SIMPOSIUM III

Simposium III ICTOH dilaksanakan pada Jum'at (30/5/2014) pukul 13.55-16.30 WIB di Royal Ballroom, Hotel Royal Kuningan.

Ifdhal Kasim, SH (mantan Ketua Komnas HAM) menyampaikan materi terkait HAM, Pengendalian Tembakau dan Peran Negara. Saat ini, di Indonesia, konsumsi rokok cenderung meningkat. Pada tahun 2013, produksi rokok sebanyak 302 miliar batang, yang berarti 1.313 batang / mulut (termasuk bayi). Menurut GATS 2011, Indonesia menempati urutan ketiga (36,1%) setelah China dan India. Menurut pasal 29 ayat 3 UU no 39 th 1999 tentang hak asasi manusia, ada hak atas lingkungan hidup yang bbaik dan sehat. Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia warganya. Ketentuan HAM dalam FCTC meliputi: a) Prioritas hak untuk melindungi kesehatan masyarakat, b) Hak atas kesehatan, c) Hak mengakses informasi, d) Melindungi hak anak-anak, e) Melindungi hak wanita

Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc., PhD. (Wakil Menteri Kesehatan Indonesia) menyampaikan materi yaitu Upaya Peegendalian Tembakau di Indonesia. Menurut GYTS (2009) dan GATS (2011):

  1. Sebanyak 51,3% orang dewasa terpapar AROL di tempat kerja
  2. Sebanyak 78,4% orang dewasa terpapar AROL di rumah
  3. Sebanyak 85,4% orang dewasa terpapar AROL di restoran
  4. Sebanyak 68,8% remaja (13-15 tahun) terpapar AROL di rumah
  5. Sebanyak 78,1% remaja (13-15 tahun) terpapar AROL di luar rumah

Kemudian menurut GYTS (2009):

  1. Sebanyak 89,3% remaja (13-15 tahun) melihat iklan rokok melalui billboard
  2. Sebanyak 76,6% remaja (13-15 tahun) melihat iklan rokok melalui majalah/koran
  3. Sebanyak 11,3% remaja (13-15 tahun) memiliki barang dengan logo industri rokok
  4. Sebanyak 7,7% remaja (13-15 tahun) pernah menerima rokok gratis

Program pengendalian tembakau meliputi,

  1. Promotif dan preventif:
    1. KTR sudah ada di 127 kabupaten/kota di 32 provinsi
    2. Informasi, edukasi dan komunikasi
    3. Advokasi, melalui Aliansi bupati/walikota
  2. Penanganan penyakit:
    1. Pengobatan
    2. Upaya berhenti merokok
  3. Aturan perundang-undangan:
    1. UU No. 36 Th 2005 tentang Kesehatan
    2. PP No 109 Th 2012 tentang Pengamanan Produk Tembakau bagi Kesehatan
    3. Permenkes No 28/2013 tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan
    4. PP No 109/2012 pasal 49: Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mewujudkan KTR
    5. PP No 109/2012 pasal 50: KTR diberlakukan pada:
      1. Fasyankes
      2. Tempat proses belajar mengajar
      3. Tempat anak bermain
      4. Tempat ibadah
      5. Angkutan umum
      6. Tempat kerja
      7. Tempat umum atau tempat lain yang ditentukan

Ada argumen bahwa kebijakan KTR 100% melanggar hak asasi perokok, penjelasan untuk hal ini ada di peraturan terkait: pertama. setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat (pasal 9 ayat 3 UU No 39/1999 tentang HAM). Kedua, paparan asap rokok orang lain melanggar HAM. Ketiga, H\hak perokok untuk merokok tidak sama dengan hak untuk mencemari udara dengan racun yang akan dihisap dan mengancam hak hidup orang lain. Keempat, kebijakan KTR tidak melarang orang merokok, tetapi mengatur tempat orang merokok. Kellima, keselamatan pekerja ukan pilihan antara pekerjaan dengan kesehatan yang dikorbankan

Upaya menuju aksesi FCTC 2012 – 2014:

