Konferensi Pers Forum Tingkat Tinggi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Konferensi Pers Forum Tingkat Tinggi Pembelajaran Antar Negara
untuk Perluasan Cakupan Sektor Informal Menuju
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Dalam konferensi pers Forum Tingkat Tinggi Pembelajaran Antar Negara, Prof. Ali Ghufron Mukti menyampaikan menegaskan pentingnya sektor informasl masuk dalam BPJS yang akan beroperasi 1 Januari 2014. Hal tersebut disampaikan Wamenkes pada Senin (30/9/2013) di depan rekan media di RoyaL Ambarukmo Hotel, Yogyakarta. Didampingi Anggota DJSN yaitu Dr. Bambang Purwoko, Prof. Ali menyampaikan tujuan digelarnya forum tingkat tinggi ini untuk belajar dari 10 negara lain yang telah mengimplementasikan universal health coverage.

Para pejabat baik pusat dan daerah, disusul expert dari banyak negara, akademisi, wakil masyarakat dari sektor informal, serta peneliti berkumpul dengan tujuan yang sama. Sisa waktu yang ada tinggal 93 hari, lalu kesiapan dan langkah strategis apa yang bisa dilakukan semua pihak? Hingga saat ini, masih banyak hal yang harus dipersiapkan. Bukan hanya persiapan, namun juga dorongan banyak pihak yang dibutuhkan agar BPJS berjalan dengan lancar. Silahkan simak laporan reportase mengenai acara ini melalui website ini atau klik di siniklik di sini

Reportase sesi 1

Forum Tingkat Tinggi Pembelajaran Antar Negara
untuk Perluasan Cakupan Sektor Informal
Menuju Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Pembukaan Forum Tingkat Tinggi Pembelajaran Antar Negara untuk Perluasan Cakupan Sektor Informal Menuju Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dilakukan pada Senin (30/9/2013) di Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta. Acara dibuka secara seremonial dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya kemudian dilanjutkan tari Gambyong yang dibawakan oleh mahasiswa dari Unit Kesenian Jogja Gaya Surakarta (UGM).

Kemudian, Ketua Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (P2JK) menyampaikan sambutan, forum ini untuk menemukan rencana aksi dan cakupan pilot project untuk sektor informal. Indonesia. Dalam hal ini, jumlah sektor informal I Indonesia lebih besar, hal serupa terjadi juga di Thailand dan Filipina. Acara ini dihadiri oleh pembuat kebijakan dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementrian Kesejahteraan Rakyat, Kementrian Keuangan, Kementrian Kesehatan, Bappenas. DPR, peneliti akademisi dan wakil sektor informal. Panitia juga mengundang narasumber dari negara lain seperti Filipina, India, Thailand, AS, Inggris, dan lain-lain. GIZ, WHO, Bank Dunia, WHO merupakan lembaga donor yang mendukung terselenggaranya acara ini.

Wamenkes Prof. Ali Ghufron menyampaikan dalam definisinya definisi istilah sektor informal yang terkait dengan jaminan kesehatan (tantangan). Apakah pemerintah membayar atau UU yang mengatur siapa yang disubsidi apakah hanya orang miskin? Sehingga, hasil forum untuk diperhatikan pemerintah daerah dan pusat. Saat ini atau 93 hari menuju BPJS (integrated one single scheme), regulasi mana yang telah selesai, yang siap diimplementasikan. Kemungkinan Indonesia akan menjadi single payment terbesar di dunia. Dorongan dari semua pihak akan menjamin berjalannya BPJS, namun pelaksanaanya masih mengalami kesulitan di sektor informal.

Diskusi Panel : Isu-Isu Penting Apa Saja Terkait Apa Saja Sektor Informal Indonesia?

sesi1-all

Diskusi panel yang pertama ini disampaikan oleh Dr. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA (Wamen Perencanaan Pembangunan Nasional), Prof. Ali Ghufron Mukti (Wamen Kesehatan), Prof. dr. Bambang Purwoko, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Iskandar Maulana, wakil dari Pembinaan Hubungan Industrial, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sesi ini dimoderatori oleh Tantri Murdopo, Anchor Metro Tv.

Kasali Situmorang dalam bukunya pernah menyampaikan bahwa perlu dicari jalan terbaik untuk Indonesia (Jaminan Sosial). indonesia-jalan yang terbaik untuk Indonesia. Sejauh ini, definisi sektor informal merujuk pada mereka yang bekerja namun tidak mendapat hubungan kerja yang jelas dan tidak mendapat jaminan. Dr. Nafsiah Mboi, Menkes RI menyampaikan 72% pekerja formal sudah ter-cover jaminan sosial dan 28% merupakan pekerja informal. Dalam hal ini, kemampuan membayar, kemauan atau kesediaan untuk membayar masih menjadi dua hal yang penting untuk didiskusikan.

lukitaDr. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA, Wamen Perencanaan Pembangunan Nasional menyampaikan SJSN tidak bisa secara massal, namun harus bertahap. Dalam hal ini, pelaksanaanya memerlukan sistem SDM yang terencana (transformasi), transfer dari Jamsostek ke BPJS kesehatan, integrasi Jamkesmas ke Jamkesda, perluasan ingin mencakup UHC dari Jaminan Sosial.

Tujuan utamanya: mampu menjamin kesehatan masyarakatnya dan supaya menjadi negara yang maju-cerdas dan sehat. Hingga saat ini masih sekitar 85% pekerja informal masih menerima upah dalam bentuk tunai. Kemudian, masih terjadi gap pelayanan di Puskesmas, kesenjangan jumlah dokter-bidan-nakes di daerah. Tujuan utama yang ingin diraih Jamkesmas yaitu membantu kesehatan yang tidak mampu.

Pilihan strategi pelaksanaan BPJS, diantaranya contributory (namun database harus baik), non contributory (Korsel-Filipina) jika di Indonesia dilakukan makin banyak yang akan masuk ke informality, kombinasi keduanya (Vietnam-Cina) ada beberapa sektor yang didukung pemerintah di Cina untuk sektor pertanian.

Hal lain yang ingin diraih ialah perluasan kepesertaan. Survei Bappenas-48% masyarakat tidak tahu tentang Jaminan Kesehatan dan banyak yang tak tahu fungsi Jamkes. Maka, diperlukan beberapa langkah yang harus diambil, pertama, sosialisasi edukasi salah satunya terkait manfaat yang diperoleh dari Jamkes mutlak diperlukan. Iuran itu untuk membayar dan bermanfaat. Masih ada perbedaan bagaimana membayarnya (tiap bulan atau seperti apa?). selain itu, perlu dilakukan lebih jauh sosialisasi untuk mengurangi beban-hidup sehat bersih yang harus digalakkan stakeholders. Kondisi keuangan negara-pemerintah meng-cover penduduk yang tidak mampu sekitar 86,4 juta atau 36% penduduk terbawah. Jamkesda meng-cover yang tidak masuk di Jamkesmas. Kedua, manfaatkan lembaga sosial masyarakat-dasar hukum dan tata kelola karena jaminan memerlukan kepercayaan. Mungkin masyarakat tidak mau membayar karena kurang percaya, apa yang akan mendapatkan layanan tersebut. Maka, dibutuhkan koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Ketiga, uji coba alternatif strategi dan evaluasi. Mana yang cocok dengan situasi Indonesia.

Prof. Ali Ghufron Mukti-Wamenkes RI menyampaikan Resolusi PBB No 67 Tahun 2012 untuk mewujudkan UHC. Indonesia sudah mencoba aktif berpartisipatsi dalam WHO dan Bank Dunia tingkat Asia. Sejak diberlakukannya Jamkesmas, jaminan dan pemanfaatnya meningkat tajam. Tahun 2012 sekitar 76,4 juta orang dan tahun 2013 sekitar 86,6 juta.

