Reportase Course Webinar Keterlibatan Sektor Swasta dalam Layanan Kesehatan
- Series #1
- Series #2
- Series #3
- Series #4
- Series #5
- Series #6
- Series #7
- Series #8
- Series #9
- Series #10
Series #1
Webinar Series #1
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan serangkaian kursus berbasis website yakni kursus tahunan kluster kemitraan pemerintah dan swasta ANHSS (The Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening) yang bertemakan “Keterlibatan Sektor Swasta dalam Pelayanan Kesehatan”. ANHSS didirikan pada tahun 2009 untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat akan platform untuk peningkatan pengetahuan dan pertukaran dalam penguatan sistem kesehatan di kawasan Asia Pasifik. Ada empat kluster kursus yakni Equity, Flagship Course, Knowledge Event, dan Public Private Partnership.
Kursus Keterlibatan Sektor Swasta 2020 disampaikan melalui serangkaian webinar yang dilaksanakan setiap hari Rabu pukul 09.00, selama bulan Agustus hingga Oktober 2020 yang terjadwal 11 kali webinar. Beberapa narasumber perwakilan dari berbagai negara (Indonesia, Filipina, Thailand, dan Hongkong) akan berbagi ilmu dan kisah sukses tentang tata kelola kolaboratif yang efektif dari pemberian layanan kesehatan di negara - negara Asia.
Peserta yang mendaftar sebanyak 56 peserta yang terdiri dari 13 peserta internasional (Malaysia, Brunei, Thailand, Philippines, etc) dan 43 peserta Indonesia (Kementerian Kesehatan, akademisi dan praktisi sektor swasta). Webinar seri pertama dilaksanakan pada tanggal 12 Agustus 2020 dengan peserta sebanyak 53 orang yang mengikuti secara daring menggunakan platform zoom. Acara ini dipandu oleh Shita Dewi dari PKMK UGM, dengan 2 pembicara yakni Somil Nagpal dari World Bank dan EK Yeoh dari The Chinese Univerdity of Hongkong.
Pembukaan
Prof Ova Emilia selaku Dekan FK-KMK UGM berkesempatan membuka kursus berbasis website ini. Prof Ova menyampaikan bahwa dalam mencapai UHC (Universal Health Coverage) membutuhkan koneksi dari semua pihak untuk memastikan setiap orang mendapatkan ketersediaan, aksesibilitas, akseptabilitas dan kualitas di pelayanan kesehatan. Keterlibatan sektor swasta bukan hal yang baru dan perjalanannya sudah sejak lama. Keterlibatan ini termasuk penyedia layanan langsung (seperti dokter, tenaga farmasi, petugas rumah sakit lainnya) dan tidak langsung seperti organisasi, lembaga masyarakat dan lainnya. Negara-negara di dunia telah memiliki pengalaman terkait keterlibahan sektor swasta di bidang kesehatan dan dimonitori dengan seksama. Dari kursus ini diharapkan akan menyoroti peluang untuk bekerjasama dan juga memunculkan model yang efektif dalam mencapai layanan kesehatan yang menyeluruh.
Selanjutnya pidato sambutan disampaikan oleh Prof Laksono. Prof Laksono menyampaikan perkembangan kursus ANHSS yang sudah dimulai sejak 10 tahun yang lalu. Ada 5 universitas yang sejak awal konsisten mengembangkan konsep kerjasama publik dan swasta yakni The Chinese University of Hongkong, UGM, Chulalongkorn University Thailand, The Aga Khan University, Asian Institute Manajement Philipines. Pembelajaran pada kursus ini menggunakan kerangka konsep PSE (Private Sector Engagement) yang diadaptasi dari Harding, Preker, Montagu (2010) yakni meliputi health system goals, assessment, strategies for integrated care dan implementation& monitoring. Para peserta bisa berdiskusi kapanpun selama kursus berlangsung melalui chatting di grup atau melalui online diskusi di website untuk membahas lebih detail terkait kerangka konsep PSE.
Materi pertama oleh Somil Nagpal yakni Senior health specialist World Bank. Somil menyampaikan materi terkait tantangan sistem kesehatan dalam mencapai UHC, pembelajaran dari negara-negara yang telah berhasil. Somil menjelaskan berbagai tantangan yang dihadapi dalam mencapai UHC antara lain terbatasnya akses ke fasilitas kesehatan primer terutama di daerah yang sulit dijangkau, kualitas pelayanan dan kinerja yang buruk oleh tenaga kesehatan, hilangnya peluang dalam memanfaatkan data dan melakukan potensial analisis, tantangan dalam mencari model yang efektif dan keuangan PPP (Public Private Partnership) serta kurangnya akuntabilitas dalam sistem kesehatan.
Lambatnya progres dalam capaian UHC sering kali disebabkan oleh pembiayaan kesehatan yang tidak memadai, tidak efisien dan tidak adil. Somil juga menyampaikan hambatan yang dihadapi apabila negara hanya mengandalkan sektor kesehatan publik karena mengingat terbatasnya sumber daya baik itu tenaga kerja maupun dari sisi fasilitas serta terbatasnya dana karena anggaran dari pemerintah juga tidak mencukupi. Untuk itu dibutuhkan kolaborasi dengan sektor swasta dalam memenuhi kebetuhan pelayanan kesehatan. Dengan mendorong keterlibatan sektor swasta dalam sistem kesehatan, maka diharapkan bisa untuk memobilisasi pembiayaan dari sektor swasta, meingkatkan akses dan kualitas layanan, memperkenalkan efisiensi dalam kesehatan masyarakat, memunculkan inovasi dan teknologi yang semuanya mendorong tercapainya UHC.
Dalam konsep PPP, penanggung jawab terkait layanan tetap berada pada sektor publik, namun dalam eksekusinya bisa mengandalkan sektor swasta. Untuk itu diperlukan beberapa komponen dalam kemitraan publik dan swasta yakni aturan yang jelas, ketentuan/persyaratan dalam kerjasama, pengelolaan aset publik oleh sektor swasta, jangka waktu yang jelas, pengelolaan risiko, standar dalam kualitas layanan, pembayaran dan terkait standar kinerja. Model PPP yang digunakan di tiap negara berbeda-beda, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan dari negara tersebut serta sumber daya yang dimiliki. Semakin tinggi kebutuhan kapasitan maka model PPP yang dibutuhkan juga semakin kompleks.
Dengan kondisi pandemi COVID-19 seperti sekarang ini tentu berpengaruh pula pada kemitraan publik dan swasta, antara lain semakin meningkatkan kesadaran untuk berinvestasi dalam sistem kesehatan yang kuat. Kemudian berpengaruh pula dengan melemahnya kapasitas fiskal, dikarenakan menurunkan pertumbuhan ekonomi serta berkurangnya pendapatan negara. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah bisa menggunakan sumber daya publik hanya untuk mendanai sektor publik, menggunakan sumber daya untuk melakukan reformasi yang lebih besar serta memobilisasi pembiayaan dan layanan dari sektor swasta secara bersamaan.
Materi kedua yaitu oleh Prof EK Yeoh yang menjelaskan tentang pengantar layanan kesehatan yang terintegrasi serta tantangan dan pendekatan di Asia-Pasifik.
Layanan kesehatan yang dikelola dan diberikan dengan cara yang memastikan masyarakat menerima promosi kesehatan yang berkelanjutan, pencegahan penyakit, diagnosis, pengobatan, manajemen penyakit, layanan rehabilitasi dan perawatan paliatif, di berbagai tingkat dan tempat perawatan dalam sistem kesehatan, dan sesuai dengan kebutuhan.
Komponen utama dalam sistem perawatan terpadu antara lain penilaian yang komprehensif dalam mengevaluasi kebutuhan dan perencanaan perawatan, manajer kasus perawatan, tim yang terdiri dari multi disiplin ilmu, komunikasi yang baik antara tenaga profesional perawatan dengan manajemen catatan elektronik yang terintegrasi, berbagai kebijakan, sistem perawatan yang holistik pada pasien serta melibatkan pula pengasuh dalma rencana dan proses perawatan.
Prof EK Yeoh menyampaikan bahwa dalam mengubah sistem agar sesuai dengan tujuan, ada tantangan yang dihadapi yakni perubahan demografi (penuaan populasi), pencegahan penyakit kronis dan prubahan teknologi. Sehingga komponen yang perlu dilakukan perubahan adalah patient-centred, integrated care dan primary care-led integrated care. Prof EK Yeoh juga memberikan contoh pelayanan kesehatan di Hongkong, tantangan yang dihadapi serta sistem kesehatan yang diterapkan baik yang dari sisi pemerintah maupun yang melibatkan sektor swasta.
Webinar ini ditutup dengan diskusi singkat dan rencana kursus mendatang yang akan dilaksanakan tanggal 19 Agustus 2020 dengan topik Private Sector Analytic dan USAID Private Sector Engagement Policy.
Series #2
Webinar Series #2
Setelah menyelenggarakan kursus berbasis website series 1 The Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS) yang bertemakan “Keterlibatan Sektor Swasta dalam Pelayanan Kesehatan” pada 12 Agustus 2020 lalu, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Universitas Gadjah Mada kembali menyelenggarakan kursus berbasis website series 2 pada 19 Agustus 2020. Pada series 2 ini akan menyoroti pentingnya pemahaman mengenai sektor swasta yang dibagi menjadi 2 sesi.
Sesi pertama dengan pembicara utama yakni Barbara O’Hanlon, seorang Senior Private Sector Advisor di World Bank Global Financing Facility. Kemudian dilanjutkan sesi panel yang menceritakan pengalaman melakukan berbagai model penilaian sektor swasta di Indonesia, Myanmar, dan Vietnam. Sedangkan untuk sesi kedua disampaikan oleh David Stanton dari USAID yang menjelaskan bagaimana kita dapat merancang kebijakan keterlibatan sektor swasta, yang berasal dari pemahaman sektor swasta tersebut.
Pada sesi pertama, Barbara O’ Hanlon memberikan presentasi mengenai analisis di sektor kesehatan swasta, yakni bagaimana mengukur dan menilai peran sektor swasta dalam bidang kesehatan. Dalam melakukan analisis untuk sektor kesehatan swasta ada beberapa tantangan yang dihadapi baik berasal dari pemerintah maupun dari sektor swasta itu sendiri. Hambatan yang berasal dari sektor publik antara lain definisi sektor swasta yang tidak konsisten,serta sistem pengumpulan data yang lemah dari pemerintah.
Sedangkan hamabatan dari sektor swasta antara lain ketidakpercayaan bahwa pemerintah akan menggunakan data tersebut, serta kontribusi sektor swasta yang kadang tidak diakui. Ada tiga pertanyaan penting dalam penelitian sektor kesehatan swasta yakni terkait supply, demand, dan enabling environment/ PSE institutional. Penggunaan penelitian sisi supply untuk mendesain implementasi kebijakan, berinvestasi/ membangun sistem pasar kesehatan, membangun kemitraan publik dan swasta. Sedangkan penggunaan penelitian sisi permintaan/ konsumen adalah membantu pemerintah dalam mendesain layanan yang responsif kepada konsumen.
Sedangkan analisis kelembagaan pada PSE digunakan untuk menilai kapasitas pemerintah dalam Public Private Partnership (PPP), serta memetakan pengaturan kelembagaan dan sistem operasi yang mendukung model kerjasama. Barbara juga menekankan melakukan analisis sektor swasta bukanlah tujuan akhir, yang terpenting adalah menindaklanjuti hasil temuan dari analisis tersebut sehingga bisa mendorong perubahan seperti reformasi kenijakan serta diharapkan pula bisa membangun kapasitas baik di sektor swasta dan sektor publik.
Sesi selanjutnya adalah sesi panel yang memaparkan penelitian di 3 negara yakni Indonesia, Myanmar, dan Vietnam. Temuan penelitian di Indonesia disampaikan oleh Dev Terway, antara lain keterbatasan SDM terlebih untuk layanan spesialis, adanya pembatasan regulasi sehingga menyebabkan sektor swasta enggan terlibat dengan BPJS Kesehatan, adanya gap terkait kualitas perawatan yang tersedia terutama di wilayah terpencil. Sehingga rekomendasi-rekomendasi yang diberikan berdasarkan temuan penelitian adalah memperluas kapasitas sektor pendidikan untuk meningkatkan produksi tenaga kesehatan yang berkualitas, menyesuaikan premi JKN berdasarkan analisis aktuaria, menhapus surat rekomendasi terkait pembatasan di sektor swasta, penguatan peran purcasher oleh BPJS Kesehatan.
