Hari I Sesi pagi
Pada Selasa hingga Kamis tanggal 27-29 Januari 2015, Ketua Board PKMK FK UGM Prof Laksono Trisnantoro menjadi tamu undangan menghadiri pertemuan jaringan Consortium for Health Policy and System Analysis in Africa (CHEPSAA) di Johannesburg, Afrika Selatan. Tujuan pertemuan ini antara lain: pertama, membagi pengalaman CHEPSAA dalam mengembangkan HPSR+A di Afrika, dan di luar Afrika. Kedua, melakukan refleksi hasil kerja CHEPSAA selama ini. Ketiga, melakukan refleksi pada evaluasi ke CHEPSAA. Keempat, melakukan identifikasi berbagai pelajaran dari pengalaman dan untuk meningkatkan kemampuan melakukan riset kebijakan dan analisis kebijakan di masa mendatang. Misi Prof Laksono Trisnantoro dalam pertemuan ini untuk mempelajari bagaimana jaringan CHEPSAA dapat berkembang dan kemungkinan risiko mengalami kemunduran, untuk keperluan perbandingan dengan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Pertemuan ini dilakukan di Hotel Crowne Plaza yang terletak di tepian kota Johannesburg.
Sesi 1: Pembukaan
Nonhlanhla Nxumalo dan Lucy Gilson sebagai pemimpin CHEPSAA menyatakan bahwa jaringan ini dimulai pada tahun 2011. Sebelumnya sudah ada kerjasama di tahun 2003-2008, kemudian berkembang menjadi jaringan yang didanai oleh European Union di tahun 2011.
Mengapa ada jaringan ini?
Health Policy and System Research and Analysis merupakan suatu hal yang penting. Namun, di Afrika jumlah lembaga dan peneliti penelitian kebijakan sangat sedikit dan juga permintaan dari pengambil kebijakan juga rendah. Oleh karena itu, perlu pengembangan jaringan ini di Afrika.
Tujuan CHEPSAA:
Tahun 2016 menjadi pilihan untuk beberapa hal yang dirasa penting, yaitu menjadi pengembangan modul dan pelatihan/pendidikan penelitian dan analisis kebijakan yang bermutu. Ada tiga kegiatan penting yaitu Riset, Network, dan Teaching. Oleh karena itu, ada pengembangan secara sistematis dalam:
- Pendidikan/Pengajaran riset dan analisis kebijakan di berbagai negara;
- Penelitian kebijakan dan sistem kesehatan serta analisis kebijakan.
- Pengembangan jaringan dan kemitraan antar partner dengan pengambil kebijakan.
CHEPSAA didukung oleh berbagai perguruan tinggi di Eropa dan didanai oleh berbagai dana penelitian. Framework yang dipergunakan dijelaskan secara detail di website resminya. Silakan kunjungi link berikut untuk memahami lebih detil: http://hpsa-africa.org. Untuk dokumennya, silakan anda klik Health Policy and Systems Research: Needs, challenges and opportunities in South Africa – a university perspective (Marsha Orgill and team).
Sesi 2: Penilaian Aset
Catatan menarik dari pembicara kedua yaitu Tolib Mirzoev dari University of Leeds yang menjadi konsultan CHEPSAA. Dr. Tolieb menyatakan bahwa kapasitas antar anggota sangat berbeda. Hal ini menjadi fokus penting untuk pengembangan di masa mendatang, antara lain: memahami kapasitas, pendekatan dan metodologi, hasil yang dilihat serta refleksi. Cara menilai kapasitas anggota melalui beberapa indikator berikut:
- Memahami konsep kapitasi
- Konsep pemetaan, termasuk berbagai aset seperti SDM yang mampu meneliti (junior, senior), fasilitas, kesempatan dalam sisten, dan sebagainya.
- Mengukur kemampuan organisasi dan individu
- Sintesis antar anggota (7 anggota).
Apa yang dinilai dalam konteks kapasitas?
Infrastruktur yang mencakup antara lain: kepemimpinan, kemampuan organisasi (termasuk governance di sini), dan ketersediaan asset seperti stff penelti, termasuk yang senior, fasilitas, dan berbagai hal lainnya. Kegiatan yang dinilai mencakup Riset, Teaching, dan Networking dengan berbagai pihak yang berada dalam Konteks Demand for HSPR + A dan Lingkungan sumber daya. Hasilnya memang sangat bervariasi antar tujuh anggota CHEPSAA.
