sesi paralel
Strategies for enhancing state capability for implementation
(Michael Woolcock, Lead Social Development Specialist, World Bank and Lecturer in Public Policy, Harvard University)
Keberhasilan dalam pencapaian target-target tertentu juga mengandung implikasi bagi pemerintah. Misalnya, dengan semakin tingginya angka harapan hidup berarti pemerintah harus meningkatkan kemampuannya untuk menyediakan layanan kesehatan lebih lama untuk kelompok usia tertentu.
Ini juga berarti pemerintah harus dapat mengumpulkan pendapatan dengan lebih efektif dan mengalokasikannya secara efisien untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar. Artinya, semakin maju suatu Negara, semakin besar tanggungjawabnya dan semakin besar kebutuhannya untuk dapat merespon kemajuan tersebut.
Banyak investasi diberikan untuk membangun kemampuan perencanaan dan kebijakan berbasis bukti, namun sebenarnyayang penting adalah bukan sekedar seberapa baik kebijakan dapat dibuat, namun seberapa besar kemampuan kita untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut dan mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan semakin kompleksnya situasi yang dihadapi, kita selalu mendapat daftar berbagai isu baru yang harus dihadapi. Dalam banyak hal kita menghadapi tuntutan untuk dapat memenuhi fungsi dan peran baru yang sebelumnya tidak pernah dilakukan dan institusi kita tidak dipersiapkan atau dibangun untuk memenuhi fungsi dan peran tersebut.
Namun, bahkan setelah beberapa konsep tentang institution building diperkenalkan dan dikembangkan, upaya ini telah lama diidentifikasi sebagai hal yang artifisial, tampak sangat baik di atas kertas namun kenyataannya jauh dari itu. Salah satunya adalah observasi berikut:
Institution building effort “often fits so ill with our own style or is so far removed from it that we can use it at best as a decoration and not as material to build with” (Ki Haddjar Dewantara, 1935)
Sayangnya, beberapa inovasi penguatan institusi yang kelihatannya “berhasil” pada skala pilot atau dalam suatu konteks tertentu, tidak selalu berhasil dalam konteks yang berbeda atau bila di-scale-up karena hubungan antara berbagai faktor di dalam konteks tertentu tidak dapat dipetakan secara matematis dan menjadi model yang bisa direplikasi.
Indonesia berada pada matriks “pertumbuhan yang pelan namun mengarah ke positif” dalam hal kemampuan pembangunan institusi, namun masih terdapat beberapa tantangan. Sebagai contoh, jumlah anak yang bersekolah memang meningkat tetapi sistem pendidikannya tidak lebih baik. Dengan situasi dan sistem pendidikan yg dimiliki saat ini, literacy proficiency lulusan universitas di Indonesia tidak lebih tinggi dari lulusan SMA di di Denmark, dan diprediksi bahwa butuh 128 tahun bagi Indonesia untuk dapat menyamai mutu pendidikan dengan standar OECD.
Beberapa “penjelasan” yang biasanya digunakan untuk menjelaskan lemahnya pembangunan kemampuan institusi untuk melakukan implementasi adalah lack of capability, low capacity, culture, kegagalan mengadopsi ‘best practices’ dan korupsi. Selain itu, sistem administrative kita didesign untuk melakukan keputusan-keputusan teknis dan logistic, sementara indicator keberhasilan seringkali ditentukan oleh indicator input, bukan capaian.
Beberapa pragmatic response yang disarankan:
- Mendokumentasikan mengeksplorasi, menjelaskan dan membagi variasi yang terjadi secara sub-national. Misalnya, survey seharusnya didampingi oleh analisis studi kasus yang lebih detil.
- Institusi dan organisasi, sama seperti manusia, membutuhlkan latihan dan waktu untuk dapat meningkatkan kapasitas. Oleh karena perlu mencoba adaptive implementation yaitu konsep PDIA (problem driven iterative adaptation).
