Manajemen Pengetahuan untuk Pembuatan Kebijakan di Lintas Sektor dan Lintas Program Kesehatan

Diskusi bulanan yang keempat dilaksanakan pada Kamis (22/5/2014) dan diawali dengan review dari diskusi sebelumnya. Pada Januari atau diskusi bulanan pertama, telah dibahas manfaat Knowledge Management (KM) untuk lingkungan di luar organiasi yang mengadakan KM (policy making). Hasil riset ini bisa digunakan untuk pembuatan kebijakan di lokal, pusat, dan unit-unit. Hal ini biasanya digunakan oleh para praktisi, ketika penelitian tersebut ada hasilnya maka digunakan organisasi profesi dan akan digunakan untuk mempengaruhi pembuat keputusan. Diskusi kedua membahas tentang mencegah kehilangan pengetahuan, meningkatkan daya saing, reorganisasi, dan lain-lain.

Bulan ketiga, diskusi bulanan membahas tentang produksi dan difusi pengetahuan yaitu penelitian lalu publikasi penelitian diikuti telaah sistematik dan telaah TS lalu baru EBDM. Kali ini, atau minggu keempat mengambil tema produksi dan diseminasi pengetahuan. Pengambilan keputusan berdasarkan bukti dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu literature review, systematic review (ada sistem untuk menjaring masalah-critical appraisal-sintesa-disimpulkan), state wide survey (survey seluruh negara bagian) dan key information review.

Diskusi kali ini akan banyak membahas tentang diseminasi. Diseminasi yang dimaksud sifatnya lebih aktif. Sementara, difusi bersifat secara pasif menyediakan pengetahuan dan siapa saja dipersilakan menggunakan hasil penelitian. Manfaat diseminasi antara lain: meningkatkan kemampuan menemukan, membangkitkan budaya EBDM dalam organisasi-organisasi Pemda (berbasis bukti), dan lain-lain.

Jika melihat kasus Indonesia, hal yang harus disadari ialah penyakit tidak bisa hilang, dan penyakit tidak berhubungan langsung dengan kemiskinan. Melalui penyakit terabaikan (neglected) program lintas sektoral dan lintas program dapat mulai dilakukan. Mengapa yang terabaikan? Pertama, karena tidak diperhatikan oleh yang berwenang, misalnya cacingan, lepra, trachoma (daftar ini bukan penyakit prioritas). Penyakit terabaikan berkembang di lingkungan yang buruk atau perumahan kumuh. Alasan kedua, pencegahan primordial dan primernya sama. Kegiatan yang terintegrasi seperti apa? Harapannya, kegiatan yang terintegrasi lebih terbatas atau terarah. Hal yang dilakukan ialah systematic review, proyek-proyek menganggap laporannya rahasia. Ada survey yang melibatkan Pemda untuk melihat kebutuhan setempat. Sektoral Dinkes Yogya dan PMPK pernah memiliki ruang pembuatan keputusan untuk fasilitasi hasil surveilans. Namun hal tersebut kurang dimanfaatkan dengan baik.

DISKUSI

Deni Harbianto menyampaikan menurut pengalaman kami sebagai konsultan, riset yang cukup bagus, namun ketika dibawa ke Kemkes ada semacam blocking dari mereka karena menganggap pemerintah memiliki data yang lebih bagus. Namun hal ini tanpa disebutkan surveilans yang valid atau tidak dan data the best-nya di-keep oleh stakeholder. Apa yang sebaiknya dilakukan?

Kemudian Rossi Sanusi memberikan pendapatnya, dampak riset lebih tampak di level lokal. Hal yang sering terjadi, pusat akan lebih resist pada penelitian semacam ini. Ke depannya, telaah sistematik akan lebih banyak dilihat. Jika hasil penelitian sudah dijaring, maka tidak ada alasan untuk menolak. Misalnya dilakukan penapisan yang meliputi: laporan 10 tahun terakhir, negara berkembang dan ditulis dalam bahasa Inggris. Laporan kemudian di-critical appraisal, disintesa dan ditarik kesimpulannya. Bukti penelitiannya lemah/kuat akan dipengaruhi organisasi yang besar misal Mac Master. Ada satu cara untuk melacak hal ini, yaitu masuk ke situs Search Engine dan cari dengan kata kunci 'Systematic Review Website'. Ada semacam review, intervensi ini gamblang/tidak, atau apa yang sebaiknya dilakukan. Jika mengusulkan intervensi, apa bukti sebelumnya? Jadi tidak mulai dari 0 dan ada perlindungan legal. Sayangnya, budaya kita mengingat, bukan membaca. Hal ini terkait dengan kemampuan menerima pendapat orang lain. Maka, harus belajar toleransi yaitu budaya berbeda pendapat sejak kecil.

dr. Sutjipto menyampaikan pertanyaannya yaitu kemampuan Dinkes untuk melakukan interpretasi dan menggunakan data lemah, apa yang bisa disarankan akademisi atau Pusat Studi? Lalu, bagaimana untuk meningkatkan kemmapuan advokasi dan negosiasinya. Menganalisa hasil surveilans-mulai dai pengumpulan data baik surveilans kasus maupun surveilans sindromik. Bagaimana melibatkan orang setempat. Menganalisa dan membuat keputusan. Perlu membuat intervensi apa? Misal bakteria bachi uji coba di Sleman, lalu ada pengurus RT/RW yang ragu. Maka, seharusnya diisodorkan bukti jika hal tersebut aman/tidak di dunia? Dewan riset yang sudah ada seharusnya menyediakan info dengan mengumpulkan dan mengolah.

Digna Purwaningrum menyampaikan pengalamannya yaitu ia pernah terlibat dalam penyusunan keputusan berbasis bukti hasil penelitian di Jogja. Dari segi pengambil kebijakan, sangat membutuhkan hal tersebut. Apakah PT bisa memberikan bentuk data yang lebih mudah, tidak banyak yang bisa mengartikan data. Usulan dari Pemda: ada website khusus tentang hal ini, ada update tentang data yang diolah dari Pusat Studi/kajian dan aparat pemda. Tanggapan dari dr. Rossi Sanusi, evaluator harus dilibatkan dari awal menyusun proyek. Saran untuk PKMK yaitu struktur mengikuti fungsi, yaitu menghasilkan penelitian dan diolah (hasil penelitian Indonesia dan dunia).