Workshop Desain Analisis Kebijakan dan Agenda Advokasi
Workshop Desain Analisis Kebijakan dan Agenda Advokasi
Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) mengadakan workshop desain analis kebijakan dan agenda advokasi yang merupakan rangkaian acara setelah Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia kedelapan di Yogyakarta. Acara ini diselenggarakan pada 9 November 2018 dengan total 25 peserta berlatar belakang mahasiswa, tenaga pendidik, kementerian kesehatan, Ombudsman, dan dinas kesehatan. Pembicara pada pelatihan ini adalah Dr. Phil. Gabriel Lele, M.Si (Fisipol UGM) dan Dr. Dumillah Ayuningtyas, MARS (FKM UI) serta dimoderatori oleh M. Faozi Kurniawan (PKMK FK-KMK UGM).
Sebagai moderator dan fasilitator, M. Faozi Kurniawan menjelaskan pentingnya sektor kesehatan memahami konsep desain analis kebijakan dan agenda advokasi. Faozi menambahkan, peneliti dengan disiplin ilmu kebijakan masih sedikit yang mendalami konsep analis kebijakan. Terkadang peneliti kebijakan kesehatan terperangkap dalam perbedaan analisis kebijakan dan riset kebijakan. Selain itu, peneliti PKMK FK-KMK UGM ini mengemukakan, lembaga penelitiannya dan beberapa institusi pendidikan saat ini sedang melaksanakan penelitian evaluasi kebijakan JKN pada level nasional dan daerah. Oleh karena itu, konsep desain analisis kebijakan dan advokasi perlu dipelajari dengan mendalam untuk menghasilkan output penelitian yang menjadi daya ungkit positif bagi kualitas kebijakan kesehatan, khususnya kebijakan JKN. Faozi kembali menjelaskan, kegiatan ini diimplementasikan melalui praktik langsung bagaimana membuat analisis kebijakan dari kerangka ilmu politik dan kebijakan kesehatan.
Pada sesi pertama, Dr. Phil. Gabriel Lele, M.Si yang merupakan Dosen Fisipol UGM memaparkan tentang analisis dampak dan risiko kebijakan. Gabriel mengawali, terkadang peneliti dan akademisi memang sering terjebak dalam perbedaan mendasar pada riset kebijakan dan analisis kebijakan secara definitif serta implementatif. Gabriel menjelaskan kembali, sifat analisis kebijakan yakni menguak sebabakibat kebijakan dan mengkritik nilai kebijakan. Tanpa dua elemen ini, dokumen analisis ini hanya dapat dinilai sebagai riset kebijakan. Esensi nilai analis kebijakan adalah bagaimana pembuat dokumen analis tersebut mampu membuat aktor kebijakan mempertimbangkan kebijakannya tersebut memiliki sesuatu yang perlu diperbaiki atau diubah namun tidak keluar dari konteks pada inti kebijakan. Selain itu, dia menambahkan, analis kebijakan juga perlu menjelaskan tentang poin positif dan negatif dari hasil analisis kebijakan yang diberikan kepada aktor kebijakan.
Sesi ini dilanjutkan dengan diskusi yang banyak memaparkan tentang konsep analisis kebijakan secara konseptual serta pengalaman akademisi dalam membuat dokumen analisis kebijakan. Hal yang menarik, Gabriel menerangkan tentang konsep teknokrat dan politisi pada kursi pemerintahan yang memiliki peran sebagai aktor kebijakan kunci. Dia menjelaskan proporsi teknokrat, ahli kredibel bidang tertentu pada pemerintahan, yang menjadi aktor kebijakan dan vokal masih sangat sedikit “gaungnya”. Ini merupakan tantangan utama bagaimana analis kebijakan mengarahkan hasil analisisnya kepada aktor kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas kebijakan.