- Problem-driven, khususnya problem spesifik secara local dan diidentifikasi sebagai prioritas
- Perencanaan dilakukan dengan cara yang mengakomodasi “ruang” untuk variasi
- M&E harus menangkap berbagai eksperimen dan memberi feedback
- Adaptasi dilakukan dengan mendifusikan apa yang ‘feasible’ menurut berbagai bagian di organisasi dan masyarakat praktisi
Buku Building State Capability dapat diunduh di website berikut:
http://bsc.cid.harvard.edu/building –state-capability-evidence-analysis-action
Panel 1
Asian approaches to engaging the private sector in development cooperation
Guo Peiyuan, General Manager, SynTao
Jeon Hyunjin, Manager, Corporate Social Responsibility Team, LG Electronics HQ
Prabodh Saxena, Principal Secretary, Government of Himachal Pradesh
Simon Cramp, Director of Private Sector Development, DFAT
Dengan adanya SDGs, peran sektor swasta menjadi salah satu sasaran yang diharapkan dapat dicapai.
Terkait dengan hal ini, arah dan strategi DFAT untuk melibatkan sektor swasta dimulai pada tahun 2014. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa sektor swasta memiliki kontribusi yang luarbiasa besar untuk sektor pengembangan di dalam negeri. Pemerintah menyadari bahwa pemerintah tidak lagi dapat menanggung beban pengembangan (development) secara mandiri, sehingga perlu dilakukan shared value dengan sektor swasta dan mulai membentuk hubungan yang lebih berbasis kemitraan.
Shared value digunakan sebagai kerangka utama yang melingkupi hubungan kemitraan ini. Tetapi ini harus didasari oleh apa yg dibutuhkan dari satu sama lain, dan hal ini harus jelas dan transparan sejak awal. Dan dalam hal ini mereka bersikap ‘partner agnostic’ artinya mereka tidak terlalu meributkan siapa mitranya (apakah korporasi atau LSM atau apa pun) tetapi lebih kepada siapa mitra yang paling potensial dan paling bersedia untuk bekerjasama mencapai tujuan yang ingin dicapai bersama.
Sementara itu, di India, terjadi evolusi yang menarik. Awalnya fitur yang paling menonjol di India adalah sektor publik namun setelah krisis tahun 1990-an justru muncul banyak pemain dalam sektor swasta. Kini, hampir 80% produksi terjadi di sektor swasta, sisanya publik. Tahun 2004 sektor publik mulai melakukan konsesi untuk memberi ruang lebih besar kepada sektor swasta. Dengan adanya amandemen terhadap UU perusahaan pada tahun 2014, perusahaan swasta dimandatkan untuk menyisihkan 2% dari laba untuk kegiatan corporate social responsibility (CSR). Namun banyak dari sektor swasta yang justru melakukan program lebih dari itu, misalnya membantu penyediaan ARV sehingga harganya dapat ditekan menjadi $1 di beberapa negara lain.
Pemerintah China, yang secara tradisional sangat berorientasi pada pemerintah, mulai mengidentifikasi beberapa tantangan untuk bagaimana caranya melakukan kerjasama dengan pihak swasta. Hal ini adalah karena China membuat berbagai kebijakan dan panduan dan juknis dan juklak untuk segala hal. Tantangan lain adalah mengupayakan komitmen untuk bekerjasama dengan berbagai mitra pembangunan untuk bersama-sama mencapai SDGs. Hal ini termasuk dengan LSM internasional. China menyadari bahwa ada keseimbangan yg rapuh antara kebutuhan mendesak untuk bekerjasama dengan sektor swasta dengan keinginan untuk mendokumentasikan secara baik caranya (yg tentu saja memerlukan lebih banyak waktu). Hubungan dengan sektor swasta sebenarnya bukan hal baru bagi China. Sebagai contoh, keterlibatan dengan swasta selama ini adalah antara pemerintah dengan korporasi. Dua decade yang lalu, pemerintah menginisiasi berbagai paket kebijakan yang berusaha menarik perusahaan-perusahaan besar yang berada di daerah-daerah yang sudah developed di sepanjang pantai daratan China untuk berinvestasi di daerah pedalaman. Namun pemerintah belum terbiasa memiliki hubungan yang bersifat kemitraan dengan LSM sebelumnya, jadi perkembangan di area ini masih kecil, bukan karena pemerintah tidak mau tetapi karena pemerintah tidak tahu bagaimana caranya.
