Modul 3.A Beberapa konsep dasar
penyampaian hasil riset kebijakan

 

  Tujuan Pembelajaran

Modul ini membahas beberapa konsep dasar dalam penyampaian hasil riset kebijakan medik, khususnya kepada pembuat kebijakan dan secara umum kepada masyarakat luas. Modul ini juga menyoroti kompleksitas stakeholder dari kebijakan medik.

 

  Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari modul ini, peserta akan lebih memahami berbagai konsep dasar dalam menyampaikan hasil penelitian kepada para pemangku kepentingan dan pengambil keputusan.

 

Untuk dapat mengkomunikasikan hasil-hasil riset kebijakan, terdapat empat hal dasar yang perlu diingat:

  1. Mendefinisikan isu kebijakan secara efektif
    Salah satu tugas pertama peneliti adalah memastikan bahwa isu-isu yang terkait dengan kebijakan yang menjadi dasar penelitian telah didefinisikan dan diartikulasikan dengan jelas. Untuk meningkatkan relevansi isu, faktor eksternal (misal: stakeholders) dapat dilibatkan di dalam proses identifikasi isu ini. Semakin jelas isu didefinisikan, semakin mudah pengidentifikasian potensi kemanfaatan dari hasil riset dan semakin mudah untuk membangun hubungan komunikasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Jadi, sangat penting untuk mengidentifikasi pertanyaan kebijakan sejak awal riset.
  2. Transfer pengetahuan merupakan dialog dua arah
    Untuk melakukan transfer pengetahuan dengan lebih baik dibutuhkan sebuah cara yang melebihi model diseminasi satu arah (di mana peneliti menyajikan hasil penelitiannya). Peneliti seharusnya secara aktif mengembangkan dialog dengan para penerima manfaat riset (misalnya pembuat kebijakan dan masyarakat luas). Relevansi dan dampak dari pengetahuan dapat di transformasikan melalui keterlibatan mereka (pembuat kebijakan dan masyarakat luas). Istilah "Keterlibatan" menjadi pilihan kata untuk menunjukkan komunikasi aktif dua arah.
  3. Menciptakan tim komunikasi dan diseminasi
    Mengkomunikasikan hasil riset atau rekomendasi kebijakan sebaiknya bukan merupakan tanggungjawab satu orang, melainkan sebuah tim. Selain itu, diseminasi dan advokasi bukanlah pekerjaan satu kali atau sesaat namun harus berlangsung terus menerus, sehingga dibutuhkan stamina yang cukup bertahan lama. Oleh karena itu, kegiatan komunikasi dan diseminasi dan advokasi sebaiknya tidak dilakukan oleh satu orang. Tim diseminasi seharusnya melibatkan paling tidak satu anggota, yang bekerja sama dengan seorang koordinator, yang bertanggung jawab membuat materi diseminasi yang terkait dengan kebijakan dan menyusun strategi komunikasi, diseminasi dan advokasi. Karena pentingnya tugas pengkomunikasian kebijakan ini, maka kemampuan menulis yang sangat baik diperlukan.
  4. Mengidentifikasi audien: kelompok target yang relevan
    Untuk siapa riset ini penting? Pertanyaan tersebut harus ditanyakan berulang-ulang selama penelitian untuk mendapatkan jawaban yang mengungkapkan dengan siapa persisnya peneliti harus berkomunikasi. Hal ini sederhana, namun merupakan cara yang efektif untuk mengidentifikasi audien.

Kebijakan medik memiliki sifat kekhasan yang perlu dipahami sensitifitasnya. Kebijakan medik biasanya disusun oleh (atau ditujukan untuk) profesi medis yang terbiasa mengambil keputusan medis/klinis secara cepat dan mandiri demi kepentingan keselamatan/kesehatan pasien. 'Kebiasaan' ini menjadi terbawa dalam situasi dimana kebijakan medik diambil untuk kepentingan yang lebih luas dan untuk memenuhi tujuan dari sebuah organisasi atau suatu sistem (lebih lanjut mengenai hal ini dapat dibaca dalam bahan bacaan yang direkomendasikan).