- Berbeda dengan nama
- Berbeda sumber income
- Jumlah peneliti senior yang sangat berbeda
- dan sebagainya
Catatan penting untuk dana:
- Demand sedikit
- Limited domestic funding, tergantung dari luar negeri.
- Bisa ke international funding
Bagaimana hubungan dengan pengambil keputusan:
- Kurangnya koordinasi untuk penentuan prioritas riset,
- Sedikit dipakai untuk pengambilan keputusan.
Untuk lebih lengkapnya silakan simak laporan-laporan mereka di bawah ini:
- Assessment of capacity for Health Policy and Systems Research and Analysis in seven African universities: results from the CHEPSAA project (Tolib Mirzoev and team).
- How to do Capacity Assessments for Health Policy and Systems Research in University Settings: A Handbook
- A new methodology for assessing health policy and systems research and analysis capacity in African universities
Bagaimana Lesson-Learnt untuk Indonesia.
Sejak lima tahun yang lalu, Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia sudah lahir dan berkembang. Ada perbedaan dan persamaan antara JKKI dengan CHEPSAA. Lalu, apa yang berbeda?
- JKKI hanya di Indonesia, CHEPSAA merupakan network internasional diantara negara Afrika.
- Berbeda dengan CHEPSAA yang didanai proyek dari Eropa, JKKI tidak mempunyai dana pengembangan.
- Keanggotaan CHEPSAA sangat formal karena terkait sebuah proyek (7 partner dalam Proyek di Afrika dengan beberapa partner dari Eropa) dari EU.
Persamaan yang dimiliki JKKI dan CHEPSAA:
- Tujuan. Siapa yang dituju oleh Jaringan: pengambil keputusan, level nasional dan pemerintah daerah, perguruan tinggi dan NGO.
- Mengembangkan modul untuk kepentingan pendidikan dan penelitian.
- Prinsip keilmuan: menggunakan Health Policy and System Research (HPSR) dan Health Policy and System Analysis (HPSA).
- Titik atau poin untuk pengembangan penelitian dan analisis kebijakan bertumpu pada perguruan tinggi.
- Perbedaan kapasitas antar anggota merupakan hal yang perlu diperhatikan dan diatasi.
- Leadership di setiap anggota jaringan perlu ada.
Tantangan CHEPSAA adalah keberlanjutan, karena proyek pengembangan ini berakhir pada tahun 2015. Apakah para anggota dapat mengembangkan diri. Apakah jika proyek berhenti maka kegiatan juga akan berhenti? Sementara, tantangan untuk JKKI adalah; apakah tanda proyek Jaringan ini dapat berjalan?
Pertanyaan-pertanyaan strategis yang akan dibahas di Indonesia:
- Bagaimana JKKI dapat dikembangkan? Darimana dananya?
- Bagaimana mengembangkan keanggotaan? Apakah melalui pengembangan Bagian IKM di FK dan FKM yang mengajarkan Kebijakan dan Manajemen Kesehatan?
- Bagaimana cara mengembangkan kapasitas di berbagai perguruan tinggi Indonesia yang sangat bervariasi?
- Bagaimana dana untuk penelitian kebijakan dan analisis kebijakan dapat diperoleh di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Apakah kebijakan dana Monev dari dalam negeri dapat dilakukan?
- Dari mana dana pengembangan? Apakah dari lembaga donor luar negeri, ataukah berasal dari dana dalam negeri khususnya dari perguruan tinggi.
Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas dalam kegiatan pengembangan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia setelah berlangsungnya pertemuan di Afrika.
Hari I Sesi Siang
Topik:
Pengembangan Kepemimpinan dalam Penelitian Kebijakan dan Sistem Kesehatan
Panel Diskusi ini membahas mengenai Emerging Leadership. Program pengembangan ini bertujuan meningkatkan kapasitas dan menambah jumlah peneliti kebijakan kesehatan yang akan menjadi pemimpin ilmu di masa mendatang. Pelatihan ini telah berjalan di lima negara.
Panel dibuka dengan testimoni beberapa peserta pelatihan yang berasal dari berbagai universitas di Afrika.
