Reportase Webinar
Serial Forum Kebijakan JKN: Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS Berdasarkan Bukti
Yogyakarta, 25 Juni 2020
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Webinar Series 2 “Forum Kebijakan JKN: Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS Berdasarkan Bukti”. Webinar ini dilaksanakan pada kamis (25/06) pukul 13.00-15.00 WIB. Topik kegiatan hari ini adalah “Sentralisasi BPJS Kesehatan dan Kebijakan Kompensasi JKN” yang disampaikan oleh Peneliti PKMK FK-KMK UGM, Tri Aktariani, Faozi Kurniawan dan Prof. Laksono Trisnantoro. Pembahas pada pertemuan adalah Pak Subuh sebagai staf ahli bidang ekonomi kesehatan Kementerian Kesehatan, Dr. Eduard Sigalingging, M.Si sebagai direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah Kemendagri, Benyamin Saut sebagai Deputi Direktur Risbang BPJS Kesehatan Pusat dan Kelompok Kajian Kebijakan Gunungan.
PENGANTAR
Kegiatan ini dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD selaku Koordinator Forum menyampaikan bahwa forum ini akan mengembangkan diskusi dan dialog kebijakan untuk mencari solusi masalah implementasi JKN berbasis Bukti baik dari aspek ekonomi, politik dan lainnya.
Sesi Presentasi: Tata Pemerintahaan Indonesia dan Tata Kelola JKN
Presentasi pertama disampaikan oleh Tri Aktariani selaku peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM menyampaikan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dalam pasal 18A ayat 1. Pada Urusan pemerintah daerah diatur dalam UU No 23 tahun 2014 yang mengatur dari inovasi, sampai tata pemerintahan daerah namun belum ada pengaturan jaminan kesehatan di dalamnya. Hasil temuan riset evaluasi kebijakan JKN oleh PKMK FK-KMK UGM selama 5 tahun menunjukkan verifikasi dan validasi data masih bermasalah, dana kapitasi yang terpendam di kas daerah, data BPJS Kesehatan sulit diakses, pemerintah daerah tidak ikut menanggung defisit. Implikasi lemahnya peran pemerintah daerah dalam program JKN adalah beban defisit JKN berada pada pemerintah pusat sementara daerah yang fiskal tinggi tidak menanggung beban defisit sehingga perlu perubahan undang-undang.
SESI PEMBAHAS
Pembahas pertama dibawakan oleh Dr. Eduard Sigalingging, M.Si sebagai direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah Kemendagri. Eduard menyampaikan salah satu urusan yang diatur dalam UU No 23 tahun 2014 adalah bidang kesehatan yang diwujudkan dalam SPM. Selain itu, peran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam jaminan kesehatan adalah pemerintah daerah wajib mendukung penyelenggaraan JKN, kepatuhan pembayaran iuran melalui pelaksanaan pembayaran iuran secara tepat jumlah dan tepat waktu, serta peningkatan pelayanan kesehatan dilaksanakan melalui penyediaan fasilitas kesehatan, pemenuhan SPM dan peningkatan mutu layanan.
Pembahas kedua disampaikan Pak Subuh sebagai staf ahli bidang ekonomi kesehatan Kementerian Kesehatan. Subuh menyampaikan sentralisasi pelaksanaan JKN di daerah sebenarnya pada tahun 2005 dalam keputusan MK mengamanatkan bahwa desentralisasi boleh dilakukan dengan syarat harus ada badan hukum berbentuk BPJS dengan dasar UU namun tidak berlaku efektif. Dalam konteks sentralisasi JKN, peran pemerintah daerah adalah menjamin ketersediaan dan mutu fasilitas kesehatan terhadap akses ke fasilitas kesehatan. Strategic purchasing yang dilakukan BPJS Kesehatan dengan membeli pelayanan faskes yang telah lulus akreditasi dan kredensial tetapi karena ada asas konkuren, pemerintah pusat berkewajiban untuk memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat.
Selain itu, saat ini sedang dibahas reformasi perlindungan sosial yang menjadi agenda pusat dimana pada point No 4 disebutkan tentang reformasi skema pembiayaan baik APBD maupun APBN.
Prof Laksono: Ada satu yang kami tekankan tentang resiko menanggung defisit. Mengapa UU menempatkan APBN yang menanggung resiko padahal tempat transaksinya ada di daerah? Hal ini akan dijawab pada sesi presentasi kedua.
SESI DISKUSI 1
Sesi Presentasi Kedua: Pemberian Kompensasi di Daerah Belum Tersedia Fasilitas Kesehatan yang Memenuhi Syarat.
