Penggunaan data kematian “absolut” untuk memicu penurunan kematian ibu dan ibu di kabupaten/kota

header pb_KIA

Penulis:

Laksono Trisnantoro dan Sitti Noor Zaenab
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM

Pengambil Kebijakan yang dituju:

•  Menteri Kesehatan
•  Gubernur, Walikota dan Bupati di Indonesia asd
•  Kepala, Staff ahli, dan Deputi BAPPENAS
•  Pimpinan Direktorat Jendral dan Staff ahli Kementerian Kesehatan 
•  Kepala dan Kepala-Kepala Bidang DinKes Propinsi di Indonesia
•  Kepala dan Kepala-kepaa Bidang DinKes Kabupatan/Kota di Indonesia

Pengantar

Situasi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Indonesia masih memprihatinkan. Kematian ibu dan kematian bayi tidak menurun, justru meningkat di berbagai propinsi dan kabupaten/kota. Mengapa kita tidak awas pada kematian yang meningkat? Apa yang kurang tepat selama ini?

Pengamatan

Selama ini sistem monitoring program KIA di kabupaten-kota menggunakan cakupan-cakupan program, angka "rates" kematian, bukan angka "absolut". Angka rates ini merupakan hasil dari berbagai survei. Sebagai catatan: survei yang menggunakan metode berbeda akan membuahkan hasil yang berbeda pula. Yang menarik, pimpinan Dinas Kesehatan propinsi tidak dapat menerangkan mengapa terjadi penurunan angka kematian yang berasal dari survey. Sebaliknya juga tidak dapat menerangkan mengapa ada kenaikan. Di samping itu angka rates dari survey sulit dipergunakan untuk kabupaten/kota, dan selalu terlambat hasilnya.
 

  Apa akibat tidak menggunakan angka absolut di kabupaten/kota?

Dengan mengandalkan data survei yang berupa rates, program KIA menjadi tidak riil karena hanya berhadapan dengan gambaran angka. Pengambil keputusan di daerah (Bupati, Walikota, anggota DPR, dan pimpinan/tokoh masyarakat) tidak dapat membayangkan bahwa yang mati itu adalah manusia nyata. Penggunaan data rates juga berarti selalu ketinggalan dengan kejadian riil di lapangan. Akibat lebih lanjut: dalam pelaksanaan program KIA tidak ada pacuan ("peningkatan adrenalin") bagi pelaku kegiatan untuk menurunkan kematian. Ada beberapa contoh mengenai tidak tanggapnya pada masalah kematian atau dalam kata lain ada ke "terlena" an.

  1. Di sebuah pertemuan nasional kesehatan di tahun 2012, seorang istri pejabat menyatakan bahwa angka kematian bayi di daerahnya terbaik di Indonesia. Namun data yang dikutip dari tahun 2008. Antara tahun 2008 sampai dengan 2012 sebenarnya terjadi kenaikan kematian absolut. Sekitar 60% kematian absolut tersebut dapat dicegah. Istri pejabat tersebut "terlena" dengan data di tahun 2008 dan tidak ada sistem yang memberi tahu tentang kenaikan jumlah kematian.
  2. Di sebuah propinsi seorang pejabat pemerintah daerah mempertanyakan mengapa harus ada program untuk mengurangi kematian Ibu. Pejabat tersebut menyatakan bahwa angka kematian ibu di propinsinya sudah lebih baik dibandingkan dengan angka kematian nasional. Sama dengan kasus 1, sebagian dari kematian ibu sebenarnya masih bisa dicegah, namun pejabat tersebut sudah "terlena".
     

Bagaimana pendapat ahli dalam penggunaan jumlah kematian "absolut"?

Dalam pertemuan Annual Scientific Meeting FK UGM pada tanggal 9 dan 10 Maret 2013, para pakar epidemiologi dan kesehatan masyarakat menyetujui penggunaan angka absolut untuk indikator keberhasilan program KIA. Silahkan klik di www.kebijakankesehatanindonesia.net untuk membaca laporan lengkap isi seminar.
 

Apa buktinya?

Di Propinsi DIY dan Propinsi NTT dilakukan kegiatan dengan menggunakan data absolut untuk "meningkatkan adrenalin" para pelaku kegiatan. Di NTT program dilakukan sejak tahun 2010 dengan bertumpu pada program Sister Hospital, sementara di DIY dilakukan pada tahun 2012 dengan menggunakan model surveilans respon dan peningkatan perhatian pada kejadian nyata kematian ibu dan kematian bayi. Kedua propinsi ini juga menata sistem rujukan dengan mengembangkan manual rujukan KIA. Dengan menggunakan angka absolut, kegairahan dan perhatian pada usaha menurunkan kematian ibu dan bayi menjadi bertambah.
 