Pertanyaan umum: Apa yang diperoleh dari pelatihan Emerging Leadership? Berikut ini berbagai jawaban yang ada: pertama, bekerja dalam acara multidisiplin. Kedua, menguatkan kemampuan menyusun argumen dalam riset. Ketiga, meningkatkan kemampuan untuk mendengarkan pendapat orang lain. Keempat, meningkatkan team building, dan juga memahami apa kekuatan dan kelemahan kita sebagai peneliti. Kelima, melakukan transformasi diri dan bagaimana cara refleksi terhadap suatu hasil pelatihan. Keenam, memahami kekuatan saya sebagai peneliti dimana saya bisa lebih percaya diri. Ketujuh, dimana posisi saya dalam penelitian kebijakan. Kedelapan, dalam memahami tujuan dan konteks penelitian saya mencoba fokus dan terus melakukan refleksi; dan berbagai hal lainnya.
Apakah ada perubahan di lembaga anda?
Ya, sudah ada perbaikan untuk mengembangkan team kerja. Saat ini, saya sudah memimpin dengan lebih baik. Perubahan lainnya yaitu meningkatan kemampuan mengajar saya. Kemudian, proyek menjadi lebih tertata. Terakhir, perubahan terjadi pada bagaimana mengubah sifat staf penelitian saya.
Apakah ada formal mentorship?
Kita baru saja mulai program mentorship. Memang masih sulit tapi sudah dimulai.
Pendapat dari para peserta menunjukkan bahwa penelitian kebijakan dan sistem kesehatan bukan penelitian biasa. Program pengembangan ini tidak hanya berupa pelatihan metode penelitian, namun juga ada komponen soft-skills training. Hal ini menunjukkan bahwa seorang peneliti kebijakan mempunyai lingkungan dan pihak terkait yang harus dikelola dengan tepat.
Pertanyaannya:
Apa saja kompetensi dan kapasitas yang dituju? Diagram di bawah ini menunjukkan berbagai kompetensi dan kapasitas yang dituju dalam program Kepemimpinan penelitian ini:
Kapasitas/Kemampuan
|
Hal-hal kunci
|
Ketrampilan Perorangan
|
Ketrampilan komunikasi
|
Ketrampilan mendengarkan
|
Kesabaran
|
Sikap menghargai orang lain yang berbeda perspektif
|
Menghargai disiplin ilmu lain
|
Ketrampilan interpersonal
|
Kemampuan untuk mengenali, menghargai, dan mengurai kerumitan
|
Mempunyai kesadaran akan karir pribadi
|
Kemampuan untuk memprioritaskan, mengelola waktu dan kemampuan
|
Kemampuan menulis
|
Menulis artikel di Jurnal
|
Menulis Policy Brief
|
Menulis laporan
|
Manajemen Proyek
|
Merancang sebuah penelitian
|
Menulis proposal untuk grant
|
Melakukan kegiatan
|
Melaporkan
|
Mengetuai pertemuan-pertemuan ilmiah
|
…
|
…
|
Networking
|
Mengelola network lama
|
Merintis network baru
|
Pemahaman akan Penelitian Kebijakan-Sistem Kesehatan dan Analisis Kebijakan
|
Memahami metodenya
|
Menggunakan pendekatan multi-disiplin
|
Memahami Sistem Kesehatan
|
Kemampuan untuk memahami dan bekerja dalam kerumitan
|
Ketrampilan Penelitian
|
Kemampuan untuk merumuskan permasalahan dalam penelitian
|
|
Rancangan pengumpulan data dan analisisinya
|
|
Identifikasi dan menilai sumber data dan keterbatasannya
|
|
Ketrampilan analisis data
|
|
|
Untuk mempelajari kegiatan Emerging Leadership ini silakan klik 2 referensi di bawah ini:
Manfaat sesi ini untuk Indonesia.
Sampai saat ini, pelatihan jarang mempunyai kurikulum yang sifatnya soft- skills untuk peneliti. Pelatihan untuk peneliti biasanya berfokus pada metode peneltian. Apa yang dibahas di Johannesburg ini sangat penting untuk dikembangkan di Indonesia, khususnya untuk penelitian kebijakan kesehatan. Pertanyaan penting untuk pelatihan kepemimpinan dalam penelitian kebijakan adalah:
- Siapa sasaran pelatihan kepemimpinan dalam penelitian kebijakan dan sistem kesehatan? Apakah para peneliti senior saat ini, ataukah peneliti muda yang akan menjadi pemimpin di masa mendatang?
