Kolaborasi Multisektoral Dalam Integrasi Layanan Kesehatan di Indonesia
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
Bapak Dadang mengeluhkan batuk disertai dahak dan penurunan nafsu makan selama kurun waktu satu bulan terakhir. Beliau memeriksakan diri ke Puskesmas dan ternyata didiagnosis dengan Tuberkulosis setelah melalui beberapa tahapan pemeriksaan. Beliau diharuskan untuk meminum obat rutin selama 6 bulan. Obat diberikan oleh puskesmas dan kemudian diminum.
Satu minggu kemudian, Bapak Dadang mencari second opinion ke dokter di rumah sakit swasta dan ternyata didiagnosis dengan pneumonia. Dokter memberikan antibiotik selama 5 hari dan kemudian Bapak Dadang meminum antibiotik dari Rumah Sakit tersebut. Setelah merasa lebih baik beliau tidak lagi melanjutkan pengobatan Tuberkulosisnya.
Kisah Bapak Dadang diatas merupakan kejadian nyata yang seringkali terjadi di Indonesia. Pasien dengan diagnosis Tuberkulosis (TB) merasa berat untuk menjalani pengobatan selama kurun waktu 6 bulan. Pasien kemudian datang ke fasilitas pelayanan kesehatan swasta untuk memeriksakan diri berulang kali agar tidak didiagnosis dengan TB. Pasien merasa cukup dengan hanya mendapatkan obat antibiotik jangka pendek. Setelah merasa ada sedikit perbaikan biasanya pasien tidak lagi datang ke dokter. Pasien kembali lagi ke Puskesmas jika kondisinya sudah semakin berat.
Demikian adalah sekelumit kisah terkait penanganan manajemen penyakit menular di Indonesia. WHO menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori teratas dalam jumlah kasus TB, TB dengan HIV, dan pasien TB resisten obat . Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa telah terdapat peningkatan yang signifikan dalam jumlah pasien TB di Indonesia, dari 824.000 kasus pada tahun 2020 menjadi 969.000 kasus pada tahun 2021 dengan angka selesai berobat dan penemuan kasus masih cukup rendah.
Sistem informasi yang tidak terpadu menyebabkan pasien dapat dengan mudah untuk berpindah lokasi dengan menyebutkan gejala-gejala yang berbeda. Pun demikian dengan pasien - pasien dengan keluhan "Kejang atau cemas", banyak diantara mereka yang berbohong, berpura-pura agar mendapatkan obat kejang golongan benzodiazepin, padahal mereka mengincar efek samping dari obat, yakni tenang dan nge-fly. Mereka memiliki modus operandi berpindah-pindah dokter atau apotek. Dokter tentu kesulitan karena pasien bisa menjawab pertanyaan anamnesis dengan "tepat" dan hasil pemeriksaan yang tepat berbekal ilmu dari internet.
Manajemen pelayanan kesehatan di Indonesia harus mulai berbenah dengan melibatkan layanan kolaboratif yang terintegrasi pada berbagai sektor mulai dari layanan primer. Keuntungan jangka pendek terutama dalam aspek penanganan penyakit. Dalam konteks ini, dokter dapat mengakses riwayat medis pasien, termasuk obat-obatan yang telah diberikan dan hasil pemeriksaan radiologis sebelumnya saat pasien datang. Hal ini memungkinkan pemeriksaan tidak perlu dimulai dari awal setiap kali pasien datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pasien juga tidak dapat menyembunyikan riwayat penyakitnya karena data-data pemeriksaan sebelumnya dapat diakses oleh dokter.
SATUSEHAT merupakan inisiatif baru dari pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk menggabungkan data kesehatan menjadi satu entitas terpadu. Di Indonesia, salah satu masalah kesehatan yang dihadapi saat ini adalah data kesehatan yang terpisah dalam bentuk silo karena banyaknya aplikasi yang digunakan. Berdasarkan hasil penelusuran terdapat lebih dari 400 aplikasi kesehatan yang dikembangkan oleh pemerintah pusat, bahkan puskesmas harus mengisi sekitar 70 aplikasi kesehatan secara rutin. Kondisi ini yang membuat petugas kesehatan di garis depan kewalahan dalam melakukan input data. Platform SATUSEHAT memiliki target untuk mengintegrasikan layanan bagi 44.071 fasyankes di Indonesia. Tidak boleh lagi data hanya bersumber pada layanan milik pemerintah, terbukti pada kasus MPOX, deteksi pertama kali terjadi di fasyankes swasta bukan negeri.