Pembicara selanjutnya, Dr. Dumillah Ayuningtyas, MARS (FKM UI), menjelaskan konsep analisis kebijakan kesehatan. Praktisi kebijakan kesehatan ini memaparkan bahwa lahirnya analisis kebijakan berawal dari sebuah kebijakan muncul sebagai respons terhadap kepentingan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat untuk memberikan solusi dari suatu permasalahan kebijakan. Analisis kebijakan kesehatan diperlukan karena kebijakan kesehatan memiliki implikasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang perlu dikaji berdasarkan efektivitasnya. Ini dikarenakan, kebijakan yang tidak berkualitas akan menghasilkan program yang tidak efektif, pemborosan sumber daya, dan menciptakan masalah baru yang lebih kompleks. Dumillah kembali menjelaskan, setiap tahap pengembangan kebijakan (agenda setting hingga evaluasi kebijakan) memiliki ruang untuk memberikan umpan balik kepada aktor kebijakan. Sesi ini lebih banyak memaparkan tentang teori kebijakan dan pentingnya data bagi analis kebijakan. Pada sesi ini, peserta diminta menjelaskan kebijakan yang perlu dianalisis dan dioptimalkan. Selanjutnya, pemateri akan menjelaskan konsep instrumen kajian dan analisis kebijakan.
materi
Instrumen Kajian dan Analisis Kebijakan
Workshop desain analisis kebijakan dan agenda advokasi forum nasional JKKI VIII sesi kedua dilanjutkan dengan penyampaian materi dan arahan terkait instrumen kajian dan analisis kebijakan oleh Dr. Dumilah Ayuningtyas, MARS (FKM UI). Dumilah menyampaikan bahwa instrumen utama dari analisis kebijakan adalah sang “analis” sendiri dimana analis melakukan expert judgement berbasis data dan berbasis intuisi. Sehingga analis harus menajamkan kemampuan diri dalam proses memahami masalah, mengkaji, memformulasi, mengevaluasi dan mengambil keputusan berdasarkan data. Di sesi ini, Dumilah juga menjelaskan perbedaan dari riset kebijakan dan analisis kebijakan sehingga memunculkan diskusi yang aktif dari para peserta terkait refleksi proyek yang telah mereka lakukan, apakah merupakan riset kebijakan atau analisis kebijakan. Studi kebijakan dan analisis kebijakan memang memiliki perbedaan namun pada prosesnya saling melengkapi, Dumilah menjelaskan bahwa riset kebijakan tujuannya untuk mengembangkan keilmuan dan melihat dampak dari kebijakan yang dilakukan yang bersumber dari data primer, temuan, informasi baru dan hasil uji statistik atau hipotesis dimana output dari riset ini digunakan sebagai sumber data analisis kebijakan. Jika hanya berupa riset kebijakan tanpa dianalisis maka akan terdapat “jarak” antara data hasil dengan pemanfaatannya pada para stakeholder. Disinilah fungsi analisis kebijakan yaitu “mensintesis, mengintegrasi dan mengkontekstualisasi” data hasil riset kebijakan yang sudah tersedia disusun menjadi “rekomendasi kebijakan” untuk mengubah atau memperbaiki kebijakan.
Selanjutnya Dumilah juga mengajak peserta untuk berdiskusi keterkaitan antara analisis kebijakan dan evaluasi, analisis kebijakan bisa digunakan untuk mengevaluasi suatu kebijakan yang bisa dilakukan mulai dari diterbitkannya hasil kebijakan (policy output) hingga dampak dari kebijakan (policy outcome) dan juga pengaruh dari kebijakan (policy impact) dimana ukuran evaluasi kebijakan meliputi enam dimensi yaitu efektivitas, efisiensi, ketepatan menjawab masalah, ekuitas, responsivitas dan ketepatgunaan. Hasil diskusi menekankan pada pemahaman terhadap perbedaan penggunaan riset kebijakan dan analisis kebijakan, proses perencanaan instrumen analisis kebijakan dan diskusi terhadap topic - topik kebijakan yang dianalisis, bagaimana langkah analisisnya dan output-nya. Dumilah menggarisbawahi sebuah kebijakan bersifat multidimensi sehingga tim analis seharusnya berasal dari disiplin ilmu yang berbeda, karena proses analisis menekankan pada expert judgement by good intuition yang berdasarkan temuan hasil data empirik, dengan ketajaman pengembangan kesimpulan dan menghasilkan rekomendasi.
