Hari ketiga (terakhir) membahas isu-isu penting pengembangan CHEPSAA dan networkingnya. Isu yang dibahas dan relevan untuk Indonesia antara lain Networking; pengembangan bentuk baru Emerging Leaders, penggunaan Web-based untuk program mendatang.
Dalam pembahasan ini juga dilihat adanya berbagai modul yang sudah dihasilkan dan sifat open dari CHEPSAA.
Sejak tahun 2015 ini CHEPSAA berubah dari sebuah Konsorsium menjadi Komunitas (C dalam Consortium menjadi Community). CHEPSAA sebagai konsorsium selesai pada 2015. Diteruskan dengan menjadi sebuah kelompok masyarakat yang mempunyai interest sama dalam hal kebijakan dan penelitian serta analisis kebijakan kesehatan. Dengan demikian CHEPSAA mulai tahun 2015 masuk ke babak baru yang mempunyai risiko tinggi, karena harus menjadi dynamo dari sebuah masyarakat kebijakan kesehatan di Afrika. Untuk itu kemampuan networking sangat dibutuhkan yang membutuhkan web sebagai dasar komunikasi ke berbagai pihak. Pada poin ini sangat disadari kebutuhan untuk penyebaran ilmu dari hasil CHEPSAA. Dalam diskusi pengalaman PKMK FK UGM yang mengembangkan web menjadi hal yang menarik untuk CHEPSAA di masa mendatang.
Sebagai penutup dari laporan ke Johannesburg, ada beberapa modul dari CHEPSAA yang menarik untuk dipelajari untuk masa depan yang lebih baik sebagai berikut:
NEW Introduction to Complex Health Systems: Module |
|
NEW Introduction to Health Policy and Systems Research: Module |
|
Health Policy Analysis: Module |
|
Managing Human Resources for Health: Module |
|
Background to the Development of CHEPSAA's teaching resources: Background document |
Modul-modul ini dapat diakses di:
http://hpsa-africa.org/index.php/teaching-materials/modulescourses
Modul-modul ini disebarluaskan dengan prinsip Open menggunakan perjanjian Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 2.5 South Africa (CC BY-NC-SA 2.5 ZA) . Dengan perjanjian ini maka penggunaan dan pengembangannya dapat lebih cepat terjadi.
CHEPSAA. (2013). Principles and practice of good curriculum design. Cape Town, Consortium for Health Policy & Systems Analysis in Africa. is licensed under a Creative Commons Attribution-Non-Commercial-Share Alike 2.5 License December 2013 You are free:
|
Dengan sistem terbuka ini , CHEPSAA percaya bahwa pengembangan keilmuan penelitian kebijakan kesehatan dapat semakin cepat dilakukan di Afrika. Tidak ada peraturan kaku tentang copy-right yang dapat menghambat perkembangan ilmu penelitian kebijakan kesehatan.
Refleksi dari pertemuan di Johannesburg:
Apa yang dapat dipergunakan untuk Indonesia?
Materi pertemuan CHEPSAA di hari ke 3 ini dapat dipergunakan untuk memperkuat Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) . Jaringan yang dibina PKMK FK UGM saat ini sudah berada pada tahun ke V. Jaringan ini bersifat independen, dengan anggota unit yang terkait dengan penelitian dan pengembangan kebijakan kesehatan di perguruan tinggi, lembaga penelitian di Departemen, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lembaga pelayanan kesehatan, dan juga pengambil kebijakan. Tujuan utama Jaringan ini adalah menghimpun kekuatan bersama dari para peneliti, dosen, dan ahli kebijakan menuju Indonesia yang lebih sehat, sebagai tenaga ahli kebijakan dan manajemen kesehatan di daerah masing-masing.
Selama 5 tahun pengembangan, terlihat masih ada banyak masalah yang menghambat pengembangan anggota Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Salahsatu masalah besar adalah ketidak siapan sumber daya manusia perguruan tinggi untuk berperan aktif dalam penelitian kebijakan, memonitor, mengevaluasi, merencana dan melaksanakan sebuah kebijakan kesehatan. Ketidak siapan ini merupakan suatu gejala yang mempunyai sifat "lebih dulu telur atau ayam" dengan masalah lain yaitu ketersediaan dana untuk melakukan kegiatan aktif dalam proses kebijakan kesehatan. Tanpa ada dana riset, akan sulit menambah SDM peneliti. Saat ini riset kebijakan kesehatan masih sedikit dijalankan dan hanya beberapa perguruan tinggi yang mampu melakukan dengan baik.
Kebutuhan akan Monitoring dan Evaluasi secara Independen
Saat ini Kemenkes dan BPJS di era JKN membutuhkan dukungan penelitian, khususnya dalam rangka monitoring dan evaluasi independen dalam pelaksanaan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional. Sebagai gambaran BPJS mengelola dana sekitar 40 Triliun setiap tahun. Dana ini diserahkan ke pelayanan primer melalui pembayaran kapitasi dan pelayanan rujukan melalui pembayaran klaim INA-CBGs. Saat ini diamati pelaksanaan dana sebesar Rp 40 Triliun ini dilakukan tanpa ada system monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Sementara itu potensi penyimpangan dana sangat besar, seperti yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen.
