Part 1
Commercial Determinant for Health: Industri Alkohol dan Politik di Australia
Apa masalah kesehatan utama saat ini yang terkait dengan beban penyakit tidak menular? Ya, jawabannya adalah faktor risiko berupa gaya hidup tidak sehat. Selama ini kita berusaha menerapkan berbagai kebijakan tentang kawasan tanpa rokok, promosi pola makan dan olahraga yang sehat. Kita tidak sadar bahwa di balik semua itu terdapat raksasa industri yang secara ‘kasat mata’ menjadi tantangan terbesar kita. Sesi Plennary di hari ketiga ini menguak fakta-fakta bagaimana faktor komersial menjadi salah satu penentu penting status kesehatan masyarakat.
Peter Miler dari University of Deakin mengangkat isu industri alkohol sebagai salah satu pihak yang ‘berkepentingan khusus’ yang memiliki vested interest. Saat ini marak asosiasi yang mempromosikan mengenai konsumsi alkohol dalam batas yang sehat dan aman, misalnya DrinkWise ataupun DrinkAware. Dengan adanya asosiasi tersebut, perilaku minum alkohol, yang termasuk gaya hidup yang berisiko, dianggap sesuatu yang aman untuk masyarakat. Namun demikian, kita tidak sadar bahwa industri alkohol sebenarnya memanfaatkan adanya asosiasi tersebut untuk membawa image positif pada produknya. Lebih parah lagi, terdapat beberapa penelitian yang didanai atau didukung oleh perusahaan-perusahaan tertentu, sehingga hasil penelitian yang ditampilkan kurang independent dan hanya melaporkan hal-hal yang mendukung industri. Hasil penelitian semacam ini juga sering tidak mencantumkan sponsor penelitian dalam acknowledgement-nya dan menuliskan bahwa tidak ada conflict of interest. Salah satu contoh penelitian tersebut yaitu adanya efek cardioprotective dari konsumsi alkohol dalam jumlah tertentu. Strategi lainnya terkait penelitian yaitu perusahaan-perusahaan ini mendanai penelitian tentang dampak konsumsi alkohol dalam jumlah sedang (moderate-level) saja tanpa melibatkan konsumsi alkohol dalam jumlah tinggi. Dalam salah satu penelitian, disebutkan intervensinya yaitu meminta responden untuk mengkonsumsi alkohol dalam jumlah tertentu.
Strategi kedua dari perusahaan ini yaitu dukungan kepada partai politik secara langsung maupun tidak langsung. Data di Australia menunjukkan bahwa partai-partai politik di Australia menerima dana cukup besar dari industri tembakau, alkohol dan gambling. Contoh lobi ‘halus’ lainnya yaitu begitu seringnya parlemen menyelenggarakan pesta atau pertemuan yang menyediakan minuman beralkohol yang disponsori oleh industri. Tak ketinggalan event olahraga yang disponsori oleh industri alkohol.
Strategi berikutnya adalah kemitraan dengan perusahaan lainnya, misalnya kerjasama antara DrinkWise dan Uber yang memfasilitasi layanan antar untuk minuman beralkohol. Di samping itu, adanya diversion tactic atau pengalihan yaitu dengan memberikan jargon yang terkesan aman misalnya bir rendah karbohidrat atau bir rendah kalori. Hal ini dilakukan juga industri rokok yang telah banyak mempromosikan adanya rokok rendah tar atau rokok untuk wanita.
Strategi lain yang cukup membahayakan yaitu dukungan industri pada media. Di Australia, Herald Sun, surat kabar yang terkemuka di Australia, mendapat pemasukan sangat besar per tahunnya dari iklan produk beralkohol. Dengan demikian media pun dapat ‘dibeli’ untuk menampilkan atau menyembunyikan informasi tertentu mengenai dampak alkohol bagi kesehatan. Strategi terakhir tapi tidak kalah berbahaya yaitu fenomena revolving door tokoh-tokoh politik yang setelah pensiun memasuki organisasi lobbying untuk alkohol ataupun industri ataupun sebaliknya. Misalnya mantan direktur pengawasan lisensi yang menjadi pimpinan di DrinkWise. Hal ini tentunya dapat sangat berpengaruh pada pengambilan kebijakan terkait alkohol di Australia.