materi
Kerangka Kerja dan Agenda Advokasi Kebijakan
Sesi terakhir dari workshop desain analisis kebijakan dan agenda advokasi Forum Nasional JKKI VIII membahas tentang kerangka kerja dan agenda advokasi kebijakan, pada awal sesi ini Dr. Dumilah Ayuningtyas, MARS (FKM UI) selaku pemateri membuka paparan dengan membacakan puisi yang berisikan pesan - pesan advokasi dari berbagai sudut pandang baik itu dari masyarakat sebagai pengguna kebijakan, hingga pemerintah sebagai pemangku kebijakan, dari puisi tersebut Dumilah menjelaskan bahwa pesan advokasi bisa dikemas dalam berbagai media. Advokasi merupakan langkah lanjutan untuk menjembatani rekomendasi kebijakan yang telah dihasilkan agar dapat tersampaikan pada pemangku kebijakan. Dalam memilih isu strategis untuk advokasi harus memperhatikan aspek aktualitas, penting dan mendesak, serta memiliki derajat tertinggi akan ketidakterpenuhan. Dumilah juga menekankan advokasi adalah tentang bagaimana hasil analisis kebijakan yang berupa rekomendasi “dibawa dan didesakkan” pada pemangku kebijakan agar terjadi sebuah perubahan yang dilakukan dengan strategi proaktif seperti lobby, kampanye, public hearing maupun pada pembuat kebijakan dan strategi reaktif seperti demonstrasi. Rekomendasi kebijakan yang dibawa ke pemangku kebijakan dibuat dalam bentuk policy brief dimana di dalamnya terdapat pesan yang dikemas secara ringkas, tidak hanya berupa angka namun mengandung pesan emosional yang disesuaikan dengan kepentingan dari masing - masing pemangku kebijakan.
Advokasi tidak bisa berdiri sendiri, perlu adanya koalisi yang tediri dari berbagai aktor kebijakan seperti politikus, pegawai negeri, jurnalis, akademisi dan kelompok lainnya dimana setiap koalisi ini menginterpretasikan data dengan cara yang berbeda untuk mencapai tujuan kebijakan. Dalam sesi diskusi juga dibahas tentang success story dari peserta workshop terkait proses advokasi, bagaimana agar advokasi dapat diiimplementasikan yaitu tergantung dari skill advokator dalam memilih strategi advokasi, memilih media advokasi, menyampaikan pesan advokasi agar mencapai awareness dan acceptance dari pemangku kebijakan serta kemampuan membangun jejaring media, karena advokasi memiliki unsur seni atau art of advocacy. Workshop ini diakhiri dengan penyampaian dari Dumilah bahwa advokasi adalah bridging yang mengubungkan jarak hasil analisis dengan pemanfaatan oleh pemangku kebijakan, dan policy brief adalah toolkit atau media advokasi serta tugas advokator adalah mengatur keberimbangan jarak antara hasil dan pemanfaatan, oleh karena itu sebelum melakukan advokasi perlu untuk melakukan stakeholder mapping.
Reporter: Aulia Zahro Novitasari dan Nopryan Ekadinata (PKMK FK-KMK UGM)
Workshop Menggali Dana Filantropisme untuk meningkatkan keadilan sosial
Workshop Menggali Dana Filantropisme Bagi Para Manajer Rumah Sakit Non-Profit untuk Meningkatkan Keadilan Sosial
Sesi 1 – Perkembangan Filantropisme di Indonesia
workshop pada Jum’at, 9 November 2018 pagi ini dimoderatori oleh Min Adadiyah, SKM.,MPH (RS PKU Muhammadiyah, Temanggung) dan mengundang Prof. dr. Laksono Trisnantoro yang langsung menyapa peserta dengan materi pengantar filantropisme dalam pendanaan rumah sakit di era JKN. Workshop mengkaji kembali potensi filantropisme dalam pembiayaan rumah sakit dimana saat era JKN berada dalam situasi sulit. Filantropisme pada rumah sakit (kesehatan) dinilai cukup potensial, karena Indonesia telah memiliki budaya tradisional –gotong - royong.
Dr. Meta Dewi Tedja yang mengikuti workshop secara webinar dari RS Atma Jaya Jakarta, menambahkan praktek filantropisme rumah sakit sudah berlangsung sejak 1960, yaitu saat Yayasan Atma Jaya didirikan oleh sekelompok cendekiawan Katolik. Filantropisme tersebut saat ini menjadikan RS Atma Jaya sebagai kontributor dalam dunia kesehatan nasional. Filantropisme di RS Atma Jaya juga telah menggandeng beberapa lembaga seperti Yayasan Samaritan, Dana Sosial Pastoral, Yayasan Putra Peduli, Baznas, Wecare, Perkumpulan Increso, Yayasan Budah Suci Tzu Chi, Kitabisa.com dan donator perorangan.
