Reportase Konferensi Australasian Aid 2017

Acara dibuka oleh Menteri Luar Negeri, Julie Bishop, yang menggarisbawahi seberapa besar bantuan Australia untuk sektor pengembangan internasional, dan mengapa ini merupakan hal yang penting untuk Australia. Beberapa fokus prioritas bantuan adalah mengenai pendidikan, perlindungan untuk wanita dan anak-anak di masa krisis, pengungsi, bencana alam, inovasi dan tentu saja kesehatan. Khusus tentang kesehatan, beberapa fokus utama adalah kebijakan kesehatan regional terkait HIV/AIDS, TB Malaria, akses ke air bersih, Mobile Supply, KB dan kesehatan reproduksi, dll. Beberapa hal baru yang menjadi fokus baru adalah pengembangan individual depriviation index dan pelibatan sektor swasta.

Acara hari ini berisi beberapa panel dan beberapa sesi parallel. Berikut adalah catatan dari beberapa sesi hari ini.

sesi paralel

Strategies for enhancing state capability for implementation 

(Michael Woolcock, Lead Social Development Specialist, World Bank and Lecturer in Public Policy, Harvard University)

woolcock

Keberhasilan dalam pencapaian target-target tertentu juga mengandung implikasi bagi pemerintah. Misalnya, dengan semakin tingginya angka harapan hidup berarti pemerintah harus meningkatkan kemampuannya untuk menyediakan layanan kesehatan lebih lama untuk kelompok usia tertentu.

Ini juga berarti pemerintah harus dapat mengumpulkan pendapatan dengan lebih efektif dan mengalokasikannya secara efisien untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar. Artinya, semakin maju suatu Negara, semakin besar tanggungjawabnya dan semakin besar kebutuhannya untuk dapat merespon kemajuan tersebut.

Banyak investasi diberikan untuk membangun kemampuan perencanaan dan kebijakan berbasis bukti, namun sebenarnyayang penting adalah bukan sekedar seberapa baik kebijakan dapat dibuat, namun seberapa besar kemampuan kita untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut dan mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan semakin kompleksnya situasi yang dihadapi, kita selalu mendapat daftar berbagai isu baru yang harus dihadapi. Dalam banyak hal kita menghadapi tuntutan untuk dapat memenuhi fungsi dan peran baru yang sebelumnya tidak pernah dilakukan dan institusi kita tidak dipersiapkan atau dibangun untuk memenuhi fungsi dan peran tersebut.

Namun, bahkan setelah beberapa konsep tentang institution building diperkenalkan dan dikembangkan, upaya ini telah lama diidentifikasi sebagai hal yang artifisial, tampak sangat baik di atas kertas namun kenyataannya jauh dari itu. Salah satunya adalah observasi berikut:

Institution building effort “often fits so ill with our own style or is so far removed from it that we can use it at best as a decoration and not as material to build with” (Ki Haddjar Dewantara, 1935)

Sayangnya, beberapa inovasi penguatan institusi yang kelihatannya “berhasil” pada skala pilot atau dalam suatu konteks tertentu, tidak selalu berhasil dalam konteks yang berbeda atau bila di-scale-up karena hubungan antara berbagai faktor di dalam konteks tertentu tidak dapat dipetakan secara matematis dan menjadi model yang bisa direplikasi.

Indonesia berada pada matriks “pertumbuhan yang pelan namun mengarah ke positif” dalam hal kemampuan pembangunan institusi, namun masih terdapat beberapa tantangan. Sebagai contoh, jumlah anak yang bersekolah memang meningkat tetapi sistem pendidikannya tidak lebih baik. Dengan situasi dan sistem pendidikan yg dimiliki saat ini, literacy proficiency lulusan universitas di Indonesia tidak lebih tinggi dari lulusan SMA di di Denmark, dan diprediksi bahwa butuh 128 tahun bagi Indonesia untuk dapat menyamai mutu pendidikan dengan standar OECD.

Beberapa “penjelasan” yang biasanya digunakan untuk menjelaskan lemahnya pembangunan kemampuan institusi untuk melakukan implementasi adalah lack of capability, low capacity, culture, kegagalan mengadopsi ‘best practices’ dan korupsi. Selain itu, sistem administrative kita didesign untuk melakukan keputusan-keputusan teknis dan logistic, sementara indicator keberhasilan seringkali ditentukan oleh indicator input, bukan capaian.

Beberapa pragmatic response yang disarankan:

  • Mendokumentasikan mengeksplorasi, menjelaskan dan membagi variasi yang terjadi secara sub-national. Misalnya, survey seharusnya didampingi oleh analisis studi kasus yang lebih detil.
  • Institusi dan organisasi, sama seperti manusia, membutuhlkan latihan dan waktu untuk dapat meningkatkan kapasitas. Oleh karena perlu mencoba adaptive implementation yaitu konsep PDIA (problem driven iterative adaptation).
    • Problem-driven, khususnya problem spesifik secara local dan diidentifikasi sebagai prioritas
    • Perencanaan dilakukan dengan cara yang mengakomodasi “ruang” untuk variasi
    • M&E harus menangkap berbagai eksperimen dan memberi feedback
    • Adaptasi dilakukan dengan mendifusikan apa yang ‘feasible’ menurut berbagai bagian di organisasi dan masyarakat praktisi

Buku Building State Capability dapat diunduh di website berikut:
http://bsc.cid.harvard.edu/building –state-capability-evidence-analysis-action

 

Reportase hari kedua >>

{jcomments on}