- Dimana lembaga tempat bekerja? Apakah di FK, FKM, atau di Fakultas Sosial Politik? Atau di lembaga-lembaga penelitian lain?.
- Apakah ada masa depan untuk penelitian kebijakan kesehatan di Indonesia sehingga dapat menarik peneliti untuk mengembangkan diri?
Kegiatan yang direncanakan:
Mulai Februari 2015 akan dimulai pelatihan Blended Learning untuk para peneliti Kebijakan Kesehatan dengan menggunakan isi yang terdiri atas: (1) Hal-hal teknis; (2) Metode Penelitian; dan (3) Soft Skills. Kami akan kirimkan detil kegiatan, cara mengikuti, dan biaya untuk mengikuti.
Hari II
Curriculum Development
Hari kedua pertemuan membahas berbagai topik. Salah satu topik menarik yang penting bagi peneliti kebijakan adalah bagaimana cara menyusun kurikulum. Presenter dalam topik ini adalah Uta Lehmann.
Uta menekankan bahwa program pengembangan kurikulum merupakan salah satu kegiatan penting CHEPSAA. Mengapa? Kurikulum merupakan dasar dari program belajar dan mengajar.
Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang digunakan CHEPSAA adalah:
- Allignment, harus ada penyelarasan antara tujuan belajar yang diharapkan, kegiatan belajar dan mengajar serta penilaian yang dilakukan.
- Relevan dengan kebutuhan lapangan dan pembelajar;
- Coherence, dimana seluruh bagian dari pengajaran dilakukan berdasarkan pendekatan dan sistem yang sama.
- Reiterative, artinya penyusunan kurikulum merupakan satu hal yang perlu dievaluasi dan di-review secara terus menerus agar tetap relevan.
Ada empat pertanyaan kunci yang perlu ditanyakan setiap kali ada penyusunan kurikulum, yaitu:
- Apa tujuan pendidikan yang akan dicapai;
- Apa pengalaman (belajar) yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut?
- Bagaimana caranya agar pengalaman belajar dapat diorganisir secara efektif?
- Bagaimana cara kita menentukan tujuan-tujuan pembelajaran sudah dapat tercapai?
Proses menyusun kurikulumnya seperti digambarkan bagan berikut:
Proses penyusunan kurikulum ini penting bagi:
- Para penyusun kurikulum di program Pascasarjana (S2 dan S3);
- Para penyusun kurikulum pelatihan singkat bagi eksekutif/pengambil keputusan.
Bagi Anda yang ingin mempelajari lebih lanjut mengenai pengembangan kurikulum untuk program pascasarjana (S2 dan S3) dan pelatihan, terlampir tiga paper yang dapat dipelajari. Silakan klik:
Bagaimana lesson-learnt untuk Indonesia.
Berbagai perubahan yang ada di Indonesia saat ini membutuhkan banyak pelatihan dan pendidikan pascasarjana (S2 dan S3) untuk berbagai sasaran misalnya:
- Pejabat di Kemenkes
- Pejabat di Dinas Kesehatan
- Pegawai di BPJS
- Peneliti-peneliti kebijakan kesehatan dan berbagai pihak lainnya.
Pelatihan dapat dilakukan secara tatap muka, jarak jauh ataupun kombinasi kedua pendekatan tersebut (Blended Learning). Pendekatan-pendekatan pelatihan ini tentunya disesuaikan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti yang ada di atas:
- Apa tujuan pendidikan yang akan dicapai. Apakah akan meningkatkan pengetahuan saja (knowledge), ataukah untuk ketrampilan (skills), ataukah sikap ataukah campuran. Juga apakah pendidikan untuk menghasilkan penemuan yang berguna bagi pengembangan ilmu (khususnya di level S3).
- Apa pengalaman belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut? Penentuan program ini menjadi menarik karena akan menyangkut besarnya biaya pendidikan/pelatihan, kemungkinan dikerjakan dengan keterbatasan teknologi pendidikan/pelatihan, dan berbagai hal lain yang perlu dipertimbangkan.
- Bagaimana caranya agar pengalaman belajar dapat diorganisir secara efektif? Hal ini membutuhkan ketrampilan penyusun modul secara baik.
- Bagaimana cara kita menentukan apakah tujuan-tujuan pembelajaran sudah dapat tercapai. Hal ini terkait dengan system penilaian keberhasilan peserta untuk menempuh ujian dan berbagai cara pengukuran lainnya.
