Indonesia Dinilai Mampu Wujudkan Jamkes Universal
Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Sugeng Bahagijo, mengatakan Indonesia sebenarnya mampu menyelenggarakan jaminan kesehatan (jamkes) universal. Tentu saja badan penyelenggaranya adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Sugeng mengatakan besaran jumlah dana yang dibutuhkan mengacu pada pelayanan dan manfaat yang didapat peserta. Jika manfaat dalam Jamkes itu mengikuti skema yang diselenggarakan pemerintah lewat Jamkesmas seperti saat ini, Sugeng memperkirakan dibutuhkan dana sekitar Rp30 triliun.
Sementara, manfaat yang diperoleh peserta mengacu pada program jamkes yang diselengarakan Jamsostek saat ini, dananya diperkirakan mencapai Rp60 triliun. Menurut Sugeng, yang membedakan dari kedua kisaran dana itu adalah berbagai penyakit yang ditanggung oleh program Jamkes. Dalam hal ini, program Jamkes yang dikelola Jamsostek menurutnya menanggung lebih banyak jenis penyakit ketimbang program Jamkesmas. Kedua perkiraan dana itu hanya untuk pembentukan awal sistem Jamkes Universal.
Mengacu jumlah RAPBN 2013 mencapai Rp1.650 Triliun, Sugeng menyebut angka yang dibutuhkan untuk membangun sistem Jamkes Universal itu sangat kecil. Tak lebih dari 4 persen dari RAPBN. Tentu saja dana awal itu tidak akan habis digunakan untuk membangun Jamkes Universal, pasalnya dari 240 juta masyarakat Indonesia, menurutnya tidak akan jatuh sakit pada waktu yang bersamaan.
Dalam sistem tersebut, Sugeng mengestimasi jumlah klaim terbesar yang bakal diajukan sekitar 20 persen dari jumlah peserta atau rakyat Indonesia. Itupun menurutnya hanya kemungkinan terburuk dan jarang terjadi, sekali pun terjadi, dana yang ada dinilai sanggup untuk menanggung. Setelah Jamkes Universal berjalan, maka dana yang dibutuhkan untuk menjamin berjalannya sistem tersebut per tahun lebih kecil ketimbang dana awal itu.
Berbeda dengan mekanisme program Jamkes yang dikelola perusahaan swasta atau dikenal dengan istilah asuransi, Sugeng menjelaskan program Jamkes Universal itu memberikan kebutuhan medis yang dibutuhkan masyarakat. Sedangkan, untuk Jamkes yang dikelola swasta, peserta program itu hanya mendapat pelayanan yang disesuaikan dengan besarnya iuran. Semakin kecil iuran, maka semakin terbatas jenis penyakit dan pelayanan yang dicakup oleh asuransi, begitu pula sebaliknya.
Melihat sistem yang dibangun dalam BPJS Kesehatan, Sugeng menilai mekanisme gotong royong digunakan. Misalnya, dari jumlah penduduk Indonesia, sekitar 140 juta jiwa di antaranya termasuk dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sehingga, terdapat 100 juta jiwa yang dikategorikan mampu untuk membayar iuran Jamkes Universal. Dari jumlah iuran itulah, orang yang golongan mampu membantu golongan lain yang tidak mampu. Selain menggunakan iuran dari peserta yang mampu, program Jamkes itu juga didanai dari hasil pajak atau APBN.
Dengan adanya iuran tersebut dan dana yang dialokasikan dari APBN, maka penyelenggaraan Jamkes Universal dapat terlaksana dengan baik. Oleh karenanya Sugeng berpendapat tidak ada alasan jika pemerintah menyebut negara tidak punya uang untuk membiayai Jamkes Universal lewat BPJS Kesehatan.
Untuk memperkuat pendapatnya bahwa Indonesia mampu menjalankan sistem itu, Sugeng mengutip studi Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebut negara miskin pun mampu meningkatkan anggaran kesehatan. Sementara, posisi Indonesia di komunitas internasional tidak termasuk negara miskin, namun alokasi anggaran untuk kesehatan lebih kecil ketimbang beberapa negara tergolong miskin itu.
Misalnya, Rwanda, Liberia dan Tanzania. Beberapa negara di Afrika itu mengalokasikan anggaran untuk kesehatan rakyatnya sebesar 15 persen, sedangkan Indonesia mengalokasikan di bawah kisaran angka tersebut. Dari data yang diperoleh Seknas Forum Indonesia untuk Trasparansi Anggaran (Fitra), periode 2005 – 2012 alokasi anggaran kesehatan dari belanja pemerintah rata-rata 2,2 persen.
"Problemkita (untuk menyelenggarakan Jamkes Universal,-red) bukan ada atau tidaknya dana, tapi soal kemauan pemerintah," kata Sugeng dalam diskusi di Jakarta, Rabu (24/10).
