain itu pada pasal 16 pembagian kerja di puskesmas berdasarkan analisa beban kerja dimana di puskesmas minimal terdapat 9 macam jenis tenaga kesehatan.

Dari ketiga pembahasan tersebut, La Ode Ali Imran Ahmad, SKM ,M.Kesmenyimpulkan bahwa sesuai dengan visi dan misi Presiden Republik Indonesia yaitu menuju Indonesia sehat, pintar, dan sejahtera dapat diterapkan melalui pendekatan Continuum of Care and Life Cycle. Hal tersebut memerlukan deteksi dini sejak kehamilan ibu untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Reporter Elisabeth Listyani

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Sesi ini berlangsung selama kurang lebih 1 jam dengan menghadirkan 3 narasumber. Dimulai dengan Dr. Kadek Ayu Erika, S.Kep, Ns, M.Kes yang menyampaikan hasil penelitiannya mengenai pemberdayaan keluarga dalam mengendalikan gaya hidup sehat anak obesitas. Dengan metode pendekatan yang tepat, yakni melalui keluarga, maka anak-anak yang overweight dan obesitas dapat dikendalikan gaya hidup dan berat badannya(Indeks Massa Tubuh meningkat) setelah 6 bulan. Hal ini sekaligus dapat meningkatkan kualitas hidup anak karena dapat mencegah berbagai penyakit fisik bahkan psikologis yang sering menyertai anak-anak yang mengalami kelebihan berat badan.

Narasumber kedua adalah Prof. Dr. Muhammad Nasrum Massi yang merupakan staf pengajar di FK Unhas. Beliau menyoroti angka penderita TB yang terus meningkat di Indonesia, dimana pada tahun 2016, Indonesia menempati peringkat 2 di dunia setelah India.Beberapa problema TB di Indonesia antara lain: (1) Jumlah kasus TB yang terus meningkat, (2) Jumlah kasus TB yang resiten terhadap obat anti-TB juga meningkat, (3) Diagnosis TB belum adekuat, (4) Pendanaan TB masih kurang, dan (5) Peran lintas sektoral yang belum optimal. Untuk mengatasi hal ini, sangat penting untuk memperkuat jejaring layanan TB, penguatan kapasitas kabupaten kota/kota untuk mengendalikan kasus TB serta memasukkan diagnosis TB dalam benefit package Jaminan Kesehatan Nasional.

Narasumber terakhir merupakan Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat – Kemenkes RI, dr. Dedy Kuswenda, M.Kes. Dalam presentasinya, beliau menekankan pentingnya tenaga kesehatan menjadi contoh (focal point) untuk mempromosikan gaya hidup bersih dan sehat. Cukup dimulai dengan hal-hal yang sederhana, misalnya tidak merokok, membiasakan jalan kaki serta banyak makan sayur dan buah. Hal-hal seperti ini yang akan menjadi fokus program Gerakan Masyarakat Sehat yang akan diluncurkan oleh Presiden Jokowi tanggal 14 November 2016 mendatang sebagai langkah mengendalikan biaya kesehatan kuratif yang terus membengkak.

Reporter Yanti

Tenaga Kesehatan dan Pembangunan Nasional

amalApa bedanya Kesehatan Masyarakat dengan Kesehatan Perseorangan?. Kesehatan Masyarakat (Kesmas) tidak hanya didefinisikan sebagai kesehatan masyarakat. Definisi Kesmas juga diartikan seolah-olah bahwa kesehatan masyarakat juga berada di bawah kesehatan perorangan. Promotif di Puskesmas merupakan Comunity bukan perseorangan. Sehingga Promotif Preventif yang dilakukan individu berati bukan kesehatan masyarakat. Jadi kesmas bersifat community. Isi UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, terutama pasal 16 dan Pasal 21 telah jelas menjelaskan. Sampai sekerang peraturan Pemerintah untuk perencanaan dan pengandaan tenaga kesehatan belum ada. Dalam Undang-Undang kesehatan juga disebutkan Pemerintah Daerah seharusnya ikut dalam pengadaaan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhannya. Pemerintah Pusat membuat kebijakan dan aturan pelaksanaan namun yang melaksanakan adalah daerah. Misal kebutuhan provinsi Sulawesi berbeda dengan Provinsi Jawa Timur. Jumlah sasaran dan tenaga kesehatan diatur bersama oleh daerah.

Kemana tenaga SKM lulusan setelah dididik sekolah?. Dijelaskan di Undang-Undang bahwa ada 2 yaitu di UKM dan UKP. Kemudian setiap faskes tersebut memiliki 3 jenjang yaitu primer, sekunder, dan tersier. Semuanya (UKM dan UKP) harus berjalan bersama. Dalam undang-undang, Kesehatan perseorangan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan perseorangan dan keluarga, ini adalah kuratif. Satunya pelayanan kesehatan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat. Janganlah per orang masuk ke kesmas dan sebaliknya. Ini akan berperan pada kompetensi yang berbeda.

Seperti dijelaskan UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, ada 2 jenis tenaga yaitu Tenaga Kesehatan dan Asisten Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan minimal kualitifikasi adalah minimum diploma tiga. Kesehatan masyarakat adalah tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesling, dan tenaga gizi (pasal 11). Jenis tenaga kesehatan masyarakat adalah epidemiologi kesehatan, tenaga promosi kesehatan, pembimibing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga. Contoh jika gizi itu sebagai obat bukan sebagai bagian dari kesehatan masyarakat. Kita harus berfikir apakah hal tersebut sudah sesuai dengan peruntukannya.

Jika kita melihat sektor pembiayaan kesehatan, pembiayaan kesehatan perorangan adalah untuk pribadi (mengikuti mekanisme pasar). Contohnya sekarang dengan CBGs di rumah sakit (output). Pembiayaan yang 5% dari APBN untuk Kesehatan seperti UU kesehatan seharusnya diperuntukkan untuk Kesehatan masyarakat untuk pelayanan, pendidikan dan sebagainya.

Perpres No. 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional menjelaskan poin penting terkait pencegahan tanpa mengabaikan. Untuk ke depan, Puskesmas tidak untuk pelayanan primer, tidak boleh untuk fasilitas kesehatan untuk pelayanan masyarakat. Dimana tenaga kesmas akan berperan di sebelah kiri (Kesmas) dan sebelah kanan (Perorangan). Tenaga Kesmas akan berperan dimana saja. Semua institusi yang berhubungan dengan kesehatan akan memerlukan tenaga Kesehatan Masyarakat. Pendidikan yang diberikan bisa di Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, Fakultas Teknik dan lainnya.

Kebutuhan dan Tantangan Tenaga Kesehatan Masyarakat di Sektor Industri

donihikmatTenaga Kesmas apakah juga dibutuhkan di Industri, namun profilnya seperti apa? Masalah Kesmas ada 3 hal yang sering didengar yaitu transisi epidemiologi penyakit menular dan tidak menular, transisi dari agraris ke industri yaitu penyakit terkait pekerjaan seperti kecelakaan kerja, dan yang terakhir karena transisi demografi yaitu usia penduduk produktif kerja semakin bertambah. Populasi usia produktif kira-kira 60% yang mana angkatan kerjanya mendekati 114 juta jiwa tahun 2014.

Masalah kesehatan kerja terkait dengan Industri. Contoh industri kecil yaitu UKM, sedangkan industri besar seperti tambang, migas, konstruksi dan sebagainya. Ini memunculkan kecelakaan kerja dan penyakit. Data dari ILO menyebutkan masalah karena kecelakaan kerja dan penyakit karena kerja masih tinggi yaitu 2,43 juta di dunia (ILO, 2008).

Bagaimana kondisi di Indonesia? Total angka kecelakaan kerja yang mati meningkat dan untuk tahun 2010 yaitu 86. 693 kecelkaan (Jamsostek, 2010). Berdasarkan sektornya yang paling besar adalah konstruksi, kemudian manufaktur, dan pertambangan. Angka kecelakaan kerja dapat diidentifikasi namun identifikasi penyakit akibat kerja karena tidak terdeteksi dengan beragam pertanyaan atau pelaporannya tidak bagus. 10% tenaga kerja di Indonesia terdaftar di Indonesia yang lain belum terdaftar.

Kecelakaan dan Penyakit bila dibiarkan bertentangan dengan hak asasi pekerja dan hak untuk selamat dan tujuan pekerja dalam mencari penghasilan dan mendapatkan keselamatan dalam bekerja. Bagi perusahaan jika terjadi kecelakaan dan penyakit maka akan mengganggu citra perusahaan dam merugikan secra ekonomi.

Pemecahan di K3 yaitu ada 2:

  1. Regulasi
  2. SDM

Dalam regulasi Pemerintah sudah diaur dalam UU sejak 1970. Regulasi muncul terkait dengan Kementerian Teknis atau sektor tertentu terkait. Kementerian ESDM, Kemenaker, Kemenkes, Kemenhub.
Contoh: PermenPAN no 13 tahun 2013: Jabatan Fungsional Pembimbing Kesehatan Kerja.

Kebutuhan K3 menyangkut berbagaai instansi, Pemerintah, industri, rumh sakit, jug apUskesmas. Sekarang terdapat 24 ribu perushaan yang mewajibkan K3. Dan perusahaan membutuhkan 3 tenaga K3. Sehingga kebutuhannya sangat besar. untuk Kualitas tenaga K3, strategi mengalihkan Prodi S1 Kesmas Pemnin atas K3 berubah menjadi S1 K3. Kebutuhan di lapangan adalah lulusan yg spesifik terkait K3. Kebutuhan di lapangan adalah setingkat manajer. Kebutuhan pendidikan ini masih terbuka sangat luas dan sampai sekarang belum terpenuhi jumlah tenaga K3 untuk memnuhi kebutuhan di lapangan.

Pengembangan Pendidikan Kesehatan Masyarakat

sabarinahKNKI suatu Kerangka Kualifikasi Nasional berupa kerangka yang dibuat framework yang menetapkan atau menyepakati suatu standar kualitas SDM. Ada 2 alasan yaitu karena eksternal yaitu karena persamaan deng kualitas tenaga luar. Untuk internal adalah untuk mutu SDM. Ada 2 macam pendidikan yaitu dunia pendidikan formal dan dunia pendidikan profesi.

mnghadapi SDM asing dan kita ingin mensetarakan SDM kita, kita harus membuat pendidikan yang dicita-cita kan. Pendidikan dengan jenis dan strata, mutu, penjaminan mutu, dan kurikulum yang jelas serta tidak pernah berhenti belajar.

Kondisi jenis dan mutu Pendidikan Tinggi di Indonesia saat ini belum jelas. dan saran ke depan adalah kita harus merapikannya. Pendidikan tinggi itu bermula dari SMA, kemudian ke S1, S2 dan S3 ini Fokus untuk keahlian keilmuan. Tetapi ada juga SMA ke D1, ke D2, D3 dan D4. D4 lanjutnya kemana yaitu ke Profesi, Spesialis dan Sub Spesialis, ini fokus pengembangan dan peningkatan keahlian spesifik.

Tetapi kita juga punya jalur D4 dan S1 bisa ke S2 terapan dan S3 terapan. Semua itu ada levelnya yaitu ada 9 level. Pada posisi mana kita mengembangkan pendidikan, mau kefilosofi keilmuan atau keahlian kerja.

Kita mengakomodir ada perpindahan perorangan dengan kesmas masyarakat/keluarga. Dari diploma 3 bisa ke Sarjana atau bisa ke Spesialis. Dari Sarjana pun bisa ke Profesi. Ini merupakan konsep perpindahan jenis dan strata pendidikan. Yang patut diingat kita harus menyetarakan hal-hal sesuai kompetensinya. Salah satunya dengan konsep RPL.

RPL adalah Rekoknisi Pembelajaran Lampau dan telah disahkan Kemenristek Dikti no. 26/2016 dimana sangat dimungkinkan orang untuk diakui pendidikan informasl atau formal sebagai tambahan untuk pendidikan formalnya. Ini lah kelihatan penyetaraan atas kinerja. Jadi seseorang bekerja dapat diakui kesetaraannya/kinerjanya. Bagaimana pendidikan profesi yaitu program pendidikan yang pekerjaannya memerlukan keahlian khusus. Unsur kompetensi yaitu sikap dan tata nilai, kemampuan di bidang kerja, pengetahuan yang dikuasai dan kewenangan dan tanggungjawab. Strategi ada 2 yaitu diproduksi jika ada permintaan, memproduksi sambil menciptakan permintaan dan kita akan berasumsi bahwa produk akan mendorong permintaan. Contoh dibidang distribusi.