Isu-isu penting : pertama tentang definisi-stuktur atau mandiri terkait pajak dan lain-lain. Kedua, siapa yang bertanggung jawab membayar premi? Bagaimana sektor informal Filipina masuk dalam skema. 5% dari APBN idealnya untuk jaminan. Amanat UU Kesehatan-perlu dibuat keputusan strategis untuk sektor informal. Jika ada pertanyaan, sesuai tidak dengan yang diharapkan? Ada sekitar 19,9 Trilyun untuk peserta jamkesmas (86.4 juta). Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu kesehatan ibu dan anak-Jamkesmas dan Jamkesda masyarakat harus'membayar biaya kesehatan. Klaim untuk jaminan ini masih sulit dan dana yang dari Pusat terpotong di tingkat daerah.

Prof. dr. Bambang Purwoko, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Rumusan kebijakan Pasal 6 UU No 20 Tahun 2004 SJSN. Informal sejak Orba-dulu menjadi andalan saat krisis-devaluasi rupiah atas dolar. Ada unsur ketidakpastian beroperasi tidak pasti penghasilannya. Mau tidak mau ada keputusan politik dari pemerintah. Secara ekonomi, 70% sudah tidak seimbang. UKM jika terdaftar maka GDP 8000 Trilyun akan lebih banyak lagi. Masalah kepegawaian sejak Orba masih belum ditata hingga hari ini. Harus ada transformasi dari informal ke formal.

Saat beroperasi pajak masuk ke negara. Jika lebih dari enam bulan tidak beroperasi, maka akan terdaftar dalam PBI. Pertama, political will. Kedua, transformasi mengubah pekerja informal ke formal 3,4-18,75% tergantung APBN-dana yang berkelanjutan karena ada penuaan performance product. 2030 kemungkinan masyarakat membayar BPJS Kesehatan. 2050 sudah ada reserved fund atau dana cadangan.

Masalah: pekerja Upah Minimum Provinsi-upah masih bermasalah. Jaminan sosial merupakan variabel tergantung dari pekerja, kualitas dari pajak. Perlindungan jangka panjang harus difasilitasi. Masyarakat yang ter-PHK langsung free fall menjadi informal.

Iskandar Maulana, wakil dari Pembinaan Hubungan Industrial, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sektor informal butuh ketegasan dari pemerintah. Modal kecil, ketrampilan terbatas, rentan resiko sosial, merupakan tiga kelemahan sektor informal. Sulitnya dari informal ke formal, pendidikan rendah-53 juta orang masih berpendidikan SD (informal). Kesempatan terbuka dalam dan luar negri. Pencari kerja dapat kerja yang tepat. Serikat Buruh belum masuk ke jaminan sosial. Sektor informal upah minimum bagi tenaga kerja 0-12 bulan bagi sektor yang terkecil-mikro dan UKM. Upah minimum salah kaprah, harusnya di atas upah minimum.

Penanya yaitu Oda Muchtar (Institut Jaminan Sosial Indonesia) menyampaikan 86 juta peserta JKN dibayar PBI. Menurut data dari Kementrian UKM, 52 juta UKM diduga informal sektor. Bagaimana supaya informal masuk ke Jaminan Sosial. Perpres 46 tahun 2013 pajak untuk UKM 1% dari aset sekitar 5-14 juta minimum setahun. Iuran JKN 500 ribu untuk saving plan. Insentif untuk UKM-membayar pajak. Jadi ada pemasukan dulu baru dialokasikan untuk insentif.

Prof. Ali Ghufron: Bagaimana pajak bisa dikumpulkan? Ekslporasi sumber pembiayaan? 270 M per tahun dari rokok. 270 T dari rokok jika pajaknya dinaikkan bisa mengcover Jaminan Sosial. Sosialisasi tugas pemerintah, media massa dan masyarakat. Khususnya TV terberdaya untuk sosialisasi.

Dr. Lukita, sampai 2019 untuk pencapaian BPJS. Data yang dibutuhkan harus jelas lalu marketing harus independen. Untuk hal-hal tertentu misalnya pensiun ada kewajiban iur. Informal komitmen dari pemerintah. BPJS Ketenagakerjaan saving plan untuk sektor informal.

Bambang-UU SJSN asas keadilan dan gotong royong. Gotong royong : getting benefit, ini salah kaprah, yang benar membayar iur karena ada manfaat yang diperoleh masyarakat.

Prof. Ali Ghufron-roadmap leaflet seminar poster untuk sosialisasi. Sudah dilakukan intensif. Join dengan DJSN dan pemda untuk sosialisasi BPJS. Dengar sudah, kewajiban dan hak belum diketahui secara umum.

Dr. Lukita, Jamkesda-kontribusi sektor informal. Contributory-amanat UU. Untuk kondisi Indonesia saat ini: model kombinasi yang tepat. Ali Ghufron sektor informal bisa dicover pemerintah. Model pembiayaan-bagaimana ke depannya? Mana yang lebih tepat.

Program SJSN ada 5, yang untuk sektor informal tercakup kesehatan-kematian prematur, jaminan hari tua (saving plan).

Isu poin: pertama, sosialisasi-banyak yang belum mau membayar iuran, bagaimana dengan daerah lain yang belum terjangkau. Kedua, bagaimana sistem pembayarannya? Foemulasi terbaik untuk masyarakat Indonesia hak dan kewajibannya.

Seminar Paket Rekomendasi Kebijakan untuk penurunan Kematian Ibu dan Bayi

Kerangka Acuan
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM dalam program
Pengembangan Konsultan Manajemen Kesehatan Ibu dan Anak
untuk mengurangi kematian ibu dan bayi menyelenggarakan:

Seminar
Paket Rekomendasi Kebijakan untuk Penurunan Kematian Ibu dan Bayi
( 29 Oktober 2013 di Gedung Granadi di Jakarta)

dan

Workshop Pengembangan Konsultan Manajemen dan
Tenaga Ahli untuk Penurunan Kematian Ibu dan Bayi
(30 Oktober 2013 di Kampus FK UGM Yogyakarta)

dapat diikuti dengan Live Streaming melalui:

www.kebijakankesehatanindonesia.net
atau
www.kesehatan-ibuanak.net 

  Pendahuluan

Pada akhir bulan September 2013, keluar sebuah berita yang mengejutkan: MDG bertambah. SDKI 2012 memberikan hasil angka kematian ibu (AKI) mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Rata-rata kematian ini jauh melonjak dibanding hasil SDKI 2007 yang mencapai 228 per 100 ribu. Dalam hal ini, meningkatnya AKI ini menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana diketahui, target MDGs adalah 108 per 100 ribu pada 2015. Angka ini memang kontroversial di tingkat pemerintahan sendiri ada yang menolak, namun ada yang menerima.

Di luar kontroversi data ini, salah satu hal penting adalah bagaimana kita mensikapi permasalahan ini. Dengan menggunakan data kematian absolut, di berbagai propinsi memang terjadi kenaikan jumlah kematian ibu. Hal ini yang perlu dibahas. Mengapa terjadi peningkatan kematian ibu? Apakah kebijakan penanganan sudah tepat? Apakah strategi pelaksanaan kebijakan sudah baik di lapangan?

Setelah 4 tahun melakukan kegiatan operasional di NTT dan DIY serta Papua (lihat lampiran 1), PKMK FK UGM mengambil berbagai kesimpulan yang dirangkum dalam usulan Paket Kebijakan untuk mengurangi kematian ibu dan bayi dalam usaha menuju ke perbaikan pencapaian MDGs. Paket kebijakan mencerminkan berbagai kondisi daerah dimana DIY mewakili daerah maju, NTT daerah sulit, dan Papua merupakan daerah yang sangat sulit. Inti paket kebijakan adalah mengacu pada integrasi hulu dan hilir (preventif dan kuratif), penggunaan data absolut agar secara real time terjadi perubahan sikap dan "peningkatan adrenalin" untuk usaha penurunan kematian, perbaikan sistem rujukan dan mutu pelayan klinik, dan dukungan seluruh pihak untuk intervensi kebijakan yang multi disiplin. Pengalaman tersebut juga menunjukan bahwa dalam usaha penurunan kematian ibu dan bayi, diperlukan adanya tim konsultan manajemen dan tenaga ahli yang aktif bekerja.