Hamid Abidin selaku Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia juga ikut bergabung bersama melalui webinar di RS Atma Jaya Jakarta. Hamid menyampaikan bahwa Indonesia menempati urusan nomor satu negara paling dermawan di dunia. Namun, praktek filantropisme di Indonesia memiliki tantangan dan hambatan, diantaranya direct giving yang menjadikan penerima donasi menjadi ketergantungan, no name yang tidak terorganisir, tidak kritis, belum berorientasi jangka panjang, mini data, kebijakan yang belum mendukung, transparansi dan akuntabilitas yang belum optimal.
materi presentasi Hamid Abidin dapat disimak pada link berikut
materi
Sesi 2 – Mapping Potensial Filantropi Kesehatan di Indonesia
Pada sesi ini dimoderatori oleh dr. Albarissa Shobry. Kemudian pemateri pertama adalah dr. Jodi Visnu, MPH. menyampaikan mengenai “Filantropi Kesehatan dalam Agama Kristen dan Katolik”, Jodi memaparkan bahwa karya karitatif (memberi bantuan secara langsung kepada mereka yang membutuhkan) awal Kristiani ada pada sektor pendidikan, kesehatan dan sektor lainnya. Spiritual misioner di RS keagamaan telah mempraktikkan filantropisme tidak hanya dengan materi namun, melalui pelayanan dengan kasih untuk orang miskin. Hal ini tercermin dalam kultur biarawan/biarawati dalam memberikan pelayanan kesehatan yang profesional karena memiliki ideologis bahwa RS tempat “mencari kehidupan”. Pada zaman kolonial, rumah sakit dibangun atas hutang moril Belanda - Indonesia, untuk penyejahteraan rakyat dan politik balas budi. Rumah sakit pada masa itu berlokasi strategis dan sampai kini masih berdiri secara mandiri, namun ada juga yang diserahkan pemerintah untuk dikelola. materi presentasi dapat diklik pada link berikut
materi
Sedangkan materi mengenai “Potensi Filantropi Islam untuk Pembiayaan Kesehatan” diawali dengan memaknai definisi Filantropi menurut KBBI yaitu sebagai cinta kasih kepada sesama. Filantorpi bertujuan untuk memberi kesempatan pada orang lain untuk merasakan kebaikan dengan didasari rasa kasih sayang,ada kesukarelaan di dalamnya. Filantropi Islam banyak diajarkan pada ayat dalam Al-Quran, dan sejarah filantropi kesehatan Islam di Indonesia yang disampaikan oleh Min Adadiyah, MPH dimulai sejak 1912 yang diprakarsai oleh K.H. Ahmad Dahlan-pencetus Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO atau saat ini lebih dikenal PKU Muhammadiyah). PKU memulai kiprah sebagai satu - satunya lembaga filantropi kesehatan yang didirikan oleh pribumi yang saat itu belum memiliki dokter/tenaga kesehatan. Kini Muhammadiyah membentuk sebuah lembaga filantropi terbesar bernama Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah (LAZISMU) untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia yang ingin memberikan donasi. LAZISMU telah menyiapkan skema khusus dalam hal pembiayaan kesehatan di rumah sakit dengan konsep rumah sakit berbagi dan menerima manfaat kebaikan. berikut materi presentasinya.
materi
Sesi 3 – Workshop I
Sesi ini Prof. dr. Laksono Trisnantoro dengan metode ceramah dan diskusi membuka perspektif peserta mengenai filantropi kesehatan dan potensinya dalam mewujudkan pemerataan pelayanan kesehatan. Peserta workshop mengusulkan agar dalam workshop mendatang turut mengundang para pengambil kebijakan, agar memiliki paradigma berpikir yang sama mengenai pengelolaan potensi filantropi untuk memberikan sebesar -besarnya manfaat pelayanan kesehatan masyarakat.