Bagaimana perubahan kebijakan program KIA di masa mendatang?

Disarankan agar Kepala Dinas Kesehatan Kabupatan/Kota memimpin perubahan untuk menggunakan data absolut sebagai cara mengukur kinerja serta manajemen program KIA. Data absolut dipergunakan untuk pengambilan keputusan segera dan terencana melalui pendekatan surveilans respon berdasarkan informasi dari AMP. Dengan demikian kematian ibu dan anak harus segera diaudit melalui AMP. Dalam waktu setahun, penggunaan data absolut secara time series dapat dipergunakan untuk menilai ada tidaknya perbaikan dalam program pencapaian MDG4 dan MDG5 dibanding tahun sebelumnya di sebuah kabupaten/kota dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Data absolut tidak dapat dipergunakan untuk membandingkan kinerja antar kabupaten/kota.

Perubahan kebijakan program KIA ini merupakan hal mendasar yang perlu dipersiapkan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bersama direktur RS setempat, dokter-dokter spesialis, kepala puskesmas, dokter puskesmas, dan tokoh-tokoh masyarakat. Disarankan agar Kepala DInas Kesehatan menjadi motor penggerak penggunaan data absolut ini dengan dukungan dari Bupati/Walikota. Kementerian Kesehatan diharapkan dapat mendukung penggunaan data absolut untuk usaha pengurangan kematian ibu dan bayi di kabupaten. Penggunaan data survey di level nasional diharapkan dilakukan bersama dengan penggunaan data absolut di kabupaten/kota.

Informasi lebih lanjut mengenai penggunaan angka absolut dapat dibaca di
www.kesehatan-ibuanak.net dalam rubrik Mapping Intervention. SIlahkan klik

 

Penulis:

Laksono Trisnantoro
Dapat dihubungi di: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Sitti Noor Zaenab
Dapat dihubungi di: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Download Policy Brief Versi PDF 

 

{jcomments on}

Kebijakan Pengendalian Tembakau untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota Non-Penghasil Rokok/Tembakau di Indonesia

Kebijakan Pengendalian Tembakau untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota
Bukan Penghasil Rokok/Tembakau
 di Indonesia

POLICY BRIEF


Pendahuluan

Dua dari tiga laki-laki dewasa Indonesia adalah perokok dengan rata-rata konsumsi rokok 13 batang per hari1. Kenyataan ini membawa Indonesia berada pada urutan ketiga dunia dengan jumlah perokok laki-laki dewasa terbanyak di bawah China dan India. Meskipun rata-rata usia mulai merokok adalah 17,6 tahun namun sekitar 75% perokok Indonesia memulai merokok sebelum berusia 20 tahun. Sebanyak 78,4% mereka yang berusia 15 tahun ke atas terpapar asap rokok di rumah, 63,4% di kantor pemerintah, 17,9% di fasilitas kesehatan, 85,4% di restoran, dan 70% di sarana transportasi umum1.

Policy brief ini dimaksudkan sebagai bahan acuan pemerintah daerah non penghasil tembakau/rokok untuk melindungi masyarakat dari paparan asap rokok melalui upaya pencegahan dan promosi kesehatan serta untuk menyelamatkan keuangan daerah dari pembiayaan kesehatan berbagai penyakit yang dipicu oleh rokok.

Prevalensi Perokok Berdasarkan Provinsi2

 http://www.riskesdas.
 litbang.depkes.go.id/2010

Prevalensi perokok harian di Indonesia tahun 2010 (Berdasarkan Provinsi)

polrok1

polrok2

  • Tidak ada perbedaan prevalensi perokok antara provinsi penghasil tembakau/rokok dan provinsi yang tidak menghasilkan tembakau/rokok, dimana sebagian besar prevalensi keduanya berada di atas rata-rata prevalensi nasional.

 

Dampak negatif Produk Tembakau bagi Kesehatan

 

 

 

 

 

 

 

 

http://www.who.int/nmh/
countries/idn_en.pdf

Produk Tembakau merupakan zat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan masyarakat sekelilingnya3

  • Di dalam setiap batang Rokok yang dibakar terdapat lebih dari 4.000 (empat ribu) zat kimia antara lain Nikotin yang bersifat adiktif dan Tar yang bersifat karsinogenik (pemicu timbulnya kanker).
  • Zat kimia yang terdapat dalam sebatang rokok sebagian besar telah diidentifikasikan sebagai pemicu penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, penyakit pernafasan akut, kanker, stroke, dan diabetes.

