Reportase Webinar
Serial Forum Kebijakan JKN: Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS Berdasarkan Bukti
Yogyakarta, 02 Juli 2020
PENGANTAR
Kegiatan ini dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD selaku Koordinator Forum menyampaikan bahwa apakah bukti-bukti terbaru yang ditemukan saat ini bisa menjadi acuan kegiatan untuk revisi UU SJSN dan UU BPJS? Pada pertemuan sebelumnya ada beberapa pasal dalam UU yang penting untuk di revisi sehingga pada pertemuan ke enam akan direview berbagai masalah terkait UU SJSN dan UU BPJS. Hasil review ini menjadi bahan advokasi ke pemerintah dan DPR untuk revisi UU SJSN dan UU BPJS.
Sesi Presentasi: Penyajian hasil penelitian JKN: Akuntabilitas dan Transparansi BPJS Kesehatan
Penyaji pertama disampaikan oleh Tri Aktariani selaku peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM menyampaikan berdasarkan UU SJSN dan UU BPJS, DJSN dan BPJS memiliki hubungan koordinatif yang bertanggung jawab pada presiden tetapi tugasnya berbeda. Selain itu, DJSN memiliki fungsi esensial sebagai perumus kebijakan dan pengontrol implementasi program JKN. Fakta-fakta transparansi dan akuntabilitas baik di tingkat pusat maupun daerah menunjukkan bahwa belum adanya transparansi dan akuntabilitas BPJS Kesehatan, lemahnya peran DJSN dalam JKN, sulitnya akses data JKN yang tervalidasi pada perpres 82 tahun 2018.
Selain itu di tingkat daerah, peran dinkes untuk mengawasi program JKN belum terlaksana karena tidak diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS, data JKN masih sulit diakses oleh pemerintah daerah, dan koordinasi BPJS Kesehatan dengan Kementerian Kesehatan terputus akibat dari UU SJSN dan UU BPJS. Telaah regulasi UU SJSN menunjukkan DJSN didesain sebagai lembaga independen, pemerintah daerah dilibatkan sebatas pendataan peserta dan pembayaran iuran PBI, dan pemerintah pusat dilibatkan hanya pada pendaftaran, persentase iuran dan tindakan-tindakan khusus. Selain itu, telaah regulasi UU BPJS menunjukkan tidak ditemukan peran pengawasan kementerian kesehatan, pelibatan Pemda hanya sebatas pengenaan sanksi tunggakan yang belum dilaksanakan Pemda, tidak ada pasal yang mengatur kewajiban BPJS untuk menindaklanjuti rekomendasi hasil monev program JKN yang dilakukan DJSN.
Prof. Laksono Trisnantoro, , MSc., PhD
Memang yang terjadi adalah suatu situasi dimana DJSN diharapkan sebagai lembaga yang kuat ternyata selama 6 tahun ini belum kuat dan secara anggaran sangat kecil untuk melakukan pengawasan. Hal ini menunjukkan ada masalah besar dalam tata kelola hubungan antara BPJS Kesehatan, DJSN dan Kementrian Kesehatan.
SESI PEMBAHAS
Pembahas pertama disampaikan oleh Dr. Indra Budi Sumantoro, S.Pd., M.M berasal dari DJSN. Indra menyampaikan secara prinsip DJSN dibentuk berdasar pada stakeholder yang mempunyai kepentingan baik dari unsur pemerintah, unsur pekerja, unsur pemberi kerja, dan unsur tokoh atau ahli sehingga pengawasan yang dilakukan terkait dengan kepentingan stakeholder tersebut. Ada beberapa hal yang dibahas oleh Indra, antara lain rujukan berjenjang diperlukan agar pelayanan terdistribusi secara proporsional dan pemda berkewajiban menyediakan fasilitas kesehatan. Selain itu, ada beberapa variabel yang menjadi persoalan pada benefit coverage seperti adverse selection, moral hazard. Dari sisi perumusan kebijakan, DJSN adalah lembaga non struktural sehingga tidak memiliki kewenangan sebagai pemrakarsa berdasarkan UU 17 tahun 2019 dan perpres no 87 tahun 2014, namun hal ini tidak menghalangi fungsi DJSN. Selain itu, kewenangan DJSN dibatasi oleh Perpres 46 tahun 2014 dan UU SJSN yang menyebutkan sekretariat DJSN dipimpin oleh eselon 2 sehingga DJSN tidak memiliki kewenangan anggaran.
