Reportase IKKESINDO Weekly Webinar: Pembenahan Ekosistem Program JKN-KIS
8 Juli 2020
Pengantar, Dr. dr. Supriyantoro, SpP, MARS (Ketua Umum IKKESINDO) membuka dengan mengatakan “Mari bersama Ikatan Konsultan Kesehatan Indonesia (IKKESINDO) berkontribusi terhadap pembangunan kesehatan di Indonesia”. Kita harus melakukan pembenahan tidak hanya pada pemikiran bahwa sistem tersebut rusak atau memang harus ditingkatkan. Dalam perjalanan 6 tahun, kita masih bingung siapa dan berapa dirihen(pemandu) dalam ekosistem JKN dan bagaimana menciptakan sinergi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan sebagai kunci dalam pencapaian tujuan SJSN memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang layak.
Sambutan, Mundiharno dari BPJS Kesehatan menyampaikan bahwa diharapkan dalam sistem jaminan kesehatan tercipta ekosistem yang harmoni seperti halnya sebuah orkestra. Program JKN ini melibatkan banyak pemangku kepentingan baik di tingkat nasional maupun daerah serta yang berperan sebagai regulator, implementor maupun peserta JKN. Setiap pemangku kepentingan memiliki perannya masing - masing sehingga diharapkan dengan adanya peraturan presiden nomor 85 dapat mensinergikan semua pemangku kepentingan yang akan membuat ekosistem ini berjalan harmoni sebagai musik yang indah.
Keynote speech, Emanuel Melkiades Laka Lena (Komisi IX DPR RI) menyampaikan keynote - nya melalui video karena tidak dapat hadir dalam webinar ini. Emanuel memandang bahwa acara baik sekali oleh IKKESINDO dan harapannya dapat membahas bagaimana kita membenahi sistem JKN KIS. Pembenahan ini menjadi penting dan menjadi perhatian bangsa Indonesia apalagi soal kenaikan iuran peserta dalam 2 Perpers. Situasi ini harus dipikirkan bagaimana cara untuk memastikan bahwa program ini dapat berkelanjutan melalui peran serta seluruh rakyat indonesia. Emanuel menyampaikan bahwa telah terjadi diskusi untuk beberapa catatan penting dan dibahas dalam rapat gabungan.
Tiga aspek penting harus dipertimbangkan dalam sistem kesehatan nasional yaitu aspek kepesertaan, layanan yang diberikan dan iuran. Selain pemerintah dan DPR RI penting, BPJS Kesehatan sebagai operator harus memastikan berbagai layanan kesehatan dan meminimalkan potensi fraud di berbagai level layanan. Semua pemeharti diharapkan dapat terus mencari upaya efektif dan efisien dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Aspek data perlu dirapikan dan dibersihkan secara bersama.
Moderator, drg. Usman Sumantri, MSc, Analis Kebijakan Ahli Utama Kemenkes RI, membuka pemaparan materi oleh para narasumber dengan menyampaikan bahwa implementasi JKN sudah masuk tahun ketujuh dan peserta JKN telah mencapai 223 juta jiwa atau sudah sampai 83 % dari total seluruh populasi Indonesia. Kunjungan peserta JKN telah mencapai 233 juta yang terdiri kunjungan di FKTP maupun di FKTL dan pada 2019 mengalami kenaikan yang cukup signifikan menjadi 433,44 juta kunjungan (1,5 kali dari peserta JKN). Beliau menyampaikan bahwa meskipun banyak persoalan dalam pengelolaan JKN, manfaat telah dirasakan oleh peserta JKN.
Narasumber pertama, dr. Hasbullah Thabrani, PhD, Pakar Jaminan Sosial, menyampaikan pendangan pribadinya dalam judul Ekosistem JKN – KIS menghalau awan mendung mental miskin. Hasbullah menyampaikan bahwa undang - undang yang sudah ditetapkan tidak diterjemahkan dengan baik ke dalam peraturan - peraturan yang lebih spesifik. Hasbullah mengutip laporan Bank Dunia tentang pengakuan dari pemerintah tentang tantangan koordinasi dan fragmentasi antara lembaga pusat membatasi efektivitas program - program utama pemerintah seperti JKN dan program - program bantuan sosial dalam mencapai tujuan mereka.
Desentralisasi menimbulkan tantangan tambahan bagi akuntabilitas dan pemantuan lembaga - lembaga di tingkat pusat. Hasbullah menyampaikan bahwa SJSN ini memiliki kontrak utama (master kontrak) antara negara dan rakyatnya dalam Undang - Undang Dasar 1945 dan kontrak spesifiknya dalam Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2004. Kontrak yang harus dipahami adalah akses dan konsumsi dalam pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan layak bagi semua orang. Kebutuhan dasar ini sedang dirumuskan, namun Hasbullah menyampaikan pandangan pribadi bahwa kebutuhan dasar itu sebenarnya sudah dirumuskan dalam UU SJSN yaitu sesuai dengan kebutuhan medis. Namun, telah banyak diskusi yang mencoba menggambarkan bahwa telah terjadi salah kaprah bahwa kebutuhan dasar diperkecil sehingga dapat dikurangi manfaat dan biaya layanannya.