Mengingat tantangan pertanyaan-pertanyaan ini sangat besar, salahsatu kemampuan tingkat tinggi yang sebaiknya dimiliki oleh para peneliti/tenaga ahli dalam kebijakan kesehatan adalah menyusun kurikulum untuk berbagai pelatihan/pendidikan yang dibutuhkan. Pengalaman CHEPSAA dalam menyusun kurikulum ini perlu dipelajari secara seksama.
DIharapkan pasca kunjungan ke Afrika Selatan ini ada kegiatan untuk mengembangkan kemampuan menyusun kurikulum. Untuk itu perlu ada sinergi antar para pengelola pascasarjana yang terkait dengan kebijakan kesehatan dan juga antar para ahli kebijakan kesehatan.
Hari III
Hari ketiga (terakhir) membahas isu-isu penting pengembangan CHEPSAA dan networkingnya. Isu yang dibahas dan relevan untuk Indonesia antara lain Networking; pengembangan bentuk baru Emerging Leaders, penggunaan Web-based untuk program mendatang.
Dalam pembahasan ini juga dilihat adanya berbagai modul yang sudah dihasilkan dan sifat open dari CHEPSAA.
Sejak tahun 2015 ini CHEPSAA berubah dari sebuah Konsorsium menjadi Komunitas (C dalam Consortium menjadi Community). CHEPSAA sebagai konsorsium selesai pada 2015. Diteruskan dengan menjadi sebuah kelompok masyarakat yang mempunyai interest sama dalam hal kebijakan dan penelitian serta analisis kebijakan kesehatan. Dengan demikian CHEPSAA mulai tahun 2015 masuk ke babak baru yang mempunyai risiko tinggi, karena harus menjadi dynamo dari sebuah masyarakat kebijakan kesehatan di Afrika. Untuk itu kemampuan networking sangat dibutuhkan yang membutuhkan web sebagai dasar komunikasi ke berbagai pihak. Pada poin ini sangat disadari kebutuhan untuk penyebaran ilmu dari hasil CHEPSAA. Dalam diskusi pengalaman PKMK FK UGM yang mengembangkan web menjadi hal yang menarik untuk CHEPSAA di masa mendatang.
Sebagai penutup dari laporan ke Johannesburg, ada beberapa modul dari CHEPSAA yang menarik untuk dipelajari untuk masa depan yang lebih baik sebagai berikut:
|
NEW Introduction to Complex Health Systems: Module This module covers topics such as the definition of a health system; frameworks for analyzing health systems; complexity in health systems and the importance of agents and their mindsets, interests and power; and leading change in health systems. It consists of a course outline, notes for facilitators, PowerPoint slides, case studies and handouts.
Get the module
|
|
|
|
NEW Introduction to Health Policy and Systems Research: Module This module covers topics such as the definition of health policy and systems research; generating and framing questions; the important role of researchers' own perspectives and disciplines in research; study design; rigour and ethics. It consists of a course outline, notes for facilitators, PowerPoint slides and handouts.
Get the module
|
|
|
|
Health Policy Analysis: Module The module consists of course outline, teaching materials and facilitator notes for health policy analysis. It takes the form of a 1-week course and out-of-class assignments. Designed to be taught at post-graduate level (Health Policy Analysis in Africa (HEPAA)).
Get the module and appendices
|
|
|
Managing Human Resources for Health: Module The module introduces the scope and context of human resource management in the health sector. It covers the following topics: human resources management in context; being a human resource manager and managing people (University of the Western Cape).
Get the module
|
|
|
|
Background to the Development of CHEPSAA's teaching resources: Background document This document explains CHEPSAA's efforts to develop teaching resources for the field of health policy and systems research and analysis. It highlights the courses and other resources CHEPSAA intends to develop and make available as open educational resources.
Read the document
|
Modul-modul ini dapat diakses di:
http://hpsa-africa.org/index.php/teaching-materials/modulescourses
Modul-modul ini disebarluaskan dengan prinsip Open menggunakan perjanjian Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 2.5 South Africa (CC BY-NC-SA 2.5 ZA) . Dengan perjanjian ini maka penggunaan dan pengembangannya dapat lebih cepat terjadi.