Contoh: S1 Kesmas berlanjut ke apa terserah, KAA, Epid dan lainnya atau S1 Kesmas + MAT menjadi Profesi KL/K3/Gizi. Ini contoh pemikiran untuk ke depan untuk produksi dari jalur Sarjana ke profesi dengan berbagai skenario. Kita bercita-cita untuk menyetarakan dan mengakui bagaimana pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja bisa dijadikan satu. ini mendukung kebijakan sepanjang hayat. S1 dengan RPL kita bisa disetarakan ke Profesi atau Terapan. RPL yaitu pendidikan formal, informal, atau pengalaman kerja. Bekerja dengan baik dapat didokumentasikan dengan baik bisa untuk mendukung kesetaraan.

oleh Faozi Kurniawan

Tab Content

Tantangan Implementasi Healthy City dalam Agenda Pembangunan Nasional

charlesKonsep healthy city merupakan isu yang menarik dalam agenda pembangunan Indonesia. Healthy city didefinisikan sebagai suatu kondisi kota yang bersih, nyaman, aman, dan sehat untuk dihuni penduduk. Penyelenggaraannya diselengarakan melalui penerapan beberapa tatanan, yaitu: kawasan pemukiman dan sarana prasarana umum, kawasan sarana lalu lintas tertib dan pelayanan trasportasi, kawasan pertambangan sehat, kawasan hutan sehat, kawasan industri dan perkotaan sehat, kawasan pariwisata sehat, ketahanan pangan dan gizi, kehidupan masyarakat sehat yang mandiri, dan kehidupan sosial yang sehat.

Prof. Charles Surjadi, MD, MPH, Ph.D. yang merupakan pakar kesehatan kota Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya, Jakarta menyatakan bahwa healthy city diselenggarakan melalui beberapa setting, yaitu tempat dimana orang banyak menghabisan waktunya sehari-hari, yang kemudian disebut sebagai healthy setting, sebagai contoh adalah sekolah. Sekolah merupakan healthy setting yang lebih mudah dikerjakan, karena populasi yang ada cenderung lebih homogen, sehingga memiliki kebutuhan yang sama. Pengarusutamaan healthy setting ini sejalan dengan agenda tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) tujuan ketiga yaitu memastikan manusia mampu hidup sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua. Selain itu, konsep health setting merupakan pendekatan multidisiplin dengan pendekatan sosioekolgis. Nilai utama healthy setting adalah partisipasi, ekuitas, partnership, dan keberlanjutan.

Selain itu, Prof. Charles Surjadi juga menyampaikan bahwa terdapat satu parameter lagi yang digunakan sebagai muara dari implementasi healthy city, yaitu indeks kebahagiaan (happiness index). Selain itu, healthy city juga merupakan bagian dari smart city yang dicirikan oleh 6 hal, yaitu: smart economy, smart people, smart governance, smart mobility, smart environment, dan smart living.

Pada kesempatan yang sama, Sukri Palutturi, SKM., M.Kes., M.Sc.PH.,Ph.D yang merupakan Ketua Persakmi Sulawesi Selatan memberikan penekanan kembali terhadap konsep healthy city. Healthy city bukan lagi didefinisikan sebagai bagaimana menciptakan perilaku yang sehat dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan, akan tetapi healthy city adalah tentang bagaimana menciptakan setting-setting yang sehat. Konsep health city juga berbeda dengan konsep desa sehat, kecamatan sehat, dan seterusnya sampai Indonesia Sehat. Adapun komponen utama untuk mewujudkan healthy city antara lain lingkungan yang sehat, dukungan sosial, dan indeks kebahagiaan. Sehingga penyaji merasa definisi operasional healthy city tidak hanya sebatas pada terminologi bersih, aman, nyaman, dan sehat sebagaimana dicetuskan oleh kemeterian kesehatan. Lebih dari itu, healthy city terdiri atas unsur-unsur yang kompleks, baik dari dari aspek lingkungan, dukugan sosial, maupun psikologis. Prinsip-prinsip healthy city adalah adanya sustainabilitas, inovasi, adaptabilitas, inklusif, equitas, leadership, dan partnership.

Suksesnya implementasi healthy city sangat tergantung kepada komitmen kepala daerah. Aspek kepemimpinan dan keterlibatan lintas sektor merupakan kunci terselenggaranya konsep healthy city secara keseluruhan. Koordinasi memang merupakan tantangan terbesar dalam penyelenggaraan healthy city. Hal ini disebabkan karena leading sector 9 tatanan healthy city berada di sektor yang beragam, tidak hanya sektor kesehatan saja. Sektor kesehatan berperan sebagai suppporting sector-nya. Oleh karena itu, peran kepala daerah menjadi sangat penting untuk mengkoordinasikan beberapa sektor untuk mewujudkan healthy city.

Oleh: Budi Eko Siswoyo 

Program Intervensi PTM

Pembicara Simposium 8Penyakit Tidak Menular (PTM) saat ini sudah semakin mengancam seperti yang dipaparkan oleh Prof. dr. Ridwan Amiruddin, SKM, MSc PH. 50% populasi di dunia meninggal karena penyakit jantung dan pembuluh darah. PTM mengambil proporsi sebesar 30% dari kasus kesehatan. Di Indonesia kematian karena penyakit jantung sebesar 17.5 juta dan karena kanker sebesar 7.5 juta. Pada tahun 1990 kematian lebih banyak disebabkan karena penyakit respiratori, namun tahun 2010 penyakit stroke menjadi penyebab nomor 1 kematian di Indonesia. Faktor penentu PTM antara lain pola makan masyarakat Indonesia yang tidak sehat secara kultural, modifikasi faktor resiko (penggunaan tembakau, alkohol, diet, aktivitas fisik), maupun penyakit kronik.

Bukti epidemiologi untuk program pencegahan melalui intervensi komunitas yang luas. Namun berbagai hambatan membayangi upaya pengurangan resiko PTM seperti birokasi, sistem pendidikan yang masih medical center, maupun pelatihan profesi medis yang belum memadai. Strategi untuk mengurangi resiko PTM dengan menghilangkan kesenjangan kesehatan antar populasi, identifikasi resiko kelompok tinggi, pendekatan budaya, integrasi perawatan kesehatan primer, integrasi promosi kesehatan lainnya, penghentian tembakau, kontrol berat badan, dan manajemen stres.

Selain penyakit kardiovaskular yang menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia, stroke juga menjadi penyebab utama kematian. Dr. dr. Isman Yusuf, Sp. S menggambarkan bahwa terdapat kasus stroke 500,000 kasus per tahun dan sebesar 52.5% pendapatan penderita stroke dan keluarganya habis untuk pengobatan stroke. Prevalensi penyakit stroke meningkat dari 8.3 per mil (2007) menjadi 12.1 per mil (2013). Saat ini stroke sudah mulai menyerang pada usia 30 tahun. Klinisi masih lebih berfokus pada manajemen efektif daripada prevensi efektif dengan asumsi hal tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan masyarakat. Berbagai problem dihadapi antara lain dokter kesulitan untuk mendiagnosis berdasar tanda dan gejala klinis pasien, pasien tidak sadar stroke sebesar 56.3%, keterbatasan transpor (21.5%), pasien memilih pengobatan tradisional (11.6%). Hanya 6% pasien yang dirujuk rawat inap ke rumah sakit.

Melalui model prediksi akan memperkuat manajemen stroke. Untuk memperkuat manajemen stroke tersebut maka diperlukan sosialisasi model prediktor stroke, deteksi resiko stroke tinggi atau rendah, dan preventif primer untuk stroke resiko tinggi.

Reporter Elisabeth Listyani

Epidemiologi Penyakit Infeksi

Dalam sesi simposium 9 di hari pertama Kongres Nasional IAKMI ke-XIII, pembahasan epidomiologi penyakit infeksi dibahas menarik dengan mengedepankan pola penyakit, waktu, dan tempat. Disertai dengan studi kasus, persebaran jumlah kasus, faktor resiko infeksi, cara pencegahan, cara penularan, dan cara pengobatan, serta beberapa kondisi yang diharapkan untuk ke depannya demi menurunkan angka morbiditas dan mortalitas kasus infeksi. Penyakit infeksi yang disampaikan adalah tuberculosis, kusta, frambusia, dan HIV/AIDS. Penularan infeksi menjadi fokus yang sangat penting untuk ditangani dan menjadi sisi yang paling besar memiliki pengaruh untuk dihentikan dan dicegah.

Materi TB - Ibu RizandaMateri pertama disampaikan oleh Prof. Dr. Dr. Rizanda Machmud.,M.Kes. Penyakit tuberculosismasih menjadi permasalahan besar di Indonesia karena rendahnyakesadaran perilaku masyarakat terkait penyakit TB dan pengambilan keputusan untuk menindaklanjuti gejala dan tanda penyakit. Pengambilan keputusan ini sebaiknya dlakukan dalam tingkatkelompok/komunitas bukan individu. Pendekatan community empowerment TB ini dicontohkan pada kegiatan yang dilakukan di 6 (enam) kabupaten/kota di Sumatera Barat karena wilayah tersebut memiliki case detection yang sangat rendah. Pendekatan budaya dan kebiasaan setempat melaluikelompok anak-anak, ibu-ibu PKK, stakeholder terkait dan tokoh agama menjadi penghubung kampanyeTB dan pencegahannya. Dampak yang dirasakan adalah peningkatan angka suspect rateTB dan peningkatan dana APBD yang diaokasikan untuk menangani penyakit ini.

 

Materi Kusta Frambusia - Ibu RitaSelanjutnya materi kedua disampaikan oleh Dr. Rita Djupuri, B.Sc, DCN, M.Epid tentang penyakit kusta dan frambusia yang saat ini di Indonesia fokus pada upaya eliminasi dan eradikasi penyakit. Penyakit kusta sangat rentan dengan kecacatan fisik dan stigmamasyarakat. Stigma inilah yang membuat penderita sulit untuk terbuka ke masayarakat atau minimal ke pelayanan kesehatan. Bahkan, lebih jauh lagi, masyarakat terkadang tida paham tanda dan gejala dari dua penyakit ini. Pada kusta, titik beratnya adalah kuman yang menular melalui pernafasan, rendahnya sistem kekebalan tubuh, dan kontak yang lama dengan pednerita, sedangkan pada frambusia resiko besar ditemukan karena sulitnya akses air bersih dan lingkungan serta perilaku hidup bersih dan sehat. Pendekatan keluarga sangat dibutuhkan untuk dapat mendeteksi penyakit infeksi ini secara dini.

 

Materi HIV - Bapak ArlinTerakhir, materi ketiga disampaikan oleh Bapak Arlin Adam. Disampaikan bahwa infeksi HIV menyerang sistem kekebalan tubuh. Saat ini prevalensi HIV sangat tinggi ditemukan pada ibu rumah tangga. Hal ini mengindikasikan HIV sudah berada dalam level generalized epidemic.Ke depannya, ini menjadi ancaman besar untuk terjadinya loss generation, karena bayi dan anak-anak akan dapat tertular juga dari ibunya. Saat ini perilaku seksual beresiko menjadi dominasi tertinggi penularan HIV, disamping ada multiple reciprocal factor (drugs termasuk di dalamnya). Memberikan intervensi pencegahan HIV pada hotspot potensi tinggi penularan sangat diperlukan. Di sisi lain, upaya untuk tes HIV pada calon pengantin dan mendekatkan akses pelayanan kesehatan untuk HIV/AIDS di masyarakat juga sangat diperlukan. Ke depan, akan ada kecenderungan tes HIV bukan lagi bersifat voluntary tetapi mandatory test. Komitmen getting zero new infection dapat difasilitasi melalui tes HIV pranikah dan komitmen untukzero death related to AIDSdapat difasilitasi dengan adanya akses pelayanan kesehatan yang mudah. Konsep home based care dapat dibantu untuk membantu pengobatan ARV secara rutin.

Reporter: Aulia Novelira, SKM.,M.Kes

Kesehatan Lingkungan

IMG 20161103 163657Sore di hari pertama (3/11/2016) kegiatan Konas IAKMI yang diselenggarakan di Hotel Four Point Makassar dilaksanakan dalam beberapa simposium. Salah satu simposium dengan topik kesehatan lingkungan yang dibawakan oleh dua pemateri, yaitu dr. Imran Agus Nurali, SpKo yang merupakan Direktur Kesehatan Lingkungan Kementrian kesehatan. Sedangkan pemateri kedua adalah Prof Anwar Daud SKM MKes (dosen FKM Unhas).

Pada materi pertama, dr Imran menjelaskan tentang bagaimana perwujudan wilayah yang bersih dan sehat melalui program kota sehat. Program kota sehat ini sendiri pada awalnya terdapat di 8 wilayah di Indonesia yang merupakan sebuah program yang bersifat top-down dari pemerintah. Pendekatan ini sendiri telah memiliki dasar hukum meskipun saat ini telah mulai digeser ke pendekatan bottom-up.