Simpulan dari penyampaian tersebut adalah pertama, UUD dan UU tidak dipahami secara baik oleh semua sektor dan setiap sektor masih berjalan dengan kepentingannya sendiri; kedua, komandan efektif untuk program JKN belum ada; ketiga, sebagian pejabat dan rakyat Indonesia masih memiliki “mental miskin” menghambat kemajuan program JKN dimana mengeluhkan bahwa Indonesia tidak memiliki kemampuan fiskal yang memadai; keempat, potensi fiskal bangsa dan negara sebenarnya ada, dan kelima dan terakhir, perlu peningkatan komunikasi dan buka fakta.
Narasumber kedua, Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD menyampaikan pandangan pribadinya tentang Pembenahan Ekosistem JKN : Jangan Tuntut, Penuhi Dulu Tupoksi menyampaikan pendapat pribadi. Budi menyampaikan bahwa program JKN yang dijalankan melalui single payer terbesar sudah dilirik negara lain seperti India. Prof Budi juga menyampaikan bahwa kita tidak boleh membatasi melihat pada ekosistem yang makro saja namun ekosistem meso JKN. Undang - undang JKN dilahirkan untuk mengatasi fragmentasi program jaminan, sasaran yang eksklusif dan pelaksanaan program jaminan yang belum tepat. Budi menyampaikan bahwa terdapat ruang inkonsisten dalam peraturan - peraturan penerjemahan yang lebih bersifat teknis sehingga mengakibatkan atuan tersebut “mandul arsitektur strategic purchasing BPJS”.
Budi menegaskan bahwa seharusnya para pemangku kepentingan bertanya kepada diri mereka dan tidak menuntut kinerja dari institusi lainnya. Budi menyampaikan bahwa harusnya masalah JKN itu perlu dijelas dan sebuah kaca pembesar pada level meso yaitu area pendanaan, pembayaran fasilitas kesehatan, pemanfaatan layanan, output dan kepesertaannya. Nilai pendanaan yang kecil dan pembayaran faskes yang belum terstandarisasi penyesuaian manfaatnya berpengaruh kepada defisit JKN tersebut. Pembayaran faskes kepada rumah sakit belum sesuai dengan konteks ke - Indonesiaan sehingga masih tercipta ruang yang cukup lebar untuk klasifikasi biaya InaCBGs. Namun mayoritas masalah yang muncul adalah under price, masalah overprice belum secara optimal ditelusuri. Masalah ini menimbulkan praduga tentang tumbuh suburnya dugaan fraud namun harus dibuktikan.
Narasumber ketiga, dr. Asih Eka Putri, MPPM, anggota DJSN menyampaikan pandangan pribadi tentang Ekosistem JKN dalam Tata Kelola Jaminan Sosial. Asih menyampaikan bahwa kita harus memandang ekosistem JKN tidak hanya sebagai hubungan klasik supplier dan konsumer. Dengan cakupan peserta yang besar dikuatirkan akan menambah besarnya pengeluaran untuk peserta tersebut. Defisit yang terjadi saat ini merupakan defisit struktural yang terjadi pada 2014 hingga 2019.
Ketidakseimbangan kronis antara pendapatan dan pengeluaran kerena struktur iuran tidak cukup membiayai manfaat, bukan karena penyelenggaraannya tidak efisien. Obat untuk defisit ini adalah restrukrisasi SJSN yang telah dimulai dengan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 dan 64 Tahun 2020. Bu Asih menyatakan terdapat ketidakberdayaan DJSN untuk membantu BPJS Kesehatan yang mengalami kelebihan muatan biaya layanan tersebut. Budi mengemukakan bahwa dalam menetukan iuran dalam program JKN terdapat Presiden sebagai penetap besaran iuran berdasarkan masukan dari Kementerian Keuangan yang telah menghitung kembali perhitungan DJSN. DPR RI berwenang untuk memberikan pendapat dan mendesak pemerintah tentang kelayakan besaran iuran dan Mahkamah Agung dapat menuji peraturan preseiden tentang peraturan presiden.