Di level mikro (misalnya: kebijakan medik di rumah sakit), dapat saja terjadi situasi dimana sekelompok professional (tenaga medis) memiliki kepentingan dan otoritas untuk mengambil keputusan yang tidak selalu sejalan atau tidak selalu dipahami oleh sekelompok professional lain (manajer/administrator rumah sakit). Karena teknologi baru, regulasi, dan persaingan dalam industri pelayanan kesehatan, tenaga medis (baca: dokter) dan administrator rumah sakit menjadi lebih tergantung satu sama lain, dan perbedaan antara kebijakan medik dan kebijakan administrasi menjadi kabur. Contohnya: isu mengenai apakah rumah sakit harus memperluas aktivitas perawatan rawat jalan, mungkin dengan mengembangkan klinik satelit. Meskipun sejumlah pertimbangan pemasaran, strategi bisnis, perencanaan, dan pertimbangan terkait administrasi (misalnya peralatan, SDM, dll) terlibat dalam keputusan seperti itu, area kebijakan medik juga tercakup di dalamnya. Misalnya: masalah jenis pasien akan dirawat, triage, mixed-skill apa yang dibutuhkan (menentukan dokter apa saja yang perlu terlibat), penentuan hak/wewenang klinis, dan jenis hubungan rujukan. Keputusan untuk memperluas rawat jalan rumah sakit seringkali dapat menjadi kontroversial dan memecah belah karena langsung dapat mengancam staf medis yang ada yang mencoba untuk mempertahankan atau memperluas praktek pribadi mereka. Dengan demikian, pertimbangan administratif dan klinis yang terlibat dalam pengambilan keputusan di rumah sakit menjadi bertambah penting.

Di level makro, kebijakan medik yang diambil untuk memenuhi tujuan sistem kesehatan daerah atau nasional membuat situasinya lebih kompleks lagi. Dalam hal ini, kompleksitas bisa terjadi karena kebijakan medik tersebut harus mempertimbangkan perbedaan faktor geografis, konteks social budaya, dan terkait dengan aktor-aktor lain di dalam sistem misalnya pihak ketiga (asuransi) atau pembayaran melalui sistem jaminan, dewan penjamin mutu pelayanan, regulator, kemampuan ekonomi, kekuatan politik, bahkan antar berbagai profesi medis sendiri. Tenaga medis bukanlah satu kesatuan homogen. Mereka memiliki karakteristik yang berbeda tergantung pada spesialisasi yang berbeda, senioritas, lokasi geografis, di samping ada pula perbedaan karakter pribadi and filosofi/nilai yang dianutnya. Diversifikasi ini harus dipahami karena ini berarti ada berbagai kelompok tenaga medis yang berbeda yang berkepentingan dalam pengambilan kebijakan medik terkait program pelayanan baru/tambahan, teknologi baru yang akan diadopsi atau reorganisasi sistem pelayanan.

Di level meso, kebijakan medik yang diambil untuk memenuhi tujuan suatu program juga tidak kurang kompleks. Misalnya, program akselerasi penurunan angka kematian ibu membutuhkan kebijakan medik yang melibatkan kebijakan-kebijakan terkait kesiapan berbagai jenis dan jumlah berbagai tenaga medis yang harus tersedia pada level primer, sekunder dan tersier; kebijakan atas berbagai profesi medis yang terkait; kebijakan yang memastikan adanya dukungan peralatan, persediaan, bahan habis pakai, obat dan alat kesehatan pada level primer, sekunder dan tersier; kebijakan terkait rujukan; kebijakan terkait pelayanan yang tercakup dalam sistem pembiayaan, dan lain-lain.

Dengan demikian, semakin tajam peneliti dapat merumuskan isu kebijakan yang menjadi sasaran, dan di level apa kebijakan medic itu berada, maka semakin jelas pulalah target audiens dan para pemangku kepentingan/stakeholders dari kebijakan tersebut. Kemudian, peneliti dapat memulai membentuk tim untuk membantunya dalam menyusun strategi komunikasi, diseminasi dan advokasi yang bersifat dua-arah.

Modul berikutnya akan membahas mengenai keterampilan yang dibutuhkan untuk dapat menyampaikan hasil penelitian dan advokasi kebijakan serta media apa yang dapat digunakan.

 

  Bahan belajar

A comparison of decision-making by physicians and administrators in healthcare settings,
Matheson, D.S and Kissoon, N., Critical Care, 2006, 10:163 

Mending the Gap between Physicians and Hospital Executives,
Waldman, J.D. and Cohn, K.H., in "The Business of Healthcare", Cohn, K.H and Hough, D.E (eds), Praeger: 2007.

 

  Tugas

Identifikasi sejak awal siapa target audiens dari kebijakan medik yang Anda susun. Semakin detil target audiensnya, semakin baik. Target audiens inilah yang akan menjadi target audiens dari rencana diseminasi And nantinya.

Misalnya:

  1. "Manajemen Rumah Sakit" adalah target audiens umum; yang lebih khusus misalnya "Direktur Pelayanan Medik", "Direktur Keuangan", "SMF bagian X", dan seterusnya.
  2. "Pemerintah Daerah" adalah target audiens umum; yang lebih khusus misalnya, "DPRD Komisi X", "Sekda", "Bupati", "Dinas Kesehatan bagian Kesehatan Keluarga", dan seterusnya.