 

Sebanyak 64% dari seluruh kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit tidak menular dimana 1 dari 3 orang yang meninggal dunia adalah mereka yang berusia di bawah 60 tahun.4

Risiko kesehatan yang didapat perokok pasif (orang yang secara tidak langsung menghirup asap rokok dari orang yang merokok) adalah sama berbahayanya dengan perokok aktif.

 

Cukai Rokok dan Penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT)5

Rokok merupakan barang hasil tembakau yang dikenakan cukai karena memiliki sifat atau karakteristik: (1) Konsumsinya perlu dikendalikan; (2) Peredarannya perlu diawasi; (3) Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan.

Cukai rokok dibayar oleh perokok melalui pabrik rokok/importir rokok untuk kemudian disetor ke kas Negara.

  • Penerimaan Negara dari cukai rokok meningkat setiap tahunnya seiring dengan peningkatan jumlah perokok.
  • Penerimaan Negara dari cukai rokok pada tahun 2010 adalah Rp. 63,2 Triliun dan tahun 2012 sebesar Rp. 77 Triliun.

Diantara 33 provinsi di Indonesia, hanya 16 yang menerima penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) pada tahun 2012.

  • Sebanyak 2% dari total pendapatan cukai rokok didistribusikan pemerintah pusat kepada daerah penghasil tembakau/rokok dalam bentuk DBHCHT.
  • DBHCHT dapat dimanfaatkan untuk penetapan kawasan tanpa rokok (KTR) dan penyediaan fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak rokok (pembinaan lingkungan sosial).

Sebanyak 17 provinsi non penghasil tembakau/rokok tidak menerima DBHCHT dan pendapatan lain dari tembakau/rokok.

  • Provinsi yang bukan penghasil tembakau/rokok harus mengelola anggaran daerahnya dengan lebih baik agar tidak terjadi pengeluaran yang berlebihan untuk membayar biaya pengobatan berbagai penyakit yang diakibatkan oleh rokok.

Dengan demikian provinsi yang tidak menghasilkan tembakau/rokok merupakan daerah yang secara ekonomi dan kesehatan dirugikan oleh kegiatan merokok warganya.

 

Beban Ekonomi terkait Tembakau6

 

Total kerugian ekonomi yang ditimbulkan rokok pada tahun 2010 diperkirakan mencapai Rp. 245,41 Trilliun, dengan proporsi:

Pembelian rokok

         53,20%

Productivitas yang hilang*

         40,60%

Biaya rawat inap

          5,51%

Biaya rawat jalan

            0,69%

*Produktivitas yang hilang adalah penghasilan yang hilang akibat tidak bekerja karena sakit terkait rokok.

Beban ekonomi terkait tembakau (Rp. 245,41 Trilliun) hampir 4 (empat) kali lebih besar daripada pendapatan Negara dari cukai rokok pada tahun 2010 (Rp. 63,2 Triliun).

Rekomendasi : 

Karena sebagian besar penyakit yang dipicu oleh rokok DAPAT DICEGAH, maka tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mendapatkan penyaluran DBHCHT adalah dengan melindungi masyarakat dari paparan asap rokok melalui upaya pencegahan dan promosi kesehatan serta untuk menyelamatkan keuangan daerah dari pembiayaan kesehatan berbagai penyakit yang dipicu oleh rokok, berupa:

1. Kebijakan
 

  1. Menetapkan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
    1. Sebagai payung hukum untuk melindungi mereka yang tidak merokok
    2. Amanah UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 115 (ayat 2): pemerintah daerah berkewajiban untuk menetapkan kawasan tanpa rokok3.
    3. Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, pasal 52: Pemerintah Daerah Wajib menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di Wilayahnya dengan Peraturan Daerah7
    4. Kawasan Tanpa Rokok antara lain3,7: (1) Fasiitas Pelayanan Kesehatan; (2) Tempat Proses Belajar Mengajar; (3) Tempat Anak Bermain; (4) Tempat Ibadah; (5) Angkutan Umum; (6) Tempat Kerja; dan (7) Tempat Umum dan Tempat Lain yang Ditetapkan.
       