Tarif InaCBGs dan keterlambatan pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan yang berlangsung berbulan - bulan membawa pengaruh besar pada keberlangsungan rumah sakit, sehingga banyak rumah sakit yang terpaksa berhutang dengan bank untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya. Prof. dr. Laksono Trisnantoro mulai memberikan template kebutuhan rumah sakit yang dibagi menjadi dua yaitu biaya investasi dan operasional. Tujuannya agar peserta mengetahui apa yang menjadi kebutuhannya saat ini. Peserta diberikan waktu untuk mengisi template tersebut sesuai kebutuhan rumah sakit masing - masing.
sesi berikutnya yaitu diskusi, peserta banyak melontarkan pertanyaan dan pernyataan tentang stigma bahwa rumah sakit adalah unit usaha yang produktif. Pemaparan dilanjutkan bahwa dalam praktek filantropi di rumah sakit dapat terjadi melalui 3 kemungkinan pemikiran yaitu pola pikir tahap produk, pola pikir tahap penjualan dan pola pikir tahap penjualan. Rumah sakit harus menganalisa dan berkonsentrasi pada program dan sumber dana yang memiliki minat sama dengan rumah sakit. silahkan klik berikut materi presentasi berikut.
materi
Sesi 4 – Workshop II
acara dilanjutkan dengan workshop 2,workshop sebagai sesi terakhir peserta diberi pemahaman mengenai dua kelompok filantropi yang dapat disebut sebagai pasar donor yaitu memberi sumbangan banyak jumlah rupiahnya namun sedikit jumlah donator/lembaganya; dan memberi sumbangan sedikit rupiahnya namun jumlah donator atau lembaganya banyak. Motif pendonor di Indonesia itu bermacam - macam yaitu sebagai kebutuhan akan harga diri, kebutuhan untuk dikenang atau diingat orang lain, ketakutan akan kejangkitan penyakit, kebiasaan memberi, harus memberi, merasa sedih atas orang lain yang telah kejangkitan penyakit, dari orang untuk orang (People to people givers) dan pemerhati masalah kemanusiaan.
Peserta yang telah mendapatkan perspektif potensial filantropi kesehatan mulai kritis. Forum menjadi aktif, peserta mengajukan pertanyaan mengenai stigma dan mentalitas yang sudah tertanam cukup lama dalam benak masyarakat sebagai calon donatur dan mentalitas pada pemilik rumah sakit. Dasar hukum pelaksanaan filantropi rumah sakit juga masuk dalam diskusi, karena banyak peserta yang hadir berasal dari rumah sakit yayasan dan rumah sakit pemerintah.
Sebelum menutup sesi ini, pemateri memberi pekerjaan rumah peserta yaitu tantangan dalam melakukan identifikasi pasar donor masing - masing rumah sakit. Ada unit atau kelompok kerja yang melakukan kegiatan filantropi dengan melakukan berbagai kegiatan, antara lain: identifikasi calon donor, pengenalan, termasuk keinginan. pengusahaan (Multivation), pengumpulan (Solicitation) dan penghargaan (Appreciation). Sesi diakhiri dengan mengisi form reaksi yang sebagian besar menyatakan puas dan menginginkan adanya tindak lanjut dalam kegiatan workshop hari ini yang membahas lebih lanjut mengenai dasar hukum dan bagaimana strategi penggalian dan filantropi dalam kekhasan rumah sakit masing-masing.
materi
Reportase : Tri Aktariyani
Workshop Pelatihan Penulisan Policy Brief
Pelatihan Penulisan Policy Brief
Rangkaian kegiatan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia VIII dilanjutkan dengan kegiatan workshop, salah satunya Pelatihan Penulisan Policy brief dan Dokumen Saran Kebijakan. Tujuan utama dengan mengikuti pelatihan ini adalah membangun kapasitas dan keterampilan dalam mengkomunikasikan penelitian melalui policy brief.
SESI 1. KERANGKA PENULISAN POLICY BRIEF
Narasumber pertama yaitu Shita Listyadewi dari PKMK FKKMK UGM membuka sesi kerangka penulisan policy brief. Kerangka penulisan membantu penulis policy brief untuk fokus memaparkan masalah secara singkat dan meyakinkan serta membuat rekomendasi yang spesifik. Sehingga sasaran dari policy brief yaitu policy maker dapat menangkap urgensi masalah dan mengetahui apa yang akan dilakukan. Terdapat tiga poin penting dalam policy brief antara lain masalah yang menjadi isu kunci, analisis masalah dilengkapi bukti-bukti dan alternatif pemecahan masalah atau rekomendasi.