Untuk penelitian di Myanmar disampaikan oleh Thant Zin yakni terkait perencanaan aksi publik dan swasta dalam COVID-19. Temuan awal mengenai kapasitas antara lain aktivitas terkonsentrasi di wilayah perkotaan, sektor swasta tidak berwenang untuk menangani COVID-19, peningkatan kapasitas tempat tidur dan peralatan di rumah sakit, adanya gangguan terkait logistik. Panelis selanjutnya adalah Sang Minh Le yang memparkan penelitian PPP di Vietnam. Awal mulanya PPP di Vietnam didorong oleh masyarakat yang menuntut adanya transparansi kepada publik, lalu diketahui pula anggaran dari pemerintah untuk kesehatan hanya mampu untuk memenuhi 64% dari yang dibutuhkan, sehingga baik publik dan swasta menginisiaasi untuk membentuk dan memperkuat kerangka kerja dari PPP.
Masalah yang kemudian muncul di Vietnam adalah meskipun sudah ada kerangka kerja, namun pedomannya tidak dikonsep dengan baik, seperti halnya PPP screening tool, alokasi risiko, indikator kinerja utama, dan dukungan dari pemerintah. Dari studi yang dilaksanakan oleh Sang Minh Le, hasilnya berupa rekomendasi yang agar pemerintah Vietnam melakukan reorientasi PPP sektor kesehatan ke arah kesetaraan dan efisiensi, dua hal yang menjadi tujuan dari sistem kesehatan nasional.
Sesi terakhir adalah paparan dari David Stanton mengenai keterlibatan USAID dalam bermitra dengan sektor swasta. Hal yang dimaksud sebagai sektor swasta antara lain organisasi nirlaba, komersial dan yayasan yang berafiliasi, lembaga keuangan swasta, asosiasi bisnis, dana ventura yang diluncurkan oleh LSM, bisnis - bisnis lokal, dan lainnya.
Keterlibatan sektor swasta dapat dilakukan dalam berbagai macam cara antara lain: penyelarasan strategi dan memberikan informasi terkait kemampuan dan pengalaman masing - masing, keberlanjutan pembelajaran dan riset pasar, pemanfaatan keahlian dan inovasi dari sektor swasta, memobilisasi sumber daya sektor swasta, filantropi dan aset CSR untuk menangani masalah atau tujuan tertentu, membuka investasi untuk sektor swasta, memperkuat sistem di pemerintah. Antara USAID dan sektor swasta memiliki ranah yang saling berkaitan yakni saling membagikan minat dan nilai masing - masing. Kerjasama keduanya menawarkan Sustainability, Innovation, Expertise, Market Solutions, dan Investment.
Untuk selanjutnya akan diadakan lanjutan webinar yakni series 3 yang akan dilaksanakan pada 26 Agustus 2020. Pada webinar mendatang akan mendiskusikan contoh dan pengalaman keterlibatan sektor swasta dalam sistem kesehatan publik dan swasta serta tantangan tata kelola untuk sistem tersebut.
Reporter: Herma Setiyaningsih
Series #3
Pada 26 Agustus 2020 PKMK FK - KMK UGM kembali menyelenggarakan rangkaian kursus berbasis website the Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS), kali ini adalah series ketiga. Kegiatan ini terdiri dengan terdiri dari 2 sesi penyampaian materi dan diskusi yang dimoderatori oleh Shita Dewi. Pembicara sesi pertama adalah Jack Langenbrunner yang merupakan seorang ekonom kesehatan dari USAID dengan pengalaman yang sangat luas di berbagai negara.
Jack Langenbrunner membahas tentang contoh dan pengalaman keterlibatan sektor swasta dalam sistem kesehatan campuran dan tantangan tata kelolanya. Dilanjutkan dengan sesi kedua yang disampaikan oleh Hastanto Sri Margi Widodo yang merupakan ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) periode 2020 - 2023. HSM Widodo memberikan perspektif dari para praktisi (sektor swasta) dalam bekerja dalam kebijakan nasional yang mengatur pola perilaku sektor swasta.
Jack Langenbrunner memberikan materi terkait Public Private Mix : An Emergent Global Consensus?. Di dalam sistem kesehatan campuran tentu melibatkan baik pemerintah dan swasta dalam pembiayaan dan penyediaan terkait perawatan. Hal ini merupakan gambaran besar dari sektor kesehatan yakni bagaimana pendapatan diperoleh, bagaimana dana dikumpulkan serta bagaimana pembelanjaannya untuk layanan kesehatan. Pembahasan ini akan difokuskan pada bagaimana sistem gabungan ini dalam melakukan belanja kesehatan baik di penyedia layanan kesehatan publik dan swasta.
Untuk beralih ke strategic purchasing, diperlukan 4 kebijakan terkait paket manfaat /benefit package (apa yang dibeli, dalam bentuk apa, serta apa yang tidak dimasukkan di paket manfaat), terkait kontrak (dibeli dari siapa, terkait harga dan berapa banyak yang dibeli), pembayaran provider (terkait harga dan bagaimana skema pembayarannya), akuntabilitas kinerja untuk provider dan sistem itu sendiri. Selain itu pembeli juga perlu mengaktifkan perannya untuk melakukan monitoring, otonomi provider, sistem data, akreditasi dan jaminan kualitas, sehingga diharapkan outcome-nya berupa pelayanan yang berkualitas, effisien, dan aksesnya mudah.
Beberapa negara di Asia sudah bergerak ke arah strategic purchasing, antara lain Malaysia, Bangladesh, India, Indonesia, Mongolia, Filipina, dan Vietnam. Jack juga menyampaikan contoh kasus di Thailand dimana pemerintahnya menggunakan dan berinteraksi dengan sektor swasta. Kasus ini merupakan model yang baik dimana pemerintah Thailand membuat skema dimana lembaga asuransi kesehatan sosial bekerja sama dengan asuransi swasta dalam mengelola provider publik dan swasta. Untuk negara-negara yang tergabung di Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), 67% sudah mengandalkan sektor swasta dalam perawatan kesehatan primer. Sektor swasta termasuk fasilitas kesehatan primer, rumah sakit, spesialis, dokter gigi.
Di Indonesia sendiri, pertumbuhan sektor swasta tergolong signifikan, terutama di fasilitas kesehatan primer, pada 2016 terdapat kenaikan jumlah fasilitas kesehatan primer swasta sebesar 12,5% dalam 2 tahun, sedangkan penambahan RS swasta sekitar 4%. Meskipun demikian, Indonesia tetap memiliki tantangan terkait keadilan dalam level pembayaran, hambatan di regulasi, koordinasi dengan TB-Care, serta terkait isu kualitas. Selain itu dijelaskan juga kasus lainnya seperti Myanmar, India, UK.
Ada beberapa perbedaan peran asuransi swasta, yakni sebagai peran primer (misalnya seperti di US dan Afrika Selatan), duplikasi dari asuransi sosial dari pemerintah (misal di Indonesia dan Filipina), sebagai pelengkap (di Korea Selatan dan Prancis), dan sebagai top up/ pelengkap (seperti di UK dan Negara - negara di Eropa). Sementara regulasi yang dibutuhkan untuk mengatur asuransi swasta harus mencakup terkait baik masalah keuangan dan non keuangan, aturan pelaporan, dan perlindungan konsumen.
Jack juga menjelaskan untuk kasus Negara - negara yang memiliki multiple payers, maka kunci utamanya adalah mengharmonisasikan harga pembayaran dan insentif, contohnya di Jerman, Swiss dan Belanda. Hal - hal yang perlu diperhatikan adalah paket manfaat standar, harga yang sama untuk layanan antar pembayar, sistem TI yang sama, penyesuaian risiko, pengukuran kualitas yang sebanding.
SESI KE 2
Sesi selanjutnya dengan narasumber HSM Widodo yang menyampaikan presentasi Menuju Keterlibatan Sektor Swasta Aktif yang Layak dan Berkelanjutan dalam Layanan Kesehatan. Widodo menyampaikan ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia terdiri dari asuransi umum dan asuransi jiwa. Terdapat perbedaan pendapatan yang diakui, untuk asuransi umum, premi asuransi kesehatan yang diakui pada penjualan kemudian diubah menjadi cadangan premi. Premi yang diperoleh diakui setiap hari secara pro-rata. Sedangkan untuk asuransi jiwa, sebagian besar terkait dengan investasi, kewajiban dan premi yang termasuk cakupan dari asuransi kesehatan diakui tiap bulan melalui pengurangan biaya dari dana investasi.
Sejak adanya BPJS di Indonesia, pasar dari asuransi kesehatan otomatis berkurang, keberadaan skema koordinasi manfaat menjadi solusi terkait hal tersebut. Namun dalam implementasinya masih terhalang terkait regulasi dan operasionalnya. Dalam membina ekosistem berkelanjutan yang sehat diperlukan partisipasi aktif dalam memfasilitasi pendataan industri National Health Account bersama Kemenkes dan OJK, serta memelihara dan mempromosikan adaptasi teknologi baru dan keunggulan biaya di penyampaian layanan yang baru (misal Halodoc, Telkomedika). Industri asuransi secara aktif mendukung kemajuan peranan digital untuk masa mendatang, seperti mendukung kolaborasi antar BPJS, Kemenkes dan Telkom dalam menyelenggarakan telemedicine.
Untuk selanjutnya akan diadakan lanjutan webinar yakni series 4 yang akan dilaksanakan pada 2 September 2020. Pada webinar mendatang akan memberikan gambaran umum tentang dua tools yang terkenal untuk keterlibatan sektor swasta, yaitu regulasi dan jaminan kualitas. Sesi ini akan membahas bagaimana regulasi dan jaminan kualitas dapat memainkan peran penting dalam memastikan perawatan terintegrasi yang efektif.
Reporter: Herma Setiyaningsih
Series #4
2 September 2020
Setelah menyelenggarakan series ke-3 rangkaian kursus berbasis website the Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS) pada 26 Agustus 2020 lalu, kali ini PKMK FK-KMK UGM kembali menyelenggarakan untuk series 4 pada 2 September 2020. Kegiatan ini berlangsung selama kurang lebih 2 jam yang dimoderatori oleh Shita Dewi, peneliti dari PKMK. Webinar series 4 ini memberikan gambaran umum tentang dua tools yang terkenal untuk keterlibatan sektor swasta, yaitu regulasi dan jaminan kualitas. Terdapat 2 pembicara utama yakni Prof. EK Yeoh dari The Chinese University of Hongkong dan Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., MPH., PhD dari Universitas Gadjah Mada.
Materi terkait regulasi, mekanisme regulasi, dan aplikasi dalam perawatan terpadu dipaparkan oleh Prof EK Yeoh pada sesi pertama. Sektor swasta tidak terlepas dari istilah kewirausahaan, dimana terjadi pengembangan dan dorongan untuk terus memunculkan inovasi baru yang tentu saja hal ini yang dicari oleh pasar. Untuk mengarahkan pemanfaatan kewirausahaan untuk tujuan sosial, maka sangat diperlukan regulasi yang mengaturnya. Di wilayah Asia, sektor swasta memiliki peranan yang cukup besar, sehingga pemerintah memerlukan tools untuk mengatur keterlibatan tersebut. Terdapat berbagai macam tools yang digunakan pemerintah untuk memberlakukan kebijakan, antara lain berupa persuasi, perpajakan, pembelanjaan, regulasi, dan aturan kepemilikan publik. Namun yang akan dibahas lebih detail pada materi ini adalah terkait regulasi.