Dalam konteks situasi pemburukan ini, PKMK FK UGM mengajak pemerintah pusat (Bappenas, Kemenkes, DPR Komisi Kesehatan, Menko Kesra), Pemerintah propinsi dan kabupaten, LSM-LSM kesehatan, Asosiasi Rumahsakit dan Dinas Kesehatan, ikatan profesi, serta para akademisi, peneliti, dan konsultan untuk berfikir ulang mengenai strategi kebijakan MDGs. Perlu ada perbaikan kebijakan dan perubahan strategi untuk mengurangi kematian ibu dan bayi. Perdebatan mengenai metode pengukuran kematian ibu sebaiknya jangan sampai berlarut-larut. Saatnya bangsa Indonesia menatap ke depan dengan mempelajari masa lalu dan masa kini.

Perubahan strategi ini perlu didukung oleh ketersediaan tim konsultan manajemen KIA yang membantu DInas Kesehatan/Pemerintah Propinsi-Kabupaten-Kota dan Kementerian Kesehatan untuk menurunkan kematian ibu dan bayi. Sayang, sampai saat ini belum banyak lembaga konsultan manajemen yang berfokus pada penurunan kematian ibu dan bayi.

 Kegiatan:

Kegiatan 1: Di Jakarta

  1. Seminar mengenai Rekomendasi Kebijakan untuk pengurangan angka kematian ibu dan bayi
  2. Peresmian website khusus KIA untuk penurunan kematian ibu dan bayi: www.kesehatan-ibuanak.net 

Kegiatan 2: Di Yogyakarta

  1. Workshop Pengembangan Konsultan Manajemen dan Tenaga Ahli untuk Menurunkan Kematian Ibu dan Bayi Di Kabupaten

 

  Tujuan:

Seminar di Jakarta

  1. Menyajikan Rekomendasi Kebijakan pengurangan kematian ibu dan bayi untuk kegiatan di Kabupatan, Propinsi, dan Nasional.
  2. Rekomendasi kebijakan ini mencakup kebijakan hulu dan hilir.
  3. Mengembangkan pemahaman mengenai peran, posisi dan kemampuan Technical Assistance/Konsultan untuk penurunan kematian ibu dan bayi di perguruan tinggi.
  4. Mengembangkan berbagai pola pengembangan melalui penggunaan web sites dan teknologi telematika untuk pengurangan kematian ibu dan bayi

Workshop di Yogyakarta

  1. Membahas pengembangan Tim Konsultan Manajemen dan Ahli Teknis KIA di Propinsi dan Kabupaten. Apakah bertumpu di Perguruan Tinggi atau lembaga Swasta? Apabila berada di perguruan tinggi, siapa saja anggotanya dan bagaimana struktur dan proses kegiatannya?
  2. Membahas Proses Bekerja Tim Konsultan (lampiran 2)
  3. Membahas Sumber Pendanaan Tim Konsultan
  4. Memulai kegiatan pengembangan.

 

  Peserta

Seminar   : diharapkan dari para pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah serta dari tim perguruan tinggi*.
Workshop : diharapkan dari tim perguruan tinggi* dan lembaga konsultan swasta yang berminat

*Tim perguruan tinggi terdiri dari:

  1. Ahli kesehatan Masyarakat
  2. SpOG
  3. SpA
  4. Promosi Kesehatan
  5. Ahli Pembiayaan Kesehatan

 

  Tempat, Hari-Tanggal, dan Jadwal Kegiatan

Seminar: Gedung Granadi Jakarta, Selasa 29 Oktober 2013, 12:00-15:00

Jam

Topik

Fasilitator

12:00-13:00

Makan Siang

 

13:00-13:05

Pengantar

Prof. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

13:05-13:15

Paket Rekomendasi Kebijakan untuk Penurunan AKI-AKB: Berdasarkan Pengalaman PKMK FK-UGM selama 4 tahun di DIY, NTT dan Papua

Prof. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

13:15-13:25

Pendekatan Hilir dalam Intervensi KIA

  Dr. Rukmono SPoG

13:25-13:35

Pendekatan Kebijakan Hulu mendekati Hilir

  Dr. Sitti Noor Zaenab, MKes

13:35-14:45

Diskusi

Moderator:

Dr. Hanevi Djasri MARS

14:45-15:00

Kesimpulan

 

15:00-15:30

Launching Website KIA: www.kesehatan-ibuanak.net  sambil coffee break)

pengembangan berbasis web

 

15:30-16:15

Diskusi Tim Perguruan Tinggi

 

16:15-16:30

Penutup

 

 

Workshop: Ruang Senat Kampus FK-UGM, Yogyakarta, Rabu 30 Oktober 2013, 08:00-15:00 

WAKTU

ACARA

FASILITATOR

08.00 – 08.30

Registrasi Ulang

08.30 – 09.00

Pembukaan & Pengantar Workshop

dr. Hanevi Djasri, MARS

Sesi 1

09.00 – 09.30

Langkah-langkah Pengembangan Kegiatan Konsultasi KIA

dr. Hanevi Djasri, MARS

09.30 – 10.00

Diskusi Kelompok I

Fasilitator Kelompok A

Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH
dr. Hanevi Djasri, MARS
Nasyiatul Aisyah Salim, SKM, MPH
Digna Niken P., S.Gz, MPH

Fasilitator Kelompok B

Deni Hardianto, SE, Akt
dr. Sitti Noor Zaenab, M.Kes
Armiatin, SE, MPH
dr. Likke Putri, MPH

Fasilitator Kelompok C

Yos Hendra, SE, Akt, MM
dr.Tiara Marthias, MPH
Drg. Puti Aulia Rahma, MPH
DR. dr. Dwi Handono, M.Kes

10.00 – 10.30

Presentasi Kelompok

10.30 – 11.00

REHAT

Sesi 2

11.00 11.30

Pengembangan Tim dan Pembelajarannya

Dr. dr. Dwi Handono S., MKes

11.30 – 12.00

Diskusi Kelompok II

Fasilitator Kelompok A

Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH
dr. Hanevi Djasri, MARS
Nasyiatul Aisyah Salim, SKM, MPH
Digna Niken P., S.Gz, MPH

Fasilitator Kelompok B

Deni Hardianto, SE, Akt
dr. Sitti Noor Zaenab, M.Kes
Armiatin, SE, MPH
dr. Likke Putri, MPH

Fasilitator Kelompok C

Yos Hendra, SE, Akt, MM
dr.Tiara Marthias, MPH
Drg. Puti Aulia Rahma, MPH
DR. dr. Dwi Handono, M.Kes

12.00 – 12.30

Presentasi Kelompok

12.30 – 13.30

ISHOMA

Sesi 3

13.30 – 14.00

Identifikasi calon klien dan sumber pendanaan

dr. Hanevi Djasri, MARS

14.00 – 14.30

Diskusi Kelompok III

Fasilitator Kelompok A

Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH
dr. Hanevi Djasri, MARS
Nasyiatul Aisyah Salim, SKM, MPH
Digna Niken P., S.Gz, MPH

Fasilitator Kelompok B

Deni Hardianto, SE, Akt
dr. Sitti Noor Zaenab, M.Kes
Armiatin, SE, MPH
dr. Likke Putri, MPH

Fasilitator Kelompok C

Yos Hendra, SE, Akt, MM
dr.Tiara Marthias, MPH
Drg. Puti Aulia Rahma, MPH
DR. dr. Dwi Handono, M.Kes

14.30 – 15.00

Presentasi Kelompok

Sesi 4

15.00

PENUTUP

dr. Hanevi Djasri, MARS

 

Biaya

Seminar:

  1. Tatap muka Rp 200.000,- per orang (penggati makan siang sebesar)
  2. Jarak jauh (streaming) Rp. – (tidak dipungut biaya)

Workshop

  1. Tatap muka Rp 4.000.000,- per tim (5 orang)
  2. Jarak jauh (streaming) Rp. 2.500.00,- per tim (5 orang)

 

  Pendaftaran

Angelina Yusridar / Hendriana Anggi

Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2, Fakultas Kedokteran UGM
Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-549425 (hunting)
Mobile : +628111409442 / +6281227938882
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.; This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 


Lampiran 1: Pengalaman PKMK FK-UGM

Peningkatan kematian ibu sudah diduga sejak lima tahun yang lalu. Pada tahun 2009, kelompok studi MDGs Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM memprediksi bahwa ada kemungkinan terjadi stagnasi dan bahkan pemburukan situasi. Dilakukan analisis kebijakan KIA. Hasil analisis kebijakan menunjukkan bahwa ada ketidak logisan dalam kebijakan KIA. Berbasis analisis ini, sejak tahun 2009, PKMK FK UGM melakukan berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan yang tujuan utamanya untuk langsung memberikan dampak pada kematian ibu dan bayi.

