Hasil Reportase Kegiatan Open Lecture FK UGM

 

 

ft-13-1

Pada hari Rabu, 13 Februari 2013 telah diselenggarakan kegiatan Open Lecture dan Workshop DHIS2 dan OpenMRS di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Acara ini dibuka oleh penanggung jawab acara, Guardian Sanjaya, pada pukul 09.00. 

Open lecture diikuti oleh peserta dari berbagai kota seperti Yogyakarta, Surabaya, Solo, dan juga Semarang. Sesi pertama diisi oleh Prof Sundeep Sahay dari Universitas Oslo, Norwegia. Sesi kedua menghadirkan Åsa Holmner Rocklöv dari Universitas Umeå, Swedia.

Sesi Pertama: "Open Source Systems for Health Services"

Prof Sundeep Sahay mengawali sesi ini dengan presentasinya yang berjudul Participating in Free and Open Source Network in Health Information System (FOSNHIS): Opportunities for UGM, Indonesia. "Saya akan lebih banyak membahas pada konsep Open Source dan Jaringan Komunitas Global-nya," ucap Prof Sundeep.

ft-13-2

Ada 3 (tiga) konsep dasar yang dijelaskan dalam kuliah ini, yaitu:

  1. Sistem Open Source
    Perangkat lunak dengan sistem Open Source tidak memerlukan lisensi berbayar. Selain itu, source code tersedia secara terbuka dan dapat diakses oleh khalayak umum.
  2. Network
    Sekumpulan orang dengan tujuan yang sama dan berinteraksi dengan prinsip saling menguntungkan. Konteks jaringan yang dimaksud adalah jaringan dari para pengguna maupun programer perangkat lunak Open Source.
  3. Sistem Informasi Kesehatan.
    Prof Sundeep menjelaskan bahwa definisi sistem informasi kesehatan bisa berbeda tergantung pada siapa yang menggunakan istilah tersebut. Contohnya: klinisi menganggap electronic medical record system adalah sistem informasi kesehatan sedangkan staf bagian farmasi menyebut sistem logistik obat sebagai sistem informasi kesehatan.

Materi selengkapnya silakan 

Diskusi yang mengemuka dalam kuliah ini membahas mengenai tanggung jawab secara hukum. Perangkat lunak open source dapat digunakan oleh institusi seperti Rumah Sakit. Bagaimana legal aspect-nya? Bagaimana manajemen resikonya? Siapa yang akan bertanggung jawab ketika terjadi kesalahan dari perangkat lunak tersebut?

Prof Sundeep menyatakan bahwa akan ada dukungan berupa kontrak legal antara koordinator pada jaringan dengan institusi yang menggunakan perangkat lunak open source. Cara ini mampu memberikan rasa aman pada pihak pengguna karena koordinator jaringan bisa membantu dari sisi troubleshooting ketika terjadi masalah dalam penggunaan perangkat lunak. Namun perlu diingat bahwa malfunctioning program juga bisa terjadi karena faktor pengguna.

Prof. Sundeep juga menjelaskan mengenai adanya peluang bagi Indonesia, melalui UGM untuk bergabung dalam jaringan komunitas global mengenai Open Source yaitu FOSNHIS dan terlibat dalam pengembangan aplikasi bersama. Harapannya dengan bergabung bersama jaringan akan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pendanaan (misal. dari NORAD, NORHED, dll) dalam mengembangkan aplikasi dan kolaborasi penelitian di bidang Sistem Informasi Kesehatan. Selain itu, diharapkan UGM akan menjadi pusat pengembangan dan penelitian aplikasi Open Source di Indonesia dan Asia Tenggara.

 

Sesi Kedua: "Telemedicine in Healthcare"

ft-13-3Åsa Holmner Rocklöv dari Universitas Umeå, Swedia menjadi pembicara pada sesi kedua. Topik yang dibahas adalah mengenai Telemedicine. Åsa mengawali sesinya dengan menyampaikan definisi Telemedicine berdasarkan definisi dari World Health Organization (WHO). Konsepnya adalah "Healing at a distance". Pada kesempatan ini, Åsa memaparkan 4 (empat) elemen kunci dalam Telemedicine.