EK Yeoh menjelaskan tujuan adanya regulasi antara lain untuk melindungi kesehatan masyarakat, meningkatkan perilaku kesehatan, memajukan cakupan kesehatan universal serta meningkatkan tingkat kesehatan & pemerataan kesehatan, memastikan pertukaran dan transaksi di pasar dilakukan secara transparan dan terbuka, dan untuk memperbaiki kegagalan pasar, seperti eksternalitas negatif, ketidaksetaraan informasi, dan monopoli yang menjadi penghalang untuk persaingan yang efektif.
Ada beberapa jenis pengelompokan regulasi yang digunakan oleh pemerintah yakni regulasi konsep, mekanisme, agen, instrumen, area dan target serta strategi. Secara konsep, regulasi dibuat untuk mempengaruhi perilaku dari masyarakat. Contoh simpel dalam hal mempengaruhi perilaku adalah adanya aturan untuk menggunakan seat belt ketika mengendarai mobil. Sedangkan untuk mekanismenya, regulasi bisa diterapkan baik di internal maupun eksternal, substantif maupun prosedural, juga bisa melalui kontrol dan perintah maupun berupa motivasi dan insentif. Hal tersebut disesuaikan dengan tujuan dari regulasi tersebut.
Prof EK Yeoh memberikan contoh salah satu regulasi di Hongkong yang mengatur rumah sakit, rumah bersalin dan rumah jompo. Selain itu terdapat juga regulasi yang mengatur profesional di layanan kesehatan. Terdapat 13 kategori profesional yang diharuskan terdaftar di undang - undang agar bisa profesional tersebut bisa melakukan praktek di layanan kesehatan. Namun profesi seperti psikologis klinis, edukasi, terapi wicara yang melakukan praktek di layanan kesehatan namun tidak perlu diatur di dalam undang - undang.
Dalam pembentukan regulasi terdapat siklus proses, dimulai dengan menentukan regulasi apa yang akan dibentuk, membuat otoritas hukumnya, kemudia menyusun aturan- aturan yang akan diterapkan. Selanjutnya adalah penerapan dari regulasi itu sendiri yang kemudian pemantauan tingkat kepatuhan. Apabila ada yang tidak sesuai/ melanggar, perlu diberikan konsekuensi hukuman. Evaluasi kinerja juga sangat diperlukan untuk melihat apakah ada hal yang perlu direvisi atau lainnya.
Di akhir sesi, Prof EK Yeoh kembali menerangkan bahwa regulasi adalah salah satu perangkat pemerintah untuk mempengaruhi sektor swasta, dan sering digunakan bersama - sama dengan sektor lainnya. Dalam menerapkan regulasi diperlukan strategi yang melibatkan mekanisme regulasi, instrumen, regulator dan target. Lalu dalam memutuskan cara dalam menerapkan pengaturan tentu membutuhkan proses perencanaan yang strategis untuk mengidentifikasi tantangan utama yang akan dihadapi dan peluang untuk mencapai tujuan sistem kesehatan.
Sesi kedua disampaikan oleh Prof Adi Utarini dengan topik Jaminan kualitas eksternal, kredensial dan akreditasi rumah sakit. Prof Adi Utarini memaparkan konten terkait kualitas di Universal Health Coverage (UHC), strategi untuk meningkatkan kualitas, kemudian dijelaskan pula terkait tantangan yang dihadapi dalam meregulasikan kualitas. Berdasarkan publikasi Lancet pada 2018 terkait kematian yang disebabkan rendahnya kualitas sistem kesehatan, lebih dari 60% masalah kesehatan terkait dengan rendahnya kualitas. Penelitian ini menggunakan data tahun 2016 di 137 negara. Maka dari itu beberapa negara menggunakan strategi kerjasama pemerintah dan swasta dalam menangani masalah ini. Beberapa program yang sudah menggunakan strategi Public Private Partnership (PPP) contohnya untuk program Tuberculosis (TB), kesehatan ibu anak, kesehatan remaja, dan program lainnya.
Dari data survey di Kabupaten Sleman Yogyakarta, dari penderita hipertensi, 88% dari mereka sudah memiliki Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), lalu terdapat 84% yang mendapatkan pengobatan di fasilitas kesehatan. Namun jika dilihat dari output-nya, hanya 24% pasien hipertensi tersebut yang bisa terkontrol kondisinya. Hal ini menjadi contoh bahwa dengan adanya UHC, belum tentu otomatis akan disertai dengan kualitas yang baik pula, diharapkan dengan adanya PPP bisa memperkuat kualitas sistem kesehatan.
Diperlukan instrumen kebijakan yaitu mekanisme regulasi untuk lisensi, sertifikasi dan akreditasi. Sejalan dengan kegiatan regulasi, lisensi biasanya dilakukan oleh pemerintah, untuk sertifikasi biasanya dilakukan oleh badan yang mendapat otorisasi, sedangkan untuk akreditasi bisa dilakukan oleh pemerintah atau lembaga non pemerintah. Perbedaan kunci antara lisensi dan akreditasi adalah, lisensi merupakan standar minimal yang diberlakukan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat. Untuk sertifikasi dan akreditasi memiliki standar yang lebih optimal.
Pemerintah memiliki tugas untuk memastikan seluruh fasilitas kesehatan menerapkan standar yang sudah ditetapkan. Namun di beberapa kasus pemerintah juga memiliki peranan ganda yakni sebagai regulator, juga bisa sebagai penyedia layanan, dua peran tersebut bisa saling tumpang tindih. Studi yang dilakukan 10 tahun lalu, menemukan bahwa dalam mengimplementasikan regulasi perlu melihat kapasitas dari negara. Cukup banyak negara yang menyebutkan bahwa memang terdapat masalah terkait lisensi profesional kesehatan, termasuk pencatatan di faskes. Terkait dengan akreditasi pemerintah juga mengalami hambatan yang cukup besar.
Tantangan dalam regulasi kualitas, untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan merupakan hal yang sangat kompleks, spektrum pemberian layanan kesehatan sangat beragam, jumlah fasilitas kesehatan yang sangat banyak, beban regulasi yang tinggi, regulasi yang berbeda - beda di tingkat pemerintahan (pemerintah pusat dan pemerintah daerah), lalu juga adanya keterbatasan sumber daya manusia. Lalu sekitar 2 tahun yang lalu WHO juga sudah menekankan pentingnya di masing - masing negara untuk membuat kebijakan dan strategi untuk kualitas layanan.
Kagiatan webinar ini ditutup dengan diskusi tanya jawab dengan peserta. Total peserta yang mengikuti webinar series 4 sebanyak 46 peserta baik nasional maupun internasional. Webinar selanjutnya yaitu series ke 5 akan diadakan pada 9 September 2020, yang akan memberikan pemahaman tentang mekanisme pembayaran berbeda yang melibatkan sektor swasta. Sedangkan pembicara kedua akan menjelaskan infrastruktur kesehatan public-private partnership dan berbagai model PPP serta perbedaannya.
Reporter: Herma Setiyaningsih
Series #5
Pada 9 September 2020, Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK - KMK UGM menyelenggarakan webinar series kelima rangkaian kursus berbasis website the Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS). Kali ini pemateri utama berasal dari Centre for Health Economics Universitas Chulalongkorn yakni Assoc. Prof. Chantal Herberholz, Ph.D dan Prof. Siripen Supakankunti. Chantal Herberholz akan memberikan pemahaman tentang mekanisme pembayaran berbeda yang melibatkan sektor swasta. Lalu dilanjutkan pada sesi dua yakni Siripen Supakankunti yang akan menjelaskan infrastruktur kesehatan public-private partnership dan berbagai model PPP serta perbedaannya.
Pada sesi pertama, Chantal Herberholz menjelaskan tentang puchasing mechanism sebagai tool yang digunakan dalam keterlibatan sektor swasta. Apabila dilihat dari kerangka kerja Private Sector Engagement (PSE), pembahasan ini akan berfokus ke bagian implementasi dan monitoring yakni terkait proses pembelian dan kontrak dengan penyedia layanan. Proses pembelian merupakan kunci dari pembiayaan kesehatan. Pada tahun 2000, WHO mendefinisikan proses pembelian adalah proses dimana dana yang dikumpulkan dari peserta kemudian dibayarkan kepada penyedia layanan kesehatan untuk memberikan serangkaian intervensi kesehatan yang ditentukan atau yang tidak ditentukan.
Peran purchaser (pembayar) dianggap penting, antara lain karena terjadinya ketidak seimbangan informasi antara penyedia layanan kesehatan dengan pasien, hal ini disebabkan oleh kompleksnya layanan di faskes sehingga membuat pasien terkadang sulit untuk memahami informasi. Selain itu dengan adanya pembayar juga dapat meningkatkan kinerja dari penyedia layanan melalui mekanisme pembayaran yang diberikan, salah satunya adalah insentif. Insentif bisa disesuaikan dengan kompleksitas layanan yang diberikan, untuk mengelola kualitas layanan, untuk mengelola diantara tipe penyedia layanan yang berbeda, atau juga untuk mengelola manajemen berbagai penyakit kronis pasien. Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan dengan adanya pembayar bisa membantu mengatur hubungan antara pasien dan penyedia layanan untuk mengurangi asimetri informasi diantara keduanya.
Berdasarkan penelitian tahun 2005, Figueras menyebutkan bahwa jika dibandingkan dengan passive purchasing, strategic purchasing dapat meningkatkan kinerja sistem kesehatan melalui alokasi sumber daya keuangan yang efektif kepada penyedia layanan. Tiga hal yang yang dipertimbangkan ketika menggunakan pembayaran strategis adalah intervensi layanan apa saja yang harus dibeli? Bagaimana proses pembeliannya? Dari siapa layanan tersebut dibeli?
Dalam melakukan pembayaran strategis terdapat 3 agen utama. Diadopsi dari penelitian Sanderson (2019), Hanson (2014) dan Forder (2005), tergambar kerangka kerja hubungan antara ketiga agen utama. Hubungan Principle Agent (PA) yang pertama adalah antara konsumen dengan pembayar, dimana terjadi pembelian layanan perawatan kesehatan dan memutuskan layanan apa saja yang mencerminkan kebutuhan dan preferensi dari populasi.
Hubungan PA yang kedua yakni antara pembayar dengan penyedia layanan kesehatan (baik milik publik maupun milik swasta), dimana keduanya melakukan kontrak kerjasama terkait mekanisme dan sistem pembayaran yang akan dilakukan, menentukan supplier (pemasok) layanan kesehatab dalam konteks keadilan, kualita dan efisiensi. Hubungan PA ketiga adalah antara pemerintah dengan pembayar, dimana keduanya menentukan jenis intervensi yang akan dibeli serta mempertimbangkan prioritas kesehatan dan efektivitas biaya (cost-effectiveness).
Di akhir sesi, Chantal kembali menerangkan bahwa purchasing adalah pendekatan untuk memanfaatkan dan melibatkan penyedia layanan kesehatan publik dan swasta. Strategic purchasing dapat membantu pembeli memastikan kualitas, efisiensi, kesetaraan, dan responsif dalam memberikan layanan kesehatan. Serta penerapan strategic purchasing membutuhkan kontrak dan mekanisme pembayaran yang erat kaitannya terhadap kinerja.
Setelah paparan dari Chantal, dilanjutkan sesi kedua dengan pembicara utama Siripen Supakankunti yang memaparkan gambaran umum kemitraan antara publik dan swasta/ PPP (Public Private Partnership) untuk rumah sakit, kemudian juga peluang dan tantangan yang dihadapi. Menurut Klijn, Edelenbos dan Hughes (2007) PPP memiliki definisi kerja sama yang kurang lebih permanen antara pelaku publik dan swasta dimana ada produk atau layanan yang kembangkan bersama, dan juga biaya dan resiko dibagi kedua belah pihak. PPP memiliki beberapa karakteristik yakni terdapat alokasi risiko, kontrak berlaku jangka panjang (5-30 tahun) dan kontrak didasarkan pada indikator kinerja yang disepakati bersama.