Lebih lanjut terkait desentralisasi, sistem SJSN tidak dicreate untuk desentralisasi meskipun ada putusan MK Nomor 007 tahun 2005 yang memperbolehkan dibentuk BPJS daerah yang diatur dalam pasal 5 ayat 1 yang mengatur bahwa BPJS harus dibentuk dengan UU sehingga kalau membentuk BPJS daerah harus diamanatkan undang-undang. Telah ada 5 Putusan MK yang tidak mengabulkan gugatan pemohon yang ingin menjadikan SJSN terdesentralisasi,
Pembahas kedua disampaikan dr. Andi Afdal Abdullah, MBA,, AAK dari BPJS Kesehatan Pusat. Andi menyampaikan sebagai bentuk improvement, BPJS Kesehatan dan DJSN telah mengeluarkan data statistik JKN mulai dari 2014-2018. Selain itu telah dibentuk kedeputian manajemen data dan informasi di BPJS Kesehatan Pusat. Kedepannya, BPJS akan membuat data sampel versi kedua yang dibuat secara kohort dari data yang pertama yang akan dirilis tahun depan. Data sampel yang dirilis merepresentasikan populasi yang ada di JKN sehingga bisa melihat karakteristik perubahan di 2014-2018. Sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas pada pemerintah daerah, saat ini BPJS Kesehatan telah mengeluarkan Dashboard Informasi dengan 10 fitur di dalamnya yang bisa di akses Pemerintah Daerah namun masih membutuhkan kemampuan literasi data dan informasi untuk perumusan kebijakan daerah. Bagi akademisi, telah dibuatkan data sample 2015 dan 2016, dan tahun 2020 akan dikeluarkan data sample 2017 dan 2018 dengan harapan data JKN bisa dimanfaatkan.
Prof. Laksono Trisnantoro, , MSc., PhD
Selama 2 tahun terakhir, berbagai usaha dilakukan untuk membuka data dari BPJS baik dengan inpres hingga perpres. Selama 7 tahun ini memang proses yang menarik dari awal yang tidak begitu terbuka, hingga BPJS mau membuka data.
Sesi Presentasi Kedua: Ekosistem IT dalam keterbukaan data JKN: Akses data BPJS oleh para stakeholder utama.
Insan Rekso Adiwibowo, S.Psi., M.Sc selaku peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM menyampaikan bahwa IT dalam JKN merupakan bagian dari ekosistem kesehatan nasional. Secara umum adi mengkategorikan outlet komunikasi data BPJS Kesehatan yang terdiri atas: 1) outlet penelitian terkait data sampel BPJS Kesehatan; 2) pengambilan keputusan daerah terkait data Business Intelligence (BI); 3) Outlet Informasi Publik melalui Buku Statistik JKN; 4) informasi peserta yang berasal dari Mobile JKN; dan 5) informasi provide dari P Care. Yang kemudian dibahas lebih dalam kelebihan dan kekurangannya.
Lebih jauh Adi menyampaikan, saat ini dalam transparansi data BPJS kesehatan telah menyediakan berbagai platform komunikasi data dengan target yang jelas. Namun masih lemah dalam transparansi data BPJS di level daerah yang harus menunggu approval dari pusat. Sehingga untuk transparansi data dibutuhkan data yang mendetail dan terupdate untuk mendukung evidence based policy yang reliable dan tepat sasaran serta aksesibilitas yang lebih luas untuk pengambil kebijakan di daerah maupun masyarakat umum dengan memperhatikan prinsip ekosistem IT.
Prof Laksono: Analisis berdasarkan ekosistem JKN.
TI merupakan fondasi dasar dari JKN, tanpa sistem IT yang baik tidak mungkin dilakukan perbaikan JKN yang bersifat enabler pada pelaksanaan JKN. Sebagai Badan Hukum layanan publik, BPJS Kesehatan belum mengikuti berbagai aturan Badan hukum publik. Outlet data yang dikeluarkan BPJS saat ini lebih banyak legacy dari PT Askes, belum menggunakan pendekatan ekosistem JKN secara keseluruhan dan prinsip interoperabilitas data. Fungsi Early system warning atau penggunaan data untuk perencanaan ditemukan masih banyak pemerintah daerah yang belum bisa menggunakan data BPJS untuk perencanaan termasuk menutupi defisit tiap kabupaten kota. Kondisi saat ini, sistem TI kemenkes dan sistem TI BPJS kesehatan belum ada interoperabilitasnya sehingga jika dicermati proses pertukaran data masih menggunakan prinsip laporan kertas yang merupakan data ringkasan. Hal ini belum menceritakan suatu sistem interoperabilitas dalam konteks BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik sehingga diharapkan menggunakan pendekatan ekosistem JKN.
SESI PEMBAHAS KE 2
Pembahas pertama disampaikan oleh dr. Yulita, M.Epid dari P2JK Kemenkes RI. Yulita menyampaikan Kemenkes menerima keluhan dari Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota yang memiliki keterbatasan akses data sehingga dinkes tidak bisa melakukan perencanaan berbasis data epidemiologi. Sehingga harapannya, stakeholder baik kemenkes termasuk Pemda dapat mengakses data JKN dari BPJS Kesehatan sesuai dengan Kebutuhan. Data Laporan dari BPJS Kesehatan dapat diberikan secara sistem menggunakan Application Programming Interface (API) melalui Layanan Interoperabilitas Data Kesehatan.
