Ringkasan Isi Seminar

Perbaikan kelembagaan BPJS Kesehatan:
Aspek Akuntabilitas, Transparansi & Ekosistem IT dalam JKN

Kamis, 2 Juli 2020

kerangka acuan   reportase

Prof Laksono Trisnantoro, Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM
Tri Aktariyani, Peneliti Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional PKMK FK-KMK
Insan Rekso Adiwibowo, Peneliti Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional PKMK FK-KMK

Hasil penelitian PKMK FK-KMK UGM bersama 16 perguruan tinggi di 13 provinsi Indonesia menunjukkan bahwa transparansi program JKN masih belum baik. Situasi ini disinyalir karena maturitas Lembaga penyelenggara program JKN belum terjadi. Di sisi lain, lemahnya DJSN selaku Lembaga substansial dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia juga menyebabkan akuntabilitas keputusan kebijakan JKN sering berada jauh dari apa yang dicita-citakan oleh UU SJSN dan UU BPJS.

Aspek Akuntabilitas & Transparansi Program JKN

Sentralisasi tata Kelola program JKN selain menyebabkan terfragmentasinya tata pemerintahan dalam pemenuhan hak pelayanan kesehatan bagi masyarakat, juga mengakibatkan sulitnya akses data dan informasi. Menurut teori perundang-undangan isi Pasal 83-84 Perpres No.82/2018, telah menjadi validasi bahwa sejak 2014 hingga saat ini transparansi data dan informasi program JKN sulit diakses baik oleh pemerintah daerah maupun oleh kementerian/Lembaga bahkan DJSN. Ketidaktransparan data dan informasi program JKN membuat monitoring dan evaluasi JKN tidak dilakukan secara partisipasti, dan kebijakan diambil tidak berdasarkan bukti yang komprehensif.

Apabila menelaah dalam UU SJSN, ada dua Lembaga yang dibentuk khusus untuk menyelenggarakan program Jaminan sosial (JKN), yakni DJSN & BPJS (Kesehatan & Ketenagakerjaan). Kedua Lembaga ini memiliki fungsi & tugas yang berbeda, namun sama-sama bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Realitanya, putusan MA No.60P/HUM/2018 & Putusan MA No.007/P/HUM mengungkapkan fakta bahwa lemahnya DJSN. Padahal DJSN adalah sebuah Lembaga yang berisikan perwakilan pemerintah, pemberi kerja, ahli dan pekerja. Lembaga ini menjadi lemah diidentifikasi karena instrumen hukum yang tidak mendukung.

Ekosistem IT dalam JKN

Hasil dari pengamatan menilai bahwa sistem TI di BPJS belum menggunakan pendekatan ekosistem JKN secara keseluruhan. TI di BPJS masih untuk kebutuhan BPJS Kesehatan dengan pendekatan korporasi, bukan sebuah Badan Publik. Sehingga prinsip interoperabilitas data (saling bekerja sama antar sistem yang berbeda) antar stakeholder menjadi belum diterapkan saat ini. Berbagai fungsi TI dalam sistem jaminan kesehatan yang seharusnya ada, belum dijalankan (misal fungsi early warning untuk pengawasan, penggunaan data untuk perencanaan).

Kesimpulan

Faktor utama penyebab transparansi dan akuntabilitas yang belum baik dalam program JKN adalah tidak terjadi maturitas baik pada BPJS Kesehatan, DJSN maupun kementerian/Lembaga terkait. Sulitnya akses data dan informasi ini menyebabkan monitoring dan evaluasi program JKN tidak dilakukan secara partisipatif, sedangkan kebijakan yang dibentuk cenderung tidak berdasarkan bukti dan data yang komprehensif.

Saran

UU BPJS perlu direview bersama pemerintah dan stakeholders. Sebab, UU tersebut tidak tuntas mendelegasikan tanggung jawab dan pengawasan program JKN bagi DJSN, Kementerian Kesehatan dan Pemerintah daerah. Selain itu, UU BPJS tidak memadai menjelaskan kedudukan dan kewenangan antara BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini dapat memicu potensi disharmonis pada peraturan pelaksana yang dibentuk kemudian waktu.

Jogjakarta 2 Juli 2020