Terdapat beberapa bentuk keterlibatan sektor swasta, bisa berupa program kesehatan masyarakat dan sosial (contohnya pengembangan produk obat/ vaksin, membuat akses berdasarkan geografi dan kegiatan promosi kesehatan), berupa layanan (contohnya mengkontrak layanan baik klinis dan non klinis), atau juga berupa fasilitas kesehatan (contohnya pengoperasian dan manajemen fasilitas kesehatan, sektor swasta bisa melakukan pembiayaan untuk publik, sektor swasta juga bisa gabung dengan sektor publik dengan mengambil alih pelayanan RS publik, dan juga yang disebut juga dengan Ko-lokasi dimana swasta memberikan layanan yang bertempat di RS publik.
Model PPP yang bisa diterapkan di rumah sakit ada beberapa macam, antara lain Design- Build (DB) yakni merancang dan membangun, kemudian ada Design- Build- Maintain (DBM) yakni setelah dirancang dan dibangun lalu diperlihara. Ada juga model Design – Build- Operate (DBO) yakni merancang, membangun lalu mengoperasikan. Model PPP lainnya ada DBOM (Design – Build – Operate - Maintain), DBFO, DBFM atau DBFO/M (Design – Build – Finance – Operate/ Maintain), BTO (Build - Transfer- Operate) , kemudian BOT (Build – Operate - Transfer) dan lainnya. Sebagian besar model yang digunakan adalah untuk pengembangan infrasturktur.
Siripen menyatakan bahwa model PPP di rumah sakit memiliki keunggulan namun ada juga kelemahannya. Keuntungannya adalah ada alternatif untuk memberikan proyek infrastruktur karena publik memiliki keterbatasan terkait hal ini. Lalu publik maupun fasilitas kesehatan juga bisa fokus terhadap hal- hal yang terkait penyediaan layanan klinis, bisa meningkatkan efisiensi, mengadopsi teknologi dan manajemen baru serta terdapat pembagian risiko antara publik dan swasta. Namun model PPP di RS juga terdapat kelemahan antara lain biaya modal lebih tinggi, lalu transaksi, pemantauan dan biaya pengaturan juga lebih tinggi.
Kelemahan selanjutnya adalah dengan ukuran project pendanaan yang besar namun persaingannya rendah, inovasi rendah, kurangnya integrasi (model perawatan klinis dengan desain infrastruktur), manajemen untuk mengelola juga tidak mudah, lalu memiliki risiko lumayan besar dengan pihak pemerintah. PPP juga berpotensi dalam penyelenggaraan Universal Health Coverage (UHC), kerena dapat digunakan dengan tujuan kebijakan publik, investasi jangka panjang dari pendanaan publik dan swasta, transfer risiko dari publik ke sektor swasta, netralitas biaya untuk pasien, kesetaraan akses untuk semua pasien dan keuntungan efisiensi di seluruh sistem.
Siripen mengutarakan trend di Asia lebih banyak untuk outsourcing dan purchasing. Untuk saat ini dukungan dalam PPP sudah ke arah yang lebih baik, seperti pembentukan unit PPP, pelatihan dan penguatan kapasitas terkait PPP juga semakin banyak dan salah satunya juga seperti kegiatan yang sedang kita laksanakan. Saat ini model PPP untuk rumah sakit semakin dipertimbangkan, namun memang masih ditemui banyak tantangannya. Contohnya di Thailand, tantangan disana terkait anggaran, operasional dan kelembagaan.
Di Filipina, tantangannya berupa tidak ada kemauan politis, keterlibatan dari pemangku kepentingan sangat terbatas, modelnya sangat kompleks, tidak ada transparansi dan pengalaman, kontrak tidak fleksibel dan juga tidak ada mekanisme pembayaran untuk jangka panjang. Sehingga dari keduanya kita bisa mengambil pembelajaran, antara lain kemauan politik adalah hal penting sehingga bisa mengajak politikus terlibat pada implementasi PPP, melibatkan semua pemangku kepentingan di semua proses, membuat proyek lebih menarik untuk sektor swasta, harus ada kepercayaan dalam membangun manajemen hubungan baik formal maupun non formal, fokus dalam perencanaan layanan bukan hanya infrastuktur, mengembangkan pendekatan untuk menentukan nilai uang, selanjutnya adalah kemampuan dari tim PPP merupakan kunci berhasil atau tidaknya program.
Sesi berikutnya adalah diskusi yang diikuti oleh peserta via chat atau bisa juga bertanya langsung di platform webinar. Total peserta yang mengikuti webinar series 5 sebanyak 49 peserta baik nasional maupun internasional. Webinar selanjutnya yaitu series ke 6 akan diadakan pada 16 September 2020, yang akan memberikan pemahaman tentang kapabilitas potensial baik dari pembeli dan penyedia serta perantara.
Reporter: Herma Setiyaningsih
Series #6
Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM kembali menyelenggarakan webinar series keenam rangkaian kursus the Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS) dengan topik pemahaman tentang potensi kemampuan pembeli dan penyedia serta perantara dalam sistem kesehatan. Webinar ini diselenggarakan pada Rabu (16/09) pukul 09.00 - 11.00 WIB yang diikuti oleh 41 peserta. Moderator kali ini adalah dr. Jodi Visnu dengan 2 narasumber yakni Prof. Kenneth Y. Hartigan-Go. M.D. BSc. dari Asian Institute of Management dan Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD dari Universitas Gadjah Mada.
SESI I
Pada sesi pertama, Kenneth menyampaikan materi terkait sustainabilitas keuangan dan kapasitas lembaga untuk purchaser (pembayar) dan provider (penyedia layanan). Tujuan dari topik ini adalah mencari solusi terbaik dengan memahami bagaimana sistem keuangan bekerja dan bagaimana sistem pemerintahan mempengaruhi kapasitas organisasi. Sejauh ini belum ada negara yang sudah sempurna dalam menjalankan sistem asuransi kesehatan mereka, yang akan dilakukan melalui pembelajaran sistem asuransi kesehatan di beberapa negara. Beberapa materi yang akan dibahas antara lain enam elemen dasar layanan dukungan kesehatan, pentingnya kapasitas institusi, apa saja peran pembayar dan penyedia layanan, kapasitas absorpsi, peran pemimpin dalam menciptakan sistem keuangan transparan yang stabil untuk mencakup layanan kesehatan serta bagaimana cara kerja peredaran keuangannya.
Pada 2007, World Health Organization mengembangkan kerangka kerja untuk penguatan sistem kesehatan yakni melalui 6 building blocks (pilar) yang mencakup (i) leadership/ pemerintah, (ii) service delivery, (iii) health workforce, (iv) health information systems, (v) access to essential medicine, dan (vi) financing. Pemerintah berperan dalam membuat kebijakan, regulasi, strategi, menentukan dan mengalokasikan sumber daya, serta melakukan monitoring. Untuk service delivey berkaitan dengan paket layanan, model layanan, infrastruktur, manajemen, keselamatan dan kualitas, serta kebutuhan akan pelayanan. Health workforce berkaitan dengan kebijakan tenaga kerja nasional, advokasi, norma, standar, dan data. Information berkaitan dengan fasilitas dan infomasi yang berbasis masyarakat, surveillans, dan peralatan. Access to essential medicine berkaitan dengan akses yang merata dan berkualitas, akses untuk produk medis serta teknologi yang sesuai standar. Serta financing berkaitan dengan kebijakan pembiayaan kesehatan nasional, pengeluaran, dan tarif.
Dari pilar - pilar di atas, selanjutnya dijelaskan pula peranan dari provider dan purchaser. Provider disini bisa dokter, perawat, apotek, dokter gigi, layanan laboratorium, supplier farmasi dan lainnya. Mereka berperan dalam memastikan biaya yang efektif pada intervensi yang dilakukan dan penggunaan teknologi. Perlunya kehati - hatian dalam perhitungan terkait kompensasi dan juga perhitungan inflasi. Sedangkan purchaser lebih cenderung berpikir terkait bisnis, wirausaha sosial dalam perilaku, dengan pemeriksaan dan keseimbangan yang baik pada tata kelola, audit, manajemen risiko. Beberapa hal yang dilakukan adalah menerapkan asesmen teknologi kesehatan sebagai pedoman dalam seleksi. Purchaser juga melakukan negosiasi harga untuk barang dan jasa. Perlu manajemen pengadaan yang dilakukan oleh pihak ketiga (dalam hal ini provider) agar tidak timbul masalah di kemudian hari.
Kenneth menekankan sumber daya saja tidak cukup apabila tidak diimbangi dengan kemampuan dalam menyerap segala sumber daya tersebut. Adanya regulasi yang baik, kebijakan, serta kemampuan keuangan perlu ditunjang dengan kapasitas dalam melakukan inisiasi, mengimplementasi serta pelembagaan.
Terkait mekanisme alur peredaran keuangan, pemerintah menggunakan pajak atau pengumpulan kontribusi iuran dari masyarakat. Setelah dana tersebut terkumpul, kemudian diputuskan berapa banyak yang dialokasikan untuk pengadaan barang dan jasa, lalu berapa banyak yang harus dimasukkan ke dalam cadangan biaya, atau kapan harus meningkatkan kontribusi tersebut berdasarkan peraturan yang telah disepakati.
SESI II
Sesi kedua disampaikan oleh Prof Laksono terkait filantropi sebagai salah satu sumber pembiayaan kesehatan dengan contoh kasus di Indonesia. Kegiatan amal/ filantropi termasuk dalam skema kerangka kerja Private Sector Engagement (PSE) dalam skema pembiayaan yang melibatkan sektor swasta. Dalam presentasi ini, secara garis besar menjelaskan tentang pembiayaan kesehatan dan situasi ketidakadilan di Indonesia, prospek filantropi di bidang kesehatan, pemetaan filantropi kesehatan di Indonesia dan alat kebijakan untuk meningkatkan filantropi.
Sebelum adanya pandemi, situasi ekonomi selama 10 tahun terakhir menggambarkan Produk Domestik Bruto (PDB) yang semakin meningkat sedangkan pendapatan (baik yang berasal dari pajak maupun bukan) cenderung datar, untuk pajak di sekitar 10% saja. Sumber pendanaan ada 2 macam yakni yang berasal dari pemerintah dan dari sektor swasta. Pendanaan pemerintah pusat yakni dari pajak yang dikumpulkan dan pendapatan bukan pajak, sedangkan dari pemerintah daerah berupa APBD. Pendanaan dari sektor swasta bisa berasal dari out of pocket, asuransi swasta, pekerja formal dan informal, serta pendanaan yang berasal dari filantropi. Data belanja kesehatan pada 2010 - 2016 menunjukkan bahwa pembiayaan kesehatan mengalami perubahan yang signifikan, pembiayaan kesehatan publik mengalami peningkatan dari 29% menjadi 48,7% sedangkan pembiayaan kesehatan swasta mengalami penurunan dari 71% menjadi 51,3% hal ini karena adanya skema UHC yang mulai diterapkan sejak 2014.
Untuk saat ini, pelaksanaan UHC masih menghadapi sejumlah kendala yakni kekurangan dana di sektor kesehatan dan masih terjadi ketimpangan. Sistem single pool dari beberapa segmentasi peserta. Banyak rumah sakit yang kekurangan dana karena tingkat klaimnya lebih rendah daripada biaya yang dikeluarkan RS, terdapat peserta yang menunggak karena tidak mampu lagi membayar premi secara rutin. Masyarakat tidak mampu terbatas soal akses karena sulit menjangkau fasilitas akibat adanya biaya tambahan seperti transportasi dan akomodasi. Skema UHC tidak memiliki dana untuk memberikan kompensasi bagi daerah terpencil dan sulit. Hal- hal tersebut berdampak pada kualitas pelayanan serta layanan kesehatan dan inovasi pun terhambat dan menjadi langka.
Objektif stategi pembiayaan adalah meningkatkan belanja kesehatan menjadi 5% dari PDB di tahun 2024 serta meningkatkan blended financing (pemerintah dan swasta). Pemerintah pusat dapat memfokuskan sasarannya pada masyarakat tidak mampu dan meningkatkan akses kesehatan di wilayah terpencil. Lalu pemerintah daerah harus aktif dalam menyeimbangkan fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia serta membayar defisit di daerahnya. Dari sektor swasta, dapat meningkatkan melalui dana komunitas dan asuransi komersial, serta menambah filantropi di bidang kesehatan.