Kegiatan-kegiatan tersebut adalah: Riset Operasional mengenai Sister Hospital dalam kerangka Revolusi KIA NTT untuk meningkatkan kemampuan PONEK RS, dukungan terhadap PONED Puskesmas, pengembangan SDM KIA di NTT, sampai penyusunan manual rujukan kesehatan ibu dan anak. Kegiatan ini bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi NTT, Kemenkes, dan AusAId dalam program AIPMNH. Kematian Ibu secara absolut di NTT menurun. Pada tahun 2010: 252, tahun 2011: 208, dan tahun 2012: 172. Jika angka absolut diubah menjadi rates, akan menjadi: 288 (tahun 2010), 222, dan 177(tahun 2011). Sumber data adalah: Laporan F1 – F8 Thn dan Laporan Indikator Antara Revolusi KIA NTT 2010-2012 Kab/Kota melalui Bidang Kesmas Dinkes NTT

Sejak tahun 2011 dilakukan kerjasama dengan pemerintah Propinsi DIY dan Kementerian Kesehatan untuk penurunan kematian ibu dengan menggunakan pendekatan surveilans-respon kematian ibu-bayi dan penyusunan manual rujukan. Kegiatan dilakukan karena data absolut menunjukkan peningkatan (tahun 2009: 36 kematian menjadi 56 di tahun 2011). Setelah hampir dua tahun DinKes Porpinsi dan Kabupaten/Kota melakukan kegiatan dengan penekanan pada surveilans kematian dan respon ketat, ada perubahan yang tercatat. Pada tahun 2012, kematian ibu jumlahnya 41, dan pada tahun 2013 (sampai bulan September) adalah 26. Sumber data: Dinas Kesehatan Propinsi DIY.

Pengembangan di Papua dilakukan bekerjasama dengan UNICEF untuk Perencanaan Berbasis Bukti dan USAID untuk peningkatan kinerja Puskesmas. Kegiatan ini masih berupa pengembangan input dan infrastruktur untuk kesehatan ibu dan anak melalui perencanaan dan prinsip peningkatan kinerja. Dimulai sejak tahun 2012. Kegiatan ini belum banyak dihubungkan dengan penurunan atau peningkatan kematian.

Lampiran 2: Konsultan Manajemen dan Tenaga Ahli KIA

Dibayangkan di sebuah kabupaten, tim konsultan ini melakukan kerjasama dengan pemerintah kabupaten setempat dengan kontrak multi-years. Janji atau target tim konsultan adalah dalam waktu 3 – 5 tahun dapat menurunan kematian ibu dan bayi melalui perubahan cara kerja program kesehatan ibu dan anak di kabupaten tersebut.

Tim ini mempunyai anggota yang multi disiplin, antara lain:

  1. Ahli manajemen pelayanan kesehatan
  2. Dokter Spesialis Obsgin atau dokter umum yang memahami masalah kebidanan dan kandungan, atau bidan;
  3. Dokter Spesialis Anak atau dokter umum yang memahami masalah kesehatan anak;
  4. Ahli epidemiologi;
  5. Promotor kesehatan.

Tim bekerja dengan klien pemerintah daerah dan berbagai pihak terkait di kabupaten, misalnya: tokoh-tokoh masyarakat, LSM-LSM, POGI setempat, IDAI setempat, IBI setempat, IDI setempat, dan berbagai kelompok masyarakat.

  1. Pengembangan Tim Konsultan Manajemen dan Ahli Teknis KIA di Propinsi dan Kabupaten. Apakah bertumpu di Perguruan Tinggi atau lembaga Swasta? Apabila berada di perguruan tinggi, siapa saja anggotanya dan bagaimana struktur dan proses kegiatannya?
  2. Proses Bekerja Tim Konsultan.

    Pra-Kontrak:
    1. Melakukan pendekatan ke Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten mengenai perlunya tim konsultan manajemen dan ahli teknis KIA untuk menurunkan kematian ibu dan bayi
    2. Menyusun perjanjian kerjasama yang bersifat multi-year dengan pemerintah kabupaten dan proponsi dengan dukungan Kementerian Kesehatan.

      Di dalam Kontrak:
    3. Melakukan analisis kebijakan KIA di propinsi dan kabupaten yang bersangkutan
    4. Melakukan Perencanaan Berbasis Bukti dan menyusun Strategi Pengembangan dengan indicator kinerja Jumlah Kematian Absolut. Penurunan jumlah kematian absolut yang sebenarnya merupakan indicator keberhasilan Tim Konsultam.
    5. Penentuan Strategi Pengembangan dengan menggunakan pemetaan intervensi dari hulu ke hilir
    6. Melakukan Monitoring dan Evaluasi kebijakan, strategi dan program yang dijalankan. Pasca Kontrak
    7. Melakukan Monitoring kegiatan secara independen dan terus menerus.
       
  3. Sumber Pendanaan Tim Konsultan:
    1. APBN: Dana dekonsentrasi
    2. APBD: Tenaga ahli
    3. Sumber dana luar negeri
    4. Corporate Social Responsibility
    5. Dana pengabdian dan penelitian dari perguruan tinggi yang bersangkutan.

 

Angka Kematian Ibu (AKI) dari SDKI yang meningkat tinggi di tahun 2012 (359)

Untuk bahan pembahasan, kami berharap teman-teman dapat melihat di website www.kebijakankesehatanindonesia.net  yang melaporkan isi pertemuan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang diselenggarakan dalam rangka KONAS IAKMI pada awal bulan September lalu di Kupang. Pada pertemuan tersebut memang angka SDKI belum keluar, namun kami sudah mendengar "bocoran" namun tidak berani menggunakan kata "melonjak tinggi". Kami menggunakan kata stagnasi, yang memang sudah diduga sejak 5 tahun yang lalu.

Silahkan klik pada link berikut: http://kebijakankesehatanindonesia.net/component/content/article/1883.html 

Anda dapat membaca laporan

SESI I.1

Analisis Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak di Berbagai Daerah : Bagaimana data Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia. Mengapa Terjadi Stagnasi Program?

Jadual diskusi yang akan diselenggarakan di miling-list ini adalah: asd

    • Senin 30 September – Sabtu 5 Oktober 2013: Diskusi mengenai kebijakan KIA selama ini di Indonesia
    • Senin 7 Oktober – Sabtu 12 Oktober 2013: Diskusi mengenai Pemetaan Intervensi yang efektif untuk pelaksanaan kebijakan KIA
    • Senin 14 Oktober – Sabtu 19 Oktober 2013: Diskusi mengenai Policy Brief di Hulu
    • Senin 21 Oktober – Sabtu 26 Oktober 2013: Diskusi mengenai Policy Brief di Hilir.