US CDC melakukan modernisasi sistem surveilans melalui otomatisasi pelaporan elektronik pada seluruh jaringannya. Mereka sedang mengembangkan berbagai standar pemprograman yang memungkinkan sistem saling berkomunikasi dan menghasilkan visualisasi data near-realtime. Keuntungan yang dihasilkan dari upaya ini adalah seorang epidemiolog tidak lagi perlu menghabiskan satu hari penuh hanya untuk memasukkan data, melainkan mereka dapat segera melakukan penyelidikan epidemiologi. Seorang analis data juga dapat membuat laporan hanya dengan dua kali klik tombol, dan data besar akan sangat bermanfaat dalam pengambilan kebijakan bagi pengambil keputusan karena dapat mengalokasikan sumber daya pada wilayah yang terdampak paling berat .
Hal ini yang ingin dicontoh oleh SATUSEHAT dimana kementerian kesehatan sudah menyusun secara lengkap seluruh petunjuk integrasi dalam playbook SATUSEHAT yang dapat diakses di https://satusehat.kemkes.go.id/platform/docs/id/playbook/, namun ternyata prosesnya cukup rumit meski sudah ditunjang dengan PMK 24 tahun 2022 tentang Rekam Medis Elektronik dan Undang - Undang Perlindungan Data Pribadi. Grafik 1 menunjukkan fasyankes yang terhubung dengan SATUSEHAT per 19 Oktober 2023.
Grafik 1. Jumlah fasyankes yang telah terhubung dengan SATUSEHAT di berbagai Provinsi di Indonesia per 19 Oktober 2023
Grafik 1 menunjukkan bahwa integrasi baru terjadi di 565 (1.28%) dari 44.081 fasyankes di seluruh indonesia. Hal ini dikarenakan proses integrasi berjalan terpisah dan tidak terstruktur meski petunjuk integrasinya sudah lengkap. Perlu ada kebijakan mengenai siapa yang melaksanakan integrasi untuk level dinas kesehatan kabupaten / kota. Apakah pelaksana integrasi adalah bidang P2, bidang pelayanan kesehatan atau bidang SDM dan apakah terdapat insentif tambahan bagi tugas ini. Dinas juga harus mulai melakukan kolaborasi dengan swasta karena swasta akan menunggu inisiatif. Dinas kesehatan dapat membuat SIMPUSnya secara mandiri atau bekerja sama dengan vendor penyedia layanan sistem informasi puskesmas atau klinik untuk penyediaan SIMPUS yang sama bagi seluruh puskesmas di wilayah. Kerjasama dengan vendor akan memudahkan untuk Dinas kesehatan untuk mendapatkan data dari berbagai sumber yang disimpan dalam satu platform, sehingga memudahkan akses dan analisis data dari fasyankes swasta maupun pemerintah. Dinas Kesehatan Kabupaten Malang dan Kota Mojokerto telah membuktikan hal tersebut karena saat ini seluruh puskesmas dan Rumah Sakit di wilayahnya telah terintegrasi 100%.
Proses integrasi sistem informasi di rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta, memerlukan kontribusi dari pihak pengembang swasta. Meskipun pemerintah telah menyediakan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit open source SIMRS GOS, pemanfaatannya masih terbatas. Sebagian besar rumah sakit memilih untuk bekerjasama dengan vendor atau menggunakan perangkat lunak open source lainnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk Dinas Kesehatan atau bekerja sama dengan akademisi memberikan pelatihan kepada staf kesehatan dalam hal pemahaman bahasa medis, PHP, dan MySQL. Tanpa pemahaman tersebut, proses integrasi sistem informasi di rumah sakit akan berjalan lambat. Idealnya, setiap rumah sakit perlu memiliki tim IT yang terdiri dari 4 atau 5 programmer, satu posisi untuk dukungan teknis, dua programmer untuk mengembangkan kode, dan satu analis sistem yang dapat menggabungkan kebutuhan dari tim medis dengan bahasa pemrograman dari tim IT. Jika sulit mencari tenaga yang mengerti tiga bahasa tersebut maka biaya pengintegrasian akan menjadi sangat mahal, gaji seorang programer bisa mencapai Rp20.000.000,- / bulan. Jika Rumah Sakit diharuskan memiliki 3 orang tenaga programmer maka biayanya mencapai Rp 720.000.000 / tahun hanya untuk upah tenaga. hal ini tentu akan menimbulkan kesenjangan dibandingkan tenaga lainnya.
Semua prinsip ini harus mampu diterapkan di Yogyakarta, terutama di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM. Kita perlu memastikan bahwa kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah berjalan dengan baik di wilayah kita sendiri termasuk mengadakan pelatihan untuk proses pengintegrasian data di DIY. Saat ini, situasi di Provinsi DIY masih menjadi perhatian karena baru 3% dari total fasilitas kesehatan yang telah terintegrasi hingga Oktober. Ini mencakup 6 puskesmas dan 12 rumah sakit, seperti yang terlihat dalam Grafik 2.
Grafik 2. Jumlah fasyankes yang telah terhubung dengan SATUSEHAT di Provinsi DI Yogyakarta per 19 Oktober 2023