Bagaimana dengan peran kita sebagai pemberi masukan? Penelitian, diseminasi dan menggandeng para tokoh politik harus dilakukan secara konsisten dan tidak mengenal putus asa. Peter Miller mencontohkan upaya yang dilakukannya untuk mengadvokasi tetapi ditolak mentah-mentah di depan publik. Meskipun media bukan menjadi ranah langsung dari kesehatan masyarakat, sangat penting untuk memastikan integritas dan transparansi dari media dalam menyampaikan berita tertentu. Di samping itu, kita perlu mendampingi pemerintah dalam memilah hasil-hasil studi yang ada untuk mendukung kebijakan ke depan.
Part 2
Kebijakan Apa yang Paling Efektif Menurunkan Konsumsi Rokok?
Professor Prabhat Jha, chair Dalla Lana School of Public Health Canada yang telah melakukan berbagai penelitian terkait dampak ekonomi dan kesehatan rokok, memulai sesinya dengan 5 poin kesimpulan: 1) perokok memiliki usia harapan hidup 10 tahun lebih pendek daripada bukan perokok; 2) berhenti merokok sebelum usia 40 tahun dapat mencegah 90% beban penyakit akibat merokok; 3) tembakau merupakan salah satu penyebab kemiskinan dan kebijakan pembatasan rokok berpotensi mengurangi angka kemiskinan, dan 4) menaikkan harga rokok 3 kali akan mengurangi 1/3 konsumsi rokok dan menghindari 200 juta kematian.
Perokok memiliki risiko mati lebih muda 10 tahun daripada bukan perokok. Bagaimana bila dibandingkan dengan konsumsi alkohol? Satu pesan dari Prabhat Jha, ‘don’t drink like Russian male’ dengan kata lain asalkan alkohol tidak dalam kadar sangat tinggi, yakni 1 botol vodka per hari (kandungan 40% alkohol). Sedangkan dibandingkan dengan obesitas, Studi Peto et al (2010) menunjukkan bahwa untuk mendapat dampak berkurangnya 10 tahun usia harapan hidup dari merokok, perlu mengalami obesitas dengan indeks BMI 40 – 50. Ilustrasi di atas menggambarkan betapa beratnya risiko penyakit seorang perokok.
Namun demikian ada ‘berita baik’ untuk perokok. Apabila berhenti merokok pada usia 35 – 44 tahun, maka usia harapan hidup yang hilang 10 tahun tadi akan kembali sebesar 9 tahun; berhenti pada usia 45 – 54 tahun akan mengembalikan 6 tahun harapan hidup Anda, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini:
Berita baik lainnya adalah dengan adanya teknologi kesehatan yang semakin baik, risiko kematian karena merokok jauh berkurang dalam 3 dekade terakhir. Tetapi, perlu diingat bahwa biaya yang dikeluarkan untuk membayar teknologi itu juga sangat besar.
Data yang dipaparkan Prabhat Jha menunjukkan bahwa perusahaan rokok membuat keuntungan $10,000 dollar setiap ada seorang perokok meninggal. Ironis bukan?
Studi menunjukkan bahwa menaikkan pajak rokok sampai dengan 100% dapat menurunkan 20% prevalensi merokok. Di Perancis, kenaikan harga rokok mulai diperkenalkan pada awal 1990-an yang mencapai 300% di tahun 2011, sementara rerata konsumsi rokok 6 batang per hari di awal 1990-an menurun drastis menjadi separuhnya di tahun 2011. Data dari ADB (2013) menunjukkan dampak dari kenaikan harga rokok hanya 6.4% yang ditanggung oleh masyarakat dengan status sosial ekonomi terendah tetapi manfaat yang diperoleh dalam hal kematian yang dapat dicegah yaitu 32%, lebih tinggi dari kematian yang akan dicegah di kelompok sosial ekonomi tertinggi. Dapat disimpulkan bahwa bila harga rokok naik, maka yang terkena dampak terkecil justru kalangan sosial ekonomi tertinggi, yang berarti mengurangi kesenjangan yang terjadi.