Selasa 20 Oktober 2013: Diskusi tatap muka di Jakarta dan pembahasan strategi pelaksanaan policy brief.

Diteruskan dengan persiapan untuk pelaksanaan strategi baru penurunan kematian ibu dan bayi untuk tahun 2014 dan 2015 bagi daerah yang sukarela ikut. Diskusi persiapan ini akan dilakukan dan mengajak:

  1. Kemenkes
  2. Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupatan yang bersedia
  3. Tim Pendamping ahli dari Perguruan Tinggi di berbagai daerah/lembaga swasta yang bersedia menjadi konsultan.

Dengan strategi ini diharapkan diskusi di miling-list ini dapat memberikan inspirasi bagi para Agent of Change di daerah untuk mencoba mempraktekkan strategi baru di daerah masing-masing.

Siapa Agent of Change di daerah?

  1. Pemerintah Daerah: Bupati/Walikota, DInas Kesehatan, Direktur RSUD, Kepala Dinas lain di luar kesehatan yang terkait, anggota DPRD, dll
  2. Swasta/Masyarakat: Tokoh-tokoh masyarakat, LSM-LSM, POGI setempat, IDAI setempat, IBI setempat, IDI setempat, dan berbagai kelompok masyarakat
  3. Tim pendamping dari Perguruan Tinggi yang tersusun dari: ahli manajemen kesehatan masyarakat, dokter spesialis obsgin, dokter spesialis anak, bidan, ekonom pembangunan, promotor kesehatan dan ahli lain yang terkait dengan strategi.

Dalam pelaksanaannya nanti diperlukan para pemimpin dari berbagai profesi di daerah yang sadar bahwa kematian ibu dan bayi harus dikurangi secara radikal, dengan kegiatan nyata di lapangan. Tidak hanya bicara di seminar, adu argument ilmiah tanpa bukti di lapangan, ataupun saling menyalahkan di media.

Terimakasih atas perhatiannya.
Daftarkan diri anda (jika belum) di miling-list desentralisasi kesehatan. Pendaftaran pada saudari Heny Rohmi

This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 

Kami tunggu komentar anda di miling list desentralisasi kesehatan.

Reportase NCD day 2

Persiapan Pelayanan Kesehatan dan Sistem Di Masyarakat
untuk Penanggulangan Penyakit Tidak Menualar

r2ncd

Sesi ini di moderatori oleh Dr. Yayi Suryo Prabandari, pembahasan mengenai tantangan dan penanggulangan penyakit tidak menular tidak hanya dapat ditangani dengan cara-cara tradisional. Diperlukan inovasi dan pendekatan yang lebih untuk menghadapinya. Salah satu inovasi yang diungkap dalam seminar ini adalah sistem informasi kesehatan dan pendekatan sistem kemasyarakatan.

dr. Lutfan Lazuardi, PhD mencontohkan dengan inovasi di sistem teknologi informasi kesehatan. Misalnya, penerapan telemedicine di Swedia, dimana dokter dan pasien dapat berkomunikasi dan melakukan pemeriksaan dari jarakjauh.

Penjelasan tersebut ditambahkan oleh Dr. Maria Nillson dengan pengembangan sistem berbasis masyarakat untuk mengontrol penyakit tidak menular di Vasterbotten, Swedia. Dengan pendekatan ini, kita akan mendapatkan potensi yang maksimal dari masyarakat, kekuatan dalam kapasitas serta keberlanjutan kegiatan akan lebih pasti.

Bagaimana cara penguatan sistem dimasyarakat terutama di negara berkembang ? Hal ini dibahas oleh Dr. Fatwa Sari Tetra Dewi dengan menekankan pada pemberdayaan masyarakat. Misalnya pada pengalaman program pengurangan penyakit jantung di Yogyakarta (Proriva).

Dua sesi berikutnya adalah presentasi poster.Kegiatan poster diikuti lebih dari 20 peserta dari berbagai negara. Menarik, mereka saling bertukar pengalaman dalam penanggulangan penyakit tidak menular, banyak poster membahas tentang kontrol rokok, obesitas, dan gizi. Diakhir kegiatan, tiga presenter poster terpilih sebagai pemenang dan penghargaan pada satu presenter yang mengangkat tentang hak asasi manusia.

Sintesis internasioanal simposium disampaikan oleh dr. Yodi Mahendradata, PhD, salah satu pesannya bahwa penanggulangan penyakit tidak menular memerlukan dukungan system kesehatan yang baik untuk itu kita tidak bisa menghindarkan diri dari politik. Senang tidak senang kita harus memperjuangkan penyakit tidak menular dengan dukungan kebijakan dan politik. Selain juga, dukungan inovasi dan penguatan sistem di masyarakat.

 

 

Forum Internasional Expanding Coverage for Formal Sector

sponsor

Kerangka Acuan

Forum Tingkat Tinggi Pembelajaran Antar Negara untuk
Perluasan Cakupan Sektor Informal Menuju Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

29 September – 2 oktober 2013
Royal Ambarrukmo Hotel Jogjakarta

 

 Latar Belakang

Banyak negara di dunia, dan yang tergabung dalam Joint Learning Network for Universal Health Coverage (JLN) sedang berupaya menuju Cakupan Kesehatan bagi seluruh penduduknya (UHC), termasuk Indonesia, Filipina, Thailand, China dan Korea. Umumnya Jaminan kesehatan bagi pegawai pemerintah, tentara/polisi, pegawai swasta formal dan masyarakat miskin sudah ada mekanisme yang mengatur dan sudah berjalan meskipun masih ada kendala di lapangan. Hal yang menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana mencakup masyarakat di sektor informal dan atau hampir miskin seperti petani, nelayan, supir, pedagang kaki lima, dsb.

Khusus untuk Indonesia, hal itu merupakan tantangan yang harus dihadapi dan memerlukan masukan dari berbagai pihak mengingat bahwa BPJS Kesehatan akan mulai dilaksanakan pada tahun 2014. Semua warga negara Indonesia termasuk pekerja informal dan formal pada akhir tahun 2019 akan mendapatkan jaminan kesehatan. Namun keadaan saat ini, sejumlah besar pekerja sektor informal belum tercakup dalam jaminan kesehatan. Meskipun ada perluasan Jamkesmas dari 76,4 juta orang menjadi 86,4 juta yang akan dicakup BPJS tahun 2014, sejumlah besar pekerja sektor informal ini masih belum tercakup jaminan kesehatan.

Pekerja sektor informal adalah pekerja yang tidak mendapatkan gaji (unsalaried) dan tidak memiliki hubungan formal perusahaan-karyawan atau disebut sebagai pekerja di Luar Hubungan Kerja (LHK). Ada sekitar 73,2 juta orang di Indonesia termasuk dalam kategori pekerja sektor informal (diantaranya 53,2 juta mendapatkan upah dan 20 juta lagi tidak mendapatkan upah). Menurut Informal Economy Study (IES)1 tahun 2011/2012, sekitar 31,2 juta pekerja sektor informal (yang mendapat upah) tidak akan ditanggung jaminan kesehatan pada tahun 2014.

Persoalan yang perlu diperhatikan adalah, akan ada sejumlah besar pekerja informal yang tidak termasuk dalam kategori penerima bantuan iuran, harus membayar iuran/kontribusi kepada BPJS Kesehatan, termasuk pekerja informal yang dekat titik cut off (pemisah antara wajib membayar dan tidak); yaitu dengan hanya sedikit peningkatan pendapatan akan mengakibatkan mereka harus membayar iuran/kontribusi secara penuh dan begitu pula sebaliknya. Di sisi lain, jika semua pekerja sektor informal mendapat subsidi bantuan iuran, maka akan terjadi orang dengan kemampuan membayar yang sama akan diperlakukan secara berbeda berdasarkan status hubungan kerja mereka (formal vs. informal). Dan, seperti yang Wagstaff (2012) telah temukan di Thailand, kontribusi pemerintah ternyata mendorong terjadinya informalisasi yang lebih besar.