Faozi Kurniawan selaku peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM menyampaikan bahwa Iuran dan beban layanan per segmen PBI APBN mengalami surplus yang semakin lama semakin tinggi setiap tahunnya. Surplus ini terjadi karena klaim rasio atau utilisasi layanan PBI APBN terlalu rendah dengan estimasi 75%. Hingga saat ini, masih terjadi gap antara daerah terpencil dengan perkotaan baik dari sisi pelayanan, ketersediaan SDM maupun ketersediaan Sarpras.
Kebijakan dana kompensasi belum terlaksana akibat dasar hukumnya belum jelas. Apabila dilaksanakan maka bentuk pelaksanaan dana kompensasi diberikan berupa pengiriman tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan, penggantian uang tunai bagi faskes bukan mitra BPJS, penyediaan fasilitas kesehatan tertentu. Selain itu perlu diatur mengenai kriteria daerah penerima kompensasi, mekanisme pemberian kompensasi, indikator kesehatan yang dicapai, dan kontribusi lintas sektor.
SESI PEMBAHAS KE 2
Pembahas pertama dibawakan oleh Benyamin Saut sebagai Deputi Direktur Risbang BPJS Kesehatan Pusat. Benyamin menyampaikan jika tidak dimulai dengan sentralistik, pencapaian BPJS tidak akan seperti saat ini. Pada tata kelola informasi, BPJS sudah mengimplementasikan Dashboard JKN untuk pemerintah daerah dan disajikan dalam bentuk data rekapan agregat yang dapat digunakan untuk perbaikan dan keberlanjutan program JKN.
Terkait kebijakan kompensasi, pada tahun 2017-2019, BPJS kesehatan sudah menjalankan kompensasi dalam bentuk transportasi dan uang harian namun kompensasi dengan penggantian uang tunai tidak dapat terealisasi. Tantangan yang dihadapi BPJS Kesehatan antara lain belum adanya regulasi pengaturan kompensasi, kompensasi uang tunai tidak dapat berjalan, adanya potensi tumpang tindih pembiayaan antara kapitasi dan anggaran daerah, kesesuaian penjaminan pengiriman tenaga kesehatan dan belum optimalnya peran pemda.
Pembahas kedua disampaikan oleh Pak Slamet dari LSM Gunungan. Slamet menyampaikan bahwa ada satu masalah besar dimana roadmap menuju JKN belum tercapai dan struktur organisasi pemerintah dan BPJS Kesehatan tidak sebanding sehingga mengalami kesulitan dalam hal koordinasi.
Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dalam pembahasannya antara lain pembiayaan kesehatan dalam sistem kesehatan nasional yang perlu disusun kembali; 2) pembagian urusan dibidang kesehatan pada UU No 23/2014 tidak mengatur tentang pembiayaan; 3) pelaksanaan urusan konkuren, pemerintah provinsi bersifat oportunis; 4) pada tugas pembantuan, belum semua pemerintah daerah membentuk perda; 5) besaran alokasi anggaran kesehatan belum sesuai UU; 6) mobilisasi pembiayaan kesehatan bersumber dari swasta; 7) tarif JKN tidak ditetapkan sesuai pagu tarif maksimal pada rumah sakit provinsi.
Hal ini membuat pemerataan pembangunan kesehatan menjadi sesuatu hal yang mutlak harus dilakukan secara adil dan merata serta penyesuaian dalam bentuk revisi UU SJSN dan UU BPJS agar sejalan dengan UU No 23 tahun 2014 menyesuaikan dengan sistem pemerintahan yang desentralisasi serta ada kompensasi pada daerah yang sumber daya kesehatan tidak atau kurang memadai.
SESI DISKUSI
1. Yang dimaksud dengan pasal yang di ubah menyangkut keterlibatan daerah dalam menaggung defisit nya?
Tari Aktariani (Peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM)
- Mengidentifikasi dari UU SISN itu ada di pasal 19 menyimpulkan iuran itu ditanggung oleh Pemerintah Daerah. Definisi iuran sendiri diutamakan untuk PBI (Peserta Bantuan Iuran), PBI sendiri didefinisikan sebagai orang tidak mampu dan fakir miskin. Tapi untuk implementasi seperti di Pergubnya DKI Jakarta bahwa setiap orang yang memiliki KK atau KTP yang berdomisili di DKI Jakarta dan bersedia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan Kelas 3 itu akan menjadi peserta PBI APBD.