  2. Pelarangan iklan dan promosi
    1. Amanah UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 59 dan pasal 67: Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak yang menjadi korban penyalahgunaan zat adiktif.8
    2. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa iklan, promosi, dan sponsor Rokok menimbulkan keinginan anak-anak untuk mulai merokok, mendorong anak-anak perokok untuk terus merokok dan mendorong anak-anak yang telah berhenti merokok untuk kembali merokok.
    3. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota seharusnya melarang seluruh iklan rokok di media masa, termasuk iklan media luar ruang dan radio.
    4. Pelarangan juga harus dilakukan terhadap promosi dalam berbagai bentuk lainnya seperti pemberian diskon, hadiah, dan peningkatan citra dengan menggunakan merek atau nama perusahaan rokok.
    5. Sponsorship perusahaan rokok dalam bentuk beasiswa, bantuan untuk pendidikan, lingkungan hidup, serta peristiwa seni budaya dan olahraga harus dilarang.
    6. Pelarangan iklan dan promosi adalah bentuk pencegahan terhadap perkembangan penyakit dan beban keuangan.
    7. Kehilangan pendapatan dari pajak reklame rokok dapat digantikan dengan pemasukan pajak reklame dari produk lain yang tidak terkait dengan rokok.
    8. Pendapatan dari pajak reklame produk rokok sangat kecil yaitu hanya sebesar 0,12%-1,01% dari total Pendapatan Asli Daerah.9
       
  3. Mendorong pemerintah pusat dan Kementrian Kesehatan untuk segera menandatangani Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control - FCTC). 
    1. Epidemi tembakau merupakan masalah global sehingga perlu ditangani secara bersama oleh masyarakat dunia secara serentak.
    2. Indonesia belum menjadi bagian FCTC sementara 176 negara (mewakili 88% populasi dunia) telah menjadi bagian dari FCTC.10
    3. Apabila Indonesia tidak segera meratifikasi FCTC, maka epidemi tembakau dunia akan terkonsentrasi di Indonesia dan hal ini akan membawa bangsa Indonesia kepada kehancuran karena beban ekonomi yang tinggi dari produk tembakau dan berbagai penyakit yang ditimbulkannya.
    4. Kerangka FCTC tersebut meliputi:11 (1) Peningkatan pajak cukai tembakau; (2) Pelarangan iklan rokok; (3) Penerapan kawasan tanpa rokok yang komprehensif; (4) Peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok; (5) Membantu orang yang ingin berhenti merokok; (6) Pendidikan masyarakat.

 

2. Pemberdayaan Masyarakat
 

  1. Pemberian informasi kesehatan yang benar dan pembentukan pendidik sebaya di kalangan remaja.
    1. Remaja perlu dibekali dengan informasi dan pemahaman yang benar tentang bahaya merokok dan pembohongan serta eksploitasi oleh industri rokok dimana mereka adalah sasaran pasar potensial.
    2. Pendidik sebaya berfungsi sebagai teman yang akan memberikan pemahaman tentang bahaya merokok bagi mereka yang tidak merokok dan memberikan tips untuk berhenti merokok untuk remaja yang sudah merokok.
       
  2. Mendorong gerakan masyarakat demi terciptanya rumah bebas asap rokok untuk melindungi perokok pasif
    1. Selain risiko terkena penyakit Jantung yang disebabkan oleh asap rokok, Perokok Pasif berisiko terkena penyakit kanker 30% (tiga puluh persen) lebih besar dibandingkan dengan yang tidak terpapar asap Rokok.
    2. Oleh karena itu, menciptakan Rumah Bebas Asap Rokok merupakan hal yang harus segera dilakukan untuk melindungi orang yang dicintai dari paparan asap rokok.
    3. Perjanjian sosial (deklarasi) yang mengikat dalam sebuah komunitas perlu segera dibuat, meliputi:
      1. Tidak merokok di dalam rumah
      2. Tidak merokok dalam pertemuan
      3. Tidak menyediakan asbak
    4. Gerakan rumah bebas asap rokok dapat berhasil apabila dilakukan secara serentak oleh semua warga negara dan didukung oleh pihak-pihak terkait seperti pusat kesehatan, dan pemerintah daerah.
    5. Rumah bebas asap rokok adalah upaya yang sangat mungkin diwujudkan, seperti yang telah dilaksanakan di Kota Yogyakarta. Hasil penelitian Quit Tobacco Indonesia (QTI) pada tahun 2011 di empat lingkungan perumahan di Yogyakarta menemukan bahwa dalam satu tahun gerakan rumah bebas asap rokok, hanya 39% dari 54% perokok yang masih merokok di dalam rumah. Angka ini jauh menurun jika dibandingkan dengan 87% sebelum studi dilaksanakan.12