Studi WHO itu, Sugeng melanjutkan, tak jauh beda dengan studi Bank Dunia. Dibandingkan negara lainnya di wilayah Asia Tenggara, pemerintah Indonesia dinilai "pelit" dalam mengalokasikan anggaran untuk kesehatan. Contohnya di tahun 2006, pendapatan per kapita Indonesia AS 1.420 Dollar dan anggaran untuk kesehatan dari total belanja pemerintah hanya 5,3 persen. Namun, Vietnam, dengan pendapatan per kapita hanya AS$ 700, presentase belanja kesehatan terhadap total belanja pemerintah mencapai 6,8 persen.
Jika pemerintah enggan mengalokasikan dana APBN untuk Jamkes Universal, menurut Sugeng Indonesia memiliki sumber dana lainnya yang dapat dimanfaatkan. Seperti, mengalihkan sebagian dana subsidi BBM untuk penyelenggaraan Jamkes Universal. Sugeng mengingatkan, subsidi BBM yang dialokasikan pemerintah di tahun 2012 sebesar Rp123 triliun.
Menurutnya, setengah dari jumlah dana subsidi itu sudah lebih dari cukup untuk untuk menyelenggarakan Jamkes Universal bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan itu, pemerintah harus memberlakukan subsidi BBM terbatas hanya untuk sektor tertentu yang sangat membutuhkan seperti transportasi umum, nelayan tradisional dan lainnya.
Sebelumnya, Kabid Kendali Mutu dan Pengembangan Jaringan Pelayanan Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Komaryani Kalsum, mengatakan masyarakat yang tergolong PBI untuk saat ini adalah peserta Jamkesmas. Dengan jumlah total untuk tahun 2013 diperkirakan mencapai 86 juta jiwa, di tahun berikutnya diperkirakan jumlahnya akan bertambah 10 juta jiwa.
Besaran iuran yang disepakati terakhir untuk PBI adalah Rp22 ribu/kepala/bulan. Pemerintah, Kalsum melanjutkan, juga membiayai pegawai Negeri Sipil (PNS), karena posisi pemerintah selaku pemberi kerja. Untuk kepesertaan, Kalsum menyebut dalam rancangan yang ada jumlah peserta BPJS Kesehatan akan mencakup seluruh rakyat Indonesia pada tahun 2019.
Untuk besaran dana yang dialokasikan pemerintah untuk PBI dan PNS, menurut Kalsum terkait dengan kewenangan Kementerian Keuangan untuk melakukan penghitungan agar sesuai dengan kemampuan keuangan yang dimiliki negara. "Kementerian keuangan akan bertanggungjawab untuk peserta Jamkesmas sebagai PBI juga PNS," tutur Kalsum dalam diskusi yang digelar sebuah media di Jakarta, Selasa (23/10).
Sementara, anggota presidium Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Timboel Siregar, menegaskan bahwa BPJS Kesehatan harus mencakup seluruh rakyat Indonesia. Menurutnya, hal itu termaktub dalam konstusi, UU SJSN dan UU BPJS. Namun, Timboel merasa perwujudan hal tersebut terhambat. Pasalnya, dalam RPepres Jamkes yang dibentuk pemerintah lewat Kemenkes, Timboel melihat ada pentahapan peserta sejak BPJS Kesehatan berlaku sampai 1 Januari 2019.
Sehingga, pada 1 Januari 2014 nanti, pemerintah hanya mengikutsertakan 139,5 juta rakyat Indonesia menjadi peserta BPJS Kesehatan. Adanya pentahapan itu menurut Timboel menimbulkan diskriminasi di tengah masyarakat. Menurut Timboel, pentahapan yang dimaksud dalam UU SJSN bukan pentahapan kepesertaan tapi program sosial. Dengan salah mengartikan makna pentahapan itu, Timboel berpendapat, pemerintah membiarkan lebih dari 100 Juta rakyat Indonesia tidak masuk dalam BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014.
Terkait alasan pemerintah tidak mampu menyelenggarakan Jamkes Universal karena keterbatasan anggaran, Timboel menyebut hal itu tidak beralasan. Pasalnya, mengacu RAPBN 2013 yang mencapai lebih dari Rp1.600 triliun, untuk menyelenggarakan Jamkes Universal, menurut Timboel hanya butuh sekitar 3 persen dari jumlah tersebut. Bagi Timboel jumlah itu sangat kecil jika dibandingkan dengan anggaran pemerintah untuk mengupah PNS dan mencicil hutang.
"Pemerintah sebenarnya mampu, tapi tidak punya niat menyejahterakan rakyat," pungkasnya kepada hukumonlinelewat pesan singkat, Rabu.
(sumber: hukumonline.com)