2. Apakah bapak setuju ke sentralistik atau dikembalikan ke jaman dulu atau tetap seperti ini tapi diperbaiki ?
Tanggapan dari Kemendagrai
- Pada prinsipnya UU JKN “Gotong Royong” , jadi artinya semua berkontribusi. Apabila daerah yang mempunyai kesenjangan fiskal jangan dibebani banyak, tapi yang kaya membantu yang miskin, namun dalam prakteknya berbeda. Yang intinya bahwa di UU otonomi daerah, Pemda diberikan tugas dan tanggung jawab tapi disisi lain ada UU JKN yang oleh pemerintah Daerah harus patuh. Pemerintah Daerah membuat perbandingan kalau dikelola oleh Pusat, artinya menjadi kajian barangkali untuk kedepannya agar memperbaiki sistem tersebut untuk dapat mengcover seluruhnya.
3. Di UU SJSN belum bisa tapi faktanya yang sudah dipaparkan oleh peneliti bahwa didaerah seperti DIY, BPJS mengalami defisit yang sangat tinggi juga di Jawa tengah dan Jawa Barat. Tapi satu sen pun daerah tersebut tidak membayar defisit tadi Pak, tidak ikut menanggung defisit tadi karena di UU yang menanggung semua APBN.
Tanggapan Kemendagri
- Dalam Perpres yang baru, artinya dalam rangka kelangsungan pelayanan kesehatan di pasal 29, jadi untuk menjamin keberlangsungan kesehatan, keuangan dan jaminan kesehatan, pemerintah daerah berkontribusi. Jadi sudah ada formula-formula yang kita bangun berapa tanggung jawab Pemda sesuai dengan kepesertaanya dan data dari Kemensos. Jadi defisit itu menjadi tanggung jawabnya APBN tapi yang menjadi terdaftar sebagai bagian tanggung jawabnya APBD, terintegrasilah dengan BPJS. seperti itu yang kita bangun.
Tanggapan Prof Laksono:
- Tadi yang dikatakan Pak Subuh mengenai omnibus law, saat ini masih ada konteks ekonominya. Tujuan seri diskusi ini mengidentifikasi daftar isian masalah di UU SJSN dan UU BPJS yang terkait dengan bukti-bukti masalah defisit, ketidakadilan, mutu pelayananan, potensi fraud, dan sebagainya. Arah muara kegiatan ini akan masuk ke DPR dan pemerintah untuk mengusulkan revisi UU. Saya melihat BPJS seperti menanggung resiko sendiri, yang kemudian resiko ini diambil alih oleh APBN. Padahal intervensinya di daerah. Ketika daerah tidak menanggung resiko, mereka tidak akan peduli dengan layanan promotif preventif.
4. Jika peran pemda hanya pada masalah defisit atau iuran, nampaknya akan banyak pemda yang defensi. Maka bukankah lebih baik peran pemda difokuskan pada membangun kapasitas pemda.
Tanggapan Kemendagri Prof Laksono:
- Defisiti per daerah tidak banyak. Di DIY, BPJS Kesehatan defisit sekitar 1 Triliun di tahun 2019 sementara NTT mengalami Surplus. Uang itu tidak bisa dipakai di NTT tapi kesedot ke Jogja juga. Ini masalah besar ketika pemda tidak mendapat informasi ini, dan hasil penelitian PKMK menunjukkan bahwa Pemda-Pemda tidak tahu bahwa mereka sudah banyak mendapatkan manfaat BPJS.
Tanggapan Kemendagri BPJS Kesehatan:
- Memang menarik sekali untuk mengoptimalkan peran pemda, sebenarnya BPJS kesehatan sedang melakukan uji coba, ada prototipe global budget di Kabupaten Tanah Datar yang melibatkan pemda untuk mengatur budget untuk setiap fasilitas tingkat pelayanan sehingga ada risk sharing yang terjadi antara Pemda dan ASKES. Hanya pada saat itu terkendala sistem informasi yang masih lemah. Kalau Global budget yang sekarang dijalankan, rasanya ini menjadi satu solusi agar BPJS Kesehatan bisa bersama-sama dengan pemda menghitung dan kecukupan revenue yang dimiliki. Jadi strategic purcahasingnya bisa jalan dari Global Budgetnya. Selain itu perlu menghitung bersama-sama peta kekuatan fiskal daerah sehingga jika di eskalasi menjadi peran Pemda, APBD dan APBN yang kuat maka dari peta fiskal tadi dapat digunakan untuk saling mengsubsidi tertuma pada kota kabupaten yang kekuatan fiskalnya rendah dibantu daerah dengan fiskal yang tinggi.
SESI PENUTUP