Tidak hanya itu, peningkatan harga rokok akan mengurangi pasar gelap serta memperkecil selisih harga antara rokok yang mahal dan murah.
Pajak atau cukai rokok yang naik sampai 3 kali lipat akan menurunkan konsumsi rokok sampai 1/3 dan mencegah sampai dengan 200 juta kematian. Sekali lagi perlu diingat, dampak-dampak tersebut hanya akan terlihat kalau harga pajak rokok naik sekurang-kurangnya 100%.
Kuncinya: Triple – Halve – Double. Naikkan harga rokok sampai 3 kali lipat, konsumsi akan berkurang separuhnya, pendapatan pemerintah dari tembakau akan naik 2 kali lipat.
Informasi lebih lanjut mengenai studi Prabhat Jha dan tim-nya dapat dilihat di www.cghr.org
Part 3
Apakah Kita Sudah 100% Anti Rokok?
Masih tentang industri tembakau, Bronwyn King, CEO Tobacco Free Portfolio menceritakan bagaimana semua orang di Australia sebenarnya berperan dalam membesarkan bisnis tembakau tanpa disadari. Berawal dari pengalaman King dalam mengurus superannuation (dana pensiun wajib yang diberlakukan di Australia). Dari agen marketing yang menawarkan program dana pensiun tersebut, King baru mengetahui bahwa dana tersebut diinvestasikan ke perusahaan-perusahaan tembakau. King mencari tahu ke provider dana pensiun lainnya dan hasilnya sama saja, bahwa fund manager tersebut berinvestasi ke perusahaan yang terkait dengan tembakau. Empat dari 5 perusahaan papan atas yang menjadi sasaran investasi fund manager bergerak dalam industri tembakau, yakni: British American Tobacco, Imperial Tobacco Group, Phillip Morris dan Swedish Match Company.
Mengapa fund manager tersebut berinvestasi ke industri tembakau? Faktanya, karena di atas kertas perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang tembakau dan rokok memiliki track record yang baik dalam segi finansial, yakni menguntungkan dan akuntabel, sehingga hampir selalu konsisten menempati peringkat tertinggi sebagai perusahaan terbaik di dunia. Para fund manager mungkin mengetahui tentang risiko tembakau, tetapi tidak atau kurang peduli pada dampak jangka panjang dari investasi tersebut.
King memberikan poin-poin penting supaya kita sebagai praktisi kesehatan masyarakat dapat lebih tajam dan menohok dalam mempromosikan dampak buruk rokok kepada bidang lain dan bagi masyarakat sebagai investor. Pertama, rokok tidak dapat dikonsumsi dalam jumlah yang aman. Sebatang rokok pun per hari dapat meningkatkan risiko penyakit kronis. Kedua, regulasi terkait rokok sudah sangat banyak dan akan semakin banyak, sehingga ke depannya dapat lebih berisiko bagi bisnis. Ketiga, bisnis rokok menginternalisasi profit dan mengeksternalisasi risiko biaya jangka panjang. Perusahaan rokok menerima keuntungan yang sangat besar, tetapi kerugian akibat rokok misalnya: biaya pengobatan kanker, penyakit jantung dan morbiditas lainnya akibat rokok ditanggung oleh pemerintah, bahkan masyarakat. Dengan kata lain, meskipun investor seakan-akan mendapat keuntungan, investor (masyarakat) pun mengalami kerugian karena harus menanggung biaya kesehatan akibat rokok melalui premi asuransi. Terakhir, bisnis tembakau telah membahayakan keamanan pangan di beberapa wilayah karena tergusurnya pertanian tanaman pangan serta 60% pekerjanya masih anak-anak.