Sesi ini berlangsung interaktif antara narasumber dan peserta. Narasumber mengawali dengan menggali pemahaman terkait policy brief, yaitu salah satu upaya penyampaian rekomendasi untuk pengambil keputusan terhadap masalah yang terjadi berdasarkan hasil kajian penelitian. Narasumber juga meminta peserta untuk mencoba menuliskan 4-5 kalimat terkait masalah yang akan dituangkan dalam policy brief. Tujuannya untuk melatih peserta memaparkan masalah secara singkat, jelas dan meyakinkan. materi pengantar dari shita dewi dapat diklik pada link berikut
materi template
SESI 2. PELATIHAN PENYUSUNAN PENDAHULUAN
Bevaola Kusumasari, PhD. dari FISIPOL UGM menyampaikan materi sesi kedua yaitu pelatihan penyusunan pendahuluan. Policy brief sebagai dokumen singkat yang merupakan hasil dari sebuah kajian untuk menggali satu isu penting untuk disampaikan kepada pengambil keputusan. Parameter yang wajib ada di dalam policy brief yaitu dokumen yang berdiri sendiri, fokus pada satu masalah dan tidak lebih dari 4 halaman / maksimal 1500 kata. Narasumber menyampaikan poin-poin penting untuk menjangkau pembaca policy brief antara lain penggunaan judul yang bombastis, desain yang menarik, kemampuan menjelaskan urgensi masalah, dan pemberian rekomendasi yang implementatif.
Kerangka policy brief ada tiga bagian yaitu judul, analisis masalah dan rekomendasi. Dalam analisis masalah yang perlu dipaparkan adalah masalah-masalah yang sedang terjadi ditunjukkan melalui data, foto observasi pribadi, berita koran, hasil survey dan sebagainya, penyebab masalah, dan kajian yang menelatarbelakangi. Rekomendasi menyampaikan perubahan yang diharapkan, langkah-langkah melakukan perubahan tersebut, dampak perubahan jika dilakukan dan implikasi negatif jika rekomendasi tidak dilakukan. silahkan klik materi paparannya dibawah.
materi
Sesi ini dilanjutkan dengan latihan penyusunan pendahuluan oleh peserta yang kemudian dipresentasikan.
Sesi 3. Teknik-teknik Penyampaian policy brief
Sunaji Zamroni dari Institute for Research and Empowerment memaparkan teknik-teknik menyusun suatu policy brief yang memungkinkan untuk disampaikan ke pengambil keputusan secara tepat dan cepat. Dalam penyusunan policy brief, komponen penting yang harus dipehatikan yaitu judul yang lugas dan mencerminkan tema tulisan, bukti-bukti yang relevan dengan masalah yang diangkat dan rekomendasi yang jelas sasarannya. Penyusunan rekomendasi juga memperhatikan insentif apa yang diterima pengambil kebijakan. Sebelum policy brief disampaikan kepada pengambil keputusan, narasumber menyampaikan langkah-langkah bagaimana menghubungkan pengetahuan yang akan dituangkan dalam policy brief kepada pengambil kebijakan, sehingga policy brief dapat secara cepat diterima, antara lain membangun opini terkait isu tersebut di media sosial atau Koran, dialog publik yang melibatkan lintas sektor dan komunitas, serta komunikasi politik baik secara lobbying formal maupun pertemuan informal. Upaya-upaya tersebut dapat membantu memastikan bahwa pemecahan masalah yang ditawarkan sesuai dengan prioritas pengambil kebijakan, memberikan pengetahuan secara utuh dan rinci, memberikan bukti bahwa pengetahuan tersebut dapat menyelesaikan masalah.
Peserta diminta untuk menyampaikan policy brief yang telah dituliskan secara berkelompok dan narasumber memberikan saran untuk perbaikan policy brief.
Reporter : Afifah Nasyahta Dila (PKMK UGM)
Workshop Stakeholder Mapping
Workshop Stakeholder Mapping
Sesi 1 Pengantar
Yogyakarta, PKMK. Pada sesi ini disampaikan oleh drg. Puti Aulia Rahma. Memulai pengantarnya, Puti mengajukan pertanyaan ke peserta “mengapa kita perlu melakukan analisis stakeholder mapping? Stakeholder mapping dilakukan untuk memperoleh gambaran aktor yang memiliki kepentingan masing - masing dalam proses kebijakan”. Puti menyampaikan secara garis besar materi pokok dalam stakeholder mapping yaitu mulai dari definisi, cara melakukan, teknik dan mensimulasikan cara memetakan kepentingan sesuai dengan proyek apa yang akan dikerjakan serta strategi komunikasinya ketika stakeholder mapping telah dilakukan.