Untuk masa yang akan datang, filantropi dibidang kesehatan mempunyai prospek yang cukup bagus dengan karakteriktik populasi besar seperti di Indonesia. Indonesia juga dikenal sebagai negara yang paling dermawan, buktinya data dari Filantropi Islam menyatakan potensi dana filantropi sebesar Rp 256 Triliun. Skema yang berjalan di Indonesia dinamakan crowdfunding yakni penggalangan dana dari sejumlah orang yang masing - masing memberikan kontribusi yang relatif kecil untuk membantu atau suatu kegiatan atau usaha dan umumnya dilakukan melalui media digital. Ada beberapa platform media digital terkait crowdfunding, contohnya Kitabisa.com, WeCare.id, ayopeduli.id dan lainnya.
Untuk pemetaan filantropi kesehatan, dibagi menjadi individu dan institusi. Individu bisa dari High-net-worth individual (HNWI) atau dari komunitas. Sedangkan institusi bisa dari perusahaan maupun non perusahaan (organisasi agama, organisasi berbasis kekeluargaan, dll). Tools yang dibutuhkan terkait kebijakan contohnya adalah kebijakan pajak yang ditinjau untuk mendukung filantropi, pajak pendapatan nasional memberikan potongan pembayar pajak untuk sumbangan amal lalu pajak perusahaan yang mendukung filantropi.
Selain sesi materi, sesi diskusi pun bisa diikuti secara aktif oleh peserta. Pada sesi penutup disampaikan bahwa webinar series 7 akan diadakan pada 23 September 2020, yang akan memberikan fokus pada beberapa bagian teknis dari implementasi PPP dan perawatan terintegrasi yang akan disampaikan oleh Prof. Siripen Supakankunti dan Asst. Prof . Dr. Narjis Rizvi.
Reporter: Herma Setiyaningsih
Series #7
23 September 2020
Kursus the Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS) series ketujuh diselenggarakan pada 23 September 2020. Kursus ini diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK - KMK UGM melalui webinar yang diikuti oleh 42 peserta dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Hongkong. Narasumber pada series ketujuh ini adalah Siripen Supakankunti dari Chulalongkorn University dan Narjis Rizvi dari Aga Khan University, dengan moderator Shita Dewi dari PKMK FK -KMK UGM.
Sesi pertama merupakan paparan materi oleh Siripen Supakankunti yang menjelaskan terkait implementasi Public Private Partnership (PPP) di rumah sakit dengan studi kelayakan di Thailand. Menurut artikel dari Klijn dkk tahun 2007, definisi PPP adalah kerjasama permanen antara aktor publik dan swasta dalam mengembangkan layanan dimana ada aturan pembagian resiko, biaya, dan keuntungan. Jika di sistem kesehatan, layanan yang dimaksud adalah layanan klinis dan non klinis. Karakteristik kunci adalah adanya alokasi resiko antara publik dan swasta, adanya kontrak dalam jangka panjang yang berdasarkan indikator yang disepakati bersama.
Bentuk - bentuk keterlibatan sektor swasta yang menjanjikan di bidang kesehatan ada dalam kategori “layanan” dan “fasilitas kesehatan”. Untuk lingkup layanan bisa dikelompokkan ke kategori non klinis (contohnya sistem informasi, laundry, makanan penglolaan limbah, layanan parkir, layanan asrama untuk tenaga medis), layanan pendukung klinis (contohnya layanan laboratorium, radiologi, layanan hemodialisa) dan layanan klinis (contohnya adalah perawatan akut, perawatan menengah dan perawatan untuk lansia). Sedangkan untuk fasilitas kesehatan, PPP bisa dalam bentuk membangun fasilitas klinik (seperti ruang pasien, peralatan medis, ruang operasi, tempat tidur pasien atau bahkan membangun rumah sakit), dan non fasilitas klinik (seperti dapur, tempat parkir, dan asrama).
Berdasarkan studi kelayakan yang dilakukan di Thailand pada 2015, sebelumnya perlu dilakukan pra studi kelayakan dengan mewawancarai 4 rumah sakit regional. Dari hasil pra studi, proyek yang berpotensi pada rumah sakit regional pertama, adalah terkait MRI, dialisis, dan laboratorium patologi. Di rumah sakit regional kedua, potensial proyeknya adalah CT scan, dan Dialisis. Sedangkan untuk rumah sakit regional ketiga dan keempat, potensial proyeknya adalah MRI center, CT scan, dan dialisis. Proyek tersebut bisa dalam bentuk membuat sesuatu yang baru atau mengembangkan dari unit yang sudah ada sebelumnya.
Berdasarkan permintaan Kementrian kesehatan dan masyarakat di Thailand, program ini berfokus pada studi kelayakan pada MRI dan CT scan. Data - data yang dikumpulkan adalah terkait informasi umum (seperti model PPP apa yang akan diterapkan, durasi proyeknya), data dari sisi permintaan (jumlah kasus, ekspektasi kasus di MRI center yang baru, ekspektasi rujukan, skema asuransi kesehatan, tarif asuransi, serta data kompetitor), selanjutnya adalah data investasi dan biaya operasional (seperti besar pajak, jumlah pegawai beserta besar gaji, belanja peralatan, biaya manajemen, pengeluaran untuk pemasaran, biaya training, serta biaya untuk kontrol kualitas).
Masalah utama yang muncul pada studi kelayakan di Thailand adalah dukungan dari kementerian tidak memadai (terkait regulasi dan kebijakan tentang PPP), kerangka/ proses dari PPP tidak jelas, tidak ada kepastian secara politis, komunikasi di rumah sakit juga sulit, kendala dari SDM (kekurangan tenaga profesional yang spesialis), konflik kepentingan, serta masalah lahan yang terbatas. Sebagai tindak lanjutnya, setelah studi ini pemerintah mengeluarkan semacam tool kit untk pedoman pemerintah yang ingin melaksanakan PPP. Pemerintahn juga melakukan pendekatan ke mitra swasta yang berpotensi.
Dari beberapa proyek yang kita ajukan ke pihak mitra, rata-rata disambut baik namun untuk laboratorium dinilai memerlukan investasi yang cukup besar sehingga dianggap secara finansial tidak layak serta didukung dengan data demand yang tidak cukup banyak.
Tantangan PPP yang dihadapi di Thailand adalah peran dan tanggung jawab harus dirumuskan dengan baik, serta standar layanan profesional, mutu layananan, komunikasi publik dan swasta, evaluasi dan audit, manajemen risiko, perubahan teknologi, isu hukum serta isu keuangan.
Sesi kedua disampaikan oleh Narjis Rizvi terkait jalur pasien dan jaringan provider dalam layanan yang terpadu. Definisi jalur pasien adalah rute yang pasien lalui dari kontak pertama dengan petugas sampai perawatan pengobatan selesai. Lalu definisi jaringan provider adalah daftar dari petugas kesehatan dan fasilitas yang bisa dikontak untuk menerima layanan kesehatan. Latra belakang dari topk ini menggunakan contoh kasus di negara pendapatan rendah dan menengah, yang memiliki banyak desa yang memiliki kesulitan akses ke fasilitas kesehatan dan keterbatasan akses listrik, air dan gas.
Sementara itu, isu kesehatan yang dihadapipun beragam seperti diare, TB, hepatitis, malaria, diabetes, hipertensi dan lainnya. Sedangkan dari sisi provider - nya, fasilitas pemerintah tidak terlalu berfungsi serta tidak profesional, dan dari sektor swasta juga tenaga kesehatannya kurang terlatih dan membutuhkan biaya yang lebih mahal. Dari kondisi tersebut menyebabkan masyarakat mendunda mencari perawatan, angka kesakitan meningkat lalu menyebabkan angka kematian juga meningkat. Dari contoh tersebut, maka disimpulkan penting untuk mengelola jalur pasien, serta mengelola penyedia layanan kesehatan.
Cara yang bisa dilakukan untuk mengelola jalur pasien antara lain membangun hubungan dengan tokoh/ perwakilan masyarakat, menyusun komite yang bisa berkomunikasi dengan komunitas, mengedukasi masyarakat agar lebih peka terrkait kesehatannya, melatih perwakilan masyarakat tersebut agar memiliki perilaku yang lebih sehat, tentang faktor risiko, dan lainnya. Sedangkan untuk mengelola penyedia layanan kesehatan, yang bisa dilakukan antara lain memetakan semua penyedia layanan kesehatan, indentifikasi ruang lingkup layanan, membentuk komite untuk berkoordinasi dengan mudah dengan semua penyedia layanan sehingga bisa memperbaiki rujukan antar fasilitas kesehatan dan lintas level.
Tantangan yang dihadapi dalam mengelola jalur pasien dan jaringan penyedia layanan kesehatan adalah tidak adanya kerangka kebijakan, hukum dan kelembagaan terkait tata kelola PPP ini, budaya medis dan organisasi yang selama ini berlaku (komunikasi yang kurang baik antara pemerintah dan swasta), kurangnya kapasitas dalam berkoordinasi, ketakutan dan kekhawatiran dari pemangku kepentingan, serta kurangnya motivasi terutama dari sektor publik.
Dari laporan WHO pada 2008, pengelolaan jalur pasien dan jaringan penyedia layanan kesehatan bertujuan untuk mengintegrasikan layanan kesehatan yang dikelola dan diberikan dengan cara memastikan masyarakat menerima promosi kesehatan yang berkelanjutan, pencegahan penyakit, diagnosis, pengobatan, manajemen penyakit, rehabilitasi dan layanan perawatan paliatif, di berbagai tingkat dan tempat perawatan dalam sistem kesehatan, dan sesuai dengan kebutuhan mereka seumur hidup.
Prinsip yang dibutuhkan dalam pengelolaan ini adalah memberikan nilai kepada pasien terkait kesehatan, mengelola penyedia layanan kesehatan, pengukuran hasil serta biaya yang disesuaikan dengan risiko. Tentu saja dalam melakukan perubahan ini diperlukan tim yang memiliki background multidisiplin agar bisa memenuhi kebutuhan perubahan yang akan dilakukan.
Webinar ini ditutup dengan menyampaikan informasi terkait pelaksanaan series 8 yang akan dilaksanakan pada 30 September 2020 dengan menghadirkan 2 narasumber yakni Prof. Eng Kiong Yeoh dari Chinese University of Hong Kong dan Prof. Kenneth Y. Hartigan-Go. M.D. BSc. dari Asian Institute of Management. Kedua narasumber akan menyampaikan materi terkait kemitraan non infrastruktur, menjelaskan beberapa contoh layanan kontrak yang tersedia dari masing - masing wilayah, serta memaparkan pemasaran sosial dan waralaba sosial.
Reporter: Herma Setiyaningsih
Series #8
30 September 2020
Series ke-8 kursus the Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS) diselenggarakan pada 30 September 2020 yang diikuti oleh 42 peserta melalui platform webinar. Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM selaku penyelenggara acara ini menghadirkan 2 narasumber utama yang dimoderatori oleh Shita Dewi, salah seorang peneliti senior di PKMK. Dua narasumber utama tersebut adalah Prof. Eng Kiong Yeoh dari Chinese University of Hong Kong dan Prof. Kenneth Y. Hartigan-Go. M.D. BSc. dari Asian Institute of Management.
Webinar ini dibuka oleh Shita Dewi dengan menanyakan tanggapan dari peserta terkait kursus yang sudah berjalan dalam 8 minggu terakhir. Sebagian besar peserta menyampaikan jika dengan adanya kursus ini dapat menambah pengetahuan terutama diberikannya paparan terkait model - model PPP yang diterapkan di berbagai negara sehingga menjadikan pembelajaran untuk membuat model yang bisa diimplementasikan sesuai dengan kondisi masing-masing lembaga/negara. Peserta juga mengapresiasi atas materi yang diberikan oleh narasumber yang memang sudah berpengalaman dibidangnya baik secara konsep maupun praktek sehingga memudahkan peserta dalam memahami framework PPP secara keseluruhan.
