ANTARA PERATURAN DAN REALITA: SUDAHKAH DITELAAH SEBAGAI RELATIVITAS?
STUDI KASUS PROGRAM BIDAN DESA DI TINGKAT KABUPATEN
Lindawati Wibowo1 dan Markus Puthut Harmiko2
- SEAMEO-RECFON. Departemen Ilmu Gizi - Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
- World Vision Indonesia
Latar Belakang
Berdasarkan dua laporan terakhir yang dirilis oleh UNDP (2011) dan Bappenas (2010) terkait status MDGs, Indonesia masih merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan angka kematian ibu (AKI) yang tinggi dan masih jauh dari angka target yang diharapkan pada tahun 2015. Akan tetapi Program Bidan Desa (PBD) yang selama ini dijadikan salah satu program unggulan untuk akselerasi pencapaian target MDG no 4 ini pada kenyataannya masih jauh dari optimal dalam implementasinya. Adapun hal yang paling mendasar di dalam program, seperti fasilitas kesehatan beserta bidan desanya, juga masih dipertanyakan aksesibilitasnya sehingga perlu pembuktian secara objektif. Asumsinya adalah jika input utama program masih jauh dari standar dan kebutuhan, maka dapat dikatakan pula bahwa program secara keseluruhan juga belum berjalan secara optimal (berdasarkan konsep esensialitas dalam sebuah sistem kesehatan).
Tujuan
Menelaah kebutuhan bidan dan fasilitas kesehatan sebagai input utama program bidan desa relatif terhadap peraturan yang terkait.
Metode
Penelitian ini merupakan bagian dari studi formatif terkait program bidan desa yang dilakukan secara kolaboratif antara SEAMEO RECFON dan WVI ADP Nias. Studi dilakukan di wilayah layanan WVI yang berlokasi di 3 kecamatan dengan 32 desa di kabupaten Nias. Pendekatan secara kuantitatif dan kualitatif digunakan dalam proses pengumpulan data dari sumber yang berbeda-beda. Wawancara dengan bides (n-24) dilakukan dengan kuesioner terstruktur serta in-depth. Beberapa informan lain seperti kepala desa (n-=7), staff Puskesmas (n=5), dan staff Dinas Kesehatan (n=6) juga diwawancara secara mendalam untuk memperoleh gambaran tentang dukungan manajemen program di tingkat kabupaten ke bawah. Penelitian ini dilakukan atas persetujuan etik dari komite etik Fakultas Kedokteran UI dan ijin dari pemerintah setempat.
Hasil
Mengacu pada faktor-faktor resiko AKI, program seperti desa siaga (Kemenkes, 2006) dan/atau jampersal (Kemenkes, 2011) ternyata belum cukup menjawab permasalahan terkait akses pelayanan kesehatan minimal seperti yang diuraikan dalam Permenkes no. 741/MENKES/PER/VII/2008. Di area studi masih ditemukan adanya keterbatasan infrastruktur yang memadai (contoh: Poskesdes dengan fasilitas minimum), keberadaan bidan di desa (hanya 28%), serta kemampuan bides dalam menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan tupoksi (Kemenkes, 2011; Kemenkes & Kemendagri, 2010; Kemenkes, 2008a; Kemenkes, 2008b). Meski hampir semua desa mempunyai bides (30 dari 32 desa), akan tetapi hanya 28% dari bidesnya yang tinggal di desa. Bidan yang tidak menetap di desa, sebagian besar juga jarang atau bahkan tidak pernah datang ke desa. Hasil wawancara mengindikasikan semua bides tidak mengetahui dan/atau mempunyai kapasitas memadai untuk menjalankan tupoksinya secara lengkap dan sesuai standar. Meski pembangunan Poskesdes telah diatur dalam Permen PU no. 45 (2007), akan tetapi masih ditemukan Poskesdes di beberapa desa yang tidak dapat difungsikan karena letaknya yang jauh dari pemukiman dan susah dijangkau, serta tidak dilengkapi dengan fasilitas minimal seperti air dan listrik. Lemahnya sistem monitoring di setiap tingkatan administratif menjadi penyebab sekaligus juga hasil dari kurangnya dukungan manajemen oleh sektor-sektor yang terkait, baik dari sektor kesehatan maupun dari sisi pemda.
Kesimpulan
Secara garis besar, permasalahan yang mendasar sekalipun akan sulit untuk teridentifikasi dan direspon dengan cepat tepat terlepas dari banyaknya peraturan serta juknis yang mengaturnya.
Saran
Hasil studi di kabupaten Nias ini tidak untuk digeneralisir sebagai keadaan yang terjadi di semua kabupaten di Indonesia. Akan tetapi esensi bahwa pendekatan yang cukup sederhana (rapid appraisal atau partial evaluation) dapat digunakan untuk menguji feasibilitas suatu peraturan dalam implementasinya. Sebagai langkah awal, diharapkan adanya proses capacity building untuk stakeholder program di tingkat kabupaten ke bawah untuk mampu melaksanakan evaluasi cepat guna menjawab permasalahan program atau memberikan asupan untuk telaah peraturan-peraturan yang ada.
Kata Kunci : program, bidan desa, aksesibilitas, PERMEN