Salah satu anggota panel yg berasal dari sektor swasta (LG) mengakui beratnya mematuhi berbagai guideline yang begitu banyak dan perbedaan konteks dan perbedaan aturan yang ada mengenai CSR. Namun perusahaan memahami tanggungjawab yang harus dimainkan, dan tidak hanya dalam bentuk CSR tetapi juga dalam pengembangan produk. Misalnya LG memproduksi unit AC yang sekaligus memiliki fitur anti nyamuk, khusus untuk Negara-negara seperti Bangladesh, Kamboja, Indonesia dll yg rentan vector-borne diseases. Tantangan yang dihadapi oleh sektor swasta ternyata bukan hanya dalam berhubungan dengan pemerintah, tetapi juga dengan sesame sektor swasta tetapi berupa LSM. Hal ini disebabkan karena “bahasa” yang digunakan oleh sektor swasta korporasi berbeda dengan “bahasa” yang digunakan LSM, sehingga perlu ada beberapa penyamaan persepsi dan “penterjemahan” yang baik untuk membangun rasa percaya di antara mereka.
Tantangan bagi pemerintah sebaliknya adalah mencari cara untuk mendorong pihak swasta untuk berpatisipasi dalam kegiatan M&E dalam hal ini memberikan feedback kepada pemerintah berupa laporan atau masukan untuk perbaikan proses kemitraan. Namun ini juga disebabkan oleh hubungan pemerintah dengan swasta secara tradisional lebih bersifat regulatory, bukan bersifat diskusi. Akibatnya, tidak ada platform dimana pihak swasta dapat menyampaikan minat mereka atau suara mereka tentang bagaimana mereka dapat berperan sebagai mitra dan memiliki usul untuk perbaikan pembangunan, tanpa di”curigai” sebagai upaya untuk mengurangi pajak atau mencari keuntungan.
Panel 2
Philanthropy and NGOs
Rod Reeve, Ninti One Ltd and the Cooperative Research Centre for Remote Economic Participation
Sachini Muller and Terence Wood, ANU
Jeremy Stinger, DFAT
Dibutuhkan 500milyar USD untuk mencapai SDGs, dan tidak mungkin ini dapat dicapai tanpa dukungan pendanaan dari setiap pihak. Filantropi adalah salah satu potensi yang perlu digali. Nilai dari seluruh sumbangan pribadi di Australia (31milyar AUD) lebih besar dari GDP Papua Nugini, GDP Laos, dll. Namun bahkan sumbangan pribadi di AS mencapai nilai 500milyar AUD. Dari seluruh nilai tersebut, 1.5milyar AUD digunakan untuk penggunaan internasional (AUS) dan sementara nilai sumbangan pribadi yg digunakan untuk AS untuk pengunaan internasional adalah sekitar 20milyar AUD. Namun kebanyakan sumbangan pribadi ini beroperasi di dalam ‘silo’ dan tidak terorganisir bersama.
Beberapa upaya filantropi yang lebih terorganisir dilakukan oleh NGOs, dan kebanyakan dari mereka sudah menggunakan medsos, sebagian besar untuk menghimbau donasi (48%), meningkatkan awareness (20%), untuk mengambil tindakan khusus (8%) dan lain-lain.
Filantropi harus memiliki “triple fret” (tiga potensi untuk mencapai tujuan):
- Appetite: berani mengambil risk dan inovsi
- Ketrampilan: memiliki business expertise dan market knowledge
- Influence: menggunakan network yg dimilikinya untuk menjadi kekuatan pengaruh, baik secara political mau pun komersial
Philantrophy capitalism: menggunakan semua pengetahuan mereka dan sumberdaya untuk mendukung tujuan tertentu. Misalnya, guarantee payment digunakan oleh Gates Foundation untuk menggaransi sebuah perusahaan vaksin di India untuk menjual vaksin di bawah harga pasar selama 5 tahun, dan jika hal tersebut merugikan perusahaan (atau vaksin tidak terjual habis), Gates Foundation akan mengganti selisihnya. Selain itu ada banyak kontribusi in-kind yang dilakukan misalnya waktu, tenaga dan sumberdaya untuk melakukan riset-riset inovatif yang belum tentu berujung pada produksi atau marketable.
Di Negara maju saja terdapat 200rb yayasan yg bergerak di bidang filantropis, sehingga ini merupakan potensi yang sangat besar. Bill and Melinda Gates Foundation masih memegang rekor filantropi (12.44milyar USD).
Jadi potensi filantropis ini sangat besar dan harus digali lebih lanjut.