Rekonstruksi Ekosistem JKN dimulai dengan menyadari bahwa aktor utama yaitu peserta, DJSN, dan BPJS Kesehatan belum terlalu nampak, tetapi aktor lain melayang - layang dalam ekosistem tersebut yaitu lemahnya peradilan, kelompok masyarakat dan lainnya. Hal ini menunjukkan ketidakefisienan dan rawan konflik. Rekonstrukrisasi harus membenahi empat area yaitu Kebijakan dan pengawasan, kelembagaan, operasional dan keuangan SJSN.
Pembahas pertama , Ahmad Ansyori, SH, MH, Ahli Jaminan Sosial membahas tentang para “pemain” dalam orkestra “JKN” tidak boleh bermain diluar pengaturannya. Undang - undang SJSN menyasar DJSN sebagai “Dirigen” dalam pengelolaan program JKN namun faktanya tidak seperti itu. Ahmad juga mengkritik bahwa untuk materi yang sangat serius ini, harusnya para pemateri menyampaikan atas nama lembaga, karena dapat menimbulkan pemikiran bahwa sepertinya dapat terjadi ketidaksamaan suara dalam suatu lembaga.
Ahmad menyatakan bahwa harusnya lembaga peradilan itu memiliki fungsi tersendiri dalam suatu tata kenegaraan sehingga dia tidak bisa dilihat sebagai pengganggu dalam ekosistem JKN tersebut. Harusnya hal ini diteliti secara regulasi akan berisiko terhadap proses hukum. Ahmad menitikberatkan terhadap kesamaan pandangan terhadap problem statement JKN sehingga dapat digunakan cause and effect analysis. Ahmad menyimpulkan bahwa ada empat permasalahan utama yaitu regulasi, subtansi program, penyelenggaran atau tata kelola program dan masyarakat.
Pembahas kedua, DR. Chazaly Situmorang, Apt, M. Sc, Ketua Institut Jaminan Sosial Nasional, Mantan Ketua DJSN, membahas bahwa hakekat ekosistem JKN - KIS harusnya adalah “keberpihakan” yang didetilkan pada kepentingan peserta, kemanusiaan, kemanfaatan dan keadilan serta kejujuran, empati dan keterbukaan informasi. Potensi permasalah regulasi JKN juga dapat dibagi menjadi sudah ada namun belum lengkap, belum selesai sinkronisasi dan bias implementasi. Chazaly juga memberikan sebuah pertanyaan tentang apakah BPJS Kesehatan diperkuat atau dilemahkan fungsi kelembagaannya? Masalah integrasi kelembagaan masih sulit dirasakan dalam program JKN ini.
Persoalan power sharing telah terjadi sehingga dilematis dalam implementasi program tersebut. Problem utama kita dalam JKN yang dilihat secara makro dan meso adalah terdapat waiting list, belum ada pendampingan peserta dan perlu dibukanya aksesbilitas faskes sesuai dengan kebutuhan peserta tersebut. Chazaly mengakhiri pembahasan dengan mengatakan bahwa kebutuhan dasar kesehatan adalah indikasi medis yang telah diatur dalam undang - undang.
Pembahas ketiga, Prof. dr. Ali Gufron Mukti, MSc, PhD, Wakil Menteri Kesehatan RI 2011-2014 membahas konsep dasar JKN sendiri harus diperbaiki yaitu gotong royong atau saling membantu yang tidak terjadi. Pembahasan tentang siapa dirigen dalam sistem kesehatan belum ditunjukan dalam SJSN. Ghufron menyampaikan bahwa infrastruktur layanan kesehatannya masih jauh dari manfaat yang telah dijanjikan.
Melihat permasalahan kesehatan harusnya komprehensif dimana daerah yang sudah dapat menjalankan sistem jaminan dan daerah yang tidak cocok menjalankan sistem tersebut seperti daerah pelosok. Implementasi kapitasi pada puskesmas untuk membiayai layanan disana tidak berjalan seperti tujuannya karena masyarakat tidak dapat mengakses layanan tersebut. Lebih lanjut, puskesmas yang dapat mengakses protein dalam urin sebesar 10 % dimana pemeriksaan ini penting untuk mendeteksi eklampsi dan preeklampsi pada ibu hamil yang dapat mengakibatkan kematian.
Penguatan SDM kesehatan dan SDM asuransi kesehatan perlu ditingkatkan sehingga indonesia siap untuk menjalankan reformasi ini. Ghufron menyampaikan bahwa belum ditunjukkan posisi pemerintah daerah yaitu dinas kesehatan masih bersifat sebagai penonton yang tidak berperan sama sekali. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembagian tanggung jawab dalam sistem kesehatan nasional tersebut belum jelas. Beliau mengakhiri pembahasan tersebut dengan menyatakan bahwa perlu dilakukan reorientasi kebijkan dan perubahan mindset pejabat dan penduduk kearah promosi, prevensi dan perilaku sehat masyarakat.
Reporter: Relmbuss Biljers Fanda