CHEPSAA. (2013). Principles and practice of good curriculum design. Cape Town, Consortium for Health Policy & Systems Analysis in Africa.
is licensed under a
Creative Commons Attribution-Non-Commercial-Share Alike 2.5 License
December 2013
You are free:
|
to Share – to copy, distribute and transmit the work
|
|
to Remix – to adapt the work
|
|
Under the following conditions:
|
|
Attribution. You must attribute the work in the manner specified by the author or licensor (but not in any way that suggests that they endorse you or your use of the work)
|
|
Non-commercial. You may not use this work for commercial purposes
|
|
Share Alike. If you alter, transform, or build upon this work, you may distribute the resulting work but only under the same or similar license to this one
|
- For any reuse or distribution, you must make clear to others the license terms of this work. One way to do this is with a link to the license web page: http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/2.5/za/
- Any of the above conditions can be waived if you get permission from the copyright holder.
- Nothing in this license impairs or restricts the authors’ moral rights.
- Nothing in this license impairs or restricts the rights of authors whose work is referenced in this document.
- Cited works used in this document must be cited following usual academic conventions
- Citation of this work must follow normal academic conventions
|
Dengan sistem terbuka ini , CHEPSAA percaya bahwa pengembangan keilmuan penelitian kebijakan kesehatan dapat semakin cepat dilakukan di Afrika. Tidak ada peraturan kaku tentang copy-right yang dapat menghambat perkembangan ilmu penelitian kebijakan kesehatan.
Refleksi dari pertemuan di Johannesburg:
Apa yang dapat dipergunakan untuk Indonesia?
Materi pertemuan CHEPSAA di hari ke 3 ini dapat dipergunakan untuk memperkuat Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) . Jaringan yang dibina PKMK FK UGM saat ini sudah berada pada tahun ke V. Jaringan ini bersifat independen, dengan anggota unit yang terkait dengan penelitian dan pengembangan kebijakan kesehatan di perguruan tinggi, lembaga penelitian di Departemen, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lembaga pelayanan kesehatan, dan juga pengambil kebijakan. Tujuan utama Jaringan ini adalah menghimpun kekuatan bersama dari para peneliti, dosen, dan ahli kebijakan menuju Indonesia yang lebih sehat, sebagai tenaga ahli kebijakan dan manajemen kesehatan di daerah masing-masing.
Selama 5 tahun pengembangan, terlihat masih ada banyak masalah yang menghambat pengembangan anggota Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Salahsatu masalah besar adalah ketidak siapan sumber daya manusia perguruan tinggi untuk berperan aktif dalam penelitian kebijakan, memonitor, mengevaluasi, merencana dan melaksanakan sebuah kebijakan kesehatan. Ketidak siapan ini merupakan suatu gejala yang mempunyai sifat "lebih dulu telur atau ayam" dengan masalah lain yaitu ketersediaan dana untuk melakukan kegiatan aktif dalam proses kebijakan kesehatan. Tanpa ada dana riset, akan sulit menambah SDM peneliti. Saat ini riset kebijakan kesehatan masih sedikit dijalankan dan hanya beberapa perguruan tinggi yang mampu melakukan dengan baik.
Kebutuhan akan Monitoring dan Evaluasi secara Independen
Saat ini Kemenkes dan BPJS di era JKN membutuhkan dukungan penelitian, khususnya dalam rangka monitoring dan evaluasi independen dalam pelaksanaan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional. Sebagai gambaran BPJS mengelola dana sekitar 40 Triliun setiap tahun. Dana ini diserahkan ke pelayanan primer melalui pembayaran kapitasi dan pelayanan rujukan melalui pembayaran klaim INA-CBGs. Saat ini diamati pelaksanaan dana sebesar Rp 40 Triliun ini dilakukan tanpa ada system monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Sementara itu potensi penyimpangan dana sangat besar, seperti yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen.
Kementerian Kesehatan juga mempunyai berbagai program antara lain di pencegahan penyakit menular dan tidak menular, KIA, pelayanan rumah sakit. Saat ini di Kementerian Kesehatan juga tidak ada tradisi melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Akibatnya, kinerja kegiatan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian Kesehatan belum dapat dinilai dan berbagai program seperti usaha penurunan kematian ibu dapat dikatakan belum berhasil ditangani.