 

3. Kesehatan
 

  1. Klinik Berhenti Merokok
    1. Upaya untuk menolong perokok yang ingin berhenti merokok.
    2. Hasil studi menunjukkan bahwa sekitar 70% perokok ingin berhenti merokok, 46% perokok berusaha berhenti merokok dan hanya 3% yang berhasil berhenti merokok tanpa bantuan orang lain. Sebagian besar dari mereka berfikir untuk berhenti merokok ketika sakit.13
    3. Klinik berhenti merokok dapat ditempatkan di Puskesmas, klinik swasta, dan rumah sakit.
    4. Klinik berhenti merokok merupakan pelayanan yang tidak dipungut biaya.
       
  2. Perhatian dari Tenaga Kesehatan
    1. Setiap tenaga kesehatan, khususnya dokter harus memberi perhatian dengan bertanya mengenai kebiasaan merokok pasien dan mencatatnya dalam catatan medis pasien.
    2. Tenaga kesehatan harus memberikan nasihat secara terus menerus kepada pasien yang merokok untuk berhenti merokok dan menganjurkannya untuk dating ke klinik berhenti merokok terdekat.

 

Referensi:
 

  1. World Health Organization & Ministry of Health. 2012. Global Adult Tobacco Survey: Indonesia Report 2011.
  2. National Institute of Health Research and Development Ministry of Health. 2011. Report of the 2010 Basic Health Research.
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
  4. World Health Organization. 2011. NCD Country Profiles - Indonesia.
  5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai, Pasal 2 (1, 2) dan Pasal 66A (1 dan 4).
  6. Kosen, S. 2012. Current Burden and Economic Costs of Major Tobacco Attributed Diseases in Indonesia.
  7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
  8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
  9. Center for Health Administration and Policy Studies (CHAMPS). 2011. Studi Tentang Pendapatan Daerah dari Advertensi Tembakau di Semarang, Surabaya dan Pontianak.
  10. World Health Organization. 2013. Parties to the WHO Framework Convention on Tobacco Control. Diunduh tanggal 9 Februari 2013 dari http://www.who.int/fctc/signatories_parties/en/index.html.
  11. sssWorld Health Organization. 2003. WHO Framework Convention on Tobacco Control.
  12. Quit Tobacco Indonesia. 2011. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok dan Implikasinya terhadap Kebiasaan Merokok dalam Rumah: Studi Kasus Kegiatan Rumah Bebas Asap Rokok di Yogyakarta.
  13. Benowitz NL & Brunetta PG. 2005. Smoking hazards and cessation. In: Mason RJ, Murray JF, Broaddus VC, Nadel JA, editors. Murray and Nadel's Textbook of Respiratory Medicine. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders.
     

Korespondensi :
 

  1. Dwijo Susilo: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.,
  2. Ratna Siwi Padmawati: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
  3. Laksono Trisnantoro: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it..

 

 

POLICY BRIEF Revisi PP 38

Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM

POLICY BRIEF: Juli 2011
Revisi PP 38/2007:  Pemantapan Desentralisasi di sektor kesehatan