Selain itu Puti menambahkan, stakeholder mapping dalam lingkungan kebijakan perlu dipetakan, siapa yang terpengaruh dan siapa yang mempengaruhi kebijakan sehingga mudah memilih aktor (interest group) yang akan dilibatkan baik aktor pemerintah maupun non pemerintah, dan kapasitas mana yang perlu ditingkatkan agar mereka terlibat dalam kebijakan. materi dapat disimak pada link berikut
materi
Sesi 2 Aplikasi Teknis Analisis Pemangku Kepentingan
Sesi ini disampaikan oleh Eviana Hapsari Dewi, MPH dari PKMK FK UGM. Stakeholder mapping merupakan proses menganalisis informasi yang dilakukan secara sistematis. Melakukan pemetaan pemangku kepentingan membutuhkan berbagai cara guna memudahkan mendapatkan stakeholder yang benar-benar memiliki interest yang tinggi terhadap program atau kebijakan yang akan dilaksanakan. Dalam hal ini Evi menggunakan 8teknik dengan kombinasi serta modifikasi dari 8 teknik stakeholder mapping.
Pada kesempatan ini juga Evi memaparkan pengalamannya dalam melakukan stakeholder mapping Project Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) dalam pemenuhan hal pekerja seks yang difasilitasi DFAT dengan pendekatan tahapan teknik stakeholder mapping yang disesuaikan dengan capacity building local need. Tools yang digunakan dalam stakeholder mapping yaitu diagram Venn untuk mempresentasikan situasi dan kondisi real yang terjadi dilapangan. Sesi dilanjutkan dengan diskusi dan sharing pengalaman dari peserta dalam melakukan stakeholder mapping.
materi
Sesi 3 Strategi Komunikasi Pemangku Kepentingan
Prof. Adi Utarini dari FK-KMK UGM menjadi pemateri sesi ini. Sessi ini dimulai dengan pemaran video singkat mengenai Elminate Dengue Project (EDP) yang sedang dikerjakan oleh Prof Adi Utarini di TropMed FK-KMK UGM. Project ini merupakan upaya untuk menurunkan angka demam berdarah dengan menggunakan nyamuk Wolbachia di Daerah Istimewa Yogyakarta. Wolbachia ini merupakan salah satu bakteri alami yang disuntikkan ke serangga untuk mencegah penyebaran demam berdarah di daerah endemik demam berdarah. Sebagai sesuatu yang baru, dan belum pernah ditemui di masyarakat tentunya hal ini sangat membutuhkan strategi komunikasi yang tepat dan risk communication strategy kepada semua stakeholder untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat dan mambangun trust stakeholder.
Lebih lanjut, Prof Adi membuat grup kecil untuk melakukan stakeholder mapping dan grup interest dalam kasus project nyamuk Wolbachia dari level internasional hingga stakeholder level lokal. Pada akhir sesi, masing - masing grup memaparkan hasil mapping stakeholder yang telah diidentifikasi dan dilengkapi oleh Prof. Adi Utarini. silahkan klik untuk membaca paparanya.
materi
Sesi 4 Strategi Mapping Pemangku Kepentingan
Sesi ini disampaikan oleh dr. Arida Oetami, M. Kes dari Dinkes Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam sesi ini dibuat mini grup discussion untuk memetakan tingkat partisipasi pemangku kepentingan, tingkat kewenangan dan kepentingan stakeholder, serta strategi komunikansinya dengan menggunakkan partisipation planning matrix yang diberikan ke masing - masing peserta. Masing - masing grup memilih satu kasus kemudian membuat pemetaan pemangku kepentingan, strategi pelaksanaannya hingga tingkat partisipasi dari masing - masing pemangku kepentingan yang telah diidentifikasi.
Terdapat tiga grup yang terbentuk saat melakukan simulasi stakeholder mapping. Dua grup yang telah dibentuk memilih kasus yang sama yaitu memetakan pemangku kepentingan dan strategi komunikasi dan tingkat partisipasi stakeholder dari Project Nyamuk Wolbachea sedangkan grup yang lainnya memaparkan kasus peningkatan kapasitas tenaga kesehatan. Peserta sangat antusias dalam mini group discussion ini, dan mendapatkan pamahaman bagaimana memetakan pemangku kepentingan saat mengerjakan proyeknya nanti.
Pada akhir sessi, dr, Arida menyampaikan bahwa upaya stakeholder mapping ini sangat erat kaitannya dengan manajemen.
Reporter: Candra, SKM., MPH (PKMK FK-KMK UGM)