Seminar Kepemimpinan dalam Penelitian Kebijakan
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan oleh pihak Independen
Rabu, 25 Februari 2015 | Pukul 10.00 – 12.30 Wib
di Ruang Theater Gedung Perpustakaan Lt.2 FK UGM
Acara dapat diikuti melalui Webinar dan informasi lebih jauh dapat disimak melalui:
www.kebijakankesehatanindonesia.net
Apa yang terjadi di tahun 2015 ini?
Kebijakan JKN BPJS mengatur besaran klaim rasio di atas 100%. Klaim rasio sangat tinggi terutama untuk kelompok non-PBI mandiri. Pihak BPJS sendiri mengharapkan kenaikan premi karena tahun 2014 sudah menggunakan dana talangan. Kemudian, pertanyaan yang muncul yaitu : Apakah kenaikan premi tidak disertai dengan perbaikan pemerataan yang mendapatkan manfaat BPJS dan meningkatkan efisiensi (termasuk mengurangi fraud?)
Pelayanan KIA, masih banyak Kabupaten/Kota yang jumlah kematian ibu dan bayinya meningkat. Pertanyaannya, Apakah target MDG akan tercapai?
Untuk program TB, Ada pemburukan situasi, pertanyaannya: Bagaimana sistem pengawasan dari Global Fund yang mendanai kegiatan pengurangan TB?.
Manajemen obat, kebijakan e-procurement berjalan dengan berbagai masalah tanpa ada kejelasan solusi. Di dalam pemberian obat juga terjadi masalah pada labeling sehingga produk obat dari PT K ditarik dari seluruh Indonesia.
"Mengapa terjadi situasi ini?"
Pada tahun 2014 atau era JKN, BPJS mengelola dana sekitar 40 Triliun . Dana ini diserahkan ke pelayanan primer melalui pembayaran kapitasi dan pelayanan rujukan melalui pembayaran klaim INA-CBGs. Jika diamati, penggunaan atau pemanfaatan dana Rp 40 Triliun ini dilakukan tanpa diikuti sistem monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Sementara itu, potensi penyimpangan dana sangat besar, seperti yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen.
Kementerian Kesehatan juga mempunyai berbagai program antara lain pencegahan penyakit menular dan tidak menular, KIA,serta pelayanan rumah sakit. Saat ini, di Kementerian Kesehatan juga tidak ada tradisi melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Akibatnya, kinerja kegiatan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian Kesehatan belum dapat dinilai dan berbagai program seperti usaha penurunan kematian ibu dapat dikatakan belum berhasil ditangani. Akhir-akhir ini, dilaporkan juga bahwa pelaksanaan kebijakan TB dan kebijakan obat juga bermasalah.
Beda Sektor Kesehatan dengan Pekerjaan Umum
Sektor kesehatan berbeda dengan sektor pekerjaan umum, dimana seluruh proyek PU selalu mempunyai komponen perencanaan dan pengawasan oleh pihak independen. Dengan demikian, kebijakan dan proyek-proyek PU dapat disebut lebih akuntabel dibanding kebijakan dan program kesehatan. Kegagalan proyek fisik lebih dapat diketahui dan dicegah dibanding dengan proyek kesehatan. Patut dicatat, program kesehatan sama dengan proyek PU yang dapat membahayakan nyawa manusia. Kegagalan program kesehatan dapat menambah kematian yang tidak perlu misalnya kematian ibu yang seharusnya dapat dicegah.
Oleh karena itu, adanya Monitoring dan Evaluasi merupakan suatu keharusan dan diperlukan perjuangan untuk mewujudkannya. Apa masalahnya? Dalam anggaran Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan/BPJS tidak ada anggaran untuk melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan. Hal ini berbeda dengan sektor Pekerjaan Umum dimana selalu ada sekitar 5 % anggaran dipergunakan untuk monitoring dan evaluasi oleh pihak independen.
Budaya tidak diawasi dan tidak adanya peraturan
Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan BPJS tidak mempunyai tradisi menjadi obyek monitoring dan evaluasi secara independen. Monev oleh pihak luar dalam program Kemenkes dan BPJS tidak ada dalam peraturan. Selama ini juga tidak ada tradisi monitoring dan evaluasi pihak luar. Kemenkes dan DinKes merencanakan kebijakan dan program, melaksanakan, dan mengevaluasi sendiri tanpa ada pihak luar yang membantu.