Pembahas kedua disampaikan oleh Dadan Suparjo Suharmawijaya, S.IP., M.IP dari Ombudsman RI. Dadan menyampaikan IT menjadi kebutuhan atau keniscayaan karena Program JKN memiliki beban yang kompleks dan ekosistem yang bervariasi. Ketika IT ini dibangun termasuk menyajikan data-data sebagai bentuk transparansi maka akan berhadapan dengan UU 2014 tentang kebebasan publik dimana ada informasi yang dibuka dan informasi yang dikecualikan sehingga dalam TI perlu dipikirkan aspek transparansi dan aspek kerahasiaan. Begitu banyak kompleksitas TI sehingga perlu SOP yang sangat mendetail.
Pembahas ketiga disampaikan oleh dr. Andi Afdal Abdullah, MBA,, AAK dari BPJS Kesehatan Pusat. Andi menyampaikan terkait data BPJS memastikan semua data di masking tidak ada data by name by address. Adapun data sampel dilakukan individual untuk mendapatkan diagnosis namun individunya dirahasiakan. BPJS Kesehatan sampai saat ini masih mencari cara agar data yang disediakan cukup untuk para peneliti dan tetap menjaga kerahasiaan orang tertentu atau instansi tertentu. Pengalaman BPJS Kesehatan dengan Kemenkeu melakukan transfer data menggunakan IPI. Terakhir Andi menyampaikan tentang proses selection data sample BPJS.
SESI DISKUSI
1. Saya belum melihat adanya hasil tentang fakta akuntabilitas itu sendiri yang perlu dipaparkan disini dan juga termasuk transparansi, Mohon tanggapan dari PKMK?
Prof. Laksono Trisnantoro, , MSc., PhD
Kajian ini terkait dengan seri yang sebelumnya ada sesi 1, 2 dan ini yang ke 3. Kemudian minggu depan kita masuk ke fraud, ke mutu 5 dan nanti yang ke 6. Di akhir dari seri ini, kita akan menyimpulkan termasuk tadi “bagaimana transparansi akuntabilitas terkait dengan defisit, akan lebih diformulasikan. Ini untuk masukan kami ke DPR dan Pemerintah. Kami UGM tidak mau mengganti undang-undang tapi undang-undang SJSN sudah 16 tahun, UU BPJS sudah 9 tahun dan setiap tahun di lapangan banyak masalah. Perintah UU, setiap UU itu perlu dimonitoring dan dievaluasi, sehingga monev oleh UGM ini akan bermuara pada DIM (Daftar Isian Masalah) yang versi kami. UGM juga nanti akan menyangkut tentang transparansi dan juga akuntabilitas.
2. Apakah BPJS Kesehatan sudah melakukan penarikan Iuran kepada peserta yang belum membayar?
Andi Afdal BPJS Kesehatan
- Sampai saat ini BPJS masih persuasif, menggunakan kader JKN, telecollection dan Channeling untuk keperluan membayar. Selain itu, tahun lalu sudah menerapkan auto debet. Yang jelas kalau peserta tidak membayar, kartunya akan di nonaktifkan.
3. Apakah dinkes kabupaten/kota diperbolehkan mengakses data pelayanan peserta JKN untuk menjalankan fungsinya untuk mencegah fraud di daerah? Regulasi apa yang harus diperbaiki agar akses ini bisa diperoleh?
Andi Afdal BPJS Kesehatan
- Saat ini banyak permintaan fitur dari daerah tapi belum generik. Saya kira saat ini kita sedang merumuskan hak aksesnya seperti apa untuk mencegah penyalahgunaan data individual.
Prof. Laksono Trisnantoro, , MSc., PhD
- Ketika berbicara mengenai ekosistem JKN, ada tim antifraud membutuhkan data yang dibutuhkan, ini akan berbeda dengan data seperti apa yang akan diberikan kepada masyarakat. Sebagai gambaran di BPJS, kita tahu berapa ribu RS yang mengerjakan seksio dan kita tahu ada RS yang kurang dari 5%. Ini tentunya bisa dipakai sebagai strategi Pinpoint untuk mendeteksi adanya RS yang memiliki potensi fraud, tapi ini belum dikerjakan. Kalau kita tidak cukup detil datanya, kami khawatir nanti BPJS akan kesulitan mengidentifikasi kelompok—kelompok mana yang melakukan fraud karena data yang ditemukan sampai tahun ke 6 rendah sekali.
PENUTUP