Kebijakan yang diamati pelaksanaannya: UU 32 tahun 2004 dan PP 38/2007

  1. Desentralisasi kesehatan yang dipicu oleh UU di tahun 1999 yang diamandemen oleh UU 32/2004 pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan peran pemerintah daerah dalam pembangunan kesehatan sehingga mutu layanan kesehatan serta status kesehatan masyarakat meningkat. Dengan demikian desentralisasi kesehatan telah berlangsung lebih dari 10 tahun, namun ternyata banyak kendala ditemui dalam pelaksanaannya, termasuk PP 38 tahun 2007.
  2. Indikator-indikator kesehatan masyarakat sejak desentralisasi tidak berubah banyak. Angka kematian ibu di tahun 2000 adalah 307/100.000 kelahiran, sedangkan di tahun 2009 masih sekitar 228/100.000 kelahiran. Demikian juga angka kematian bayi, hanya  turun dari 37/1000 kelahiran  menjadi sekitar 26,9/1000 selama 9 tahun kemudian. DI propinsi-propinsi Indonesia timur angka kematian bayi justru memburuk.
  3. Dalam pelaksanaan desentralisasi pembiayaan, penyaluran dana dari pemerintah pusat masih kurang sesuai dengan UU desentralisasi. Dalam UU 33/2004 ditegaskan bahwa dana dekonsentrasi dan Tugas pembantuan seharusnya secara bertahap diubah ke DAK (masuk sebagai APBD). Kenyataan Tugas Pembantuan terus membesar, termasuk adanya dana BOK. Dalam situasi dana APBN yang semakin membesar, terlihat kesibukan luar biasa pejabat pemerintah pusat, sementara peran propinsi dan kabupaten semakin mempunyai risiko terabaikan. Disisi lain APBD untuk kesehatan di sebagian besar daerah masih belum meningkat kecuali untuk jaminan kesehatan.
  4. Problem mengelola dana pemerintah pusat yang sampai ke daerah (misal Puskesmas) menjadi salahsatu sumber terjadinya disclaimer Kementerian Kesehatan. Persoalan ini  menjadi isu penting disaat ada tekanan untuk meningkatkan anggaran Kementerian Kesehatan mendekati 5% APBN. Dalam konteks ini, berbagai kebijakan pusat yang baik seperti BOK dan Jampersal dapat berkurang efektifitasnya karena masalah yang terkait dengan desentralisasi.
  5. Dengan adanya dana Tugas Pembantuan untuk pembelian alat, dilaporkan terjadi berbagai ketidak-cocokan pembelian. Banyak alat menumpuk karena sebenarnya tidak dibutuhkan. Ada daerah mengeluh bahwa “yang dibutuhkan tidak diberi, yang dibutuhkan malah tidak diberikan”
  6. Penyebaran tenaga kesehatan juga tetap masalah. Dokter spesialis masih tetap memilih praktek dan tinggal di kota-kota besar di Jawa daripada di bagian timur Indonesia walaupun bupati/walikota sudah menyediakan dana insentif tambahan.
  7. Para kepala daerah menjadi lebih berkuasa dalam memilih pejabat kesehatan di daerah. Salah satu contoh semakin berkuasanya kepala daerah adalah adanya intervensi politik kepala daerah untuk pengisian jabatan tenaga struktural. Gubernur, bupati/walikota, tanpa melihat kompetensi, semakin mudah menempatkan pendukungnya untuk menjadi kepala dinas kesehatan atau direktur rumah sakit dan mengabaikan mereka yang tidak mendukung ketika pilihan kepala daerah. Permenkes no 971/2009 mengenai kompetensi tenaga struktural kesehatan belum diperhatikan.
  8. Penanganan bencana dan Kejadian luar biasa (KLB) antar daerah. Bencana maupun KLB tidak mengenal batas geografis. Akibatnya sering terjadi kebutuhan obat-obatan dan peralatan yang mendesak harus diadakan terhambat birokrasi karena harus meminta persetujuan di ibu kota propinsi yang letaknya lebih jauh dari kabupaten tetangga yang kebetulan ada di propinsi lain.
  9. Pengaturan jaminan kesehatan daerah. Dalam lampiran PP 38/2007 dijamin peran daerah dalam pengelolaan maupun penyelenggaraan jaminan kesehatan. Dalam pengelolaam jaminan kesehatan daerah terdapat banyak variasi paket manfaat jaminan kesehatan.
  10. Perhatian pimpinan Kementerian Kesehatan terhadap desentralisasi masih kurang. Ada berbagai kebijakan yang diharapkan lebih mengacu pada peraturan pemerintah dalam kebijakan desentralisasi.