Dinas Kesehatan sebagai perpanjangan tangan Kementerian Kesehatan sebagai pengawas sistem pelayanan kesehatan di propinsi dan kabupaten/kota mempunyai kelemahan khususnya kekurangan tenaga ahli. Sebagai gambaran, dalam upaya menjamin mutu pelayanan dan keselamatan pasien, akibatnya kebijakan dan program kesehatan di Indonesia berjalan tanpa ada logika yang tepat. Terjadi apa yang disebut sebagai kesulitan atau hambatan dalam menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan atau program.
Bagaimana seharusnya?
Kemenkes dan BPJS perlu menyadari bahwa kebijakan dan program kesehatan seharusnya dimonitor dan dievaluasi oleh pihak independen di level nasional. Harapannya dapat terjadi akuntabilitas, transparansi dan peningkatan efektivitas pelaksanaan kebijakan dan program. Di propinsi dan kabupaten kota, Kemenkes perlu mengaktifkan Dinas Kesehatan sebagai pengawas sistem kesehatan yang dapat bekerja sama dengan pihak independen.
Sebagai contoh: Dinas Kesehatan perlu mengaktifkan pengawasan sistem kesehatan. Bidang pelayanan kesehatan dan yang bertugas untuk memberi perijinan tenaga dan fasilitas kesehatan (rumah sakit dan pelayanan primer) di Dinas Kesehatan perlu ditingkatkan kemampuan dan otoritasnya, termasuk pengawasan pelayanan BPJS. Mengingat lemahnya Dinas Kesehatan dalam pengawasan, maka fungsi ini sebaiknya dibantu oleh pendidikan tinggi dan/atau lembaga swasta yang mampu melakukan Monitoring dan Evaluasi serta investigasi secara independen.
Ketidaksiapan lembaga independen melakukan monitoring dan evaluasi
Sebagaimana telur dan ayam, karena selama ini tidak ada anggaran dan kebijakan monitoring dan evaluasi independen, maka jarang ada lembaga yang mampu melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Para dosen/peneliti Perguruan Tinggi belum terbiasa meneliti kebijakan kesehatan khususnya monev. Secara khusus, para dosen tidak terbiasa menyusun proposal penelitian kebijakan dan manajemen. Selain, tugas pokok mereka yaitu beban mengajar yang berat. Padahal di setiap Propinsi sebaiknya ada satu unit penelitian/lembaga yang dapat menjalankan fungsi sebagai tim independen untuk perencanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan. Bahkan di Propinsi besar seperti Jawa Tengah diperlukan lebih dari satu pusat. Sementara itu, lembaga penelitian swasta di sektor kesehatan juga belum banyak yang melakukan monitoring dan evaluasi. Kondisi ini perlu diperbaiki, salah satunya melalui kegiatan ini.
Apa yang perlu dilakukan?
- Meningkatkan kepemimpinan para peneliti di sektor kesehatan, khususnya dalam monitoring dan evaluasi;
- Meningkatkan kemauan atau minat para pemimpin/pengambil kebijakan di sektor kesehatan untuk melakukan monitoring dan evaluasi;
Strategi Kegiatan:
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM memulai kampanye untuk terselenggaranya Monitoring dan Evaluasi oleh pihak independen melalui berbagai cara, salah satunya melalui seminar.
Waktu & tempat pelaksanaan
Hari | : Rabu, 25 Februari 2015 |
Waktu | : Pukul 10.00 – 12.00 Wib. |
Tempat | : Ruang Theater Gedung Perpustakaan Lt.2 FK UGM |
Pembicara: Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc PhD
Pembahas:
- Dr. Budiono Santoso, M.Sc PhD
- Kepala Biro Perencanaan Kemenkes
- Kepala Dinas Kesehatan DIY
- BPJS Pusat
Kampanye dilakukan melalui kegiatan pasca Seminar pada bulan Maret – Mei 2015 yang menggunakan Blended Learning dan penulisan Policy Brief untuk berbagai pihak.
Pengembangan Pelatihan dengan Pendekatan Blended Learning dilakukan untuk:
- Para peneliti di bidang kesehatan dengan judul Pengembangan Kemampuan Lembaga Perguruan Tinggi untuk melakukan Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan;
- Para pengambil kebijakan/pejabat yaitu Apa yang harus dilakukan oleh Kemenkes, BPJS, dan DInas Kesehatan di tahun 2015 untuk terselenggaranya Monev oleh pihak independen.
Pendaftaran:
Sdr. Wisnu Firmansyah
Gedung IKM Baru Lt.2 Sayap Utara
Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp/Fax (hunting) (+62274) 549425
Kontak: 081215182789
email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.