Kemampuan membayar dan kemauan membayar iuran jaminan kesehatan merupakan dua isu yang perlu diperhatikan. Masyarakat belum beranggapan bahwa iuran sebagai sesuatu hal yang baik. Hal ini dilihat dari masih tingginya pengeluaran langsung (out-of-pocket),serta belum maksimalnya penggunaan fasilitas layanan (mungkin belum memenuhi kualitas yang diinginkan).

Di sisi sektor keuangan, iuran jaminan kesehatan diperlukan untuk menjamin kebijakan fiskal yang sehat dan sebagai komplemen terhadap anggaran pemerintah yang terus meningkat untuk sektor kesehatan dan subsidi jaminan kesehatan masyarakat miskin.

Oleh karena itu beberapa kalangan berpendapat bahwa strategi yang komprehensif diperlukan untuk menangani masalah sektor informal, yakni meliputi konseptualisasi, kebijakan implementasi, perencanaan, pemasaran sosial, partisipasi, dan metode pengumpulan iuran. Unsur-unsur strategi implementasi dapat diujicobakan di beberapa daerah, dengan mempertimbangkan keragaman sektor informal dalam hal karakteristik sosial ekonomi, sosial budaya dan daerah. Beberapa pemikiran yang sering mengemuka antara lain, apakah kebijakan iuran/kontribusi atau subsidi, atau beberapa kombinasi akan digunakan untuk mencapai target cakupan Jaminan Kesehatan Nasional pada tahun 2019.

 

  Tujuan

Sesuai dengan pendekatan countres practice learning to learning practice dalam JLN, forum ini bertujuan:

  1. Mengkaji isu mengenai perluasan cakupan kesehatan dengan fokus pada masyarakat hampir miskin dan sektor informal berdasarkan pengalaman antar negara
  2. Mempresentasikan isu-isu dan pendekatan dari negara masing-masing, dan mendiskusikan solusi yang mereka tempuh untuk mengatasi masalah cakupan kesehatan semesta (UHC), membahas bagaimana mereka mengatasi masalah cakupan kesehatan untuk kelompok populasi yang lebih sulit dijangkau.
  3. Menggambarkan dampak dari pendekatan yang berbeda terhadap kebijakan tenaga kerja, kebijakan fiskal dan pertumbuhan ekonomi makro juga akan disajikan dan dibahas dalam forum ini.
  4. Mengembangkan perpaduan praktik terbaik global dan mengembangkan beberapa pendekatan langkah demi langkah untuk mengembangkan pilihan dan solusi guna menjangkau masyarakat sector informal.

 

  Peserta

Peserta forum berjumlah sekitar 100 orang, terdiri dari para pengambil kebijakan di tingkat nasional, pemerintah daerah propinsi dan kabupaten, wakil rakyat, lembaga profesi, akademisi, wakil organisasi masyarakat, praktisi BPJS, dengan narasumber JLN countries , dalam dan luar negeri,

  Agenda

29 September – 2 oktober 2013
Royal Ambarrukmo Hotel Jogjakarta
Agenda selengkapnya silahkan 

  Waktu dan Tempat

Forum akan diawali dengan "welcome dinner" pada hari Minggu tanggal 29 September 2013 dilanjutkan dengan Acara Forum Diskusi Senin 30 September 2013 sampai dengan Rabu 2 Oktober 2013 bertempat di Hotel Royal Ambarrukmo, Kota Yogyakarta. Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi sdr. Emy, PPJK Kemenkes (021-5221229, hp 081398149097), Yuni Astuti, Pusat KPMAK FK GM ( 0274-544044 / 631022, HP : 0811283824).

Reportase NCD day 1

Opening Remarks

Pembukaan Symposium on Research, Policy & Action to
Reduce the Burden of Non-Communicable Diseases

r1ncd

Pembukaan Symposium on Research, Policy & Action to Reduce the Burden of Non-Communicable Diseases, diselenggarakan pada Kamis (26/09/2013) di Auditorium Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kegiatan ini akan berlangsung hingga Jumat (27/9/2013), kurang lebih 200 orang mahasiswa berbagai minat FK UGM maupun dari universitas lain mengikuti acara ini. Hadir pula para peserta lain dari kalangan profesional di Indonesia maupun luar negeri. Acara dibuka dengan tarian yang dipersembahkan oleh Roro Sinta Puji Wiboyo, mahasiswa FK UGM. Kemudian, dilanjutkan dengan laporan kegiatan yang dipaparkan oleh dr. Fatwa Sari Tetra Dewi, MPH, PhD. Acara secara resmi dibuka dengan pemukulan Gong oleh Dekan FK UGM, Prof . Dr. dr. Teguh Aryandono, Sp.B (K) Onk.

Sesi 1

NCDs, Health and Development agendas

r1ncd2

Tema yang diangkat pada sesi pertama Simposium Internasional tentang Penelitian Kebijakan, dan aksi pengurangan penyakit tidak menular ini adalah NCDs, Health and Development. Sesi ini menghadirkan dua pemateri yaitu Dr Yodi Mahendradhata, MSc, PhD dan Dr. drg. Theresia Ronny Andayani, MPH. Presentasi pertama disampaikan oleh Dr Yodi Mahendradhata, MSc, PhD yang menyoroti tentang masih banyaknya masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia, adanya pembangunan Millennium Development Goals 4 dan 5 juga tidak cukup mengatasi berbagai masalah lapangan kerja yang produktif, kekerasan terhadap perempuan, perlindungan sosial, ketimpangan, penyingkiran sosial, keanekaragaman hayati, malnutrisi dan peningkatan penyakit tidak menular, kesehatan reproduksi dan kompleksitas yang berkaitan dengan dinamika demografi, perdamaian dan keamanan, pemerintahan, supremasi hukum dan hak asasi manusia. Terkait hal tersebut terdapat empat dimensi pembangunan berkelanjutan yang direncanakan untuk kedepannya yaitu pembangunan nasional, inklusi sosial, kelestarian lingkungan dan pemerintahan yang baik.

Pemaparan kedua disampaikan oleh Dr. drg. Theresia Ronny Andayani, MPH, Menurutnya ada banyak agenda-agenda kedepan yang akan di kerjakan di Indonesia. Muncul delapan fokus prioritas nasional untuk kesehatan yaitu 1) meningkatkan kesehatan ibu dan keluarga, 2) perbaikan gizi, 3) CD dan NCD kontrol, kesehatan lingkungan, 4) meningkatkan tersedianya, keterjangkauan, keamanan, kualitas, makanan dan obat, 5) Jamkesmas, 6) pengembangan, bencana dan krisis manajemen komunitas, dan 7) meningkatkan layanan kesehatan primer, sekunder dan tersier. Dari kedelapan fokus prioritas tersebut pengurangan penyakit tidak menular masuk dalam prioritas ketiga, menurut data Riskesdas penyakit tidak menular di Indonesia masih tinggi. Stroke masih menjadi penyebab utama kematian di Sumatera dan Jawa. Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang telah membuat perencanaan untuk prioritas tersebut. Pernyataan Dr. drg. Theresia Ronny Andayani, MPH ini disambut meriah oleh peserta yang hadir dengan tepuk tangan.

Sesi 2

Hubungan Perubahan Iklim dengan Penyakit Tidak Menular

r1ncd4

Sesi kedua, pembahasan lebih banyak tentang hubungan dan dampak perubahan cuaca terhadap penyakit tidak menular. Secara signifikan penyakit tidak menular meningkat seiring peningkatan temperatur suhu bumi. Perubahan iklim juga menyebabkan banyaknya korban dan kematian akibat bencana. Begitu juga dengan upaya pencegahan perubahan iklim pada sektor lain memperlihatkan penurunan angka penyakit tidak menular.

