Dimensi Person-centered care (PCC) dalam UU Kesehatan

Sejak dibuat sampai dengan disahkan, UU Kesehatan terbaru sudah mengalami kontroversi, seperti dugaan organisasi profesi monopoli pendidikan dan praktik sejawat. Tidak ada kontroversi tentang pelayanan fasilitas kesehatan kepada pasien maupun masyarakat. Pasal 189 UU Kesehatan tentang kewajiban RS menjamin bahwa RS “memberikan pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminatif, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit”. UU Kesehatan sudah mengakomodir bahwa Fasilitas pelayanan kesehatan berkewajiban memberikan pelayanan yang bermutu, namun sumber daya fasilitas kesehatan yang ada saat ini sangat memungkinkan fasilitas pelayanan kesehatan tidak mampu memenuhi kewajibannya karena ketimpangan sumber daya di Fasilitas Kesehatan, sehingga menimbulkan keluhan.

Keluhan pasien maupun masyarakat terhadap fasilitas kesehatan pada wilayah timur Indonesia lebih terdengar daripada wilayah lainnya, seperti pasien yang sudah berkunjung ke RS namun disuruh pulang sehingga meninggal, jumlah tenaga kesehatan minimal saat hari libur, pasien diminta membayar sebelum mendapatkan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan tidak ramah, komunikasi tenaga kesehatan kurang baik dan lainnya. Keluhan dapat ditekan melalui monitoring dan evaluasi (Monev) secara internal oleh rumah sakit dan eksternal oleh masyarakat, pasien, dan Dinas Kesehatan. Monev dapat menggunakan framework dimensi mutu yang telah dipublikasi oleh World Health Organization (WHO) tahun 2006.

Tulisan ini menganalisis UU Kesehatan menggunakan framework dimensi mutu, khususnya dimensi Person-centered care (PCC) atau perawatan berpusat pada orang. Person-centered care mempunyai nama lain patient-centered care atau perawatan berpusat pada pasien. The Institute of Medicine menggambarkan perawatan berpusat pada pasien sebaga hal-hal yang meliputi kasih sayang, empati, rasa hormat, tanggap terhadap kebutuhan, nilai, dan keinginan yang diungkapkan oleh pasien. PCC titik tolaknya adalah etika dan setiap orang dipahami sebagai individu yang unik, sehingga tindakan perawatan tidak akan pernah sama untuk setiap pasien.

Penulisan kata PCC terdapat pada pasal 179 “dalam rangka peningkatan akses dan mutu Pelayanan Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat mengembangkan:

  1. jejaring pengampuan Pelayanan Kesehatan;
  2. kerja sama 2 (dua) atau lebih Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
  3. pusat unggulan; dan
  4. Pelayanan Kesehatan terpadu.

Yang dimaksud dengan ”Pelayanan Kesehatan terpadu” adalah pelayanan kesehatan yang terintegrasi yang diselenggarakan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan secara terpadu, multidisiplin, dan berpusat pada kebutuhan Pasien (patient centered care).

UU Kesehatan terbaru sudah mengakomoder sebagian dimensi mutu Patient Centered Care (PCC). Dimensi PCC penting dicapai karena mempunyai banyak manfaat bagi pasien, sistem pelayanan kesehatan dan bagi klinisi. Manfaat PCC bagi pasien antara lain: meningkatkan kepuasan, meningkatkan derajat kesehatan, meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, meningkatkan pelayanan preventif, memperbaiki fungsi perfoma, dan mempererat hubungan pasien dengan tenaga kesehatan. Manfaat PCC bagi sistem pelayanan kesehatan antara lain:

  1. kepatuhan pengobatan yang lebih baik, rekomendasi dan rencana tindak lanjut pelayanan setelah visitasi tenaga klinis;
  2. meningkatkan efisiensi pelayanan;
  3. mengurangi lama waktu rawat inap; dan
  4. memperpendek waktu tinggal di RS.

Manfaat PCC bagi tenaga klinis antara lain: meningkatkan kepuasan; penggunaan waktu yang lebih baik; dan mengurangi keluhan dari pasien.

PCC akan tercapai jika 3 komponen proses terpenuhi, yaitu: 1) fasilitasi (listening), 2) penalaran klinis (thinking) dan, 3) kolaborasi (shared decision-making). Ketiga komponen tersebut harus masuk pada pasal tentang hak pasien UU Kesehatan karena PCC sebagai proses interaksi pasien dan tenaga kesehatan. Hak pasien yang tertulis dalam UU kesehatan masih bersifat umum, yang kemungkinan susah dipahami oleh masyarakat.

fg1

Sumber: Louw JM, dkk, 2020

Komponen 1 (fasilitasi) belum terakomoder secara baik pada pasal tentang hak pasien UU Kesehatan. Pada komponen ini tenaga kesehatan harus melakukan eksplorasi tentang penyakit maupun pengalaman sakit pasien sehingga dapat mengetahui kondisi pasien secara utuh. Fakta yang sering terjadi saat ini bahwa pasien sering mengeluh karena alokasi waktu bertemu tenaga klinis yang singkat, pasien merasa dokter tidak bertanya secara cukup kepada pasien tentang keluhannya, pasien merasa tenaga klinis kurang ramah sehingga tidak mampu membina hubungan baik dengan pasien. Lemahnya implementasi komponen 1 menyebabkan tenaga klinis tidak mampu mengetahui kondisi dan kebutuhan pasien, salah diagnosa dan salah penatalaksanaan pelayanan kesehatan.

Komponen 2 (thingking) terakomoder pada poin d bahwa “mendapatkan perawatan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan”. Perbedaan sarana prasarana serta kompetensi yang dimiliki oleh rumah sakit menyebabkan tenaga klinis tidak mampu memberikan pelayanan sesuai standar bahkan tenaga kesehatan tidak mendapatkan pengetahuan terkini tentang standar pelayanan. Ini menyebabkan lemahnya penalaran klinis tenaga kesehatan sementara penalaran klinis sangat berkaitan dengan komponen ke- 3 PCC. Penalaran klinis dibutuhkan untuk menguatkan alasan tenaga kesehatan mengusulkan pelayanan kesehatan kepada pasien dan keluarga.

Komponen 3 (kolaborasi) terakomoder pada poin h “menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap”. Namun poin f menyebutkan bahwa “menentukan sendiri pelayanan Kesehatan yang diperlukan bagi dirinya secara mandiri dan bertanggung jawab”. Pasal ini mengkhawatirkan karena seorang pasien tidak akan mampu menentukan pilihan pelayanan kesehatan secara mandiri, perlu kolaborasi dengan tenaga kesehatan. Hal ini perpotensi mendukung tingginya kejadian pasien pulang atas permintaan sendiri dan tidak mau mendapatkan pelayanan sesuai pelayanan klinis yang dianjurkan dokter. Poin f harus dihapus karena poin h sudah cukup. Komponen 3 memerlukan komunikasi yang baik antara pasien, keluarga, dan tenaga klinis.

Upaya menerapkan dimensi PCC perlu diperkuat melalui penyusunan pedoman PPC di fasilitas pelayanan primer dan fasilitas pelayanan rujukan. Pedoman PCC dapat disusun per penyakit. Pedoman disusun berdasarkan pada hasil sintesis bukti ilmiah dan menawarkan rekomendasi yang berfungsi sebagai dasar tidak hanya untuk mendukung pengambilan keputusan dokter-pasien, tetapi juga untuk merencanakan, mengevaluasi dan meningkatkan pelayanan kesehatan.

Penulis: Eva Tirtabayu Hasri

{jcomments on}