Beberapa Kelemahan PP 38/2007

  1. Selama 10 tahun terakhir, memang nampak bahwa PP 38/2007 yang mengatur pembagian wewenang pusat dan daerah, kurang memberi dampak pada status kesehatan.
  2. Pembagian urusan pemerintah pusat dan daerah kurang jelas terjabarkan sehingga diinterpretasikan secara variatif oleh pusat dan daerah. Misalnya karena tidak dijelaskan apa arti “pengelolaan” dan “penyelenggaraan”, terjadi berbagai kebingungan di pusat dan daerah.
  3. Dalam konteks pembagian peran dan anggaran yang menyertainya, ada propinsi yang masih belum merasa mempunyai peran yang cukup sehingga masih kurang diberdayakan oleh pemerintah pusat dalam melakukan koordinasi antar kabupaten. PP 38/2007 dirasa masih kurang memberi peran pada pemerintah propinsi.
  4. Kota atau kabupaten di daerah yang kapasitas fiskalnya rendah masih merasa kurang diperhatikan sehingga masih kesulitan merekrut sumber daya kesehatan strategis. Sebaliknya daerah yang kapasitas fiskalnya tinggi tidak sanggup membatasi tenaga kesehatan tertentu yang sudah terlalu banyak.
  5. Secara umum, PP 38/2007 (terutama lampirannya mengenai bidang kesehatan) kurang rinci dan kurang spesifik. Dalam lampirannya, tidak banyak disebut perlunya  penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK). Hal ini yang mendorong banyak daerah menetapkan NSPK sesuai kemampuan mereka sendiri yang ternyata kurang sesuai dengan yang seharusnya.  Dalam hal NSPK ini, kesiapan pemerintah pusat (Kementerian Kesehatan) masih kurang baik.
  6. Namun ada juga yang merasakan manfaat desentralisasi kesehatan, terutama yang berada di daerah yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi pasca desentralisasi yaitu daerah-daerah seperti Riau dan Kalimantan Timur. Bagi daerah-daerah ini kebijakan desentralisasi banyak manfaatnya dan hanya perlu diperbaiki mekanismenya.

Terdapat beberapa kebutuhan yang dibahas dalam pertemuan Revisi PP 38/2007 di Yogyakarta antara lain:

  1. Pemerintah propinsi dan kabupaten perlu untuk lebih diberdayakan, termasuk penganggaran untuk pembinaan dan pengawasan kegiatan anggaran pusat yang sampai di daerah.
  2. Fungsi pembinaan sarana kesehatan. Perlu ada pemberdayaan dinas kesehatan kabupaten untuk pengawasan rumahsakit, termasuk rumahsakit pusat.
  3. Perlu dibahas lebih lanjut apakah daerah dapat membina fasilitas kesehatan yang “pemilik”nya adalah pemerintah di tingkat lebih atas.
  4. Perekrutan dan pelatihan tenaga strategis. Perlu ada kejelasan peran perekrutan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota karena selama ini banyak daerah masih tetap kekurangan tenaga kesehatan strategis karena ada kuota dari pusat.
  5. Fungsi akreditasi. Dalam lampiran PP 38/2007 memang disebutkan peran akreditasi mulai dari tingkat nasional maupun tingkat kabupaten/kota. Perlu dibahas apakah akreditasi merupakan urusan wajib pemerintah atau lebih baik diserahkan ke badan independen.

Penutup: Rekomendasi kebijakan untuk revisi PP 38/2007

Desentralisasi politik telah menjadi pilihan rakyat Indonesia dan untuk kembali ke era sentralisasi merupakan pilihan kebijakan yang sulit untuk dilaksanakan.

Desentralisasi di sektor kesehatan perlu dicermati.  Memang masih terdapat ketidaksempurnaan di sana sini. Diharapkan ada usaha memantapkan pelaksanaan desentralisasi di sektor kesehatan melalui kebijakan revisi PP 38/2007 yang lebih komprehensif dan akomodatif terhadap kepentingan daerah, tanpa mengorbankan kepentingan nasional.

Rekomendasi untuk Kementerian Kesehatan:

  1. Memantapkan kepemimpinan di pusat agar lebih memahami makna dan pentingnnya desentralisasi di sektor kesehatan. Setiap direktorat jendral dan pusat diharapkan aktif mengkaji desentralisasi kesehatan agar ketidak pahaman terhadap makna dan pentingnya desentralisasi kesehatan di kementerian kesehatan menjadi berkurang.
  2. Memperkuat pelaksanaan desentralisasi di sektor kesehatan dengan melakukan kajian ulang terhadap program-program pusat yang perlu diperkuat dan program-program pusat yang dinilai bertentangan dengan UU desentralisasi di sektor kesehatan.
  3. Mempercepat penyusunan berbagai NSPK yang akan menjadi pedoman daerah. Perlu ada tim khusus di pusat dan berbagai tenaga ahli yang relevan untuk menyelesaikannya.
  4. Memperkuat kepemimpinan kesehatan di daerah dengan berbagai dukungan dan aturan nasional agar kompetensi terjaga baik.


Penyusun policy brief:
Laksono Trisnantoro

Sigit Ryarto

Policy Brief

POLICY BRIEF TAHUN 2020

 

Policy Brief
Benarkah JKN Telah Melaksanakan Keadilan Sosial Sesuai UUD-1945 dan UU SJSN ?