Sementara pembahasan oleh Prof Anwar Daud SKM MKes (dosen FKM Unhas) menyajikan bahasan kontaminasi terkait dengan penurunan fungsi sel dan degenerative. Anwar memaparkan bahwa program kota sehat yang juga berhubungan langsung dengan isu kontaminasi sebenarnya terlihat bagus di atas kertas. Namun demikian, persoalan kesehatan tidak semudah itu, tetapi penekanan perbaikan yang perlu diprioritaskan adalah bagian paling kecil dahulu semisal pengembangan kesehatan individu maupun keluarga.

Reporter: Faisal Mansur, MPH

 

Reportase Simposium 2

simp12

Alternatif Mengatasi Defisit BPJS Kesehatan

Pembicara: Prof.dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD

Klaim rasio PBPU masih di atas 200%, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi klaim PBI dibawah 100%. Atau ini berarti ada kerugian di BPJS Kesehatan. Apa masalahnya? PBPU meningkat klaimnya, sehingga BPJSK defisit, dana PBI dipergunakan oleh kelompok yang lebih mampu. Masalah ini merupakan masalah di lapangan dimana PBI banyak terdapat di daerah terpencil, di daerah-daerah sulit dimana BPJS Kesehatan tidak memiliki aliran dana ke daerah sulit. Masalah utamanya, PBI jatahnya dipakai non PBI mandiri.
Alternatif strateginya, ada 2 solusi, yaitu:

  1. Penambahan dana kesehatan yang tidak harus melalui BPJS Kesehatan
  2. Pembatasan pengeluaran

Sumber dana kesehatan, dana APBN sampai dengan out of pocket, adakah kemungkinan dinaikkan. Dana APBN sudah maksimal 5% untuk sektor kesehatan. Sehingga APBN sulit naik, kemungkinan dari pajak tembakau, namun masih banyak pertanyaan. Dari APBD, dana ini bisa langsung diberikan ke BPJS Kesehatan atau ke FKTP dan FKTL. Dana APBD ini juga tergantung kemampuan fiskal daerah dan kemauan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk kesehatan termasuk mendanai asuransi kesehatan yang kurang. Misal anggaran sudah dipatok 100 milyar untuk BPJS Kesehatan daerah tersebut, ternyata ada kenaikan 110 milyar maka 10 milyarnya dibayar oleh Pemda. Kemudian dana-dana premi BPJSK, non PBI preminya bisa dinaikkan, sampai 500 ribu – 1 juta untuk kelas 1. Pasalnya, sebagian besar orang kaya di kelas 1. Kemudian dana dari masyarakat, dari out of pocket sehingga cost sharing perlu. Dana masyarakat yang ada perlu dimanfaatkan karena pajak rendah atau kenaikan pajak penghasilan rendah dengan GDP naik tinggi. Sehingga dibuat sistem untuk perpajakan sehingga bisa masuk ke sistem kesehatan.

Pengurangan manfaat/ efisiensi. Sekarang DKI Jakarta dan Provinsi seperti NTT misalnya tidak ada batasan untuk paket manfaat. Ada basic manfaat atau paket dasarnya apa?. Sehingga peserta di DKI Jakarta yang lengkap fasilitasnya, misal di atas 100 juta setahun maka BPJS Kesehatan tidak lagi menanggung. Silakan membeli asuransi katastropik untuk menangani, sehingga ada batas atasnya. Dimana sekarang masih bebas belum ada batasnya. Dengan demikian yang mahal-mahal/ katastropik perlu pembatasan karena berbiaya tinggi.

Dalam upaya peningkatan efisiensi dengan melihat fraud, abuse, wish dan ini merupakan penyimpangan yang ditindaklanjuti sebagai hal yang serius. Hal yang perlu dilakukan misalnya mengembangkan sistem pencegahan dan penindakan fraud.

Residu JKN

Prof. Amran Razak

Ilmu Kesehatan masyarakat merupakan ilmu politik atau ilmu advokasi. Sehingga muncul stigma jika orang miskin itu menderita. Residu dari JKN, karena sisa-sisa yang sebenarnya melekat tidak bisa lepas dari JKN. Satu obat agar JKN terus berjalan seperti suntikan dana dari APBN yang ternyata juga tidak sehat. Misal: dalam hitungan aktuaria kelas 1 mandiri adalah 63 ribu, dibayar dengan iuran 51 ribu dan hasilnya tekor/defisit yaitu 12 ribu. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mau menanggung defisit ini?

Di Sulawesi Selatan muncul kemitraan dengan rumah sakit swasta. Sekarang ini mitra BPJS Kesehatan adalah RS Pemerintah. Pada beberapa tahun ini RS Swasta mulai melirik BPJS Kesehatan. Mengapa BPJS Kesehatan menjadi lirikan RS Swasta, karena adanya adverse selection, fraud, over utilization, biaya tinggi penyakit terjadi.

Permasalahan juga terjadi karena pelayanan primer sebagai gatekeeper belum berjalan. Isu lain adalah tidak berhasilnya integrasi Jamkesda. Integrasi Jamkesda membuktikan kalau Pemerintah Daerah masih setengah hati untuk masuk ke UHC. Hal ini dikarenakan Pemda mempunyai janji politik untuk mengelola pendidikan dan kesehatan secara gratis. Integrasi Jamkesda tidak terjadi karena pemotongan anggaran. Portabilitas positif dan negatif terjadi pada saat integrasi. Ada Kabupaten yang tidak terjangkau BPJSK hanya menggunakan KTP untuk berobat. Contoh ini menunjukkan keterbatasan BPJS Keseahata menjangkau daerah terpencil.

Nawacita masih dalam konsep yang perlu dipahami (ada tetapi tidak ada). BPJS Kesehatan masih seperti makelar pihak ketiga. Pengelolaannya perlu perbaikan, karena bukti yang sekarang ada adalah muncul tunggakan-tunggakan di beberapa daerah. Muncul kesenjangan di wilayah timur dengan wilayah di kota-kota besar.

Penerapan Akuntabilitas di Era JKN

Dr. dr. Indahwati Sidin

Akuntabilitas merupakan hal yang penting di RS, selain tekor/defisit butuh pengelolaan. Akuntabilitas merupakan transparansi dan pertanggungjawaban dilakukan oleh organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan organisasinya. Akuntabilitas penting karena beberapa tuntutan seperti good governance dan tuntutan tingginya persaingan RS. Reformasi di bidang kesehatan yaitu eksisnya lembaga pembiayaan kesehatan. Adanya SJSN menuntut penyelenggaraan yang akuntabel untuk stakeholder dalam UU No 40 Tahun 2004.

Dalam Permenkes No. 71 Tahun 2013. Aturan tersebut mengharuskan pengelolaan RS yang akuntabel dan transparan. Selama menggunakan dana JKN di RS terjadi inefisiensi dan tidak transparan. Sehingga RS dan Puskesmas harus tersertifikasi untuk menjamin penyelenggaraan organisasi yang akuntabel. Perlunya control di RS karena kemungkinan terjadi fraud di RS.

Dana yang diberikan tidak cukup oleh BPJS Kesehatan namun perlu legitimasi dari publik. Mengapa legitimati organisasi terhadap publik, dilakukan sebagai mekanisme control terhadap organisasi pelayanan kesehatan, yang bertujuan untuk pelayanan publik yang memuaskan masyarakat. Aturan SJSN harus menerapkan dan memastikan tidak ada fraud dalam pelayanan kesehatan di RS. RS harus melaksanakan transparansi-transparansi pengelolaan semua aspek di RS. Kelemahan pada ketersediaan obat tidak terdapat di distributor sehingga RS kesulitan mendapatkan stok obat. Dan hal lain yang menjadi kesenjangan adalah pesrta di RS tidak diperbolehkan membeli obat sendiri. E-katalog tidak menjamin ketersediaan obat yang dibutuhkan pasien. Implikasi pengelolaan RS yaitu clinical pathway perlu dijalankan, cost containment, dan customer quality driver.

Sesi Diskusi

Pertanyaan:

Kebijakan JKN merupakan kebijakan pusat, dimana implementasi di daerah tidak sesuai harapan, muncul kesenjangan di daerah maju dan daerah yang tidak maju. Contohnya kebijakan terkait kalim kecelakaan di RS, kebijakan ketersediaan fasilitas kesehatan dan alkes. Apakah perlu dihapus program JKN untuk daerah terpencil atau program apa yang cocok?

Narasumber:

Prof Laksono menyampaikan bahwa Kebijakan JKN melalui BPJS Kesehatan merupakan program bagus dan tidak perlu dihapuskan. Hal yang lemah adalah implementasi di lapangan. Perlu effort untuk memperbaiki implementasi di lapangan dengan kebijakan-kebijakan yang lebih tepat. Misalnya menjalankan dana kompensasi yan sudah tercantum di undang-undang. Pembicara lain menambahkan bahwa tidak hanya sistem yang diperbaiki di lapangan tetapi juga penyelenggara pelayanan yang juga harus berbenah.

oleh Faozi Kurniawan 

Gizi dan 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK)

simp12Gizi akan berpengaruh terhadap kesehatan dan produktivitas penduduk. Indonesia masih menghadapi masalah gizi ibu hamil dan bayinya. Untuk itulah Global Alliance Improvement Nutrition (GAIN) melaksanakan program meningkatkan status gizi ibu hamil dan bayi dua tahun (baduta) di Kabupaten Malang dan Kabupaten Sidoarjo. Agnes Malipu sebagai representatif GAIN memaparkan best practice yang sudah mereka lakukan untuk meningkatkan status gizi. Penelitian yang dilakukan tersebut mempertimbangkan bahwa angka balita pendek (stunted children) di Jawa Timur paling tinggi (1.3 juta jiwa) dan tingkat kemiskinan masih tinggi. Perlu diketahui bahwa gizi makanan dan infeksi kesehatan akan mempengaruhi malnutrisi ibu dan anak. GAIN menggunakan proses desain komunikasi untuk perubahan perilaku gizi ibu hamil dan baduta yang hasilnya akan diaplikasikan pada Januari 2017. Faktor – faktor lingkungan akan mempengaruhi atau memicu otak dan perilaku yang akan mempengaruhi kesehatan (Curtis and Aunger, 2014).

GAIN menggunakan formative research, salah satunya dengan video ethnography. Hasilnya dari sisi perspektif konsumen bahwa ibu mengetahui “ASI adalah yang terbaik” tetapi mereka percaya bahwa “Susu formula membuatnya lebih sempurna.” Hal tersebut dipengaruhi beberapa hal seperti ibu kurang percaya diri stok ASI yang dimiliki, susu formula menjadi norma sosial (Anda dianggap tidak mampu jika tidak dapat membeli susu formula), tidak adanya informasi tentang susu formula. Selain itu, camilan juga berpengaruh dimana bayi yang menangis terus akan ditenangkan ibunya dengan memberi permen. Padahal camilan tersebut akan membuat kenyang dan bayi akan menyingkirkan makanan utamanya. Melihat hasil penelitian tersebut maka GAIN melontarkan ide kampanye dengan “Rumpi Sehat” yang sudah ditayangkan di berbagai televisi. Pesan kunci dari kampanye tersebut antara lain ASI saja cukup (0 – 6 bulan) dan perlunya makanan yang bervariasi dan seimbang.

Hal lain yang menarik dari sesi ini adalah pentingnya pemenuhan gizi pada periode prakonsepsi untuk menunjang keberhasilan program penyelamatan 1.000 Hari Pertama Kelahiran (HPK). Dr. dr. Sri Sumarni, SKM, MSi memaparkan mengenai pelaksanaan Scalling Up Nutrition (SUN) di Indonesia dimana pada periode prakonsepsi belum menjadi bagian dari program ini. Sumarni menggunakan berbagai evidence dari studi epidemiologi maupun penelitian selular dan biomolekular untuk menjelaskan pentingnya peran gizi pada masa prakonsepsi.

Ibu hamil yang mengkonsumsi suplemen sebelum hamil akan mengurangi risiko kelahiran prematur sebesar 50%. Konsumsi suplemen pada masa prekonsepsi akan menurunkan resiko pre-eklamsi sebesar 45% – 71% dan menurunkan risiko small for gestational age (SGA) sebesar 36%. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Probolinggo membuktikan bahwa suplemen memberikan efek yang lebih baik terhadap imun maternal dan hormon human placental lactogen (HPL) sehingga akan meningkatkan berat badan bayi lahir dan menurunkan resiko aborsi serta prematur. Pemberian suplemen zat gizi pada periode prakonsepsi akan lebih penting dibandingkan diberikan saat kehamilan. (Disadur dari abstrak Sun Movement : Bagaimana Mungkin Menyelamatkan 1000 Hari Pertama Kehidupan Tanpa Disertai Program Gizi Pra Konsepsi?, Sri Sumarni).

