Reportase Simposium 2

simposium 11

Alternatif Mengatasi Defisit BPJS Kesehatan

Pembicara: Prof.dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD

Klaim rasio PBPU masih di atas 200%, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi klaim PBI dibawah 100%. Atau ini berarti ada kerugian di BPJS Kesehatan. Apa masalahnya? PBPU meningkat klaimnya, sehingga BPJSK defisit, dana PBI dipergunakan oleh kelompok yang lebih mampu. Masalah ini merupakan masalah di lapangan dimana PBI banyak terdapat di daerah terpencil, di daerah-daerah sulit dimana BPJS Kesehatan tidak memiliki aliran dana ke daerah sulit. Masalah utamanya, PBI jatahnya dipakai non PBI mandiri.
Alternatif strateginya, ada 2 solusi, yaitu:

  1. Penambahan dana kesehatan yang tidak harus melalui BPJS Kesehatan
  2. Pembatasan pengeluaran

Sumber dana kesehatan, dana APBN sampai dengan out of pocket, adakah kemungkinan dinaikkan. Dana APBN sudah maksimal 5% untuk sektor kesehatan. Sehingga APBN sulit naik, kemungkinan dari pajak tembakau, namun masih banyak pertanyaan. Dari APBD, dana ini bisa langsung diberikan ke BPJS Kesehatan atau ke FKTP dan FKTL. Dana APBD ini juga tergantung kemampuan fiskal daerah dan kemauan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk kesehatan termasuk mendanai asuransi kesehatan yang kurang. Misal anggaran sudah dipatok 100 milyar untuk BPJS Kesehatan daerah tersebut, ternyata ada kenaikan 110 milyar maka 10 milyarnya dibayar oleh Pemda. Kemudian dana-dana premi BPJSK, non PBI preminya bisa dinaikkan, sampai 500 ribu - 1 juta untuk kelas 1. Pasalnya, sebagian besar orang kaya di kelas 1. Kemudian dana dari masyarakat, dari out of pocket sehingga cost sharing perlu. Dana masyarakat yang ada perlu dimanfaatkan karena pajak rendah atau kenaikan pajak penghasilan rendah dengan GDP naik tinggi. Sehingga dibuat sistem untuk perpajakan sehingga bisa masuk ke sistem kesehatan.

Pengurangan manfaat/ efisiensi. Sekarang DKI Jakarta dan Provinsi seperti NTT misalnya tidak ada batasan untuk paket manfaat. Ada basic manfaat atau paket dasarnya apa?. Sehingga peserta di DKI Jakarta yang lengkap fasilitasnya, misal di atas 100 juta setahun maka BPJS Kesehatan tidak lagi menanggung. Silakan membeli asuransi katastropik untuk menangani, sehingga ada batas atasnya. Dimana sekarang masih bebas belum ada batasnya. Dengan demikian yang mahal-mahal/ katastropik perlu pembatasan karena berbiaya tinggi.

Dalam upaya peningkatan efisiensi dengan melihat fraud, abuse, wish dan ini merupakan penyimpangan yang ditindaklanjuti sebagai hal yang serius. Hal yang perlu dilakukan misalnya mengembangkan sistem pencegahan dan penindakan fraud.

Residu JKN

Prof. Amran Razak

Ilmu Kesehatan masyarakat merupakan ilmu politik atau ilmu advokasi. Sehingga muncul stigma jika orang miskin itu menderita. Residu dari JKN, karena sisa-sisa yang sebenarnya melekat tidak bisa lepas dari JKN. Satu obat agar JKN terus berjalan seperti suntikan dana dari APBN yang ternyata juga tidak sehat. Misal: dalam hitungan aktuaria kelas 1 mandiri adalah 63 ribu, dibayar dengan iuran 51 ribu dan hasilnya tekor/defisit yaitu 12 ribu. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mau menanggung defisit ini?

Di Sulawesi Selatan muncul kemitraan dengan rumah sakit swasta. Sekarang ini mitra BPJS Kesehatan adalah RS Pemerintah. Pada beberapa tahun ini RS Swasta mulai melirik BPJS Kesehatan. Mengapa BPJS Kesehatan menjadi lirikan RS Swasta, karena adanya adverse selection, fraud, over utilization, biaya tinggi penyakit terjadi.