Prof. Dr. Rainer Sauerborn dari Universitas Heildelberg, Jerman memaparkan secara jelas bagaimana perubahan cuaca berhubungan dengan penyakit tidak menular. Hal ini merupakan tantangan dari penelitian dan kebijakan kesehatan karena perubahan apapun yang terjadi untuk menangani perubahan iklim akan berdampak bagi sektor kesehatan.

Kasus penyakit yang berhubungan dengan dampak perubahan iklim di Indonesia dipaparkan oleh Prof. Dr. Hari Kusnanto dari Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Gadjah Mada. Contohnya, peningkatan permukaan suhu laut berdampak pada kehidupan nelayan dan keluarganya. Begitu juga dengan kekeringan yang terjadi akhir-akhir ini berdampak pada meningkatnya penyakit tidak menular dan kasus kurang gizi.

 

Sesi 3

Strategi Sektor Kesehatan untuk Mencegah dan
mengendalikan Non-Communicable Diseases (NCD)

r1ncd3

Sesi ini di awali oleh permainan Piano Prof. Dr Rainer Sauerborn. Peserta sangat terhibur dengan adanya permainan piano tersebut. Setelah itu acara dilanjutkan kembali, pada sesi ini ada 2 pembahas yaitu Dr. dr. Hernani Djarir, MPH dan dr. Prima Yosephine , kedua pembahas ini menyoroti Strategi Strategi Sektor Kesehatan untuk Mencegah dan mengendalikan Non-Communicable Diseases (NCD).

Setiap tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena NCD (63 % dari seluruh kematian) dan hampir setengah (14 juta) kematian NCD terjadi sebelum usia 70 tahun. Penyebab kematian terbesar NCD adalah kardiovaskular, kanker, penyakit pernapasan kronis dan diabetes yang hampir 80 % kematian NCD ini terjadi di Negara berpenghasilan rendah dan menengah dan sebagian besar bisa dicegah. Dampak negative dari epidemic NCD ini ternyata menimbulkan dampak yang serius bagi kehidupan masyarakat seperti mengurangi produktivitas dan berkontribusi terhadap kemiskinan. Sehingga NCD menciptakan beban yang cukup signifikan terhadap system kesehatan dan beban ekonomi pada suatu Negara.

Tiga pilar strategi Dunia untuk mencegah dan mengendalikan NCD adalah dengan surveillance (melakukan pemetaan epidemic dari NCD), prevention (mengurangi tingkat paparan faktor risiko) dan management (memperkuat pelayanan kesehatan untuk penderita NCD). Lalu bagaimana strategi Indonesia mencegah dan mengendalikan NCD?

Tantangan dalam mencegah dan mengendalikan NCD di Indonesia adalah (1) kesenjangan layanan (upaya untuk mengontrol NCD belum difokuskan dan masih terfragmentasi, terbatasnya akses di daerah pedesaan dan masyarakat miskin); (2) kesenjangan system kesehatan (alokasi anggaran kesehatan yang terbatas, tidak tepat waktu, tidak proposional dan tenaga kesehatan yang tidak memadai, terlatih dan tidak cukup diberdayakan); dan (3) Kesenjangan kebijakan (sector program yang distorsi (tidak efisien) dan berlebihan; pemerintah daerah yang belum berorietasi pada skala prioritas (seperti MDGs) berdasarkan rencana anggaran).

Kebijakan kesehatan yang telah dibuat Pemerintah Indonesia sebagai salah satu cara mencegah dan mengendalikan NCD meliputi

  1. PP No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan
  2. Permenkes No 28 Tahun 2013 tentang pencantuman peringatan kesehatan dan informasi kesehatan pada kemasan produk tembakau
  3. Permenkes No 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman informasi kandungan gula, garam dan lemak serta pesan kesehatan untuk pangan olahan dan pangan siap saji guna menekan konsumen dari penyakit tidak menular

Indonesia melakukan pencegahan dan pengendalian NCD dengan multi sektoral yaitu (1) mengurangi factor risiko yang dimodifikasi melalui intervensi yang cost-effective; (2) mengembangkan dan memperkuat kegiatan pelayanan kesehatan berbasis masyarakat untuk meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian factor risiko NCD. Program NCD yang dilakukan seperti (1) promosi kesehatan melalui pos pembinaan terpadu pada masyarakat yaitu menjelaskan perilaku hidup sehat (tidak merokok, makan makanan yang sehat, melakukan aktivitas yang sehat); (2) pengendalian terpadu pada factor risiko NCD (hipertensi, perokok, obesitas) melalui dokter keluarga dan puskesmas; (3) rehabilitasi pada kasus NCD melalui home care, monitoring & controlling.

Kesimpulannya untuk melawan NCD perlu tindakan yang cepat dan kepemimpinan yang kuat di tingkat global, regional dan nasional.

Sesi 4

Peningkatan Tanggung jawab Sistem Kesehatan
terhadap Penyakit Tidak Menular

r1ncd5

Sesi terakhir ini mengalir dalam pembahasan mengenai respon sistem kesehatan menangani ancaman penyakit tidak menular. Dimoderatori langsung oleh Prof. Laksono Trisnantoro, diskusi tentang penilaian Dr.Krishna Hort (Nossal Institute, Universitas Melbourne, Australia) terhadap sistem kesehatan Indonesia langsung dikomentari oleh Dr. Soewarta A Kosendari perwakilan Kementerian Kesehatan.

Dampak peningkatan penyakit tidak menular akan memperbanyak kerja enam komponen sistem kesehatan. Misalnya, pembiayaan kesehatan akan meningkat dengan berulangnya pengobatan penyakit tidak menular. Selain itu mampukah pelayanan kesehatan dan sumberdaya kesehatan kita dalam menyikapi penyakit tidak menular yang penanganannya berbeda dengan penyakit menular. Misalnya, masih sulitnya tenaga kesehatan dalam menentukan penyebab dari penyakit tidak menular.

Dalam presentasinya, Dr. Krisna Hort menunjukkan tools untuk mengukur kesiapan sistem kesehatan suatu negara menghadapi penyakit tidak menular. Bangladesh dan Fiji menjadi negara yang telah dinilai dan hasilnya mereka masih pada fase kedua yang baru menapaki masa pelaksanaan. Bagaimana dengan Indonesia? Selengkapnya silahkan simak materi Dr. Krisna Hort dan tanggapan mengenai penelaian tersebut simak pada materi Dr. Soewarta A. Kosen.

 

 

Reportase Winter School day 2

Refleksi dari peserta

Kebijakan health for all mengacu pada Universal Health Coverage (UHC), tujuannya ialah kesetaraan kesehatan untuk semua orang. Universal health care yaitu kesehatan untuk semua orang bahkan yang mengalami disabilitas, misal di Jerman mereka menempatkan huruf Braile di transportasi publik.

Sementara, health in all yaitu kesehatan masuk dalam semua semua sektor, misalnya Kementrian Perhubungan, Kementrian Pendidikan dan lain-lain. Bridge untuk menghapus gap yang ada di masyarakat? Bridge yang bisa dibentuk salah satunya pendidikan, pendidikan ini yang akan membantu menghilangkan gap.

Modul:

Geospatial differences: the role of social and environmental variables

lutfan

Modul ini disampaikan oleh Lutfan Lazuardi, dosen dari FK UGM. Faktor yang mempengaruhi SDH meliputi: sosial ekonomik, transportasi, perumahan, akses untuk servis kesehatan, grup sosial dan tekanan lingkungan atau sosial. Perbedaan geospasial terlihat dari distribusi dokter di Indonesia terpusat di kota, bahkan di DIY juga begitu. Atau kasus masyarakat Jogja yang berada di bawah garis kemiskinan yang tinggal di bantaran sungai terancam penyakitmisalnya TBC. Hal tersebut diungkap penelitian yang berjudul Delayed treatment of TB patients in rural areas of Yogyakarta provice, Indonesia-Yodhi Mahendradata, et al. Seharusnya data ini bisa diambil untuk menjadi masukan dalam perumusan kebijakan.