  1. Desember 2012: PP 109/2012. Isi PP sudah sejalan dengan FCTC. PP mendapat dukungan luas dari pemerintah dan masyarakat
  2. 2013 – 2014:
    1. Sosialisai PP 109/2012
    2. Berbagai upaya advokasi, koordinasi, edukasi tentang aksesi FCTC kepada pihak pemerintah dan masyarakat melalui pertemuan, dialog interaktif di media elektronik, dan informasi di media cetak

 

  1. Argumen pihak industri rokok untuk melawan upaya aksesi FCTC:
    1. Petani: Aksesi mengancam petani tembakau dan cengkih karena akan kehilangan pasar
    2. Pengangguran: Industri rokok berperan besar memberi lapangan kerja. Aksesi akan mengurangi lapangan kerja.
    3. Pendapatan negara: Pendapatan dari industri rokok berperan besar dalam pembangunan. Aksesi mengancam pendapatan negara.
  2. Tantangan dalam pengendalian ntembakau:
    1. Komitmen politik pemerintah pusat maupun lokal sebagai pembuat kebijakan masih terbatas
    2. Perlu strategi holistik dalam pengendalian tembakau
    3. Pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat kurang memadai berkaitan dengan masalah kesehatan akibat mengonsumsi tembakau
    4. Terbatasnya kebijakan yang mendukung pengendlian tembakau di luar bidang klesehatan

Kesimpulannya: pertama, konsumsi tembakau merupakan ancaman terhadap kualitas, terutama produktivitas SDM. Oleh karena itu, perlu upaya berkesinambungan untuk memastikan pencapaian tujuan pengendalian tembakau di Indonesia. Kedua, peran pemerintah pusat meupun local, termasuk organisasi masyarakat, sangat penting dalam percepatan dan kepastian dari semua upaya untuk mencegah dan mengendalikan masalah merokok.

Arimbi Heroepoetri, LL.M (Komisioner Komnas Perempuan) menyampaikan Perlindungan Hak Reproduksi Perempuan dan Anak dari Dampak Produk Tembakau. Definisi kesehatan reproduksi yaitu suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan social secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi serta fungsi dan prosesnya. Ruang lingkup kespro secara luas:

  1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir
  2. Keluarga berencana
  3. Pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi (ISR), termasuk PMS-HIV/AIDS
  4. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi
  5. Kesehatan reproduksi remaja
  6. Pencegahan dan penangan infertilitas
  7. Kanker pada usia lanjut dan osteoporosis
  8. Berbagai aspek kespro lain, misalnya kanker serviks, mutilasi genetika, fistula dll.

Abdillah Ahsan, SE., M.SE (Lembaga Demografi, Fak. Ekonomi Universitas Indonesia), memaparkan Dampak Sosial Ekonomi Masyarakat akibat Konsumsi Produk Tembakau

  1. Angka ketergantungan penduduk terus meningkat:
    1. Tahun 1970: 1 orang bekerja menanggung hampir 1 anak
    2. Tahun 2000: 2 orang bekerja menanggung 1 anak
    3. Tahun 2020-2030: 3 orang bekerja menanggung 1 anak
    4. Setelah tahun 2030: tanggungan meningkat karena pesatnya pertambahan lansia
  2. Bonus demografi landasan pertumbuhan ekonomi, dengan syarat:
    1. Suplai tenaga kerja yang besar meningkatkan pendapatan per kapita bila ada kesempatan kerja yang produktif dan bisa menabung
    2. Peranan perempuan: jumlah anak sedikit memungkinkan perempuan memasuki pasar kerja, membantu peningkatan pendapatan
    3. Tabungan rumah tangga yang diinvestasikan secara produktif
    4. Modal manusia yang besar bila ada investasi untuk itu. Modal manusia terdiri dari pendidikan dan kesehatan yang berkualitas.
    5. Meningkatnya konsumsi rokok akan menurunkan kualitas kesehatan dan mengancam pencapaian bonus demografi.
  3. Keinginan untuk berhenti merokok: Indonesia 10,5%, Bangladesh 39,1%
  4. Pengeluaran untuk rokok dan sirih di rumah tangga termiskin setara dengan:
    1. 13 kali pengeluaran untuk daging
    2. 5 kali pengeluaran untuk susu dan telur
    3. 2 kali pengeluaran untuk ikan
    4. 2 kali pengeluaran untuk sayur-sayuran
    5. 6 kali pengeluaran untuk pendidikan
    6. 6 kali pengeluaran untuk kesehatan
  5. Menurut Soewarta Kosen (2012), pada tahun 2010:
    1. Kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait dengan meningkatnya kematian, kesakitan dan disabilitas terkait dengan merokok sebesar Rp. 105,3 T
    2. Biaya pembelian rokok Rp. 138 T
    3. Biaya rawat inap akibat penyakit terkait dengan merokok Rp.1,85 T
    4. Biaya rawat jalan akibat penyakit terkait dengan merokok Rp. 0,26 T
  6. Konsumsi rokok adalah perangkap kemiskinan:
    1. Konsumsi rokok mengurangi pendapatan yang bisa dibelanjakan  timbul kesempatan yang hilang  salah satu faktor penyebab kemiskinan
    2. Kebiasaan merokok menimbulkan banyak penyakit berbahaya  meningkatkan disabilitas, morbiditas dan mortalitas  menurunkan produktivitas tenaga kerja nasional
    3. Kebiasaan merokok  penyakit  meningkatkan biaya kesehatan