Sesi selanjutnya adalah penyampaian materi oleh narasumber pertama yakni E. K. Yeoh dengan topik tren dan tantangan layanan PPP di Asia Pasifik. Dirujuk dari artikel Anne Millis dkk pada 2002, Sektor kesehatan swasta terdiri dari semua penyedia layanan dan sumber keuangan yang ada di luar sektor publik, baik itu yang bertujuan untuk filantropi atau komersial, dan yang bertujuan untuk mengobati penyakit atau mencegah penyakit. Kemitraan publik - swasta di negara - negara Asia memiliki pola yang berbeda - beda, sektor swasta memainkan peran penting dalam pembiayaan dan penyediaan, bahkan di Myanmar, Laos dan Kamboja sebagian besar total belanja kesehatannya berasal dari sektor swasta. Untuk Hongkong dan China memiliki persentase yang imbang antara publik dan swasta.
Layanan kesehatan di sektor swasta digunakan tidak hanya di negara maju, bahkan negara - negara yang masuk dalam kategori miskin dan kelompok ekonomi terendah juga mengakses penyedia layanan kesehatan dari sektor swasta. Alasan untuk menggunakan layanan kesehatan di sektor swasta antara lain karena kemudahan akses, ketersediaan staf dan obat - obatan yang lebih banyak, lebih terjaga kerahasiaannya, kompetensi teknis yang lebih tinggi, persepsi bahwa penyedia swasta lebih peduli dan bertanggung jawab, menggunakan biaya dalam sistem publik, dan tetap dapat mengakses layanan publik.
Peran dari sektor kesehatan antara lain sebagai penyedia layanan, terkait pembiayaan, tata kelola dan kepemimpinan, dan menciptakan sumber daya. Peran dari sektor swasta dinilai penting karena terintegrasi dengan semua sistem kesehatan; pengaruh pada akses, kesetaraan, efektivitas biaya dan hasil kesehatan; sumber daya utama untuk cakupan kesehatan universal; kapasitas potensial, dan merupakan mitra penting untuk perawatan terpadu untuk beban penyakit kronis. Untuk definisikan ulang peran sektor swasta dalam cakupan kesehatan universal, pemerintah menggunakan himbauan, perpajakan, pengeluaran, regulasi, dan kepemilikan publik sebagai kebijakan pemerintah.
Masing - masing negara memiliki konsep yang berbeda dalam merancang PPP, dirancang sesuai dengan konteks politik, ekonomi, dan lingkungan sosial. Mengingat permasalahan tersebut, maka perlu dikaji bagaimana merancang kontrak dan menentukan peran mana yang dapat dilakukan oleh sektor swasta. Dalam menjalik kemitraan, faktor - faktor utamanya adalah: harus ada kepercayaan, tujuan dan peran yang jelas, komitmen waktu, transparansi dan informasi yang jujur terutama yang berkaitan dengan risiko dan manfaat, fleksibilitas kontrak, teknis bantuan atau insentif keuangan di balik pengaturan prosedural, serta kesadaran dan penerimaan perubahan struktural terkait dengan tanggung jawab dan keputusan.
Berdasarkan definisi dari WHO tahun 2013, Cakupan Kesehatan Universal (UHC) yakni memastikan bahwa semua orang memiliki akses ke layanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dibutuhkan dengan kualitas yang memadai agar efektif, sekaligus memastikan bahwa orang tidak mengalami kesulitan keuangan saat membayar layanan ini. Tiga dimensi yang perlu dipertimbangkan saat bergerak menuju cakupan universal adalah: populasi (siapa yang tercakup?) Dimensi kedua adalah layanan (layanan apa yang tercakup), dan perlindungan finansial: (apa yang harus dibayar sendiri?) Tujuannya adalah memperluas akses, meningkatkan kualitas, memajukan pemerataan, perlindungan finansial, mengoptimalkan efisiensi, dan meningkatkan hasil.
Strategic purchasing adalah semacam mencari cara terbaik untuk memaksimalkan kinerja sistem kesehatan dengan memutuskan intervensi mana yang ingin kita beli, bagaimana, dan dari siapa. Untuk membuat keputusan, seseorang perlu mengidentifikasi intervensi atau layanan yang akan dibeli; menentukan apakah akan membuat atau membeli layanan tersebut, kemudian memilih penyedia layanan berdasarkan ketersediaan kapasitas, kualitas, efisiensi, dan ekuitas; dan menentukan cara membeli (menggunakan instrumen sisi permintaan atau penawaran, pengaturan kontrak dan mekanisme pembayaran penyedia). E. K. Yeoh juga membagikan aplikasi dalam desain dan implementasi pembelian strategis dari sektor swasta di Hong Kong. Program tersebut menggunakan voucher untuk mendeteksi penyakit kronis pada populasi berusia 45 ke atas.
Setelah paparan dari E. K. Yeoh kemudian dilanjutkan dengan sesi kedua yakni penjelasan terkait pemasaran sosial dan waralaba serta keterlibatan pemangku kepentingan yang disampaikan oleh Kenneth Hartigan-Go. Dua pemangku kepentingan yang akan dibahas disini yaitu penyedia layanan kesehatan (misalnya dokter, fasilitas rumah sakit) dan pasien. Definisi kesetaraan, ekuitas, dan keadilan. Kesetaraan berarti Anda memberi setiap orang sumber daya yang sama, sedangkan ekuitas berarti Anda memberi lebih banyak kepada mereka yang lebih membutuhkan sehingga mereka dapat berpartisipasi secara bermakna dan setara. Untuk membuka perspektif pemecahan masalah pembiayaan kesehatan/ perawatan kesehatan universal/ kerja sama sektor publik - swasta yang mungkin ada inovasi seperti keadilan, yang berarti menghilangkan batasan sehingga semua orang berpartisipasi dalam mengakses sesuatu yang mereka nikmati tanpa harus memberi mereka sumber daya tambahan.
Wicked problem adalah masalah tanpa algoritma standar untuk dipecahkan karena persyaratan yang kontradiktif, tidak lengkap dan/ atau berubah - ubah yang seringkali tidak terduga dan sulit dikenali. masalah jahat tidak dapat diselesaikan karena solusi yang dikemukakan selalu merupakan solusi yang berkembang. Perawatan kesehatan universal adalah bentuk dari masalah yang jahat, tidak ada solusi yang sempurna dan saat kita mereformasi dan berubah, itu akan menciptakan masalah lain. Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu diingat yakni Anda hanya dapat mengelola sebagiannya dan tidak mencoba menyelesaikan seluruh masalah sendirian. Kenneth menyatakan bahwa bagian dari masalah dalam sistem kesehatan adalah bahwa beberapa pemerintah negara lalai untuk berkonsultasi dengan pasien mereka dan penerima manfaat dari pembiayaan kesehatan, hal itu mencabut hak mereka. Akibatnya, solusi yang dikedepankan sangat top down dan gagal menciptakan ekosistem kepedulian. Dalam pemasaran sosial, kami menciptakan sistem untuk memberi insentif kepada orang - orang, bukan untuk menggunakan uangnya, tetapi untuk menjaga diri mereka tetap sehat dan mengadopsi gaya hidup yang lebih baik. Sistem perawatan kesehatan universal, khususnya di Filipina, ditemukan bahwa terdapat 3 kekurangan antara lain apakah ada kesamaan visi nasional, apresiasi terhadap rantai nilai penguatan sistem kesehatan hilang, sistem nilai penyedia layanan kesehatan harus berubah.
Prinsip dari pelayanan kesehatan universal berbasis nilai adalah untuk mencegah pasien dari komplikasi, perlu menanamkan perawatan rawat jalan preventif promotif, menghindari adanya kasus lanjutan dimana akan berdampak pada pembiayaan yang lebih besar dan akan ada kehilangan peluang ekonomi yang signifikan. Dalam hal mendesain model yang berpusat pada pengalaman pasien, ada tiga perubahan pola pikir yang dibutuhkan, antara lain pergeseran ke berbasis nilai, pergeseran dari reaktif menjadi proaktif, dan regulasi yang seimbang dengan eksperimen.
Pemasaran sosial tidak mencoba untuk menjual suatu produk, tetapi merupakan paket komunikasi pemasaran secara sosial sehingga mengubah gaya hidup yang akan berkontribusi pada jaminan kesehatan sosial. Salah satu cara adalah dengan memperkenalkan beberapa konsep pemasaran, dengan menentukan target pasaran melalui cara berikut: 1) produk apa yang ingin dijual pemerintah 2) berapa harga yang ingin diinvestasikan oleh pemerintah 3) di mana tempat terbaik untuk memberikan layanan ini dan 4) bagaimana cara mempromosikan pesan pemasaran. Dalam konsep waralaba sosial, pemerintah perlu mencari kemitraan karena tidak mampu memberikan kontribusi yang komprehensif dalam segala hal. Harus ada model waralaba sosial yang akan membawa praktisi perawatan swasta dan asuransi kesehatan swasta untuk berpartisipasi dalam sistem asuransi kesehatan sosial pemerintah.
Pada akhir sesi, Kenneth mengadakan diskusi kelompok, kemudian dilanjutkan dengan sesi penutup oleh moderator dengan menyampaikan informasi terkait pelaksanaan series 9 yang akan dilaksanakan pada 7 Oktober 2020 dengan menghadirkan 2 narasumber yakni Prof. Kenneth Y. Hartigan-Go. M.D. BSc. dari Asian Institute of Management dan Asst. Prof .Dr. Narjis Rizvi dari Universitas Aga Khan. Topik yang akan dibicarakan adalah bagian terakhir dari framework yakni cara - cara untuk memastikan nilai uang, terutama dengan layanan kontrak dan infrastruktur PPP. Kemudian juga akan menjelaskan pentingnya mengelola dan memantau hasil untuk memastikan bahwa yang dibeli adalah layanan yang berkualitas.
Reporter: Herma Setiyaningsih
Series #9
7 Oktober 2020
Kursus the Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS) kembali diselenggarakan pada 7 Oktober 2020. Ini merupakan series ke - 9 dari 10 series pelatihan yang diadakan oleh Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK - KMK UGM. Narasumber utama pada kegiatan ini adalah Prof. Kenneth Y. Hartigan-Go. M.D. BSc. dari Asian Institute of Management dan Asst. Prof. Dr. Narjis Rizvi dari Universitas Aga Khan serta dimoderatori oleh Shita Listya Dewi dari PKMK FK - KMK UGM. Topik yang disampaikan adalah bagian terakhir dari framework yakni cara - cara untuk memastikan nilai uang, terutama dengan layanan kontrak dan infrastruktur PPP.
Pada sesi pengantar, Kenneth menyampaikan bahwa mayoritas negara mengalami keterbatasan sumber daya kesehatan. Dari tantangan tersebut, ingin diketahui sejauh mana sektor swasta terlibat, bagaimana sektor swasta mendefinisikan value for money dan bagaimana memperkuat sistem kesehatan. Untuk itu pada sesi kali ini Kenneth juga mengundang Esther Go, CEO dari perusahaan MediLink, yang merupakan bagian dari konsorsium perusahaan yang berperan penting dalam penyediaan layanan kesehatan dan berbagai inovasi. Esther memberikan paparan terkait data - data kesehatan di Filipina. Filipina memiliki tantangan yakni angka harapan hidup relatif rendah jika dibandingkan Negara - negara di ASEAN, rasio dokter per 1000 penduduk tergolong rendah dan jumlah rumah sakit sedikit. Di era pandemi seperti sekarang juga bermasalah terkait pembiayaan, karena asuransi tidak berlaku untuk semua penyakit.
Diketahui bahwa pada 2015, out of pocket di Filipina merupakan angka tertinggi di Asia yakni mencapai 53,5% dari total belanja kesehatan. Pada 2016 diketahui bahwa angka kematian di Filipina mayoritas disumbang dari faktor penyakit tidak menular yang disebabkan oleh gaya hidup dan lingkungan yang kurang baik. Penyakit tidak menular ini selain mempengaruhi beban pasien, juga menimbulkan beban untuk keluarganya jika penyakitnya tergolong kategori lanjut.