Reporter: Elisabeth Listyani

Integrasi dan Sinergitas Program KKBPK, Kesehatan, dan Sosial Dalam Membangun Desa

simp14Serangkaian workshop integrasi dan sinergitas program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK), kesehatan, dan sosial dalam pembangunan di tingkat desa dan kab/ kota dibuka oleh sambutan dari dr. Adang Bachtiar, MPH, Sc.D (Ketua IAKMI) yang menekankan pentingnya peran kampung KB di setiap desa untuk membangun sektor kesehatan dan mencapai bonus demografi. DR. dr. Melania Hidayat, MPH (National Programme Officer for Reproductive Health – UNFPA Indonesia) turut menekankan bahwa peran sektor swasta juga penting untuk dilibatkan dalam membangun program KB. Materi pertama diawali dengan penjelasan dr. Abidinsyah Siregar, DHSM, M.Kes (Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi – BKKBN) mengenai pelaksanaan program kampung KB yang notabene salah satu latar belakangnya adalah kenaikan total fertility rate (TFR). Abidinsyah menyampaikan bahwa terdapat dua indikator capaian program KB yaitu diawali dengan mencari wilayah dengan capaian KB paling rendah dan kemudian menggunakan data yang terkait dengan kondisi angka kemiskinan yang paling tinggi. Dua indikator itu merupakan titik terlemah dalam suatu wilayah. Intervensi diawali dengan pencanangan kampung KB yang saat ini sudah ada 432 Kampung KB pada 514 Kabupaten/Kota.

Materi selanjutnya berkaitan dengan peran multi sektor yang belum efektif di daerah. Materi kedua ini disampaikan oleh Ir. H. Moh. Ramdhan Pomanto (Walikota Makassar) tentang Pelaksana Kampung KB di Tingkat Kelurahan Kecamatan dan Kota di Kota Makssar. Ramdhan menambahkan bahwa permasalahan urbanisasi dan faktor demografi lainnya juga turut berkontribusi terhadap pentingnya adanya integrasi dan sinergitas program pembangunan desa, terutama di kota Makassar. Pada masa awalnya menjadi Walikota, Ramdhan melakukan riset kebutuhan dan masalah masyarakat dan menemukan bahwa masalah kemiskinan dan kesehatan sangat dominan. Pendekatan ruang yang dilakukannya untuk mengatasi masalah ekonomi, kesehatan, sekaligus kependudukan di Kota Makassar. Utamanya, Ramdhan sangat optimal sekali melakukan pemberdayaan masyarakat melalui stakeholder di tingkat paling rendah yaitu RT dan RW. Koordinasi dari stakeholder di tingkat RT dan RW akan sampai ke walikota dengan adanya monitoring melalui teknologi smartphone dan war room city.

Materi selanjutnya terkait dengan Pendekatan Keluarga Menuju Keluarga Sehat disampaikan oleh Dr. Eni Gustina., MPH (Direktur Kesehatan Keluarga – Kemenkes RI). Eni menyatakan bagaimana upaya kita mempertahankan tetap dalam kondisi sehat dan bugar. Hal ini menekankan bahwa sehat bukan menjadi tujuan. Dengan kata lain, pada saat jatuh sakit baru mencari kesehatan. Untuk daerah terpencil dan perbatasan, program Nusantara Sehat mengupayakan mendekatkan masyarakat pada layanan kesehatan. Sedangkan pada wilayah yang mudah dijangkau, puskesmas diberdayakan untuk menggunakan pendekatan keluarga dengan paradigma sehat, mengutamakan promotif preventif, memperkuat pelayanan dasar, memperkuat pembiayaan kesehatan melalui JKN. Sasarannya adalah pada penerapan standar dan mutu kesehatan serta kemandirian masyarakat.

Di akhir sesi, para pakar memberikan tanggapannya terkait dengan materi yang disampaikan. Tanggapan pertama dari dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, MSc, ScD yang menyatakan bahwa gagasan kampung KB ini diharapkan menjadi percontohan kecil di satu wilayah yang kemudian diperluas ke wilayah lain. Program kampung KB ini diharapkan memiliki tujuan dan arah yang jelas. Tanggapan selanjutnya dari Dr. Sumaryati Arjoso, SKM, bahwa integrasi dalam berbagai hal untuk membangun program kampung KB, diperlukan revolusi mental birokrat, pendekatannya harus holistik komprehensif intergratif dan sinergis mulai dari pusat, menghilangkan ego sektoral, rakyat tidak terkotak-kotak, besarnya organisasi di pusat memastikan siapa yang menangani/bertanggungjawab dan siapa yang bertugas, prinsip desentraslisasi yang di pusat hanya memastikan semua terkondisikan, yang memiliki peran besar adalah di tingkat daerah. Terakhir, tanggapan dari perwakilan BAPPENAS menyatakan bahwa prinsip money follow program memiliki manfaat yang sangat besar bagi masyarakat melalui program pemerintahan yang terintegrasi antar sektor.

Reporter : Budi Eko Siswoyo, SKM.,MPH
Aulia Novelira, SKM.,M.Kes

Implementasi 1000 hari pertama kehidupan

simp1318

Simposium 13 dan 18 dalam bagian konas IAKMI ini menyajikan materi dan pembahasan dengan tema “1000 hari pertama kehidupan”. Sebagai pengantar, Bapak Anung Sugihantono selaku direktur Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan gambaran implementasi program 1000 hari pertama kehidupan. Dalam pengantar yang disampaikan Bapak Anung, beberapa masalah yang ditemukan seperti hampir lebih dari setengah masyarakat ternyata mengalami kekurangan gizi. Sedangkan pada saaat pemberian ANC, petugas kesehatan paling banyak hanya memfokuskan untuk kegiatan pemeriksaan kehamilan.

Program yang dikembangkan saat ini disesuaikan dengan SDGs berdasar pada poin pengentasan kelaparan dimana negara juga telah mendukung melalui Perpres 42 tahun 2013. Beliau juga memberikan pesan terkait pentingnya diversifikasi dalam menunjang stok pangan di inidonesia. Saat ini sudah ada pengembangan program beras sejahtera untuk masyarakat dengan target orang miskin

Saat ini sudah ada kesepakatan bersama antara direktural jenderal bina gizi kesehatan dengan 32 universitas se Indonesia, berbagai penelitian dan intervensi gizi telah dilaksanakan. Tiga universitas yang menjadi partner pemerintah dalam program ini seperti FKM UI, FKM Undip, dan FKM Unhas turut hadir dalam sesi kali ini

Prof DR dr Abdul Razak Thaha, MSc, SpGK dari Unhas, Hanifah Maher Denni SKM MPH, PHd dari Undip, dan dr. Agustin Kusumayati, M.Sc., Ph.D dari FKM UI memaparkan berbagai hasil penelitian dan intervensi yang dilakukan.

Dr.dr.Agustin Kusumayati, M.Sc.,Ph.D., Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia menyampaikan bahwa peran perguruan tinggi dalam hal ini FKM UI dalam program penyelamatan 1000 hari pertama kehidupan antara lain memastikan materi promosi 1000 HPK masuk dalam kurikulum kesehatan masyarakat, baik dalam kegiatan kurikuler (pembelajaran di kelas) maupun ko-kurikuler (KKN, bakti sosial). Selain itu, promosi 1000 HPK juga dilakukan melalui kegiatan ilmiah seperti seminar, serta ekspansi melalui penelitian dan pengabdian masyarakat.

Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. dr. Abdul Razak Thaha, M.Sc., Sp.GK. FKM Universitas Hasanuddin memberikan penekanan bahwa pemahaman yang benar tentang konsep scalling up nutrition kepada dosen dan staf mutlak diakukan, karena tidak bisa dipungkiri bahwa dosen yang nantinya akan berperan sebagai aktor yang akan berperan untuk melakukan transfer knowledge kepada mahasiswa dan masyarakat. Selain itu, integrasi dan sinergi penelitian, pendidikan, dan pengabdian masyarakat merupakan langkah utama yang ditempuh Unhas dalam mengarusutamakan isu 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Ditekankan pula bahwa integrasi promosi 1000 HPK ke dalam kurikulum kesehatan masyarakat pentng dilakukan. FKM Unhas mulai memaparkan 1000 HPK secara riil kepada mahasiswa semester petamadengan cara turun langsung ke lapangan. Tujuannya adalah memastikan bahwa program promosi 1000 HPK dapat berlangsung secara kontinyu.

Prof. Abdul Razak Thaha juga menyoroti tidak sinkronnya pendidikan, kebijakan, dan praktik promosi 1000 HPK menyebabkan sulitnya pencapaian target promosi 100 HPK. Harmonisasi integrasi perlu dilakukan mengingat masalah promosi 1000 HPK memerlukan sinergi antarberbagai macam sektor terkait. Sebagai sektor pendidikan, beberapa hal yang dilakukan Unhas antara lain:

Selain itu, intervensi terhadap kurikulum kesehatan masyarakat juga dilakukan oleh Unhas untuk mendukung sinergisitas percepatan penyelamatan 1000 HPK. Wujud nyata inovasi ini adalah disusunnya kurikulum Evidence Based Learning (EBL) cluster Gizi untuk mahasiswa maupun supervisor di lingkungan KM Unhas. Unhas juga mengembangkan instrumen pemantauan status gizi dengan memodifikasi instrumen Kementerian Kesehatan, serta melakukan pengumpulan dan manajemen data gizi berbasis rumah tangga.

Bertindak sebagai pembahas dalam workshop ini, Prof. Dr. Soekirman; Guru Besar Ilmu Gizi IPB memberikan masukan terkait standarisasi konsep gizi bagi para akademisidan stakeholder, sinergisitas lintas sektor dalam mengatasi masalah gizi, dan pemahaman yang benar bahwa intervensi program gizi harus dimulai dari outcome yang ingin dicapai sebagai baseline-nya. Pada kesempatan yang sama, Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, Ph.D. sebagai Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas menyampaikan bahwa dalam hal penyelamatan 1000 HPK, akademisi berperan memberikan sumbangsih terhadap kebijakan dari hasil penelitian yang dilakukan. Selain itu, penelitian juga harus menyasar masyarakat lokal, dalam arti mengakomodir local wisdom. Deputi KSPK BKKBN; Ir. Ambar Rahayu, MNS. menyorot tentang pentingnya elaborasi tridharma perguruan tinggi dalam hal penyelamatan 1000 HPK dengan program-program BKKBN antara lain Generasi Berencana (GenRe), Bina Keluarga Balita, dan sebagainya. Pada kesempatan yang sama, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan; Dr. dr. H. Rachmat Latief, Sp.PD, M.Kes, FINASIM mengkritisi bahwa selama ini implementasi program tidak sebagus yang direncankan dalam tataran akademik, sehingga perlu dikaji kembali efektivitas program penyelamatan 1000 HPK di tataran perencanaan. Kementerian Sosial RI yang diwakili oleh Dr. Harapan Lumban Gaol turut memberikan masukan bagi institusi pendidikan agar pengembangan kurikulum Perguruan Tinggi Kesehatan Masyarakat mengakomodir standarisasi kompetensi pendamping Program Keluarga Harapan.

Reportan : Faisal Mansur dan Dedik

 

SDG Untuk Pangan Dan Gizi”

oral10Pembicara 1 :
Dr. Arum Atmawikarta, SKM MPH (Manager Pembangunan Pilar Sosial, Sekretariat SDGs Nasional Kementerian PPN/ Bappenas)

Judul :
Evaluasi Pencapaian MDG’s dan Pelaksanaan SDG’s : Fokus Tujuan 2 “Tanpa Kelaparan”

Dimulai dari MDG”s yang telah berakhir pada tahun 2015, pencapaiannya dari 8 goal ada 18 target dan 67 indikator . Ada 49 indikator yang sudah tercapai dan 18 indikator yang tidak tercapai. Fokus pembicara adalah pada tujuan 2, tetapi sebelumnya bercerita mengenai tujuan 1 yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, bahwa rakyat Indonesia sampai saat ini belum bisa mencapai kecukupan gizi. Trend secara nasional sudah relatif rendah angka prevalensinya, tetapi disparitas antar wilayah menjadi buruk.

Tantangan ke depan adalah bagaimana kita bisa mengurangi prevalensi stunting dari anak baduta dan anak balita. Stunting bisa terjadi pada seluruh kelompok, tidak hanya pada kelompok miskin saja, tapi memang terbanyak 40% kelompok miskin prevalensinya lebih tinggi.