Kementerian Kesehatan juga mempunyai berbagai program antara lain di pencegahan penyakit menular dan tidak menular, KIA, pelayanan rumah sakit. Saat ini di Kementerian Kesehatan juga tidak ada tradisi melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Akibatnya, kinerja kegiatan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian Kesehatan belum dapat dinilai dan berbagai program seperti usaha penurunan kematian ibu dapat dikatakan belum berhasil ditangani.
Dinas Kesehatan sebagai perpanjangan tangan Kementerian Kesehatan sebagai pengawas system pelayanan kesehatan di propinsi dan kabupaten/kota mempunyai kelemahan khususnya kekurangan tenaga ahli. Sebagai gambaran, dalam upaya menjamin mutu pelayanan dan keselamatan pasien, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten perlu mengawasi mutu pelayanan kesehatan primer dan rujukan. Namun fungsi ini belum dijalankan dengan baik. Oleh karena itu Dinas Kesehatan perlu mengaktifkan pengawasan system kesehatan. Bidang pelayanan kesehatan dan yang bertugas untuk member perijinan tenaga dan fasilitas kesehatan (rumah sakit dan pelayanan primer) Dinas Kesehatan perlu ditingkatkan kemampuan dan otoritasnya, termasuk pengawasan pelayanan BPJS. Mengingat kelemahan Dinas Kesehatan dalam pengawas, maka fungsi ini sebaiknya dibantu oleh pendidikan tinggi dan lembaga swasta yang mampu melakukan Monitoring dan Evaluasi serta investigasi secara independen.
Masalah
Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan BPJS tidak mempunyai tradisi menjadi obyek monitoring dan evaluasi secara independen. Dalam anggaran Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan/BPJS tidak ada anggaran untuk melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan. Hal ini berbeda di sektor Pekerjaan Umum dimana selalu ada sekitar 5 % anggaran dipergunakan untuk monitoring dan evaluasi oleh pihak independen.
Di sisi lain, para dosen/peneliti Perguruan Tinggi belum terbiasa meneliti kebijakan, monev. Secara khusus para dosen tidak terbiasa menyusun proposal penelitian kebijakan dan manajemen. Juga ada beban mengajar yang berat. Padahal di setiap Propinsi sebaiknya ada 1 unit penelitian/lembaga yang dapat menjalankan fungsi sebagai tim independen untuk perencanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan. Bahkan di Propinsi besar seperti Jawa Tengah diperlukan lebih dari 1 pusat.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan:
- Memperkuat networking di JKKI. Networking ini dapat bermacam-macam, antara lain:
- antar universitas di Indonesia
- antar universitas di daerah dengan BPJS setempat, dinas kesehatan setempat, dan pemerintah daerah
- di dalam universitas sendiri, antara peneliti di fakultas kedokteran/kesehatan masyarakat dengan peneliti di fakultas sospol.
- antar universitas dengan penyandang dana.
- network antara universitas dan Bappenas untuk menyusun kebijakan penganggaran untuk penelitian kebijakan dan monitoring/evaluasi.
- dan berbagai networking lainnya.
Teknik-teknik networking ini perlu dikembangkan oleh JKKI agar para anggotanya dapat memanfaatkan untuk kepentingan efektifitas pembangunan kesehatan.
- Melatih para pemimpin penelitian kebijakan di setiap Propinsi. Di lembaga-lembaga penelitian di universitas atau swasta harus ada peneliti yang mampu memimpin dan berkomunikasi dengan pengambil kebijakan di daerah. Dalam pengamatan, tidak banyak ada peneliti yang mampu memimpin sekelompok staff dan juga berhubugan dengan berbagai pihak terkait dalam jaringan. Perlu dilakukan pelatihan kepemimpinan untuk para peneliti di Indonesia.
- Memperkuat web www.kebijakankesehatanindonesia.net untuk mendukung percepatan peningkatan kemampuan universitas dalam meneliti kebijakan dan melakukan monitoring dan evaluasi. Selama 4 tahun ini, web telah dijalankan. Berbagai kekurangan masih ada. Akan tetapi web ini diakui oleh masyarakat internasional sebagai inovasi baru yang perlu dikembangkan terus di Indonesia.
- Pengembangan-pengembangan modul pendidikan dan pelatihan antar pusat-pusat pendidikan di Indonesia perlu dicepat. Pengembangan modul ini perlu dilakukan dengan pendekatan Open-System agar kecepatan pengembangan meningkat. Diharapkan di Indonesia akan ada pengembangan bersama antar universitas, termasuk melakukan adaptasi dari modul-modul yang berasal dari CHEPSAA.
Diharapkan pada tahun 2015 ini berbagai kegiatan di atas dapat dilakukan di Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Bersama ini pula laporan kegiatan dari pertemuan CHEPSAA di Johannesburg diahkhiri. Semoga berguna bagi pengembangan penelitian kebijakan dan system kesehatan, serta analisis kebijakan di Indonesia.
Laksono Trisnantoro
29 Januari 2015, Johannesburg, Afrika Selatan.