Drs. Manager Nasution, MA. (Komisioner Komnas HAM), Pengendalian Tembakau sebagai Upaya Perlindungan atas hak Kesehatan dan Hak Hidup. Ada dua peraturan yang ditegaskan Manager, yaitu Pasal 28H UUD 1945: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Serta UU No 39/1999 tentang HAM, Pasal 9 ayat 3: Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal 52: Setiap anak berhak atas perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara. Hak anak adalah hak asasi manusia da untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hokum bahkan sejak dalam kandungan.

Diskusi:

Usul Wamenkes meminta kepada presiden SBY di akhir masa jabatan 'meninggalkan warisan' ratifikasi FCTC. Indonesia terlibat dalam pembuatan draft FCTC, tidak ada alasan menunda-nunda ke depannya, setelah konferensi meminta presiden SBY mengaksesi FCTC. Penerima bantuan jaminan kesehatan mampu membeli rokok Rp. 300.000 per bulan, maka perlu validasi ulang. Bila tidak mungkin, perokok menjadi kriteria. Bila tidak mungkin juga, dibedakan kartu antara perokok dan bukan perokok (misalnya dengan warna yang berbeda), sehingga mudah dibedakan.

Perlu segera dijalin kerjasama dengan Persatuan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) dengan 'menularkan' ilmu pengendalian tembakau. Dengan meningkatnya tingkat ekonomi suatu bangsa, kasus kanker leher rahim akan menurun, tetapi di Indonesia justru meningkat (perlu penelitian ulang tentang risiko kanker leher rahim pada wanita yang memiliki pasangan yang merokok). Negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi HAM warganya. Bila tidak meratifikasi FCTC, berarti negara tidak bertanggungjawab. Apa aksi Komnas HAM untuk ratifikasi FCTC? Tidak fair bila kartu jaminan kesehatan perokok berbeda warna dengan bukan perokok, karena perokok adalah korban dari industri rokok.

Tanggapan:

Wamenkes akan menyampaikan kepada presiden SBY (SBY pernah menyampaikan setuju untuk meratifikasi FCTC bila semua menteri setuju). Indonesia memang terlibat dalam pembuatan draft FCTC, tetapi tidak ikut menandatangani.. Realitas di Indonesia: 32% orang miskin merokok. Memang perlu kerja sama, FCTC sesuai dengan UU kesehatan. UU berlaku untuk semua kementrian, sehingga Kementrian Perindustrian harus patuh. Bila menolak, berarti melanggar UU. Firma hukum di Washington menyarankan kepada Phillip Moris untuk mengintensifkan lobi industri rokok untuk menunda FCT. Beberapa negara bagian di Australia dituntut karena pembatasan rokok dianggap melanggar WTO. Komnas HAM tetap mendorong ratifikasi FCTC. Wamenkes akan mengusulkan ke KPU pada saat debat capres-cawapres, ada topic tentang FCTC  memilih capres-cawapres yang pro FCTC.