Layanan berbasis nilai atau yang disebut dengan (Value Based Healthcare/ VBH) yakni memberi layanan yang tepat, dilokasi dan waktu yang tepat dan dengan personil yang tepat. Sedangkan fee for service (FFS) adalah model konvensional dimana pasien membayar per episode/layanan, tidak ada kaitan langsung antara pembayaran dengan hasil yang diperoleh. Layanan berbasis nilai adalah dengan tarif tertentu (misal per tahun) pembayar dan juga provider memiliki insentif untuk menyelaraskan matriks dengan kebutuhan pasien, layanan hanya diberikan untuk pasien yang sakit serta tidak bergantung pada jumlah kunjungan.
Untuk dapat memberikan layanan kesehatan ini, tidak bisa hanya bergantung pada satu instansi. MediLink merupakan health enterprise platform dimana berfungsi untuk mengecek kapasitas untuk membayar, apakah preminya sudah dibayarkan dan apa saja cakupan yang di - cover asuransi tersebut. Selanjutnya ada juga yang dinamakan dengan Maxicare yakni untuk perencanaan asuransi yang memberikan perlindungan terhadap resiko finansial. Lalu ada juga Equitable Computer Services yang berfungsi untuk membayarkan copayment yang dikumpulkan di Maxicare ke dokter/penyedia layanan. Untuk koordinasi terkait perawatan dilakukan melalui teknologi infomasi kesehatan melalui digitalisasi perawatan kesehatan yang memungkinkan anggota untuk menerima pemantauan dan pengobatan pada tahap yang sangat awal, juga menghilangkan hambatan fisik dan psikologis untuk mencari perawatan kesehatan secara tepat waktu, terutama selama pandemi.
Prof Kenneth menutup sesi dengan kesimpulan bahwa manajemen kemitraan dan manajemen layanan merupakan hal yang sangat penting dalam melayani pasien. Perawatan kesehatan berbasis nilai adalah hal yang penting meskipun kita menghadapi banyak tantangan dalam hal sikap, nilai, dan tradisi. Ini memberi nilai lebih untuk uang bagi pelanggan karena sistemnya yang terintegrasi, serta sektor publik. Kebocoran dan pemborosan sumber daya dapat dikelola, melalui kemitraan dan koordinasi perawatan dengan sektor swasta.
Sesi kedua disampaikan oleh Narjis Rizvi terkait kegiatan pengelolaan dan pemantauan hasil/ luaran dari layanan kesehatan. Latar belakang kegiatan pemantauan dan monitoring adalah untuk memastikan kualitas layanan yang dibeli. Kerangka konsep yang digunakan adalah yang berpusat pada pengguna layanan, dimana semua pemangku kepentingan berkoordinasi untuk memberikan layanan yang berkualitas. Negara yang menyelenggarakan universal health coverage (UHC) adalah negara - negara yang menilai kesehatan merupakan hak dasar dari manusia. Bagian dari layanan terpadu ini maka pemberi layanan harus bisa diakses oleh setiap orang, kualitas layanan harus baik, memenuhi kebutuhan dan harapan dari pengguna layanan. Selain itu sistem kesehatan juga harus didasarkan pada ekuitas, komprehensif, juga mencakup pencegahan serta promosi kesehatan dan juga harus sensitif terhadap faktor penentu yang ada di sosial seperti faktor resiko yang mempengaruhi status kesehatan seseorang.
Manajemen yakni menetapkan strategi organisasi dan mengkoordinasikan upaya karyawan (atau relawan) untuk mencapai tujuannya melalui penerapan sumber daya yang tersedia, seperti keuangan, alam, teknologi, dan sumber daya manusia. lalu kegiatan pemantauan adalah pelacakan/ pelaporan rutin dari informasi prioritas tentang suatu proyek/program. Jadi untuk layanan kesehatan terpadu, bagaimana sebuah negara bergerak menuju layanan kesehatan terpadu dengan aspek monitoringnya adalah input, apa proses yang sudah diterapkan, output/ keluaran, outcome/hasil, serta apa dampaknya dari semua kegiatan yang dilakukan. Untuk bisa memonitor, harus ada 3 level yakni makro, meso dan mikro. Di tingkat makro fungsinya untuk lihat apakah ada lingkungan yang mendukung, tingkat meso untuk melihat apakah layanan berpusat pada manusia dan terintegrasi, dan tingkat mikro untuk melihat layanan apakah memang dikoordinasikan seputar kebutuhan dari masyarakat.
Pada pemantauan di tingkat makro/ input adalah stabilitas politik, akuntabilitas dari pemerintah, kualitas dari regulasi, penegakan tentang undang - undang, kontrol terkait korupsi, sumber pembiayaan untuk sektor keseharan, tindakan lintas sektor dalam penanganan determinan struktural dari kesehatan, perlu kolaborasi antara sektor kesehatan dengan sektor lainnya seperti (pendidikan dan sosial), kebijakan publik yang sehat yang berfokus pada UHC dan ekuitas, serta pembangunan sosial ekonomi. Untuk di tingkat meso/ tingkat proses, yang harus di pantau dan kelola adalah pemberdayaan masyarakat, memperkuat tata kelola dan akuntabilitas, orientasi ulang model layanan yang komprehensif (kuratif, promotif dan preventif), koordinasi tiap layanan antara publik dan swasta, koordinasi sektor kesehatan dan lainnya juga lingkungan yang mendukung. Untuk di tingkat mikro, pemantauan dilakukan menggunakan 6 komponen dari WHO yakni pembiayaan untuk sektor kesehatan, paket layanan yang diberikan oleh pemerintah, ketersediaan obat/ teknologi dan peralatan, sistem informasi kesehatan apakah relevan dan dikumpulkan tepat waktu, tenaga kesehatan harus memadai dan terampil.
Pelaksanakaan pemantauan dilakukan melalui mengukur perubahan dari karakteristik yang bisa dikuantifikasi atau biasa disebut dengan istilah indikator. Indikator yang digunakan adalah input, proses, output, outcome dan dampak. Indikator di tingkat makro contohnya strategi kesehatan nasional apakah dikaitkan dengan kebutuhan dan prioritas nasional, apakah ada kebijakan obat nasional, rencana strategi nasional untuk beberapa penyakit seperti TB, malaria, HIV dan kesehatan ibu anak, serta keberadaan dokumen penganggaran, tinjauan kinerja tahunan, mekanisme untuk bisa mendapatkan input dari pasien. Untuk indikator meso, antara lain inisiatif dari pemerintah untuk membuat kerangka kebijakan fleksibel, pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk berkomunikasi dengan pasien/ komunitas lainnya, formulasi kerangka dan mekanisme untuk penguatan pemerintahan dan akuntabilitas, penguatan anggaran untuk layanan pencegahan, inisiatif untuk penyelenggaraan bersama untuk berkolaborasi.
Selanjutnya untuk indikator di tingkat mikro adalah terkait penyediaan layanan kesehatan seperti layanan bisa diekspansi hingga ke daerah pedesaan/terpencil, apakah didasarkan pada kesetaraan terutama untuk komunitas yang rentan, lalui juga terkait ketersediaan obat - obat esensial, ketersediaan tenaga kesehatan, serta ketersediaan informasi. Untuk indikator outcome antara lain cakupan anak yang diimunisasi, kualitas dari penyedia layanan yang sesuai protokol, kesetaraan dari penerima layanan terutama untuk kelompok rentan, program yang komprehensif dan jumlah program yang berkolaborasi dengan pihak - pihak di luar sektor kesehatan. Selanjutnya untuk indikator dampak bisa dilihat dari penurunan angka kematian ibu dan anak, responsif terhadap kebutuhan dari masyarakat, perlindungan finansial bisa dicek melalui prosentase rumah tangga yang sudah memiliki asuransi, serta peningkatan efisiensi.
Kegitan monitoring membantu dalam pengambilan keputusan dari pemangku kepentingan melalui informasi yang telah dikumpulkan, untuk memecahkan masalah, melibatkan masyarakat dan civil society organization (CSO) contohnya adalah edukasi/ penyuluhan. Selain itu monitoring juga bisa untuk meninjau akuntabilitas dari petugas kesehatan terkait beban kerja, bisa juga untuk penentuan anggaran karena disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi pada wilayah tersebut, mendorong pembelajaran antar negara agar saling bisa mengambil pengalaman apa saja yang sudah diterapkan di masing - masing negara.
Langkah - langkah untuk mengembangkan kerangka kerja dari monitoring antara lain menetapkan tujuan programnya, contohnya yakni layanan kesehatan terpadu. Kedua adalah menetapkan pertanyaan monitoring, indikator dan kelayakan yang dipantau di tingkat makro, meso dan mikro. Ketiga adalah menetapkan metodologi peninjauan, sebagai contoh mengumpulkan infromasi dan data melalui data pemerintah, atau survey atau wawancara ke klien, atau data literatur/ laporan. Keempat adalah merancang mekanisme untuk bisa mengatasi jika ada pemasalahan dalam implementasi. Kelima adalah indentifikasi sumber daya internal maupun eksternal, keenam adalah mengembangkan matriks dan jadwal dari rencana kerja. Serta terakhir adalah mengembangkan diseminasi hasil dan pemanfaatan temuan dari kegiatan monitoring yang sudah dilakukan.
Sesi terakhir adalah sesi penutup dengan menyampaikan pertemuan selanjutnya akan ada presentasi dari peserta terkait pilot proyek peran sektor swasta. Selain itu pada series ke - 10 pada 14 Oktober 2020 juga akan ada presentasi dari World Bank terkait manajemen kontrak, ketrampilan yang harus dimiliki serta tantangan yang dihadapi dalam membentuk kemitraan dengan sektor swasta.
Reporter: Herma Setiyaningsih
Series #10
14 Oktober 2020
Series ke - 10 kursus the Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS) diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK - KMK UGM pada 14 Oktober 2020. Ini merupakan series paparan materi terakhir di rangkaian kursus ANHSS dengan peserta yang berasal dari berbagai negara sejumlah 66 peserta. Webinar kali ini agak berbeda dengan series - series sebelumnya, karena selain ada narasumber utama yakni Prof. Dr A.Venkat Raman dari Fakultas Studi Manajemen, University of Delhi, ada juga presentasi dari 3 peserta kursus tentang pengalaman terkait Public Private Partnership (PPP) atau Private Sector Engagement (PSE), serta dimoderatori oleh Shita Dewi, peneiliti di PKMK FK - KMK UGM.
Pada sesi pertama, Venkat Raman memberikan materi terkait kontrak dan manajemen kontrak. Di awal presentasinya, Venkat memberikan latarbelakang perlunya melibatkan sektor swasta. Pertama adalah jumlah infrastruktur kesehatan yang belum sesuai standar (misalnya jumlah tenaga kerja kesehatan dan tempat tidur per 1000 penduduk), kedua adalah perlu mengoptimalkan fasilitas publik di level desa (misal terjadi utilisasi yang rendah karena kekurangan personil dan belum ada layanan kesehatan spesialistik), lalu yang alasan ketiga adalah bertujuan melindungi golongan miskin dari out of pocket/ OOP (misalnya melalui skema asuransi atau bisa juga melalui strategic purchasing). Jadi dengan melibatkan sektor swasta diharapkan bisa melengkapi hal - hal yang belum bisa dioptimalkan oleh pemerintah.
Diambil dari publikasi Venkat Raman (2012), berdasarkan tujuannya ada 3 model PSE/PPP yakni dalam infrastuktur, penyedia layanan, dan proteksi finansial. Untuk model infrastruktur, istilah spesifik untuk kontrak adalah persetujuan konsesi (concession agreement). Untuk di model penyedia layanan, kontrak yang digunakan adalah kontrak manajemen, co-location, atau bisa juga berbentuk waralaba. Untuk model proteksi finansial bisa berbentuk asuransi kesehatan, hibah, atau sosial proteksi berbentuk lainnya. Kemudian ada juga keterlibatan swasta di bidang lainnya, seperti teknologi kesehatan digital, pemasaran sosial, penelitian mengenai obat. Lingkup dari PSE/PPP antara lain layanan non klinis, layanan primer, layanan klinis pendukung, layanan klinis spesialistik, dan operasional rumah sakit.
