Press Release
Menanggapi Keputusan MA Tentang Pembatalan Kenaikan Iuran PBPU

Narasumber: Prof Laksono Trisnantoro, M Faozi Kurniawan dan Tri Aktariyani

usulan ke pemerintah

Pada awal bulan Maret 2020 sektor kesehatan dikejutkan dengan keputusan MA yang membatalkan kenaikan premi PBPU dalam Perpres 75/2019. Keputusan ini menyebabkan usaha untuk mengurangi defisit melalui kenaikan tarif premi PBPU menjadi terhambat.

Mengapa? Sejak tahun 2014 telah terjadi pola defisit dan surplus yang berbeda antara segmen anggota BPJS. Yang mengalami defisit adalah segmen Bukan Pekerja, dan PBI Daerah. Defisit yang terjadi ditutup dengan menggunakan dana tidak terpakai PBI APBN (masyarakat miskin dan tidak mampu), dan PPU, serta dana dari APBN.
Suplus atau dana tidak terpakai selalu terjadi dalam segmen PBI APBN (masyarakat miskin dan tidak mampu). Jumlah dana tidak terpakai pada PBI APBN sebanyak sekitar 41 triliun dalam kurun waktu 2014-2019. Sementara itu segmen PBPU (masyarakat yang seharusnya mampu) mengalami defisit sejak 2014-2019 sebanyak Rp 93 triliun (lihat gambar 1).

16mar

Sumber: Kementerian Keuangan 2014-2018, data 2019-2020 merupakan prakiraan PKMK FK-KMK UGM.

Bagaimana defisit diselesaikan selama ini dan apa akibatnya untuk masyarakat miskin dan tidak mampu?

Kebijakan menutup defisit PBPU (masyarakat mampu) dari segmen PBPU dan PPU merupakan diskresi yang telah BPJS Kesehatan lakukan selama enam tahun dengan dasar kebijakan Single Pool. Kebijakan ini terutama merugikan peserta PBI APBN (masyarakat miskin dan tidak mampu). Dana tidak terpakai PBI APBN seharusnya digunakan untuk menjalankan kebijakan kompensasi oleh BPJS untuk memperbaiki akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu di daerah tertinggal, khususnya Papua, Papua Barat, NTT, dan daerah-daerah lainnya.

Keadilan sosial setelah putusan MA

PKMK FK-KMK UGM menghormati putusan MA yang harus dilakukan. Namun, terdapat beberapa proyeksi yang dapat diperkirakan:

  1. Dana PBI APBN (untuk masyarakat miskin dan tidak mampu) yang naik tinggi akibat Perpres 75/2019 akan semakin dipakai oleh PBPU yang tetap defisit;
  2. BPJS tidak mempunyai dana untuk kebijakan kompensasi bagi masyarakat yang kekurangan fasilitas kesehatan;
  3. Mutu pelayanan akan semakin sulit dijamin; dan
  4. Penambahan dana akan menjadi tanggung jawab APBN yang sudah melemah.

Terdapat dua hal yang terlihat telah diabaikan dalam keputusan MA: Pertama, kemampuan negara (APBN) sangat terbatas dalam mendanai program kesehatan akibat system pajak yang lemah. GDP Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, tetapi penerimaan pajak masih rendah. Tax Ratio disekitar 10-11%. Anggaran pemerintah yang terbatas ini seharusnya fokus pada masyarakat miskin dan tidak mampu.

Kedua, putusan MA mengabaikan kemampuan masyarakat untuk mendanai pelayanan kesehatan. Peserta PBPU tidak semuanya tidak mampu. Seharusnya peserta PBPU didorong oleh kebijakan agar membelanjakan pendapatannya untuk kesehatan, tidak bersandar pada APBN yang lemah.

Dengan demikian telah terjadi sistem kebijakan yang populis, dimana sekelompok rakyat (khususnya PBPU) diuntungkan. Sementara itu sekelompok lain (khususnya yang PBI-APBN) dirugikan karena tidak pernah mendapat kebijakan kompensasi sesuai amanah UU SJSN. Pasca keputusan MA, kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang single pool dikawatirkan semakin tidak mencerminkan penerapan sila Pancasila: Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia di JKN.

Apa yang harus dilakukan pasca keputusan MA?

Untuk kedepannya perlu mengembalikan makna Pancasila dan UUD 1945 dengan merevisi Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU BPJS agar dana PBI APBN fokus untuk masyarakat miskin dan tidak mampu. Revisi Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS diperlukan karena situasi saat ini telah menyimpang dari ideologi Pancasila.

Selain itu, menghimbau masyarakat mampu (peserta PBPU yang tidak jadi naik premi) agar tidak menggunakan fasilitas BPJS. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi tekanan ke pengeluaran BPJS. Diharapkan peserta PBPU yang mampu agar menggunakan askes komersial atau dana langsung mandiri. Disamping itu bagi hampir separuh peserta PBPU yang menunggak, diharapkan agar tertib membayar.