Sudah diteliti selama ini bahwa program Raskin mempunyai dampak hanya 1,4%, sedangkan bantuan uang kepada masyarakat program keluarga harapan (PKH) ini lebih tinggi karena jika anak disekolahkan atau diimunisasi, ibunya diperiksa kehamilannya maka diberi uang, dampaknya bisa menurun 2,4%. Program yang sedang dan akan meningkat adalah pemberian kupon, benar-benar kupon yang hanya bisa ditukarkan dengan produk yang lebih jelas targetnya. Jika melihat angka rata-rata yaitu 37% ini lumayan, tetapi jika melihat sebarannya antar propinsi di Indonesia sangat berbeda sebagai contoh di daerah NTT, Sulawesi Barat dan lain-lain ini 60% anak-anaknya stunting, dan ini menjadi isu disparitas. Seorang peneliti S3 di UI meneliti dengan menggunakan data Riskesdas mengenai sejarah stunting terhadap prevalesni penyakit Diabetes Melitus dan Hypertensi yang telah diteliti oleh Prof Barter, dicoba di Indonesia ternyata terbukti cukup menguatkan penelitian tersebut.

Sejak dulu sampai sekarang kita belum bisa menurunkan anemia pada ibu hamil, ternyata setelah diteliti oleh Litbankes, compliance meminum Fe hanya 30%, tetapi sudah diteliti di negara luar bahwa Fe sudah digabung dengan selenium, sehingga ini menjadi area riset ke depan di Indonesia.

Waktu MDG’s pemerintahan bekerja sendiri dan kurang mengikutsertakan pihak lain, tetapi sekarang dalam pelaksanaan SDGs aktornya ada 4, yaitu :

  1. Pemerintah
  2. Dunia usaha
  3. LSM
  4. Akademisi dan Organisasi profesi

Sehingga dana yang dulu hanya pemerintah tetapi sekarang dari semua keempat aktor yang ada di atas.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah pada RPJMN kita sudah tertampung? Sudah, jadi dari 169 target global, yang ada pada RPJMN kita yaitu 96. Jadi belum semua kesepakatan global itu ada pada RPJMN kita, sehingga ini yang perlu kita perbaiki utk RPJMN dan rencana tahunan.

Kesimpulannya adalah pengalaman Indonesia dalam MDG’s sangat berguna dalam pelaksanaan SDG”s juga tujuannya lebih lengkap, sehingga kompetensi dan profesionalisme tenaga kesehatan, pangan dan gizi untuk mencapai sasaran SDG”s perlu terus ditingkatkan. Untuk itu, kerjasama erat antara Institusi Pendidikan Tinggi dan Organisasi Profesi terkait pangan dan gizi sangat diperlukan.

materi presentasi

Pertanyaan :

  1. Hadian Arifin dari Stikes Ekalaya/ Pita Putih Palangkaraya :
    Bagaimana jika semua yang hadir, membuat rencana kerja dalam menghadapi stunting. Perlu ada kebijakan, Fe yang tidak cukup, harusnya ada pemeriksaan hemoglobin. Seharusnya pemeriksaan hamil 14 kali bukan 4 kali, kr rakyat Indonesia terbiasa memilih yang minimal.

    Jawab :
    Data riskesdas 2007, 2010-1013 baru sadar masalah angka stunting, angka bukan membaik tapi meningkat dan ini sudah menjadi global isu.
    Sri Mulyani menunjuk sangat baik tentang stunting karena dampaknya ke depan.
    Fe jadi persoalan karena alasan mual, tetapi sudah diganti dengan asam fumarat Antenatal di indonesia terjadi hal yang aneh, karena pada tahun 2013 menguji kompetensi dan yang lulus hanya 50%, sehingga kompetensi menjadi persoalan yang bisa membuat antenatal tinggi tapi angka kematian juga tinggi.

  2. Ahmad Fahrudin dari Samarinda :
    Pentol cireng adalah makanan yang sering ada di sekolah, adakah kerjasama pihak sekolah dengan akademisi. Konsumsi lebih banyak nasi dari pada lauk, apakah ada pemeriksaan terhadap pesantren.

    Jawab:
    Sudah diangkat duta stunting yaitu Solahudin ( adik Gusdur) dan sudah ada kerjasama FKM UI dengan Solahudin. Solahudin sudah melakukan di pesantrennya sendiri dan stunting-nya pendek. BTKL Yogya, sekretariat SDG”s dan BPS sudah bekerja sama untuk air bersih, jika dulu MDG”s yang diperiksa akses air bersih, tetapi sekarang akses air bersih yang aman yang tidak mengandung E-coli.

Reportase : Bella Donna , dr. MKes

Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan

simp16

Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan menjadi topik pertama yang disampaikan oleh Prof. dr. Purnawan Junadi, MPH, DrPH (Universitas Indonesia) di simposium 16, Konas IAKMI (Jum’at, 4 Nov 2016). Berbeda dengan SPM sebelumnya, Prof. Purnawan menjelaskan bahwa SPM kesehatan tahun 2016 saat ini akan didukung dengan PP SPM. Sejauh mana pembagian urusan pemerintah pusat, provinsi, dan kab/ kota akan berpengaruh pada tercapainya keberhasilan SPM kesehatan. Berdasarkan data NHA tahun 2014, Prof. Purnawan menjelaskan bahwa biaya layanan preventif masih berkisar 10-15% dari total biaya kesehatan. SPM Kesehatan yang baru ini memegang peran penting dalam menyeimbangkan UKM dan UKP, terlebih telah menjadi indikator kinerja pemerintah daerah dengan target merata 100 %.

materi

Sebagai bagian kebijakan dan ekonomi kesehatan, Prof. Dr. dr. M. Alimin Maidin MPH (Universitas Hasanuddin) memaparkan materi yang mengevaluasi efektivitas program JKN dari aspek yankes, pelayanan kepesertaan, kepuasan pelayanan, dan efektivitas pelayanan. Prof. Alimin menegaskan bahwa permasalahan regulasi dan manajemen pelayanan masih sering terjadi yang salah satunya berdampak pada manajemen pengadaan obat. Kekosongan obat, tidak semua obat tersedia di dalam e-katalog, monopoli produsen obat tunggal, dan panjangnya proses administrasi e-katalog merupakan beberapa permasalahan yang Prof. Alimin temukan dalam kajiannya. Perbaikan kebijakan dan manajemen layanan yang menjadi bagian rekomendasi Alimin yaitu : prosedural kepesertaan, pengadaan obat, sistem rujukan, dan penerapan clinical pathway pada penyelenggaraan tarif INA-CBG’s.

materi

Sebagai praktisi, Hendi Wijaya, SKM, MPH (Direktur RSUD Sambas) melengkapi sesi ini dengan memaparkan story change di RSUD Sambas pasca BLUD. Berbagai perbaikan sarana prasarana juga diikuti oleh peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan, khususnya dokter spesialis. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Hendi beserta tim yaitu adanya MoU antara RSUD Sambas dengan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro yang menjadi stase untuk residen senior. Melalui kerja sama dengan salah satu provider komunikasi, RSUD Sambas akhirnya menyediakan sarana pengaduan dan sarana informasi yang semakin mendekatkan pelayanan rumah sakit kepada masyarakat. Hendi tidak memungkiri bahwa perubahan ini tidak lepas dari keterlibatan multisektor dan komitmen promotif preventif yang senantiasa menjadi perhatian. Walaupun demikian, Hendi memaparkan bahwa masyarakat miskin yang belum dijamin oleh PBI pusat dan daerah masih menjadi permasalahan tersendiri bagi RSUD Sambas.

Oleh: Budi Eko Siswoyo

Peran Pemda dalam Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat

simp20

1. Wakil Bupati Kutai Kertanegara, Drs. Edi Damansyah, MSi

Kutai Kertanegara adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur, yang memiliki kapasitas fiskal tinggi karena adanya hasil sumbangan sumber daya alam berupa tambang dan minyak bumi. Kutai Kertanegara menyumbang 237Triliun PDRBnya untuk PDB Nasional. Bagi hasil yang kembali ke Kutai hampir mencapai 4 triliun rupiah per tahun (2015). Tidak salah jika Kutai ini menjadi Kabupaten terkaya di Indonesia. Tetapi bagaimana dengan sektor kesehatannya? Kabupaten ‘sekaya’ Kutai ini ternyata masih menyimpan suatu tantangan besar dalam status kesehatan, terutama derajat kesehatan ibu dan anak. Jumlah kematian ibu masih tinggi, data terakhir menunjukkan jumlah angka kematian ibu mencapai 29 jiwa, untuk Kabupaten dengan jumlah penduduk sekitar 200 ribu jiwa. Tantangan besar ini telah diidentifikasikan oleh pemerintah daerah Kutai, dimana pada sisi layanan kesehatan, terjadi kesenjangan akibat adanya ketidaksinkronan antara layanan kesehatan primer ke layanan kesehatan sekunder dan lanjutan. Masalah rujukan ibu hamil untuk bersalin, menjadi tantangan besar yang harus dijawab oleh pemkab Kutai. Melalui serangkaian perbaikan sistem kesehatan dan sistem layanan kesehatan bagi ibu hamil dan bersalin, maka diambil suatu kebijakan yaitu sinkronisasi rujukan layanan kesehatan ibu bersalin melalui perbaikan sistem informasi. Melalui model ini ketika ibu hamil ingin bersalin, sejak di layanan kesehatan primer, sudah terpantau, sehingga ketika harus dirujuk ke layanan kesehatan lanjutan (RSUD), semua bisa dilakukan penanganan secara tepat, cepat dan akurat. Melalui Model Hotline Ibu Bersalin ini, kabupaten Kutai Kertanegara mulai menunjukkan sinyal positif penurunan jumlah kematian ibu.

2. Kepala Dinas Kesehatan Kab. Jeneponto, HM Syafruddin MKes

Jeneponto berubah dari daerah bermasalah kesehatan menjadi daerah dengan prestasi kesehatan. Daerah ini secara sisi supply sudah terlengkapi dengan berbagai macam sarana prasarana kesehatan. Akses juga mudah dijangkau, tidak ada akses ke faskes lebih dari 1 jam dengan masalah kualitas akses sedang (masih ada kendala kualitas jalan). Tetapi IPK
M Jeneponto termasuk yang terendah di Sulawesi Selatan. Ini terlihat dari cakupan programnya yang rendah. Secara anggaran, untuk dinas kesehatan saja sudah di atas 6%, dan jika digabung dengan RS, maka akan menjadi 11 % lebih. Ternyata telah terjadi kebijakan yang tidak tepat pada struktur anggaran. Banyak anggaran yang tidak secara langsung menyetnuh pada sisi peningkatan status kesehatan masyarakat.

Selain kepada kualitas pemberi layanan yang belum sesuai dengan standar. Masalah data juga menjadi masalah, karena data kependudukan tidak valid. Sehingga teridentifikasi ada masalah kondisi masyarakat yang tidak terlindung oleh sistem kesehatan. Permasalahan ini diselesaikan secara lintas program dan lintas sektor. Saat ini 70% program dikerjakan oleh SKPD kesehatan (dinas kesehatan, RS, dan BKKBN), dan 30% oleh lintas sektor. Fokus kepada program 1000 HPK untuk perbaikan input demand kesehatan masyarakat. Kunci suksesnya adalah kemitraan antar lintas program dan lintas sektor termasuk dengan lembaga kemasyarakatan, akademisi, dan kaum bisnis.

Reporter: Deni Harbianto, SE

Urgensi Riset Implementasi

Evaluasi Pembayaran Kapitasi Provider Primer di Era JKN
Dr. drg. Yulita Hendrartini, M.Kes

Mengapa dilakukan evaluasi? karena kesalahan pada pembayaran di provider pelayanan primer. Latar belakang bahwa provider primer sangat esensial untuk mencegah biaya pelayanan yang sangat besar yang pada awal 2014 yaitu 8 Trilyun di FKTP dan RJTL hampir 23 Trilyun dengan FKTP 197 ribu. Implementasi kebijakan BPJS Kesehatan yang menerapkan norma penetapan besaran kapitasi serta pembayaran kapitasi berbasis pemenuhan komitmen. Apakah implementasi kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Pusat dan kebijakan yang dibuat BPJS Kesehatan sudah mampu mendorong pembayaran yang lebih efisien?