Jadi, bagi Anda yang memiliki investasi saham, reksadana, ataupun tabungan dana pensiun dan sejenisnya, tanya pada manajer Anda apakah investasi Anda bebas rokokl
Part 4
Hidup untuk Makan, atau Makan untuk Hidup?
Usia harapan hidup di seluruh dunia telah berlipat ganda sejak tahun 1900, dan salah satu faktor penyebabnya adalah makanan. Proporsi kelaparan telah turun sampai 50% sejak 1969. Dr. Alessandro Demaio dari Department of Nutrition for Health and Deveopment WHO menjabarkan bahwa makanan telah menjadi penyelamat hidup manusia—makanan untuk hidup. Tapi saat ini gaya hidup telah membalik menjadi hidup untuk makan. Contoh gampangnya adalah kebiasaan untuk mengabadikan dan mengunggah makanan ke sosial media. Demaio juga menyebutkan bahwa sebagian besar foto yang diunggah ke Instagram adalah foto makanan.
Tidak bisa dipungkiri bisnis makanan merupakan bisnis yang besar. Salah satu contoh untuk salah satu retail burger di Australia, keuntungan yang diperoleh adalah 5 milyar dollar di tahun 2016—yang berarti 200 dollar per penduduk Australia. Sama halnya dengan makanan junk food, bisnis minuman soda juga sangat menguntungkan karena modalnya murah, prosesnya mudah, dan masyarakat mau membayar cukup tinggi—bandingkan antara minuman bersoda dan air mineral yang menggunakan bahan baku yang sama tetapi harga minuman bersoda mencapai 3 kali air mineral.
Di balik ‘ongkos produksi’ yang murah dan keuntungan tinggi yang diraup raksasa bisnis makanan, terdapat ‘ongkos tidak langsung’ yang akan ditanggung oleh negara dalam bentuk biaya pelayanan dan perawatan kesehatan—sama halnya dengan kasus bisnis tembakau. Masyarakat pun secara tidak langsung ikut menanggung beban itu karena menjadi pembayar premi asuransi. Demaio mengilustrasikan 3 tingkat dari ‘cost’ akibat tembakau: 1) yang konsumen bayar secara sadar, yaitu harga soda tersebut yang relatif murah; 2) yang konsumen bayar di kemudian hari tanpa sadar, yakni apabila kita akhirnya terkena penyakit akibat minuman bersoda, dan; 3) yang dibayar oleh seluruh masyarakat sebagai upaya menanggung risiko biaya perawatan akibat penyakit yang disebabkan oleh minuman bersoda, yakni premi asuransi.
Bagaimana hal ini terus-menerus terjadi? Lagi-lagi sama hal-nya dengan bisnis tembakau, yakni karena adanya promosi yang jor-joran, mendistraksi dari situasi yang sebenarnya ada. Hal inilah yang memicu ide adanya sin tax—perlu diingat bahwa kata-kata ‘sin tax’ ini bisa sensitif dan cenderung menimbulkan penolakan, sebaiknya diramu menjadi “true pricing for product” atau biaya riil total. Produsen perlu ikut andil bertanggung jawab pada dampak biaya jangka panjang yang ditimbulkan. Kita perlu memperkuat bukti ilmiah di sini sehingga advokasi ke arah tersebut dapat segera terwujud.
Kunci utamanya: kebijakan, kebijakan dan kebijakan. Kita perlu kebijakan kesehatan yang kuat untuk menekan promosi dan peredaran produk makanan minuman yang kurang sehat serta promosi ke masyarakat mengenai risiko negatif sebagai dampak produk tersebut. Kita perlu kebijakan yang menguak tentang beban biaya yang seharusnya ditanggung oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Kita perlu kebijakan yang berbasis bukti untuk memperkuat proses advokasi.