Contoh kontrak non klinis adalah kontrak mengenai pengelolaan kebersihan rumah sakit, penilaian berbasis kinerja dan tingkat kebersihannya. Area rumah sakit diatur menjadi 4 kategori yakni area dengan risiko paling tinggi (ICU, neonatal, ruang operasi), area dengan risiko tinggi, area risiko sedang dan area dengan risiko rendah (ruang administrasi, ruang teknisi). Jadwal kebersihannya disesuaikan tingkat risiko, daerah paling tinggi risiko dibersihkan tiap 3 jam, sedangkan area dengan risiko paling rendah dibersihkan cukup satu kali dalam sehari.
Kemudian dilakukan penilaian setiap 2 hari dengan memasukkan nilai/skor di sistem. Output maksimal nilai yang dihasilkan dari sistem adalah 80, sedangkan 20 poin sisanya adalah penilaian feedback dari pasien. Kemudian pembayaran ke kontraktor berdasarkan total nilai. Jika total nilai melebihi 80 maka tidak ada pengurangan pembiayaan, jika total nilai 61 - 80 maka uang yang dibayarkan hanya 80%, untuk total nilai 41 - 60 maka yang dibayarkan hanya 60%, dengan asumsi terburuk adalah kontraktor tidak akan menerima uang apabila total nilai hanya 0 - 10.
Contoh kedua adalah kontrak terkait layanan kesehatan untuk persalinan dan neonatal. Di salah satu provinsi di India, diketaui tiap 100 persalinan, 85% adalah persalinan normal dan sisanya 15% adalah persalinan dengan komplikasi (terdiri dari 3% eklamsia, septicemia 2%, tranfusi darah 3%, dan SC sebesar 7%). Skema pembiayaan untuk persalinan tersebut berupa lump sum dengan dibedakan berdasarkan tingkat kesulitan persalinan. Sebagai contoh, untuk persalinan normal sebesar 1.800 Rupee, sedangkan untuk operasi Caesar sebesar 7.000 Rupee.
Selain terkait persalinan, juga ada pembiayaan untuk kunjungan pra persalinan, perawatan antenatal, USG, NICU, makanan dan transportasi. Kemudian ada skema tambahan untuk melengkapi skema pembiayaan sebelumnya yaitu untuk perawatan darurat untuk bayi baru lahir dengan risiko tinggi, terutama untuk jasa dari dokter obsgyn dan untuk biaya medis darurat. Prinsip dalam kontrak ini antara lain pembelian dilakukan dalam jumlah besar, menggunakan kualifikasi entri yang sederhana, konsultasi yang ekstensif dengan para praktisi, melaksanakan uji coba terlebih dahulu sebelum di ekspansi, layanan perawatan berkelanjutan dan pembayaran/ insentif di muka. Venkat juga menceritakan bahwa skema yang digunakan ini mendapat penghargaan dari PBB karena penilaiannya sangat baik.
Selanjutnya untuk contoh ketiga berfokus pada pelayanan primer yakni terkait bagaimana mengontrak/melibatkan swasta untuk memberikan layanan Tuberculosis (TB). Mekanisme kontrak tidak hanya dibatasi melalui melalui hibah tapi juga PPM (public private mix). Untuk melibatkan sektor swasta, kami mengutamakan layanan berkesinambungan yang berbentuk paket per diagnosis. Kemudian ada lembaga yang bertugas menjadi perantara antara pemerintah dengan sektor swasta, lembaga ini dinamakan Patient to Provider Service Agency (PPSA). Tugas dari PPSA adalah mencatat angka notifikasi kasus TB dari masing - masing provider swasta kemudian melaporkannya ke pemerintah.
Selanjutnya pemerintah akan membayarkan biaya tersebut ke provider swasta melalui PPSA juga. Untuk tolak ukur kinerja, ada beberapa indikator yang harus dipenuhi oleh provider swasta, contohnya indikator notifikasi kasus harus terpenuhi 90% dari target. Kemudian masing - masing indikator (notifikasi kasus, konfirmasi bakteriologis, validasi akun, Drug Sensitivity Test/DST, tes HIV dan Diabetes Militus, angka keberhasilan kasus) memiliki bobot yang akan menjadi penentu besaran pembayaran dari pemerintah. Prinisip yang digunakan dalam kontrak ini adalah menggunakan database yang terpusat untuk mengurangi intervensi dari manusia (pejabat provinsi) serta pembayaran juga didasarkan pada kinerja swasta. Skema model ini sudah dilaksanakan di 4 provinsi kemudian akan dilanjutkan di 18 provinsi lagi.
Contoh terakhir adalah kontrak untuk manajemen rumah sakit. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit super spesialis yang berada di daerah terpencil namun tidak berjalan dengan baik karena susah mendapatkan dokter spesialis yang mau ditempatkan di rumah sakit ini sehingga RS hanya digunakan untuk rawat jalan yang berakibat sebagian besar kapasitas RS tidak terisi. Oleh karena itu pemerintah memutuskan untuk mengontrak pihak swasta untuk meningkatkan manajemen RS. Dari penelitian Venkatraman dan La Forgia (2014), setidaknya ada 16 parameter yang harus ada di kontrak manajemen rumah sakit, antara lain definisi dari pembayar dan penyedia layanan, lingkup layanan, struktur tarif, ketentuan administratif, insentif dan denda, dan lainnya.
Di akhir sesinya, Venkat merangkum tantangan kunci dalam manajemen kontrak antara lain tekanan politik yang menyebabkan kurang memadainya persiapan kontrak, lingkup proyek yang kurang realistik, database berbasis sistem, mitigasi risiko, payung hukum yang jelas, unit organisasi khusus untuk mengelola kontrak, IT, perlu anggaran/ dana khusus yang sudah disiapkan untuk PPP, ada rencana transisi untuk setiap kontrak agar tidak ada penurunan layanan ketika kontrak berakhir. Jika diringkas, ada 4 elemen utama yang harus ada di dalam kontrak yakni pengelolaan hubungan dengan mitra swasta, bagaimana kita memastikan bahwa parameter untuk layanan terpenuhi, bagaimana memastikan fungsi harian berjalan baik dan memastikan pembayaran bisa lancar. Kemudian ada tim manajemen kontrak yang mengatur semuanya.
Sesi dilanjutkan dengan presentasi dari 3 delegasi Indonesia. Peserta pertama adalah Fahriah yang mempresentasikan PSE untuk pengendalian Antimicrobial Resistance (AMR) di Indonesia. AMR adalah kondisi dimana mikro organisme sudah resisten terhadap antibiotik yang menyebabkan pengobatan standar menjadi tidak efektif sehingga menyebabkan infeksi bisa menyebar ke orang lain, diprediksikan pada tahun 2050 sekitar 10 juta kematian di dunia disebabkan oleh AMR. Langkah yang diambil oleh Indonesia adalah membuat Renstra Antibiotik yang digagas oleh Kemenko PMK, Kemenkes, Kementan dan Kemenkeu pada 2017 - 2019.
Tujuan stratedi tersebut antara lain meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang antibiotik, mengurangi insidensi kejadian infeksi, mengoptimalkan penggunaan antibiotik dan mengembangkan kasus ekonomi untuk investasi berkelanjutan. Sektor swasta berperan dalam memberikan sistem edukasi AMR melalui kegiatan pelatihan dan sertifikasi, diseminasi di media, kampanye dan advokasi ke pemangku kebijakan. Mengoptimalkan sektor swasta dengan melatih swasta sebagai agen perubahan (terutama apoteker) untuk memberikan penyuluhan dan kesadaran penggunaan antibiotik hanya berdasarkan resep.
Presentasi kedua adalah Nurul dari Subdirektorat TB Kementerian Kesehatan terkait PPP Program Tuberculosis. Pada 2019, kasus TB di Indonesia yang dilaporkan sebanyak 67%, sisanya diperkirakan sebesar 33% belum terdeteksi dan belum terlaporkan. Untuk mengatasi hal tersebut, terkait kasus yang belum terdeteksi, Subdit TB melakukan kontak investigasi/ kontak tracing yang dilakukan oleh petugas puskesmas/ kader/ CSO (Civil Society Organization). Untuk kasus yang belum terlaporkan, intervensi yang digunakan adalah melalui District Publik Private Mix (DPPM), mandatori notifikasi, penguatan surveilans sistem, kolaborasi dengan program TB HIV& TB anak, meningkatkan sistem informasi. Dari literatur yang ada diketahui pada tahun 2017 lebih dari 70% pasien TB berobat di sektor swasta, oleh karenanya sektor swasta akan terus dilibatkan dalam pengendalian TB di Indoesia.
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah minimnya kegiatan kolaborasi multi sektoral, masih terdapat under-reporting yang disebabkan oleh belum ada sistem reward & punishment, lalu masih ada kesenjangan komitmen dari pemerintah daerah, belum memaksimalkan sumber-sumber pendanaan yang potensial seperti JKN, dana desa, dana cukai rokok, CSR. Kemudian diketahui pula dukungan dari Global Fund diketahui akan perlahan-lahan dikurangi sehingga menyebabkan kurangnya anggaran untuk mengoptimalkan CSO. Oleh karena itu kedepannya Kementerian kesehatan akan terus melibatkan penyedia layanan kesehatan dari swasta, memberikan reward berdasarkan kinerja, TB masuk dalam indikator utama untuk akreditasi layanan kesehatan, integrasi sistem TB dan BPJS.
Pada series kali ada beberapa pembahas, pembahas pertama adalah dr. Kalsum Komaryani, MPPM dari PPJK Kementerian Kesehatan. Data di Indonesia pada 2018 menunjukkan belanja kesehatan dari pemerintah 53,6% dan belanja kesehatan dari pihak swasta adalah sebesar 46,4%. Untuk saat ini jumlah fasilitas kesehatan swasta yang terlibat dalam program JKN (baik faskes primer maupun rumah sakit) lebih banyak dari sektor swasta dibandingkan dari pemerintah. PSE sudah ada diinisiasi sejak lama namun untuk ke depannya perlu memperbaiki terkait pengaturannya, serta perlu mengatur pula untuk pembiayaan di public private mix. Pada 2018 sudah terbit peraturan Menteri Kesehatan No 40 tentang kemitraan pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastuktur kesehatan, dan saat ini juga sedang dalam proses penyusunan untuk mengatur kerja sama yang non-infrastruktur.
Pembahas kedua adalah dr. Nadia (Direktur P2PML Kemkes), yakni dengan menekankan pada belanja kesehatan strategis untuk penanganan TB yang melibatkan sektor swasta sebagai bagian dari tambahan manfaat serta menyusun regulasi yang kuat, sehingga diharapkan TB bisa dieliminasi pada tahun 2050. Pembahas ketiga adalah Tara dari WHO, yang menekankan pada kolaborasi multi sektoral, serta memastikan ada pengelolaan konflik kepentingan sehingga kolaborasi dapat bekerja sama. Lalu bisa juga melalui rekayasa sistem, contohnya melalui akreditasi fasilitas kesehatan. Pembahas keempat adalah Prof. Laksono Trisnantoro, beliau menyebutkan selama ini pendekatan untuk kasus AMR dan TB hanya sebatas persuasif, bukan sebagai kewajiban. Perlu strategi yang bisa memaksakan sehingga bisa memperbaiki surveilans serta terkait pembiayaan perlu meningkatkan komunikasi antara BPJS dan pemerintah. Pembahas terakhir adalah Prof Kenneth yang memberikan perspektif yang berwawasan pemasaran sosial, bahwa ada elemen organisasi dan manusia yang harus ada dipertimbangkan saat merancang program.
Sesi terakhir pada kegiatan ini mengingatkan bahwa pekan depan yakni 21 Oktober 2020 merupakan webinar penutup, perspektif dari sektor swasta yakni tantangan untuk bekerjasama dengan pemerintah. Pembicara adalah Dale Huntington, Sc.D dari Johnson and Johnson. Lalu pembicara kedua adalah Atikah Adyas yang akan memberikan perspektif dari Asuransi Swasta. Dilanjutkan dari Prof EK. Yeoh yang akan merangkum seluruh pembelajaran pada rangkaian series webinar ini.
Reporter: Herma Setiyaningsih