Permasalahan juga terjadi karena pelayanan primer sebagai gatekeeper belum berjalan. Isu lain adalah tidak berhasilnya integrasi Jamkesda. Integrasi Jamkesda membuktikan kalau Pemerintah Daerah masih setengah hati untuk masuk ke UHC. Hal ini dikarenakan Pemda mempunyai janji politik untuk mengelola pendidikan dan kesehatan secara gratis. Integrasi Jamkesda tidak terjadi karena pemotongan anggaran. Portabilitas positif dan negatif terjadi pada saat integrasi. Ada Kabupaten yang tidak terjangkau BPJSK hanya menggunakan KTP untuk berobat. Contoh ini menunjukkan keterbatasan BPJS Keseahata menjangkau daerah terpencil.

Nawacita masih dalam konsep yang perlu dipahami (ada tetapi tidak ada). BPJS Kesehatan masih seperti makelar pihak ketiga. Pengelolaannya perlu perbaikan, karena bukti yang sekarang ada adalah muncul tunggakan-tunggakan di beberapa daerah. Muncul kesenjangan di wilayah timur dengan wilayah di kota-kota besar.

Penerapan Akuntabilitas di Era JKN

Dr. dr. Indahwati Sidin

Akuntabilitas merupakan hal yang penting di RS, selain tekor/defisit butuh pengelolaan. Akuntabilitas merupakan transparansi dan pertanggungjawaban dilakukan oleh organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan organisasinya. Akuntabilitas penting karena beberapa tuntutan seperti good governance dan tuntutan tingginya persaingan RS. Reformasi di bidang kesehatan yaitu eksisnya lembaga pembiayaan kesehatan. Adanya SJSN menuntut penyelenggaraan yang akuntabel untuk stakeholder dalam UU No 40 Tahun 2004.

Dalam Permenkes No. 71 Tahun 2013. Aturan tersebut mengharuskan pengelolaan RS yang akuntabel dan transparan. Selama menggunakan dana JKN di RS terjadi inefisiensi dan tidak transparan. Sehingga RS dan Puskesmas harus tersertifikasi untuk menjamin penyelenggaraan organisasi yang akuntabel. Perlunya control di RS karena kemungkinan terjadi fraud di RS.

Dana yang diberikan tidak cukup oleh BPJS Kesehatan namun perlu legitimasi dari publik. Mengapa legitimati organisasi terhadap publik, dilakukan sebagai mekanisme control terhadap organisasi pelayanan kesehatan, yang bertujuan untuk pelayanan publik yang memuaskan masyarakat. Aturan SJSN harus menerapkan dan memastikan tidak ada fraud dalam pelayanan kesehatan di RS. RS harus melaksanakan transparansi-transparansi pengelolaan semua aspek di RS. Kelemahan pada ketersediaan obat tidak terdapat di distributor sehingga RS kesulitan mendapatkan stok obat. Dan hal lain yang menjadi kesenjangan adalah pesrta di RS tidak diperbolehkan membeli obat sendiri. E-katalog tidak menjamin ketersediaan obat yang dibutuhkan pasien. Implikasi pengelolaan RS yaitu clinical pathway perlu dijalankan, cost containment, dan customer quality driver.

Sesi Diskusi

Pertanyaan:

Kebijakan JKN merupakan kebijakan pusat, dimana implementasi di daerah tidak sesuai harapan, muncul kesenjangan di daerah maju dan daerah yang tidak maju. Contohnya kebijakan terkait kalim kecelakaan di RS, kebijakan ketersediaan fasilitas kesehatan dan alkes. Apakah perlu dihapus program JKN untuk daerah terpencil atau program apa yang cocok?

Narasumber:

Prof Laksono menyampaikan bahwa Kebijakan JKN melalui BPJS Kesehatan merupakan program bagus dan tidak perlu dihapuskan. Hal yang lemah adalah implementasi di lapangan. Perlu effort untuk memperbaiki implementasi di lapangan dengan kebijakan-kebijakan yang lebih tepat. Misalnya menjalankan dana kompensasi yan sudah tercantum di undang-undang. Pembicara lain menambahkan bahwa tidak hanya sistem yang diperbaiki di lapangan tetapi juga penyelenggara pelayanan yang juga harus berbenah.

oleh Faozi Kurniawan 

 

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

 

{jcomments on}