POLICY BRIEF TAHUN 2019

 

Policy Brief No. 1
Wujudkan Keadilan Sosial dalam JKN: Penggunaan Kompartemenisasi di BPJS Kesehatan yang Single Pool


 

Policy Brief No. 2
Penguatan peran pemerintah daerah dalam mengatasi krisis JKN


 

Policy Brief No. 3
Penetapan Kelas Standar Pelayanan JKN sebagai Amanah UU SJSN


 

Policy Brief No. 4
Penguatan KBK dalam meningkatkan mutu rujukan non spesialistik


 

Policy Brief No. 5
Strategi optimalisasi tim kendali mutu dan kendali biaya


 

Policy Brief No. 6
Penguatan peran tim pencegahan kecurangan JKN di daerah untuk kendalikan Fraud


 

Policy Brief No. 7
Menjalankan kebijakan kompensasi bagi daerah yang terbatas fasilitas kesehatan


 

Policy Brief No. 8
Apakah APBN akan terus menjadi tumpuan untuk menutup Defisit BPJS


 

POLICY BRIEF Ketidakseimbangan Akses Layanan Cardiovaskular Disease (CVD) Era JKN di Propinsi Sumatera Utara


 

POLICY BRIEF Yogyakarta Darurat Penyakit Tidak Menular (PTM)


POLICY BRIEF TAHUN 2018 DAN TAHUN SEBELUMNYA

 

Policy Brief No. 1 januari 2018
Beberapa Opsi Kebijakan Strategis untuk Perbaikan Jaminan Kesehatan Nasional


 

Policy Brief No. 2 Januari 2018
Penguatan Pelayanan Primer Melalui Sistem Insentif Berbasis Kinerja


 

Policy Brief No. 3 Januari 2018
Fragmentasi Pelayanan Program TB di Indonesia Pasca JKN


 

Policy Brief No. 4 Januari 2018
Penguatan Sistem Penilaian Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di Kota Jayapura


 

Policy Brief No. 5 Januari 2018
Mengoptimalkan Insentif berbasis Kinerja dalam rangka Menguatkan Fungsi Promotif – Preventif pada Pelayanan Primer di Kabupaten Tapanuli Selatan


 

Policy Brief No. 6 Januari 2018
Penguatan Fungsi Promotif-Preventif


 

Policy Brief No. 7 Januari 2018
Sistem Kontrak Dalam Program Nusantara Sehat Studi Kasus di Kabupaten ASMAT


 

Policy Brief No. 18 September 2018
Masukan bagi penentu kebijakan Jaminan Kesehatna Nasional


 

Kebijakan Pengendalian Tembakau untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota Bukan Penghasil Rokok/Tembakau di Indonesia


 

Pembedaan Pengenaan Pajak dan Berbagai Tarif Fasilitas Umum bagi Rumah Sakit yang Memberikan Pelayanan kepada Masyarakat Miskin


 

Mengatasi Maldistribusi Tenaga Dokter di Indonesia


 

Kebijakan Surveilans-Respons dan Sistem Informatika Kesehatan di Pusat dan Daerah dalam era desentralisasi


 

Pentingnya Konsistensi Antara Peraturan Perudangan dan Implementasi Sistem Pembiayan Kesehatan di Indonesia


 

Kebijakan Penganggaran pusat untuk mempercepat pencapaian MDG4 dan MDG5


 

Pemisahan UU Asuransi / Jaminan Kesehatan dari UU SJSN : Mundur selangkah untuk maju lebih cepat


 

Ironi Kemajuan Ekonomi Indonesia: Tingkat kematian ibu dan bayi masih tinggi


 

Desentralisasi-KIA


 

Kebijakan obat Indonesia yang masih belum memihak pasien


 

Kebijakan Surveilans - Respons dan Sistem Informasi Kesehatan di Pusat dan Daerah


 

Menuju Kebijakan Pajak yang lebih adil utk RS Nirlaba


 

Fasilitas Perpajakan yang layak diperjuangkan bagi yayasan / badan hukum nirlaba penyelenggara rumahsakit


 

Kebijakan Menggunakan DAK untuk KIA


 

Revisi PP 38/2007 : Pemantapan Desentralisasi di Sektor Kesehatan


 

Makassar Policy Brief, Monitoring kebijakan Universal Coverage: Apakah Jamkesmas akan memperburuk ketidak adilan geografis?


 

Strategi Penurunan Jumlah Kematian Bayi: Pengembangan Audit Kematian Maternal Perinatal (AMP) dan Penggunaan Prinsip Surveilans Respon


  • 1
  • 2