Data dari 755 FKTP melibatkan puskesmas, DPP, dan klinik pratama. Dukungan dana dari BPJS Kesehatan. Hasilnya ada ketimpangan distribusi peserta, kepersertaan di Puskesmas lebih besar. Terkait dengan beban kerja yang berlebihan yaitu 1 dokter bisa menangani 30 ribu peserta, ini fakta. Di daerah tertinggal kapitasinya hanya 3000-3500 rupiah. Sedangkan daerah non tertinggal bisa 6000 rupiah. Jumlah dokter di DTPK sangat terbatas apabila untuk memenuhi dokter umum yang ketentuannya harus 2. Distirbusi rasio utilisasi masih besar, dari 755 FKTP rasionya sekitar 6%, di perkotaan lebih tinggi lagi. Jumlah dokter terhadap biaya aktual ternyata tidak memberikan dampak signifikan. Tetapi rerata biaya di Puskesmas 130.000 – 231.000 ribu (unit cost berdasarkan pendekatan rasio utilisasi kuratif).

Sebaiknya kapitasi harusnya mempertimbangkan rasio utilisasi bukan jumlah dokter. Kapitasi dipengaruhi rasio utilisasi dan unit cost bukan jumlah dokter. Sehingga kesimpulan, pembayaran kapitasi ini memungkinkan inefisensi biaya, perlu formulasi dari kapitasi yang dapat mendorong peningkatan mutu dan tindakan promotif dan preventif.

Kesenjangan biaya aktual perlu dihindari dengan memeratakan beban kerja jumlah dokter dan karakteristik peserta JKN. Penentuan besaran kapitasi sebaiknya mempertimbangkan rasio utilisasi dan adjustment faktor. BPJS Kesehatan dapat memberikan insentif khusus bagi FKTP daerah terpencil untuk mendorong pemerataan akses dan ketersediaan tenaga kesehatan.

Hasil Riset Implementasi JKN di Pelayanan Primer-Kapitasi
dr. Likke Prawidya Putri, MPH

Mengapa penelitian kapitasi? karena kapitasi merupakan kebijakan, ada siklusnya dan ada perkembangan kapitasi selanjutnya. Lalu bagaimana pelaksanaan kapitasi di lapangan?. Penelitian yang dilakukan oleh UGM, P2JK, dan mitra universitas Sumut, Universitas Jember, dan Universitas Cendrawasih menjawab pertanyaan tersebut. Topik riset ditentukan dengan mengunjungi calon tempat studi, dan konsultasi dengan kementerian dan stakeholder tingkat nasional. Pertemuan nasional dilakukan untuk menentukan topik penelitian, salah satunya regulasi.

Tujuan penelitian riset implementasi adalah untuk memahami tantangan dan memahami kebijakan ke depan. Metode yang digunakan yaitu kualitatif dan kuantitatif. Tahap I pengumpulan data sekunder di FKTP termasuk kualitatif. Tahap selanjutnya datang ke dinas kesehatan, Bappeda dan instansi lain. Kendala-kendala ditemukan pada saat analisis data kualitatif. Kapitasi idealnya dapat meningkatkan kualitas pelayanan dengan mempengaruhi kinerja SDM. Terkait jumlah dokter, kapitasi tidak terlalu berpengaruh, ada FKTP yang bertambah dan ada juga yang berkurang. Kemudian rujukan, ini terkait kinerja, ketat merujuk tidak terjadi di semua kabupaten kota karena salah satunya dorongan dari masyarakat, hal lainnya yang menyebabkan rujukan adalah obat dan alkesnya tidak ada dan SDM kesehatannya juga tidak ada.

Maka, dibutuhkan peran dinas kesehatan untuk mengawasi dan mengelola dana kapitasi. Ada dinkes yang mengokomodir alat kesehatan dan obat, namun ada juga yang perannya terbatas. Kapitasi diberikan ke FKTP namun tidak mengungkit performa FKTP tidak hanya karena SDM, namun juga ketersediaan obat dan alkes dari dinas kesehatan itu sendiri.

Urgensi Riset Implementasi
dr. Yodhi Mahendradhata, M.Sc., PhD

Mengapa urgensi riset implementasi? Riset implementasi marak karena banyak kekecewaan dengan banyaknya teknologi dan kebijakan ketika di atas kertas sangat menjanjikan tetapi dalam pelaksanaan jauh dari yang diharapkan. Contoh intervensi CRTCT yang berbasis bukti dan cost efektif ternyata tidak banyak berdampak penurunan HIV karena banyak kendala di lapangan. Ini juga terkait mata rantai sangat panjang antara efikasi di atas kertas dibanding efektifitas di lapangan. Contoh kasus dengue yang baru dengan efikasi 60% bisa menurunkan prevalensi dengue 20-30% kalau datanya tidak mudah diakses maka dengue-nya tidak berkurang, provider tidak yakin maka juga tidak akan diberikan datanya. Ada reduksi dampak efikasi ke efektifitas.

Sekarang kita tahu bahwa intervensi generik/sama namun apabila diterapkan di konteks berbeda dan strategi implementasi yang berbeda maka hasilnya akan berbeda. Contoh kebijakan-kebijakan di Indonesia, di ratusan kabupaten/kota maka hasilnya juga berbeda wilayahnya. Ada 3 elemen yang mempengaruhi agar berhasil, yaitu:

  1. Strategi berbasis bukti
  2. Implementasi yang efektif
  3. Konteks yang mendukung

Riset implementasi intinya adalah riset kesehatan untuk mempromosikan upaya-upaya berbabis bukti supaya lebih berhasil dalam pelaksanaannya. Intinya mengidentifikasi dan mengatasi kendala-kendala dengan lebih efektif dan berkualitas. Inti solusinya dilakukan bersama dengan stakeholder dan pengambil kebijakan. Hukumnya wajib dilakukan bersama stakeholder. Pertanyaan penelitian menjadi jantungnya dan relevan dengan stakeholder dan pengambil kebijakan.

Diskusi:

Riset implementasi seperti apa. idealnya seperti apa?

Ada perubahan yang terjadi dalam Riset Implementasi, Principal Investigator atau PI-nya merupakan pengambil kebijakan sebagai bentuk ideal dalam riset implementasi. Terlibat dalam fase-fase kritis, analisis, kesimpulan dan rekomendasi.

Untuk saat ini, PI masih di akademisi, masih bersifat konsultasi dengan pengambil kebijakan dan pada saat pengumpulan data, pengambil kebijakan ini tidak mengikuti karena kemungkinan bisa terjadi bias. Hasil penelitian kapitasi ini merupakan dorongan kebijakan peraturan atas norma kapitasi yang harusnya melibatkan stakeholder yaitu P2JK, Kemenkes dan BPJS Kesehatan. Hubungan harmonis antara peneliti dengan stakeholder/policy maker harus dijaga dan harus independen.

Apakah rekomendasi dalan penelitian evaluasi bisa dikembangkan menjadi riset implementasi. Perlu adanya penguatan bagaimana sistem pembayaran insentif pelayanan dan menentukan kinerjanya. Permasalahan yang terjadi sekarang adalah tidak punya akses data ke BPJS Kesehatan. Pemda tidak mempunyai power mengatur BPJS Kesehatan. Pay performace bisa digunakan untuk mengukur kinerja berbasis kenerja individu. Implementasi sekarang menunjukkan apakah kinerja berbasis norma dan apakah benar bisa diterima di kondisi lapangan. Hasil penelitian pun menunjukkan rekomendasi norma kapitasi jangan berbasis jumlah dokter dan sarana prasarana namun berbassi kinerja. Hal ini dikarenakan istilah norma tidak tepat untuk menentukan jumlah kapitasi.

Kebijakan Badan Litbangkes dalam Riset Implementasi
Naigoat Consalony Tambunan, SKM, ME

Ada perubahan badan Litbang sejak menggunakan kerangka kerja WHO untuk Litbang. Awalnya litbang dibentuk atas kritik Pelita I dengan fokus pembangunan bersifat fisik. Organisasi litbangkes terdiri dari 4 pusat litbang besar mempunyai mandat fungsi litbangkes berbasis mitra di unit program Kemenkes. Visi yang diemban dalam proses internalisasi terus-menerus, ada pergeseran isi dari lembaga ke promosi litbangkes sebagai lokomotif pembangunan nasional. Arah badan Litbangkes mulai bergeser bahwa litbang sebagai pandu/pemberi arah dalam pembangunan kesehatan. WHO sudah memberi referensi dimana peran Litbang dalam pembangunan kesehatan.

Misi:

  1. Menyediakan data, informasi, dan pengetahuan tentang masalah Kesehatan dan Penyebabnya
  2. Menghasilkan solusi perbaikan pembangunan kesehatan melalui inovasi teknologi kesehatan
  3. Menyediakan data, informasi dan pengetahuan tentang pencapaian pembangunan kesehatan.

Pertemuan koordinasi telah dilakukan untuk menentukan sistem Litbang. Sistem Litbang tidak bisa lepas dari sistem lain yang terkait. Artinya bahwa badan Litbang bermitra untuk setiap program kesehatan.

 

oleh Faozi Kurniawan

Reportase Simposium 3

oral4

Keselamatan dan Kesehatan Kerja lalu lintas

Pembicara : Prof. Tjipto Suwandi
Judul : Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lalu Lintas

materi

Tujuan utama dari keselamatan kerja adalah meningkatkan produktifitas dan objek yang dipelajari dalam K3 hanya ada 2 yang utama yaitu : penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja.

Dari penelitiaan ternyata >60% kecelakaan yang terjadi justru bukan di tempat kerja. Dan di Indonesia sekitar 19,86% angka kecelakaan lalulintas lebih tinggi dibanding Negara Denmark, jerman, Australia,china.

Dan ternyata angka kejadian kecelakaan lebih tinggi pada Negara yang rendah pemasukannya. Situasi yang menyebabkan ini adalah substandard condition seperti hujan, mengemudi malam, keslahan sendiri pada kendaraan, es, salju, kabut /asap yang mengganggu, jalan jelek, kelokan tajam, binatang yang mendadak lewat jalan, dan kebut-kebutan di jalan.

Tetapi yang paling penting dan lebih berperan adalah karena substandard act seperti :tidak focus pada saat mengemudi, ngebut pesta sampai pagi, menjelang lampu merah semakin kencang, melanggar lalulintas.

Sehingga perlu adanya manajemen lalulintas dari Dinas Perhubungan, perencanaan tata kota dan pengawasan yang lebih ketat, seperti tindakan tilang, perbaikan jalan dan rambu dan penahan kendaraan.

Kesimpulan :bahwa safety riding adalah yang utama sebagai pencegahan dalam suatu kecelakaan.

Pembicara 2 : Hanifa M. Denny, SKM, MPH, Ph.D
Judul : Implementasi k3 : Dari kampus kemasyarakat ,Untuk masyarakat yang sehat menuju SDGs 2030

materi

Penerapan budaya K3 dalam rangka membentuk masyarakat pekerja sehat sangat dibutuhkan, agar terjadi pekerja yang sehat dan aman. Budaya K3 sering disebut safety culture tapi tidak safety health culture.

Setiap kali melakukan kumpul-kumpul dikampus maka harus ada safety induction dan kursi maksimal 2-2 untuk memudahkan evakuasi jika ada bencana. metode atau kondisi dilakukan agar tidak membahayakan keselamatan kerja.

Behavior-based safety and health adalah suatu proses yang membantu pekerja mengidentifikasi dan memilih berperilaku aman. Kondisi aman dan sehat tempat kerja komponen manusia ditentukan oleh :

  • Kapabilitasfisik
  • Pengalamandan
  • Training, perlu ada ceklist perilaku yang benar dan salah

Pada K3 yang paling pentinga dalah Simple, Praktis, Promotif dan preventif serta tidak muluk-muluk sehingga yang seharusnya celaka menjadi tidak celaka.

Implementasi yang perlu dilakukan di Perguruan Tinggi :

  • Pemasangan apar,
  • Pemasangan tanda-tanda petunjuk keselamatan
  • Penerapan safety induction
  • Implementasi prosedur kerja aman

Contoh :

  1. dosen dan mahasiswa merelayout ruangan untuk memudahkan evakuasi
  2. dosen memastikan bahwa ruangan aman, sampah dibuang pada tempatnya
  3. peringatan hujan dan tangga
  4. training pada mahasiswa

Budaya yang dilakukan dan diajarkan di kampus akan membawa mereka menjadi pekerja yang paham berbudaya aman

Pembicara 3 : Yahya Thamrin, PhD
Judul : Serious Injuries among Young Workers: Students’ perspectives toward Occupational Health and Safety Education

materi

Di Australia anak-anak usia 15-17 jauh lebih tinggi terjadi kecelakaan karena mereka sekolah sambil bekerja. Anak-anak diluar biasanya usia 17 tahun mereka sudah ingin hidup sendiri sehingga itu yang membuat mereka sekolah sambil bekerja. Tetapi ternyata di Indonesia usia 15-24 tahun juga tinggi angka kecelakaan kerja.