Pada kuliah ini, Åsa banyak berbagi mengenai pengalaman penerapan Telemedicine pada pelayanan kesehatan di Swedia. Telemedicine telah digunakan pada berbagai bidang dalam dunia kesehatan seperti: terapi bicara, konsultasi spesialis, rehabilitasi maupun penegakan diagnosis. Pengembangan Telemedicine di Swedia didorong oleh faktor jarak yang jauh, sumber daya ahli yang terbatas, serta faktor cuaca seperti musim dingin dan salju. Materi selengkapnya 

Swedia telah berhasil mengembangkan infrastruktur jaringan internet yang disebut SJUNET. Jaringan komunikasi internet dengan kecepatan sampai 1000 Mbit ini sangat mendukung implementasi telemedicine di Swedia. Bahkan jaringan ini telah dipergunakan untuk menyokong berbagai aktivitas di sektor kesehatan Swedia mulai dari rapat, kuliah, konferensi, konsultasi, follow up pasien, rehabilitasi, dan juga proses tender/pelelangan. Åsa menegaskan bahwa dengan jaringan ini, Swedia termasuk salah satu dari sepuluh negara dengan sambungan internet tercepat di dunia.

 

ft-13-4

Pada sesi diskusi, topik yang dibahas adalah tantangan yang dihadapi dalam penerapan Telemedicine. Åsa membagikan pengalamannya di Swedia bahwa setiap unit atau bagian pada sebuah institusi kesehatan berusaha mencari caranya sendiri dalam menghadapi tantangan penerapan Telemedicine. Salah satu cara yang dapat diterima adalah dengan membuat detail perhitungan keuntungan dari penerapan Telemedicine. Perhitungan yang dimaksud adalah dengan melihat detail dari evaluasi cost-benefit-nya.

Sebagai penutup, Åsa menjelaskan mengenai program kerjasama antara Swedia dan Indonesia. Program pertama adalah CC-MAP yaitu Program Mitigasi Perubahan Iklim dan Adaptasi Kebijakan pada Sektor Kesehatan. Yang kedua adalah ICLD yaitu program kerjasama ehealth untuk pelayanan kesehatan yang efektif dan berkelanjutan di Indonesia dan Swedia. Dalam kerjasama antara UGM ,Umea University dan Pemerintah Kota Yogyakarta ini akan mulai dilakukan rangkaian uji coba penerapan telemedicine. Harapannya program ini dapat menjadi titik awal implementasi telemedicine secara nasional.


Penutupan 

Kegiatan ini ditutup dengan penyerahan kenang-kenangan untuk kedua pembicara.

ft-13-5

 

Refleksi Open Lecture

{xtypo_code}Kegiatan ini menunjukkan bahwa konsep Open Source System dan Telemedicine telah diadopsi secara global. Banyak negara telah menjalankannya dalam sektor kesehatan serta mendapatkan manfaatnya. Bagaimana kondisi di Indonesia? Dalam konteks Open Source System, tentunya pemahaman mengenai sistem ini masih perlu disebarluaskan pada seluruh elemen sektor kesehatan.

Apa yang dapat dilakukan oleh Indonesia? Harapannya para akademisi dan praktisi dapat bergabung dan turut berpartisipasi aktif dalam pengembangan dan penelitian aplikasi Open Source melalui jaringan komunitas global.

Pada konteks Telemedicine, ada banyak tantangan yang harus dihadapi dalam implementasi Telemedicine di Indonesia. Biaya, landasan hukum, infrastruktur, kebijakan, dan kemampuan pengguna adalah beberapa dimensi tantangan yang telah menghadang. Kunci dalam menghadapi tantangan ini adalah dengan melihat kembali bagaimana kebutuhan pasien.

Langkah awal telah dimulai dengan kerjasama Indonesia – Swedia dalam melakukan penerapan telemedicine pada skala lokal Yogyakarta. Diharapkan para pembuat kebijakan, praktisi, akademisi, maupun klinisi dapat mengambil manfaat dari kerjasama ini serta dapat memahami tentang telemedicine untuk diimplementasikan pada pelayanan kesehatan secara nasional.{/xtypo_code}