Dinas Kesehatan sebagai perpanjangan tangan Kementerian Kesehatan sebagai pengawas system pelayanan kesehatan di propinsi dan kabupaten/kota mempunyai kelemahan khususnya kekurangan tenaga ahli. Sebagai gambaran, dalam upaya menjamin mutu pelayanan dan keselamatan pasien, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten perlu mengawasi mutu pelayanan kesehatan primer dan rujukan. Namun fungsi ini belum dijalankan dengan baik. Oleh karena itu Dinas Kesehatan perlu mengaktifkan pengawasan system kesehatan. Bidang pelayanan kesehatan dan yang bertugas untuk member perijinan tenaga dan fasilitas kesehatan (rumah sakit dan pelayanan primer) Dinas Kesehatan perlu ditingkatkan kemampuan dan otoritasnya, termasuk pengawasan pelayanan BPJS. Mengingat kelemahan Dinas Kesehatan dalam pengawas, maka fungsi ini sebaiknya dibantu oleh pendidikan tinggi dan lembaga swasta yang mampu melakukan Monitoring dan Evaluasi serta investigasi secara independen.
Masalah
Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan BPJS tidak mempunyai tradisi menjadi obyek monitoring dan evaluasi secara independen. Dalam anggaran Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan/BPJS tidak ada anggaran untuk melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan. Hal ini berbeda di sektor Pekerjaan Umum dimana selalu ada sekitar 5 % anggaran dipergunakan untuk monitoring dan evaluasi oleh pihak independen.
Di sisi lain, para dosen/peneliti Perguruan Tinggi belum terbiasa meneliti kebijakan, monev. Secara khusus para dosen tidak terbiasa menyusun proposal penelitian kebijakan dan manajemen. Juga ada beban mengajar yang berat. Padahal di setiap Propinsi sebaiknya ada 1 unit penelitian/lembaga yang dapat menjalankan fungsi sebagai tim independen untuk perencanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan. Bahkan di Propinsi besar seperti Jawa Tengah diperlukan lebih dari 1 pusat.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan:
- Memperkuat networking di JKKI. Networking ini dapat bermacam-macam, antara lain:
- antar universitas di Indonesia
- antar universitas di daerah dengan BPJS setempat, dinas kesehatan setempat, dan pemerintah daerah
- di dalam universitas sendiri, antara peneliti di fakultas kedokteran/kesehatan masyarakat dengan peneliti di fakultas sospol.
- antar universitas dengan penyandang dana.
- network antara universitas dan Bappenas untuk menyusun kebijakan penganggaran untuk penelitian kebijakan dan monitoring/evaluasi.
- dan berbagai networking lainnya.
Teknik-teknik networking ini perlu dikembangkan oleh JKKI agar para anggotanya dapat memanfaatkan untuk kepentingan efektifitas pembangunan kesehatan.
- Melatih para pemimpin penelitian kebijakan di setiap Propinsi. Di lembaga-lembaga penelitian di universitas atau swasta harus ada peneliti yang mampu memimpin dan berkomunikasi dengan pengambil kebijakan di daerah. Dalam pengamatan, tidak banyak ada peneliti yang mampu memimpin sekelompok staff dan juga berhubugan dengan berbagai pihak terkait dalam jaringan. Perlu dilakukan pelatihan kepemimpinan untuk para peneliti di Indonesia.
- Memperkuat web www.kebijakankesehatanindonesia.net untuk mendukung percepatan peningkatan kemampuan universitas dalam meneliti kebijakan dan melakukan monitoring dan evaluasi. Selama 4 tahun ini, web telah dijalankan. Berbagai kekurangan masih ada. Akan tetapi web ini diakui oleh masyarakat internasional sebagai inovasi baru yang perlu dikembangkan terus di Indonesia.
- Pengembangan-pengembangan modul pendidikan dan pelatihan antar pusat-pusat pendidikan di Indonesia perlu dicepat. Pengembangan modul ini perlu dilakukan dengan pendekatan Open-System agar kecepatan pengembangan meningkat. Diharapkan di Indonesia akan ada pengembangan bersama antar universitas, termasuk melakukan adaptasi dari modul-modul yang berasal dari CHEPSAA.
Diharapkan pada tahun 2015 ini berbagai kegiatan di atas dapat dilakukan di Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Bersama ini pula laporan kegiatan dari pertemuan CHEPSAA di Johannesburg diahkhiri. Semoga berguna bagi pengembangan penelitian kebijakan dan system kesehatan, serta analisis kebijakan di Indonesia.
Laksono Trisnantoro
29 Januari 2015, Johannesburg, Afrika Selatan.