Kolaborasi antar sektor dan penemuan kasus yang tepat sangat dibutuhkan. Misalnya untuk kasus darurat persalinan di Yogyakarta. Kondisinya seperti ini: RS yang terdekat sering penuh, jadi, dibutuhkan informasi yang terintegrasi mana yang akan dituju ketika kedaan darurat. Kombinasi pengukuran atas keadaan dan strategi untuk mengukur estimasi bisa menjadi solusi, yaitu melalui google map untuk melihat traffic dan seberapa jauh harus berpindah. Lalu masalah geospasial lain yang terjadi yaitu air di Yogya sudah tercemar nitrat, sekitar 98 persen dari populasi yang ada.

Masalah besar dalam kesehatan di Indonesia ialah perbedaan pembangunan yaitu sangat modern dan sangat terpencil. Lalu diikuti biaya hidup yang terlalu tinggi di suatu daerah. Hal ini terjadi di Indonesia, misal untuk program vaksinasi harus berbeda besaran biayanya untuk masing-masing daerah. Misal Aceh-Jogja-Papua. Selain itu, untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi, bisa disusun regulasi hulu untuk sarana telekomunikasi dan transportasi: mungkin bisa dilakukan telemedicine di negara ini. Bisa menjadi universal service public transportation, untuk membuka remote area pada akses kesehatan. Atau dapat diikuti dengan dibukanya penerbangan perintis dari perusahaan penerbangan Indonesia, namun hal ini perlu advokasi ke pemerintah. Penerbangan ini bisa untuk semua hal, bukan hanya kesehatan. Hal yang perlu digarisbawahi, masih dibutuhkan komitmen dari pemerintah untuk menghubungkan akses antar pulau. Lalu, masalah persebaran dokter umum dan spesialis yang harus dipikirkan ulang. Silahkan simak paparan selengkapnya 

Modul:

Social networks and exclusion:
The case of medical pluralism among the urban floor in yogyakarta

siwi

Penelitian "Social network and exclusion: The case of medical pluralism among the urban floor in Yogyakarta" disampaikan oleh Retna Siwi Padmawati. Penelitian ini dilakukan secara antropologi dan menemukan banyak hal menarik. Pembukaan dari sesi ini, Siwi menyampaikan bahwa pemerintah memberikan asuransi pada masyarakat sejak 2005 dalam bentuk jamkesmas, jamkesda, dan lainnya. Seting untuk riset ini masih banyak masyarakat di bantaran sungai yang melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya mandi, cuci piring dan lain-lain di sungai.

Responden yang terlibat dalam penelitian ini bekerja di sektor informal. Dalam proses penelitian ini, Siwi menemukan ada tukang gigi yang tidak bersertifikat, hal ini bisa memicu infeksi gigi. Sedangkan, tidak ada penyelamatan dari pemerintah pada warga dari hal seperti itu. Kebijakan dan sistem kesehatan di Indonesia harus melihat, pertama: banyak proses sosial dalam masyarakat. Kedua, akses pada fasilitas kesehatan dan pengobatan alternatif. Ketiga, ekonomi politik sosial budaya merupakan empat elemen yang saling berinteraksi.

Terdapat dua hal yang bersifat sangat kuat dalam masyarakat Indonesia, yaitu concept of the effectiveness of medicine, masyarakat sering menyebut obat yang cocok/cespleng untuk masing-masing orang, karena tidak semua obat pas untuk semua orang. Serta concept of searching for cure, masyarakat sangat berusaha bersungguh-sungguh untuk berobat dan mencoba banyak pengobatan (ikhtiar). Pengobatan tradisional atau alternatif sesuai untuk warga miskin, karena umumnya keahlian ahli obatnya karena kursus atau diwariskan orang tua dan umumnya biaya yang harus dibayarkan hanya 5 ribu hingga 200 ribu.

Konstruksi masyarakat atas pengobatan tradisional, yang disebut ahli pengobatan tradisional dalam masyarakat yaitu mereka yang memberikan pengobatan yang baik dan sesuai, siap melayani 24 jam, bisa memberikan obat sesuai kebutuhan pasien, kadang menggratiskan pengobatan tersebut (atau biaya periksa yang ''terserah" pasien). Pengobatan tradisional ini campuran antara biomedicine, akupuntur, bekam dan herbal dari China. Mereka banyak yang beralih ke alternatif karena mengalami dilema, yaitu ingin segera sembuh, terpengaruh sugesti lingkungan untuk obat yang tepat, dan lain-lain.

Implikasi pada hulu dan hilir kebijakan yang diharapkan yaitu menunda perawatan yang tepat, menghapus diskriminasi jamkesmas serta kualitas perawatan di sektor informal. Lalu diikuti refleksi: Apalagi yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan masyarakat miskin dan pengobatan tradisional?

Modul:

Pathway from social experience to health, health behavior and nutrition

istiti

Modul ini dipaparkan oleh BJ Istiti Kandarina, dosen dari FK UGM. Masalah kesehatan yang mengintai masyarakat kita yaitu perbedaan (geografis, ekonomi, dan sebagainya) serta masalah nutrisi. Nutrisi awal yang harus dicermati dalam siklus kehidupan yaitu untuk anak yang baru lahir. Setelah anak lahir, nutrisi apa yang dibutuhkan? Tentu saja jawabnya Air Susu Ibu (ASI). Namun, ASI yang akhir-akhir ini dikampanyekan untuk diberikan secara eksklusif selama 6 bulan mengalami tantangan. Masih ada kasus seperti ini, umumnya yang mengasuh anak ketika lahir itu nenek dari anak tersebut. Sehingga, banyak yang tidak memberikan ASI eksklusif. Terkadang hal ini, dipicu karena ibunya merupakan wanita yang bekerja penuh di luar rumah.

Dukungan pemerintah pada wanita hamil yaitu makanan khusus ibu hamil. Nutrisi yang dibutuhkan ibu hamil telah disediakan pemerintah Indonesia yaitu makanan khusus yang terbuat dari ikan. Namun, sayangnya makanan tersebut dikonsumsi anggota keluarga yang lain. Hal tersebut masih terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Selain nutrisi, regulasi untuk wanita hamil yang sangat berbeda di masing-masing negara. Di Jerman, cuti hamil satu tahun dan bekerja setelah 3 tahun melahirkan. Di Bangladesh, cuti melahirkan 6 bulan. Di Indonesia, cuti melahirkan 3 bulan, bahkan jika bekerja di bank itu cuma sebulan.

Diskusi dalam sesi ini mengarah pada hingga saat ini, hal yang paling dibutuhkan di Indonesia ialah pendidikan dan promosi kesehatan. Sejak 2011, pemerintah mengkampanyekan Jaminan Persalinan (Jampersal), asuransi persalinan dari lahir hingga satu bulan setelah melahirkan. Mereka harus ke Puskesmas untuk dikontrol kehamilannya. Namun, banyak dari saran bidan yang menangani ibu hamil ini tidak didengar. Kadang hal inilah yang membuat ibu hamil tersebut kekurangan gizi.

Life cycle nutrition ialah hal esensial yang dibutuhkan untuk menjamin generasi yang baik untuk semua. Hamil yang berulang itu mempengaruhi malnutrition, jadi butuh adanya KB. Kebijakan di China one child is better, tapi itu menjadi dilema siapa yang akan mengasuh orang tua nanti ketika 15 atau 20 tahun yang akan datang. Namun, faktanya masih banyak yang punya anak lebih dari 4. Lalu, masih banyak yang melakukan aborsi karena ingin anaknya laki-laki. Sesi ini ditutup dengan beberapa video, yang pertama video dari Public Health, Harvard University yang menyampaikan pesan the society is our patient. Lalu video dari WHO saat deklarasi Rio tahun 2011, meninggalkan pesan yang mendalam yaitu fundamental human rights-health, so reduce inequity.

Materi silahkan 

  • slot resmi
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot