Debat Nilai PBI Karena Ketiadaan Standar Layanan Medik
Jakarta, PKMK. Perdebatan mengenai nilai penerima bantuan iuran (PBI) untuk warga miskin peserta Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan disebabkan tidak adanya standar pelayanan medik nasional. Bila standar itu ada, semua pihak bisa mengalkulasi nilai PBI itu. "Melalui standar pelayanan medik nasional, kita bisa menyatakan bahwa jika PBI tidak diletakkan di nilai X, maka layanan tidak bisa berjalan," ungkap dr. Marius Widjajarta, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia i Jakarta. Ia menambahkan bahwa nilai PBI yang layak sangat perlu. Sebab, itu berhubungan dengan keselamatan sekitar 86 juta warga miskin penerima PBI. "Soal nyawa, itu nomor satu. Soal keseimbangan fiskal, letakkan saja di nomor dua atau tiga," tegasnya.
Dengan nilai PBI Rp 15.500/orang per bulan seperti yang direncanakan, pasti pelayanan yang diberikan buruk. Penelitian di 12 propinsi oleh Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan menunjukkan bahwa kini pasien masih harus keluar uang untuk beberapa jenis obat, juga beberapa jenis bahan habis pakai. "Saat saya tanya penyebab hal tersebut, jawabannya karena paket jaminan yang disediakan Pemerintah Indonesia nilainya terlalu kecil," kata Marius. Penyedia jasa menerangkan, 'Itu paket jaminan pokoke dan tidak jelas juntrungannya. Suka atau tidak, RS harus menerima.'" Benang operasi bedah pun disiasati, untuk lapisan dasar, menggunakan benang standar internasional. Sedangkan untuk lapisan selanjutnya menggunakan benang jaman dulu. "Itu benang rol-rolan yang mirip benang membuat jok. Hanya saja benang itu sudah disterilkan," tambah Marius. Standar biaya kesehatan di Indonesia sudah seharusnya diperjelas. Bila standar pelayanan medik nasional tidak ada, janganlah membicarakan kualitas pelayanan. "Bukankah untuk membangun rumah, harus ada pondasinya? Di Indonesia, ada undang-undang yang tidak dilengkapi peraturan turunan memadai. Ini kan ibarat mobil yag tidak punya roda," tutup Marius.