Di dapati juga bahwa lebih banyak orang-orang pendatang seperti di sekolah internasional, karena biasanya mereka membutuhkan dana lebih untuk membiayai sekolah dan hidup mereka. Sehingga dibutuhkan peran sekolah untuk murid :

  • Memberi materi safety induction di sekolah
  • Basic knowledge tentang K3
  • Diberi pemahaman untuk aman bekerja diluar sekolah.

Reportase : Bella Donna, dr. MKes

Kesehatan Tradisional Indonesia

oral4Simposium 22 Kongres Nasional IAKMI ke-13 mengangkat isu kesehatan tradisional Indonesia. Pada kesempatan ini hadir Dra. Meinarwati, Apt., M.Kes. selaku Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional, Ditjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Meinarwati memberikan paparan tentang kebijakan pelayanan kesehatan tradisional yang merupakan implementasi pilar kedua rencana strategis Kementerian Kesehatan RI 2015 – 2019 yaitu penguatan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan tradisional menurut Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Lebih lanjut Dra. Meinarwati, Apt., M.Kes. menyampaikan bahwa prinsip terapi dalam pelayanan kesehatan tradisional adalah mengembalikan keseimbangan tubuh (promotif – preventif).

Selanjutnya, Meinarwati juga menyampaikan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2014 bahwa pelayanan kesehatan tradisional dikategorikan menjadi pelayanan kesehatan tradisional empiris, komplementer, dan integrasi. Pemberi layanan kesehatan tradisional empiris yang disebut sebagai penyehat tradisional bekerja sesuai dengan pendekatan biokultural empiris di area promotif dan dilarang melakukan tindakan invasif. Sedangkan pemberi layanan kesehatan tradisional komplementer yang disebut dengan tenaga kesehatan tradisional bekerja sesuai dengan pendekatan biokultural dan biomedis empiris di area promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pada kesempatan ini, kementerian kesehatan menekankan pentingnya para pelaku peyehat tradisional memiliki Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (STPT) dan tenaga kesehatan tradisional memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dari Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI). Pada prinsipnya, kebijakan yang dikelarkan oleh pemerintah bertujuan untuk melindungi pengguna dan pelaku pelayanan kesehatan tradisional secara legal di bawah payung regulasi yang jelas.

Pada kesempatan yang sama hadir pula para akademisi, praktisi, dan peneliti yang memaparkan hasil kajian layanan kesehatan tradisonal yaitu Dr. dr. Anna Khuzaimah, M.Kes. dari Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM) Makassar, Prof. Ir. H. Mappatoba Sila, Ph.D. dari Pusat Terapi Lebah RS Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, M.Sc., SpGK (K) dari Sekolah Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universtas Hasanuddin, dan Asep Rahman, S.KM., M.Kes. dari Yayasan Bina Lentera Insan Manado. Dr. Anna Khuzaimah memaparkan tentang implementasi pelayanan kesehatan tradisional di Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM) Makassar. Area yang dikerjakan meliputi pelayanan ketrampilan ramuan, pangan fungsional, pelayanan spa, akupuntur, dan akupresur. Anna berharap pelayanan kesehatan tradisional mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pendekatan promotif dan preventif. Paparan dilanjutkan oleh Prof. Mappatoba yang merupakan peneliti dan praktisi dalam bidang terapi berbasis lebah (apiterapi). Dalam paparannya, Mappatoba menyampaikan bahwa terdapat 13 produk yang berasal dari lebah memberikan manfaat bagi kesehatan tanpa efek samping apapun dan sudah teruji secara biomedis. Prof. Mappatoba merupakan praktisi dan peneliti yang melakukan kajian berdasarkan pendekatan relijius. Misi utama beliau adalah melakukan sosialisasi QS. An Nahl: 68-69 tentang kandungan dan manfaat lebah dari kacamata ilmu pengetahuan. Belia berharap kebijakan pemerintah mampu mengakomodir terapi lebah madu seperti halnya pemerintah memberikan payung hukum terhadap pelayanan kesehatan tradisional yang lain.

Sesi berikutnya adalah pemaparan bukti-bukti ilmiah pelayanan kesehatan tradisional oleh Prof. Suryani As’ad. Pada sesi ini dijelaskan bagaimana pengobatan tradisional bekerja secara ilmiah, baik dari aspek patofisiologi maupun patomekanisme-nya. Untuk mendukung paparan, Suryani menunjukkan hasil penelitian tesis maupun disertasi mahasiswa Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang mengambil topik tentang pengobatan tradisonal. Sebagai contoh penggunaan getah daun jarak sebagai antiinflamasi dan antibiotik, kurma sebagai penghambat produksi asam laktat, teripang untuk mempercepat penyembuhan luka, dan sebagainya. Suryani berharap pengobatan tradisional tidak lagi dipandang sebelah mata sebagai bagian dari complementary medicine, karena sudah terbukti secara ilmiah patofisiologi dan patomekanisme-nya di dalam tubuh manusia. Sebagai penutup, Asep Rahman sebagai Ketua Yayasan Bina Lentera Insan menyampaikan pentingnya pelayanan kesehatan tradisional mendapatkan perlindungan hukum. Selain melindungi pengguna, Asep menegaskan bahwa perlindungan hukum bagi pemberi layanan kesehatan tradisional sangat diperlukan mengingat banyaknya penyehat tradisional di Indonesia yang belum mendapatkan STPT. Asep juga mendorong Kementerian Kesehatan mengkaji beberapa body of knowledge pelayanan kesehatan tradisional yang belum mendapatkan legalitas, termasuk mendorong majunya keilmuan kesehatan tradisional dengan membuka program studi kesehatan tradisional di perguruan tinggi.

Reporter Dedik Sulistiawan

Sistem Informasi Kesehatan dan Patient Safety

simp23

1. Dian Sidik, SKM, MKM, Peneliti SIMKES

m-Health adalah suatu pengelolaan data kesehatan melalui layanan sistem informasi nirkabel. Pemanfaatan m-Health dalam pelayanan kesehatan telah menjadi hal yang umum digunakan saat ini. m-Health menggunakan teknologi mobile (bergerak) dan nirkabel. Teknologi ini mengumpulkan data secara individu kemudian pooling melalui suatu server untuk kemudian diolah. Hasilnya merupakan rekapitulasi kondisi individu, sehingga bisa dibuat semacam peringatan untuk provider, atau secara tidak langsung kepada yang bersangkutan. Aplikasi mobile technology dalam kesehatan saat ini sudah banyak diterapkan melalui smartphone. Mulai dari pengiriman data penyakit sampai dengan menggunakan fitur kamera untuk melihat hasil visualnya. Teknologi m-Heath akan dikembangkan menjadi lebih maju, dengan menggunakan teknologi smartwatch. Sehingga data kesehatan individu bisa semakin lengkap karena posisinya bisa untuk deteksi detak jantung, tekanan darah, dan sebagainya, karena smartwatch posisinya melekat pada tubuh.

2. Poppy Yuniar, SKM, MPH, Peneliti FKM UI

Standar Data dan Algoritma Prosedur Sistem Surveilance Berbasis Komunitas ini dibangun untuk menilai standar jenis datanya. Jika m-Health bekerja pada standar teknologi alatnya. Sedangkan surveilans berbasis komunitas disini digunakan karena suatu sistem informasi harus bisa merepresentasikan status kesehatan berdasarkan komunitas. Fasilitas based data mempunyai kelemahan, yaitu hanya menangkap data yang masuk ke pelayanan, sedangkan data yang berdasarkan komunitas, lebih bisa terukur karena data dikumpulkan pada tingkat populasi di komunitas, sehingga tidak hanya menampilkan data pada sisi output(seperti data cakupan layanan), tetapi juga melihat kualitas input (dengan nominator dan denominator lebih valid). Keuntungan dari model komunitas based adalah bisa menangkap secara dinamis perubahan peristiwa demografi (kelahiran, kematian, kesakitan, dsb).

3. Dr dr Khalid Saleh, SpPD KKV, Dirut RSUD Dr Wahidin Sudirohusodo

Khalid menjelaskan tentang sistem rujukan terintegrasi dalam menungjang patient safety. Suatu kombinasi elemen yang bertujuan menghasilkan data informasi yang akurat, tepat waktu, dan sesuai kebutuhan. Sehingga sistem ini mendukung layanan kesehatan akibatnya kualitas dalam pemberian pelayanan kesehatan menjadi optimal. Keselamatan pasien bukan suatu pilihan, tetapi merupakan hak pasien yang telah mempercayakan masalah kesehatan pada suatu sistem layanan kesehatan. Patient Safetysangat penting untuk menghidari kejadian tidak dikehendaki selama masa perawatan. Serta mengurangi kasus kejadian malpraktek atau hal hal lain yang berpotensi menimbulkan kesalahan dalam perawatan. Enam (6) Sasaran Patient Safety; 1. Ketepatan Identifikasi Pasien, 2. Peningkatan komunikasi yang efektif, 2. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, 4. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien,. 5. Pengurangan resiko kejadian infeksi yang tidak diharapkan, 6. Penurunan resiko pasien jatuh.

Reporter: Deni Harbianto, SE

Workshop Halal Science and Research

simp25Dalam sesi ini, materi dalam simposium disampaikan oleh Prof.Dr. Winai Dahlan. Beliau adalah pendiri sekaligus direktur dari Halal Science Center Chulalongkorn University di Thailand. Di awal sesi, materi beliau difasilitasi penyampaiannya oleh Prof. Veni Hadju dari Universitas Hasanudin Makassar. Prof. Veni Hadju membuka sesi materi dengan menyampaikan hal-hal mendasar yang berkaitan dengan masalah halal yang sangat erat kaitannya dengan masalah akidah bagi seorang muslim. Halal itu sendiri sangat terkait dengan praktik-praktik sebagai seorang muslim, syariat dan ibadah, serta muamalah dalam kehidupan. Status halal dan haram itu jelas dalam Islam. Namun, di antara keduanya ada perkara-perkara yang tidak jelas, dinamakan dengan perkara syubhat. Materi kali ini sangat erat sekali dengan masalah “ilmu tentang halal” atau halal science. Dasar sebenarnya adalah segala sesuatu itu harus jelas terlebih dahulu halal haramnya, tidak memiliki keraguan. Sebagai seorang muslim, hal ini juga harus dibarengi dengan keyakinan bahwa hal tersebut halal atau haram. Pemahaman, ilmu, dan praktik tentang halal tidaknya sesuatu, sebenarnya bukanlah hal yang sulit, hal ini sangat easy to practice. Dalam Halal Science terdapat beberapa spektrum yang perlu dipahami, antara lain :

  1. Pengembangan standar halal/standarisasi sistem untuk produk dan pelayanan yang halal (Halal Product and Services/HPAS)
  2. Riset dan pengembangan alternatif untuk mengganti bahan baku mentah yang haram
  3. Pengembangan metodologi biokimiadalam laboratorium forensik halal untuk melakukan skrining halal pada produk/bahan dasar produk.
  4. Melakukan inovasi untuk pembersih yang halal dalam tingkatan proses ataupun bahan-bahan yang digunakan.
  5. Informasi Komunikasi dan Teknologi untuk menjamin integritas halal dan memfasilitasi perdagangan yang halal pula.
  6. Ilmu halal sebagai alat untuk membangun kepercayaan konsumen dan Consumer Brand Relationship (CBR)

Sebagai catatan khusus, sesuatu yang haram dapat digunakan/dimafaatkan hanya jika dalam keadaan terpaksa/darurat. Contohnya obat, makanan, dll yang memang tidak/belum ada pilihan lain tetapi hal tersebut sangat mendasar bagi kehidupan manusia. Jika kebiasaan halal ini diterapkan dalam semua aspek kehidupan, maka kebiasaan dan lingkungan yang mengacu pada “ke-halal-an” akan mudah tercipta di masyarakat. Tentunya hal ini juga akan membantu umat muslim untuk terhindar dari hal-hal yang haram ataupun menekan adanya keraguan-keraguan akibat hal-hal yang syubhat.

Spektrum halal dalam keilmuan ilmiah diperlukan untuk mengembangkan suatu sistem halal itu sendiri. Ada suatu riset ilmu yang dapat digunakan sebagai upaya mengganti gelatin pada kapsul dari rumput laut agar lebih halal atau mengembangkan inovasipembersih najis dari tanah atau dalam bentuk clay. Peran dari teknologi dan keilmuan ilmiah sangat besar untuk membentuk suatu sistem produksi yang halal dan konsumsi produk yang halal pula. Hal ini akan mudah untuk masuk ke dalam kehidupan yang sehat berdasar pada konsep dan cap halal pada suatu produk.

Di Thailand, Prof. Dr. Winai Dahlan tidak menjadikan alasan “halal” untuk mengembangkan suatu laboratorium penelitian dan Halal center. Satu hal yang beliau sadari adalah beliau ingin melindungi konsumen dan beliau bekerja sebagai seorang ilmuwan muslim. Maka, dapat disimpulkan bahwa beliau bekerja berdasakan landasan halal dalam Islam yang diterapkan untuk seluruh masyarakat.

Reporter : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes

Reportase Pleno 1.1

pleno1-1

pleno1-1

Sesi plennary pertama diisi oleh Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty yang membuka dengan menekankan 4 pilar kependudukan: pilar pertama yakni program KB dan kesehatan reproduksi, program kesehatan reproduksi remaja (KRR), program ketahanan keluarga dan penguatan pelembagaan keluarga kecil. Dalam satu dekade ke depan, Indonesia akan mengalami situasi yang disebut dengan ‘bonus demografi’. Bonus demografi adalah situasi di mana proporsi penduduk usia produktif akan lebih tinggi daripada proposi penduduk non produktif, yakni yang berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun. “Bonus demografi adalah pedang bermata dua, bisa menjadi anugerah maupun musibah, anugerah akan diperoleh apabila tenaga kerjanya berkualitas, dan bencana terjadi bila kondisi sebaliknya”, lanjut Surya. Terkait dengan kualitas tenaga kesehatan, beliau menekankan pentingnya pembangunan karakter melalui revoluse mental, yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno di tahun 1957 dan didengungkan oleh Presiden Joko Widodo di tahun 2014. Revolusi mental ini ingin membangun jiwa yang menjunjung tinggi etos kerja dan gotong royong, yang dapat ditumbuhkan dengan adanya komunikasi seseorang dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan Tuhan.

Terkait dengan program kesehatan, saat ini BKKBN telah menyelenggarakan program ‘Kampung KB’, yaitu suatu konsep miniatur pelaksanaan program Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) tingkat nasional yang dilaksanakan di tingkat RW, dusun ataupun setara. Konsep kampung KB ini mengutamakan adanya keterpaduan seluruh bidang atau lintas sektor terkait. Kampung KB dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Konsep kampung KB ini telah selaras dengan program keluarga sehat yang menjadi prioritas kementerian kesehatan saat ini.

materi

Sesi plennary kedua dibawakan oleh Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas, Dr. Subandi Sardjoko. Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang diterapkan sebagai pengganti Millennium Development Goals menjadi strategi pembangunan kesehatan di Bappenas saat ini. Perbedaan utama antara MDGs dan SDGs adalah konsep top-down di MDGs yang berubah menjadi bottom-up di SDGs dengan melibatkan lebih banyak pihak untuk mencapai tujuannya, antara lain dari sektor bisnis dan filantropi. Sehubungan dengan ini, Bappenas menguatkan perannya untuk mengkoordinasikan semua pihak yang terlibat untuk bersinergi mencapai TPB antara lain melalui: 1) menyamakan persepsi dan membangun komitmen antara pemerintah dan parlemen, masyarakat sipil (CSO) dan media massa, filantropi dan bisnis, serta akademisi dan pakar; 2) mengembangkan prinsip kemitraan dengan penyusunan grand strategy komunikasi untuk memicu partisipasi tidak hanya dari pemerintah tetapi juga masyarakat, dan; 3) melakukan koordinasi dan fasilitasi kepada daerahdalam upaya pengarusutamaan TPB/SDGs ke dalam rencana pembangunan daerah.
Di sesi ini, Subandi menyebutkan bahwa IAKMI, sebagai ahli kesehatan masyarakat, memiliki peranan penting untuk peningkatan kapasitas, center of excellence, mendukung pemantauan-evaluasi-pelaporan, serta melaksanakan penelitian untuk menghasilkan kebijakan berbasis bukti.

Moderator menyimpulkan bahwa pendekatan keluarga yang bersifat bottom up adalah prioritas dalam kesehatan masyarakat saat ini dan merupakan kewajiban bagi para ahli kesehatan masyarakat untuk bahu-membahu mewujudkannya.

materi

reporter: Likke Prawidya Putri 

 

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

 

{jcomments on}

 

Reportase Workshop Penelitian Implementasi Kebijakan Kesehatan

work2nov1

work2nov1

“Selama ini penelitian hanya dibaca oleh pembuat kebijakan lalu dimasukkan ke dalam lemari, penelitian kebijakan harus melibatkan pembuat kebijakan secara aktif.” Begitulah kalimat pembuka yang disampaikan oleh Prof. Laksono Trisnantoro dalam kegiatan “Workshop Penelitian Implementasi Kebijakan” pada hari Rabu (02/11/2016). Workshop ini merupakan bagian dari rangkaian acara Pra-Konas IAKMI XIII yang diselenggarakan di Makassar, 3 – 5 November 2016. Kegiatan ini diramaikan sekitar 126 orang dari berbagai institusi baik praktisi maupun akademisi dan peneliti kebijakan kesehatan.

Salah satu definisi Riset implementasi, seperti diungkapkan oleh dr. Yodi Mahendradhata, MSc. PhD., merupakan sebuah pendekatan sistematik untuk memahami dan mengatasi kendala-kendala menuju implementasi intervensi, strategi, dan kebijakan kesehatan yang efektif dan berkualitas. Ini membuat riset implementasi cenderung “ateis”, artinya tidak terikat dengan suatu jenis metodologi saja, tapi menjadikan metodologi alat untuk menjawab pertanyaan penelitian dan kebutuhan untuk menyediakan bukti bagi implementasi kebijakan. Sementara penelitian biasa hanya berbicara mengenai indikator (what) dan outcome kesehatan, penelitian implementasi turut melihat bagaimana implementasi dijalankan (how) dan outcome implementasinya.

Workshop ini disertai sesi Panel yang diisi oleh dr. Likke Prawidya Putri, MPH yang menceritakan mengenai kegiatan penelitian implementasi JKN di layanan primer beserta tantangan-tantangan yang muncul selama penelitian. Ia mengungkapkan bahwa salah satu tantangan adalah kebijakan JKN berubah-ubah selama proses penelitian berjalan. Hal ini diakui oleh drg, Doni Arianto, MKM dari Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (PPJK) Kemenkes RI. Meski demikian, ini merupakan tanda bagus karena walaupun penelitian masih berjalan, hasilnya dapat langsung digunakan dalam perbaikan kebijakan JKN. Upaya ini dinilai positif oleh pembahas Prof. Dr. dr. HM Alimin Maidin, MPH. Ia menambahkan bahwa permasalahan JKN lainnya di layanan primer adalah besarnya pemasukan kapitasi tidak diimbangi dengan kurangnya sumber daya dan kapasitas administrasi keuangan di Puskesmas.

Rangkaian acara workshop ini ditujukan untuk memperkenalkan peserta mengenai riset implementasi dan potensinya dalam pengembangan kebijakan kesehatan. Workshop ini juga memperkenalkan berbagai instrumen pembelajaran riset implementasi dan informasi terkini yang dapat diakses melalui website Indonesia Implementation Research (link: http://indonesia-implementationresearch-uhc.net/).

Presenter dari Filipina yang mendapat beasiswa pascasarjana FK UGM, Tyrone Reden menarik perhatian dengan mengemukakan tingginya angka pertumbuhan penderita HIV di Filipina. Ia mengajukan proposal penelitian implementasi mengenai feasibility dan appropriateness kebijakan peningkatan kemampuan pekerja kesehatan komunitas untuk melakukan tes dan konseling HIV. Di samping itu juga dipresentasikan beberapa penelitian implementasi yang berada dalam lingkup kerja sama UGM dan WHO.

Pada sesi penutup, Laksono menekankan bahwa saat ini ada arus besar menuju riset implementasi dalam berbagai studi di sektor kesehatan. Ini akan berimplikasi pada semakin banyaknya pembiayaan dan diharapkan ke depannya dapat meningkatkan kualitas dan efektivitas implementasi kebijakan di Indonesia.

reporter Insan Rekso Adiwibowo

 

Reportase Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era MEA

Yogyakarta – PKMK FK UGM menyelenggarakan pertemuan diskusi kedua dari Seri Seminar Perhimpunan Profesi pada Sabtu, 20 Februari 2016. Diskusi ini mengangkat tema Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Para pembicara dan pembahas dari bagian PPSDM Kementerian Kesehatan, PKMK, POGI, KKI, IDI, dan PAPDI hadirdalam seminar ini.

Dalam konteks MEA ini ada potensi konflik antara Ikatan Profesi dengan keinginan masyarakat. Masyarakat ingin lebih banyak dokter agar akses lebih baik. Sementara itu ada kemungkinan Ikatan Profesi berusaha menahan masuknya dokter asing. Bermula dari kekhawatiran inilah kemudian seminar ini diselenggarakan.

Diskusi dimulai dengan presentasi dari dr. Asjikin Iman H. Dachlan, MHA, Kepala Pusrengun PPSDM Kementerian Kesehatan dan Dr. dr. Andreasta Meiala, M.Kes dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Dr. Asjikin menjelaskan mengenai beberapa regulasi dan kesepakatan yang telah diatur dalam rangka MEA, sedangkan dr. Andreas mengemukakan beberapa data mengenai kondisi lapangan tenaga kesehatan di beberapa negara. Terdapat kesimpulan bahwa negara-negara ASEAN saat ini masih memproteksi tenaga kesehatan Warga Negara Asing dan bersepakat untuk hanya saling bertukar teknologi informasi. Selain itu, Indonesia merupakan negara yang sangat diminati untuk kerja dokter spesialis dari asing, membangun Rumah Sakit dan mengekspor pasien ke luar negeri. Meski sudah terdapat beberapa regulasi yang mengatur, namun Indonesia masih memiliki soft door policy sehingga dibutuhkan strategi yang lebih matang dalam menghadapi MEA, apakah strategi bertahan atau penetrasi ke luar negeri, atau untuk menambah supply tenaga kesehatan yang kurang. Terutama adanya klausul bahwa jika aturan lokal tidak sesuai dengan aturan internasional, seperti adanya ketimpangan rasio tenaga kesehatan, maka aturan pelarangan masuknya tenaga kesehatan asing dapat ditembus.

Setelah presentasi, dilanjutkan dengan diskusi bersama para pembahas yaitu DR. dr. Kiki Lukman, M(Med)Sc, Sp.B.KBD, FCSI (Wakil ketua MKKI) sebagai perwakilan IDI Pusat, Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A(K) (Ketua Divisi Pendidikan KK) dari Konsil kedokteran indonesia, dr. Nurdadi Saleh, SpOG dari POGI Pusat , dan DR. dr. Zulkifli Amin, SPPD-KP dari Kolegium PAPDI. Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam ini membahas bahwa perhimpunan profesi tidak sepenuhnya menolak MEA, sebaliknya beberapa perhimpunan profesi telah menyiapkan banyak hal dalam persiapan menghadapi MEA. Selain itu, para perhimpunan profesi menginginkan disusunnya suatu regulasi tentang masuknya tenaga kesehatan asing dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia agar mendapatkan pelayanan yang benar, termasuk juga melindungi dokter-dokternya, jangan sampai dokter Indonesia justru tidak bisa mencari lapangan pekerjaandi tanah air sendiri. Diperlukan pula penelitian lebih lanjut tentang distribusi

Dokter serta akar masalah lambat dan kurangnya layanan kesehatan, apakah dari alat yang rusak atau penganggaran dana kesehatan yang kurang. Pada akhirnya diperlukan terobosan baru dari pihak perhimpunan profesi, kementerian kesehatan, institusi pendidikan kedokteran, dan berbagai pihak yang terkait untuk mengatasi masalah ketimpangan distribusi dokter dan dokter spesialis-subspesialis agar tidak menjadi justifikasi bagi masuknya dokter asing ke Indonesia.

Sebagai ringkasan dan kesimpulan, posisi IDI dan KKI tidak sepenuhnya menolak MEA. Ke depan, diperlukan kemampuan diplomasi yang baik untuk melindungi kepentingan masyarakat Indonesia dan anggota perhimpunan profesi. Jangan sampai IDI menjadi public enemy karena tidak pandai berdiplomasi. Selain itu, dibutuhkan pula data yang lebih detail tentang spesialis dan sub-spesialis serta menjadikan residen sebagai pekerja dokter yang sedang magang melalui academic health system yang lebih baik. Dengan kemampuan menyusun strategi persiapan yang lebih matang dalam menghadapi MEA, diharapkan kita dapat menjadikan MEA sebagai peluang untuk memperbaiki status kesehatan di Indonesia, bukan sebagai ancaman.

Reporter: Noor Afif Mahmudah

{jcomments on}